Anda di halaman 1dari 4

َ َ‫ تَب‬,ً‫ الحمد هلل كان بعباده خبيراً بصيرا‬،‫ هللا أكبر كبيرا‬،ً‫ وسبحان هللا وبحمده بكرة وأصيال‬،ً‫هللا

أكبر كبيراً والحمد هلل كثيرا‬


َ‫ارك‬
‫ار ِخ ْلفَةً لِ َم ْن َأ َرا َد َأ ْن يَ َّذ َّك َر َأوْ َأ َرا َد‬
َ َ‫ َوه َُو الَّ ِذي َج َع َل اللَّي َْل َوالنَّه‬،‫الَّ ِذي َج َع َل فِي ال َّس َما ِء بُرُوجًا َو َج َع َل فِيهَا ِس َراجًا َوقَ َمرًا ُمنِيرًا‬
.‫ُش ُكورًا‬

،‫ وأ ّدى األمانة‬،‫ فبلّغ الرسالة‬,ً‫ وداعيا ً إلى هللا بإذنه وسراجا ً منيرا‬،ً‫والصالة والسالم على من بعثه ربه هاديا ً ومب ِّشراً ونذيرا‬
،‫ وأنار به أفكار اإلنسانية‬,‫ هدى هللا به البشرية‬,‫ق جهاده حتى أتاه اليقين‬ َّ ‫ وجاهد في هللا ح‬،‫ وكشف هللا به ال ُغ َّمة‬،‫ونصح األ َّمة‬
.ً‫صلَّى هللا عليه وعلى آله وصحبه وسلَّم تسليما ً كثيرا‬

Jamaah Shalat Iedul Adha Rahimakumullah

Di antara bentuk kemurahan Allah bagi kita, umat Islam, adalah Allah memberikan hari raya untuk kita
yang akan menyenangkan dan mengembirakan hati.

Perayaan dalam Islam bukanlah mengikuti hawa nafsu atau melampaui batas. Hari raya dalam
Islam adalah ketaatan dan kegembiraan yang datang setelah ketaatan dan mengagungkan syariat
Allah subhanallahu wataala. Hari raya adalah hiburan bagi jiwa meskipun ada kesusahan dan
kesedihan untuk memperbarui keimanan pada pertolongan Allah sebagaimana firmannya, inna
maal usri yusra, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Kelegaan itu muncul
setelah pengorbanan, keridhoan, ketundukan dan ketundukan kepada perintah Allah dan Rasul-
Nya.
Dan hari ini, jamaah Shalat Ied Rahimakumullah, kita berkumpul untuk melakukan shalat Idul Adha, hari
raya kurban, hari kegembiraan dan ketenangan. Hari kita memperbarui ingatan kita kepada kisah
keluarga Nabi Ibrahim alaihissalam.

Jamaah shalat iedul Adha Rahimakumullah

Allah telah menjelaskan dengan gamblang, lalu membenkan contoh peristiwa masa lalu yang
bisa diambil sebagai ibrah bahwa siapa yang taat pasti akan selamat.

Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan tentang persitiwa yang sarat dengan faidah dan
ilmu tentang ibunda Hajar sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhani.

“Nabi Ibrahim Alaihissalam membawa Hajar dan putranya Ismail yang masih disusuinya.
Hingga Ibrahim Alaihissalam menempatkannya di tempat yang nantinya akan dibangun
Baitullah di Mekah yang kala itu tidak ada siapapun, dan tidak ada air Nabi Ibrahim
menempatkan keduanya di sana, sernizari meniinggaikan keranjang berisi kurma dan geriba yang
berisi air. Lalu Nabi Ibrahin membalikkan punggungnya untuk meninggalkan tempat itu. Hajar
mengikuti Nabi Ibrahim dan belakang dan bertanya, “Wahai Ibratim! Hendak kemana engkau
pergi? Keriapa engkau meninggalkan kami di lembah yang tak berpenghuni dan tak ada apapun
di sini?” Hajar mengucapkan kata katanya berulang kali, namun Nabi Ibrahim tidak juga
menjawabnya Lalu Hajar bertanya, “Apakah Allah yang memerintahkan hal im kepadamu?”
Nabi Ibrahim menjawab, "Iya, benar.” Atas jawaban itu, Hajar berkata, “Kalau begitu, Aliah
tidak akan menyianyiakan kami.” kemudian Hajar kembali ke tempat semula.”

Jamaah shalat iedul Adha Rahimakumullah


Sampai di sini kita renungi, betapa Ibrahim alaihissalam merespon setiap perintah Allah dengan
taat yang tanpa tapi dan taat yang tanpa syarat. Tidak sebagaimana orang yang lemah imannya,
ketika diperintahkan untuk taat maka akan meminta banyak syarat dan akan banyak
mengutarakan alasan dengan kata 'tapi'. Sebagian lagi mau melakukan ketaatan asalkan ia
mendapatkan keuntungan duniawi. Hal tersebut menunjukkan tipisnya keyakinan bahwa apa
yang Allah perintahkan pastilah baik akibatnya.

Kita juga bisa membayangkan betapa Hajar alaihas salam adalah seorang istri yang tidak hanya
taat, namun juga memiliki prasangka yang baik kepada Allah. Ucapan beliau, “Kalau begitu,
Allah tidak akan menyia-nyiakan kami," bukanlah ungkapan putus asa, melainkan sikap optimis
dan menunjukkan rasa lega, bahwa pilihan Allah pastilah baik akibatnya.

Beliau pasrahkan nasibnya kepada Rabbnya yang menjamin rejekinya. Sebagaimana Ibrahim
juga memasrahkan nasib keduanya kepada Rabbnya yang memelihara keduanya.

Jamaah shalat iedul Adha Rahimakumullah


Nabi Ibrahim Alaihissalam beranjak pergi, hingga ketika sudah berada di jalan perbukitan dan
tidak terlihat lagi oleh Hajar dan putranya, Beliau menghadapkan wajahnya ke tempat yang
nantinya didirikan Baitullah, lalu beliau mengangkat kedua tangannya sembari memanjatkan,

“Ya Rabb kami! sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang
tidak mempunyai tanamtanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, wahai Rabb
kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia
cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudahmudahan mereka
bersyukur. (QS. Ibrahim: 371)

Jamaah shalat iedul Adha Rahimakumullah

Ketika perbekalan air telah habis, Ismail mulai merasa kehausan. Hajar menatap putranya yang
merengek rengek, Karena tak sanggup melihat keadaan putranya, Hajar lari meninggalkan
putranya menuju bukit Shafa, bukit terdekat darinya. Ia berhasil naik lalu berdiri sambil
menerawang lembah yang baru saja ia tinggalkan, berharap ada orang lain yang tampak di
sekiatar sana. Ternyata tak seorangpun selain mereka berdua. Ia turun dari bukit Shafa dan terus
berlari kecil menyusuri lembah sehingga sampai ke bukit Marwah. Setelah melakukan itu sampai
7 kali
Allah memberikan pertolongan kepada keduanya dengan munculnya zam-zam.
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyebutkan riwayat tentang ini, “Maka lihatlah apa yang terjadi?
Allah memberikan jalan keluar baginya dan memberinya rejeki dan juga anaknya. Malaikat Jibril
memanggilnya, “Siapa kamu?" Dia menjawab, “Saya Hajar ibu dari anak Nabi Ibrahim.”, Jibril
bertanya, “Kepada siapa kalian berdua bertawakkal?” Hajar menjawab, “Kepada Allah.”
Malaikat Jibril mengatakan, “Kalian telah bertawakai kepada Allah yang maha memberi
kecukupan.
Itulah (asal-mula) sa'i manusia (orang yang berhaji) di antara keduanya (Shafa dan Marwah)."

Jamaah shalat iedul Adha Rahimakumullah

Inilah tawakal yang benar, yang menyertakan ikhtiar yang benar dani sungguh-sungguh dalam
tawakainya. Sebagaimana yang di alami oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam sepanjang
perjuangannya menegakkan Islam. Betapapun beliau sangat dekat dengan Allah, maka
pertolongan Allah datang setelah beliau terusir dari negerinya, tergores batu terjal ketika
berhijrah, berdarah-darah dalam jihad fie sabilillah dan berbagai macam rintangan yang beliau
hadapi sepanjang hayatnya.

Betapapun beliau adalah orang yang yakin akan pertolongan Allah, paling kuat tawakalnya
kepada Allah, tetap saja beliau menempuh sebab (ittikhadzul asbab) untuk mendapatkan
keselamatan dan kemenangan.

Jamaah shalat iedul Adha Rahimakumullah

Dari kisah keluarga Ibrahim alaihissalam kita bisa belajar, saat menghadapi kesulitan apapun,
atau ketika menghendaki kemaslahatan dan cita-cita apapun, kunci suksesnya adalah taat. Makna
taat adalah ikhtiyar dengan jalan yang diridhai Allah sembari berprasangka baik kepada Allah
dan menggantungkan segala urusan kepada Allah. Inilah sunatullah yang tak berubah di setiap
zaman.

Figur anak yang saleh dan salihah, ialah mereka yang tidak menuntut banyak dari orangtuanya.
Selalu berbakti kepada orangtua dan membantu dikala sedang dilanda kesulitan. 

Nabi Ismail merupakan cerminan kesabaran yang abadi. Rela berkorban demi ketaatan kepada
Allah Subahanahuwata’ala. Sehingga Allah angkat derajatnya menjadi seorang nabi yang
diabadikan dalam Al-Quran Surah Maryam ayat 54,

)٥٤( ‫ق ۡٱل َو ۡع ِد َو َكانَ َر ُسواٗل نَّبِ ٗيّا‬ ِ َ‫َو ۡٱذ ُك ۡر فِي ۡٱل ِك ٰت‬
َ َ‫ب ِإ ۡس ٰ َم ِعي ۚ َل ِإنَّهۥُ َكان‬
َ ‫صا ِد‬

"Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al
Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan
nabi."

Pembentukan karakter wanita yang salihah dan anak yang penyabar, tidak terlepas dari
pengajaran seorang ayah. Nabi Ibrahim memberikan contoh yang kompleks, tentang cara
mendekatkan keluarga kepada ajaran-ajaran Allah. 
Ketika keluarga sudah mengenal Allah jangankan air mata dan darah, nyawapun rela
dikorbankan demi mencapai cintanya Allah Subahanahuwata’ala. Hal itu tercermin ketika
Ismail rela mengorbankan jiwanya untuk disembelih demi ketaatan terhadap perintah Allah.

Kemudian disyariatkanya kurban adalah untuk mengajarkan kepada setiap umat muslim, agar
selalu mendekatkan diri kepada Allah Subahanahuwata’ala. Sebagaimana kisah Nabi Ibrahim
dan keluaranya. 

Anda mungkin juga menyukai