Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI DAKWAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Dakwah

Dosen pengampuh: Dr.St. Rahmatiah, S.Ag., M.Sos.I

DISUSUN OLEH:
Kelompok 3

Winda Junianti 50200121097


Nurul Mutmainnah Ilyas 50200121095

PRODI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena telah
melimpahkan Berkah dan Rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya. Sholawat serta salam tidak lupa
kita kirimkan kepada junjungan Nabi Besar, Nabi panutan kita yakni Nabiullah
Muhammad SAW., Semoga kita di catat sebagai ummatnya Aamiin Ya Allah.

Terima kasih kami ucapkan kepada Dosen pengampu Mata Kuliah Psikologi
Dakwah Ibu Dr.St. Rahmatiah, S.Ag., M.Sos.I. Yang telah memberikan dukungan
serta bimbingannya pada mata kuliah ini. Juga kepada teman-teman atas
kerjasamanya, serta beberapa pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu-persatu.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, bagi penulis sebagai penyusun merasa bahwa masih
banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman.

Gowa, 23 Maret 2023

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL ............................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 2
A. Sejarah Perkembangan Psikologi .......................................................................... 2
B. Sejarah Perkembangan Dakwah ........................................................................... 6
C. Pemikiran Ke Arah Psikologi Dakwah ................................................................. 10
BAB III KESIMPULAN ....................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Telah kita ketahui bersama bahwa sebenarnya tidak ada suatu ilmu
pengetahuan pun yang bersifat umum dalam arti tanpa berhubungan atau tanpa
mendapatkan bantuan dari ilmu pengetahuan lainnya. Sebenarnya, ilmu
pengetahuan-ilmu pengetahuan itu saling melengkapi, saling mengisi kekurangan-
kekurangan yang ada di dalamnya dan saling terkait satu dengan yang lainnya.
Dakwah merupakan ilmu yang berhubungan dengan kejiwaan manusia. Sehingga
dapat di katakan bahwa dakwah adalah ilmu yang di gunakan memahami gejala
kejiwaan mad'u khayalak agar bisa mendapat kan hasil yang efektif dan efesien.

Demikian pula halnya dengan Psikologi Dakwah. Psikologi Dakwah sebagai


gabungan dari Psikologi dan Dakwah yang masing-masing mempunya objek
pembahasan sendiri-sendiri yang berbeda. Secara operasional berdakwah
merupakan kegiatan mengajak dan mempengaruhi manusia, dengan lisan, tulisan
maupun dengan tingkah laku, baik individu, kelompok, maupun komunitas agar
timbul dari dalam diri mereka pengertian, kesadaran, sikap, penghayatan tanda dan
pengalaman beragama sebagaimana yang di harapkan pada paksaan dan tekanan
apapun dalam pandangan psikologi.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah perkembangan psikologi?

2. Bagaimana sejarah perkembangan dakwah?

3. Bagaimana Pemikiran Ke Arah Psikologi Dakwah?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah perkembangan psikologi


Psikologi mengalami sejarah perkembangan yang terus meningkat, dari
statusnya sebagai bagian dari fasilitas sampai mendaji ilmu pengetahuan yang yang
berdiri sendiri dengan kelengkapan kelengkapannyaa yang berupa sistem metode
serta objek studi ilmiah. Beberapa abad sebelum masehi para ahli pikir Yunani dan
Romawi Tah berusaha mengetahui hidup kejiwaan manusia dengan cara-cara yang
bersifat spekulatif. Pada zaman ini psikologi masih dalam ruang lingkup filsafat
para ahli menyebutnya filsafat rohaniah, karena Mereka berusaha memahami jiwa
melalui pemikiran filsofis merupakan bagian dari filsafat.
Pengetahuan tentang kehidupan rohaniah manusia pada awalnya hanya
berdasarkan pada pemikiran espekulatif saja, belum berdasarkan pada penelitian
ilmiah yang mendalam dan luas, sebagaimana yang di lakukan pada abad-abad
sesudahnya. Pada sebagaimana yang di lakukan pada abad-abad sesudahnya. Pada
zaman ini, kajian tentang jiwa di pengaruhi oleh cara-cara berpikir filsafat dan juga
berpengaruh oleh filsafatitun sendiri. Hal ini kemungkinan di sebabkan karena para
ahli ilmu jiwa pada masa ini adalah juga ahli filsafat atau ahli-ahli filsafat juga
adalah ahli tentang kejiwaan. Diantara para ahli pikir tersebut Plato (427-347 SM)
dan Aristoteles (384-322 SM). Dalam pandangan Plato di kenal dunia tempat
manusia hidup yang serba berubah dan biologis tidak tuntunan kebutuhan hidup
biologis sebagai makhluk hidup biologis sebagai makhluk individual dan
tutuntunan hidup.
Sosial sebagai makhluk sosial sempurna, dan dunia ide yang tidak berubah
sempurna dan bersifat kekal paham tentang dunia ide ini terkenal dengan aliran
idealisme dalam pandangan Plato kebenaran-kebenaran hak kebenaran hakiki tidak
bisa ditangkap indra yang hakiki menurut Plato adalah yang disebut idea yaitu cipta
bagi segala yang mau yang yang mau dialam ini ide hanya dapat dijangkau

2
manusia melalui pikiran dalam usaha mencapai ide tersebut manusia didorong oleh
kekuatan rohaninya yang disebut kehendak yang ingin kembali ke alam ide
tersebut.1
Jiwa dan tubuh adalah dua kenyataannya, berbeda jiwa adalah sesuatu yang
dikodrat yang berasal dari dunia ide dan bersifat kekal. Sedangkan tubuh dalam
pandangan Plato merupakan penjara bagi jiwa, agar jiwa terlepas dari penjaranya
maka manusia harus berusaha mendapatkan pengetahuan yang menjadikan
manusia dapat melihat ide-ide itu, di mana ide tertinggi dalam pandangan Plato
adalah Tuhan.
Menurut Plato jiwa memiliki tiga fungsi, fungsi rasional yang dihubungkan
dengan kebijaksanaan. Fungsi kehendak atau keberanian yang dihubungkan dengan
kegagahan / ketangkasan dan fungsi keinginan atau nafsu yang dihubungkan
dengan pengendalian diri kekuatan-kekuatan jiwa ini dikenal dengan istilah"
trikotomi "yaitu kekuatan pikiran yang terletak di kepala keberanian berada di
dada, dan keinginan yang terletak di perut. 2

Menurut Aristoteles jiwa memiliki dua kemampuan pokok yaitu kemampuan


berpikir dan kemampuan berkehendak yang disebut dikotomi. Jiwa dan tubuh
menurut Aristoteles adalah dua aspek dari Satu lain. Jiwa adalah hak pertama yang
paling asasi yang menyebabkan tubuhnya menjadi hidup. Jiwa adalah bahasa hidup
dalam arti seluasnya, yang menjadi segala hidup yang menggerakkan tubuh yang
memimpin segala perbuatan manusia untuk dapat mencapai tujuan.3
Dalam teorinya, Aristoteles menganggap bahwa makhluk yang dipandang
berjiwa yang hidup di alam ialah tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Masing-
masing mempunyai jiwa yang berbeda-beda tinggi rendahnya.
Pengertian kategorial dari jiwa makhluk tersebut menurut Aristoteles
adalalah sebagia berikut:
1. Anima vegetativa, yaitu suatu tingkat hidup tumbuh-tumbuhan dengan
fungsi terbatas pada makan dan berkembang-biak saja.
1
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat I, (Yogyakartat Kanisius, 1991), him. 42.
2
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, hlm. 32.
3
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat I, hlm. 50.

3
2. Anima sensitiva, yakni tingkat hidup kejiwaan dengan fungsi
pengindraan dan melaksanakan nafsu untuk bergerak/berbuat. Ini adalah
tingkat hidup kejiwaan pada binatang.
3. Anima intelektiva, yakni tingkat hidup manusiawi di mana fungsi
berpikir dan menghendaki merupakan kemampuan pokok rohaniahnya.

Pada abad XVlll, atau sebelum XIXI muncul berbagai aliran yang pada
umumnya terpengaruh oleh ilmu alam atau fisika sehingga metode sekualitif mulai
ditinggalkan. Hal ini jugalah yang membedakan corak psikologis sebelum abad
XVIII dan sesudah abad XVIII, atau antara aliran lama dan aliran modern dalam
psikologi.4

Perpindahan kajian psikologi yang bersifat notasi bersifat metafisik ke


psikologi yang lebih dipengaruhi oleh ilmu alam atau fisika menurut Yusuf Murad
dimulai ketika wolf, salah seorang murid leibniz menerbitkan bukunya yang
berjudul pshycology empirik pada sekitar paru ke dua dari abad XVIII dan XIX.5

Sejalan dengan dinamika hidup masyarakat untuk senantiasa mencari


pemuasan dalam segala aspek kehidupannya, maka pikiran manusia pun
mengalami perkembangan bertendensi ke arah pemuasan hidup ilmiahnya yang
semakin sempurna. Mulai zaman humanisme (aufklarung) sistem dan metode
berpikir manusia tidak lagi bersifat spekulatif, melainkan menuntut sistem dan
metode yang bersifat rasionalistis.

Diantara ahli pikir pada masa ini adalah Thomas Thomas aquinas dan Johan
locke. Dalam pandangan Thomas aquinas, manusia adalah satu kesatuan yang
berdiri sendiri yang terdiri dari bentuk (jiwanya) dan materi dalam kurung
(tubuhnya). Jiwalah yang memberikan perwujudan kepada tubuh sebagai materi.
Menurut Thomas aquinas, tiap perbuatan adalah perbuatan segenap pribadi
manusia, perbuatan "aku" sebagai kesatuan. jiwa memiliki lima daya jiwani yaitu

4
H.M. Arifin, Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Rohaniah Manusia, hlm. 36.
5
Yusuf Murad, Mabadi’Ilmal-Nafsal-Am’ (Kairo:Daral-Ma’årif, Cet.111,tt), hlm. 3-4.

4
daya jiwa vegetatif, daya sensitif, daya menggerakkan, daya berpikir, dan daya
untuk mengenal.6

Sedangkan Johan locke terkenal dengan teori "tabulae rasae" berpendapat;


bahwa pada hakikat manusia itu putih bersih seperti meja lilin yang masih lunak,
manusia akan menjadi seperti apa, tergantung pada masyarakatnya. Dengan
demikian, perkembangan jiwa manusia sejak lahir ditentukan oleh pengaruh dari
luar dirinya atau pengalaman-pengalaman yang diterimanya. Johan locke menolak
adanya kemampuan dari dalam atau bawaan pada manusia. Pada prinsipnya, teori
tersebut berpendapat bahwa berpandangan bahwa manusia dapat dibentuk diubah
melalui pengalaman-pengalaman, baik bersifat pedagogis maupun kultural.7

Mulai abad XVII lelah tampak pengaruh cara berpikir ilmu alam ke dalam
psikologi sejarah tidak langsung. Pada zaman ini perkembangan psikologi banyak
dipengaruhi oleh cara berpikir induktif dan deduktif terutama yang diterapkan
dalam ilmu pengetahuan. Adapun corak psikologi yang terpengaruh oleh ilmuwan
diantaranya, psikologi asosiasi psikologi sosial yang mempelajari hidup kejiwaan
manusia dari segi unsur-unsurnya. Metode yang dipergunakan dalam mempelajari
kejiwaan manusia adalah metode analisis sintesis (menganalisisi, menguraikan, dan
menyewakan atau memadukan). Menurut pandangan psikologi menurut pandangan
psikologi asosiasi jiwa adalah kumpulan dari tanggapan-tanggapan dan kumpulan
dari unsur-unsur kumpulan dari unsur-unsur gejala kejiwaan sebenarnya
merupakan persenyawaan dari elemen-elemen jiwa yang memiliki sifat-sifat yang
berlainan dengan sifat dari masing-masing elemen-elemen tersebut. Metode analitis
sintesis yang dipergunakan oleh psikologi asosiasi adalah metode dalam ilmu alam,
karena jiwa dianggap pasif, tidak memiliki kemampuan dari dalam yang dapat
bekerja sendiri.8

Psikologi asosiasi menolak adanya kemampuan pikiran sejak lahir.


Psikologis memandang bahwa lingkungan memegang peran penting dalam

6
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Hlm. 109.
7
Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 40.
8
H.M. Arifin, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 31.

5
menentukan tingkah laku manusia. Sejak permula abad XX psikologi makini
berkembang arah penggususan studi tentang aspek-aspek kehidupan jiwa manusia
yang masing-masing memiliki ciri khas yang membedakan satu dengan yang
lainnya adapun pengkhususan tersebut dapat dikemukakan dalam beberapa aliran
sebagai berikut.

a. psikoanalisi

Suatu tentang proses hidup kejiwaan manusia dari aspek bawah sadar
manusia salah satu tokoh aliran ini adalah Sigmund Freud dasar teori Freud tentang
ketidaksadaran adalah bahwa harapan yang tidak dapat diterima (yang dilarang
dihukum) pada masa kanak-kanak keluar dari kesadaran menjadi bagan
ketidaksadaran, di manalah hal tersebut dalam kurung walaupun keluar dari
kesadaran balas kurung tetap berpengaruh ketidaksadaran ini tertekan dan mencari
jalan keluarnya terjadilah dalam berbagai cara seperti mimpi, salah ucap dan
tindakan yang tidak disadari, bahkan gangguan kejiwaan.9 Lapisan bawah sadar
manusia dipandang sangat penting dalam proses kehidupan manusia baik sebagai
makhluk individual maupun makhluk sosial.

b. Psikologi individual (ilmu jiwa pribadi)

Psikologi individual adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa manusia dari
segi individualitas (pribadi). pribadi adalah kesatuan yang tidak dapat dipisah-
pisahkan bukan hanya bukan hanya mengenai tingkah lakunya yang dapat diamati
saja tetapi mencakup juga seluruh segi individu gratis termasuk sikap, sifat, watak,
dan temperamen manusia.10

Alfred Adle adalah tokoh aliran ini berpendapat bahwa hidup kejiwaan itu
adalah tidak statistik dinamis yang berpusat pada Setiap tujuan segala aktivitas
kejiwaan seperti berpikir, berkemauan, berbuat, dan sebagainya, itu bukanlah
merupakan akibat pengaruh faktor-faktor psikologis dari dari masa silam akan
tetapi oleh karena adanya tujuan titik setiap orang mempunyai cita-cita

9
Rita Atikson, et al., Introduction to Phychology, hlm. 439.
10
Ngali. Poerwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1984), hlm. 140.

6
menggerakkan perbuatannya, oleh karena itu, bila mana kita ingin mengetahui
makna dari manifestasi kejiwaan seseorang memakai lebih dahulu kita harus
mengetahui tujuan orang yang bersangkutan.

c. Konalitis

Suatu aliran ilmu jiwa yang berusaha mempelajari kehidupan jiwa Bmanusia
dari segi kesadaran dan ketidaksadaran. Kesadaran berkecenderungan kearah luar
yang disebut ekstraversi, sedangkan ketidaksadaran cenderung ke arah dalam yang
disebut introversi kedua sifat tersebut pada hakikatnya merupakan kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan karena terbentuk sejak lahir namun demikian, setiap
manusia memiliki watak atau kecenderungannya yang berbeda-beda sesuai dengan
kondisi kejiwaan yang terdapat dalam dirinya bilamana kesadaran yang lebih kuat
maka ia menjadi di ekstraver (mudah bergaul terbuka pada orang lain dan
sebagainya). Bila mana yang lebih kuat adalah ketidak sadarannya, maka ia
menjadi introvert yang berwatak tertutup pada dunia luar.

Tokoh aliran ini antara lain C.G. Jung, seorang penyakit jiwa Jerman di
Zurichd (192). Ia memisahkan diri dari aliran Freud dan membentuk teorinya
sendiri dalam buku psychologische Typen di mana ia membahas masalah struktur
kepribadian, struktur kesadaran, struktur ketidaksadaran, kompleks mimpi, bayang-
bayang, proyeksi dan lain-lain.11

B. Sejarah Perkembangan Dakwah

Para sarjana Islam, terutama para sejarawan berbeda pandangan dalam


menentukan titik awal dakwah Islam dimulai. Perbedaan pendapat ini tidak terlepas
dari pengertian tentang makna Islam itu sendiri. Mereka yang beranggapan bahwa
makna Islam adalah makna universal, maka dakwah Islam telah dimulai sejak
zaman Nabi Nuh AS. Namun jika Islam dalam maknanya yang spesifik adalah apa
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, maka dakwah Islam dimulai semenjak

11
H.M. Arifin, Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Rohaniah Manusia, hlm. 48.

7
diutusnya Nabi Muhammad SAW. Namun para sarjana Islam yang membahas
tentang sejarah dakwah, lebih cenderung membahasnya pada tataran Islam dengan
makna universal yang mencakup dakwah Nabi Nuh hingga Nabi Isa AS. 12

Sejarah dakwah dapat dibagi menjadi empat periode. Periode pertama,


tentang dakwah para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Periode kedua, masa
Nabi Muhammad SAW dan Khulafâ’al-Râsyidûn. Periode ketiga masa kekuasaan
dinasti Umayyah, Abasiyyah, dan Usmani. Periode keempat, masa modern.

a.) Periode Sebelum Nabi Muhammad SAW

Pada periode pertama, semenjak Nabi Nuh AS hingga Nabi Isa AS, para ahli
sejarah Islam sepakat bahwa mereka merupakan para Da’I utusan Allah yang
mengajak kepada ketauhidan (pengesaan Tuhan) serta memerangi kemusyrikan,
menyuruh kepada ketaatan, dan mencegah perbuatan maksiat. 13

Dakwah para nabi pada periode ini lebih bersifat lokal, di mana Para nabi
diutus hanya kepada kaum tertentu, sesuai dengan Kebutuhan dan kecenderungan
masing-masing kaum. Dalam menjalankan dakwah, para nabi dibekali dengan
kemampuan luar biasa yang disebut dengan mu’jizat sebagai legitimasi kebenaran
yang mereka bawa. Al-Qur’an juga menjelaskan tentang perjalanan dan metode
dakwah mereka, di samping kendala dan cobaan-cobaan yang dihadapi, serta
kesabaran dan istiqamah mereka dalam Menghadapi kaumnya.

Para rasul telah berdakwah dan menyeru manusia untuk mengesakan


(menauhidkan) Allah dan melarang mereka dari menyekutukan-Nya. Para nabi
telah menjelaskan hakikat tauhid itu dengan metode dan cara yang beraneka ragam,
antara lain dengan memerhatikan ayat-ayat kauniyat (tanda-tanda kekuasaan Allah
yang berkaitan dengan alam fisik), mengingatkan manusia akan nikmat dan

12
Mohammad Abûal-Futuhal-Bayånûni, al-Madkhalilâ ’Ilm alDa’wat, hlm. 14.
13
Muhammad Abual-Futuhal-Bayânuni, al-Madkhalila’Ilmal-Da’wat, hlm. 70.

8
karunia Allah, menjelaskan sifat-sifat kesempurnaan yang ada pada-Nya dengan
argumen-argumen yang logis, dengan membuat permisalan-permisalan atau dengan
merenungi diri manusia itu sendiri dan cakrawala alam semesta.

Dengan kata-kata yang bijaksana dan argumen yang benar itulah para rasul
menyampaikan dakwah kepada kaumnya. Tidak ada yang berbeda antara utusan
yang satu dengan yang lain. Mereka meyakinkan risalah dan kerasulannya dengan
menampakkan sikap jujur, karena setiap nabi dan rasul memiliki sifat itu.

Sebagaimana seorang nabi menampakkan kepada kaumnya sebagian


mukjizat dari sisi Tuhan untuk menguatkan kebenaran risalahnya, ia juga
mendatangkan berbagai bukti dan argumen yang lain. Apa yang dibawa berupa
kebenaran itu diturun kan dari Sisi Allah SWT. Dengan cara yang bijak, argumen
yang mantap, dan bukti yang nyata, agar benar-benar bisa diterima dengan lapang
dada oleh mad’u (objek dakwah) dan bukan karena paksaan. Jika mereka telah
beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan dalil-dalil naqli dan aqli (wahyu
dan logika), dan ketika keimanan itu telah meresap di hati mereka, maka para rasul
kemudian mengajak mereka untuk beriman kepada hari dibangkitkannya manusia
dari kubur. Karena hal itu termasuk masalah gaib yang tidak mungkin bisa dicapai
oleh akal kecuali setelah beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Iman pada rasul-
rasul Allah mengandung konsekuensi beriman terhadap apa yang mereka bawa.
Dan di antara yang terpenting dari yang mereka bawa adalah mengajak untuk
beriman kepada hari ba’ts (kebangkitan), hisab serta pembalasan. Oleh karena itu,
mengingkari adanya hari ba’ts sama dengan mengingkari apa yang dibawa oleh
para rasul.

b.) Periode Nabi Muhammad SAW dan Khulafâ al-Râsyddûn

Sejarah dakwah Nabi Muhammad SAW dapat dibagi menjadi dua fase, fase
Mekkah dan fase Madinah, fase Mekkah dimulai semenjak Rasulullah SAW
menerima wahyu pertama di gua Hira, dan dimulai dari kalangan tertentu dari

9
keluarga, saudara, dan kerabat terdekat beliau, seperti Khadijah, Abû Bakar, Ali
bin Abi Thâlib dan Zaid bin Hâritsat, kemudian diikuti oleh beberapa sahabat
lainnya, seperti Utsmân bin “Affân, Zubair bin al-‘Awâm, “Abd al-Rahman bin
‘Auf, dan lain-lain.14

Setelah tiga tahun lamanya Nabi Muhammad SAW berdakwah dengan


sembunyi-sembunyi (dakwat bi al-sir), maka Allah menurunkan perintah kepada
beliau untuk berdakwah dengan terang-terangan (dakwat bi al-jahr) dan
memperluas jangkauan dakwah.

Dakwah ini mendapat tantangan yang sangat keras terutama dari pamannya
Abu Lahab dan orang- orang Quraisy. Namun penghinaan dan siksaan yang
dilancarkan oleh orang-orang Quraisy tidak mampu menghentikan langkah Nabi
Muhammad SAW dan para pengikutnya.

Pada fase ini, Nabi Muhammad SAW melakukan beberapa langkah yang
dianggap sangat penting untuk kelanjutan dakwah Islam, di antaranya adalah
konsentrasi beliau terhadap pendidikan dan penyucian diri bagi mereka yang
menerima Islam (memeluk Islam) dengan jalan pembelajaran dan penerapan nilai-
nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari serta memperdalam arti solidaritas antar
sesama muslim.

Sedangkan fase Madinah dimulai ketika Nabi Muhammad SAW menerima


wahyu untuk berhijrah ke Madinah pada saat orang-orang Quraisy merencanakan
pembunuhan terhadap Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya. Fase
Madinah merupakan lembaran sejarah baru bagi nabi dan para pengikutnya dengan
semakin kuat dan bertambahnya umat Islam, baik secara kuantitas maupun
kualitas.

14
‘Abd al-Mâlik bin Hisvâm, Sirat an-Nabi, (Beirut: al-Maktabahal-Islâmi, Cet. Ill,1988), JilidI,
240246.

10
Pada fase ini, Rasulullah SAW masih tetap berkonsentrasi untuk
menyampaikan dakwah atau risalah İslam dengan jalan pembacaan ayat-ayat Al-
Qur’an, mengajarkan makna-makna Al Qur’an dan hukum-hukumnya, mendirikan
masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam, mempersaudarakan antara orang-orang
Muhajirin dan Anshar, menegakkan hukum-hukum syariat, dan lain-lain.15

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, dakwah diteruskan oleh Abu


Bakar yang menjabat selama dua tahun tiga bulan delapan hari, kemudian Umar
bin Khattâb yang menjabat selama sepuluh tahun enam setengah bulan kemudian
dilanjutkan oleh Utsman bin ‘ Affân yang menjabat selama dua belas tahun
kemudian Utsmân digantikan oleh Ali bin Abi Thâlib yang menjabat selama lima
tahun. Jadi masa Khulafâ al-Râsyidûn seperti yang diungkapkan oleh al-Suyuthi
berlanjut selama 30 tahun, yaitu dari semenjak wafatnya Rasulullah SAW pada
tahun kesepuluh Hijrah hingga terbunuhnya Ali bin Abi Thâlib pada tahun keempat
puluh Hijrah.16

Pada masa ini, aktivitas dakwah secara intern dilaksanakan dengan khotbah
dan diskusi-diskusi keagamaan, baik antar para sahabat ataupun dengan mereka
yang baru memeluk Islam (Muallaf). Secara ekstern, dakwah semakin menggeliat
dengan semakin luasnya daerah-daerah yang dikuasai oleh umat muslim terutama
pada masa khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affân,
sedangkan pada masa Ali bin Abi Thâlib laju dakwah agak tertahan karena
menghadapi gejolak politik yang terjadi antara beliau dengan ‘Aisyah dan
pendukungnya, serta dengan Mu’awiyah yang banyak memakan korban. 17

Pada masa Abû Bakar terjadi peperangan melawan orang orang murtad dan
orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat, serta memerangi Musailamah al-
Kazzâb (seseorang yang mengaku nabi). Pada masa ini juga Al-Qur’an untuk
pertama kali dikumpulkan sebagai reaksi dan ketakutan Abu Bakar dengan
15
Muhammad Abu al-Futuh al Bayanuni, al-Madkhal ila ‘Ilm al-Da’wat, hlm. 85-88.
16
Jalâl al-Din al-Suyutlii, Tarikh al-Khulafá, (Beirut: Dâr Sliadir, 1997 M/1417 H), hlm. 24-25.
17
Muhammad Abu al-Futuh al Bayanuni, al-Madkhal ila ‘Ilm al-Da’wat, hlm. 90.

11
meninggalnya sebagian besar para sahabat yang hafal Al-Qur’an dalam
peperangan.
Pada masa Umar bin Khattâb banyak daerah yang dapat ditaklukkan, di antaranya
Damaskus, Azerbijan, al-Ahwaz, Palestina (Bait al-Maqdis), dan lain-lain. Umar
juga adalah khalifah pertama kali yang mengumpulkan umat muslim untuk shalat
Tarawih berjamaah. 18
Secara umum, dakwah pada masa ini semakin bergairah, baik berupa
gerakan-gerakan keilmuwan ataupun pendidikan dan pembelajaran. Pada periode
ini Al-Qur’an dikumpulkan untuk pertama kali pada masa Abû Bakar dan
kemudian pada masa Utsmân bin Affân. Gerakan dakwah juga semakin luas
dengan banyaknya daerah yang telah dikuasai oleh umat Islam dan berbondong-
bondongnya orang yang ingin memeluk Islam dan menjadikannya sebagai
pedoman hidup, karena mereka melihat kebaikan di dalamnya.

c.) Periode Umayyah, ‘Abâsiyyah, dan Utsmâni

Periode ketiga adalah masa Dinasti Umayyah, Abâsiyyah, dan Utsmânî.


Periode ini dimulai dengan berdirinya Dinasti Bani Umayyah oleh Mu’awiyah bin
Abu Shafyân pada tahun keempat puluh Hijriyah hingga runtuhnya kekuasaan
Dinasti Utsmâni pada tahun 1343 H/1924 M. Pada periode ini dakwah Islam
semakin luas dengan semakin banyaknya daerah yang dapat ditaklukkan, seperti
Asia Kecil, Romawi, Afrika Utara, Andalusia, dan lain-lain.19

Pada masa ini para ulama ahli fiqh, tafsir, dan hadits dikirim ke daerah-
daerah yang telah ditaklukkan untuk menyebarkan dan menjelaskan agama Islam
dan ajaran-ajarannya untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari hari.
Demikian juga dibangun perpustakaan dan pusat-pusat ilmu pengetahuan yang
tersebar di berbagai tempat, seperti Mesir, Baghdad, dan Iran, pada periode ini,
ilmu-ilmu keislaman, seperti filsafat, teologi, hükum-hükum İslam, dan mistik

18
Jalal al-Din al-Suyûtlii, Tarikh al-Khulafá, (Beirut: Dâr Sliadir, 1997 M/1417 H), hlm. 159-160.
19
Sir Thamas W. Arnold, al-Da’wat ila al-Islâm, alih bahasa oleh Masan Ibrahim Hasan, et al,
(Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Mishriyyat, 1970), hlm, 25-26.

12
berkembang dengan pesat. Dalam bidang filsafat dikenal al-Kindi, al-Fârâbi, ibn
Sinâ. Dalam bidang teologi dikenal Imâm Hasan al-Asy’arî, al-Ghazâlî, dan lain-
lain. Dalam bidang hükum Islam dikenal Imâm Hanafi, Imâm Mâlik, Imâm Syafi’I,
dan Imâm İbn Hambal.

d.) Periode Zaman Modern


Sejarah dakwah adalah suatu proses yang mencakup segala aspek kehidupan
umat Islam lintas sosial kultural, dan geografis. Pada periode ini sebagian
sejarawan mengkaji sejarah dakwah berkaitan dengan aspek individu Da’I, seperti
sejarah dakwah Hasan al-Bannâ, al-Maudûdî dan lain-lain, sebagian lagi mengkaji
sejarah dakwah dari aspek pergerakan, seperti pergerakan Ikhwân al-Muslimûn di
Mesir, ada juga yang mengkaji sejarah dakwah dari aspek geografis, seperti sejarah
dakwah di Mesir, Indonesia, Afrika, dan lain-lain. Oleh karena itu, membahas
tentang sejarah dakwah Islam zaman modern merupakan bahasan yang sangat luas
sehingga tidak memungkinkan untuk melihatnya secara utuh.

Namun secara garis besar, proses dakwah pada periode ini baik yang berupa
penyampaian (tabligh) dan penyebaran Islam serta kegiatan belajar mengajar masih
tetap berjalan, walau pun proses dakwah mendapat tantangan dan rintangan,
apalagi setelah runtuhnya Dinasti Utsmânî yang merupakan simbol kekuatan Islam
dan terbagi-baginya daerah yang masuk ke dalam kedaulatan Islam menjadi
daerah-daerah kecil yang dikuasai oleh imperialis (penjajah). Pergerakan dakwah
pada periode ini juga mengambil bentuk yang bermacam-macam, ada yang
berdakwah secara personal, ada juga yang bergerak secara berkelompok yang
kemudian mengambil bentuk pergerakan dakwah berupa institusi formal dan non-
formal dalam bentuk pergerakan politik, pemikiran dan sosial dengan menerapkan
metode-metode yang sesuai dengan pergerakan masing-masing serta sarana-sarana
dan prasarana yang berbeda-beda.20

20
Muhammad Abu al-Futuh al Bayanuni, al-Madkhal ila ‘Ilm al-Da’wat, hlm. 91-95.

13
C. Pemikiran Ke Arah Psikologi Dakwah

Psikologi dakwah merupakan cabang pengetahuan baru yang merupakan


gabungan antara kajian psikologi dengan ilmu dakwah. Psikologi dakwah juga
pada hakikatnya merupakan bagian dari psikologi İslam. karena dalam psikologi
dakwah, landasan yang digunakan sama dengan yang digunakan dalam psikologi
Islami yaitu Al-Quran dan Hadis. Perkembangannya pun sejalan dengan
perkembangan pemikiran psikologi dalam Islam. Ilmu ini dirasakan perlu dalam
rangka mengefektifkan pelaksanaan dakwah dan memaksimalkan hasil dari
kegiatan dakwah. Di Indonesia, Ilmu ini dirintis oleh H. M. Arifin sekitar tahun
1990. Menurut beliau, pada hakikatnya psikologi dakwah merupakan landasan di
mana metodologi dakwah seharusnya dikembangkan.

Psikologi dakwah membantu para Da'i dan penerang agama memahami latar
belakang hidup naluriah manusia sebagai makhluk individual maupun sebagai
makhluk sosial. Dengan pemahaman tersebut Da'i akan mampu memperhitungkan,
mengendalikan serta mengarahkan perkembangan modernisasi masyarakat
berdasarkan pengaruh teknologi modern yang positif. Psikologi dakwah juga dapat
membantu para Da'i dalam menerangkan tingkah laku yang baik dan dalam
menerangkan manfaat-manfaat keimanan dan keberagamaan seseorang. Hal ini
seperti yang diungkapkan oleh Yusuf Qardhawi mengutip ungkapan psikiater
Amerika, Henry Lunk, dalam bukunya berjudul Kembali Kepada Iman sebagai
kumpulan pengalamannya mengobati 73.000 orang yang sakit jiwa. Beliau
menyimpulkan seperti berikut: "Orang yang berpegang teguh kepada agama, atau
selalu tekun beribadah, menikmati kepribadian yang jauh lebih kuat dan lebih baik
ketimbang orang yang tidak beragama, atau tidak suka beribadah".21 Filsuf
kenamaan Amerika, William James, juga pernah mengatakan: "Sesungguhnya
induk obat keguncangan jiwa pastilah iman (keyakinan). 22 Dengan psikologi
dakwah juga akan lebih memungkinkan seorang Da'i atau peneliti memahami
rahasia-rahasia hukum syara, sehingga dapat menjadikannya lebih yakin akan

21
Yusuf Qardhawi, Tsaqafat al-Da’iyat, alih bahasa oleh Nabhan Husein, Kritik dan Saran untuk
Para Da’i (Jakarta: I.I E.S.O, 1985), HLM. 185.
22
Yusuf Qardhawi, Tsaqafat al-Da’iyat, hlm. 185

14
kesempurnaan dan keadilan Allah SWT dan dapat menerangkan dan menetapkan
hukum-hukum dengan baik dan benar kepada masyarakatnya. Psikologi dakwah
juga dapat membantu Da'i untuk memahami keadaan jamaah atau masyarakatnya,
tentang minat maupun kadar pengaruh ajaran yang disampaikan kepada mereka.
Dengan memahami psikologi seorang Da'i akan bijaksana menetapkan materi
dakwah dan tingkatannya, dengan harapan tidak membosankan Mad'u.

Ada beberapa literatur yang diterbitkan di Indonesia menyangkut psikologi


dakwah, antara lain: H.M. Arifin dengan judul Psikologi Dakwah dan Achmad
Mubarok dengan judul yang sama. Namun tampaknya menjadikan psikologi
dakwah menjadi sebuah disiplin ilmu yang mapan masih membutuhkan kerja keras
mengingat masih jarangnya pemikir-pemikir yang bergelut di bidang ini. Dan
sebagai disiplin ilmu psikologi dakwah juga harus membangun teori detail tentang
manusia, metodologi dan penelitian psikologi dakwah, serta aplikasi ilmu.

15
BAB III

KESIMPULAN

Psikologi dakwah merupakan cabang pengetahuan baru yang merupakan


gabungan antara kajian psikologi dengan ilmu dakwah. Psikologi dakwah juga
pada hakikatnya merupakan bagian dari psikologi İslam, karena dalam psikologi
dakwah, landasan yang digunakan sama dengan yang digunakan dalam psikologi
Islam yaitu Al-Quran dan Hadist.

Sebelum seorang Da’i berdakwah maka hendaknya memperbaiki atau


membenahi psikis atau jiwanya terlebih dahulu. Psikologi dakwah membantu para
Da’i dan penerang agama memahami latar belakang hidup naluriah manusia
sebagai makhluk individual maupun sebagai makhluk sosial. Dengan pemahaman
tersebut Da’i akan mampu memperhitungkan, mengendalikan serta mengarahkan
perkembangan modernisasi masyarakat berdasarkan pengaruh teknologi modern
yang positif. Psikologi dakwah juga dapat membantu para Da’i dalam
menerangkan tingkah laku yang baik dan dalam menerangkan manfaat-manfaat
keimanan dan keberagamaan seseorang.

16
DAFTAR PUSTAKA

Faizah, Effendi Lalu Muchsin (2015). Psikologi Dakwah, Jakarta:


PRENADAMEDIA GROUP.

Hamid, A. ( 2015 ). Pengantar Studi Dakwah, Jakarta: Gema Amalia Press.

17

Anda mungkin juga menyukai