AGAMA-AGAMA
• Muh. Syahruddin
• Afidatul Asmar
• Zul Fajar
LATAR BELAKANG
Perenialisme atau filsafat perenial adalah salah satu filsafat yang penting
dalam rangka memahami kompleksitas agama-agama dan keterlibatannya
dalam berbagai persoalan kemanusiaan dewasa ini. Dalam bahasa Latin, kata
perenial disebut perennis yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Ingrris
dengan arti abadi, kekal, selama-lamanya atau bertahun-tahun. Makna ini
kemudian dikonstruksi menjadi filsafat perenial yang dapat diartikan sebagai
filsafat tentang nilai dan hakiki sebuah kebenaran yang abadi atau tentang
keabadian itu sendiri. Tegasnya, filsafat perenial lebih dekat dengan filsafat
tradisional daripada filsafat modern yang sudah terlalu banyak menurunkan
derajatnya dengan bergumul pada rasionalitas dan saintifik. Filsafat Perenial
dikategorikan sebagai cara pandang filsafat keagamaan yang bisa menjelaskan
segala problem dan kejadian yang memerlukan kearifan dalam menjalankan
dan memenuhi kewajiban hidup yang benar. Perenialisme adalah hakikat
paling mendalam dari agama-agama manusia
PARENIALISME AGAMA BERIMPLIKASI
Interpretasi terhadap ajaran agama dapat memberikan pemahaman yang lebih
01 mendalam tentang konsep religiusitas tertentu
02 Interpretasi yang dilakukan tidak menutup kemungkinan justru mencabut akar pemahaman yang
asli dari suatu agama.
Oleh karena itu, kesatuan agama-agama tidak terjalin pada ranah eksoterisme
(lahiriah). Inilah yang kerap disalahpahami oleh kalangan atau kelompok yang selalu
menkritik konsep pluralisme agama yang dipahaminya sebagai kesamaan atau
penyamaan agama-agama, termasuk dalam hal ajaran, syariat, atau ritualnya. Jadi,
yang menandaskan adanya kesatuan agama-agama itu “hanya” pada level esensi
atau subtansi ajaran, bukan pada level tata-cara ibadah, syariat, atau manhaj dalam
berteologi
Dari pemaparan ini harapan kita, secara metodologis, pandangan perennial
membawakan harapan segar di masa depan terhadap tradisi dialog antar-umat
beragama. Sebab, melalui metode ini diharapkan tidak saja sesama umat beragama
menemukan transcendent unity of religions, melainkan bahkan mendiskusikannya
secara lebih mendalam. Sehingga terbukalah kebenaran yang betul-betul benar. Dan
tersingkirlah kesesatan yang benar-benar sesat – meskipun tetap dalam lingkup langit
kearifan. Keduanya – kebenaran dan kesesatan – mungkin saja terjadi pada sikap kita
atau suatu kelompok tertentu yang seakan berada pada posisi paling atas sehingga
yang lain diklaim berada di bawah.
Kedua, walaupun cahaya memiliki daya terang yang beragam, tetapi semua
cahaya (juga agama) akan mengantarkan manusia pada Sumber Cahaya itu (yakni,
Tuhan), yang sekalipun ada yang tipis dan remang-remang. Sebab, jika ia terus
menelusuri cahaya itu, ia akan tetap sampai kepada Sumbernya. “Sampai pada
Sumber” inilah yang paling penting dalam agama. Karena itu, hakikat agama
adalah adanya sense of the absolute pada diri manusia, sehingga ia merasakan
terus-menerus adanya “Yang Absolut” pada dirinya. Kehadiran “Yang Absolut”
inilah yang senantiasa mengawal manusia berada dalam jalan “kebenaran”-Nya,
jalan suci yang diajarkan oleh semua agama.
Dari pemaparan ini harapan kita, secara metodologis, pandangan perennial
membawakan harapan segar di masa depan terhadap tradisi dialog antar-umat beragama.
Sebab, melalui metode ini diharapkan tidak saja sesama umat beragama
menemukan transcendent unity of religions, melainkan bahkan mendiskusikannya secara
lebih mendalam. Sehingga terbukalah kebenaran yang betul-betul benar. Dan
tersingkirlah kesesatan yang benar-benar sesat – meskipun tetap dalam lingkup langit
kearifan. Keduanya – kebenaran dan kesesatan – mungkin saja terjadi pada sikap kita
atau suatu kelompok tertentu yang seakan berada pada posisi paling atas sehingga yang
lain diklaim berada di bawah.