Anda di halaman 1dari 3

SPIRITUALISME TANPA AGAMA

Sebelum membahas tentang spiritualisme tanpa agama penulis akan menjabarkan apa definisi
spiritualisme terlebih dahulu Secara etimologi kata spiritulisme berasal dari kata “sprit” yang
berarti semangat, jiwa, sukma, dan roh. Kata spirit itu sendiri berasal dari kata Latin
“spiritus”, yang diantaranya berarti “roh, jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud tak berbadan,
nafas hidup, nyawa hidup.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “spiritualisme”
memiliki arti: 1) aliran filsafat yang mengutamakan kerohanian; 2) kepercayaan untuk
memanggil roh orang yang sudah meninggal; 3) spiritisme. Secara filosofis, istilah
Spiritualisme kadang digunakan sebagai sinonim idealisme. Dalam konteks agama,
adakalanya istilah ini mengacu kepada penjelmaan roh.
Spiritualitas menurut Ibn ‘Arabi adalah pengerahan segenap potensi rohaniyah dalam diri
manusia yang harus tunduk pada ketentuan syar’I dalam melihat segala macam bentuk
realitas baik dalam dunia empiris maupun dalam dunia kebatinan Beberapa penggunaan
pengertian dalam istilah spiritualisme adalah:
1. Dalam filsafat, spiritualisme merupakan gerakan reaksi melawan positivisme Comte
di Perancis abad ke-19. Gerakan ini dirintis sebagian besar oleh Victor Cousin
bersama dengan Royer Collard sebagai pendahulu.
2. 2. Istilah spiritulisme juga mengacu pada gerakan yang menaruh minat terhadap
hubungan dengan “roh-roh orang mati”, yang mulai di Amerika Serikat tahun 1849,
yang mendirikan pusatnya di Washington DC tahun 1893.
3. Di Italia, istilah ini mengacu pada gerakan abad ke-20 yang dikenal sebagai
spiritualisme Kristen yang berawal dari Gentile maupun eksistensialisme religius.
Ditinjau dari aspek metafisik, spiritualisme metafisik memuat beberapa pengertian:
1. Pandangan bahwa realitas terakhir yang mendasari (atau landasan realitas) adalah roh.
2. Pandangan bahwa yang ada hanyalah roh absolut (dan roh-roh terbatas seperti
manusia) dan semua lainnya merupakan produk roh absolut.
Lalu bagaimana dengan spiritualitas? Apakah berbeda dengan spiritualisme. Spiritualitas dan
spiritualisme adalah dua konsep yang terkait, namun memiliki perbedaan.
Spiritualitas adalah pengalaman individu dalam mengembangkan hubungan dengan hal-hal
yang bersifat spiritual atau transenden, seperti Tuhan, kehidupan setelah mati, alam semesta,
atau nilai-nilai yang lebih tinggi. Ini dapat melibatkan praktik seperti meditasi, doa,
kontemplasi, atau refleksi pribadi. Spiritualitas tidak selalu berhubungan dengan agama atau
kepercayaan tertentu, dan dapat ditemukan di berbagai budaya atau tradisi.
Sementara itu, spiritualisme adalah suatu kepercayaan pada adanya dunia roh atau
keberadaan entitas spiritual yang dapat berinteraksi dengan manusia dan mempengaruhi
kehidupan mereka. Spiritualisme biasanya terkait dengan agama atau kepercayaan tertentu,
seperti spiritualisme Kristen atau spiritualisme Hindu, dan sering melibatkan praktik seperti
doa, ritual, atau penggunaan medium untuk berkomunikasi dengan entitas spiritual.
Dengan demikian, perbedaan utama antara spiritualitas dan spiritualisme adalah bahwa
spiritualitas lebih fokus pada pengalaman individu dalam mencari makna dan hubungan
dengan yang transenden, sementara spiritualisme adalah kepercayaan pada adanya dunia roh
atau entitas spiritual tertentu yang dapat berinteraksi dengan manusia.
Dalam pengertian umum, istilah agama ini juga bisa dilihat dari pengertian terminologisnya,
yang seperti dijelaskan oleh Nasution (1985), memuat prinsip-prinsip berikut: Pertama,
pengakuan adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi; Kedua,
pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia; Ketiga, mengikat diri
pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di
Iuar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan manusia; Keempat, suatu sistem tingkah
laku (code of conduct) yang berasal dari kekuatan gaib; Kelima, kepercayaan kepada suatu
kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu; Keenam, pengakuan terhadap adanya
kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber dari suatu kekuatan gaib; Ketujuh, pemujaan
terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap
kekuatan misterius yang terdapat pada alam sekitar manusia; dan Kedelapan, ajaran-ajaran
yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul. Penjelasan Nasution
tersebut menunjukkan bahwa terdapat beberapa unsur penting dalam agama, yaitu: (1)
Kekuatan gaib. Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat kepada kekuatan gaib tersebut
sebagai tempat meminta tolong; (2) Keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia dan
hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan dengan kekuatan gaib dimaksud; (3)
Respon yang bersifat emosional dari manusia. Respon ini ditunjukkan juga dalam perilaku
dan atau tindakan-tindakan tertentu sebagai bentuk ketaatan di luar nalar; dan (4) Paham
adanya yang kudus atau suci. Keyakinan akan sesuatu yang bernilai kudus dari hal-hal yang
berkaitan dengan agama, seperti firman Tuhan dalam kitab suci, tempat-tempat ibadah
tertentu, kitab suci, ajaran-ajaran sakral, dan lainnya (Nasution, 1985). Agama memiliki peran
penting dalam kehidupan manusia. Hal ini tidak terlepas dari sifat dasar manusia dan
kecenderungan dalam dirinya yang umumnya mengakui adanya kekuatan lain di luar dirinya
yang menjadi sumber dan muasal kehidupan. Kekuatan inilah yang menjadi tempat kembali,
tempat manusia meletakkan harapan di tengah keputusasaan, tempat manusia menjamin
bahwa kebaikan yang dilakukannya akan mendapatkan ganjaran. Peran penting agama dalam
kehidupan manusia sepanjang sejarahnya ini oleh para ahli kemudian dirujuk sebagai fungsi
agama, yang mencakup hal-hal berikut: Pertama, agama memberikan keterangan untuk
menjawab berbagai pertanyaan yang eksistensial; Kedua, agama memberikan pengesahan
untuk menerima adanya kekuatan di dalam alam semesta yang mengendalikan dan menopang
tata susila serta tata sosial masyarakat; dan Ketiga, agama menambah kamapuan manusia
untuk menghadapi kelemahan hidupnya dan memberikan dukungan psikologis bagi dirinya
(Keesing, 1999). Dengan demikian, agama bagi manusia merupakan kekuatan yang dapat
menghantarkan dirinya untuk mencapai kesempurnaan dan memberikan penjelasan secara
menyeluruh tentang realitas kematian, penderitaan, tragedy serta segala sesuatu yang
berkaitan erat dengan makna hidupnya. Agama dalam praktiknya merupakan ungkapan
moral, yang didasarkan pada pengalaman dan pengamalan. Ajaran tanpa pengamalan, akan
membuat agama tidak memiliki nilai bagi manusia. Pengamalan semata tanpa adanya
pengalaman tertentu yang menghadirkan kebermaknaan agama dalam diri manusia, juga
dapat membuat agama hanya sebatas teks-teks tanpa makna. Dalam hal ini, pengalaman dan
pengamalan terhadap agama yang diyakini manusia, selalu bersifat individual. Persoalan
keyakinan teologis dalam agama merupakan persoalan personal. Namun demikian, keyakinan
ini dapat menjadi dasar untuk simbol dan identitas komunal yang membuat konflik keyakinan
bisa melibatkan komunitas dalam jumlah yang besar. Sifat personal dari keyakinan seseorang
terhadap ajaran agama ini dipengatuhi oleh reaksi manusia dan kondisi kejiwaannya. Dengan
kata lain, eksistensi agama sangat bergantung pada eksistensi manusianya.
Kemudian apa yang dimaksud spiritualisme tanpa agama?
Sejak beberapa dekade yang lalu di dunia Barat muncul gerakan SBNR (spiritual but not
religious). Nama lain yang sering dijadikan sinonim adalah SBNA (spiritual but not
affiliated). Berbagai ungkapan digunakan untuk menggambarkan pandangan ini. Yang paling
populer adalah “Saya percaya Tuhan, tetapi tidak beragama.” Di Indonesia sendiri isu ini
sempat santer melalui media sosial seorang selebritis yang bernama Angela Gilsha.
Bertumbuh dalam keluarga Kristen, Gilsha memutuskan untuk tidak beragama tetapi tetap
memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhan.
Walaupun ada keragaman dalam gerakan ini, ada elemen esensial yang menyatukan semua
penganutnya: spiritualitas bersifat personal, bukan institusional atau formal. Masing-masing
orang merasa berhak untuk membangun relasi dengan Allah sesuai dengan pemikiran dan
caranya sendiri-sendiri. Yang penting adalah kedekatan dengan Sang Pencipta.

Anda mungkin juga menyukai