Anda di halaman 1dari 4

BAB III Bentuk-Bentuk Primitif Agama

Pendahuluan

Fenomologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gelajala yang nampak
pada kesadaran kita. Dalam hal ini fenomenologi adalah suatu pendekatan filsafat yang
berpusat pada analisis terhadap gejala yang mendatangi kesadaran manusia1.

Fenomenologi agama merupakan salah satu model refleksi filosofis yang secara khusus
menyelidiki fenomena yang tampak dalam struktur-struktur dasar sebuah agama 2. Sebagai
salah satu model refleksi filosofis, fenomenologi agama berusaha menarik fakta dan
fenomena yang sama, yang dijumpai dalam agama-agama yang berlainan, mengumpulkan,
dan mempelajarinya secara saksama. Dengan demikian akan muncul struktur-struktur yang
kurang lebih sama, yang akan memperjelas hubungan satu sama lain. Struktur-strukur itu
sendiri dapat menolong kita menemukan hakekat atau esensi agama. Ketika menemukan
hakekat agama, kita akan berusaha untuk mencari makna hakiki dari setiap fenomena
keagamaan. Dengan adanya kemampuan untuk mencari makna dari setiap fenomena
keagamaan, kita diharapkan memiliki kemampuan untuk menghayati agama secara dewasa.

Pada bab ini membahas tentang bentuk primtif dari agama, kata “primitif” disini tidak
diartikan dengan leluhur, atau masalulu selayaknya apa yang disebut dan digunakan dalam
biologi evolusioner. Namun pengunaan kata primitif disini dipakai sebagai bentuk
pemahaman pada keagamaan sebelum manusia mengenal tulis menenulis. Animisme, pra-
animisme, manisme, fetisisime, totemisme, urmonoteisme sebagai fenomena keagamaan
manusia, sangat penting melihat dan memahami tetnatang keagamaan manusia sebelum
mengenal tulis menulis.

Penjelasan

` Pada bab ini kita melihat dan melakukan pendekatan melalui animisme, pra-
animisme, manisme, fetisisime, totemisme, urmonoteisme dan melihatnya sebagai bagian
dari fenomena keagamaan:

1. Animisme
            Animisme mempunyai dua arti. Pertama, suatu sistem kepercayaan dimana manusia
religius, khususnya manusia primitif, membubuhkan jiwa pada manusia, semua makhluk
1
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 2005, hal. 234.
2
Greco, Carlo SJ, /·HVSHULHQ]D5HOLJLRVD8Q,WLQHUDULDGL)LORVRILDGHOOD5HOLJLRQH, San Paolo,
Milan, 2004, hal.29.
hidup dan benda mati. Kedua, ide tentang jiwa manusia merupakan akibat dari pemikiran
mengenai beberapa pengalaman psikis, terutama mimpi, dan ide tentang makhluk berjiwa
merupakan tahap selanjutnya3. Sehingga susunan ini akan membentuk suatu perkembangan
kebudayaan. Animisme dapat didefinisikan sebagai kepercayaan pada makhluk-makhluk
adikodrati yang dipersonalisasikan. Manifestasinya adalah roh yang lebih Mahatinggi, roh
halus, roh leluhur, roh dalam objek-objek alam.
Sebgai fenomena religius animisme dapat dilihat ada dalam setiap agama, dan bersifat
universal, bukan hanya dimiliki oleh orang-orang primitif. Animesme dapat diantarka sebagai
bentuk kepercayaan terhadap makluk adikodrati yang dipersonalisasikan.
Diantara macam-macamnya roh, roh yang berhubungan dengan manusia, roh yang
berhubungan dengan objek-objek alamiah, roh yang berhubungan dengan kekuatan alam dan
roh-roh yang berhubungan kelompok-kelompok sosial. Kepercayaan kepada roh biasanya
termasuk suatu kebutuhan untuk menangkal kejahatan, menghilangkan musibah dan
menjamin kesejahteraan.   
2. Pra-Animisme dan Animatisme
            Animisme dapat dipahami dalam dua cara, sebagai kepercayaan atau sebagai teori
untuk menjelaskan asal-usul historis dari agama dalam konteks pemikiran evolusionis.
Sebagai suatu kepercayaan, animisme berarti bahwa suatu daya atau kekuatan supernatural
ada dalam diri pribadi tertentu, bunatang, objek tak berjiwa lainnya. Hakikat ini dianggap
bisa dipindahkan dari satu pribadi ke pribadi atau objek ke pribadi atau objek lain. Daya ini
bersifat adikodrati dan tak berpribadi, jadi bukan setan, jiwa, atau roh.
Fenomena hakikat adikodrati ini setiap suku primitif hampir mempunyai dengan
penyebutan yang berbeda-beda, seperti orenda, manitu, wakenda, mana, kami, dan wakan.
Konsepsi-konsepsi mengenai daya adikodrati membentuk suatu konstelasi tiga unsur konsep:
konsep personifikasi, impersonal dan efisiensi adikodrati(sebab mekanis atau kejadian
tertentu).      
3. Totemisme
Totemisme merupakan fenomena yang menunjuk kepada hubungan organisasional
khusus antara suatu suku bangsa atau klan suatu spesies tertentu dalam wilayah binatang atau
tetumbuhan. Hubungan ini diungkapkan sebgaian dalam upacara-upacara khusus dan
sebagian dalam aturan-aturan khusus seperti upacara perkawinan antarsuku. Mereka
menggunakan totem sebagai simbol kelompok sosial dan menganggapnya sebagai pelindung
kelompok secara keseluruhan. Fenimena ini mengandung perintah-perintah yang dijunjung
3
E.B Tylor, Primituve culture, I, hal 424-25
tinggi, seperti larangan membunuh atau makan daging binatang totem atau mengganggu
tanaman totem.
Totem-totem itu bisa menjadi suci hanya dengan melambangkan klan mereka.
Lambang totem mempunyai sifat kesucian melebihi binatang yang disimbolkannya. Dalam
tindakan dan upacara totem, kepentingan religius yang paling utama adalah pengaktualisasian
identitas antara totem dan kelompok. Toetemisme adalah perkembangan khusus dari relasi
yang lebih umum antara manusia dan jenis-jenis alam; merupakan sistem struktural yang
tidak saja menyatukan antarmanusia sendiri, tetapi juga dengan lingkungannya.             
4. Urmonoteisme
            Perkembangan agama yang melihat bahwa perkembangan agama bermula dari bentuk
yang paling sederhana, dari politeisme dan akhirnya monoteisme. Monoteisme ada dua,
eksplisit, yaitu kepercayaan hanya kepada satu Tuhan dengan mengecualikan semua Tuhan
lain dan implisit, yaitu kepercayaan akan satu Tuhan. Monoteisme eksplisit dalam sejarahnya
tidak lepas dari sejarah perkembangan tetomisme dan animisme. Setelah adanya penyatuan
beberapa Tuhan dan akhirnya mereka mempunyai kesepakatan tentang adanya Dzat yang
adikodrati.  
5. Pemujaan Terhadap Leluhur
            Pemujaan terhadap leluhur dapat dirumuskan sebagai suatu kumpulan sikap,
kepercayaan dan praktik berhubungan dengan pendewaan orang-orang yang sudah meninggal
dalam suatu komunitas, khususnya dalam hubungan kekeluargaan. Akan tetapi, ada banyak
kasus di mana orang mati tidak diilahikan, melainkan diannggap sebagai makhluk-makhluk
berkuasa yang kebutuhannya harus dipenuhi. Orang yang melakukan praktik ini mempunyai
anggapan bahwa orang yang sudah mati sebenarnya masih hidup dalam wujud yang efektif
dan bisa bercampur tangan dalam kehidupan manusia. Maka dari itu, anak keturunannya
harus memperhatikan atau mendoakannya.
            Pemujaan leluhur hanyalah satu bagian dari kompleksitas total kelembagaan religius
dan ritual masyarakat, dan hal ini bukan menunjukkan kerendahan peradaban mereka. Tetapi
lebih kepada penjagaan tradisi dan perintah agama. Dasar umum dari pemujaan ini adalah
struktur keluarga, pertalian keluarga, dan keturunan. Tanda khas dari leluhur adalah bahwa
mereka dilantik dengan hak dan autoritas mitis. Orang lain dapat bercampur tangan hanya
kalau mempunyai autoritas, yakni terhadap keturunan.
            Intinya, pemujaan kepada leluhur mempunyai beberapa aspek pengertian tergantung
kebudayaan setempat. Dalam agama islam dan kebudayaan jawa, pemujaan terhadap leluhur
merupakan penghormatan. Hal ini mereka yakini dan praktikkan berdasarkan perintah agama
dan pewarisan nilai-nilai keluarga. Perintah agama, karena kematian manusia hanyalah
kematian jasad atau badan. Roh atau nyawa manusia tetapi hidup dan akan menerima
pertanggung jawaban selama kehidupan mereka di dunia. Sedangkan pewarisan nilai-nilai
luhur keluarga adalah adanya ikatan batin yang terus-menerus saling menyambung. Ikatan ini
tidak hanya ikatan darah tetapi ikatan ilmu. Ikatan ini juga tidak terbatas oleh ruang dan
waktu. Keyakinan dan praktik ini tentu berbeda dengan keyakinan dan praktik yang ada di
daerah lain yang mempunyai kebudayaan berbeda dan agama yang berbeda.  

Kesimpulan Dan Refleksi

Setelah membaca bab ini, kita dapat melihat bagaimana bentuk agama “primitif”
mulai dari animesmi hingga kepercayaan terhadapa leluhur, dari berbagai kebudayaan yang
ada diberbagai belahan dunia, sehingga kita dapat menemukan suatu fakta atau peristiwa
yang dapat diamati secara objektif dengan menggunakan analisis deskriptif. Pembahasan
meliputi pemahaman agama melalui berbagai disiplin ilmu yang berbeda-beda, termasuk
pemahaman agama secara antropologi, sosiologi dan psikologi, hakekat dan pola hubungan
antar agama, dan hubungan agama dengan hal atau institusi lain.
Selain itu dalam memahami bentuk agama terdahulu kita dapat dan mampu
memahami tentang apa itu agama, mengapa aku harus beragama, dan bagaimana
penghayatan agama sehingga mampu membaur dan mengahargai orang lain. Pembelajaran
dan pengakajian terhadapa betuk agama seyogyanya mampu membuat kita menukan hakekat
dari agama itu seperti apa. Dan memahami agama bukan sebagai perbedaan dan alasan untuk
saling menyakiti satu sama lain, sebaliknya dengan mempelajari bentuk agama dan
melihatnya dengan sdutpandang fenomologi, seharusnya agama bentuk cinta kasih dan
kedamain antar tiap individu.

Anda mungkin juga menyukai