Anda di halaman 1dari 4

RESUME BUKU THE ELEMENTARY FORMS OF

THE RELIGIOUS LIFE (EMILE DURKHEIM)


BAB VII, halaman 281-327

Oleh: Siska Apriani (NIM. 193232015), Kelas 4A


Program Studi Antropologi Budaya, Fakultas Budaya dan Media, ISBI Bandung

BAB VII
ASAL-MUASAL KEPERCAYAAN INI (KESIMPULAN)

BAB VII berisi tentang kesimpulan dari pembahasan materi pada bab sebelumnya
mengenai kepercayaan Totemik. Kepercayaan Totemik merupakan suatu kepercayaan yang
mengambil bentuk dalam wujud binatang atau tumbuhan. Hal ini dapat dijadikan kepercayaan
bukan hanya berdasarkan pada perasaan saja, melainkan muncul dalam pikiran manusia itu
sendiri. Berkaitan dengan kepercayaan ini, totemisme menjadikan objek yang
direpresentasikannya hanya sebagai simbol dari sesuatu yang bersifat religious, bukan menjadi
tujuan dari penyembahan dalam kepercayaannya. Oleh karena itu dalam lambang dan simbol
totemisme harus ditemukan sumber religiusnya. Totem merupakan simbol yang dapat dilihat
dari dua sudut pandang, yaitu dianggap untuk mengekspresikan Tuhan dan marga (manusia,
binatang, dan hal lain). Dari sini muncul pertanyaan apakah Tuhan dan masyarakat merupakan
satu kesatuan yang sama? (masyarakat dalam konteks ini merupakan entitas mandiri yang
terlepas dari individual tau kumpulan individu)
Bagi anggotanya (aliran Fungsionalisme-struktural), masyarakat dianggap sama seperti
Tuhan. Pada awalnya Tuhan dianggap sebagai manusia superior yang berada di dalam dirinya
dan tempat untuk menggantungkan kepercayaannya. Para hamba percaya bahwa mereka terikat
dengan tata laku tertentu yang dititahkan oleh prinsip sakral kepada mereka. Berkaitan dengan
hal tersebut, masyarakat menuntut kita agar mematuhi aturan-aturan tingkah laku dan pikiran
yang sebenarnya tidak kita buat maupun butuhkan dan kadang bertentangan dengan keinginan
kita. Bukan karena dia bijaksana, tapi karena ada energi psikis tertentu yang intrinsik dalam
ide kita menyangkut orang tersebut yang mengarahkan kehendak kita untuk patuh. Ini juga
berkaitan dengan rasa respek kita terhadap sebuah perintah yang memang ditekankan kepada
seluruh anggotanya. Tata laku ini diterapkan secara luas oleh masyarakat dan mendapat
kekuatan dari representasi individual. Karena tekanan sosial dapat dirasakan melalui jaringan
mental, maka mereka akan selalu memberi manusia ide bahwa di luar dirinya terdapat satu atau
beberapa kekuatan moral yang sangat kuat, dimana dialah yang menjadi subjeknya.
Interpretasi mitologis tidak akan pernah ada jika manusia dapat melihat bahwa
pengaruh yang sebenarnya terjadi bersumber dari masyarakat. Akan tetapi orang awam tidak
mampu mengetahuinya, Akhirnya dia bergerak dan mengalir ke jaringan-jaringan kompleks
yang berbelit-belit hingga sulit untuk menemukan dari mana sumbernya. Selama manusia
belum benar-benar sadar akan sumber ini, maka dibuatlah saja ide-ide tentang kekuatan-
kekuatan ini yang berdasar hal-hal yang menurutnya ada sangkut pautnya dengan kekuatan
tersebut. Berkaitan dengan kekuatan, terdapat pula kekuatan lain yang tersembunyi dalam
teknik dan keterampilan yang kita gunakan sehari-hari dan di dalam segala macam tradisi,
misalnya bahasa dan perkakas yang merupakan kekayaan melimpah dari masyarakat,
walaupun kita sendiri tidak tahu dari mana asalnya kebudayaan tersebut datang. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa dalam kehidupan kita dipenuhi oleh kekuatan-kekuatan yang berkuasa dan
membantu, mulia, dan baik serta selalu bersentuhan dengan kita. Kehidupan yang demikian
telah membuat kita terbiasa dengan membiarkan kekuatan ini berada dalam diri kita.
Masyarakat tidak pernah berhenti untuk menciptakan hal-hal sakral yang baru, ini
dilakukannya untuk meyakini manusia sekaligus juga menjadikannya sebagai sarana untuk
mewujudkan kehendak tersebut, yang nantinya manusia akan didewakan padahal manusia itu
sendiri tidak memiliki kelebihan personal. Selain membaiat manusia, masyarakat juga
membaiat yang lainnya, termasuk ide-ide. Dengan melakukan hal demikian maka nilai
kesakralan tidak dapat diganggu gugat.
Dalam masyarakat Australia, kehidupan dibagi menjadi dua tahapan, yaitu fase
populasi masyarakat tersebar dalam kelompok-kelompok kecil yang mendiami wilayah
masing-masing secara independent dan fase populasi hidup bersama-sama yang terpusat pada
satu tempat selama beberapa waktu. Pemusatan ini terjadi saat sebuah marga diundang untuk
berkumpul bersama untuk mengadakan upacara religious (etnografis corroboree). Contoh
Totemisme dalam masyarakat Australia dapat terlihat dalam perayaan religious masyarakat
Warramunga yang berhubungan dengan ular Wollonqua. Perayaan atau upacara ini dilakukan
selama beberapa hari yang dilaksanakan pada malam hari hingga pagi buta dengan diselimuti
kegembiraan yang menegangkan. Ada juga upacara lain yang diadakan oleh suku Warramunga
dengan ritual-ritual api. Dari kedua perayaan religious itu mereka akan merasa dimiliki atau
dikuasi oleh kekuatan eksternal hingga akhirnya mereka dapat bertindak diluar kebiasaan dan
merasa bukan menjadi dirinya lagi. Dari keyakinan tersebut mereka percaya bahwa dalam
dirinya terdapat dua dunia yang tak sebanding yaitu berkaitan dengan menjalakan kehidupan
sehari-hari dan kehidupan yang sakral. Hal ini pula yang dianggap oleh masyarakat Australia
merupakan ide religious lahir. Masyarakat Australia dapat menyadari kekuatan-kekuatan ini
dalam bentuk totem karena diantara binatang atau tetumbuhan ada yang dijadikan nama dan
berfungsi sebagai lambang marga.
Prinsip dalam totemisme adalah kesakralan akan menular. Dalam hal ini misalnya
binatang yang dianggap sakral juga akan mempengaruhi kesakralan pada makanan yang
dimakan oleh binatang tersebut karena dianggap sebagai sumber dari darah dan dagingnya.
Lalu kesakralan ini juga berlanjut pada makhluk-makhluk yang mirip atau ada kaitannya
dengan binatang tersebut. Dari sini lahirlah sistem kosmologis yang tergambar dalam
klasifikasi primitif. Kepercayaan totemik selalu diselenggarakan dengan kebahagiaan dalam
bentuk nyanyian, tarian dan pertunjukan dramatis. Tidak ada dalam totem ini saling melukai
atau ritual-ritual kejam. Prinsip totemik dan kekuatan religious dapat menjadi sesuatu yang
eksternal dari tempat mereka berada atau bersemayam karena ide tentang kekuatan tersebut
muncul dari perasaan-perasaan dalam setiap individu yang dipancing oleh kolektivitas dan
diproyeksikan ke luar pikiran yang mencerap dan mengobjektifikasinya. Agar dapat
diobjektifikasi maka kekuatan tersebut harus melekat pada sesuatu yang kemudian menjadi
sakral.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, totemisme ini berkaitan dengan symbol dan
lambang. Lambang ini sendiri digunakan sebagai titik tempat terpusatnya jenis kelompok
apapun. Penggunaan lambang dan simbol akan menyebar dengan cepat setelah ide tersebut
lahir. Tanpa adanya simbol, eksistensi perasaan sosial tidak akan pernah stabil. Namun lama
kelamaan mengenai simbol ini akan perlahan kabur dalam pikiran manusia, ini sebabnya
diperlukan upaya dari manusia itu sendiri dengan bersama-sama mempertahankan dan
mengekalkan kesadaran tersebut.
Tato juga merupakan salah satu perlambangan dalam kehidupan sosial dan juga
memainkan peran penting dalam kepercayaan totem. Dalam beberapa bukti yang menunjukan
bahwa tato ini muncul sebagai tindakan otomatis, yang mana saat manusia hidup dalam sebuah
kebudayaan terbelakang mereka tergerak untuk melukis atau menggambarkan citraan-citraan
tertentu pada tubuh mereka yang akan mengingatkan mereka tentang kehidupan bersama yang
mereka jalani. Seperti misalnya orang-orang Kristen yang memiliki tato dengan ukiran nama
Kristus dan gambar salib. Pada masanya tato dianggap sebagai media ekspresif untuk
membubuhkan tanda tertentu yang sama satu sama lain dalam individu masing-masing. Dalam
hal ini, tato ini hanya dalam bentuk-bentuk tertentu seperti titik, garis, namun menyatakan
bahwa sejumlah individu tertentu memiliki kehidupan moral yang sama.
Penggunaan bentuk simbol dalam totem ini seringkali dikaitkan dengan binatang,
alasannya karena dalam perlambangan ini memerlukan subjek yang berasal dari hal-hal yang
sangat dekat dengan kehidupan manusia, dan binatanglah yang dianggap paling memenuhi
persyaratan ini, dan tetumbuhan berada diposisi kedua.
Ide-ide religious ini merupakan hasil dari sebab-sebab sosial yang jelas dan defenitif.
Karena marga tidak akan pernah ada tanpa sebuah nama dan lambang. Untuk ini diperlukan
adanya logical understanding untuk melakukan memahami secara logis. Logika ini sangat
diperlukan baik dalam pemikiran religious dan pemikiran ilmiah, bahkan tidak ada jurang
pemisah antara logika pemikiran religious dan logika pemikiran ilmiah. Walaupun elemen-
elemen ini berkembang dengan cara yang berlainan

Anda mungkin juga menyukai