Anda di halaman 1dari 9

Nama : Herni Rahmawati UAS : Teori Sosial Keagamaan (TSK) 2022

NIM : 20211409 Dosen Pengampu : Drs. Arison Sani, M.A.

Kelas/smt : IVB IAT

PENDAHULUAN

Sebuah ilmu yang mempelajari manusia menjadi sangat penting untuk memahami agama.
Melalui penelitian mendalam dengan pendekatan sosial Durkheim menemukan sebuah elemen
dasar agama seperti Yang Sakral dan Profan, Totem, Tabo, roh, arwah leluhur, sakramen,
pengorbanan, magis, ritual dan lain-lain, yang pada selanjutnya ia menyimpulkan bahwa
“keyakinan-keyakinan dan ritual agama adalah ekspresi-ekspresi simbolis dari kenyataan sosial”.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa asal-usul agama modern bertolah dari bentuk-bentuk dasar
agama klasik/primitif yang berevolusi menjadi agama-agama modern. Pandangan Durkheim
sakalipun cendrung simplistis, mennggeneralisir dalam perkembangan sosiologi dianggap
sebagai pembuka jalan bagi lahirnya teori-teori sosiologi agama lainnya.

Pada konteks kehidupan beragama sehari-hari, terkadang sulit untuk membedakan antara
sesuatu yang murni agama dan hasil pemikiran atau interpretasi dari agama. Sesuatu yang murni
agama, berarti berasal dari Tuhan, absolut dan mengandung nilai sakralitas. Hasil pemikiran
agama, berarti berasal dari selain Tuhan (manusia), bersifat temporal, berubah, dan tidak sakral.
Pada aspek realisasi, kadang mengalami kesulitan membedakan keduanya karena terjadi
tumpang-tindih dan terjadi pencampuradukan makna antara agama dengan pemikiran agama,
baik sangaja atau tidak. Perkembangan selanjutnya, hasil pemikiran agama kadang-kadang telah
berubah menjadi agama itu sendiri, sehingga ia disakralkan dan dianggap berdosa bagi yang
berusaha merubahnya. Apakah agama adalah kebudayaan atau agama bagian dari kebudayaan
ataukah dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang paling berharga dari seluruh
kehidupan sosial.

1
Untuk itu, perlu mencermati konsep Emile Durkheim tentang agama, sebab pandangan
agama baginya tidak lepas dari argumentasinya tentang agama sebagai juga bagian dari fakta
sosial. Selain itu, Emile Durkheim, telah melakukan riset dan refleksi tentang agama selama
lebih kurang sepuluh tahun dan telah menghasilkan pemikiran genius dalam bidang sosiologi
agama, sehingga ia menempati posisi penting dan dipandang sebagai tokoh penting “dalam
perkembangan sosiologi sebagai suatu disiplin akademik.”1

1. Teori asal usul agama dan hubungannya dengan hal yang sakral, profan, totem dan
tabu.

Pandangan Teori Asal -Usul Agama Émile Durkheim

Durkheim, mempunyai pandangan bahwa fakta sosial jauh lebih fundamental


dibandingkan dengan fakta individu. Tetapi individu sering disalahpahamkan ketika pengaruh
masyarakat yang begitu kuat terhadapnya dan dikesampingkan atau tidak diperhatikan dengan
teliti. Menurut Durkheim adalah sia-sia belaka apabila menganggap mampu memahami apa
sebenarnya individu itu hanya dengan mempertimbangkan faktor biologis, psikologis atau
kepentingan pribadinya. Seharusnya individu dijelaskan melalui masyarakat dan masyarakat
dijelaskan dalam konteks sosialnya.

Ide-ide pokok Durkheim terhadap agama, yakni : (1) bahwa agama primitif adalah
”kultus klan, (2) kultus adalah totemis, di mana totemis dan klan adalah merupakan bagian yang
secara alamiah saling terkait, (3) bahwa Tuhan marga adalah marga itu sendiri, dan
(4])totemisme merupakan bentuk yang paling dasar atau primitif serta merupakan bentuk yang
asli dari agama yang dikenal manusia, dengan maksud bahwa totemisme terdapat dalam
masyarakat dengan kultur material dan struktur sosial yang paling sederhana yang harus
dijelaskan tanpa meminjam elemen agama terdahulu. Pandangan Durkheim tersebut terpusat
pada klaimnya bahwa ”agama adalah sesuatu yang benar-benar bersifat sosial”. Menurut
Durkheim, bahwa ”fungsi sosial agama” tersebut ditemukannya melalui observasi terhadap
bentuk-bentuk kepercayaan yang paling awal yaitu ”totemisme”. Dalam kepercayaan totemik
tersebut terdapat ”ideide sosial dan keagamaan hanya hidup dalam kesadaran individu dan ide-

1
Peter Beliharz, Soscial Theory: A Guide to Central Thinkers, terj. Sigit Jatmiko, 2003, Teori-teori Sosial :
Observasi Kristis Terhadap Para Filosof Terkemuka, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003), hlm. 101.

2
ide tersebut perlu ditegaskan kembali melalui berbagai ritual agama agar hidup sosial terus
berlanjut. Peristiwa-peristiwa ritual yang dicermati oleh Durkheim, bukan sebagai peristiwa yang
melahirkan ide-ide tentang ”yang sakral”, tetapi sebagai suatu cara untuk mengukuhkan kembali
fakta sosial dan khususnya ide-ide tentang klan yang telah ada sebelumnya serta semua simbol-
simbol yang menyertainya. Dari pandangan Durkheim ini, dapat diketahui bahwa ritual-ritual
keagamaan tidak lain adalah merupakan ”suatu mekanisme primer” untuk mengekspresikan dan
menguatkan kembali sentimen dan solidaritas kelompok. Jadi seluruh pandangan Durkheim
tentang agama terpusat pada klaimnya bahwa ”agama adalah sesuatu yang amat bersifat sosial”.
Artinya, bahwa dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang paling berharga dari
seluruh kehidupan sosial. Dengan mengikuti pola profan dan sacral, agama melayani masyarakat
dengan menyediakan ide, ritual dan perasaanperasaan yang akan menuntun seseorang dalam
hidup bermasyarakat.2

Agama : Sakral dan Profan

Konsep Durkheim tentang agama, juga tidak terlepas dari argumentasinya tentang agama
sebagai bagian dari fakta sosial. Artinya, Durkheim mempunyai pandangan bahwa “fakta
social” jauh lebih fundamental dibandingkan dengan fakta individu. 3 Durkheim, mengatakan
agama primitif tampak lebih dapat membantu dalam menjelaskan hakikat religius manusia,
dibandingkan dengan bentuk agama lain yang datang setelahnya, sebab agama primitif mampu
memperlihatkan aspek kemanusiaan yang paling fundamental dan permanen. Selain itu
Durkheim menegaskan bahwa agama-agama primitif memenuhi kebutuhan yang sama,
memainkan peranan yang sama dan bertolak dari sebab yang sama dengan agama-agama
lainnya dan agama primitif mampu menjelaskan hakikat kehidupan religius dengan baik.

Karakteristik paling mendasar dari setiap kepercayaan agama bukanlah terletak pada
elemen-elemen supranatural melainkan terletak pada konsep tentang “yang sakral” (sacred),
dimana keduanya yaitu supranatural dan sacral, memiliki perbedaan yang mendasar. Menurut
Durkheim, seluruh keyakinan keagamaan manapun, baik yang sederhana maupun yang
kompleks, memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu memisahkan antara “yang sakral” dan
2
Emile Durkheim, Sejarah Agama, terj. Inyiak Ridhwan Muzir, (Ircisod, Yogyakarta, 2003)
3
Satrio Wahono, Berperang Demi Tuhan : Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi (Mizan &
Serambi Ilmu Semesta, Bandung, 2000), hal. 123

3
“yang profan”, yang selama ini dikenal dengan “natural” dan “supranatural”. Menurutnya hal-
hal yang bersifat “sakral” selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, yang dalam
kondisi normal hal-hal tersebut tidak tersentuh dan selalu dihormati. Hal-hal yang bersifat
“profan” merupakan bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja.

Durkheim mengatakan, konsentrasi utama agama terletak pada “yang sakral”, karena
memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota
masyarakat. Yang profan tidak memiliki pengaruh yang begitu besar dan hanya merupakan
refleksi keseharian dari setiap individu. Maka, Durkheim mengatakan bahwa dikotomi tentang
“yang sakral” dan “yang profan” hendaknya tidak diartikan sebagai sebuah konsep pembagian
moral, bahwa yang sakral sebagai “kebaikan” dan yang profane sebagai “keburukan”. Menurut
Durkheim, kebaikan dan keburukan sama-sama ada dalam “yang sakral” ataupun “yang profan”.
Hanya saja yang sakral tidak dapat berubah menjadi profan dan begitu pula sebaliknya yang
profan tidak dapat menjadi yang sakral. Dari definisi ini, konsentrasi utama agama terletak pada
hal yang sakral.4

Agama : Totemisme dan Tabu

Durkheim menyatakan, totenisme ini tidak lebih dari bentuk keyakinan agama atau
sekedar tipe lain dari agama yang selama ini diketahui sebagai bentuk pemujaan terhadap
binatang atau tumbuhan tertentu. Tetapi jika dicermati secara teliti, maka yang akan muncul
adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Artinya, para penganut kepercayaan totem tersebut
sebenarnya tidaklah sedang “memuja seekor binatang” ataupun “tumbuhan yang ukirannya” ada
di tengah-tengah mereka, akan tetapi mereka memuja suatu kekuatan yang “anonim” dan
“impersonal” yang dapat ditemukan dalam binatang-binatang tersebut, namun tidak dapat
disamakan dengannya binatang tersebut. Menurut Durkheim, dalam kepercayaan totem ini juga
terdapat Tuhan yang mereka sembah, namun Tuhan itu berbentuk impersonal artinya Tuhan
yang tanpa nama atau sejarah, imanen ke dalam dunia dan mengejawantah ke berbagai benda
yang ada di alam ini.5

4
Brian Morris, Antropologi Agama : Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer, (Yogyakarta : AK. Group,
2003), 140-141.
5
Emile Durkheim, The Elementary Forms..., 191

4
Dari pandangan ini, totem adalah symbol klan dan Tuhan sekaligus, karena klan dan
Tuhan pada dasarnya sama. Oleh karena itu, penyembahan terhadap Tuhan atau dewa-dewa
sebenarnya adalah bagaimana masyarakat primitive mengekspresikan dan memperkuat
kepercayaan mereka kepada klan.

Ritual dalam totemisme diwujudkan melalui pemujaan, di mana pemujaan terbagi


menjadi dua bentuk yakni ”negatif” dan ”positif”. Di samping itu, juga terdapat bentuk ketiga
yang disebut dengan piacular yang berarti penebusan dosa atau kesalahan. Posisi bentuk ketiga
berada diwilayah bentuk pemujaan yang pertama. Dengan demikian, tugas utama ritual-ritual
yang tergabung ke dalam pemujaan negatif adalah ”menjaga yang sakral agar selalu terpisah dari
yang profan”. Maka, pemujaan bentuk pertama ini biasanya berisis tentang ”larangan-larangan”
atau ”taboo”. Sedangkan pemujaan bentuk kedua ”merupakan ritual paling utama” bagi
masyarakat Australia adalah intichiuma, yakni ritual yang menggambarkan prosesi penyerahan
hidup manusia kepada Tuhan, kemudian tuhan memberikannya kembali kepada mereka.

2. Teori Solidaritas Sosial Emile Durkheim : Mekanik, Organik, dan Contohnya

Pada mulanya, gagasan ini muncul dalam The Division of Labour in Society. Pembagian
kerja pada masa lampau kurang diperhatikan. Masyarakat secara umum menjalani kehidupan
yang sama sehingga menghasilkan pengalaman yang sama. Beralih pada masyarakat yang lebih
kompleks dan maju, ada banyak aktivitas yang berbeda sehingga mereka tidak lagi mendapat
pengalaman yang sama. Hal inilah yang mengimplikasi perubahan dan perbedaan mendasar
dalam struktur masyarakat. Perubahan sosial merupakan proses sosial yang dialami oleh anggota
masyarakat serta semua unsur -unsur budaya dan sistem-sistem sosial, di mana semua tingkat
kehidupan masyarakat secara suka rela atau dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal
meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya, dan sistem sosial lama kemudian menyesuaikan diri
atau menggunakan pola-pola kehidupan budaya dan sistem sosial yang baru.6

6
https://www.kompasiana.com/gunawan25/5f5a0215d541df16b13dbfa2/konsep-solidaritas-mekanik-dan-
organik-dalam-masyarakat, Diakses pada Rabu, 4 April 2022 pukul:17.00 WIB.

5
Dua Solidaritas Sosial Mekanik dan Organik

Durkheim pun membagi dua jenis solidaritas yang terjadi akibat pembagian kerja yang di
Eropa dirasakan oleh penduduk kota akibat hegemoni industri. Menurut Durkheim ada 2 jenis
solidaritas yakni mekanik, dan organik. Berikut penjelasan mengenai 2 jenis solidaritas ala
Durkheim.7

Solidaritas Mekanik dan Contohnya

Solidaritas mekanik adalah kesadaran kolektif yang berlaku disuatu masyarakat yang
tanpa protes memenuhi sebuah aturan, norma, atau kepercayaan yang sama. Biasanya
berkembang di pedesaan yang masih kental akan nilai tradisionalitas. Penduduknya secara umum
memiliki suatu pekerjaan yang sama atau nyaris mirip-mirip. Solidaritas mekanik membuat suatu
komunitas masyarakat menjadi akrab dan erat. Sosiolog mengenal kata guyub atau rukun untuk
menyebut keakraban yang timbul oleh pelaku solidaritas mekanik. Di dalam masyarakat yang
menganut solidaritas mekanik sistem hukumnya bersifat represif (menekan, menindas). Misalnya
cemoohan dengan maksud mengkoersi perilaku seseorang agar kembali sesuai dengan aturan,
mengusir, memukul dan sebagainya.

Contoh :

1. Di pedesaan terdapat jadwal ronda yang harus dijalani setiap warganya bergantian. Hal ini
dimaksudkan untuk menjaga keamanan warga dimalam hari. Warga juga diwajibkan membayar
iuran untuk konsumsi peronda.

2. Seseorang yang mangkir berturut-turut tidak ronda akan diberikan teguran, atau sanksi
cemoohan dimasyarakat. Yang kemudian memaksanya untuk menebus kesalahan tersebut
selanjutnya.

3. Apabila menemukan maling, masyarakat lebih sering memukul atau menghakimi sendiri
(represif).

7
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

6
Solidaritas Organik dan Contohnya

George Ritzer menjelaskan dalam karyanya (2012) bahwa solidaritas organik lahir dari
perbedaan para anggota suatu komunitas, masyarakat, atau kelompok. Solidaritas organik terjadi
karena adanya tugas-tugas dan tanggung jawab yang berbeda. Spesialisasi atas aktivitas atau
pekerjaan ini menyebabkan pekerjaan yang relatif sempit atau kecil. Oleh karenanya ada
kemakmuran atau kewajaran dalam kelompok terhadap perilaku kelompok lainnya apabila
kurang mematuhi suatu aturan yang juga tidak terlalu mengikat. Masyarakat yang menganut
solidaritas organik banyak terjadi di perkotaan oleh karena kompleksitas kondisi yang
ada. Hukuman bagi pelanggar aturan lebih lunak dan bersifat restitutif. Biasanya hanya berupa
sanksi, denda, dan sebagainya. Hukuman tersebut dimaksudkan sebagai ganti rugi atas perbuatan
sehingga dapat dikatakan longgar pagi pelanggar.

Contoh :

1. Di perkotaan jenis pekerjaan kian kompleks dan beragam. Oleh karenanya masyarakat jarang
berkumpul. Kondisi tersebut menyebabkan pembagian tugas keamanan seperti ronda bisa tidak
teratur bahkan terkadang dilanggar. Konsumsi ronda pun secara umum dibeli oleh para peronda
sendiri, tidak dari iuran masyarakat.

2. Bagi yang tidak mengikuti ronda biasanya diberikan hukuman ganti rugi misalnya dengan
denda 50-100 ribu rupiah.

3. Meski ada kejadian penangkapan maling di perkotaan, tetapi main hakim sendiri tidak banyak
terjadi. Masyarakat lebih sukarela menyerahkannya ke petugas berwenang (polisi). Sanksi yang
diberikan bisa berupa pemenjaraan.8

3. Teori Bunuh Diri (suicide) Emile Durkheim

a. Bunuh Diri Egoistic

Adalah suatu tindak bunuh diri yang dilakukan seseorang karena merasa kepentingannya
sendiri lebih besar daripada kepentingan kesatuan sosialnya. Seseorang yang tidak mampu

8
Soedjati, Elizabeth Koes (2008). Solidaritas Dan Masalah Sosial Kelompok Waria (Tinjauan Tentang
Sosiologis Dunia Sosial Kaum Waria Di Kotamadya Bandung). Universitas Widyatama.

7
memenuhi peranan yang diharapkan (role expectation) di dalam role performance (perananan
dalam kehidupan sehari-hari), maka orang tersebut akan frustasi dan melakukan bunuh diri.

b. Bunuh Diri Altruistic

Orang melakukan bunuh diri karena merasa dirinya sebagai beban dalam masyarakat.
Contohnya adalah seorang istri yang melakukan bunuh diri yang telah ditinggal mati oleh
suaminya. Serta juga bunuh diri yang dilakukan oleh orang Jepang “hara kiri”, yaitu bunuh diri
yang dilakukan oleh anggota militer demi membela negaranya.

c. Bunuh Diri Anomic

Bunuh diri yang terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu dimana terjadi
ketidakjelasan norma-norma yang mengatur cara berpikir, bertindak dan merasa para anggota
masyarakat, gangguan itu mungkin membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya
control terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak akan pernah
puas terhadap kesenangan.9

Menurut Durkheim, suatu keadaan anomik dapat dilihat dari indikator ekonomi maupun
domestik. Analisa statistik Durkheim memperlihatkan bahwa krisis ekonomi membuat orang
kehilangan arah. Dalam keadaan seperti ini, ungkap Durkheim mereka harus beradaptasi dengan
kondisi yang menimpa mereka, kondisi yang sangat menyiksa; mereka membayangkan
penderitaan karena serba berkekurangan bahkan sebelum mereka mencoba kehidupan ini.

Pertumbuhan kemakmuran yang mendadak dalam masyarakat juga memiliki dampak


serupa terhadap peningkatan angka bunuh diri dalam masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang
mendadak membuat tatanan moral runtuh, sementara tatanan moral yang baru belum
berkembang untuk menggantikan tatanan moral sebelumnya. Misalnya seseorang karena
diberhentikan dari pekerjaannya kemudian memutuskan untuk bunuh diri.10

9
Emile Dukheim, (1897/1951), Suicide, New York: Free Press
10
https://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20313602-S43724-Bunur%20diri.pdf

8
DAFTAR PUSTAKA

Beliharz, Peter., Soscial Theory: A Guide to Central Thinkers, terj. Sigit Jatmiko, 2003, Teori-
teori Sosial : Observasi Kristis Terhadap Para Filosof Terkemuka, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.

Brian Morris, Antropologi Agama : Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer, (Yogyakarta : AK.
Group, 2003), 140-141.

Durkheim, Emile., Sosiologi dan Filsafat, alih bahasa Soedjono Dirdjosisworo, Jakarta:
Erlangga, 1991.

--------.,Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, terj. Lukas
Ginting, Jakarta, Erlangga, t.t,.

--------.,The Elementary Forms of the Religious Life, New York: Pree Press, 1995. terj. Inyak

https://www.kompasiana.com/gunawan25/5f5a0215d541df16b13dbfa2/konsep-solidaritas-
mekanik-dan-organik-dalam-masyarakat, Diakses pada Rabu, 4 April 2022 pukul:17.00
WIB.

Ridwan Muzir,Sejarah Agama, Ircsod, Yogyakarta, 2003.

Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Satrio Wahono, Berperang Demi Tuhan : Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi
(Mizan & Serambi Ilmu Semesta, Bandung, 2000), hal. 123

Soedjati, Elizabeth Koes (2008). Solidaritas Dan Masalah Sosial Kelompok Waria (Tinjauan
Tentang Sosiologis Dunia Sosial Kaum Waria Di Kotamadya Bandung). Universitas
Widyatama.

Anda mungkin juga menyukai