Anda di halaman 1dari 7

Resume

Identitas Buku :
Judul : Nine Theories of Religion
Penulis : Daniel L. Pals
Identitas Resebsator :
Nama : Almas Inti Kiasati
NIM : 21200011110
Jurusan : Ilmu Perpustakaan dan Informasi

Masyarakat Sebagai Yang Sakral


Emile Durkheim
Emile Durkheim mengerjakan suatu teori tentang agama yang revolusioner. Durkheim
memperjuangkan arti pokok dari masyarakat baik secara struktur, hubungan, dan institusi social
untuk memahami pemikiran dan perilaku manusia. Perspektif Durkheim berusaha melihat hampir
semua usaha besar kehidupan manusia baik hukum dan moralitas, kerja dan rekreasi, keluarga dan
kepribadian, sains dan seni, dan terutama agama. Durkheim merupakan salah satu ahli sosiologi,
sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat. Bagi Durkheim dalam menjelaskan agama, agama dan
masyarakat adalah tak dapat dipisahkan dan satu sama lainnya sangat dibutuhkan.
Ide Durkheim yang membahas mengenai masyarakat sebenranya bukan pemikiran murni dari
Durkheim sendiri, tetapi merupakan pengembangan dari tokoh-tokoh sebelumnya seperti, Comte
de Saint Simon seorang pemikir sosialis yang dalam tulisannya percaya bahwa kepemilikian
pribadi seharusnya diberikan kepada negara dan August Comte dengan revolusi peradaban. Dari
tulisan Comte, Durkheim menyadari bahwa penilaian kebutuhan manusia akan ikatan komunal
dan komitmen yang dalam terhadap analisis fenomena sosial secara ilmiah merupakan gagasan
yang evolusioner walaupun masih secara umum.
Pada saat Perancis mengalami revolusi besar yaitu revolusi industry yang bersifat ekonomi dan
revolusi perancis yang bersifat politik sangat mempengaruhi tatanan masyarakat dalam peradaban
kehidupan barat. Stabilitias yang telah dibuat oleh Eropa seperti pada pertanian, kelas-kelas sosial
yang sudah tertata, monarki dan aristokrasi, ikatan komunitas di desa dan kota kecil,mengalami
perubahan. Akibat revolusi tersebut beberapa jenis perubahan mulai muncul yang menyababkan
perpindahan masyarakat ke daerah pabrik dan kota-kota, bergesernya kekayaan dari tangan
bangsawan ke tangan para pengusaha, kekuasaan beralih kepada gerakan radikal dan peristriwa-
peristiwa lainnya agar masyarakat menjadi kacau dan pengingkaran yang dilakukan secara terang-
terangan. Durkheim melihata adanya 4 aspek atau pola dalam kondisi tersebut, yaitu
1. Sistem sosial masyarakat tradisonal Eropa yang dahulunya terikat dengan tali
kekeluargaan, keimanan agama, sekarang telah terganti dengan pola kontraktual/kontrak
sosial” dimana individualime dan kepentingan yang berhubungan dengan uang tampak
lebih berkuasa.
2. Dalam hal perilaku dan moral, nilai-nilai sakral dan keyakinan keagamaan yang didukung
oleh gereja ditantang oleh ide-ide baru yang menekankan rasionalitas dan keinginan untuk
hidup di dunia lebih tinggi dibandingkan keinginan untuk kehidupan di akhirat.
3. Dalam bidang politik, kemunculan demokrasi massa sebagai dasar masyarakat dan negara
sentral yang mengubah sifat control sosial. Dimana masyarakat sudah terlepas dari moral
lama, keluarga, desan dan gereja dan dibiarkan memilih partai politik, gerakan massa dan
negara.
4. Dalam urusan pribadi, kebebasan individu yang terlepas dari paradigma lama yang
mendatangkan banyak kesempatan dan resiko yang besar untuk mewujudkan peluang
kemakmuran dan akutualisasi diri yang lebih besar, namun ancaman yang membayangi
yaitu kesendirian dan isolasi pribadi.
Sosiologi dan Masyarakat
Menurut Durkheim bahwa sosiologilah yang mampu mengatasi gejolak yang ada pada masyarakat
secara ilmiah. Ada 2 prinsip fundamental dalam investigasi ilmiahnya yaitu : (1) sifat alami
masyarakat adalah objek penyelidikan sistematik yang paling cocok dan menjanjikan, kuhusnya
dalam sejarah ini, (2) semua fakta sosial harus diinvestigasi dengan metode-metode ilmiah yang
paling objektif.
Sistem kepemilikan pertama kali muncul bukanlah berdifat pribadi, melainkan komunal dan
berlandaskan pada sesuatu yang sakral. Masyarakat menganggap semua kepemilikan dikuasai oleh
pendeta atau orang-orang secara peibadi tapi oleh suku secara keseluruhan.
Hakikat Masyarakat
Kehidupan sosial telah membentuk corak yang paling mendasar dalam kebudayaan manusia
dimana seseorang bisa saja terjerumus ke dalam kesalahpahaman karena tidak mengindahkan
prinsip kekeluargaan, komunitas dan agama. Masyarakat pada masa lalu tercipta dari kesepakatan
antara dua orang invidu untuk bekerja sama. Namun cerita tersebut tidak dapat dibuktikan pada
zaman pra sejarah sekalipun. Seorang individu dilahirkan langsung mendapati kelompok-
kelompok, keluarga, suku, bangsa dan tumbuh di dalam kelompok tersebut. Bahasa, kebiasaan,
kepercayaan dan emosional tumbuh dan berkembang dari kerangka pandangan sosial semenjak
lahir ke dunia. Kontrak Kuno misalnya, selalu menggunakan dengan sumpah agama yang suci,
yang menunjukan bahwa perjanjian tersebut dibuat bukan hanya antara kedua belah pihak, tetapi
juga diikuti oleh para dewa. Perbedaan mendasar antara masyarakat purba dengan massyarakat
modern adalah usaha masyarakat purba unutk selalu mewujudkan kesatuan yang terlihat dalam
kecenderungan masyrakat purba yang selalu bergerak dalam “solidaritas mekanik”. Bagi
masyararkat modern, solidaritas mekanik mengalami perubahan bentuk karena terdapat
pembagian kerja. Selain itu, pandangan moral juga berubah karena moral tidak muncul di bawah
bayang-bayang hukuman, tetapi suatu kenyataan bahwa setiap orang bergantung pada orang lain.
Perubahaan konteks social ini tentunya telah merubah perubahan agama. Karena agama dan moral,
keduanya tak dapat dipisahkan dari kerangka social. Kita tidak dapat memiliki agama maupun
moral tanpa suatu konteks social, dan ketika konteks ini berubah maka berubaha pula agama dan
moralnya.
Studi Tentang Masyarakat Secara Ilmiah
The Rules of Sociological Method (1895) dalam buku tersebut, Durkheim menjelaskan bagaimana
sosiologi perlu dilihat sebagai sebuah sains independent yang objektif. Namun “sains” tentang
masyarakat disini dikatakan Durkheim bahwa fakta-fakta social, tak kurang dari batu dan kulit
kerrang, adalah sekumpulan fakta, Bahasa, hukum, adat kebiasaan, ide-ide, nilai, tradisi, Teknik,
dan produksi, semua ini berhubungan satu sama lain dan berada dalam cara yang eksternal bagi
pikiran manusia individual. Apabila fakta-fakta tersebut memang ada, maka memerlukan suatu
disiplin ilmiah untuk menjelaskan mengenai fakta social tersebut. Kita tidak dapat menjelaskan
suatu organisme yang hidup hanya dengan teori fisika dan kimia saja, kita juga memerlukan
biologi, sama halnya dengan masyarakat, kita tidak dapat menjelaskan masyarakat hanya dengan
teori biologi dan psikologi saja, tetapi kita juga memerlukan sosiologi. Sama seperti metode sains
yang lai, metode sosiologi juga perlu mengumpulkan bukti-bukti yang diikuti dengan
perbandingan, klasifikasi ke dalam kelompok, dan akhirnya Menyusun prinsip-prinsip umum, atau
kaidah-kaidah yang dapat diuji kebenarannya.
Pendekatan Durkheim terhadap Agama diantaranya ialah, Durkheim percaya bahwa terhadap
setiap masyarakat, kita dapat menentukan apa yang merupakan perilaku normal dan abnormal.
Perilaku normal selalu ditentukan dari dalam suatu kelompok, misalnya bunuh diri di Jepang
dianggap wajar, namun di Negara lain tidak. Jadi perilaku normal selalu bergantung pada
pandangan lingkungan sosialnya. Dan perilaku abnormal juga dipengaruhi oleh lingkungan
sosialnya.
The Elementary Forms of The Religion Life
Dalam buku tersebut, Durkheim ingin menemukan beberapa elemen-elemen dasar, seperti yang
mungkin dikatakan para ahli nuklir, mengenai pembentukan agama dengan mengesampingkan
semua cara berpikir yang biasa dan lazim. Sejak awal Durkheim mengklaim bahwa orang-orang
primitif secara normal tidak pernah berpikir tentang dua dunia yang berbeda, yaitu natural dan
supranatural seperti yang dipercayai oleh orang-orang beragama yang hidup dalam kebudayaan
modern. Orang-orang modern sangat dipengaruhi oleh asumsi dan kaidah-kaidah dasar dari sains,
sedangkan orang primitif tidak. Orang primitif cenderung menilai semua peristiwa baik mukjizat
atau biasa pada dasarnya sama. Konsep para dewa sendiri adalah sebuah masalah, karena tidak
semua orang mempercayai dewa. Durkheim mengamati bahwa karakteristik kepercayaan atau
ritual agama pada dasarnya bukan lah sesuatu yang supranatural, tetapi konsep tentang yang sakral
(The Sacred). Durkheim disini mengemukakan dua konsep yaitu yang sakral dan yang profan. Hal-
hal yang sakral selalu dianggap superior, berkuasa, terlarang dari hubungan normal, dan pantas
mendapatkan penghormatan tinggi. Sedangkan hal-hal yang profan sebaliknya, bersifat biasa, tak
menarik, dan merupakan kebiasaan praktis kehidupan sehari-hari. Agama merupakan sebuah
sistem terpadu dari kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral. Salah
satu contoh hal-hal yang sakral adalah komunitas gereja. Pada dasarnya yang sakral dan yang
profan dinilai berdasarkan kepentingan atau kesejahteraan seluruh umat dari suatu kelompok,
sedangkan yang profan dinilai dari kesejahteraan atau kepentingan individu saja bukan suatu
kelompok besar.
Teori-Teori Sebelumnya (Naturisme, Animisme)
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai teori Muller dan E.B Taylor tentang agama.
Dimana Muller beranggapan bahwa orang mempercayai dewa-dewa sebagai gambaran dari objek-
objek besar dan peristiwa alam, seprti matahari, bulan, langit, dan badai. Taylor, beranggapan
bahwa kepercayaan pada dewa-dewa berkembang dari ide tentang jiwa. Durkheim beranggapan
bahwa kedua pemikir ini sangat ambisius. Menurut Durkheim, jika kita sungguh-sungguh ingin
bersikap ilmiah terhadap agama, kita tidak dapat bersandar pada dugaan mengenai bagaimana
orang berpikir di masa awal sejarah. Sebaliknya, kita harus berusaha mencari “sebab-sebab yang
selalu hadir” hal-hal yang di segala zaman dan tempat mendorong orang-orang untuk percaya
terhadap agama. Suatu agama yang terkait dengan sistem social tersederhana mungkin dapat
dianggap sebagai “bentuk agama yang paling dasar, yang dapat kita kenali”.
Agama Suku Australia : Totemisme
Durkheim yakin bahwa menemukan satu peradaban asli dan sederhana dalam riset yang dilakukan
saat ini akan memberikan terobosan baru bagi pengetahuan. Maka dari itu Durkheim tertarik untuk
melakukan riset tentang penduduk asli Australia yang menurutnya para teoritis sebelumnya belum
berhasil memunculkan dan mengungkap apa sebenarnya makna totemisme. Mereka
menggambarkan bahwa masyarakat tribal dibagi menjadi beberapa klan dimana setiap klan
memiliki binatang, tumbuhan, atau benda lain. Tapi tidak berhasil memberikan jawaban kenapa
totem itu bisa menggambarkan konsep Yang Sakral dan Yang Profan dalam masyarakat. Ketidak
berhasilan tersebut terjadi karena para teoritis sebelum Durkheim berusaha menemukan suatu
bentuk agama yang lebih tua dari toteisme, karena bagi Durkheim itu tidak ada. Durkheim sendiri
berpendapat bahwa totemisme muncul di dalam masyarakat yang paling sederhana, meruoakan
bentuk agama yang paling awal, paling mendasar, dan sederhana, semua bentuk agama lainnya
dapat tumbuh dari toteisme.
Durkheim mengamati bahwa dalam masyarakat primitif, setiap binatang yang bukan totem
boleh diburu dan dimakan karena termasuk Yang Profan. Tapi, binatang yang dijadikan totem
bagian dari Yang Sakral tentu akan dilarang oleh anggota klan kecuali keadaan tertentu seperti
upacara agama dan binatang tersebut dijadikan kurban. Dan lambang atau simbol binatang totem
bukan hanya Yang Sakral tetapi merupakan perwujudan dan contoh sempurna dari Yang Sakral,
simbolnya berupa ukiran kayu atau batu yang diletakkan di tengah tempat upacara.
1. Totem adalah hal yang paling sakral dan mengkomunikasikan kesakralan itu kepada makhluk
yang ada disekelilingnya.
2. Kepercayaan Totemisme adalah yang paling penting dalam masyarakat yang sangat sederhana,
karena aspek kehidupan dipengaruhi oleh totem tersebut.
Durkheim berbicara akurat tentang prinsip totem, yang menjadi titik pusat seluruh kepercayaan
dan ritual klan. Menurut Durkehim, sebelum masyarakat meyakini Tuhan, terdapat sesuatu yang
lebih mendasar yaitu perasaan akan adanya sesuatu yaang impersonal, bukti-bukti yang ditemukan
tentang prinsip totem tidak terbatas di ustralia saja tetapi ditemukan dalam masyarakat tribal.
Orang Melanesia (mana), masyarakat Indian Amerika (wakan, manitou, dan orenda). Semua
mengandung ide yang sama yaitu kekuatan yang impersonal dan menjadi pusat kepercayaan klan.
Maka, jika ingin menerangkan agama harus menjelaskan lebih dalam daipada hanya
membicarakan kepercayaan terhadap Tuhan tapi perlu menjelaskan realita yang mendasar dari
agama tersebut, kita harus memperlihatkan yang sebenarnya dibalik penyembahan prinsip totem
tadi.

Dukheim merasa bahwa pemujaan terhadap totem merupakan pemujaan terhadap


masyarakat itu sendiri. Totem yang diukir pada kayu merupakan sebuah objek nyata yang
menyatakan bahwa sebuah klan atau kelompok tertentu yang menuntut kesetiaan. Kelompok ini
menggunakan binatang dan tumbuhan sebagai totem karena hal itu dekat dan tidak asing bagi
mereka. Tujuan totemisme adalah utnuk membuat sebuah ikatan pada generasi selanjutnya.

Dukheim beranggapan cult atau pemujaan merupakan inti peristiwa dari sebuah suku atau klan.
Dalam Pratik totem, cult terbagi menjadi dua bentuk negatif dan positif, namun ada “piaculan”
atau penebusan yang memiliki peran sampingan untuk kedua hal tersebut.

• Negatif : Tugas utamanya memelihara yang sakral agar selalu terpisah dari profan,
contohnya berisikan larangan atau taboo. Biasnya Taboo berlokasikan melindungi
beberapa tempat suci, seperti batu atau gua. Jika dihubungkan dengan sekarang maka
seperti gereja atau kuil yang sengaja dibangun di tanah yang sakral. Yang sakral dan yang
profane harus dicegah dari waktu yang bertuburakkan. Maka dari itu, kutus negatif
mentisikan beberapa hari suci utnuk perayaan suci. Contohnya hari Sabbath dan minggu
pada Yahudi dan Kristen. Dukheim mengatakan bahwa inilah mengapa pra asketis
menganggap penting pengingkaran diri secara ekstrem.
• Positif : Jika waktu dan tempatnya benar maka cara ritual dilakukan dalam bentuk positif.
Pada ritus intichium orang-orang Australia . Pada awal musim huja, orang-orang akan
melakukan upacara untuk mempromosikan totem mereka. Mereka memulai dengan
beberapa batu suci, kemudian datang suatu kegembiraan religius, di tengah-tengah ini
makhluk totem akan ditangkap dan dibunuh dan dimakan dalam hidangan yang sakral.
Dukheim menggambarkan pada ritus intichiuma para pemuja memeberi hidup pada dewa
mereka, dan dewa itu mengembalikannya pada mereka.

Pemuja totem, memakan totem, adalah suatu pernyataan kesetiaan pada klan. Memakan
totem ini seperti penegasan bahwa klan selalu memiliki arti lebih dari individu yang dinaunginya.
Jadi ritual totem meletakkan kita dalam posisi pada praktik agama menurut cara yang sama
terhadap penjelasan praktik agama oleh ide-ide totem.

Selain pemujaan negatif dan positif, ada juga pemujaan ketiga yang tidak kalah penting
yaitu ritual piacular. Ritual ini adalah ritual yang dilakukan untuk menebus kesalahan atau karena
duka cita, ritual ini dilakukan setelah kamtian seseorang atau telah terjadi bencana besar.
Kebudayaan disaat upacara kematian seperti meraung-raung atau memukul tubuh oleh keluarga
yang ditinggalkan tidaklah bersifat spontan atau muncul begitu saja. Tetapi bersifat agak formal
yang dilakukan oleh anggota klan, walaupun mereka tidak mengenal orang yang meninggal. Hal
ini dikarenakan bukan hanya keluarga saja yang merasa kehilangan tetapi seluruh klan juga
merasakannya, mereka juga merasa salah satu bagian kekuatan dari klan tersebut hilang. Pada saat
seperti ini yang diperlukan adalah menghidupkan Kembali kekuatan tersebut dengan diadakannya
ritual pemujaan.
Ritual piacular memeperlihatkan dua sisi kekuatan yang dimiliki oleh Yang Sakral,
kekuatan ini melambangkan kegelapan dan kejahatan atau melambangkan cahaya dan kebaikan.
Perayaan yang positif diadakan dengan penuh suka cita maka tidak dengan ritual piacular
dilakukan Ketika peristiwa duka cita, bencana atau yang lainnya. Seperti halnya Ketika kematian
John F. Kennedy yang tertembak, masyarakat Amerika merasakan dampak emosional peristiwa
tersebut secara nasional dan arak-arakan proses pemakan terlihat di sepanjang jalan. Jadi, apapun
yang dirasakan oleh masyarakat ritual agama pasti merefleksikan sekaligus memperkuat perasaan
tersebut.
Teori Durkheim beranggapan bahwa tak masalah dimanapun kita mnecari sebab-sebab
yang menentukan agama, karena sebab-sebab itu selalu bersifat sosial. Meskipun sulit untuk
mendeteksinya dalam agama-agama yang besar dan dominan, namun sebab-sebab itu jelas ada
dalam tradisi-tradisi kompleks sebagaimana dalam totemisme. Tujuan agama yang sebenarnya
menurut Durkheim bukanlah intelektual, tetapi sosial. Agama bertindak sebagai pembawa
sentiment sosial, memberi simbol dan ritual yang memungkinkan orang-orang mengungkapkan
ekspresi yang dalam, yang melabuhkan mereka pada komunitas mereka.
Analisis
1. Masyarakat dan Agama
Pandangan Durkheim dalam klaimnya “agama adalah sesuatu yang amat bersifat social”.
Dia menegaskan sebagai seorang individu memang memiliki pilihan dalam hidup, namun
pilihan tetap berada dalam kerangka social. Di setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang
paling berharga dalam kehidupan social. Karena telah telah menyediakan ide, ritual dan
perasaan yang akan menuntun seorang dalam hidup bermasyarakat.
2. Metode Ilmiah
Teori Emil Durkhem ini juga dipengaruhi oleh ide evolusi social. Dimana ia berasumsi
bahwa umat manusia bergerak dari yang sederhana menuju ke tahap yang lebih kompleks.
Seperti dalam buku The Elementary Forms ia megutamakan kepada satu masyarakat saja,
kemudian menelaah dan memperhatikan detail yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Setelah
itu dapat dilakukan perbandingan dengan masyarakat lain, dengan catatan masyarakat
pembanding memiliki tipe yang sama dengan masyarakat yang diamati.
3. Ritual dan Kepercayaan
Emil Durkhem memiliki pemikiran yang berlawanan dengan Tylor dan Frazer. Durkhem
lebih mengutamakan ritual keagamaan dibandingkan dengan intelektualisme. Karena bentuk
ritual kegamaan lebih fundamental dan yang melahirkan keyakinan. Dengan ritual ini
masyarakat diingatkan Kembali bahwa kepentingan kelompok lebih utama daripada keinginan
pribadi
4. Penjelasan Fungsional
Teori Durkheim menjelaskan agama secara fungsional, Durkheim menganggap hakikat
agama sebenarnya tidak ditemukan dalam permukaan namun juga dibawahnya, seperti yang
dipaparkan dalam penjelasakn totem Australia dimana ritual menciptakan sebuah renungan
kebutuhan sesuatu simbolis bentuk ide tentang jiwa-jiwa leluhur. Ide agama dapat dipertanyakan
namun ritual merupakan suatu serupa yang pasti terus bertahan untuk masyarakat yang tidak akan
mampu tanpa agama itu sendiri.
KRITIK
1. Asumsi
Definisi agama yang dikemukakan dalam koleksi The Elementary Forms dikatakan agama
bersal dari perbedaan dasar yang dibuat semua masyarakat antara yang sakral dengan yang
profan, sakral selalu dikaitkan dengan peristiwa sosial , dan profan berada pada posisi
pribadi. Durkheim membayangkan sakral sebagai sosial, bahwa gama tidaklah lebih dri
sekedar ekspresi kebutuhan sosial.
Durkheim mengatakan bahwa tidak boleh mendifinisikan agama sebagai kepercayaan
supranatural karna orang primitif didunia jelas relejius dan tidak memiliki konsep semacam
itu, bagi mereka semua peristiwa sama tidak didasari oleh supranatural yang terpisah dari
natural (alam), yang ada hanyalah sakral dan sosial.
2. Bukti
Sebagian besar laporan Durkheim telah dikumpulkan sebelum ia pernah melihat laporan
dari Australia, para kritikus bahkan sedang mempersoalkan keakuratan terhadap laporan
Durkheim yang dilakukan saat di Australia tersebut.
3. Reduksionisme
Menurut Durkheim tak diragukan lagi permukaan kepercayaan dan riual keagamaan sering
memenuhi tujuan sosial yang mungkin betul-betul tidak disadari oleh orang beriman itu
sendiri, Durkheim juga menyatakan bahwa masyarakat mampu menentukan dan agamalah
suatu yang ditentukan, Durkhei menegasakan masyarakat kuat membentuk ritual dan
kepercayaan agama, sementara kepercayaan agama tidak pernah melakukan hal
sebaliknya.

Anda mungkin juga menyukai