Latar Belakang
Emile Durkheim
Emile Durkheim lahir di Epinal, Perancis timur, tahun 1858. Ia adalah seorang pemeluk Katholik
meskipun ayahnya adalah seorang petinggi Yahudi, namun kemudian ia memilih untuk tidak tahu
menahu tentang Katholik. Ia lebih menaruh perhatian pada masalah moralitas, terutama moralitas
kolektif.
Durkheim terkenal sebagai sosiolog yang brilian dan memiliki latar belakang akademis dalam ilmu
sosiologis. Dengan mengikuti tradisi yang digariskan oleh Saint-Simon (1760-1825), Durkheim adalah
seorang murid yang ragu-ragu tetapi dari August Comte (1798-1857), perintis positivisme Perancis
yang menciptakan kata Sosiologi.
Pada usia 21 tahun ia masuk pendidikan di Ecole Normale Superiure. Dalam waktu singkat ia
membaca Renouvier, Neo Kantian yang sangat dipengaruhi pemikiran Saint Simon dan August
Comte, dan bahkan melahap karya-karya Comte sendiri. Disertasinya The Division of Labor in Society
yang diterbitkan tahun 1893 memaparkan konsep-konsep evolusi sejarah moral atau norma-norma
tertib sosial, serta menempatkan krisis moral yang hebat dalam masyarakat modern. Itu sebabnya,
disertasi itu menjadi karya klasik dalam tradisi sosiologi.
Emile Durkheim
Pemikiran Durkheim secara umum memberikan landasan dasar bagi konsep-konsep sosiologi melalui
kajian-kajiannya terhadap elemen-elemen pembentuk kohesi sosial, pembagian kerja dalam
masyarakat, implikasi dari formasi sosial baru yang melahirkan gejala anomie, dan nilai-nilai kolekltif,
termasuk juga tentang aksi dan interaksi individu dalam masyarakat. Inilah yang menjadi dasar
Durkheim mengembangkan sosiologi dalam bidang sosial keagamaan dan politik.
Dalam The Rule of Sociological Method ia berpendapat bahwa para teoretikus social memakai sikap
ilmuwan yang menngamati dengan mengambil jarak tanpa prasangka terhadap kenyataan social
yang tidak diketahui. Dalam bab pertama dari Rule ia mendefinisikan fakta sosial sebagai:
Menurut Durkheim bahwa fakta sosial merupakan kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal dan
memaksa individu. Studi tentang kekuatan dan struktur berkala luas ini misalnya, hukum yang
melembaga dan keyakinan moral bersama dan pengaruhnya terhadap individu menjadi sasaran
studi banyak teoritas sosiologi dikemudian hari (misalnya persons).
Dalam bukunya yang berjudul Suicide (1897/1951) Durkheim berpendapat bahwa bila ia dapat
menghubungkan perilaku individu seperti bunuh diri itu dengan sebab-sebab sosial (fakta sosial)
maka ia akan dapat menciptakan alasan meyakinkan tentang pentingnya disiplin sosiologi.
Menurut Durkheim bahwa fakta sosial memiliki karakteristik, pertama, gejala sosial bersifat
eksternal terhadap individu, misalnya bahasa, sistem moneter, norma-norma, profesional. Kedua,
bersifat memaksa individu. Dalam hal ini individu dipaksa, dibimbing, diyakini, didorong, atau
dengan cara tertentu dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Ketiga,
bersifat umum atau terbesar secara meluas dalam satu masyarakat. Dengan kata lain, fakta sosial itu
merupakan milik bersama; bukan sifat individu persorangan. Sifat umumnya ini bukan sekedar hasil
penjumlahan beberapa fakta sosial lainnya, anatara lain, angka perkawinan, angka bunuh diri, dan
angka mobilitas.
Dalam The Rule Of Sociolocal Method, Durkheim membedakan antara dua tipe fakta sosial: material
dan non-material. Meski ia membahas keduanya dalam karyanya, perhatian utamanya lebih tertuju
pada fakta sosial non material (misalnya kultur, instrusi sosial) ketimbang pada fakta sosial material
(birokrasi, hukum). Perhatiannya tertuju pada upaya membuat analisis komparatif mengenai apa
yang membuat masyarakat bisa dikatakan berada dalam keadaan primitif atau modern.
Durkheim menyimpulkan bahwa masyarakat primitif dipersatukan terutama oleh fakta sosial non-
material, khususnya oleh kuatnya ikatan moralitas bersama, atau oleh apa yang ia sebut sebagai
kesadaran kolektif yang kuat. Tetapi, karena kompleksitas masyarakat modern, kekuatan kesadaran
itu telah menurun. Dalam Les former elementaire de levie religieuse (bentuk-bentuk dasar
kehidupan religius). Dalam karyanya ini Durkheim membahas masyarakat primitif untuk menemukan
akar agama.
Durkheim yakin bahwa ia akan dapat secara lebih baik menemukan akar agama itu dengan
membandingkan masyarakat primitif yang sederhana ketimbang dalam masyarakat modern yang
kompleks. Temuannya adalah bahwa sumber agama adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakatlah
yang menentukan bahwa sesuatu itu bersifat sakral dan yang lainnya bersifat profan, khusnya dalam
kasus yang disebut tetomisme. Dalam agama primitif (totemisme) ini benda-benda seperti tumbuh-
tumbuhan dan binatang didewakan.
Selanjutnya totemisme dilihat sebagai tipe khusus fakta sosial nonmaterial, sebagai bentuk
kesadaran kolektif. Akhirnya Durkheim menyimpulkan bahwa masyarakat dan agama (atau lebih
umum lagi, kesatuan kolektif ) adalah satu sama. Agama adalah cara masyarakat memperlihatkan
dirinya sendiri dalam bentuk fakta sosial nonmaterial. Durkheim menyimpulkan bahwa :
Solidaritas menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan/atau kelompok yang
didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh
pengalaman emosional bersama. Ikatan ini lebih mendasar dari pada hubungan kontraktual yang
dibuat atas persetujuan rasional.
Merupakan hasil dari suatu tekanan yang berlebih-lebihan pada individualisme atau kurangnya
ikatan sosial yang cukup dengan kelompok sosial. Jadi orang protestan memiliki angka bunuh diri
yang lebih tinggi dari pada katolik, karena kepercayaan mereka mendorong invidualisme yang lebih
besar, dan ikatan komunal dalam gereja Protestan lebih lemah.
Sama halnya, orang-orang yang tidak kawin mempunyai angka bunuh diri yang lebih tinggi dari pada
orang yang sudah kawin: dan orang-orang yang kawin tanpa anak, mempunyai angka bunuh diri
yang lebih tinggi dari pada mereka yang menpunyai anak.
Merupakan hasil dari suatu integritas sosial yang terlampau kuat. Tingkat integrasi yang tinggi itu
menekan individualitas pada titik dimana individu kedudukannya sendiri. Sebaliknya, individu itu
diharapkan tunduk sepenuhnya terhadap kebutuhan-kebutuhan atau tuntutan-tuntutan kelompok
yang menempatkan setiap keinginan individu pada posisi lebih rendah yang mengurangi
kesejahteraan kelompok dan mengganggu kehidupannya.
Kalau tingkat solidaritas itu cukup tinggi, sang individu itu tidak kesal terhadap ketaatan pada
kelompok ini, malah sebaliknya merasa sangat puas dan mengorbankan diri untuk kebaikan
kelompok yang lebih besar.
Bunuh diri altruitik dapat merupakan hasil salah satu dari dua kondisi. Pertama, norma-norma
kelompok mungkin menuntun pengorbanan kehidupan-kehidupan individu. Sebagai contoh, bunuh
diri di kalangan pilot-pilot yang bertugas dalam Angkatan Udara Jepang selama perang Dunia II.
Kedua, norma-norma kelompok itu dapat menuntut pelaksanaan tugas-tugas yang begitu berat
untuk dapat dicapai sehinga individu-individu itu mengalami kegagalan walaupun sudah menunjukan
usaha yang paling optimal. Contohnya, para perwira militer yang menderita kekalahan mempunyai
angka bunuh diri yang tinggi, dan lebih tinggi dalam kenyataanya tidak dapat dibandingkan dengan
serdadu-serdadu bawahannya, karena identifikasi mereka dengan kemiliteran.
Bunuh diri Anomik
Muncul dari tidak adanya pengaturan bagi tujuan dan aspirasi individu. Dalam kondisi yang normal
dan stabil keinginan individu. Dalam kondisi yang normal dan stabil keinginan individu dijamin oleh
norma-norma yang sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang umum. Norma-norma pengatur ini
mejamin bahwa keinginan individu dan aspirasinya pada umumnya sebanding dengan alat-alat yang
tersedia.
Karena itu, individu berjuang untuk dan menerima imbalan yang sesuai seperti diharapkanya. Kalau
norma-norma pengatur ini tidak berdaya lagi, maka akibatnya adalah bahwa keinginan individu tidak
dapat dipenuhi lagi; keinginan ini lalu meledak di luar kemungkinan untuk mencapainya, dan idividu
itu terus-menerus mengalami frustasi. Contoh, krisis ekonomi.
Bunuh diri Fatalistik (Bunuh diri yang dilakukan seseorang karena adanya kondisi yang sangat
tertekan, dengan adanya aturan, norma, keyakinan dan nilai-nilai dalam menjalani interaksi sosial
sehingga orang tersebut kehilangan kebebasan dalam hubungan sosial tersebut).
Kebalikan dari Anomik, ketika seseorang terlalu diatur, ketika masa depan mereka tanpa ampun
diblokir dan nafsu kekerasan tersedak oleh disiplin menindas. Hal ini terjadi dalam masyarakat
terlalu menindas, menyebabkan orang lebih memilih untuk mati daripada melakukan hidup dalam
masyarakat mereka. Ini adalah alasan yang sangat langka bagi orang untuk mengambil kehidupan
mereka sendiri, tetapi contoh yang baik akan berada dalam penjara, beberapa orang mungkin lebih
memilih untuk mati daripada hidup di penjara dengan penyalahgunaan konstan dan peraturan yang
berlebihan melarang mereka mengejar keinginan mereka,
Durkheim adalah sebuah contoh ekstrem tentang sorang teoretikus holistis. Karena itu tampaknya
menyesatkan berusaha memisahkan teorinya tentang kodrat manusia dari teorinya tentang
masyarakat. Tetapi fakta bahwa Durkheim berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang jelas bersifat
manusiawi - seperti bahasa imoralitas, agama, dan kegiatan ekonomis – dapat diberi ciri oleh dan
tergantung pada masyarakat, tak lebih banyak menghalanginya untuk memiliki sebuah teori tentang
manusia daripada dalil-dalil individulistis Hobbes menghalanginya untuk memiliki teori tentang
masyarakat.
Memang persis karena tekanan Durkheim bahwa betapa sedikitnya individu sebagai bahan mentah
yang dapat dibentuk oleh pengaruh kehidupan kelompok dapat melampaui masyarakat, dia dapat
membahas faktor-faktor social lebih banyak daripada faktor individual dalam penjelasan-
penjelasannya tentang tingkah laku manusia.
Barangkali cara terbaik untuk melukiskan teori Durkheim mengenai kodrat manusia adalah dengan
mengikuti gagasan-gagasan Hobbes yang mengatakan manusia adalah seberkas penginderaan-
penginderaan, refleks-refleks dan naluri-naluri, tetapi dengan dua modifikasi: pertama, individu pada
dirinya tanpa rasio, dan kedua, mannusia tidak pola nafsu yang tetap yang mau tak mau dan niscaya
terarah menuju tujuan-tujuan khusus seperti pemeliharaan diri dan kejayaan.
Jadi dalam individu tak ada apa-apa dengan rasio atau naluri untuk membatasi cakupan dan
jangkakuan nafsunya. Durkheim memandang kodrat manusia sebagai sebuah abstraksi yang hamper
total dari tingkah laku manusia-manusia actual dalam actual dalam situasi-situasi real. Secara
metodologis “individu”, bagi Durkheim, adalah sebuah kategori residual dimana dia hanya
menempatkan apa yang ditinggalkan sesudah ia mengambil semua yang dikenakaan kepada
kehidupan manusia oleh masyarakat.
SHARE :
FACEBOOK TWITTER GOOGLE+ LINTASME
PREVIOUS
NEXT
Related Post:
HAJI OEMAR SAID (HOS) TJOKROAMINOTO
Hamzah Fansuri
Sosialisme Islam Tjokroaminoto
Syamsuddin as-Sumatrani
G 30 S/PKI
2 Komentar untuk "Biografi dan Pemikiran Emile Durkheim"
Balas
miao sai
FEBRUARY 20, 2019 AT 6:40 AM
AJOQQ menyediakan 8 permainan yang terdiri dari :
Poker,Domino99 ,BandarQ,BandarPoker,Capsa,AduQ,Sakong,Bandar66 ( NEW GAME )
Ayo segera bergabung bersama kami di AJOQQ :)
Bonus : Rollingan 0.3% dan Referral 20% :)
Balas
Sejarah Masjid Masjid adalah bangunan yang sangat di keramatkan oleh seluruh umat Islam
di seluruh dunia, karena dalam syariat Islam ma...
Partai Komunis Indonesia Partai Komunis Indonesia (PKI) didirikan dalam gelombang
pertama perjuangan anti Belanda. Pada awal tahun 20-...
Latar Belakang Emile Durkheim Emile Durkheim lahir di Epinal, Perancis timur, tahun 1858.
Ia adalah seorang pemeluk Katholik meski...
Pada mulanya Sarekat Islam adalah sebuah perkumpulan para pedagang yang bernama
Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada tahun 1911, SDI didiri...
BLOG ARCHIVE
April 2017 (1)
February 2016 (8)
January 2016 (4)
December 2015 (5)
November 2015 (5)
October 2015 (4)
September 2015 (2)
August 2015 (7)
LABEL
Masa Dinasti
Peradaban Islam
Sejarah Islam
Sejarah Islam Indonesia
Sejarah Politik Indonesia
Tokoh Sejarah