Anda di halaman 1dari 14

Tugas Mata Kuliah

Hubungan antar Kelompok dan Konflik


KELOMPOK 4
“Lewis A. Coser”

Disusun Oleh:
Muh. Alief Fahry E031191014
Rahmatia E031191024
Anita Kartika Bazighoh E031191052
Junianti Camelia Sonna E031191054
A. Annisa Lutfiah Rimaisya E031191056
Fauzan E031191072
Andi Annisa Hermansyah E031191073
Feby Awaliyah E031201025
Dinaara Febrilda Aqilah E031201031
Nur Alif E031201034
Muh. Fathan Halim E031201050
Fahrum Rya Syam E031201053

DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa karena telah memberikan nikmat
berupa kesehatan dan kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
makalah ini dengan tepat waktu. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada
dosen pembimbing pada mata kuliah yang telah membimbing dalam perkuliahan
meskipun perkuliahan masih dilakukan secara daring hingga saat ini. Selain untuk
memenuhi tugas pada mata kuliah Hubungan antar Kelompok dan Konflik, makalah
yang berisi pembahasan mengenai pemikiran salah satu tokoh dalam teori konflik,
yakni Lowes Coser ini juga memberikan penjelasan mengenai biografi, latar
belakang pemikiran, hingga bagaimana konflik dilihat menurut asumsinya. Selain
itu, pemikirannya mengenai konflik juga digambarkan dengan contoh berupa
fenomena terkait. Dengan demikian, penulis berharap penulisan ini dapat memberi
pemahaman mendalam terhadap para pembaca terkait pemikiran tokoh tersebut.

Sebagai penyusun makalah, kami menyadari bahwa masih terdapat banyak


kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kami menerima segala
kritikan dan saran yang bersifat membangun dari para pembaaca guna
penyempurnaan penulisan pada makalah selanjutnya.

Makassar, 25 Februari 2021

Penulis

Kelompok 4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... 2

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 4

A. Latar Belakang ........................................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 5

C. Tujuan ........................................................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................... 6

A. Biografi Lewis A. Coser ............................................................................................. 6

B. Pemikiran Teori Konflik Lewis A. Coser .................................................................... 7

1. Latar Belakang Munculnya Teori Fungsional Konflik ............................................. 7

2. Pemikiran Teori Fungsional Konflik Lewis A. Coser .............................................. 7

3. Penyelesaian Konflik menurut Lewis A. Coser ...................................................... 11

C. Contoh Kasus ........................................................................................................... 11

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 13

A. Kesimpulan .............................................................................................................. 13

B. Saran ........................................................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 14


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sosiologi sebagai disiplin ilmu tak bisa lepas dari kajian mengenai pola perilaku
manusia dalam bermasyarakat. Sosiologi juga begitu lekat hubungannya dengan
proses-proses sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dalam ilmu sosiologi, kita tidak
hanya berbicara mengenai bagaimana seorang individiu berinteraksi dengan individu
lain ataupun bagaimana individu berinteraksi dengan kelompok, melainkan juga
terkait bagaimana kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat saling
berinteraksi. Dalam proses tersebut, akan terjadi berbagai dinamika dalam suatu
hubungan antarkelompok yang ada. Konflik dapat dilihat sebagai salah satu bentuk
dinamika dalam hubungan antarkelompok yang disebabkan oleh berbagai macam
faktor. Konflik merupakan salah satu teori dalam sosiologi yang identik dengan
adanya sikap oposisi atau berseberangan antara masing-masing pihak yang sedang
berkonflik. Teori konflik dapat dilihat sebagai suatu perkembangan yang terjadi
terkait dengan, setidaknya bagian, fungsionalisme struktural dan merupakan hasil
dari banyaknya kritik yang didiskusikan sebelumnya (Ritzer, 2012).
Konflik merupakan hal yang wajar terjadi karena merupakan bagian dari suatu
sistem sosial. Konflik atau perselisihan yang terjadi dalam masyarakat, seringkali
dianggap sebagai suatu masalah yang sangat kompleks, di mana kedua belah pihak
yang sedang berselisih tidak mampu menciptakan suatu perdamaian, baik dalam
relasi maupun dalam kehidupan sosial lainnya. Melihat gejala konflik yang kerap
kali terjadi dalam struktur sosial masyarakat, para ahli sosiologi menyumbangkan
berbagai gagasan atau ide-ide untuk memecahkan beragam konflik yang ada dalam
masyarakat. Salah satu tokoh yang membahas mengenai konflik ialah Lewis A.
Coser, seorang ahli sosioligi terkenal dari Amerika yang memiliki pandangan
berbeda terhadap konflik. Coser berpendapat bahwa konflik justru memiliki
“fungsionalitas” positif dalam masyarakat (Rofiah, 2016).
Untuk memahami lebih dalam mengenai pemikiran-pemikiran Lewis A. Coser
mengenai teori konflik, kita perlu mengetahui seluk-beluk pemikirannya mengenai
konflik, juga disertai dengan gambaran nyata mengenai teorinya dalam kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena itu, makalah ini disusun guna memperoleh pemahaman
yang lebih mendalam dan menyeluruh terkait Lewis A. Coser, mulai dari riwayat
hidup, latar belakang pemikiran dan bagaiamana pandangannya dalam melihat suatu
konflik, hingga gambaran mengenai fenomena dalam kehidupan bermasyarakat yang
dikaitkan dengan hasil pemikirannya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, dapat ditarik
pokok rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana riwayat hidup Lewis A. Coser?
2. Bagaimana pemikiran dan teori Lewis A. Coser mengenai konflik?
3. Bagaimana teori konflik Lewis A. Coser bila dikaitkan dengan fenomena
dalam kehidupan bermasyarakat?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini ialah
untuk:
1. Mengetahui riwayat hidup Lewis A. Coser.
2. Mengetahui pemikiran dan teori Lewis A. Coser mengenai konflik.
3. Mengetahui teori konflik Lewis A. Coser bila dikatikan dengan fenomena
yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Lewis A. Coser


Lewis A. Coser dilahirkan dalam sebuah keluarga borjuis Yahudi pada tanggal
27 November 1913, di Berlin, Jerman. Lewis Coser memberontak melawan atas
kehidupan kelas menengah yang diberikan kepadanya oleh orang tuanya, Martin
(seorang bankir) dan Margarete (Fehlow) Coser. Pada masa remajanya, Coser sudah
bergabung dengan gerakan sosialis dan meskipun dia bukan murid yang luar biasa
dan tidak rajin sekolah, tetapi dia tetap membaca secara sukarela sendiri. Ketika
Hitler berkuasa di Jerman, Coser melarikan diri ke Paris, tempat ia bekerja serabutan
untuk mempertahankan eksistensi dirinya. Ia menjadi aktif dalam gerakan sosialis,
bergabung dengan beberapa kelompok-kelompok radikal, termasuk organisasi
Trotskyis yang disebut "The Spark". Pada tahun 1936, ia akhirnya mampu
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dengan menjadi seorang ahli statistik untuk
perusahaan broker Amerika. Dia juga terdaftar di Sorbonne sebagai mahasiswa
sastra komparatif tetapi kemudian mengubah fokusnya untuk sosiologi.
Pada tahun 1942, Coser menikahi Rose Laub, mereka dianugerahi dua orang
anak yang bernama Ellen dan Steven. Pada tahun 1948, setelah periode singkat
sebagai mahasiswa pascasarjana di Univeristas Columbia, Coser menerima posisi
sebagai tenaga pengajar ilmu sosial di Universitas Chicago. Pada tahun yang sama,
ia menjadi warga negara AS naturalisasi. Kemudian, pada tahun 1950, ia kembali ke
Universitas Columbia untuk melanjutkan studinya hingga menerima gelar doktor
pada tahun 1954. Ia diminta oleh Universitas Brandeis di Waltham, Massachusetts
pada tahun 1951 menjadi seorang dosen dan kemudian sebagai profesor sosiologi.
Dia tetap di Brandeis, yang dianggap sebagai surga bagi kaum liberal, sampai tahun
1968. Buku Coser tentang Fungsi Konflik Sosial adalah hasil dari disertasi
doktoralnya. Karya-karya lainnya antara lain ialah, A Critical History (1957), Men of
Ideas (1965), Continues in the Study of Sosial Conflict (1967), Master of
Sosiological Thought (1971) dan beberapa buku lainnya di samping sebagai editor
maupun distributor publikasi. Coser meninggal pada tanggal 8 Juli 2003, di
Cambridge, Massachusetts pada usia 89 tahun.
B. Pemikiran Teori Konflik Lewis A. Coser

1. Latar Belakang Munculnya Teori Fungsional Konflik


Pemikiran Coser mengenai fungsi konflik sosial dapat dijelaskan dengan melihat
kondisi intelektual pada masa itu. Kondisi intelektual yang dimaksud disini ialah
respon Coser atas dominasi pemikiran teori struktural fungsional dari Talcot Parsons
dan Robert K. Merton yang merupakan pemikiran dominan dalam sosiologi Amerika
pada pertengahan tahun 1950 (Rofiah, 2016). Teori struktural fungsional ini sangat
menekankan proses-proses sosial yang didasarkan pada suatu nilai, keteraturan, dan
keselarasan. Masyarakat berada dalam posisi aman, damai, tentram, dan bersatu
tanpa adanya konflik diantara mereka, begitulah kiranya teori ini memandang
masyarakat.
Pada saat Coser mencetuskan teori konflik sosial ini, kondisi sosial politik pada
saat itu masih terpengaruh oleh antisemitisme atau prasangka rasialisme yang masih
kuat, perang antar bangsa yang tinggi, pengurangan kebebasan dari orang Amerika-
Jepang di Amerika Serikat, dan berbagai konflik lainnya yang terjadi pada saat itu.
Mayoritas pendapat sosiolog Amerika Serikat berprasangka buruk terhadap konsep
dan fungsi konflik sosial, yang dapat dikatakan sebagai sesuatu yang mengacaukan
atau disfungsional terhadap keseimbangan sistem secara keseluruhan, tetapi Coser
menolak pendapat tersebut. Dalam pandangan Coser, konflik tidak serta-merta
merusakkan atau dalam artian konflik itu tidak langsung dapat dikatakan
disfungsional, pemecahan ataupun patologis untuk sistem dimana konflik itu terjadi,
melainkan bahwa konflik itu dapat mempunyai konsekuensi positifnya untuk
menguntungkan sistem tersebut.

2. Pemikiran Teori Fungsional Konflik Lewis A. Coser


Teori tentang fungsional sosial konflik adalah salah satu teori konflik yang
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1956 melalui karya Lewis Coser berjudul The
Functions of Sosial Conflict yang diangkat dari desertasi doktoralnya. Teori konflik
dari Coser ini diposisikan sebagai teori konflik modern yang bersifat naturalis. Coser
lebih memusatkan perhatiannya pada fungsi-fungsi konflik yang membawa
penyesuaian sosial yang lebih baik daripada menyoroti disfungsional konflik
sebagaimana teori struktural fungsional sebelumnya. Pada umumnya, istilah konflik
sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar
pribadi mulai dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan peperangan
internasional. Konflik dalam pandangan Coser adalah perjuangan atas nilai-nilai dan
menuntut status yang langka, kekuasaan, dan sumber yang menetralisasikan tujuan-
tujuan lawan untuk melukai atau mengeliminasi lawan-lawan mereka. Lewis A.
Coser mengemukakan bahwa tidak ada teori konflik sosial yang mampu merangkum
seluruh fenomena tersebut. Oleh karenanya, ia tidak ingin mengkonstruksi teori
umum, tetapi ia ingin karyanya menjadi suatu usaha untuk menjelaskan konsep
konflik sosial, yakni konflik dapat mempunyai fungsi positif untuk suatu kelompok
atau masyarakat daripada hanya merusakkan solidaritas, khususnya kalau isu-isu
konflik itu diakui dan dihadapi secara terbuka daripada ditekan.
Umumnya, analisa Coser mengenai fungsi konflik sosial dapat dipandang
sebagai suatu alternatif terhadap persepektif-persepektif teori konflik radikal yang
diinspirasi pandangan Marxis. Menurut Coser, konflik itu memiliki fungsi sosial.
Coser memadukan antara dua teori, yaitu teori fungsional struktural versus teori
konflik. Oleh karena itu, teori konflik yang dikembangkan Coser disebut
fungsionalisme konflik sosial. Asumsinya ialah, dengan kombinasi tersebut, maka
kedua teori itu akan menjadi lebih kuat ketimbang masing-masing teori yang berdiri
sendiri. Kedua teori ini mengandung kebenaran tetapi tidak mampu menjelaskan
kenyataan sosial secara menyeluruh, karena nyatanya masyarakat itu sesekali terlibat
konflik, tetapi sesekali juga terlibat kesepakatan-kesepakatan.
Coser mendasarkan analisanya dalam Functions of Social Conflict pada ide-ide
Simmel bahwa konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang dasar dan
proses konflik dihubungkan dengan bentuk-bentuk alternatif seperti kerjasama.
Coser bukan tidak setuju dengan tekanan Parson pada tingkat analisa sistem sosial,
juga tidak sepenuhnya mengikuti Simmel bahwa analisa sosial harus dipusatkan
terutama pada bentuk-bentuk interaksi. Coser pada prinsipnya memiliki pandangan
utama bahwa konflik tidak harus merusakkan atau bersifat disfungsional.
Coser menyatakan bahwa konflik sosial seringkali diabaikan oleh para ahli
sosiologi, karena mereka cenderung menekankan pada sisi yang negatif, yakni
bagaimana konflik telah meremehkan tatanan, stabilitas, ataupun menggambarkan
suatu keadaan yang terpecah belah. Coser ingin memperbaikinya dengan cara
menekankan pada sisi konflik yang positif, yakni bagaimana konflik itu dapat
memberi sumbangan pada ketahanan dan adaptasi dari kelompok, interaksi, dan
sistem sosial. Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik merupakan suatu gejala yang
tidak dapat dihindari dalam kehidupan manusia. Namun, konflik yang terjadi dalam
masyarakat bukanlah suatu persoalan yang tidak dapat diselesaikan.
Coser mengatakan bahwa tidak selamanya konflik berkonotasi negatif.
Sebaliknya, konflik memberikan fungsi positif dalam sosial masyarakat untuk untuk
menyatukan kembali kelompok-kelompok yang sedang mengalami konflik sosial
karena dengan adanya konflik, berarti masing-masing individu maupun kelompok di
dalam komunitas itu berjuang dalam membangun dialog untuk mempertahankan
integritas atau kesatuan sebagai anggota komunitas teristimewa dengan kelompok
lain yang berasal dari budaya yang berbeda dengan dirinya. Selain itu, konflik dapat
merangsang hidup setiap kelompok untuk merubah cara pandang yang pesimistis
menjadi optimis untuk bersatu dengan kelompok-kelompok lain. Coser memiliki
pandangan bahwa konflik dalam masyarakat merupakan peristiwa normal yang dapat
memperkuat struktur hubungan-hubungan sosial. Tidak adanya konflik dalam suatu
masyarakat tidak dapat dianggap sebagai petunjuk kekuatan dan stabilitas hubungan
sosial masyarakatnya. Perkembangan konflik dalam masyarakat bukanlah
merupakan indikator utama dan tunggal untuk mengatakan bahwa stabilitas sosial
dari masyarakat itu telah tercapai. Tujuan Coser yang utama adalah memperlihatkan
fungsi positif dari konflik dalam meningkatkan intregasi sosial, serta bagaimana
konflik antara kelompok dapat meningkatkan solidaritas internal dalam kelompok-
kelompok yang berkonflik tersebut. Selain itu, konflik di dalam kelompok juga dapat
mencegah antagonisme yang tidak dapat dihindari yang menandai semua hubungan
sosial, dari menumpuknya sampai pada satu titik dimana hubungan itu sendiri
menjadi terancam. Konflik juga meningkatkan perkembangan ikatan sosial antara
kelompok, termasuk kelompok-kelompok itu sendiri, serta merupakan suatu
rangsangan utama untuk melakukan perubahan sosial.
3. Pembagian Konflik menurut Lewis A. Coser
Dalam membahas berbagai situasi konflik, Coser membedakan konflik yang
realistik dan yang tidak realistik (Poloma, 1994). Konflik yang realistis berasal dari
kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari
perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan dan yang ditujukan pada objek
yang dianggap mengecewakan. Para karyawan yang mengadakan pemogokan
melawan manajemen merupakan contoh dari konflik realistis, sejauh manajemen
memang berkuasa dalam hal kenaikan gaji serta berbagai keuntungan buruh lainnya.
Sedangkan, konflik yang tidak realistis adalah konflik yang bukan berasal dari
tujuan-tujuan saingan yang antagonistis, melainkan dari kebutuhan untuk meredakan
ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Seperti contoh dalam masyarakat
yang buta huruf, pembalasan dendam lewat ilmu gaib sering merupakan bentuk
konflik non-realistis, sebagaimana halnya dengan pengkambinghitaman yang sering
terjadi dalam masyarakat yang telah maju. Dalam hubungan antar kelompok,
pengkambinghitaman digunakan untuk menggambarkan keadaan dimana seseorang
tidak melepaskan prasangka (prejudice) mereka melawan kelompok yang benar-
benar merupakan lawan dan dengan demikian menggunakan kelompok pengganti
sebagai objek prasangka (Demartoto, 2010). Konflik non-realistis mencakup
ungkapan permusuhan sebagai tujuannya sendiri dan didorong keinginan yang tidak
rasional serta cenderung bersifat ideologis, seperti konflik antaragama, antaretnis,
dan antarkepercayaan. Konflik yang non-realistis ini cenderung lebih sulit untuk
ditemukan solusinya atau sulit mencapai konsensus dan perdamaian.
Menurut Coser, terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik
realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi. Contohnya, dua pengacara yang selama
masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian, setelah lulus dan menjadi
pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut mereka untuk saling
berhadapan di meja hijau. Masing-masing secara agresif dan teliti melindungi
kepentingan kliennya, tetapi setelah meniggalkan persidangan, mereka melupakan
perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu.
Akan tetapi, apabila konflik berkembang dalam hubungan-hubungan yang intim,
maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk
dipertahankan. Coser mengatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin
besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga
kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan.
Sedangkan pada hubungan-hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan
bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa
terjadi dalam hubungan-hubungan primer di mana keterlibatan total para partisipan
membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan
tersebut.
Dalam satu situasi bisa terdapat elemen-elemen konflik realistis dan non-
realistis. Konflik realistis khususnya dapat diikuti oleh sentiment-sentimen yang
secara emosional mengalami distorsi oleh karena pengungkapan ketegangan tidak
mungkin terjadi dalam situasi konflik yang lain. Dengan demikian, energi-energi
agresif mungkin terakumulasi dalam proses-proses interaksi lain sebelum ketegangan
dalam situasi konflik diredakan.

4. Penyelesaian Konflik menurut Lewis A. Coser


Safety valve (katup penyelamatan) adalah salah satu resolusi konflik yang
merupakan bagian dari teori fungsionalisme konflik yang diperkenalkan oleh Lewis
A. Coser. Ia melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang
meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan-hubungan di antara pihak-pihak
yang bertentangan akan semakin menajam. Ia juga mengakui bahwa konflik dapat
membahayakan persatuan. Oleh karena itu, perlu adanya cara penyelesaian yang
mana ia sebut sebagai katup penyelamat. Katup penyelamat (safety-valve) adalah
salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok
dari kemungkinan konflik sosial atau suatu mekanisme yang dipakai untuk
mempertahankan kelompok yang menghadapi konflik tanpa merusak hubungan
kelompok itu sendiri. Misalnya, rasa kekecewaan, marah terhadap kelompok dapat
disalurkan melalui lelucon, gambar atau lukisan dan lain sebagainya. Katup
penyelamat ini bisa berupa sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas
sebuah sistem atau struktur. Contohnya ialah Badan Perwakilan Mahasiswa atau
panitia kesejahteraan Dosen. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal
dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem tersebut (Rofiah, 2016).

C. Contoh Kasus
Berdasarkan hasil pemikiran dan teori konflik fungsional sosial Lewis A. Coser,
maka dapat dijelaskan beberapa hal terkait dengan pemikirannya jika dikaitkan
dengan fenomena yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu
contohnya dapat dilihat dalam dinamika hubungan antara Muhammadiyah dan NU.
Depag RI (dalam Rofiah, 2016) menjelaskan bahwa dalam teorinya, Coser
memadukan dua teori, yakni teori fungsional struktural dan teori konflik. Alasannya
ialah bahwa kedua teori ini mengandung kebenaran tetapi tidak mampu menjelaskan
kenyataan sosial secara menyeluruh, karena nyatanya masyarakat itu dapat sesekali
terlibut konflik, juga sesekali terlibat kesepakatan.

Rofiah (2016) menjelaskan bahwa hal tersebut juga terjadi dalam hubungan
antara Muhammadiyah dan NU di Indonesia yang mana konflik antara
Muhammadiyah dan NU tidak terjadi terus menerus, juga tidak pula terjadi secara
serempak di mana-mana, melainkan secara sporadis. Hubungan antara
Muhammadiyah dan NU tidak selalu harmonis, kadang bermesraan, namun kadang
pula terjadi konflik. Jika dipolakan, hubungan antara Muhammadiyah dan NU dapat
dibagi dalam tiga pola hubungan, yakni konfrontatif teologis pada 1912-1985,
harmonis semu pada 1986-2000, serta konfrontatif politik, pada 2000-2001. Setelah
tahun 2001 sampai sekarang, hubungan antara Muhammadiyah dan NU cenderung
harmonis. Selanjutnya, Coser menyatakan konflik dalam masyarakat itu tidak
selamanya disfungsional tetapi bisa fungsional. Salah satu fungsi konflik menurut
Coser ialah bahwa konflik merupakan suatu rangsangan atau stimulus utama untuk
mencapai adanya perubahan sosial. Sejatinya perseteruan antara Muhammadiyah dan
NU, baik yang terjadi pada aras paham keagamaan maupun aras kultural dan politik,
dapat memberi penguatan bagi proses kemajemukan Islam di tanah air, serta dapat
pula menumbuhkan kesadaran pluralisme dan pemikiran yang terbuka.

Jadi, dapat dipahami bahwa konflik yang terjadi antara Muhammadiyah dan NU
dapat mendorong terjadinya perubahan sosial, yakni tertanamnya kesadaran
pluralisme dan meningkatnya rasa toleransi dan terbuka terhadap orang lain. Dilihat
dari jenisnya, maka konflik yang terjadi antara Muhammadiyah dan NU adalah
konflik non-realistis, dikarenakan cenderung bersifat ideologis. Konflik yang non-
realistis ini cenderung lebih sulit untuk menemukan solusinya atau sulit mencapai
konsensus dan perdamaian. Penyelesaian konflik antara Muhammadiyah dan NU
terus dilakukan. Namun, perbedaan dan konflik yang terjadi antara keduanya tidak
mungkin sepenuhnya bisa dihilangkan secara radikal. Kini, siapapun tidak akan
menyangkal bahwa dalam rentang satu dasawarsa terakhir ini, ada semacam
akulturasi antara Muhammadiyah dan NU dan secara kultural tidak ada lagi sekat
antara Muhammadiyah dan NU. Transformasi NU Muhammadiyah terjadi nyaris di
semua lini kehidupan sosial. NU merambah hingga ke segmen-segmen masyarakat
di perkotaan, sama seperti Muhammadiyah memasuki ranah-ranah di perdesaan.
Disparitas praktek ritual keagamaan yang selama ini menjadi ciri pembeda antara
keduanya pun mulai luntur. Hal ini tampak pada fenomena tahlilan, tarawih, shalat
Ied, dan sejenisnya. Kegiatan intelektual maupun sosial yang melibatkan kedua belah
pihak inilah yang oleh Coser sebut sebagai katup penyelamat (savety valve) yang
dapat memperbaiki hubungan antara NU dan Muhammadiyah.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Teori konflik menurut perspektif Coser merupakan sebuah sistem sosial yang
bersifat fungsional. Menurut Coser, konflik yang terjadi dalam masyarakat tidak
semata-mata menunjukkan fungsi negatif. Tetapi, konflik dapat pula menimbulkan
dampak yang positif bagi berlangsungnya tatanan masyarakat. Bagi Coser, konflik
merupakan salah satu bentuk interaksi dan tidak perlu diingkari keberadaannya.
Coser bemaksud, bahwa konflik tidak harus merusakkan atau bersifat disfungsional
bagi sistem yang bersangkutan. Karena konflik bisa juga menimbulkan suatu
konsekuensi yang bersifat positif.

Konflik merupakan cara atau alat untuk mempertahankan, mempersatukan, dan


mempertegas sistem sosial yang ada. Misalnya, fungsi positif konflik dalam hal yang
menyangkut dinamika hubungan antara in group (kelompok dalam), dengan out
group (kelompok luar). Ketidaksepakatan internal mungkin dapat muncul
kepermukaan dan dibicarakan, dan para penyimpang mungkin lebih ditoleransi.
Umumnya, individu akan memperoleh ruang gerak yang lebih besar untuk mengejar
kepentingan pribadinya. Menurut Coser, fungsi konflik eksternal dapat juga untuk
memperkuat kekompakkan internal dan meningkatkan moral kelompok, sehingga
kelompok-kelompok dapat memancing antoganisme dengan kelompok luar atau
menciptakan musuh dengan orang luar agar mempertahankan atau meningkatkan
solidaritas internal.

B. Saran
Dari yang telah kita ulas pada makalah ini, penulis berharap para pembaca dapat
memahami dengan baik maksud dari pandangan Coser dengan konflik
fungsionalnya. Minimal kita dapat bersama-sama menyepakati bahwa konflik yang
terjadi tidaklah selalu bersifat negatif, melainkan konflik juga bersifat positif dalam
hal mempersatukan berbagai kepentingan sosial didalamnya. Karena konflik yang
terjadi dalam masyarakat, baik secara individu dengan individu, atau kelompok
dengan kelompok, serta individu dengan kelompok merupakan salah satu cara dalam
mempersatukan elemen masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Demartoto, A. 2010. Strukturalisme konflik: pemahaman akan konflik pada


masyarakat industri menurut lewis coser dan ralf dahrendorf. Jurnal Dilema
Sosiologi Issn, 0215-9635.

Depag RI. 2003. Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, Jakarta: Depag RI.

Poloma, M. 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo.

Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Rofiah, K. 2016. Dinamika Relasi Muhammadiyah dan NU dalam Perspektif Teori


Konflik Fungsional Lewis A. Coser. Kalam, 10 (2).

Anda mungkin juga menyukai