Anda di halaman 1dari 9

REPRESENTASI FILM TILIK TERHADAP FENOMENA SOSIAL-BUDAYA

PADA MASYARAKAT JAWA DAN PEREMPUAN DESA

Ayuk Nur Hidayati

Program Studi Ilmu Komunikasi


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang
E-mail : Ayuka745@gmail.com
NIM : 14040117120015

ABSTRAK
Film Tilik merupakan film pendek dengan latar belakang budaya Jawa. Film
tersebut menceritakan mengenai kehidupan masyarakat yang berada di sebuah desa di
Yogyakarta yang masih mengadopsi budaya “Tilik” atau menjenguk tetangga yang
sedang sakit. Dalam film “Tilik” terdapat fenomena sosial-budaya masyarakat Jawa
dimana digambarkan terdapat ibu-ibu yang sedang menggosipkan kembang desa di
lingkungannya. Terdapat tokoh Bu Tejo yang dengan semangat menyebarkan Gosip
mengenai Dian yang ia peroleh dari sosial media yang belum jelas kebenarannya.
Film ini merepresentasikan fenomena sosial-budaya pada masyarakat jawa dan
perempuan desa di kehidupan sehari-hari.
Kata Kunci : Film Tilik, Fenomena Sosial-Budaya, Representasi, Masyarakat Jawa
dan Perempuan Desa

I. PENDAHULUAN
Beberapa waktu lalu, media sosial dan masyarakat dihebohkan dengan salah satu
film pendek berjudul “Tilik” yang ditayangkan di channel Youtube Ravacana Films.
Bahkan, film “Tilik” sempat menjadi trending nomer satu di Twitter, karena salah
satu pemeran utama dalam film “Tilik” yaitu “Bu Tejo” berhasil membuat publik
penasaran dan menyukai acting-nya dalam film “Tilik”.
Dalam bahasa Jawa, “Tilik” memiliki arti dan makna sebagai menjenguk orang
sakit. Sesuai dengan judul tersebut, film “Tilik” menceritakan kisah perjalan
rombongan ibu-ibu dari desa yang hendak menjenguk (tilik) Ibu Lurah yang sedang
dirawat di rumah sakit. Selama perjalanan, rombongan ibu-ibu tersebut fokus
membicarakan Dian, seorang kembang desa di kampung mereka tinggal. Berbagai
celotehan dan argumen kontroversial menjadi bumbu dalam film “Tilik”.
Terdapat salah satu tokoh film “Tilik” bernama Bu Tejo yang tak henti-hentinya
menggunjing Bu Lurah dan Dian. Bu Tejo membeberkan tingkah laku Dian yang
dianggap tidak pantas dan meresahkan warga, seperti “anak gadis kok sering pulang
malam, belum kerja tapi sudah bisa membeli barang mewah”. Dasar cerita Bu Tejo
mengenai Dian ia peroleh dari sosial medianya. Cara bercerita Bu Tejo yang menarik
dan penuh keyakinan membuat ibu-ibu rombongan lain terpengaruh dan percaya
kepada cerita Bu Tejo. Bahkan ada seorang ibu-ibu yang mendukung gosip Bu Tejo
dengan mengatakan bahwa Dian kerap berpergian ke mall bersama laki-laki tua.
Dalam film ini terdapat juga satu tokoh yang tidak terpengaruh terhadap cerita
dan gosip Bu Tejo, yaitu Yu Ning. Yu Ning selalu mengingatkan Bu Tejo untuk tidak
memfitnah Dian. Dengan tegas Yu Ning menasehati Bu Tejo agar tidak menelan
mentah-mentah informasi yang tidak jelas sumbernya. Namun, Bu Tejo membantah
dan mengatakan bahwa ia tidak memfitnah. Bu Tejo juga mengingatkan pada ibu-ibu
lain agar berhati-hati teradap Dian karena ia memiliki paras cantik yang dapat
merebut perhatian suami mereka dan mengingatkan supaya selalu up to date terhadap
berita di social media agar tidak tertinggal info terbaru.
Di akhir cerita, film ini memberikan plot twist yang menjadikan para netizen
berdebat dan penasaran di sosial media. Dalam adegan terakhir, digambarkan bahwa
Dian memasuki mobil sedan hitam yang didalamnya telah diduduki seorang laki-laki
paruh baya disampingnya. Dian pun memanggil laki-laki tersebut dengan sebutan
“mas”. Kepada laki-laki tersebut, Dian mengungkapkan kegundahannya bahwa ia
sudah tak sanggup untuk hidup secara sembunyi-sembunyi. Dian bertanya kapan
kira-kira Fikri (anak Bu Lurah) dapat menerima bahwa ayahnya akan menikah lagi.
Menurut netizen film “Tilik” adalah gambaran para masyarakat di kehidupan
nyata sehari-hari sehingga film tersebut dapat menarik perhatian banyak masyarakat.
A. Rumusan Masalah
1. Budaya apa saja yang ditawarkan pada film Tilik ?
2. Apakah film Tilik merupakan Representasi dari Fenomena Sosial-Budaya pada
kehidupan sehari-hari Masyarakat Jawa ?
3. Apakah film Tilik merupakan Representasi dari Fenomena Sosial-Budaya pada
Perempuan Desa?
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui budaya apa saja yang ditawarkan oleh film Tilik
2. Untuk mengetahui apakah film Tilik merupakan Representasi dari Fenomena
Sosial-Budaya pada Masyarakat Jawa
3. Untuk mengetahui apakah film Tilik merupakan Representasi dari Fenomena
Sosial-Budaya pada Perempuan Desa

II. PEMBAHASAN
Film “Tilik” yang diproduseri oleh Elena Rosmeisara adalah film pendek lokal
dari Yogyakarta. Film “Tilik” merupakan sebuah film yang mengusung budaya Jawa,
dimana “Tilik” sendiri memiliki arti “menjenguk”. Pemaknaan film Tilik berfokus
pada kehidupan masyarakat budaya Jawa terutama dilihat pada sudut pandang
Perempuan Jawa. Budaya Tilik sendiri merupakan tradisi yang sudah lama ada pada
masyarakat Jawa, salah satunya yang dilakukan dalam film ini Tilik dilakukan oleh
ibu-ibu pedesaan di Yogyakarta. Dalam film “Tilik” terlihat ciri khas budaya
masyarakat Jawa yang selalu guyub rukun atau “rombongan”, dalam menjenguk Ibu
Lurah, para ibu-ibu tersebut secara rombongan menggunakan kendaraan truk colt
diesel yang biasa digunakan untuk mengangkut barang. Selain itu, komunikasi antar
ibu-ibu merupakan bentuk budaya sehari-hari di Indonesia terutama di daerah
pedesaan Jawa yang masih kental interaksi antar warga.
Bahasa dan logat yang digunakan dalam film “Tilik” adalah bahasa Jawa yang
biasa digunakan di kehidupan masyarakat desa di Jawa. Genre yang diangkat dalam
film “Tilik” adalah sub-genre kritik sosial budaya mengenai kehidupan masyarakat
Indonesia khusunya masyarakat Jawa saat ini. Genre dapat dipahami dan dikenali
dengan baik melalui pengulangan selama periode waktu tertentu (Burto
Graeme,2002:124). Dalam film tilik ciri khas yang diulang adalah perilaku ibu-ibu
dalam menggunjingkan kembang Desa yang ada di tempat mereka yaitu Dian, dimana
perilaku menggunjing atau menggosip merupakan realita ibu-ibu pada kehidupan
nyata, Pengetahuan mengenai penyebaran informasi melalui media sosial juga diulang
dalam film ini, dimana Bu Tejo membeberkan perilaku Dian yang ia lihat dari sosial
media. Selain itu dari segi penampilan fashion maupun background pada film ini
merupakan gambaran realita pada masyarakat pedesaan di Jawa, dari fashion ibu-ibu
yang menggunakan baju sederhana, lingkungan pedesaan yang masih asri dan
orang-orang yang ramah juga mempengaruhi pembentukan genre. Elemen
background dan decor yang khas dapat digunakan untuk mengenali sebuah genre
(Burto Graeme,2002:129).
Film “Tilik” memberikan pandangan terhadap berbagai macam budaya
masyarakat di desa dengan kemajuan teknologi di era digital terhadap efek media.
Rasa empati yang diperlihatkan saat Yu Ning mendapat pesan singkat bahwa Bu
Lurah sakit dan di rawat di rumah sakit, yang kemudian pesan tersebut disampaikan
kepada ibu-ibu lain sehingga terjadilah kegiatan “tilik” Bu Lurah. Obrolan ibu-ibu
yang biasanya hanya sebatas saat pergi ke pasar dan berbelanja kebutuhan dengan
melohat langsung kejadian dan menceritakannya kembali, sekarang di era digital saat
ini, ibu-ibu di pedesaat sudah dapat melihat informasi dan kejadian darimanapun yang
berasal dari media sosial. Seperti adegan Bu Tejo yang menggosipkan perilaku dan
foto Dian dengan laki-laki paruh baya di media sosial.
Film Tilik memberikan pesan mengenai pemanfaatan teknologi yang harus
diimbangi dengan literasi digital, dimana masyarakat harus paham mengenai dampak
dan pengaruh terhadap unggahan yang dikirimkan maupun diterima. Menurut Little
John dalam Uses and Gratification Theory menyatakan “Compared with classical
effect studies, the uses and gratifications approach takes the media consumer rather
than the messages as its starting point, and explores his communication behavior in
terms of his direct experience with the media. It views the member of the audience as
actively utilizing media content, rather than being passively acted upon by the media.
Thus, it does not assume a direct relationship between messages and effects, but
postulated instead that members of the audience put messages to use, and that such
ussages act as intervening variables in the process effects”(Littlejohn
SW,2009). Oleh karena itu, dalam film pendek “Tilik” terdapat efek yang ditimbulkan
dari media terhadap budaya masyarakat desa yang tadinya hanya mengetahui
informasi dari sudut pandang yang sempit, namun dengan adanya media menjadikan
sudut pandang menjadi luas yang dapat memberikan efek pesan.
Representasi pada film “Tilik” menggunakan teori representasi The Reflective
Approach, dimana pendekatan ini berkaitan erat dengan pembentukan suattu makna
yang terletak pada objek, orang, gagasan atau peristiwa di dunia nyata, dan fungsi
bahasa seperti cermin, untuk mencerminkan arti sebenarnya pada kehidupan nyata
(Stuart Hall,1997). Dalam film ini, banyak kemiripan atau fenomena yang terjadi di
film dengan kehidupan nyata di masyarakat, salah satu tokoh yang diangap sebagai
representasi ibi-ibu yang ada di masyarakat adala Bu Tejo. Berikut adalah representasi
film Tilik terhadap fenomena sosial-budaya masyarakat desa di Jawa :
1. Gemar Bergosip
Adegan Bu Tejo dan ibu-ibu lain yang menggunjing dan menggosipkan Dian
diatas truck yang melaju ke rumah sakit adalah fenomena alam yang sudah
dianggap biasa, Fenomena ibu-ibu menggosip ketika sedang berkumpul adalah
realita kehidupan sehari-hari yang terjadi di mayarakat. Adegan Bu Tejo yang
menggosipkan Dian dengan gimmick muka dan logatnya adalah ciri khas ibu-ibu
ketika sedang bergosip.
2. Isu yang dibicarakan dalam film Tilik
Dalam film Tilik, isu yang dibicarakan adalah mengenai sosok gadis kembang
desa bernama Dian sebagai perempuan cantik yang dipandang kurang baik. Gosip
yang dibicarakan bermula ketika Bu Tejo membeberkan perilaku Dian yang
sering berfoto dengan pria paruh baya di sosial medianya. Hal tersebut sangat
mirip dengan kondisi masyarakat sehari-hari, ketika melihat seorang gadis yang
“tidak wajar(cantik, kaya, masih single)” akan menjadi bahan pembicaraan
masyarakat sekitar.
3. Menganut Kepercayaan dan Budaya orang Dulu
Dalam film Tilik, digambarkan bagaimana fakta mengenai sebuah kepercayaan
lampau yang masih dipercayai oleh beberapa orang. Salah satunya adalah
mengenai “anyang-anyangan” atau ketika seseorang ingin atau kebelet buang air
kecil kemudian jempol kakinya diikat menggunakan karet, dalam film Tilik
digambarkan dengan salah satu ibu-ibu yang sudah sangat ingin pipis namun
kondisi pom bensin masih jauh, ibu-ibu yang lain pun memberikan solusi untuk
memakai gelang karet pada jempol kaki untuk menahannya, gambaran tersebut
masih sering terjadi dikehidupan nyata, masih ada masyarakat yang mempercayai
hal tersebut.
4. Sifat Pamer secara tidak langsung
Terdapat adegan dalam film ini, dimana Bu Tejo secara tidak langsung gemar
menunjukan atau memamerkan emas yang ia pakai ketika sedang berbicara
dengan Gotrek seorang pengemudi truk, Yu Ning dan beberapa ibu-ibu yang lain.
Hal semacam ini kerap kali dijumpai pada masyarakat sehari-hari.
5. Memberikan Suap berupa Amplop
Digambarkan bahwa Bu Tejo memberikan amplop kepada Gotrek dengan
menceritakan bahwa Pak Lurah yang saat ini menjabat sudah tidak layak lagi
serta menceritakan kekurangan serta keburukannya, Bu Tejo juga memberitahu
Gotreknbahwa suaminya akan mencalonkan diri sebagai Pak Lurah, hal tersebut
sering dijumpai pada masyarakat dimana ketika akan terjadi pemilihan umum
atau daerah banyak oknum yang memberikan amplop sebagai “sogokan” agar
memilih oknum tersebut.
6. Sulit Menyaring Informasi dan Menyebarkan Informasi Tidak Valid
Banyak sekali kejadian di desa, dimana sering beredar rumor tidak sedap yang
tidak sesuai dengan fakta yang ada. Hal tersebut terjadi karena masyarakat desa
sering menyebar luaskan berita atau informasi yang belum jelas kebenarannya.
Banyak ibu-ibu di desa yang memiliki HP canggih namun tidak tahu cara
memanfaatkannya dengan baik. Scene tersebut ditujukkan ketika Bu Tejo marah
kepada inu-ibu yang tidak menggunakan HPnya untuk mencari infromasi lain
mengenai Dian di sosial media. Selain itu sikap Bu Tejo yang menyebarkan
informasi mengenai Dian yang belum pasti kebenarannya.
Representasi film Tilik terhadap perempuan desa digambarkan oleh tokoh
Dian. Dian merupakan tokoh perempuan yang dibicarakan oleh Bu Tejo dan
ibu-ibu yang lain, ia digambarkan masih muda dan dijuluki sebagai kembang
desa oleh masyarakat. Representasi Dian disini ia dianggap sebagai “wanita Jawa
yang Buruk”. Hal tersebut dilihat dari gosip yang dibicarakan oleh Bu Tejo di
truck mengenai Dian. Dalam kebudayaan Jawa, seorang wanita harus bertindak
dan memiliki sikap sopan, halus dan mengabdi kepada suami sebagai ibu rumah
tangga. Sedangkan tokoh Dian digambarkan sebagai sosok yang belum menikah
dan seorang wanita karir, ia digambarkan sebagai seorang wanita modern dimana
ia bekerja dan dapat membeli barang mewah dari hasil ia bekerja.
Merujuk pada model analisis semiotika Roland Barthes, konotasi yang
dimunculkan pada film ‘Tilik’ adalah bentuk diskriminasi pada
budaya Jawa dalam melihat laki- laki dan perempuan mengenai kehendak untuk
menikah. Perempuan disosialisasikan perannya sebagai ibu rumah tangga. Tujuan
perempuan seakan-akan hanyalah untuk menikah dan membentuk keluarga
sesudahnya hampir seluruh kehidupannya dilewatkan dalam keluarga (Arief
Budiman, 1985: 3). Imbasnya, masyarakat memandang sebelah mata,
menggunjingkan hingga mengucilkan perempuan dewasa yang tak kunjung
menikah. Berbeda halnya dengan laki- laki yang memutuskan untuk tidak
menikah atau belum menikah. Mereka akan tetap memiliki ruang yang layak di
tengah masyarakat.
Asumsi masyarakat mengatakan bahwa perempuan yang tidak segera
menikah dianggap belum menjadi perempuan sejati versi budaya Jawa. Dalam
budaya jawa, konsep perempuan sejati banyak digambarkan melalui karya sastra
Jawa kuno, salah satunya adalah sastra Jawa Kuno serat Panitisastra. Dalam
sastra tersebut, perempuan hanya dilihat dari fungsi reproduksinya saja, yakni
kemampuan untuk melahirkan (Sudewa dalam Budi Susanto, dkk; 2000: 40–41).
Di masyarakat desa khususnya Jawa, hal tersebut masih sering terjadi, dimana
perempuan yang masih belum bersuami dan merupakan seorang perempuan
modern yang memiliki pekerjaan dan mampu membeli banyak barang mewah
selalu mendapatkan gunjingan, bahkan dikucilkan ketika melakukan aktualisasi
diri ditengah usia yang produktif. Hal ini juga dipengaruhi dengan budaya nikah
mudah yang berkembang pada masyarakat Jawa. Representasi ini merujuk pada
pendekayan Reglektif dimana pembentukan suatu makna terletak pada objek,
orang,gagasan dan peristiwa kehidupan nyata.

III. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Budaya yang ditawarkan pada
film Tilik adalah Budaya Jawa dengan mengsusung konsep guyub rukun, interaksi
yang kuat antar tetangga dan adanya rasa empati terhadap sesama. Selain itu
penggunaan logat, bahasa dan latar belakang pedesaan Jawa semakin memperkuat
nuansa budaya dalam film Tilik. Apabila dilihat dari sisi paradigma film, hal utama
atau yang menjadi dominasi dari film ini adalah penggunaan paradigma fenomenologi.
Di mana paradigma ini mengambil sisi atau sudut pandang dari fenomena (gejala)
yang terjadi di masyarakat. Paradigma ini ingin menjelaskan bagaimana fenomena
perilaku manusia yang dialami secara sadar.Representasi pada film “Tilik”
menggunakan teori representasi The Reflective Approach, dimana pendekatan ini
berkaitan erat dengan pembentukan suattu makna yang terletak pada objek, orang,
gagasan atau peristiwa di dunia nyata, dan fungsi bahasa seperti cermin, untuk
mencerminkan arti sebenarnya pada kehidupan nyata (Stuart Hall,1997). Hampir
seluruh adegan dan gambaran di film Tilik merupakan refleksi yang ada pada
masyarakat sehari-hari di dunia nyata.
Keseluruhan film ini juga ingin menjelaskan, bahwasanya dalam suatu
masyarakat akan ada 'pentolan' yang memiliki power kuat (berpengaruh besar)
terhadap pemikiran atau pola pikir masyarakat. Semua hal tersebut tercermin dalam
diri Bu Tejo. Oleh karena itu, dalam film pendek “Tilik” terdapat efek yang
ditimbulkan dari media terhadap budaya masyarakat desa yang tadinya hanya
mengetahui informasi dari sudut pandang yang sempit, namun dengan adanya media
menjadikan sudut pandang menjadi luas yang dapat memberikan efek pesan.
Representasi film Tilik terhadap perempuan desa digambarkan oleh tokoh Dian. Dian
merupakan tokoh perempuan yang dibicarakan oleh Bu Tejo dan ibu-ibu yang lain, ia
digambarkan masih muda dan dijuluki sebagai kembang desa oleh masyarakat.
Representasi Dian disini ia dianggap sebagai “wanita Jawa yang Buruk”. Hal tersebut
dilihat dari gosip yang dibicarakan oleh Bu Tejo di truck mengenai Dian. Dalam
kebudayaan Jawa, seorang wanita harus bertindak dan memiliki sikap sopan, halus
dan mengabdi kepada suami sebagai ibu rumah tangga. Sedangkan tokoh Dian
digambarkan sebagai sosok yang belum menikah dan seorang wanita karir, ia
digambarkan sebagai seorang wanita modern dimana ia bekerja dan dapat membeli
barang mewah dari hasil ia bekerja.
Di masyarakat desa khususnya Jawa, hal tersebut masih sering terjadi, dimana
perempuan yang masih belum bersuami dan merupakan seorang perempuan modern
yang memiliki pekerjaan dan mampu membeli banyak barang mewah selalu
mendapatkan gunjingan, bahkan dikucilkan ketika melakukan aktualisasi diri ditengah
usia yang produktif. Hal ini juga dipengaruhi dengan budaya nikah mudah yang
berkembang pada masyarakat Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arif. (1985) Pembagian Kerja Secara Seksual (sebuah pembahasan
sosiologistentang peran wanita dalam masyarakat). Jakarta: Gramedia

Graeme Burton. 2002. More Than Meets the Eye: An Introduction Media Studies.
London: Arnold.

Hall, Stuart. (1997). Representation : Cultural Representation and Signifying Practises.


London:Sage.

Littlejohn SW. 2009. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika

Susanto, Budi, dkk. (2000) Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa). Yogyakarta:
Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai