Anda di halaman 1dari 3

Annisa Oktaviani

2411417018
Estetika 305

Estetika Nusantara

1. Mistis – Religius
Ada dua kategori pembagian kebudayaan besar, yaitu kebudayaan Barat dan
kebudayaan Timur. Bangsa Indonesia yang berada di wilayah Nusantara ini termasuk
dalam wilayah kategori kebudayaan Timur. Secara tradisional, bangsa-bangsa di
wilayah Timur, pada umumnya memiliki orientasi nilai budaya yang bersifat mistis,
magis, kosmis, dan religius. Bangsa yang berorientasi pada nilai budaya seperti ini,
secara umum, ingin hidup menyatu dengan alam karena mereka menyadari bahwa
dirinya merupakan bagian dari alam. Alam sebagai sumber kehidupan memiliki
kekuatan atau potensi-potensi tertentu yang memberi dan mempengaruhi
kehidupannya. Oleh karena itu segala sesuatunya diarahkan untuk menuju kehidupan
yang harmoni dengan alam dan berusaha menghindari segala hal yang berakibat
bertentangan dengan atau melawan alam. Dalam pandangan semacam itu alam adalah
makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmos. Karena itu jika ingin kehidupan ini
sejahtera dan selamat manusia sebagai mikrokosmos haruslah berusaha menyatukan,
menyelaraskan, atau mengharmnoniskan kehidupannya dengan alam sebagai
makrokosmos (lihat Sumardjo 2000).

Alam semesta (makrokosmos) dipercayai memiliki kekuatan yang menjaga,


menunggui, atau menciptakannya. Kekuatan yang dimaksudkan itu dalam pandangan
mereka dapat berupa kekuatan-kekuatan gaib, roh-roh nenek moyang, dewa-dewa,
Tuhan, atau hal-hal lain yang bersifat transendental atau metafisis. Karena itu selain
harus berusaha menjaga hubungan dengan alam, manusia juga harus menghargai,
menghormati, memuja, atau menyembah kepada yang menguasai atas alam semesta ini.
Kehidupan manusia tidak akan pernah sejahtera atau selamat jika mengabaikan upaya
menjalin hubungan yang harmonis dengan alam dan penguasa alam. Contohnya ada
pada ungkapan adat suku bangsa Minangkabau yang berbunyi “alam terkembang jadi
guru” (alam takambang jadi guru) yang bermuatan pesan bergurulah pada sifat dan
hukum alam; pelajarilah alam itu untuk sampai pada hakikat makna yang tersirat, yang
tidak lain adalah kebenaran, dan kebenaran itu adalah Sang Pencipta Alam Semesta itu
sendiri (lihat :Melalatoa 1999). Pandangan itu juga diwujudkan dalam satu kegiatan
yang menyatu dengan (terintegrasi) atau bahkan menjadi bagian dari suatu kehidupan
tradisi masyarakat.
2. Estetika Jawa
Ada tiga nilai budaya Jawa yang dapat dipakai sebagai wacana untuk membangun
konsep estetika Jawa. Tiga sumber nilai budaya yang dimaksudkan itu adalah nilai budaya
kosmologis, klasifikasi simbolik, dan orientasi kehidupan orang Jawa. Pertama, nilai
budaya kosmologis, yakni pengetahuan atau pandangan orang Jawa tentang jagat raya atau
alam semesta. Kosmos atau jagat adalah alam semesta yang teratur. Masyarakat Jawa
mempercayai bahwa untuk dapat memperoleh kesejahteraan atau keselamatan, maka segala
sesuatunya harus dilakukan atau dibuat secara teratur.

Kedua, nilai klasifikasi simbolik yang mengatur posisi, peran, atau pembagian
sesuai dengan apa yang secara tradisional terjadi dalam kehidupan masayarakat Jawa.
Bahkan dalam beberapa unsur kebudayaan, seperti bahasa dan komunikasi, kesenian dan
kesusasteraan, keyakinan keagamaan, ritus, ilmu gaib, dan petangan, serta beberapa pranata
dalam organisasi sosialnya, penggunaan sistem klasifikasi simboliknya tampak begitu
menonjol (Koentjaraningrat 1984 : 428).

Ketiga, dalam perspektif budaya Jawa, keindahan suatu hal atau karya seni,
haruslah memperlihatkan nilai harmoni. Nilai harmoni akan memberikan kesan tenang,
tenteram, damai, cocok, selaras, serasi, dan seimbang dalam persepsi estetis seseorang
yang menikmatinya. Harmoni merupakan salah satu orientasi penting kehidupan orang
Jawa yang harus dapat diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupannya. Agar hidup
memperoleh keselamatan dan kesejahteraan lahir batin, orang harus dapat menjalin
hubungan yang selaras, serasi, dan seimbang dengan sesama, dengan lingkungan alam, dan
dengan kekuatan-kekuatan gaib lainnya penguasa atau pencipta alam semesta (lihat :
Koentjaraningrat 1984 : 435-442).
Segala hal yang menimbulkan konflik atau pertentangan diupayakan untuk
dihindari dalam kehidupan sosial orang Jawa. Konflik atau pertentangan dirasakan dan
dipercaya akan menimbulkan ketidaknyamanan dalam menjalani hidup dan kehidupan.
Lebih parah lagi dapat menimbulkan kesengsaraan dan membawa petaka. Masyarakat Jawa
mempercayai nilai harmoni penting dalam sistem kehidupan orang Jawa untuk mencapai
keselamatan dan kesejahteraan hidup.

3. Estetika Hindu-Bali
Pandangan Hindunmengenai estetika ditulis oleh Bharata di sekitar abad V dengan
bukunya Natyasastra. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa rasa lahir dari
manunggalnya situasi yang ditampilkan bersama dengan reaksi dan keadaan batin para
pelakunya yang senantiasa berubah. Pandangan ini oleh para pengikutnya dikembangkan
secara terus-menerus. Seorang ahli pikir Khasmir; Sangkuka sekitar abad X berpendapat
bahwa pengalaman estetik sebenarnya berada di luar bidang kebenaran dan
ketidakbenaran.
Dalam estetika Hindu dikenal rumusan bahwa suatu hasil seni untuk bisa dikatakan
indah dan berhasil harus memenuhi enam (sad) syarat atau perincian (angga), karena itu
rumusan itu disebut sad-angga. Keenam syarat pegangan itu adalah sebagai berikut :

a. Rupabheda artinya pembedaan bentuk, maksudnya bentuk-bentuk yang digambarkan


harus dapat segera dikenal oleh yang melihatnya. Dalam arti bentuk harus segera
dikenali karakteristiknya, yang berbeda antara satu dengan lainnya, seperti; bentuk
bunga sebagai bunga, pohon sebagai pohon, dan lain sebagainya.
b. Sadrsya artinya kesamaan dalam penglihatan, maksudnya bentuk-bentuk yang
digambarkan harus sesuai dengan ide yang dikandung di dalamnya. Misalnya sebuah
pohon dengan bunga-bunga dan buah-buah yang dimaksudkan sebagai lambang
kesuburan.
c. Pramana artinya sesuai dengan ukuran yang tepat. Sebagai konsekuensi prinsip
sadrsya maka tradisi menentukan patokan mengenai ukuran-ukuran dari tokoh-tokoh
mitologis yang pada dasarnya adalah perwujudan dari ide-ide tertentu.
d. Wanikabangga yaitu penguraian dan pembikinan warna. Syarat ini meliputi
pembuatan warna-warna dasar dan penyediaan alat-alat kuas, tempat pencampur
warna, dan pemakaian warna secara tepat.
e. Bhawa yaitu dapat diartikan sebagai suasana dan sekaligus pancaran rasa. Suasana
dan pancaran rasa ini, misalnya suatu suasana sedih, haruslah dinyatakan dengan
jelas, sehingga si penikmat seni bisa diantar melalui jalur yang tak meragukan ke
arah perasaan yang dimaksudkan.
 Suasana atau emosi, dibagi atas dua macam : yang tetap (sthayi-bhawa) dan
yang mudah berubah (wyabhicari-bhawa).
 Bhawa yang tetap ada 9, yaitu cinta, kesedihan, tawa, kemarahan, semangat,
ketakutan, kemuakan, keheranan, dan ketenangan, ketentraman batin.
f. Lawanya: berarti keindahan daya pesona, wibawa atau greget. Seni bukan hanya soal
teknik atau keterampilan, tetapi ekspresi yang memberikan wibawa transendental.
Dengan kehadiran lawanya, suatu hasil seni akan menimbulkan kesan yang dalam
pada si penikmat, bahkan bisa mempengaruhi batinnya .

Anda mungkin juga menyukai