Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sastra khususnya sastra Indonesia, sering diidentikkan dengan seni dalam
tulis menulis oleh masyarakat awam. Hal ini tidak sepenuhnya salah, karena
sebuah karya sastra yang dapat banyak aspek yang mendukung sebuah kesenian.
Berbicara tentang seni, tidaklah lepas kaitannya dengan estetika atau keindahan.
Khususnya karya sastra, manusia dapat merasakan keindahan dari tulisan-tulisan
yang mencerminkan pemikiran dari sang penulis. Oleh karena itu dikajilah suatu
teori sastra yang berkaitan dengan karya sastra tersebut. Masalah teori sastra
merupakan salah satu materi pelajaran yang dipelajari dalam studi bahasa dan
sastra Indonesia.
Berangkat dari masalah teori sastra yang menjadi pokok bahasan utama
dalam lingkup Studi Mata Kuliah Teori Sastra yang dianut oleh para mahasiswa
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Bahasa Indonesia, mata kuliah ini hingga
sampai saat ini banyak orang yang kurang memahami dan menyukai studi ini.
Maka dari tim penulis disini akan mengulas sedikit mengenai salah satu Teori
Sastra yang berkaitan dengan mata kuliah ini, yakni Teori Formalisme. Hal ini
diharapkan dengan membaca makalah ini pembaca sekalian dapat memahami
materi dari mata kuliah teori sastra satu ini serta menimbulkan minat yang tinggi
bagi pembaca semua.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja faktor-faktor dan konsep yang terkandung didalam teori Formalisme?
2. Siapa tokoh yang berperan dalam teori Formalisme?
3. Bagaimana uraian mengenai New Critism serta cara kerjanya?
4. Bagaimana penjelasan mengenai Neo Aristotelianisme dan tujuan apa saja
yang ada apabila melakukan sebuah penelitian dengan metode ini?

1.3 Tujuan Masalah


1. Mengetahui faktor-faktor dan konsep yang terkandung didalam teori
Formalisme.
2. Mengetahui tokoh yang berperan dalam teori Formalisme.
3. Mengetahui New Critism dengan cara kerjanya.
4. Mengetahui penjelasan Neo Critism serta tujuan menggunakan metode
tersebut dalam penelitian.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Formalisme


Istilah Formalisme (dari kata Latinforma yang berarti bentuk, wujud)
berarti cara pendekatan dalam ilmu dan kritik sastra yang mengesampingkan data
biografis, psikologis, ideologis dan sosiologis dan drengarahkan perhatian pada
bentuk karya sastra itu sendiri.Pada umumnya teori Formalisme dipandang
sebagai titik awal munculnya ilmu sastra modern.Teori ini pulalah yang
mendasari studi sastra menjadi ilmu, dan memunculkan aliran-aliran lainnya
seperti strukturalisme dan semiotiksastra.
Sebagai teori moden mengenai sastra, secara historis kelahiran formalisme
dipicu oleh paling sedikit tiga faktor, sebagai berikut.
1. Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigm
positivsme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas,
dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi.
2. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, di mana terjadinya
pergeseran dari paradigm diakronis ke sinkronis.
3. Penolakan terhadap pendekatan tradisinonal yang selalu memberikan
perhatian terhadap hubungan kerya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan
psikologi.
Formalisme adalah reaksi terhadap pendekatan sastra yang bersifat
positivistikyang merupakan sebuah pendekatan yang didasari oleh filsafat
positivisme, yakni suatu faham yang menganggap bahwa segala ilmu pengetahuan
harus berasaskan fakta yang dapat diamati.Dengan adanya divergensi subjek
kretor, maka formalism dengan demikian menolak karya sastra sebagai ungkapan
pndangan hidup, sekaligus perbedaan secara dikotomis antara bentuk dan isi.
Formalisme juga menolak peranan karya sastra semata-mata sebagai sarana untuk
memahami hakikat kebudayaan yang luas. Sebagai ilmu komunikasi, formalisme
menyampaikan informasi melalui sarana-sarana di luar bahasa itu sendiri.
Formalisme mengutamakan pola-pola suara dan kata-kata formal, bukan isi, oleh
Karena itulah, cara kerjanya disebut sebagai metode formal.
Teori formalisme ingin membebaskan karya sastra dari lingkungan ilmu-
ilmu lain seperti ilmu psikologi, sejarah, atau penelitian kebudayaan, yang
menurut teori formalisme, pendekatan karya sastra melalui ilmu lain kurang
begitu meyakinkan. Tujuan formalisme adalah studi adalah studi ilmiah tentang
sastra, dengan cara meneliti unsur-unsur kesastraan, politik, asosiasi, aposisi, dan
sebagainya. metode yang digunakan, baik dalam tradisi formalisme maupun

2
sesudah menjadi strukturalisme, bahkan sesudah struktur formalisme, adalah
metode formal. Metode formal tidak merusak teks, juga tidak mereduksi,
melainkan merekrontuksi dengan cara memaksimalkan konsep fungsi, sehingga
menjadi teks sebagai sesuatu kesatuan yang terorganisasi.
Sekitar tahun 1930-an, sebagai akibat situasi politik, dengan alasan bahwa
model-model pendekatan formal bertentangan dengan ajaran Marxis, formalisme
dilarang di Rusia tetapi berkembang di Praha (cekoslovakia). Melalui tokoh-tokoh
Roman Jakobson, Mukarovsky, Rene Wellek, dan Felix Vidicka, formalisme
Praha justru mengkritik formalisme Rusia yang dianggap tidak menopang
perkembangan sastra sebab terlalu banyak membereikan perbahian pada bentuk,
sehingga sama-sekali mengabaikan isi.

2.1.1 Konsep-konsep Formalisme Rusia


1. Konsep Formalisme Rusia tentang Puisi
Kaum Formalis periode awal cenderung mengidentifikasikan
“kesusastraan” dengan kepuitisan. Puisi dipandang oleh kaum Formalis sebagai
penggunaan bahasa sastra secara menginti. Definisis mereka tentang puisi adalah
“susunan tuturan yang ke dalamnya terjaring keseluruhan tekstur bunyi”. Faktor
pembangun puisi yang paling penting adalah ritme.
2. Konsep Formalisme Rusia tentang Prosa
Definisi Formalis tentang kesusasteraan adalah definisi yang berlandaskan pada
sifat perbedaan atau pertentangan.Unsur yang membentuk kesusasteraan hanyalah
perbedaannya dengan aturan fakta yang lainnya. Sastra adalah pemakaian bahasa
yang khas yang mencapai perwujudannya lewat deviasi dan distorsi dari bahasa
“praktis”.
Pada hakikatnya ciri yang membedakan genre bukanlah sifat gayakhas,
tetapi lebih merupakan sifatpertentangan yang membina genre yangbersangkutan
sebagai kesusasteraan. Sifatpertentangan yang terdapat di dalam prosaadalah
antara unsur fabula dan unsur sjuzet.Fabulamerujuk kepada urutan peristiwa
menurut tertib masa, sedangkan sjuzetmenurut tertib dan cara peristiwa itu
sebenarnya disajikan dalam kisah. Sjuzetmewujudkan kesan defamiliarisasi
terhadap fabula, karena ciri gaya khas sjuzet tidak diciptakan sebagai alat untuk
menyampaikan fabula.
3. Fakta sebagai Landasan Fabula
Sjuzet pada dasarnya dapat merupakan defamilirisasi dari fakta yang
merupakan landasan fabula.menurut kaum Formalisasi Rusia sjuzet di dalam
karya sastra prosa pada dasarnyamerupakan defamiliarisasi fabula. Fabulasebagai

3
“cerita” yang difamiliarisasi di dalam sjuzet tentunya dapat “muncul” tidak secara
tiba-tiba. Melainkan disebabkan oleh hal tertentu. Salah satu hal yang dapat
menjadi penyebab munculnya fabula adalah peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari (fakta). Itu berarti bahwa fakta dapat menjadi landasan bagi
munculnya fabula.
4. Defamiliarisasi
Dapat diketahui bahwa konsep mengenai proses perwujudan karya sastra
yang merupakan perbedaan atau pertentangan dengan realitas objektif disebut
defamiliarisasi (penganehan, pengasinan) atau proses menjadikan sesuatu itu luar
biasa sifatnya (ostranenie). Defamiliarisasi itu sendiri terwujud didalam teks sastra
berupa sjuzet.
Menurut Victor Sklovskij yang dimaksud sjuzet bukan hanya susunan
peristiwaperistiwa cerita, melainkan juga semua “sarana” yang dipergunakan
untuk menyela dan menunda penceritaan, digresi-digresi, permainan-permainan
tipografis, pemindahan bagian-bagian buku ( katapengantar, persembahan, dan
sebagainya), serta yang ditunjukkan untuk menarikperhatian pembaca terhadap
untuk prosa dimaksud. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
sjuzet itu berisi seluruh teknik penceritaan yang merupakan perwujudan dari
konsep demafiliarisasi.
2.1.2 Tokoh-tokoh Faham Formalisme Barat
1. Victor Sjklovski
Victor Sjklovski mengemukakan bahwa, sifat kesastraan muncul sebagai
akibat penyusunan dan penggubahan bahan yangsemula bersifat netral. Para
pengarang menyulap teks-teks dengan efek mengasingkan dan melepaskannya
dari otomatisasi. Proses penyulapan olehnpengarang ini disebut defamiliarisasi,
yakni teknik membuat teks menjadi aneh dan asing atau teknik bercerita dengan
gaya bahasa yang menonjol dan menyimpang dari biasanya.Dengan teknik
penyingkapan rahasia, pembaca dapat meneliti dan memahami sarana-sarana
(bahasa) yang dipergunakan pengarang.
2. Boris Eichenbaum
Boris Eichenbaum memberi penegasan, kaum formalis dipersatukan oleh
adanya gagasan untuk membebaskan diksi puitik dari kekangan intelektualisme
dan moralisme yang diperjuangkan dan menjadi obsesi kaum simbolis. Mereka
berusaha untuk menyanggah prinsip-prinsip estetika subjektif yang didukung
kaum simbolis (yang bersandar pada teori-teorinya)
3. Boris Tomashevsky

4
Boris Tomashevsky menyebut motif sebagai satuan alur terkecil. Secara
umum,motif berarti sebuah unsur yang penuh artidan yang diulang-ulang di dalam
satu atau sejumlah karya. Pengertian motif di sini memperoleh fungsi
sintaksis.Iamembedakan motif terikat dengan motif bebas. Motif terikat adalah
motif yang sungguh-sungguh diperlukan oleh cerita, sedangkan motif bebas
merupakan aspek yang tidak esensial ditinjau dari sudut pandang cerita. Meskipun
demikian, motifbebas justru secara potensial merupakanfokus seni karena
memberikan peluang kepada pengarang untuk menyisipkan unsur-unsur artistik ke
dalam keseluruhan alurnya.

2.2 New Critism


New criticism merupakan aliran kritik sastra di Amerika serikat yang
berkembang antara tahun 1920-1960. Istilah new criticism pertama kali di
kemukakan oleh John Crowe Ransom dalam bukunya the new criticism (1940)
dan ditopang oleh I.A. Richard dan T.S. Eliot. Sejak Cleanth Brooks dan Robert
Pen Warren menerbitkan buku Understanding Poetry (1938), model kritik sastra
ini mendapat perhiatian yang luas dikalangan akademisi dan pelajar Amerika
selama 2 dekade. Penulis new criticism yang lainnya yang penting adalah : Alien
Tate, R.P. Blackmur, da William K. Wimsatt, Jr.(Abrams, 1981 : 109-110).
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap kritik sastra sebelumnya yang
terlalu fokus pada aspek-aspek kehidupan dan psikologi pengarang serta sejarah
sastra. Para new criticism menuduh ilmu dan teknologi menghilangkan nilai peri
lemanusiaan dari masyarakat dan menjadikannya berat sebelah. Menurut mereka,
ilmu tidak memadahi dalam mencerminkan kehidupan manusia. Sastra dan
terutama puisi merupakan suatu jenis pengetahauan, yaitu pengetahuan lewat
pegalaman. Tugas kritik sastra adalah memperlihatkan dan memelihara
pengetahuan yang khas, unik dan lengkap seperti yang ditawarkan kepada kita
oleh sastra agung (Van Luxemburg dkk, 1988: 52-54).
Sekalipun para new criticism tidak selalu kompak, mereka sepakat dalam
memandang karya sastra sebagai sebuah kesatuan organik yang telah
selesai,sebuah gejala estetik yang telah melepaskan kondisi subyektifnya pada
saat karya itu diselesaikan hanya dengan menganalisis susunan dan organisasi
sebuah karya sastra , dapat diperlihatkan inti karya seni itu menurut arti
sesungguhnya. Menurut T.S. Eliot, sebuah puisi pertama-tama adalah puisi, bukan
sesuatu yang lain suatu objek yang otonom dan lengkap.
Untuk mengetahui arti itu kita harus mempergunakan pengetahuan kita
mengenai bahasa dan sastra. Pandangan-pandangan kaum new critics,
bagaimanapun tetap berguna karena mempertajam pengertian kita terhadap puisi
yang terkadang sukar dipahami. Meskipun demikian, pandangan mereka terlalu
mengutamakan puisi daripada jenis sastra lainnya menyebabkan teori sastra

5
mereka dipandangan kurang utuh. Mereka juga menyadari bahwa tidak hanya the
words on the page yang mengemudikan tafsiran mereka melainkan juga cita-cita
dan praduga-praduga mereka telah ikut berperang di dalamnya ( Fan Luxemburg
dkk. 1986 : 54).
2.2.1 Cara kerja new criticism
Kendati pemikiran dan praktisi new criticism banyak, dan diantara mereka
pasti ada silang pendapat,pada hakikatnya cara kerja mereka sama, yaitu :
1. Close reading, yakni mencermati karya sastra dengan teliti dan mendetail
kalau perlu baris demi baris, kata demi kata, dan kalau perlu sampai akar-akar
katanya. Begitu sebuah detail puisi ditemukan tidak mempunyai makna dan
tidak mempunyai fungsi, maka mutu estetika puisi ini tidak mungkin dijamin.
2. Empiris, yakni penekanan analisis, ada observasi, bukan pada teori.
3. Otonomi
a. Karya sastra adalah sesuau yang mandiri dan berdiri sendiri, tidak
tergantung pada unsure-unsur lain, termasuk kepada penyair atau
penulisnya sendiri
b. Kajian sastra adalah sebuah kajian yang mandiri dan berdiri sendiri tidak
bergantung pada kajian-kajian yang lain, seperti sejarah, filsafat, geografi,
psikologi, dan sebagainya. Otonomi merupakan cirri khas mutlak kajian
intrinsik. Kendati teori-teori berikut tidak tertutup kemungkinan untuk
mempertimbangkan unsur ekstrinsik karya sastra, setiap kajian tidak
mungkin lepas dari nili-nilai intrinsik karya sastra itu sendiri.
4. Concreteness. Apabila karya sastra dibaca, maka karya sastra menjadi
congcrete atau hidup. Misalnya, baris then glut they sorrow on a morning
terasa benar-benar hidup. Kata glut menimbulkan kesan kerakusan yang
benar-benar congcrete. Sebagaimana halnya konsep otonomi, congcreteness
new criticism juga diambil oleh formalisme rusia dan strukturalisme.
5. Bentuk (form) : titik berat kajian new criticism adalah bentuk (form) karya
sastra, yaitu keberhasilan penyair atau penulis dalam diksi (pemilihan kata),
imagenarry ( methapore, simile, onomatopea, dan sebagainya), paradoks,
ironi, dan sebagainya. Bagi new criticism, bentuk karya sastra menentukan isi
karya sastra.
6. Diksi (pemilihan kata )
Wafat, mangkat, meninggal, mati pada hakikatnya mempunyai makna sama,
namun nama kata yang akan dipilih oleh penyair atau penulis tergantung dari
penyair atau penulisnya itu sendiri.
7. Tone (nada), yakni sikap penyair, penulis, narator, atau aku lirik terhadap (a)
diri sendiri, (b) diri sendiri terhadap objek atau bahan pembicaraan, dan (c)
diri sendiri terhadap lawan bicarannya.
8. Metafor , yakni pembandingan satu objek dengan objek lain tanpa
penggunaan kata seperti, bagaikan, dan hal-hal semacamnya hamidah adalah

6
bunga mawar. (hamidah bukan bunga mawar, namun cantik dan anggun
baikan bunga mawar).
9. Simile yakni perbandingan objek satu dengan objek lain dengan penggunaan
kata-kata seperti, bagaikan, dan hal-hal semacamnya. Hamidah cantik
bagaikan bunga mawar.
10. Onomatopea: Peniruan bunyi
Terdengar ketepak-ketepok langkah kaki kuda.
11. Paradoks : Lawan atau kebalikan sesuatu antara lain dapat digunakan untuk
menyindir. Paradoks yang baik dalam sebuah karya sastra yang baik biasanya
menimbulkan gema pada pikiran para penyair atau pengarang lain. Kadang-
kadang paradoks juga tampak seperti kendati maknanya mungkin bukan
sekdar moto, seperti yang tampak dalam puisi John Donne “ kanonisasi” : dia
yang akan menyelamatkan jiwanya, harus kehilangan jiwanya terlebih dahulu
dan yang terakhir akan menjadi yang pertama.
12. Ironi. Segala sesuatu dalam ironi mempunyai makna berlawanan dengan
makna sesungguhnya atu makna dinotasi.
a. Ironi verbal : lawan atau kebalikan dari apa yang diucapkan dan apa yang
dimaksudkan sesungguhnya.
b. Ironi dramatik: lawan atau kebalikan dari apa yang tidak diketahui tokoh
dalam sebuah karya sastra, drama, atau film dan apa yang diketahui oleh
pembaca atau penonton.
c. Ironi situasi: lawan atau kebalikan antara harapan atau persangkaan dan
hasil dari harapan atau perasangka itu.

2.3 Neo Aristotelianism


Neo-Aristotelianisme adalah pandangan sastra dan kritik retoris yang
disebarkan oleh Sekolah Chicago Ronald S. Crane, Penatua Olson, Richard
McKeon, Wayne Booth, dan lainnya - yang artinya "Pandangan sastra dan kritik
yang mengambil sikap pluralistik terhadap sejarah sastra dan berusaha melihat
karya sastra dan teori kritis secara intrinsik"
Neo-Artistotelianisme adalah salah satu metode retoris kritik pertama.
Fitur utamanya pertama kali disarankan dalam Herbert A. Wichelns '"The Literary
Criticism of Oratory" pada tahun 1925. Fokusnya adalah menganalisis metodologi
di balik kemampuan pidato untuk menyampaikan ide kepada audiens. Pada tahun
1943, Neo-Aristotelianisme dipublikasikan lebih lanjut, mendapatkan popularitas
setelah William Norwood Brigance menerbitkan A History and Criticism of
American Public Address
Tidak seperti kritik retorika, yang berkonsentrasi pada studi pidato dan
efek langsung dari retorika pada audiensi, Neo-Aristotelianisme "mengarah pada
studi seorang pembicara tunggal karena banyaknya topik yang harus dibahas

7
berkaitan dengan retorika dan pidato membuat berurusan dengan lebih dari satu
pembicara hampir mustahil. Dengan demikian, berbagai pidato oleh retorika
berbeda yang berhubungan dengan bentuk topik tidak dimasukkan dalam lingkup
kritik retorika.
Karya Wichelns adalah salah satu yang pertama yang memperkenalkan
Neo-Aristotelianisme. Itu mempersempit pidato menjadi 12 topik utama untuk
dipelajari, mirip dengan banyak topik yang dibahas oleh Aristoteles dalam
Retorika. Topik-topiknya untuk kritik pidato meliputi:
a. Kepribadian pembicara
b. Karakter pembicara (bagaimana audiens melihat pembicara)
c. Hadirin
d. Ide utama
e. Motif yang menjadi daya tarik pembicara
f. Sifat bukti pembicara (kredibilitas)
g. Penilaian pembicara tentang sifat manusia di antara hadirin
h. Pengaturan
i. Cara berekspresi
j. Persiapan bicara
k. Pengiriman
Efek dari wacana pada audiens langsung dan efek jangka panjang Menurut
Mark S. Klyn, penulis Menuju Kritik Retoris Pluralistik Kritik, "Kritik Sastra dari
Oratori" menyediakan "substansi dan struktur untuk sebuah penelitian yang
sebelumnya tidak berbentuk dan sesaat itu benar-benar menciptakan disiplin
retorika modern. kritik. Jadi terlepas dari kurangnya detail pada topik-topik ini, itu
memberikan struktur modern mengkritisi dan menganalisis pidato melalui Neo-
Aristotelianisme, menurut Donald C. Bryan.
Dalam penelitian mengenai suatu pidato yang menggunakan perspektif Neo
Aristotelian mengungkapkan Kata-kata bijak dari seorang ahli retorika yang
begitu produktif dan terkenal akan menjadi panduan yang berguna bagi
masyarakat dalam kesulitan mereka menghadapi tantangan saat ini dan masa
depan. Kata-kata yang bisa menjadi semacam cahaya suar bagi umat manusia bisa
dalam bentuk pidato, anekdot, metafora, puisi, lirik lagu, dan sejenisnya. Oleh
karena itu, akan bermanfaat untuk mengetahui dampak kata-kata bijak, terhadap
masyarakat dan sejauh mana itu berlaku di dunia modern saat ini.\
Tujuan dari melakukan penelitian dengan metode Neo Aristotelian sendiri
adalah :
1. Untuk mengidentifikasi metafora yang digunakan dalam konteks tertentu
yang digunakan untuk memahami pola yang melekat yang terlibat dalam
pidato. Ini bisa menandakan kelayakan menggunakan metafora tertentu
dalam suatu konteks.

8
2. Menentukan struktur metafora dalam konteks pidato tertentu Setelah
metafora diidentifikasi, strukturnya harus dianalisis secara mendalam.
Sangat penting untuk mengungkap hubungan antara metafora dan pesan
aktual yang ingin disampaikan. Hubungan memastikan bagaimana tingkat
kecocokan pidato yang tinggi dapat dicapai. Dengan memenuhi kedua
tujuan yang disebutkan di atas, akan mungkin untuk mencapai platform
pemahaman yang lebih tinggi dalam upaya menguraikan konstruk metafora
yang mendasarinya dalam pidato-pidato Aminuddin Baki. Sebagai
akibatnya, sifat metaforis sebenarnya dari tindakan komunikatif oleh ahli
retorika dapat sepenuhnya dihargai hingga potensi maksimalnya.
Retorika terdiri dari tiga elemen utama - etos, pathos, dan logo. Strategi
utama dalam retorika adalah penggunaan metafora. Ini adalah bentuk pidato
kiasan yang memungkinkan komunikasi tidak langsung terjadi. Metafora memberi
makna dengan mengadopsi konsep eksternal. Karena itu, diperlukan interpretasi
fleksibel dari ide ganda yang mungkin tidak terlihat pada pandangan pertama.
Cara paling intuitif untuk memahami retorika adalah dengan melihatnya
sebagai sebuah konstruksi yang terdiri dari situasi yang menginspirasi pidato,
pembicara yang menyampaikan pesan mengenai situasi untuk mendapatkan tujuan
tertentu, dan audiens yang bereaksi terhadap tindakan ilokusi dari pembicara
dalam kaitannya dengan situasi (Gross, 1994).
Ini agak mirip dengan komponen formal retorika, yang melibatkan etos,
logo, dan pathos. Etos adalah karisma atau karakter penuturnya (Rodríguez-
Sedano., Rumayor & Paris, 2011). Misalnya, dalam sebuah forum akademik, jika
pembicara adalah seorang ahli dalam suatu bidang dan telah menerbitkan
sejumlah artikel dalam jurnal berdampak tinggi, maka etosnya menguntungkan
bagi audiens. Di sini, pendapat yang disampaikan tentang masalah ini
kemungkinan besar akan diterima dengan baik dan diakui oleh audiens. Secara
realistis, etos tergantung pada audiens (Hübler & Bell, 2003). Retorika yang sama
yang disebutkan di atas mungkin memiliki pengaruh signifikan pada audiens
akademik. Namun, jika karyanya belum diuji di dunia nyata, sekelompok praktisi
dapat memproyeksikan kesulitan yang cukup besar dalam menerima ide-ide yang
disajikan.
Pathos Berbeda dengan etos yang menekankan pada kepribadian pembicara,
pathos (Vardoulakis, 2003) menggeser fokus ke emosi penonton. Dengan
demikian, untuk mendapatkan penegasan dari pendengar, pidato harus dirancang
sesuai dengan elemen yang paling menggugah. Dengan cara ini, ungkapan yang
dibuat, dapat sepenuhnya dihargai oleh komunitas yang diminati.
Metafora ini dianalisis dan didiskusikan berdasarkan empat aspek utama.
Mereka adalah elemen metaforis, makna metaforis, dampak metaforis dan

9
akhirnyametaforis perbandingan. Dengan demikian, setiap metafora akan
diperlakukan dengan analisis yang sama di seluruh teks.
Elemen metaforis hanya mempertimbangkan komponen dalam tenor dan
dalam kendaraan isolasi (Tourangeau & Rips, 1991). Ini berarti bahwa mereka
diperiksa secara terpisah tanpa mempertimbangkan bagaimana satu dapat
mempengaruhi yang lain. Memulai analisis dengan cara ini sangat membantu
dalam membangun fondasi analisis sebelum berkembang menjadi sesuatu yang
lebih kompleks.
Makna metaforis menggabungkan makna tenor dan kendaraan untuk
menurunkan pemetaan yang ada di antara keduanya (Tourangeau & Sternberg,
1982). Konsistensi sangat penting di sini. Makna keseluruhan keduanya harus
saling melengkapi agar metafora berfungsi. Setelah maknanya diklarifikasi,
dampaknya diperiksa lebih dekat. Mengingat tidak tersedianya audiensi dan
ketelitian sejak 1960-an, hanya dampak yang diinginkan dari ahli retorika yang
diteliti secara mendalam. Akhirnya, perbandingan dibuat antara metafora minat
dengan metafora terkait lainnya untuk wawasan interpretatif.

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam kehidupan sehari hari pada umunya orang menyukai sastra. Kata-
kata mutiara, ungkapan-ungkapan yang bersifat persuasive yang merupakan salah
satu ciri khas keindahan bahasa sastra seringkali digunakan orang dalam situasi
berkomunikasi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan orang
kearah bersastra.
Untuk memahami dan menikmati karya sastra diperlukan pemahaman
tentang teori sastra. Khususnya yang telah dikaji dalam makalah ini yaitu, teori
Formalisme, New Critism, serta Neo Aristotelian dalam kaitannya membuat suatu
karya sastra yang estetik.

Referensi :
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.
Endraswara, Suwardi. 2013. Teori Kritik Sastra : Prinsip, Falsafah, dan
Penerapan. Yogyakarta : CAPS.
Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra : Dari
Strukturalisme hingga Poskolonialisme Perspektif Wacana Naratif.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sariban. 2009. Teori dan Penerapan Penelitian Sastra : Panduan Penelitian
Sastra Mulai Teori Strukturalisme, Filsafat, Sosiologi Sastra, Stilistika,
Psikologi Sastra, Dekonstruksi, Sastra Bandingan, Hingga Poskolonialisme.
Surabaya : Lentera Cendikia Surabaya.
Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra : Dasar-Dasar Memahami
Fenomena Kesusastraan ; Psikologi Sastra, Strukturalisme, Formalisme
Rusia, Marxisme, Interpretasi dan Pembaca, dan Pascastrukturalisme.
Yogyakarta : CAPS.
Teeuw, A. 2015. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung : Pustaka Jaya.
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra : Buku Pengantar Teori Bagi Para
Mahasiswa Maupun Umum Sebagai Dasar Untuk Mengkaji Sastra.
Yogyakarta : PUSTAKA.

11

Anda mungkin juga menyukai