Anda di halaman 1dari 9

KAJIAN PSIKOLOGI KARYA SASTRA: JINGGA UNTUK MATAHARI

(Konflik Batin Tokoh Matahari, Jingga, dan Senja Dalam Novel Jingga
Untuk Matahari Karya Esti Kinasih)

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan konflik batin yang
dialami para tokoh dalam novel Jingga Untuk Matahari karya Esti
Kinasih. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif
dengan menggunakan analisis isi. Sumber data yang digunakan berupa
dokumen. Teknik pengumpulan data yang digunakan, analisis
dokumen. Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan; Dalam
novel Jingga Untuk Matahari terdapat 8 konflik batin. Konflik batin
yang dialami oleh tokoh di dalam novel Jingga Untuk Matahari
didasarkan pada teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud, yang
diperoleh gambaran tentang struktur kepribadian tokoh, yang
dipengaruhi oleh ketiga sistem kepribadian yaitu id, ego, dan superego.
Kata Kunci: psikologi sastra, konflik batin, novel Jingga Untuk
Matahari.

Abstract
The purpose of this research is to describe the inner conflicts
experienced by the characters in Esti Kinasih's Jingga Untuk Matahari.
This research is a descriptive qualitative research using content
analysis. The data source used is a document. The data collection
technique used was document analysis. Based on the results of data
analysis it can be concluded; In the novel Jingga Untuk Matahari there
are 8 inner conflicts. The inner conflict experienced by the characters
in the novel Jingga Untuk Matahari is based on Sigmund Freud's
psychoanalytic personality theory, which obtains an overview of the
character's personality structure, which is influenced by the three
personality systems, namely the id, ego, and superego.
Keywords: literary psychology, inner conflict, Jingga Untuk Matahari
novel.

PENDAHULUAN
Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang bersifat indah dan dapat
menimbulkan kesan yang indah pada jiwa pembaca. Imaji adalah daya pikir untuk

1
membayangkan atau menciptakan gambar-gambar kejadian berdasarkan kenyataan
atau pengalaman seseorang. Menurut genrenya, karya sastra dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu: prosa (fiksi), puisi, dan drama. Dari ketiga jenis genre sastra tersebut,
penulis hanya memfokuskan kajian pada prosa fiksi. Prosa dalam pengertian
kesastraan juga disebut fiksi, teks (naratif), atau wacana naratif (Nurgiantoro,
2005:2). Hal ini berarti prosa (fiksi) merupakan cerita rekaan yang tidak didasarkan
pada kebenaran sejarah Abrams (dalam Nurgiantoro, 2005:2).
Salah satu contoh prosa fiksi tersebut adalah novel. Salah satu cara untuk
menikmati karya sastra adalah melalui pengkajian psikologi sastra. Menurut
Endraswara (2008:96), psikologi sastra adalah kajian sastra yang mengandung
karya sebagai kreativitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan
karsa dalam berkarya. Begitu pula pembaca dalam menanggapi karya juga tidak
akan lepas dari kejiwaan masing-masing.
Dalam Novel Jingga Untuk Matahari, pengarang menyajikan cerita yang
mengandung nilai-nilai psikologi. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti konflik
batin yang dialami oleh masing-masing tokoh menggunakan pendekatan psikologi
sastra. Psikologi sastra mempelajari fenomena, kejiwaan tertentu yang dialami oleh
tokoh utama dalam karya sastra ketika merespons atau bereaksi terhadap diri dan
lingkungannya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti berminat untuk menganalisis
novel Jingga Untuk Matahari dengan pendekatan psikologi sastra. Alasan peneliti
menganalisis novel Jingga Untuk Matahari dari segi psikologi sastra karena
peneliti menemukan banyak konflik batin yang dialami para tokoh dalam novel
tersebut. Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang sekaligus disebut
sebagai fiksi. Dalam dunia sastra, istilah novel sudah tidak asing lagi. Menurut
Robert Lindell (dalam Tarigan, 1993:164), karya sastra yang berupa novel pertama
kali lahir di Inggris dengan judul Pamella yang terbit pada tahun 1740.
Goldman (dalam Faruk, 1999: 31) mengatakan bahwa bentuk novel
tampaknya merupakan transposisi ke dataran sastra kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat individualistik yang diciptakan oleh produksi pasar. Dalam hal ini,
novel lebih mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan
disajikan dengan lebih halus. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa sebuah
novel merupakan suatu hasil imajinasi penulis yang menggambarkan refleksi
kehidupan tokoh dan segala masalah yang menyertainya secara utuh dengan
berbagai nilai yang turut membangun kelengkapan sebuah cerita.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam novel tersebut tidak dituangkan secara
eksplisit oleh penulisnya, tetapi nilai tersebut pada akhirnya dapat diambil hikmah
oleh pembaca sebagai sebuah pelajaran yang mungkin bermanfaat untuk
kehidupannya.
Pendekatan psikologis adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa
karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan manusia. Psikologi
sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi
psikologis. Dengan memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh, akan dapat dianalisis
konflik batin yang mungkin saja bertentangan dengan teori psikologis. Dalam
hubungan inilah peneliti harus menemukan gejala yang tersembunyi atau sengaja
disembunyikan oleh pengarangnya, yaitu dengan memanfaatkan teori-teori
psikologi yang dianggap relevan.
Menurut Ratna (2009:342-344), tujuan psikologi sastra adalah memahami
aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra. Penelitian psikologi
sastra dilakukan dengan dua cara. Pertama, melalui pemahaman teori-teori
psikologi kemudian diadakan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan
terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai obyek penelitian,
kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan
analisis. Jadi, psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai
aktivitas kejiwaan pengarang yang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam
berkarya. Begitu pula pembaca dalam menanggapi karya juga tidak akan lepas dari
kejiwaan masing-masing.
Hubungan antara karya sastra dan psikologi, yaitu karya sastra dipandang
sebagai gejala psikologi yang akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui
tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa prosa atau drama. Sementara itu, jika dalam
bentuk puisi gejala psikologi akan disampaikan pada larik-larik dan pilihan kata
yang khas. Psikologi dan sastra bukanlah sesuatu yang sama sekali baru karena
tokoh-tokoh dalam karya sastra harus dihidupkan, diberi jiwa yang dapat di-
pertanggungjawabkan secara psikologi juga. Pengarang yang baik sadar maupun
tidak memasukkan jiwa manusia ke dalam karyanya. Hal ini akan terlihat dalam
diri tokoh cerita di mana cerita tersebut terjadi (Wellek dan Warren, 1989: 41).
Dalam sebuah novel terdapat konflik antartokoh dalam cerita tersebut. Konflik
merupakan bagian penting dalam pengembangan cerita. Di dalam teori pengkajian
fiksi, konflik diartikan pada sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi
dan dialami oleh tokoh-tokoh cerita dan jika tokoh-tokoh itu mempunyai
kebebasan untuk memilih, tokoh itu tidak akan memilih peristiwa itu menimpa
dirinya. Konflik demi konflik yang disusul oleh peristiwa demi peristiwa akan
menyebabkan konflik menjadi semakin meningkat (Nurgiyantoro, 2005:123).

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian karya sastra memlalui analisis dokumen
berupa studi pustaka.Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatifyang berupa
penggambaran dari suatu keadaan tertentu dengan metode interaktif. Metode
interaktif digunakan untuk menelaah isi dari suatu dokumen. Sumber data yang
digunakan pada penelitian ini adalah dokumen. Sumber data dokumen yaitu berupa
novel Jingga Untuk Matahari karya Esti Kinasih yang berjumlah 448 halaman yang
diterbitakan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2017.
Sampel dalam penelitian ini adalah novel Jingga Untuk Matahari karya Esti
Kinasih. Peneliti menggunakan pertimbangan berdasarkan konsep teoretis,

3
keingintahuan pribadi, dan karakteristik empiris. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah analisis isi. Analisis isi, yaitu dengan mencatat dokumen atau
arsip yang berkaitan erat dengan tujuan penelitian. Analisis isi dilakukan dengan
membahas isi novel Jingga Untuk Matahari. Hal ini dilakukan dengan pencatatan
konflik batin setiap tokoh.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Konflik Batin yang Dialami Tokoh dalam Novel Jingga Untuk Matahari
Aspek psikologi sastra dalam novel Jingga Untuk Matahari akan diteliti
psikologi dari tokoh-tokoh dalam cerita tersebut dengan menganalisis perwatakan
yang digambarkan. Analisis ini dilakukan dengan teori kepribadian yang
dikemukakan oleh Sigmund Freud dalam teori Psikoanalisis, yaitu ego, id, dan
super ego. Aspek struktur kepribadian melalui id, the ego, dan super ego. Dalam
novel Jingga Untuk Matahari terdapat 8 konflik batin sebagai berikut.

1. Rencana kedatangan Mama dan Ata membuat kemelut diantara Ari dan
Papa nya
Dalam hal ini id dalam diri Ari mengatakan bahwa Ari harus mengabari Papa
nya karena Mama dan Ata yang telah dipisahkan lama darinya selama sembilan
tahun akan kembali membuat hidupnya bahagia. Seperti ditemukan pada kutipan
berikut ini,
Keesokan harinya, begitu bel istirahat pertama berbunyi, Ari segera keluar kelas.
Sambil menuju area koridor yang sepi, dia mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ada
nomor terakhir yang harus dikontaknya berkaitan dengan kembalinya saudara
kembarnya ke Jakarta. Sengaja Ari mengontak dari sekolah. Jika kabar baik itu tidak
disambutnya dengan baik, sudah pasti keberadaan Ata akan melecut kemarahan orang
itu. (Kinasih, 2017:23)

Ego di dalam diri Ari mencoba merealisasikan id tersebut dengan tindakan


menghubungi Papa nya yang berada di kantor dan memberitahu kabar baik itu,
tentu saja karena menurutnya sang Papa tidak suka dengan kedatangan Mama dan
Ata kembali, karena mungkin bisa mengganggu hubungan Papa nya itu dengan
Tante Icha. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut,
“Ada kabar mengharukan, Pa” Ari tidak bisa menahan senyum kemenangannya.
“Apa itu?” Di ujung sambungan, Papa menahan sabar.
“Ata mau sekolah di Jakarta lagi. Di sekolah Ari.”
“Siapa yang… Kata siapa?” Harapan Ari terkabul. Suara Papa langsung berubah
tegang. Keterkejutan yang amat sangat itu bahkan tertangkap jelas dalam suaranya.
(Kinasih, 2017:24)

Superego di dalam diri Ari menganggap bahwa tindakan yang dilakukan oleh
Ari sudah benar karena Ari menganggap bahwa Papa nya tidak akan suka dengan
kembalinya Mama dan Ata yang sembilan tahun terpisah Jakarta-Malang. Dengan
memberitahu rencana kepulangan Mama dan Ata, Ari yakin bahwa ia akan bisa
membuat Papa nya merasa bersalah sehingga akan meminta maaf pada Mama dan
memperbaiki semuanya. Superego telah memutuskan bahwa tindakan yang
diambil oleh Nadira sudah benar sehingga mampu mendorong id dan ego untuk
merealisasikan kebenaran tersebut agar dapat mencapai tujuannya, yaitu membuat
Papa nya merasa bersalah dan mau minta maaf.

2. Kesedihan Seno yang terpendam ketika Ata akan ke Jakarta


Id dalam diri Seno mengatakan bahwa ia sangat sedih akan kehilangan teman
baiknya. Seno benar-benar terluka, ia belum siap kehilangan teman semejanya di
sekolah, teman baiknya, teman akrabnya, bahkan sudah seperti saudara.
Sebagai orang yang selama dua tahun lebih duduk hanya berjarak sepetak ubin, dua
puluh senti, di sebelah Ata, sekarang Seno benar-benar terluka. (Kinasih, 2017:54)

Ego dalam diri Seno mencoba menahan semua dukanya dengan mencoba untuk
tidak terkejut saat Ata mengucapkan bahwa besok hari terakhirnya di sekolah.
“Gue berangkat Sabtu depan. Besok hari terakhir gue sekolah”
Seno mencoba tidak terkejut. Sudah terlalu banyak kejutan sejak mereka duduk di
tempat ini. Tapi kalimat itu jelas tidak mungkin tidak mengejutkan. Seno menatap Ata
dengan ternganga. (Kinasih, 2017:54)

Superego di dalam diri Seno menganggap bahwa tindakan yang dilakukan oleh
Seno sudah benar karena mengungkapkan kesedihannya pun tidak akan membuat
Ata mengurungkan kepergiannya, ia akan tetap pergi.

3. Papa merasa selalu bertanggungjawab atas apa yang terjadi terhadap


Mama, Ata, dan Ari
Id dalam diri Papa mengatakan bahwa dia memiliki tanggung jawab yang besar
terhadap Mama dan Ata walau mereka sudah lama tinggal jauh darinya.
“… Tapi Pak Rahardi, sayalah ayah mereka. Sayalah yang akan bertanggungjawab
penuh atas hidup mereka berdua.” (Kinasih, 2017:84)

Ego dalam diri Papa mencoba mengirim rekan kerjanya untuk terus memantau
keputusan-keputusan apa saja yang sudah diambil oleh Mama dan Ata. Karena
walau sedang terpisah Papa lah yang seharusnya sosok kepala keluarga.
Dia memantau semuanya sama sekali bukan demi arogansinya, seperti anggapan
banyak orang selama ini. Tapi karena ada banyak hal yang hanya diketahui olehnya
dan oleh putra yang tidak dipilihnya itu. (Kinasih, 2017:85)

Superego dalam diri Papa mengatakan bahwa tindakan itu benar sehingga
mampu mendorong id dan ego untuk merealisasikan kebenaran tersebut agar dapat
mencapai tujuannya, yaitu menebus semua kesalahannya di masa lalu yang telah
memisahkan Ata dan Ari begitupun Ari dan Mama nya.

5
“Saya tidak akan menghalangi kedua putra kembar saya kembali bersama-sama,
karena itu juga yang saya harapkan. Saya hanya ingin, sayalah yang menentukan
kapan dan bagaimana itu semua akan dimulai, karena ada banyak hal yang harus lebih
dulu diluruskan…” (Kinasih, 2017:85)

4. Kekhawatiran Ata terhadap Tari yang semakin jauh terlibat


permasalahan keluarganya
Id dalam diri Ata mengatakan bahwa ia khawatir jika Tari semakin terlibat jauh
dengan urusannya dengan Ari.
Ego dalam diri Ata merealisasikan kekhawatirannya itu tanpa sadar
mengulurkan tangannya menyentuh puncak kepala Tari kemudian menekannya
dengan lembut lalu mengusap-usap rambut Tari sesaat.
Superego dalam diri Ata mengatakan bahwa tindakan tersebut sudah benar,
karena dengan mengusap rambut Tari secara tidak langsung membuat Ata merasa
lebih tenang, hal ini juga memicu Ata untuk memikirkan bagaimana cara
menjauhkan Tari agar tidak terlibat lebih jauh lagi. Seperti yang digambarkan pada
kutipan berikut ini,
Senyum itu, kehadiran cewek ini di antara dirinya dan saudara kembarnya, memicu
Ata mengulurkan tangan kiri. Dia menyentuh puncak kepala Tari, menekannya dengan
lembut, lalu mengusap-usap rambut cewek itu sesaat.
Tindakan itu benar-benar Ata lakukan di luar kesadarannya. Murni karena rasa
khawatir muncul di alam bawah sadarnya. Otomatis dia memikirkan bagaimana cara
menjauhkan cewek yang mempunyai nama sama dengan dirinya ini, dari apa yang
dipastikan akan terjadi. (Kinasih, 2017:104)

5. Sikap dingin Ata kepada Ari yang tersembunyi


Id di dalam diri Ata mengatakan bahwa Ata akan bersedia kembali ke Jakarta
bertemu Papa dan Ari tetapi Ata tidak bisa bersikap benci secara terang-terangan.
Kebencian yang Ata pendam selama sembilan tahun ─pada Ari dan Papa yang
telah tega membiarkan dia dan Mama hidup di desa sedangkan Ari dan Papa hidup
serba mewah di kota─ akan ia balaskan saat di Jakarta. Hal ini tersirat pada kutipan
berikut,
Ada masa-masa ketika tangan yang terulur untuk menggapai hanya bisa meraih sosok
dalam ingatan. Namun, satu fakta yang baru diketahuinya lama setelah peristiwa
sesungguhnya terjadi, sementara dia ada di tempat kejadian, disusul satu peristiwa
menyakitkan yang kemudian merajah tengkoraknya dengan dendam yang dipastikan
akan kekal, membuat masa-masa itu terlempar ke sudut tergelap. Dan terkunci rapat
disana. (Kinasih, 2017:41)
Mereka bilang Ari tidak bersalah… Tidak mungkin dia tidak bersalah.
Mereka bilang Ari tidak tahu apa-apa… Bisa jadi dia tahu segalanya.
Mereka bilang Ari tidak baik-baik saja… Mereka salah. Ari baik-baik saja.
Mereka mengatakan, sama seperti dirinya, Ari juga menderita.
Mereka lebih salah lagi. Ari sama sekali tidak menderita.
Dia memiliki segalanya! (Kinasih, 2017:121)

Ego dalam diri Ata mencoba merealisasikan dengan melakukan drama seolah-
olah Ata sama seperti yang Ari pikirkan. Yaitu bahagia karena telah dipertemukan
kembali dengan saudara dan Mama nya. Akan tetapi itu hanyalah sandiwara
sebelum akhirnya tiba waktu pembalasan.
Superego dalam diri Ata mengatakan bahwa tindakan tersebut sudah benar.
Dengan cara berdrama dan berperan seolah bahagia Ari tidak akan curiga jika
setelah itu Ata akan menghancurkannya.

6. Kesalahpahaman Ata terhadap Ari yang berujung perhelatan sengit


Id dalam diri Ata mengatakan bahwa Ari bersalah karena mendukung
pernikahan kedua Papa mereka dengan Tante Icha. Namun, Ari yang waktu itu
berumur sembilan tahun bahkan tidak tahu menahu bahwa pesta yang dikiranya
pesta biasa adalah pesta pernikahan Papa nya. Jawaban Ari yang bertolak belakang
denga napa yang dibayangkan Ata selama ini membuat Ata semakin naik pitam.
Ata terlihat sama sekali tidak terpengaruh melihat Ari terlibas shock karena informasi
itu. Dia yakin sikap saudaranya itu hanya pura-pura. Kalaupun tidak, sesuatu mungkin
telah menghancurkan kehidupan sempurnanya yang bergelimang kemewahan itu.
Karenanya dia kemudian mencoba meraih kembali keluarga yang dulu dia campakkan.
(Kinasih, 2017:229-230)

Ego dalam diri Ata mencoba membuat Ari merasa tersiksa agar ia mengaku
salah, Ata tetap tidak percaya dengan apa yang dijelaskan oleh Ari bahkan Ata
semakin jelas dan gamblang menceritakan penderitaan yang ia alami dengan
Mama nya.
Penyangkalan Ari itu mengakhiri sesaat kesenangan yang Ata peroleh atas dugaan
bahwa hidup saudara kembarnya ternyata tidak seglamor pesta pernikahan itu. Ata
mengulurkan tangan kanannya dan mencengkeram leher belakang Ari dengan
kekuatan yang berasal dari seluruh kemarahannya. (Kinasih, 2017:230)

Superego dalam diri Ata mengatakan bahwa tindakan itu benar karena Ari harus
dihukum atas kesalahannya di masa lalu yang telah bahagia di atas penderitaan
Mama dan Ata.

7. Rahasia Ari dan Ata yang mengejutkan Tari

7
Id dalam diri Ari mengatakan bahwa dia merasa Tari harus tahu masa lalunya.
Ari ingin Tari mengetahui alasan dia menghilang setelah kesalahpahaman antara
dia dan Ata terjadi. Ari tidak tahu harus bercerita pada siapa jika bukan Tari,
seseorang yang bisa dipercaya dan pendengar yang baik juga menghangatkan.
Hanya Tari, yang bahkan jika tidak sedang bersamanya, Ari akan mencarinya
kemudian menyeretnya jatuh bersama. Persamaan nama cewek itu dengan nama
saudara kembarnya membuat Ari selalu berpikir Tari memang bagian dari hidup
pribadinya yang penuh ujung-ujung runcing, Ari selalu berpikir bahwa persamaan
nama itu bukanlah kebetulan. Itu pertanda. (Kinasih, 2017:346)

Ego dalam diri Ari mencoba mengajak Tari membolos sekolah pada suatu hari
untuk menceritakan kesalahpahaman antara dia dan Ata. Ari membawa Tari ke
sebuah tempat yang mengingatkan dia pada masa lalunya.
“Kenapa ke sini?”
“Karena gue bawa Everest. Karena di sini, dari sekian banyak hari waktu gue nipu elo,
sebenernya gue jadi diri sendiri. Apa yang pernah gue ceritain ke elo, yang nggak gue
ceritain ke orang lain, bahkan ke Ridho sama Oji, itu semua perjalanan hidup gue.
Karena dulu, setelah dari sini, kita jalan kaki ke pasar loak. Tempat lo tunjukkin mesin
jahit nyokap lo yang sama persis kayak mesin jahit nyokap gue. Terakhir, karena ini
hari sial lo.” (Kinasih, 2017:350)

Superego dalam diri mengatakan bahwa tindakan Ari itu benar. Hal itu
mendorong id dan egonya untuk merealisasikan keinginannya agar masalah antara
dia dan Ata cepat selesai dengan bantuan Tari.

8. Dendam Angga pada Ari yang ditunggangi Ata


Id dalam diri Ata mengatakan bahwa dia akan memanfaatkan Angga yang
menyukai Tari sebagai jembatan bagi Ata untuk menghancurkan hidup Ari.
“Kalo lo ngincer cewek yang udah punya cowok, rebut dia di depan cowoknya. Jangan
di belakang. Lo bikin tu cewek nanggung resiko.” (Kinasih, 2017:395)
“Kalo menurut lo ada peluang…” Jelas sangat ada peluang, tapi Ata mengunci fakta
itu dan tidak dia ucapkan. “Besok gue mau ketemu Ari. Lo boleh gabung.”
Tawaran yang mengejutkan. Sama sekali tidak terduga. Punggung Angga seketika
menegak. (Kinasih, 2017:396)

Ego dalam diri Ata mencoba memperalat Angga dengan memanfaatkan keadaan
dimana Angga suka dengan Tari. Ata menantang Angga agar berani mengambil
Tari dari Ari secara gentle atau terang-terangan.
Superego dalam diri Ata mengatakan bahwa tindakan itu salah karena
seharusnya Ata tidak ingin Tari terlibat lebih dalam. Namun, keadaan memaksa
Ata untuk memanfaatkan Tari pada akhirnya.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dalam pembahasan terhadap novel Jingga Untuk
Matahari karya Esti Kinasih dapat disimpulkan sebagai berikut. Dalam novel
Jingga Untuk Matahari terdapat 8 konflik batin. Konflik batin yang dialami oleh
tokoh di dalam novel Jingga Untuk Matahari didasarkan pada teori kepribadian
psikoanalisis Sigmund Freud, yang diperoleh gambaran tentang struktur
kepribadian tokoh, yang dipengaruhi oleh ketiga sistem kepribadian yaitu id, ego,
dan superego.

Saran
Penelitian ini dapat dijadikan jembatan sebagai sarana penghubung antara
karya sastra dengan para penikmatnya. Melalui penelitian ini, diharapkan karya
sastra tidak lagi menjadi sesuatu yang asing bagi pembaca serta. Dengan demikian,
pembaca diharapkan dapat lebih meresapi, menghayati, dan menikmati karya sastra

DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, S. (2008). Metodologi Penelitian Sastra : Epistermologi, Model,
Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta; Universitas Negeri Yogyakarta Press.
Faruk. (1999). Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kinasih, Esti. 2017. Jingga Untuk Matahari. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Lina Suprapto, dkk. (2014). Kajian Psikologi Sastra Dan Nilai Karakter Novel 9
Dari Nadira Karya Leila S. Chudori. Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra
Indonesia, dan Pengajarannya. Volume 2 Nomor 3. www.neliti.com/53934
Diakses pada 25 Desember 2020.
Mulyasa. (2012). Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara.
Nurgiyantoro, B. (2005). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Ratna, N.K. (2012). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Tarigan, H.G. (1993). Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Wellek, R. & Warren, A. (1990). Teori Kesusastraan (Diindonesiakan oleh
Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai