Anda di halaman 1dari 10

KAJIAN KONSTRUKSI SOSIAL DALAM CERPEN “ROBOHNYA SURAU KAMI”

KARYA AA NAFIS : ANALISIS KONSTRUKSI BERGER


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cerpen atau cerita pendek adalah karya fiksi berbentuk prosa yang isinya merupakan
kisahan pendek dan mengandung kesan tunggal.Masalah kehidupan yang disuguhkan
pengarang dalam cerpennya tentu saja merupakan refleksi realitas, yaitu penafsiran mengenai
kehidupan manusia atau merupakan suatu bentuk penyaluran ide pengarang untuk menyindir
suatu realita yang ada dalam masyarakat. Melalui cerpen yang dikarangnya, pengarang juga
dapat mengembangkan ide-ide baru yang terlintas dalam pikiran pengarang sehingga dapat
diperhatikan oleh pembaca dan dapat dijadikan sebagai bahan perbaikan.
Dalam penulisannya cerpen tentu berbeda dengan karangan ilmiah.Menulis cerpen tidak
hanya menuangkan gagasan atau merangkai cerita saja, tetapi juga kalimatkalimat yang
digunakan harus memiliki jiwa yang membuat pembaca seolah-olah mengalami sendiri
peristiwa atau konflik yang ada dalam cerita. Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis
karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat
memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi,
mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman
yang universal.
Pengalaman yang universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan
manusia serta kemanusiaan.Ia bisa berupa masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama,
persahabatan, sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika
seseorang pembaca cerpen seperti melihat miniatur kehidupan manusia dan merasa sangat
dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya. Akibatnya, pembacanya ikut larut dalam
alur dan permasalahan cerita. Bahkan sering pula perasaan dan pikiran pembaca
dipermainkan oleh permasalahan cerita yang dibaca. Ketika itulah si pembaca itu akan
tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau
membencinya.
Cerpen ”Robohnya Surau Kami” merupakan cerpen yang dinilai sangat berani. Kisah
yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim (hanya beribadah
melulu) justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya orang itu
melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin. Dalam cerpen ini pengarang
‘meminjam kacamata’ Tuhan untuk menyampaikan idenya, bahwa Tuhan telah menciptakan
manusia bukan hanya untuk menyembahNya saja karena seperti yang Tuhan katakan Dia
tidak mabuk pujian dan sembahan dari manusia. Dia memang seharusnya Yang Maha Agung
(tidak mengurangi kemahaagungan-Nya) walaupun tak ada yang menyembahnya, begitupun
tidak akan menambah keagunganNya walaupun manusia seluruhnya beriman kepadaNya.
Oleh karena itu, manusia yang seharusnya sensitif pada keadaan sekitarnya dan berusaha
untuk menjadi lebih efektif dalam merubah keadaan dirinya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk eksternalisasi pada cerpen “Robohnya Surau Kami” karya AA
Nafis?
2. Bagaimana bentuk objektivasi pada cerpen “Robohnya Surau Kami” karya AA Nafis?
3. Bagaimana bentuk internalisasi pada cerpen “Robohnya Surau Kami” karya AA Nafis?

1.3 Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan bentuk eksternalisasi pada cerpen “Robohnya Surau Kami”
karya AA Nafis.
2. Untuk mendeskripsikan bentuk objektivasi pada cerpen “Robohnya Surau Kami”
karya AA Nafis.
3. Untuk mendeskripsikan bentuk internalisasi pada cerpen “Robohnya Surau Kami”
karya AA Nafis.

1.4 Manfaat
1. Dapat memberikan pengetahuan akan bentuk eksternalisasi, objektivasi, dan
internalisasi yang direpresentasikan dalam cerpen.
2. Dapat menjadi referensi lebih bagi peneliti yang relevan dalam hal mengkaji teori
konstruksi realitas sosial.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Cerita Pendek
Cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. Dalam cerpen dipisahkan
sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau
menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan (Kosasih dkk, 2004:
431). Cerpen atau dapat disebut juga dengan cerita pendek merupakan suatu bentuk prosa
naratif fiktif. Cerpen cenderung singkat, padat, dan langsung pada tujuannya dibandingkan
karya-karya fiksi lain yang lebih panjang, seperti novelet dan novel.
Cerpen merupakan salah satu jenis karya sastra yang memaparkan kisah atau cerita
mengenai manusia beserta seluk beluknya lewat tulisan pendek dan singkat. Atau pengertian
cerpen yang lainnya yaitu sebuah karangan fiktif yang berisi mengenai kehidupan seseorang
ataupun kehidupan yang diceritakan secara ringkas dan singkat yang berfokus pada suatu
tokoh saja. Menurut KBBI, cerpen berasal dari dua kata yaitu cerita yang mengandung arti
tuturan mengenai bagaimana sesuatu hal terjadi dan relatif pendek berarti kisah yang
diceritakan pendek atau tidak lebih dari 10.000 kata yang memberikan sebuah kesan dominan
serta memusatkan hanya pada satu tokoh saja dalam cerita pendek tersebut.
Sedangkan menurut Nugroho Notosusanto dalam Tarigan. Cerpen atau cerita pendek
yaitu sebuah cerita yang panjang ceritanya berkisar 5000 kata atau perkiraan hanya 17 hlm
kuarto spasi rangkap serta terpusat pada dirinya sendiri. Cerpen ialah sebuah cerita yang
singkat yang harus memiliki bagian terpenting yakni perkenalan, pertikaian, serta
penyelesaian. Pendapat orang tentang cerpen sangat berbeda, masing-masing pendapatnya
sangat baik dan memiliki perbedaanuntuk itu saya berpendapat cerpen ialah suatu karangan
yang berkisah pendek yang mengandung kisahan tungal, menurut pendapat H. B. Jassin
(2003: 89).

2.2 Unsur Unsur Cerita Pendek


Sebuah karya fiksi merupakan manifestasi pengalaman estetis dan pengalaman pribadi
pengarang yang kombinasikan melalui imajinatif dan dituangkan dalam bentuk tulisan.
Cerpen mempunyai unsur-unsur, yang saling berkaitan erat antara yang satu dengan yang
lainya. Bagian-bagian cerpen saling berkaitan membentuk satu kesatuan yang utuh dan
menjadikan ceritanya begitu menarik. Unsur-unsur pembangun sebuah cerpen yaitu unsur
intrinsik dan unsur ekstrinsik Wellek & Daren (dalam Karmini, 2011:14).
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam karya sastra
itu sendiri. Maksud dari dalam yaitu unsur-unsur tersebut merupakan suatu kesatuan yang
membentuk keutuhan cerita. Keutuhan dan kelengkapan sebuah cerpen dilihat dari segi-segi
unsur yang membentuknya. Adapun unsur-unsur intrinsikmeliputi: (1) tema, (2) alur/plot, (3)
penokohan, (4) Latar/setting, (5) gaya bahasa, (6) sudut pandang, dan (7) amanat.
Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara
tidak langsung mempengaruhi system organisme karya sastra atau unsur-unsur yang
mempengaruhi sistem bangun cerita sebuah karya sastra, namun ia sendiri tidak menjadi
bagian di dalamnya (Karmini, 2011:14), unsur ekstrinsik memiliki pembagian-pembagian
diantaranya, latar belakang kehidupan pengarang, keyakinan dan pandangan hidup pengarang,
adat istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik, persoalan sejarah, ekonomi, pengetahuan
agama dan lain-lain.

2.3 Teori Konstruksi Realitas Sosial


Istilah konstruksi realitas sosial pertama kali dikenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann melalui bukunya The Social Construction of Reality : A Treatise in the Sociology
of Knowledge yang memiliki akar dari fenomenologi dan interaksi simbolik. Menurut Laura
Christina Luzar dari Universitas Binus dalam proses Konstruksi Sosial atas Realitas (Social
Construction of Reality) didefinisikan sebagai tahapan sosial melalui tindakan dan interaksi
dimana individu atau sekelompok individu, menciptakan secara terus-menerus suatu realitas
yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.
Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu, yang merupakan manusia bebas. Individu
menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya, yang dalam
banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata
sosialnya. Dalam proses sosial, manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang
relatif bebas di dalam dunia sosialnya. Menurut Berger & Luckman, terdapat 3 (tiga) bentuk
realitas sosial, antara lain :
1. Realitas Sosial Eksternalisasi
Merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan)
gejala-gejala sosial, seperti tindakan dan tingkah laku yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari dan sering dihadapi oleh individu sebagai fakta.
2. Realitas Sosial Objektifikasi
Merupakan ekspresi bentuk-bentuk simbolik dari realitas objektif, yang umumnya
diketahui oleh khalayak dalam bentuk karya seni, fiksi serta berita-berita di media.
3. Realitas Sosial Internalisasi
Realitas sosial pada individu, yang berasal dari realitas sosial objektif dan realitas sosial
simbolik, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi
melalui proses internalisasi. Atau bisa disebut dengan bagaimana orang menyerap apa
yang mereka lihat.

2.4 Konstruksi Sosial Berger


Berger membagi konstruksi sosial menjadi 3 bagian, yakni proses sosial momen
eksternalisasi, proses sosial momen objektivasi, hingga proses sosial momen internalisasi.
Hal ini dapat dijabarkan sebagai berikut.
2.4.1 Eksternalisasi
Kedirian manusia adalah melakukan eksternalisasi yang terjadi sejak awal, karena ia
dilahirkan belum selesai, berbeda dengan binatang yang dilahirkan dengan organisme yang
lengkap. Untuk menjadi manusia, ia harus mengalami perkembangan kepribadian dan
perolehan budaya (Berger, 1994: 5–6). Keadaan manusia yang belum selesai pada saat
dilahirkan, membuat dirinya tidak terspesialisasi dari struktur instinktualnya, atau dunianya
tidak terprogram. Dunia manusia adalah dunia yang dibentuk (dikonstruksi) oleh aktivitas
manusia sendiri; ia harus membentuk dunianya sendiri dalam hubungannya dengan dunia
(Berger, 1994: 6–7).
Dunia manusia yang dibentuk itu adalah kebudayaan, yang tujuannya memberikan
struktur-struktur yang kokoh yang sebelumnya tidak dimilikinya secara biologis. Oleh karena
merupakan bentukan manusia, struktur-struktur itu bersifat tidak stabil dan selalu memiliki
kemungkinan berubah. Itulah sebabnya, kebudayaan selalu dihasilkan dan dihasilkan kembali
oleh manusia. Ia terdiri atas totalitas produk-produk manusia, baik yang berupa material dan
nonmaterial (Berger, 1994: 8). Manusia menghasilkan berbagai jenis alat, dan dengan alat-
alat itu pula manusia mengubah lingkungan fisis dan alam sesuai dengan kehendaknya.
Manusia menciptakan bahasa dan membangun simbol-simbol yang meresapi semua aspek
kehidupannya.
Adapun pembentukan kebudayaan nonmaterial selalu sejalan dengan aktivitas
manusia yang secara fisis mengubah lingkungannya. Akibatnya, masyarakat merupakan
bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan nonmaterial. Masyarakat adalah aspek dari
kebudayaan nonmaterial yang membentuk hubungan kesinambungan antara manusia dengan
sesamanya, sehingga ia menghasilkan suatu dunia, yakni dunia sosial (Berger, 1994: 8–9).
Masyarakat merupakan bentuk formasi sosial manusia yang paling istimewa, dan ini lekat
dengan keberadaan manusia sebagai homo sapiens (makhluk sosial).
Maka itu, manusia selalu hidup dalam kolektivitas, dan akan kehilangan
kolektivitasnya jika terisolir dari manusia lainnya. Aktivitas manusia dalam membangun-
dunia pada hakikatnya merupakan aktivitas kolektif. Kolektivitas itulah yang melakukan
pembangunan-dunia, yang merupakan realitas sosial. Manusia menciptakan alat-alat, bahasa,
menganut nilai-nilai, dan membentuk lembaga-lembaga. Manusia juga yang melakukan
proses sosial sebagai pemelihara aturan-aturan sosial (Berger, 1994: 9210).
2.4.2 Objektivasi
Dengan memainkan peranan berarti individu berpartisipasi dalam suatu dunia sosial.
Dengan menginternalisasi peranan, dunia secara objektif menjadi nyata baginya. Bagi Berger
dan Luckmann (1990: 106–109), yang penting dalam peranan adalah proses pembiasaan.
Peranan itu terdapat dalam interaksi sosial dan mendahului pelembagaan. Semua perilaku
yang sudah dilembagakan, melibatkan berbagai peranan. Karena itu, peranan memiliki sifat
mengendalikan pelembagaan. Begitu pelaku-pelaku sudah ditipifikasi sebagai peranan,
perilakunya dapat dipaksakan. Maka, mau tidak mau, individu manusia harus menaati norma-
norma peranan yang sudah disepakati secara sosial. Di sinilah peranan merepresentasikan
tatanan kelembagaan. Misalnya, peranan desa adat dalam masyarakat Bali, merepresentasikan
kelembagaan desa adat (pakraman).
Individu harus “keluar” dan belajar mengetahui tentang lembaga-lembaga, sama
seperti dalam memahami alam. Cara itu harus dilakukan oleh individu, meskipun kenyataan
buatan manusia. Proses dengan mana produk-produk aktivitas manusia yang dieksternalisasi
memperoleh sifat objektif inilah yang disebut objektivasi. Jadi, objektivasi berarti
disandangnya produk-produk aktivitas (baik fisis maupun mental), suatu realitas yang
berhadapan dengan produsennya semula, dalam bentuk kefaktaan (faktisitas) yang bersifat
eksternal. Dunia kelembagaan adalah aktivitas manusia yang diobjektivasi. Dunia sosial yang
telah memperoleh sifat objektif, tetap tidak dapat dilepaskan dari status ontologisnya, dari
aktivitas manusia yang menghasilkannya.
2.4.3 Internalisasi
Internalisasi berlangsung karena adanya upaya untuk identifikasi. Si anak mengoper
peranan dan sikap orang-orang yang berpengaruh, dan menginternalisasi serta menjadikannya
peranan sikap dirinya. Dengan mengidentifikasi orang-orang yang berpengaruh itulah anak
mampu mengidentifikasi dirinya sendiri, untuk memperoleh suatu identitas yang secara
subjektif koheren dan masuk akal. Diri merupakan suatu entitas yang direfleksikan, yang
memantulkan sikap yang mula-mula diambil dari orang-orang yang berpengaruh terhadap
entitas diri itu.
Sosialisasi primer menciptakan di dalam kesadaran anak suatu abstraksi yang semakin
tinggi dari peranan-peranan dan sikap orang-orang lain tertentu ke peranan-peranan dan
sikap-sikap pada umumnya. Dalam sosialisasi primer biasanya tidak ada masalah dalam
identifikasi, karena orang-orang yang berpengaruh tidak dipilih. Anak harus menerima orang-
orang yang berpengaruh itu apa adanya, ibarat nasib, dan terjadi secara kuasi-otomatis. Anak
menginternalisasi dunia orang-orang yang berpengaruh tidak sebagai satu di antara banyak
dunia yang mungkin, sebagai kenyataan yang tidak terelakkan.
Anak menginternalisasinya sebagai dunia satu-satunya yang ada dan yang dapat dipahami.
Oleh karena itulah dunia yang diinternalisasi dalam sosialisasi primer jauh lebih kuat
tertanam dalam kesadaran dibandingkan dengan dunia-dunia yang diinternalisasi dalam
sosialisasi sekunder. Hal yang pertama sekali harus diinternalisasi adalah bahasa. Dengan
bahasa, sebagai perantaraannya, berbagai skema motivasi dan interpretasi diinternalisasi
sebagai sudah didefinisikan secara kelembagaan. Yang jelas, dalam sosialisasi primerlah
dunia pertama individu terbentuk.

2.5 Cerpen Robohnya Surau Kami


Cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis menceritakan tentang seorang penjaga
surau yang meradang akibat mendengar cerita dari seorang pembual tentang kejadian di
akhirat kelak. Dikisahkan oleh si pembual, bahwa Tuhan lebih menyukai orang-orang yang
tidak hanya fokus beribadah sepanjang hidupnya, tetapi juga menjalankan perintah-Nya
untuk menyayangi sesama, melindungi keluarga, mencintai alam, bekerja, dan sebagainya. Si
kakek penjaga surau yang memang menghabiskan hidupnya untuk merawat surau dan
beribadah kepada Tuhan pun akhirnya bunuh diri.
Dalam proses kreatifnya, A.A. Navis dikenal selalu memberikan efek getir pada cerita-
ceritanya untuk membahas mengenai ironi yang ada di dunia, terutama di negeri ini. Dari cara
penulisan itu, dapat diketahui apa yang menjadi maksud pengarang sebenarnya. Hal ini
disebabkan oleh proses penulisan karya yang sangat dipengaruhi oleh keadaan yang sedang
berlaku di sekitar seorang penulis. Penulis yang peka akan terangsang intuisi kebahasaannya
untuk melihat dan menerjemahkan apa yang terjadi menjadi bahan olahan untuk kemudian
diproses menjadi sebuah kisah yang bahkan bisa tak pernah menampakkan ide dasar penulis
secara gamblang, namun harus dianalisis oleh pembaca, dengan kata lain dituliskan secara
implisit.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Eksternalisasi
Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia terus-menerus ke dalam dunia,
baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya. Eksternalisasi merupakan keharusan
antropologis; keberadaan manusia tidak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan
interioritas yang tertutup dan tanpa-gerak. Keberadaannya harus terus-menerus mencurahkan
kediriannya dalam aktivitas. Keharusan antropologis itu berakar dalam kelengkapan biologis
manusia yang tidak stabil untuk berhadapan dengan lingkungannya (Berger dan Luckmann,
1990: 75: Berger, 1994: 5–6). Bentuk eksternalisasi dapat ditemukan sebagaimana dalam
kutipan cerpen Robohnya Surau Kami dibawah ini.
“Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya
Kakek. Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah
yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia men-dapat seperempat dari hasil
pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan
fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai
pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta
tolong kepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang
perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal
sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-
kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit
senyum.” (Nafis, 2010)

Bentuk eksternalisasi dapat kita petik dari kutipan diatas yang menunjukkan individu
kakek hidup berdasarkan lingkungan masyarakat memperlakukannya. Sebagai garin dan juga
sebagai pengasah pisau. Individu kakek tumbuh menjadi pribadi yang sabar dan ikhlas karena
lingkungan masyarakat sekitarnya pun bahkan tidak memberi imbalan yang pantas atas kerja
keras kakek. Lebih sering hanya memberi imbalan ucapan terima kasih dan sedikit senyum.

3.2 Objektivasi
Bagi Berger, masyarakat adalah produk manusia, berakar pada fenomena eksternalisasi.
Produk manusia (termasuk dunianya sendiri), kemudian berada di luar dirinya,
menghadapkan produk-produk sebagai faktisitas yang ada di luar dirinya. Meskipun semua
produk kebudayaan berasal dari (berakar dalam) kesadaran manusia, namun produk bukan
serta-merta dapat diserap kembali begitu saja ke dalam kesadaran. Kebudayaan berada di luar
subjektivitas manusia, menjadi dunianya sendiri. Dunia yang diproduksi manusia
memperoleh sifat realitas objektif (Berger, 1994: 11–12).
Egois, fanatis, tanah subur tapi penduduknya miskin
Bentuk objektivasi dapat ditemukan sebagaimana dalam kutipan cerpen Robohnya Surau
Kami dibawah ini.
“O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap- Mu ini adalah umat-Mu yang
paling taat beribadat, yang paling taat menyem-bah-Mu. Kamilah orang-orang yang
selalu menyebut nama- Mu, me-muji-muji kebesaran-Mu, memprogandakan keadilan-Mu,
dan lain-lain-nya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami
membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil
kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka sebe-lum terjadi hal-hal yang tak
diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar
hukuman yang Kau jatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke
surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam kitab-Mu.” (Nafis, 2010)

Bentuk objektivasi dapat dilihat pada kutipan cerpen di atas yang menunjukkan bahwa
individu Haji Saleh dalam cerita si pembual menerangkan dirinya pada Tuhan bahwa ia
adalah objek atas segala kuasa-Nya. Haji Saleh mengatakan bahwa dirinya serta semua umat
yang di masukkan dalam neraka adalah objek yang selalu taat atas perintah-Nya, selalu
berbuat kebaikan agar mendapat belas kasih-Nya, sehingga Haji Saleh pada akhirnya
menuntut balas atas kepatuhannya pada Tuhan.

3.3 Internalisasi
Berger mengungkapkan yang dimaksud dengan internalisasi yakni suatu pemahaman atau
penafsiran individu secara langsung atas peristiwa objektif sebagai pengungkapan makna.
Berger dan Luckmann (1990:87) menyatakan, dalam internalisasi, individu
mengidentifikasikan diri dengan berbagai lembaga sosial atau organisasi sosial di mana
individu menjadi anggotanya. Internalisasi merupakan peresapan kembali realitas oleh
manusia dan mentransformasikannya kembali dari struktur-struktur dunia objektif ke dalam
struktur-struktur kesadaran subjektif (Berger, 1994:5). Bentuk internalisasi dapat ditemukan
sebagaimana dalam kutipan cerpen Robohnya Surau Kami dibawah ini.
“Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang
dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap. Alangkah tercengang
Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus,
merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua
orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada
salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu
Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi
sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.” (Nafis, 2010)

Bentuk internalisasi dapat dilihat dari kutipan cerita pendek diatas yang menunjukkan
bahwa sikap dan perilaku dari masyarakat dipengaruhi oleh karakter tiap individu-individu
yang ada didalamnya. Seperti yang terepresentasikan pada kutipan bahwa yang menghuni
neraka adalah kaum yang melakukan perbuatan salah atau dosa. Sehingga didalam neraka
tidak ada yang namanya kebaikan, yang ada hanya hukuman. Begitulah ketika individu
berkumpul dan melakukan hal-hal yang menyimpang, maka bisa menumbuhkan kumpulan
masyarakat yang menyimpang pula.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Cerita pendek yang berjudul Robohnya Surau Kami merupakan cerpen yang mengandung
konstruksi sosial. Pelajaran mengenai eksternalisasi, dimana kaidah manusia diperoleh dari
faktor luar dirinya sendiri, kendali ada pada bagaimana masyarakat sekitar membentuk sikap
dan sifat dari individu, serta internalisasi yang menganggap kaidah manusia berasal dari
bagaimana perilaku masyarakat diawali oleh masing-masing karakter individu yang ada
didalamnya. Begitu pula pengetahuan akan objektivasi juga terepresentasikan dalam cerpen
tersebut. Konstruksi sosial oleh Berger dan Lukman sangat mendukung struktur cerpen
tersebut.

4.2 Saran
Bagi penulis, makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Penulis menghimbau agar
pembaca dapat mengkritisi kekurangan yang terdapat dalam makalah ini berdasarkan oleh
acuan yang lainnya.

Daftar Acuan
Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang
Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of
Reality oleh Hasan Basari). Jakarta: LP3ES.
Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1992. Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesadaran
Manusia (diterjemahkan dari buku asli The Homeless Mind: Modernization and
Consciousness). Yogyakarta: Kanisius.
Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1994. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial
(diterjemahkan dari buku asli Sacred Canopy oleh Hartono). Jakarta: Pustaka LP3ES.
Dimyati, Mohammad. 2000. Penelitian Kualitatif: Paradigma, Epistemologi. Pendekatan,
Metode, dan Terapan (Malang: IPTI dan UNM)
Manuaba, I.B. Putera. 2008. Memahami Teori Konstruksi Sosial. Jurnal Masyarakat
Kebudayaan dan Politik. Vol 21. No 3. Pg 221-230.
Navis, AA. 2010. Robohnya Surau Kami. Jakarta: Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai