Karya sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran,
perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan, yang dapat
membangkitkan pesona dengan alat bahasa dan dilukiskan dalam bentuk tulisan. Jakop
Sumardjo dalam bukunya yang berjudul "Apresiasi Kesusastraan" mengatakan bahwa karya
sastra adalah sebuah usaha merekam isi jiwa sastrawannya. Rekaman ini menggunakan alat
bahasa. Sastra adalah bentuk rekaman dengan bahasa yang akan disampaikan kepada orang
lain.
Pada dasarnya, karya sastra sangat bermanfaat bagi kehidupan, karena karya sastra
dapat memberi kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup, walaupun
dilukiskan dalam bentuk fiksi. Karya sastra dapat memberikan kegembiraan dan kepuasan
batin. Hiburan ini adalah jenis hiburan intelektual dan spiritual. Karya sastra juga dapat
dijadikan sebagai pengalaman untuk berkarya, karena siapa pun bisa menuangkan isi hati dan
pikiran dalam sebuah tulisan yang bernilai seni.
Setelah mengetahui apa yang dimaksud dengan karya sastra, tidak ada salahnya
apabila kita melirik lebih mendalam tentang genre (jenis) karya sastra. Karya sastra dapat
digolongkan ke dalam dua kelompok, yakni karya sastra imajinatif dan karya sastra
nonimajinatif. Ciri karya sastra imajinatif adalah karya sastra tersebut lebih menonjolkan sifat
khayali, menggunakan bahasa yang konotatif, dan memenuhi syarat-syarat estetika seni.
Sedangkan ciri karya sastra nonimajinatif adalah karya sastra tersebut lebih banyak unsur
faktualnya daripada khayalinya, cenderung menggunakan bahasa denotatif, dan tetap
memenuhi syarat-syarat estetika seni.
Pembagian genre sastra imajinatif dapat dirangkumkan dalam bentuk puisi, fiksi atau prosa
naratif, dan drama. Penjelasan tentang ketiga karya sastra ini akan kita kupas secara
terperinci.
1. Puisi
Puisi adalah rangkaian kata yang sangat padu. Oleh karena itu, kejelasan sebuah puisi sangat
bergantung pada ketepatan penggunaan kata serta kepaduan yang membentuknya.
Fiksi atau prosa naratif adalah karangan yang bersifat menjelaskan secara terurai mengenai
suatu masalah atau hal atau peristiwa dan lain-lain. Fiksi pada dasarnya terbagi menjadi
novel, roman, dan cerita pendek.
Suroto dalam bukunya yang berjudul "Apresiasi Sastra Indonesia" menjelaskan secara
terperinci tentang pengertian tiga genre yang termasuk dalam prosa naratif berikut ini.
a. Novel
Novel ialah suatu karangan prosa yang bersifat cerita, yang menceritakan suatu kejadian yang
luar biasa dari kehidupan orang-orang (tokoh cerita). Dikatakan kejadian yang luar biasa
1
karena dari kejadian ini lahir suatu konflik, suatu pertikaian, yang mengalihkan jurusan nasib
para tokoh. Novel hanya menceritakan salah satu segi kehidupan sang tokoh yang benar-
benar istimewa, yang mengakibatkan terjadinya perubahan nasib.
b. Roman
Istilah roman berasal dari genre romance dari Abad Pertengahan, yang merupakan cerita
panjang tentang kepahlawanan dan percintaan. Istilah roman berkembang di Jerman,
Belanda, Perancis, dan bagian-bagian Eropa Daratan yang lain. Ada sedikit perbedaan antara
roman dan novel, yakni bahwa bentuk novel lebih pendek dibanding dengan roman, tetapi
ukuran luasnya unsur cerita hampir sama.
c. Cerita pendek.
Cerita atau cerita pendek adalah suatu karangan prosa yang berisi cerita sebuah peristiwa
kehidupan manusia -- pelaku/tokoh dalam cerita tersebut. Dalam karangan tersebut terdapat
pula peristiwa lain tetapi peristiwa tersebut tidak dikembangkan, sehingga kehadirannya
hanya sekadar sebagai pendukung peristiwa pokok agar cerita tampak wajar. Ini berarti cerita
hanya dikonsentrasikan pada suatu peristiwa yang menjadi pokok ceritanya.
3. Drama
Genre sastra imajinatif yang ketiga adalah drama. Drama adalah karya sastra yang
mengungkapkan cerita melalui dialog-dialog para tokohnya. Drama sebagai karya sastra
sebenarnya hanya bersifat sementara, sebab naskah drama ditulis sebagai dasar untuk
dipentaskan. Dengan demikian, tujuan drama bukanlah untuk dibaca seperti orang membaca
novel atau puisi. Drama yang sebenarnya adalah kalau naskah sastra tadi telah dipentaskan.
Tetapi bagaimanapun, naskah tertulis drama selalu dimasukkan sebagai karya sastra.
Selanjutnya adalah pembagian genre sastra nonimajinatif, di mana kadar fakta dalam genre
sastra ini agak menonjol. Sastrawan bekerja berdasarkan fakta atau kenyataan yang benar-
benar ada dan terjadi sepanjang yang mampu diperolehnya. Penyajiannya dalam bentuk sastra
disertai oleh daya imajinasinya, yang memang menjadi ciri khas karya sastra. Genre yang
termasuk dalam karya sastra nonimajinatif, yaitu:
1. Esai:Esai adalah karangan pendek tentang sesuatu fakta yang dikupas menurut
pandangan pribadi manusia. Dalam esai, baik pikiran maupun perasaan dan
keseluruhan pribadi penulisnya tergambar dengan jelas, sebab esai merupakan
ungkapan pribadi penulisnya terhadap sesuatu fakta.
2. Kritik:Kritik adalah analisis untuk menilai sesuatu karya seni, dalam hal ini karya
sastra. Jadi, karya kritik sebenarnya termasuk argumentasi dengan faktanya sebuah
karya sastra, sebab kritik berakhir dengan sebuah kesimpulan analisis. Tujuan kritik
tidak hanya menunjukkan keunggulan, kelemahan, benar dan salahnya sebuah karya
sastra dipandang dari sudut tertentu, tetapi tujuan akhirnya adalah mendorong
sastrawan untuk mencapai penciptaan sastra setinggi mungkin, dan juga mendorong
pembaca untuk mengapresiasi karya sastra secara lebih baik.
2
3. Biografi:Biografi atau riwayat hidup adalah cerita tentang hidup seseorang yang
ditulis oleh orang lain. Tugas penulis biografi adalah menghadirkan kembali jalan
hidup seseorang berdasarkan sumber-sumber atau fakta-fakta yang dapat
dikumpulkannya. Teknik penyusunan riwayat hidup itu biasanya kronologis yakni
dimulai dari kelahirannya, masa kanak-kanak, masa muda, dewasa, dan akhir
hayatnya. Sebuah karya biografi biasanya menyangkut kehidupan tokoh-tokoh
penting dalam masyarakat atau tokoh-tokoh sejarah.
8. Surat-Surat:Surat tokoh tertentu untuk orang-orang lain dapat dinilai sebagai karya
sastra, karena kualitas yang sama seperti terdapat dalam catatan harian.
Genre sastra nonimajinatif ini belum berkembang dengan baik, sehingga adanya genre
tersebut kurang dikenal sebagai bagian dari sastra. Apa yang disebut karya sastra selama ini
hanya menyangkut karya-karya imajinasi saja. Hal ini bisa kita lihat dari pemahaman
masyarakat, khususnya pelajar tentang sastra.
Inilah tulisan singkat tentang sastra dan pembagiannya. Untuk memahami lebih jauh lagi,
Anda dapat menggali lagi lebih lanjut dari berbagai sumber, baik itu buku, artikel, majalah,
surat kabar, dan sebagainya.
3
Nilai Nilai Dalam Karya Sastra
Nilaiyang terkandung dalam karya sastra adalah hal hal yang berupa nilai yang bisa
dijadikan acuan perilaku hidup dalam kehidupan sehari hari yang terdapatdi dalam karya
sastra.
Nilai Sosial : Kaitannya dengan hubungan antar manusia.
Nilai Psikologis : Kaitannya dengan kejiwaan / psikologis manusia.
Nilai Religius ( keagamaan ) : Kaitannya dengan hal hal keagamaan.
Nilai Filosofis : Kaitannya dengan filsafat dalam kehidupan manusia.
Nilai Historia ( kesejarahan ) : Kaitannya dengan peristiwa peristiwa sejarah.
Nilai Moral ( etika ) : Kaitannya dengan moral perilaku manusia.
Nilai Pendidikan ( edukatif ) : Kaitannya dengan permasalahan permasalahan
pendidikan manusia.
Nilai Hukum : Kaitannya dengan permasalahan hukum.
Nilai Budaya : Kaitannya dengan budaya / kebiasaan / tradisi yang berlangsung di
dalam masyarakat.
Nilai Ekonomi : Kaitannya dengan perdagangan, status ekonomi / permasalahan
permasalahan ekonomi masyarakat.
Nilai Perjuangan : Kaitannya dengan hal hal perjuangan manusia.
Karya sastra adalah suatu hasil karya manusia baik lisan maupun nonlisan (tulisan) yang
menggunakan bahasa sebagai media pengantar dan memiliki nilai estetik (keindahan bahasa)
yang dominan. contoh karya sastra adalah puisi, cerpen, novel, drama. Karya Sastra sudah
muncul sejak lama, dan karena perkembangannya, muncullah karya sastra baru/modern.
Tentu ada perbedaan antara karya sastra lama dan karya sastra baru/modern. Berikut
perbedaanya.
Bentuk Karya Sastra lama berupa puisi yang terikat seperti syair, pantun, hikayat,
mite, legenda, dongen.
Bahasa pada karya sastra lama menggunakan Bahasa Melayu, Bahasa Arab, dan
Bahasa Daerah.
Tema yang digunakan cenderung kaku, dan bersifat istanasentris, dan berupa mistis
4
Bentuk karya sastra baru berupa puisi bebas dan kontemporer, seperti cerpen, novel,
dram Indonesia.
Bahasa yang digunakan menggunakan bahasa keseharian dan sering dimasuki bahasa
asing kreatif.
Sastra Indonesia berkembang dari waktu ke waktu, bahkan sebelum bahasa Indonesia
diresmikan pada 28 Oktober 1928. Pada zaman dahulu bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa
kerajaan dan bahasa sastra (Purwoko, 2004: 84), hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang
tidak tertulis juga sudah ditemukan sejak abad ke-19. Sementara itu, pondasi pendirian sastra
Indonesia baru tegak berdiri pada tahun 1920-an dengan munculnya Balai Poestaka. Sejak
saat itu sastra berkembang sampai saat ini, sastra Indonesia secara umum terbagi oleh
beberapa periode, yaitu angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, angkatan 1945, angkatan
1950, angkatan 1966, dan angkatan 1970sekarang. Di era 2000-an seperti sekarang mulai
dikenal cyber sastra, yaitu sastra yang beredar luas di dunia cyber atau internet. Berikut akan
dipaparkan satu demi satu penjelasan terkait periodisasi sastra Indonesia.
Balai Pustaka didirikan pada tahun 1908, tetapi baru tahun 1920-an kegiatannya dikenal
banyak pembaca (Purwoko, 2004: 143). Berawal ketika pemerintah Belanda mendapat
kekuasaan dari Raja untuk mempergunakan uang sebesar F.25.000 setiap tahun guna
keperluan sekolah bumi putera yang ternyata justru meningkatkan pendidikan masyarakat.
Commissie voor de Inlandsche School-en Volkslectuur, yang dalam perkembangannya
berganti nama Balai Poestaka, didirikan dengan tujuan utama menyediakan bahan bacaan
yang tepat bagi penduduk pribumi yang menamatkan sekolah dengan sistem pendidikan
Barat. Sebagai pusat produksi karya sastra, Balai Poestaka mempunyai beberapa strategi
signifikan (Purwoko, 2014: 147), yaitu
5
Pada masa ini bahasa Melayu Riau dipandang sebagai bahasa Melayu standar yang yang
lebih baik dari dialek-dialek Melayu lain seperti Betawi, Jawa, atau Sumatera. Oleh karena
itu, para lulusan sekolah asal Minangkabau, yang diperkirakan lebih mampu mempelajari
bahasa Melayu Riau, dipilih sebagai dewan redaksi. Beberapa diantaranya adalah Armjin
Pene dan Alisjahbana. Angkatan Balai Poestaka baru mengeluarkan novel pertamanya yang
berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920-an. Novel yang
mengangkat fenomena kawin paksa pada masa itu menjadi tren baru bagi dunia sastra. Novel-
novel lain dengan tema serupa pun mulai bermunculan. Adapun ciri-ciri karya sastra pada
masa Balai Poestaka, yaitu
8. Latar belakang sosial : Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum tua.
11. Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal
pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dll.
Pada tahun1933, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sultan Takdir Alisjahbana
mendirikan sebuah majalah yang diberi nama Poejangga Baroe. Majalah Poedjangga Baroe
menjadi wadah khususnya bagi seniman atau pujangga yang ingin mewujudkan keahlian
dalam berseni. Poedjangga Baroe merujuk pada nama sebuah institusi literer yang
berorientasi ke aneka kegiatan yang dilakukan para penulis pemula. Majalah ini diharapkan
berperan sebagai sarana untuk mengoordinasi para penulis yang hasil karyanya tidak bisa
diterbitkan Balai Poestaka (Purwoko, 2004: 154).
Selain memublikasikan karya sastra, majalah ini juga merintis sebuah rubrik untuk
memuat esai kebudayaan yang diilhami oleh Alisjahbana dan Armijn Pane. Kelahiran majalah
Poedjangga Baroe menjadi titik tolak kebangkitan kesusastraan Indonesia. S.T. Alisjahbana,
dalam artikel Menudju Masjarakat dan Kebudajaan Baru, menjelaskan bahwa sastra
6
Indonesia sebelum abad 20 dan sesudahnya memiliki perbedaan yang didasari pada semangat
keindonesiaan dan keinginan yang besar akan perubahan.
Adapun karakteristik karya sastra pada masa itu terlihat melalui roman-romannya
yang sangat produktif dan diterima secara luas oleh masyarakat. Pengarang yang paling
produktif yaitu Hamka dan Alisjahbana. Hamka, dalam Mengarang Roman, mengatakan
Roman adalah bentuk modern dari hikayat. Roman memperhalus bahasa yang sebelumnya
sangat karut marut menyerupai kalimat Tionghoa sehingga secara tidak langsung roman-
roman yang ada mampu memicu minat baca masyarakat yang awalnya tidak gemar
membaca.
Angkatan 45
7
Tema yang banyak diangkat dalam karya-karya seni Angkatan 45 adalah tema
tentang perjuangan kemerdekaan. Dari karya-karya bertemakan perjuangan itulah amanat
yang menyatakan bahwa perjuangan mencapai kemerdekaan tak hanya dapat dilakukan
melalui politik atau angkat senjata, tetapi perjuangan juga dapat dilakukan melalui karya-
karya seni. Angkatan 45 mulai melemah ketika sang pelopor, Chairil Anwar, meninggal
dunia. Selain itu, Asrul Sani, yang juga merupakan salah satu pelopor mulai menyibukkan
diri membuat skenario film. Kehilangan akan kedua orang tersebut membuat Angkatan 45
seolah kehilangan kemudinya. Akhirnya, masa Angkatan 45 berakhir dan digantikan dengan
Angkatan50.
Angkatan 45 memiliki gaya yang berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru. Gaya ini
dipengaruhi oleh kondisi politik masing-masing angkatan. Angkatan Pujangga Baru memiliki
gaya romantis-idealis karena pada saat itu perjuangan kemerdekaan belum sekeras yang
dialami Angkatan 45. Sementara Angkatan 45 yang terbentuk pada saat gencarnya
perjuangan kemerdekaan memilih gaya ekspresionisme-realistik agar dapat berguna dan
diterima oleh masyarakat. Pada akhirnya, semua angkatan yang ada sepantasnya menyadari
fungsi sosial mereka. Setiap angkatan harus memikirkan letak kebermanfaatan mereka bagi
masyarakat karena mereka hidup dan tumbuh di dalam masyarakat.
Angkatan 1950
Angkatan ini dikenal krisis sastra Indonesia. Sejak Chairil Anwar meninggal,
lingkungan kebudayaan Gelanggang Seniman Merdeka seolah-olah kehilangan vitalitas.
Salah satu alasan utama terhadap tuduhan krisis sastra tersebut adalah karena kurangnya
jumlah buku yang terbit. Sejak tahun 1953 , Balai Pustaka yang sejak dulu bertindak sebagai
penerbit utama buku-buku sastra, kedudukannya sudah tidak menentu (Rosidi, 1965: 137).
Sejak saat itu aktivitas sastra hanya dalam majalah-majalah, seperti Gelanggang/Siasat,
Mimbar Indonesia, Zenith, Poedjangga Baroe, dll.
Karena sifat majalah, maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang
berupa sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Sesuai dengan
yang dibutuhkan oleh majalah-majalah, maka tak anehlah kalau para pengarangpun lantas
hanya mengarang cerpen, sajak, dan karangan lain yang pendek-pendek (Rosidi, 1965: 138).
Hal itulah yang memunculkan istilah sastra majalah pada masa itu. Berikut pendapat
Soeprijadi Tomodihardjo, dalam artikelnya Sumber-Sumber Kegiatan1
3. Seni dan politik adalah pencampuradukan yang lahir dari kondisi masa itu.
4. Pada masa itu pula telah lahir organisasi-organisasi kegiatan kesenian yang
mengarahkan kegiatanya pada seni sastra dan seni drama.
8
6. Kesusastraan berhubungan erat dengan adanya tempat berkegiatan, Jakarta di angggap
sebagai pusatnya. Anggapan ini diluruskan, Jakarta hanya sebagai pusat produksi dan
publikasi
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa angkatan 1950 merupakan angkatan yang
sepi oleh karya karena sastra Indonesia yang ada dianggap sudah tidak lagi memiliki
identitas, kesusasteraan mengalami krisis baik kualitas maupun kuantitas karena lahirnya
pesimisme dan penggunaan seni ke ranah politik yang tidak dibarengi dengan tanggung
jawab.
Angkatan 1966
Menurut H. B. Jassin, ciri-ciri karya pada masa ini adalah sebagai berikut
Pada masa ini karya sastra berperan untuk membentuk pemikiran tentang
keindonesiaan setelah mengalami kombinasi dengan pemikiran lain, seperti budaya. Ide,
filsafat, dan gebrakan-gebrakan baru muncul di era ini, beberapa karya keluar dari paten
dengan memperbincangkan agama dan mulai bermunculan kubu-kubu sastra populer dan
sastra majalah. Pada masa ini pula karya yang bersifat absurd mulai tampak.
Di tahun 19801990-an banyak penulis Indonesia yang berbakat, tetapi sayang karena
mereka dilihat dari kacamata ideologi suatu penerbit. Salah satu penerbit yang terkenal
sampai sekarang adalah Gramedia. Gramedia merupakan penerbit yang memperhatikan sastra
dan membuka ruang untuk semua jenis sastra sehingga penulis Indonesia senantiasa memiliki
9
kreativitas dengan belajar dari berbagai paten karya, baik itu karya populer, kedaerahan,
maupun karya urban. Sementara setelah masa reformasi, yaitu tahun 2000-an, kondisi sastra
tanah air dapat digambarkan sebagai berikut2
5. Sastra bersanding dengan Seni Lainnya, banyak terjadi alih wahana pada jaman
sekarang
6. Karya yang dilarang terbit pada masa 70-an diterbitkan di tahun 2000-an, banyak
karya Pram yang diterbitkan, karya Hersri Setiawan, Remy Sylado, dsb.
Seperti seorang anak, Sastra mengalami masa pertumbuhan. Masa pertumbuhan sastra
tidak akan dewasa hingga jaman mengurungnya. Sastra akan terus menilai jaman melalui
pemikiran dan karya sastrawannya. Pada tahun 1970-an, sastra memiliki karakter yang keluar
dari paten normatif. Pada tahun 1980-an hingga awal 1990-an, sastra memiliki karakter yang
diimbangi dengan arus budaya populer. Pada tahun 2000-an hingga saat ini, sastra kembali
memiliki keragaman kahzanah dari yang populer, kritik, reflektif, dan masuk ke ranah erotika
dan absurditas
10