Anda di halaman 1dari 16

Konsistensi Absurditas Tokoh Orang Tua/Kakek dalam Tiga Naskah Drama “Bulan Bujur Sangkar”, “Petang di

Taman”, dan “RT 0-RW 0” Karya Iwan Simatupang : Absurditas Albert Camus.

KONSISTENSI ABSURDITAS TOKOH ORANG TUA/KAKEK DALAM TIGA NASKAH DRAMA “BULAN
BUJUR SANGKAR”, “PETANG DI TAMAN”, DAN “RT 0 – RW 0”
KARYA IWAN SIMATUPANG
(ABSURDITAS ALBERT CAMUS)
Yusril Ihza Fauzul Azhim

S1 Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya


yifa8417@gmail.com

ABSTRAK
KONSISTENSI ABSURDITAS TOKOH ORANG TUA/KAKEK DALAM TIGA NASKAH DRAMA “BULAN
BUJUR SANGKAR”, “PETANG DI TAMAN”, DAN “RT 0 – RW 0”
KARYA IWAN SIMATUPANG
(ABSURDITAS ALBERT CAMUS)

Nama Mahasiswa : Yusril Ihza Fauzul Azhim


Program Studi : S1 Sastra Indonesia
Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas : Bahasa dan Seni
Nama Lembaga : Universitas Negeri Surabaya
Tahun : 2019

Kata kunci: konsistensi, absurditas, naskah drama.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan konsistensi absurditas tokoh Orang Tua/Kakek dalam tiga
naskah drama “Bulan Bujur Sangkar”, “Petang Di Taman”, dan “RT 0 – RW 0” karya Iwan simatupang dengan
menggunakan kajian filsafat absurd Albert Camus melalui tiga tahap konsep berpikir absurd yaitu, kesadaran
absurd, pemberontakan dan kebebasan. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif dengan pendekatan objektif. Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah metode pustaka
dan simak-catat. Metode analisis data menggunakan metode penafsiran terhadap data dengan melakukan
beberapa langkah pembacaan, yaitu (1) membaca kritis, (2) membaca kreatif, dan (3) membaca hermeneutika.
Hasil penelitian ini menunjukan bentuk absurditas tokoh Orang Tua/Kakek melalui tiga tahap konsep
berpikir absurd: kesadaran absurd, pemberontakan dan kebebasan. Pada naskah drama Bulan Bujur Sangkar
tokoh Orang Tua melakukan perlawanan terhadap absurditas dengan cara atau bunuh diri di tiang
gantungan; naskah drama Petang Di Taman, tokoh Orang Tua tetap kembali menemui absurditas sebagai
bentuk pemberontakan demi meraih kebebasannya.
ABSTRACT

THE CONSISTENCY ABSURDITY OF THE CHARACTER


ORANG TUA/KAKEK THROUGH THE THREE OF THE DRAMA SCRIPTS “BULAN BUJUR SANGKAR”,
“PETANG DI TAMAN”, AND “RT 0 – RW 0” BY IWAN SIMATUPANG
(THE STUDY OF ABSURD PHILOSOPHY ALBERT CAMUS)

Name : Yusril Ihza Fauzul Azhim


Program : Indonesia Literature
Departement : Indonesian Language and Literature
Faculty : Languages And Arts
Institution : State University of Surabaya
Year : 2019

Keywords: Consistency, Absurdity, Drama Script.

This research aims to describe the consistency absurdity of the character Orang Tua/Kakek through
the three of the drama scripts “Bulan Bujur Sangkar”, “Petang Di Taman”, and “RT 0 – RW 0” by Iwan
simatupang with the study of absurd philosophy by Albert Camus through three stages of the concept of
absurd thinking, which are absurd consciousness, rebellion, and freedom. The method that is used in the
research is descriptive qualitative with objective approach. The method of data collection in this research is
library research method and take-note. Data analysis method uses interpretation method toward the data by
going several stages of reading., which are critical reading, creative reading, and hermeneutics reading. The
result of this research shows absurdity of character Orang Tua/Kakek through three stages of the concept of
absurd thinking, which are absurd consciousness, rebellion, and freedom. In the Bulan Bujur Sangkar drama
script, the character of Orang Tua tend to do a fight towards absurdity by committing suicide in the gallows;
in the drama script of Petang Di Taman, the character of Orang Tua keeps returning to life of absurdity as a
rebellion; in the drama script of RT 0-RW 0, the character of Kakek gets freedom by living under the bridge as
the rebellion of absurdity. The result of the interpretation and the analysis states that the three drama scripts
by Iwan Simatupang does not show the consistency of absurdity towards the character of Orang Tua/Kakek,
because based on the Bulan Bujur Sangkar, the character of Orang Tua would rather commit suicide than to
live their absurd life as what the character of Orang Tua/Kakek in Petang Di Taman and RT 0-RW 0 that return
to face absurdity as rebellion to reach the freedom.
permasalahannya sendiri. Pada akhir cerita penyelesaian
PENDAHULUAN atas segala masalah adalah kematian setiap tokoh dan
bunuh diri di tiang gantungan. Tokoh-tokoh yang
Genre sastra yang didasari oleh pendapat diciptakan Iwan Simatupang tidaklah lepas dari kehidupan
Aristoteles dan Horace yang memberikan dasar klasik yang terpuruk. Kehidupan terpuruk inilah yang membawa
untuk pengembangan teori genre. Terdapat dua jenis sebuah gagasan besar terutama di setiap pemikiran tokoh
utama penggolongan sastra, yaitu tragedi dan epik. yang selalu membahas tentang persoalan kematian-
Aristoteles sadar akan adanya perbedaan mendasar lain persoalan dunia masa depan yang tidak jelas kepastiannya.
antara drama, epik, dan lirik. Pada umunya teori modern Inilah yang dikatakan absurd, sebuah permasalahan yang
cenderung mengesampingkan perbedaan prosa-puisi, lalu lahir dari keterpurukan hingga pengharapan suatu yang
membagi sastra-rekaan (Dichtung) menjadi fiksi (novel, sebenarnya tidak ada dan berujung pada ketidakpastian.
cerpen, epik), drama (drama dalam prosa maupun puisi), Adapun dalam filsafat dengan tema-tema
dan puisi (puisi dalam arti yang sama dengan konsep klasik absurditas yang digambarkan oleh Albert Camus bersifat
tentang “puisi-lirik”) (Wellek & Warren, 2016: 277). eksistensial, misalnya dalam novel The Stranger, Camus
Menurut Suhariyadi, drama sebagai karya sastra menyampaikan hilangnya subjektivitas tokoh Mersault
merupakan wacana naratif, imajinatif, fiktif dan ekspresif, yang diobjektifikasi dalam pengadilan, selain itu atheism
yang dapat dipahami, ditafsirkan, diapresiasi, dan dikaji tokoh tersebut tampak ketika ia lebih memilih hukuman
sebagaimana genre sastra yang lain; prosa dan puisi. Pada mati daripada pertobatan di depan Tuhan. Pada karya
tataran ini drama sebagai teks atau wacana. Lebih tepatnya, Camus yang lain, yakni La Paste menunjukan sikap
drama merupakan strategi kewacanaan yang bernilai rasionalis atheis. Dr. Reux yang menganggap pes adalah
estetis dan sastrawi. Pembaca dapat memahami, mengaji, persoalan penyakit yang alamiah bukan persoalan kutukan
dan mengapresiasi dari sudut pandang dan landasan yang Tuhan terhadap manusia sebagaimana anggapan Paul
berbeda-beda dan dalam tingkat yang berbeda-beda pula Teureu. Persoalan tersebut juga berkaitan dengan konsep
(2017: 8). Terdapat tafsiran lain yang membuat naskah filosofis Camus tentang The Wall. Pada konsep tersebut,
drama seolah memiliki dua dimensi dalam kehidupan dunia dianggap sebagai hanya berada di dalam dinding
naskah drama. Seperti yang dikatakan Luxemburg, dalam empiris manusia, sedangkan dunia di luar dinding tersebut
Suhariyadi, bahwa drama sebagai sebuah karya yang dianggap tiada, dengan demikian hal-hal yang ada di luar
mempunyai dua dimensi, dimensi sastra dan dimensi seni dinding empiris manusia seperti Tuhan, surga, dan neraka
pertunjukan, maka dimensi pementasan drama harus semua itu tidak ada (Endraswara, 2012: 89).
dianggap sebagai penafsiran dari penafsiran yang telah ada Menurut Albert Camus (1999: 70), ada dua
yang dapat ditarik dari suatu karya drama, yakni penafsiran kebebasan yang mestinya harus diperjuangkan yaitu
itu memberikan pada drama penafsiran kedua (2017:27). kebebasan berpikir dan bertindak. Memperjuangkan
Sastra (salah satunya adalah drama) dan kebebasan tidak serta merta menerima kebebasan secara
kehidupan tidak mungkin lepas dari pemikiran. Jalur mudah, seseorang harus tahu makna dan fungsi kebebasan
pemikiran sastrawan jelas lewat dunia estetis. Penjelajahan terlebih dahulu sebelum ia mendapatkan kebebasan
estetis sastrawan telah sering meramu bobot karya sastra. mutlak, agar dalam perjuangannya ia tidak kehilangan arah
Lewat filsafat, sastra menjadi bebas menawarkan dasar- dalam mempertahankan atau merawat kebebasan tersebut.
dasar kehidupan. Eksistensi sastra jelas pandangan yang Camus (2017: 130) juga mengatakan bahwa kebebasan
menghubungkan sastra dan filsafat. Sastra itu hidup dalam tidak lain adalah kesempatan untuk menjadi lebih baik,
ranah eksistensi yang serba fana. Di Indonesia, banyak sementara perbudakan adalah kepastian tentang yang
juga sastrawan yang sekaligus menawarkan nilai-nilai terburuk. Hal ini dapat dijelaskan bahwa sejatinya manusia
filsafati, seperti Iwan Simatupang yang bergerak pada harus sadar atas dirinya agar menjadi manusia yang bebas
karya-karya absurd tentu lebih mengekspresikan idenya atau menjadi lebih baik. Jika tidak maka manusia tidak bisa
secara filosofi (Endraswara, 2012: 85). Hal tersebut terlepas dari kurungan hidup yang serba dilenggangkan
terlihat di beberapa karya dramanya. dengan keinginan-keinginan sehingga ia akan menjadi
Karya drama Iwan Simatupang, antara lain yang budak atas dirinya sendiri atau orang lain. Demikian hal
berjudul “Bulan Bujur Sangkar”, “Taman”, dan “RT 0-RW paling pokok yang harus dimiliki manusia dalam
0”. Naskah drama yang berjudul “Taman” diterbitkan menghadapi dunia yang senantiasa berubah ini adalah
sebagai buku kecil berjudul Petang di Taman (1966) kesadaran. Kesadaran tidak bisa dipaksakan hadir,
sangat terasa sekali vitalitas yang dengan gigih kesadaran adalah olahan dari akal rasio yang sudah
mempertahankan individualitas dan kebebasan martabat terakulturasi dengan perjalanan hidup manusia. Berpikir
manusia. Naskah drama karya Iwan Simatupang yang adalah belajar kembali melihat, mengarahkan kesadaran,
pertama adalah Petang Di Taman yang mengkisahkan membuat setiap gambar menjadi ruang terhormat (1999:
tentang pertemuan orang-orang yang tidak jelas darimana 53).
asalnya tetapi mereka membicarakan mengenai musim, Berdasarkan ketiga drama Iwan Simatupang
balon, permasalahan hidup masing-masing hingga pada tersebut terdapat kesamaan tokoh yang hadir dalam ketiga
kematian. Naskah drama kedua berjudul RT 0 – RW 0, drama, yakni tokoh Orang Tua. Kehadiran tokoh
bercerita tentang manusia yang tinggal di kolong jembatan. Kakek/Orang Tua di ketiga naskah drama tersebut selalu
Mereka datang di kolong jembatan yang berada di kota tidak lepas dari masalah keterpurukan, keterasingan,
besar bukanlah atas kehendak mereka. Kenyataan yang tak kesadaran, pemberontakan dan merindukan kebebasan.
sesuai apa yang diharapkannyalah yang pada akhirnya Pada akhir cerita ketiga ketiga drama tersebut
mengantarkan mereka tinggal di kolong jembatan. menghadirkan sebuah penyelesaian tentang keinginan
Terakhir berjudul Bulan Bujur Sabngkar menceritakan untuk mati, tetapi hanya di naskah Bulan Bujur Sangkar-
tentang seseorang yang menyiapkan tiang gantungan untuk lah yang pada akhirnya tokoh Orang Tua benar-benar
kematiannya selama beberapa tahun yang lalu. Akhirnya memilih untuk bunuh diri bukan sekadar harapan untuk
saat tiang gantungan sudah siap tokoh lain hadir membawa mati. Keinginan tokoh Orang Tua untuk mati menunjukkan
kehidupan, permasalahan hingga penyelesaian dari bahwa tokoh tersebut telah mengalami kesadaran atas
dunia yang berujung pada kehancuran. Hal ini tak lepas
dari pembahasan absurditas yang merupakan pilihan untuk Bulan Bujur Sangkar karya Iwan Simatupang yang ditulis
menjelaskan bentuk kesadaran kehidupan yang terjadi dan sekitar tahun 60-an dipentaskan oleh Teater Balling di
dialami tokoh Orang Tua/Kakek, sehingga hal tersebut kantong kebudayaan Sendang Mulyo Semarang, Jawa
menunjukan representasi pemikiran absurditas dan Tengah, Sabtu (15/11) malam. Bercerita tentang kehidupan
konsistensi absurditas tokohnya. di dunia modern yang mengedepankan logika. Dialog
kerap berisi kritik. Terutama, dalam kehidupan manusia
Rumusan Masalah modern yang suka memuja pikiran atau logika, sehingga
mengabaikan hati nurani. Bahkan religi. Di ujung cerita,
Berdasarkan latar belakang masalah yang sang tokoh utama akhirnya bunuh diri karena tak tahan
diuraikan tersebut, masalah-masalah yang berkaitan menanggung tekanan. Adegan ini bermakna perlu ada
dengan hal tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut. perubahan cara pandang terhadap logika dan mengakui di
1. Bagaimana bentuk absurditas: kesadaran absurd, atas pikiran ada kekuasan yang lebih besar: kekuasaan
pemberontakan dan kebebasan tokoh Orang Tua Tuhan Yang Maha Esa. (Teguh Hadi Prayitno dan Kukuh
dalam naskah drama “Bulan Bujur Sangkar” karya Ary Wibowo. (2003, November) Liputan6.com)
Iwan Simatupang? Petang di Taman sebuah lakon yang mengangkat nilai-
2. Bagaimana bentuk absurditas: kesadaran absurd, nilai eksistensialisme. Dipentaskan oleh Teater Akar
pemberontakan dan kebebasan tokoh Kakek dalam Angkat. Bercerita tentang pertemuan orang disebuah
naskah drama “RT 0 – RW 0” karya Iwan taman dengan tetekbengek persoalan pribadi. Bercerita
Simatupang? tentang seorang lelaki setengah baya atau penyair yang
3. Bagaimana bentuk absurditas: kesadaran absurd, terdampar disebuah taman dan bertemu dengan orang tua.
pemberontakan dan kebebasan tokoh Orang Tua Mereka memperkenalkan hal-hal sepele. Kedatangan
dalam naskah drama “Petang Di Taman” karya Iwan wanita semakin menguatkan absurditas manusia dan
Simatupang? penjual balon yang menjadi korban tuduhan bertubi. (S.
4. Bagaimana konsistensi absurditas tokoh Orang Mu’min. (2018, Mei) wartabahari.com)
tua/Kakek pada tiga naskah drama Iwan Simatupang RT 0-RW 0, drama ini berkisah tentang beberapa orang
yang berjudul “Bulan Bujur Sangkar”, “Petang Di yang tinggal di sebuah kolong jembatan. Tempat tinggal
Taman”, dan “RT 0 – RW 0”? yang tidak beralamat inilah yang disebut oleh salah seorang
tokohnya sebagai RT Nol RW Nol. Meski para tokohnya
1.1 Tujuan Penelitian diceritakan tidak memiliki tempat tinggal selain kolong
jembatan tersebut dan bahkan tidak memiliki Kartu Tanda
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka Penduduk, melalui dialog-dialog tokohnya terkesan
tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. memiliki pandangan kritis terhadap pemerintahan.
1. Mendeskripsikan bentuk absurditas: kesadaran (Ariatami. (2014, Mei) ariatamilucky-
absurd, pemberontakan dan kebebasan tokoh fib12.web.unair.ac.id)
Orang Tua dalam naskah drama “Bulan Bujur
Sangkar” karya Iwan Simatupang.
KAJIAN PUSTAKA
2. Mendeskripsikan bentuk absurditas: kesadaran
absurd, pemberontakan dan kebebasan tokoh
Kakek dalam naskah drama “Petang Di Taman” Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian sebelumnya yang relevan dan acuan
karya Iwan Simatupang.
3. Mendeskripsikan bentuk absurditas: kesadaran peneliti untuk melakukan penelitian sebagai berikut.
Penelitian yang pertama “Aspek Bahasa Figuratif Naskah
absurd, pemberontakan dan kebebasan tokoh
drama Bulan Bujur Sangkar Karya Iwan Simatupang:
Orang Tua dalam naskah drama “RT 0 – RW 0”
Kajian Stilistika dan Implementasinya sebagai bahan ajar
karya Iwan Simatupang.
Bahasa Indonesia di SMA” yang ditulis oleh Setiawan
4. Mendeskripsikan konsistensi absurditas tokoh
A.N. (2017). Hasil penelitian yang didapat yakni 1) Iwan
Orang tua/Kakek pada tiga naskah drama Iwan
Simatupang merupakan sastrawan yang karya-karyanya
Simatupang yang berjudul “Bulan Bujur
Sangkar”, “Petang Di Taman”, dan “RT 0 – RW lekat dengan satire social, budaya, dan politik bangsa, gaya
khas karyanya lekat dengan unsur parodi. 2) Analisis
0”.
struktur naskah Bulan Bujur Sangkar karya Iwan
Definisi Istilah Simatupang terdiri dari plot (alur), penokohan, dan tema.
3) Bahasa figuratif dalam naskah ini meliputi pemajasan,
Untuk memperoleh kejelasan konsep dalam tuturan idiomatik, dan pribahasa. 4) implementasi dalam
pembahasan, berikut ini disajikan istilah yang digunakan pembelajaran Bahasa Indonesia SMA.
dalam penelitian ini: Penelitian yang kedua berjudul “Konflik Sosial
Absurditas (sentiment de l’absurd) adalah suatu rasa di dalam naskah drama berjudul Petang Di Taman Karya
antara sekian banyak rasa lainnya. Rasa yang pernah Iwan Simatupang dan Satu Bangku Dua Laki-laki Karya
mewarnai sebegitu banyak pemikiran dan aksi pada masa Triyono: Kajian Intertekstual dan Implementasinya
di antara dua perang dunia semata-mata membuktikan sebagai bahan ajar sastra di SMA” yang ditulis oleh Frisilia
kekuatan dan keabsahannya. Absurditas menghindari Desti Irmawati (2015). Hasil penelitian yang didapat yakni
bunuh diri, selama absurditas itu merupakan sekaligus (1) struktur drama yang terkandung dalam naskah Petang
kesadaran akan kematian dan penolakannya (Camus, di Taman dan Satu Bangku Dua Laki-laki memiliki aspek-
1999: 68). Manusia menyerap absurditas, dan dalam aspek yang saling berkaitan dan menguatkan satu sama
persatuan tersebut melenyapkan sifat dasarnya, yakni lain, struktur tersebut antara lain tema dan amanat,
pertentangan, ketercabikan dan perceraian (Camus, 1999: penokohan, alur, setting/latar; (2) konflik sosial yang dapat
44). Absurditas menarik tiga konsekuensi, yakni rasa dianalisis pada kedua naskah ini, yaitu konflik personal dan
berontak, kebebasan, dan nafsu atau harapan (Camus, interpersonal, konflik kepentingan, konflik realistik dan
1999: 80). non realistik, konflik destruktif dan konstruktif, konflik
bidang kehidupan (ekonomi, bisnis, politik, agama, dan kelas bawah yang menderita ketika revolusi Rusia. Tema
keluarga); (3) hubungan intertekstual konflik sosial kedua mayor dalam naskah drama ini adalah tuntutan keadilan
naskah ini yaitu personal, interpersonal, bagi rakyat Rusia oleh kelompok teroris sosialis
kepentingan/interes, destruktif, konstruktif, dan keluarga; revolusioner. Tema minor yaitu kepedulian, pengorbanan,
(4) hasil penelitian ini juga dapat diimplementasikan ke kepercayaan dan kesetiakawanan. Kedua, unsur-unsur
dalam pembelajaran sastra di SMA khususnya kelas XII. intrinsik yang berupa alur, penokohan, dan latar di atas
Penelitian yang ketiga dengan judul “Kritik Sosial saling berkaitan dan membentuk satu kesatuan yang diikat
dalam Naskah Drama RT 0 –RW 0 Karya Iwan oleh tema. Ketiga, berdasarkan analisis absurdisme
Simatupang: Tinjauan Sosiologi Sastra dan ditemukan wujud-wujud absurditas seperti
Implementasinya sebagai bahan ajar Sastra Indonesia di ketidakmungkinan, kesiasiaan hidup, penderitaan,
SMA” ditulis oleh Indra Dwi Purnomo (2015). Hasil dari pemberontakan, kegagalan, atheis, keadilan, tragis tanpa
penelitian ini adalah (1) struktur yang membangun naskah harapan dan kematian.
drama RT 0-RW 0 terdiri dari tema dan amanat. Tema yang Penelitian yang keenam dengan judul “Model Kajian
terkandung dalam naskah drama RT 0 RW 0 ini adalah Absurditas Eksistensialisme Manusia dalam Novel Sampar
perjuangan hidup orang pinggiran di bawah kolong Albert Camus” yang ditulis oleh Didi Yulistio di Prosiding
jembatan yang keberadaanya ingin diakui oleh Negara Seminar Nasional Bulan Bahasa Universitas Bengkulu
dengan memiliki sebuah kartu tanda penduduk (KTP). (2015). Hasil dari penelitian ini adalah eksistensi tokoh
Amanat yang terkandung dalam naskah drama RT 0- RW 0 “sampar” ini tidak ada yang menjadi “pahlawan”. Seperti
adalah perlakukanlah semua orang layaknya manusia pada diungkapkan pada awal analisis bahwa hal ini analog
umumnya. Serta jangan memandang seseorang dari satu dengan suatu “pertandingan”, yakni ada tokoh yang kalah
sudut pandang. Tokoh dalam naskah drama RT 0 RW 0 bertanding, yakni Cottard dan ada tokoh yang menang
dibagi menjadi tiga yaitu protagonis, antagonis dan dalam pertandingan, yakni Rieux dan Grand. Dalam
tirtagonis. Tokoh protagonis adalah Kakek. Tokoh perjalanan eksistensialismenya ketiga tokoh telah
antagonis ialah Pincang, Ani, Ina, dan Bopeng, Tokoh menemukan keabsurditasan dalam bentuk penderitaan,
tirtagonis ialah Ati. Alur yang digunakan adalah alur maju. kegagalan, keterasingan dan kematian.
Latar tempat yang mendominasi dalam naskah drama ini Penelitian yang ketujuh dengan judul “Ambiguitas
adalah di kolong jembatan. Cerita ini berlangsung selama Tanda dan Konsep Absurditas dalam Naskah Drama Oh
satu malam. (2) Kritik sosial yang terkandung dalam Les Beaux Jours Karya Samuel Becket (Analisis Semiotika
naskah drama RT 0 RW 0 terbagi menjadi lima yaitu kritik Riffaterrian)” ditulis oleh Iola Astried Krisma (2014).
sosial terhadap permasalahan moral dan etika, ekonomi, Hasil dari penelitian ini adalah ketidaklangsungan ekspresi
logika dan nalar, hedonisme, dan pengetahuan. (3) dalam naskah Oh Les Beaux Jours (1963) terdapat di dalam
Implementasi sebagai bahan sastra di tingkat SMA kelas dialog dan perlengkapan drama. Ketidaklangsungan
XII berdasarkan SK 13. Memahami pembacaan teks drama ekspresi terdiri dari tiga faktor, yaitu penggantian arti
dan KD 13.1 Menemukan unsur-unsur intrinsik dan (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of
ekstrinsik naskah drama yang didengar melalui meaning) dan penciptaan arti (creating of meaning). Ketiga
pembacaan. 13.2 menyimpulkan isi drama melalui faktor tersebut menyebabkan terjadinya ambiguitas makna
pembacaan teks drama. dalam dialog naskah Oh Les Beaux Jours (1963). Akan
Penelitian keempat dengan judul “Kajian Semiotika tetapi, ambiguitas makna dalam perlengkapan drama hanya
dalam Naskah Drama RT 0 – RW 0 Karya Iwan disebabkan oleh dua faktor. Kedua faktor yang
Simatupang” ditulis oleh Nuvanggit Riansyahzudhitya menyebabkan ambiguitas dalam perlengkapan drama
(2013). Penelitian ini membahas tentang unsur semiotika adalah penggantian arti dan penciptaan arti. Dalam
yaitu, ikon, indeks, dan simbol yang terkandung di dalam perlengkapan drama tidak terdapat penyimpangan arti
naskah drama “RT 0 RW 0” karya Iwan Simatupang. karena tidak ditemukan makna yang saling bertentangan.
Kemudian hasil dari penelitian ini adalah perihal ikon dari Setelah melakukan kedua tahap pembacaan dan
naskah drama “RT 0 RW 0” adalah sebuah kolong mengungkap ketidaklangsungan ekspresi pada naskah Oh
jembatan yang menjadi latar dari sebuah peristiwa terjadi. Les Beaux Jours (1963), maka tahap selanjutnya adalah
Kolong jembatan tersebut dapat pula dipandang sebagai menemukan matriks, model dan varian naskah tersebut.
identitas dari kaum gelandangan. Indeks yang terdapat Matriks naskah Oh Les Beaux Jours (1963) adalah
dalam naskah drama “RT 0 RW 0” tersebut “menyusun kehidupan kembali sebagai bentuk kesadaran
mengungkapkan terjadinya sebuah ikatan keluarga antar terhadap absurditas”. Kalimat tersebut dijadikan matriks
penghuni kolong jembatan. Meskipun pada akhirnya karena berfungsi sebagai kata kunci yang mengarah pada
ikatan keluarga tersebut harus terputus demi mencapai keseluruhan alur cerita dalam naskah Oh Les Beaux Jours
sebuah kehidupan yang lebih baik. Simbol yang (1963). Matriks tersebut tidak tercantum dalam naskah
diungkapkan oleh naskah drama “RT 0 RW 0” adalah karena matriks merupakan sebuah hipotesis. Hal yang
sebuah protes dari kelas sosial bawah kepada masyarakat, tercantum dalam naskah adalah model, yaitu hasil ekspresi
bahwa mereka ingin mendapat sebuah pengakuan atas matriks yang berupa kiasan dalam naskah. Model naskah
keberadaannya. Hal tersebut ditunjukkan melalui kerja Oh Les Beaux Jours (1963) adalah Willie dan Winnie.
keras mereka untuk keluar dari sebutan gelandangan. Kedua nama tokoh tersebut menjadi model karena
Penelitian kelima dengan judul “Absurditas Naskah memiliki makna kiasan yang berhubungan dengan matriks
Drama Les Justes Karya Albert Camus” ditulis oleh naskah Oh Les Beaux Jours (1963). Willie merupakan
Hilmatul Ulwiyah (2017). Hasil akhir penelitian ini adalah transformasi dari kata “Will” yang berarti hal yang
pertama, naskah drama Les Justes karya Albert Camus diinginkan tokoh di dalam naskah Oh Les Beaux Jours
memiliki alur maju dan memiliki akhir cerita tragis tanpa (1963). Hal yang diinginkan tokoh dalam naskah tersebut
harapan. Tokoh utama yaitu Kaliayev, sedangkan tokoh adalah perubahan dalam hidup. Selanjutnya, Winnie
tambahan adalah Annenkov, Dora, Stepan, dan Voinov. merupakan transformasi dari kata “Win” yang berarti
Latar tempat yang mendominasi naskah drama ini adalah keberhasilan mendapatkan apa yang diinginkan. Dengan
apartemen teroris di Rusia. Latar waktu terjadi pada musim demikian, kedua nama tersebut memiliki makna:
dingin tahun 1905. Latar sosialnya adalah masyarakat “keinginan merupakan kunci dari keberhasilan”. Artinya,
jika tokoh di dalam naskah mempunyai keinginan untuk itulah yang disebut kebebasan dalam penganut filsafat
mendapatkan perubahan, maka tokoh tersebut pasti eksistensialisme dan tanpa ada campur tangan orang dalam
mampu mendapatkannya. Makna tersebut menunjukkan membentuk kehidupannya. Makna absuritas harus
niat untuk menciptakan kehidupan kembali sebagai bentuk dimanfaatkan oleh seni. Seni akhirnya terbebas dari beban
kesadaran terhadap absurditas. Model tersebut kemudian untuk memberikan ketenteraman, memberikan makna dan
memunculkan varian-varian yang merupakan usaha harapan (Camus, 1999: xii).
Winnie untuk menciptakan kehidupan kembali. Varian Pemahaman demikian yang menjadi tolak ukur
pertama adalah pemberontakan Winnie terhadap kebiasaan Sartre dalam memperjuangkan kemanusiaan, serta hal
lamanya. Kedua, kebebasan berekspresi dalam menyusun inilah yang menjadi dasar pemikiran absurd terbentuk.
kehidupan kembali yang diwujudkan dalam bentuk Albert Camus menyangkal dengan pemikirannya tentang
aktivitas-aktivitas Winnie. Ketiga, hal yang menjadi gairah absurd yang pada saat itu Camus melihat fenomena tentang
hidup Winnie dalam menjalani kehidupan. bunuh diri di mana saat itu bunuh diri dianggap guarauan
semata serta tidak menjadi sesuatu yang patut untuk
Absurditas Albert Camus dijadikan pembahasan penting bagi para filsuf. Karena
memang kematian saat itu merupakan hal yang biasa akibat
Absurdisme Albert Camus tidaklah lepas dari
gejolak perang dunia atau depresitas gejolak kehidupan
pemikiran moyangnya yaitu nihilisme. Pada nihilisme
saat itu.
pengosongan diri terhadap segala sesuatu atau
Camus memperjuangkan tentang fenomena bunuh
pengembalian diri menuju titik yang paling kosong
diri. Ia melihat bunuh diri bukan tentang tindakan pada saat
menjadi sumber inspirasi yang paling dahsyat.
bunuh diri tetapi ia melihat proses seseorang atau alasan
Pengosongan ini perihal meniadakan semuanya termasuk
seseorang itu melakukan bunuh diri. Ketika manusia sadar
meniadakan Tuhan atau istilah yang dikenal adalah
bahwa dunia ini tidak menawarkan apa-apa untuk dirinya,
membunuh Tuhan. Karena Tuhan selalu menjadi tataran
hidupnya sudah merasa tidak memiliki harapan, kesia-
tertinggi atas segala sesuatu dan manusia selalu
siaan, tidak berguna, dan selalu menderita inilah yang
menggantungkan dirinya terhadap Tuhan maka
dimaksudkan bahwa keberadaan manusia ini adalah absurd
keberadaan manusia tidaklah utuh sebagai diri sendiri,
atau bisa lebih disederhanakan dengan kata lain
melainkan akan menjadi manusia sesuai kontruksi Tuhan
kemustahilan dan ketidakjelasan.
atau pihak lain. Sehingga kebebasan dan keberadaan
Maka segala sesuatu tentang absurd dimulai
manusia perlu dipertanyakan. Sikap membunuh Tuhan
dengan kesadaran seorang manusia terhadap kehidupan di
tidaklah lain adalah sebuah pemberontakan untuk
dunia. Dunia yang tidak menawarkan apa-apa dan tidak
menemukan keberadaan kebenaran. Pada pemberontakan
dapat disimpulkan kebenarannya tentang masa yang akan
ini pula mulai melahirkan filsafat eksistensi yang selalu
datang (suatu masa yang tidak jelas serta tidak bisa
melakukan pencarian atas keberadaan diri sendiri demi
dinalarkan). Manusia absurd melihat bahwa ujung dari
mencapai kebebasan.
dunia adalah sebuah kehancuran atau ujung dari kehidupan
Nihilisme dan Eksistensi mulai menyatakan adalah kematian tetapi manusia absurd tetap saja
keberadaan individu sebagai manusia. Keduanya saling melakukan sesuatu untuk mempertahankan hidupnya.
ingin memposisikan diri sebagai yang paling benar, dan Absurditas menghindari bunuh diri, selama
yang paling agung. Akhirnya tidak ada batas antara satu absurditas itu merupakan sekaligus kesadaran akan
dengan yang lain. Karena kedua filsafat itu berbicara kematian dan penolakannya (Camus, 1999: 68). Bunuh diri
tentang pemberontakan dan kebebasan. Dari pertanyaan adalah suatu ketidaktahuan. Absurditas adalah ketegangan
dan pernyataan perihal kebebasan telah menimbulkan alur yang paling ekstrem, ketegangan yang dipertahankannya
berpikir baru yang jauh melompati kedua filsafat tersebut. secara tetap dengan usaha seorang diri, karena ia tahu
Pemikiran ini timbul dari kesadaran atas dunia yang bahwa di dalam kesadaran dan pemberontakan yang tanpa
kosong, dunia yang pada awal maupun akhir akan tetap memikirkan hari esok itu, ia membuktikan kebenarannya
menjadi kosong. Hal ini menjadi tolak ukur bahwa yang tunggal, yaitu tantangan. Inilah konsekuensi pertama
sesungguhnya seberapa keras kita menjalani hidup, namun (Camus, 1999: 69). Jika ada absurditas, adanya adalah di
akan tetap berujung pada ketiadaan harapan akan masa dalam dunia manusia. Begitu pengertiannya berubah
depan. Pemikiran ini mulai merabah ke sebuah pertanyaan menjadi papan loncatan keabadian, absurditas tidak lagi
perihal keberadaan atau eksistensi manusia berada pada terikat pada kejernihan nalar manusia. Absurditas bukan
kekosongan. “Kenapa dunia ini diciptakan kalau pada lagi nalar yang ditatap manusia tanpa disetujuinya.
ujungnya tidak lain adalah kehancuran?” Namun Pertarungan terelak. Manusia menyerap absurditas, dan
pertanyaan itu kembali menggugah diri untuk tetap dalam persatuan tersebut melenyapkan sifat dasarnya,
bertahan menjalani hidup yang sudah pasti akan hancur. yakni pertentangan, ketercabikan dan perceraian (Camus,
Menjalani ketidaksesuaian atas masa depan inilah yang 1999: 44).
disebut sebagai absurdisme. Sedang sikap absurd adalah Begitu pula sebuah pembuktian dengan perantara
menghayati atau menyadari absurd, memberontak dengan hal absurd dilakukan dengan membandingkan konsekuensi
diam atau melawan kehancuran dunia dengan cara terus pemikiran tersebut dengan kenyataan logis yang ingin
menjalani kehidupan untuk mencapai suatu kebebasan dibangun. Dalam semua kasus itu, dari yang paling
abadi dimana bebas dari urusan keterbelengguan masa sederhana sampai yang paling rumit, absurditas akan
depan yang sudah jelas kegagalannya. menjadi semakin besar manakala penyimpangan unsur-
unsur pembandingnya bertambah. Ada pernikahan absurd,
Absurditas dan tantangan dendam, kebisuan, perang serta perdamaian
Absurditas tak lepas dari dasar pemikiran mengenai absurd. Dalam semua hal itu absurditas timbul dari
filsafat eksistensialisme yang menawarkan tentang suatu perbandingan. Jadi ada suatu dasar untuk mengatakan
keberadaan manusia serta kebebasannya dalam perilaku bahwa perasaan absurditas tidak lahir dari suatu
hidupnya. Manusia tidak dapat memungkiri bahwa dirinya pengamatan biasa terhadap suatu fakta, atau dari suatu
ada karena ia melakukan sesuatu atas kehendaknya atau kesan. Perasaan absurditas muncul dari perbandingan
antara suatu keadaan nyata dan suatu kenyataan tertentu,
antara suatu tindakan dan dunia mengatasinya. Keadaan Cabang filsafat absurd juga tidaklah lepas dari
absurd pada dasarnya adalah suatu perceraian. Sesuatau nihilisme dan eksistensialisme. Nihilisme absolut, yaitu
yang absurd tidak berada dalam unsur-unsur yang nihilisme yang melegitimasi tindakan bunuh diri, bergerak
dibandingkan. Sesuatu yang absurd lahir dari konfrontasi cepat menuju pembunuhan yang logis. Jika zaman kita
antara unsur-unsur tersebut (Camus, 1999: 37). mengakui bahwa pembunuhan mempunyai justifikasi, itu
Absurditas dihargai sebagai aturan hidup merupakan dampak dari ketidakpedulian terhadap
sehingga sarat dengan kontradiksi. Apa yang kehidupan yang merupakan ciri khas nihilisme. Hal yang
mencengangkan kita kalau absurditas tidak menyediakan mendasar bukanlah tindakan pembiasaan diri sendiri
nilai-nilai yang bisa saja menentukan absahnya tindakan melainkan keterlibatannya dengan seluruh dunia. Tenatu
pembunuhan? Lagipula tidaklah mungkin melandaskan dengan cara khusus, manusia yang bunuh diri dalam
suatu sikap pada emosi yang diistimewakan. Absurd kesendiriannya masih melindungi sebuah nilai karena
(sentiment de l’absurd) adalah suatu rasa di antara sekian rupanya ia tidak diakui oleh hak-hak kehidupan manusia.
banyak rasa lainnya. Rasa yang pernah mewarnai sebegitu Buktinya, manusia tidak pernah sama sekali menggunakan
banyak pemikiran dan aksi pada masa di antara dua perang kekuatan dahsyat dan kebebasan yang diberikan kepada
dunia ini semata-mata membuktikan kekuatan dan dirinya karena ia memutuskan untuk mati. Semua tindakan
keabsahannya. Namun, intensitas dari suatu rasa tidak bunuh diri individual, dalam lingkup tertentu, bersifat
menjamin rasa itu menjadi universal. Kekeliruan yang penghinaan ketika tindakan itu tidak diikuti penyesalan.
muncul disepanjang zaman adalah hadirnya aturan-aturan Namun, tindakan bunuh diri dihinakan dengan
tindakan umum yang berawal dari emosi putus asa. mengatasnamakan sesuatu hal. Kalau dunia tidak
Sebagaimana emosi kecenderungan tindakan itu sendiri mempedulikan orang yang bunuh diri, maka orang itu
berusaha melampaui batas-batasnya sendiri. Penderitaan- merasa tidak ada hal yang berpihak kepadanya ataupun
penderitaan besar seperti juga kebahagiaan besar, mungkin mempedulikan dirinya. Ia mengira telah menghancurkan
pada awalnya merupakan sebuah pemikiran. Itu dan merenggut segalanya, tapi justru karena kematian
merupakan mediasi-mediasi. Namun mungkin juga itulah lahir kembali sebuah nilai yang mungkin pantas
tidaklah bisa menjumpai lagi mediasi-mediasi, dan dalam hidup manusia lainnya. Jadi, negasi absolut tidak
mempertahankan mereka seutuhnya dari ancaman terlemahkan oleh tindakan bunuh diri. Negasi hanya bisa
pemikiran-pemikiran itu. Jika memperhitungkan dilemahkan oleh penghancuran yang absolut itu sendiri
sensibilitas absurd serta mendiagnosis suatu penyakit yang maupun oleh hal-hal lain. Setidaknya menghidupkan
ditemukan dalam diri sendiri ataupun dalam diri orang lain negasi absolut dengan hanya bermaksud mencapai akhir
adalah hal yang absah, maka kita mustahil melihat suatu yang sangat memuaskan. Tindakan bunuh diri dan
kritik nyata dalam sensibilitas itu serta dalam nihilisme pembunuhan dalam ini merupakan dua wajah dari sebuah
yang diandaikan oleh sensibilitas tersebut. Setelah itu tatanan yang sama, yaitu penderitaan manusia. Dengan
cermin yang mempunyai pantulan ajeg harus dihancurkan, cara yang serupa, jika manusia menolak dalil-dalil
dan perlu masuk ke dalam gerakan yang menunjukan rasionalnya pada tindakan bunuh diri, ia tidak mungkin
bahwa absurd berusaha melampaui keterbatasannya memberikan dalil-dalil rasionalnya pada tindakan
sendiri. Cermin telah pecah, tak ada lagi yang tersisa yang pembunuhan. Ia bukanlah nihilis yang tanggung.
sanggup membantu menjawab permasalahan- Pemikiran absurd tidak bisa sekaligus mencegah hidupnya
permasalahan abad ini. Absurd, seperti skeptisisme pemikiran lain yang membicarakan dan menyetujui
metodik, bersifat melenyapkan ia meninggalkan di jalan pengorbanan orang-orang lain sejak ia menyadari adanya
buntu. Tapi, seperti skeptisisme, ia dapat mengarahkan kemustahilan dalam negasi absolut. Ini juga merupakan
suatu pencarian baru dengan menyangsikan sistemnya kesadaran atas adanya suatu hal yang eksis sedemikian
sendiri. pemikiran berlanjut dengan cara yang sama. rupa dan tidak mungkin diingkari, yaitu kehidupan orang
Manusia absurd berseru bahwa ia tidak mempercayai lain (Camus, 2017, xxiii).
apapun dan segalanya adalah absurd, tapi ia tidak mungkin “Kita menyangkal Tuhan, kita menyangkal
menyangsikan seruannya itu dan ia setidaknya harus tanggung jawab Tuhan, semata-mata karena kita akan
mempercayai protesnya. Bukti pertama, dan memang satu- membebaskan dunia.” Bersama Nietzsche, nihilisme
satunya yang didapati dalam pengalaman absurd adalah tampak menjadi profetik. Namun, tidak bisa menarik apa-
pemberontakan. Tersingkir dari semua ilmu pengetahuan, apa dari kekelaman yang nista yang sangat dibencinya.
terdorong untuk membunuh, ia hanya mengandalkan bukti Nihilisme pada Nietzsche untuk pertama kalinya menjadi
yang diperkuat oleh rasa pilu hatinya. Pemberontakan sadar. Dokter-dokter ahli bedah berkarakter sama dengan
timbul dari pergelaran rasa de-rasio, di depan sebuah nabi-nabi: mereka mendiagnosis dan mengoperasi menurut
kondisi yang tidak adil dan tidak dapat dimengerti. Tapi, masa depan. Nietzsche tidak pernah mendiagnosis selain
elannya yang buta menuntut keteraturan di tengah menuruti malapetaka yang akan terjadi. bukan untuk
kekacauan. Ia berseru, menuntut, serta menghendaki menyanjung hal itu karena ia menebak wajah yang
berhentinya skandal dan mengekalnya “sesuatu yang menjijikan dan mampu berhitung yang akhirnya berkenaan
selamanya tertulis di laut”. Kegelisahannya adalah dengan malapetaka itu melainkan untuk menghindar dan
mentransformasikan. Namun, transformasi itu berarti aksi, mengubahnya menjadi kelahiran kembali. Nietzsche
dan aksi akan segera menjadi pembunuhan padahal tetap mengakui nihilisme dan memeriksanya sebagai satuan
tidak diketahui apakah pembunuhan itu absah. Sebenarnya fakta klinis. Ia mengakui dan menyatakan dirinya nihilis.
pemberontakan justru melahirkan aksi-aksi, dan Orang Eropa pertama yang sempurna bukanlah berkat
pemberontakan itu sendiri dituntut untuk mengabsahkan citarasa melainkan berkat keadaan karena ia terlampau
aksi-aksi itu. Maka, sudah semestinya pemberontakan besar untuk menolak warisan zamannya. Ia telah
memetik argumen-argumen dari dalam pemberontakan itu mendiagnosis dirinya sendiri dan keimanan manapun yang
sendiri karena pemberontakan tidak mungkin memetik berarti ia percaya pada kehidupan. Ia mengubah
argumen-argumen dari luar dirinya. Pemberontakan harus pertanyaan, “Bisakah orang hidup memberontak?”.
bersedia menguji dirinya sendiri guna belajar membawa Jawabannya tentu saja, “Ya”, kalau orang membuat
diri (Camus, 2018, xxviii). kekosongan keimanan menjadi suatu metode, kalau orang
mendorong nihilisme hingga mendalam konsekuensi-
konsekuensinya yang terakhir, dan kalau orang percaya dan semua orang yang menjatuhkan martabat dunia tapi
pada penderitaan dan kehangatan. Alih-alih sangsi, ia yang menempati tempat para tuhan atau dewa.
justru mempraktikkan negasi atau penghancuran segala hal Bertentangan dengan apa yang dipikirkan oleh sejumlah
yang masih menyembunyikan nihilisme pada dirinya kritikusnya yang beragama Kristen, Nietzsche tidak
sendiri, berhala-berhala yang menyamarkan kematian mengadakan proyek membunuh Tuhan. Ia menemukan
Tuhan (Camus, 2017: 78). Tuhan telah mati dalam roh zamannya. Ia adalah orang
Langkah pertama Nietzsche adalah menyepakati pertama yang memahami dahsyatnya peristiwa itu dan
apa yang diketahuinya. Baginya, ateisme sudah dengan memutuskan bahwa jika pemberontakan berlangsung tidak
sendirinya bersifat “konstruktif dan radikal”. Tujuan luhur terarah, maka manusia tidak mungkin menuju pencerahan.
Nietzsche adalah memunculkan sejenis krisis dan Semua sikap yang berbeda terhadap pemberontakan, baik
keputusan yang tegas dalam masalah ateisme. Dunia itu penyesalan maupun kesedihan, niscaya membawa
melangkah ke petualangan, ia tidak berfungsi. Dengan apa, malapetaka. Oleh karena itu Nietzsche tidak merumuskan
jika ia menghendaki sesuatu, ia harus menanggung filsafat pemberontakan, ia menyusun filsafat tentang
“seluruh derita dan ketidaklogisan yang melahirkan nilai pemberontakan (Camus, 2018: 81).
total kemenjadian (le devenir)” Kita tahu bahwa Nietzsche Sejak manusia tidak percaya lagi kepada Tuhan,
secara terbuka menyukai rumusan Stendhal: “Satu-satunya juga tidak meyakini kehidupan yang abadi, maka ia
hal yang disesalkan yang berkaitan dengan Tuhan adalah menjadi “penanggung jawab atas semua yang hidup, atas
bahwa Tuhan tidak ada.” Terlepas dari kehendak Ilahi, semua yang lahir karena derita dan dipersembahkan untuk
dunia tidak terikat oleh unitas dan tujuan. Itulah sebabnya menanggung derita kehidupan.” itu ada pada dirinya
dunia tidak dapat ditentukan nilainya. Seluruh seorang, bahwa ia datang kembali untuk menemukan
pertimbangan nilai yang berkenaan dengannya pada tatanan dan hukum. Lalu kaum terbuang mengawali
akhirnya berujung pada fitnah kehidupan. Tentu mengacu pencarian panjang justifikasi-justifikasi, suatu nostalgia
pada hal yang seharusnya eksis, menilik Kerajaan Surga, tanpa tujuan. “Masalah yang paling memilukan hati adalah
ide-ide keabadian, ataupun tuntutan-tuntutan moral. Tetapi masalah dari nurani yang bertanya, dimanakah aku bisa
apa yang seharusnya eksis ternyata tidak eksis. Dunia ini menghayati hidup?” (Camus, 2018: 84).
tidak bisa dinilai dengan mengatasnamakan sesuatu yang Karena ia jiwa yang bebas, Nietzsche tahu bahwa
tidak ada. “Keunggulan-keunggulan masa kini: tidak ada kebebasan jiwa bukanlah suatu kenyamanan melainkan
yang benar. Segalanya boleh.” Nietzsche menerima segala kemuliaan yang diinginkan orang dan yang diperoleh
beban nihilisme dan pemberontakan. Dalam orang melalui perjuangan yang menguras tenaga. Ia tahu
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat kekanak- ada resiko besar ketika orang akan menyepelekan hukum
kanakan atas “penggemblengan dan seleksi” itu, ia justru sesuai mengindahkan hukum tersebut. Itulah sebab ia sadar
merumuskan logika ekstrem pemikiran nihilis: “Dengan bahwa ia tidak mendapatkan emansipasi yang sesuai
cara apakah kita mendapat format nihilisme besar yang kecuali menerima kewajiban-kewajiban baru. Ia bertutur,
menular, yang mempraktikkan kematian sukarela dengan kalau hukum abadi bukanlah kebebasan, maka ketiadaan
kejujuran yang betul-betul ilmiah?” (Camus, 2018: 79 - hukum yang merupakan kebebasan masih kurang
80). memadai. Jika tidak ada yang benar, jika dunia tanpa
Demi keuntungan nihilisme, Nietzsche aturan, pasti tidak ada yang terlarang. Untuk melarang
mengambil nilai yang secara tradisional dianggap sebagai suatu tindakan diperlukan nilai dan tujuan. Tetapi,
penghambat nihilisme. Secara prinsip, nilai itu adalah kalaupun tidak ada yang diperbolehkan, maka nilai dan
moral. Perilaku moral, seperti yang diilustrasikan oleh tujuan diperlukan untuk memilih tindakan lain. Tanpa
Socrates maupun yang dihimbau oleh Kristianisme, adalah hukum, tidak ada kebebasan. Di akhir pembebasan
sebuah tanda dekadensi. Perilaku itu akan menggantikan terbesar, Nietzsche lebih menyukai ketergantungan
manusia dengan suatu “manusia rohani”. Ia melarang terbesar. “Kalau tidak memanfaatkan masa matinya Tuhan
amarah dan pemberontakan demi sebuah dunia yang untuk dijadikan masa hidup tanpa keduniawian dan masa
harmonis, yang sepenuhnya benar-benar imajiner. Jika kemenangan yang selamanya atas diri sendiri, maka kelak
nihilisme merupakan ketidakpercayaan, maka gejalanya harus menanggung kerugian itu.” Dengan kata lain,
yang paling gawat tidak terdapat pada ateisme melainkan bersama Nietzsche, pemberontakan muncul dalam praktik
dalam ketidakmampuan untuk mempercayai apa yang asketisme. Satu logika yang lebih dalam kemudian
eksis, untuk melihat apa yang terjadi, dan untuk menggantikan “jika tidak ada yang benar, maka segalanya
menghidupkan apa yang tersedia. Kelemahan itu terletak boleh” dari Karamazov dengan “jika tidak ada yang benar,
pada landasan secara idealisme. Moral tidak mempercayai maka tidak ada yang boleh” (Camus, 2018: 84-85).
dunia. Moral yang sejati, bagi Nietzsche, tidak terpisahkan Nietzsche lantas kembali ke asal mula filsafat, ke masa pra
dari nurani. Nietzsche bertindak keras terhadap “para Socrates. Socrates meniadakan sebab-sebab pengakhiran
penyebar fitnah dunia” karena membongkar adanya demi membiarkan utuhnya kelestarian prinsip yang
kecenderungan yang memalukan untuk melarikan diri dibayangkan. Satu-satunya yang abadi adalah kekuatan
dalam fitnah tersebut. Baginya, moral tradisional hanya yang tak bertujuan (Camus, 2018: 88).
keabadian yang istimewa “Itulah kebaikan, yang perlu Dengan menghilangkan tujuan hidup, manusia
dijustifikasi,” tuturnya. Apalagi: “Demi alasan-alasan akan kembali dimana segala sesuatu dianggap tidak
moral, kelak manusia akan berhenti berbuat baik.” memiliki keberadaan. Keberadaan akan hubugannya
(Camus, 2018: 80). dengan apapun, ia hanya menyebut dirinya sendiri tanpa
Filsafat Nietzsche tentunya sudah berputar di mempedulikan orang lain maupun hal-hal yang
sekeliling masalah pemberontakan. Tepatnya, filsafat itu mempengaruhi keberadaannya secara utuh. Eksistensi
berawal sebagai sebuah pemberontakan. Namun, kita yang berbahagia dan kekal hidupnya itu tidak berurusan
merasakan adanya peralihan yang dioperasikan oleh dengan seorang pun manusia dan tidak pula menciptakan
Nietzsche. Dengannya, pemberontakan bertitik tolak dari suatu urusan untuk manusia (Camus, 2018: 27). Sang
“Tuhan mati” yang dihargai sebagai suatu fais acquis pemberontak tidak akan bermufakat dengan manusia-
(fakta yang diakui sepenuhnya) lalu memusuhi semua manusia lain kecuali sebatas mana egoisme mereka akan
orang yang ingin menggantikan keilahian yang sudah mati sesuai dengan egoisme sang pemberontak. Kehidupan
sejatinya berada di dalam kesendirian saat ia melawan, ia ingin hidup dan tidak mau menyerah.
melampiaskan secara tak terkendali nafsu untuk Pemberontakan itu memberi nilai pada kehidupan,
bereksistensi yang merupakan satu-satunya eksistensi mengembalikan kebesaran pada eksistensi manusia.
(Camus, 2018: 76). Setiap pemberontakan merupakan Akibat dari pemberontakan ini adalah bahwa manusia
nostalgia dari suatu kepolosan dan panggilan menuju absurd mempunyai suatu pengertian baru tentang
eksistensi (Camus, 2018 : 131). Dengan menolak kebebasan. Memang benar tidak ada kehidupan di masa
keberadaan Tuhan, manusia mengutamakan sejarah depan. Tetapi juga tidak ada etika eksternal yang
dengan alur logika yang tidak bisa dihindari (Camus, 2018 memerintahkan menahan kebebasan manusia, selanjutnya
: 132). Tuhan mati, dunia harus diubah dan diorganisasi menuju kematian, mengetahui yang pasti terjadi tentang
degan kekuatan manusia. Kekuatan sumpah serapah saja kesuraman dan menyatakan bahwa tidak ada yang mutlak,
tidak cukup, diperlukan senjata dan penaklukan totalitas si pemberontak ini, si absurd ini akhirnya memiliki sebuah
(Camus, 2018 : 135). Penolakan terhadap kematian, kebebasan penuh. Karena tidak ada ukuran nilai, maka
keinginan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan tidak ada pilihan, tidak ada pilihan terbaik yang harus
transparansi, adalah jalan keluar terakhir dari seluruh dibuat.
kegilaan ini, baik yang sublim ataupun yang kekanak- Bagi Camus, yang bermakna bukanlah hidup
kanakan (Camus, 2018 : 125). Agar memiliki eksistensi yang terbaik tetapi hidup yang banyak. Pemikirannya
manusia harus memberontak, tetapi dengan menghormati tentang “kehidupan yang paling banyak” berarti sadar
batas yang diungkapkan oleh pemberontakan bagi dirinya tentang kehidupan manusia, tentang pemberontakan, dan
sendiri dan tujuannya untuk menyatukan kembali manusia tentang kebebasan yang puncaknya adalah menyadari
(Camus, 2018: 14). setiap pengalaman secara penuh. Kesadaran ini juga berarti
Pada prinsipnya, pemberontak hanya ingin perasaan, perasaan di dunia ini. Perasaan tersebut juga
menguasai eksistensiya sendiri dan mempertahankannya berarti kesadaran tentang hari ini serta pergantian hari ini
di hadapan Tuhan. Tapi ia melupakan asal muasalnya, dan di dalam suatu pikiran sadar yang konstan. Perhatian
dengan hukum dari suatu imperialisme spiritual, itulah manusia absurd adalah pada yang langsung: saat ini dan di
jalan bagi Kekaisaran Dunia melalui pembunuhan- sini. Pemikiran tentang kebebasan absolut ini berakibat
pembunuhan yang dilipatgandakan hingga jumlah yang pada apa yang disebut Camus sebagai ketidakbersalahan
tidak terbatas. Pemberontak memburu Tuhan di langit- manusia. Manusia absurd merasa tidak ada satupun yang
Nya, namun dalam semangat pemberontakan metafisik perlu dibenar-benarkan (Martin, 2003: 58-59).
yang lantas bergabung secara terang-terangan dengan Dengan demikian dari absurditas menarik tiga
gerakan revolusioner, dan tuntutan irasional kebebasan konsekuensi, yakni rasa berontak, kebebasan, dan nafsu
akan secara paradoksal menganggap rasio sebagai atau harapan (Camus, 1999: 80). Menghadapi absurditas,
sederajat, hanya kemampuan untuk menaklukanlah yang manusia harus menentukan sikapnya. Sikap Camus
tampak benar-benar manusiawi bagi pemberontakan. terhadap absurditas ialah pemberontakan (La ravolte).
Tuhan mati, yang ada hanya manusia. Dengan demikian Sebab, pemberontakan merupakan eksistensi subjektivitas
sejarah harus dibangun dan dipahami. Nihilisme dilingkup dan kebebasan.
pemberontakan menguasai kekuatan alam ciptaan Tuhan 2.1.1.
tapi hanya menambahkan bahwa sejarah dapat dibangun 1. Kesadaran Absurd
dengan segala cara. Di puncak irasionalitas, manusia Menurut Camus (1999: 67), Hidup adalah
menggabungkan kejahatan-kejahatan rasio yang berjalan menghayati absurd. Menghidupkan absurd adalah
ke arah terbentuknya Kekaisaran Manusia di atas sebuah pertama-tama dengan memandangnya. Manusia absurd
dunia yang ia ketahui sebagai tempat terasing. Melalui mengatakan ya, dan usahanya tak akan pernah berhenti
ungkapan, “Saya berontak, maka kita ada,” dengan (Camus, 1999: 158). Absurd tidak menunjukan apapun
merenungkan rencana-rencana luar biasa dan bahkan kepada kita selain kontradiksi dalam hal yang menyangkut
kematian pemberontakan, ia menambahkan ungkapan itu pembunuhan. Absurd, bila pada mulanya seseorang ingin
dengan: “Dan kita sendirian.” (Camus, 2018: 130). melakukan tindakan, membuat pembunuhan menjadi tidak
Mengenai sesuatu yang absurd, dikutip dari buku berarti sehingga justru pembunuhan itu menjadi mungkin.
Martin (2003: 52-53) bahwa semua kehidupan manusia Jika orang tidak mempercayai apa pun, apabila tidak ada
beserta hasratnya yang hangat, aktivitasnya dengan hal yang bermakna, dan jika ia tidak bisa meyakini nilai
pelbagai prestasi, semua keindahan yang telah ia saksikan, apapun, segalanya adalah mungkin dan tak ada apapun
semua cinta yang telah diberikan dan terima – semua akan yang penting. Tidak ada pro dan kontra, pembunuhan
berkahir dengan kematian. Setiap peristiwa dan setiap adalah tindakan yang tidak salah dan tidak juga benar.
detik yang dijalani semakin mendekatkan pada kematian. Kejahatan dan kebajikan merupakan hal yang kebetulan
Bayang-bayang kematian bisa muncul melalui apa saja dan ataupun tidak menentu. Keputusan untuk tidak beraksi
merupakan bagian dari semua kesenangan, menunjukan sama artinya dengan menyetujui pembunuhan sesama
kesia-siaan dari semua aktivitas. Inilah perasaan absurd. manusia, kecuali kalau menyesalkan ketidaksempurnaan
Bagi Camus, perasaan absurditas ini lebih merupakan manusia (Camus, 2018: xx).
sesuatu yang muncul dari pertemuan antara alam dan Camus (1999: 37) pernah berkata tentang sebuah
pikiran manusia. pembuktian dengan perantara perihal absurd dilakukan
Jawaban Camus, terhadap sesuatu yang absurd dengan membandingkan konsekuensi pemikiran dengan
adalah pemberontakan. Oleh karena pemberontakan, kenyataan logis yang ingin dibangun. Jika ingin
kebebasan, kesadaran dan perasaan tidak bersalah menegaskan sikap absurd, maka harus siap membunuh
merupakan kualitas-kualitas manusia absurd. Manusia sambil menggunakan logika yang mengabaikan
yang absurd dalam Martin (2003: 57) adalah manusia yang pertimbangan-pertimbangan moral yang kelak dinilai
mengerti arti absurditas itu, manusia yang tidak lari dari palsu. Tentu saja dalam hal ini ada kecenderungan untuk
absurditas tetapi selalu menjaganya di dalam membunuh. Itu juga jika menilainya dari segi pengalaman.
kesadarannya–inilah manusia yang menantang, inilah Selain itu memang selalu mungkin untuk melakukan
pemberontak. Ia berdiri menantang, ia berjuang tanpa pembunuhan karena tindakan itu dianggap lumrah. Jadi,
harapan, ia tahu bahwa ia akan hancur, tetapi ia tetap semua diatur dengan mengatasnamakan logika kalau
perhitungan logika itu benar-benar tepat (Camus, 2018: yang mandul. Dalam dunia absurd, nilai suatu pengertian
xxi). atau suatu kehidupan diukur dengan kemandulannya.
Logika tidak bisa menemukan perhitungan yang
tepat jika tindakan pembunuhan dianggap tidak mungkin2.1.2. 2. Pemberontakan
dan mustahil. Alasannya, setelah menganggap Bila absurditas adalah suatu kontradiksi maka
pembunuhan itu tidak berarti, analisis absurd pun dapat dipahami bahwa sesungguhnya absurd merupakan
menentang pembunuhan. Kesimpulan akhir dari pemikiran keadaan yang saling bertentangan. Pertentangan itulah
absurd adalah penolakan atas pembunuhan dan yang memiliki kata lain sebagai pemberontakan. Karena
pelestarian konfrontasi tanpa harapan antara masalah pertentangan lahir dari intuisi berontak atau rasa berontak.
kemanusiaan dan dunia yang bungkam. Tindakan bunuh Dari rasa berontaklah nantinya timbul pertentangan-
diri menandakan akhir dari konforntasi itu, dan pemikiran pertentangan atas ketidaksetujuan akan sesuatu yang
absurd hanya bisa menerima konfrontasi itu dengan cara membelenggu sebuah kebebasan. Camus (2018: 7-8) juga
mengingkari premis-premisnya sendiri. Sebuah mengatakan bahwa, gerakan pemberontakan memang lebih
kesimpulan semacam itu, menurut pemikiran absurd, dari sekadar aksi penuntutan hak, dengan penekanan kuat
merupakan usaha pelarian diri. Pemikiran ini sekaligus pada makna kata “aksi”. Penyesalan didefinisikan dengan
mengakui kehidupan sebagai satu-satunya hal yang paling sangat baik oleh Scheler sebagai suatu tindak peracunan
penting karena kehidupan justru memungkinkan adanya diri dengan getah berbisa di dalam lingkungan yang
konfrontasi dan karena pertaruhan absurd tidak memiliki tertutup karena tidak berdayaan yang berkepanjangan.
dasar tanpa adanya kehidupan, untuk menyatakan bahwa Sebaliknya, pemberontakan memecahkan kehidupan
kehidupan ini bersifat absurd, maka nurani perlu terjaga. seperti itu. Pemberontakan menjadikan gelombang-
Jika tidak ada konsesi istimewa demi rasa nyaman, gelombang statis berubah dahsyat. Scheler sendiri
bagaimana orang mempertahankan kebahagiaan bagi menitikberatkan aspek pasif dan penyesalan dengan
dirinya sendiri? Begitu kebahagiaan itu diakui mengaitkan ranah penting itu pada psikologi hawa nafsu
sebagaimana mestinya, maka itulah kebahagiaan seluruh dan kepemilikan (possession). Sebaliknya, biang
manusia. Tidaklah mungkin menyetujui pembunuhan pemberontakan memiliki unsur aktivitas yang berlebihan
kalau menolak tindakan bunuh diri. Jiwa manusia yang dan unsur energy. Scheler juga benar saat mengatakan
telah terasuki ide absurd tentu akan menyetujui bahwa kedengkian sangat mewarnai penyesalan. Orang
pembunuhan yang fatalistic. Jiwa tidak akan mampu biasa menginginkan sesuatu yang tidak dimilikinya,
menerima pembunuhan yang menggunakan nalar. sedangkan pemberontak mempertahankan dirinya apa
Berlawanan dengan konfrontasi, tindakan pembunuhan adanya. Sang pemberontak tidak menuntut suatu kebaikan
dan bunuh diri adalah salah satu hal yang sama yang harus yang tidak dimilikinya maupun yang dirampas darinya. Ia
diterima atau ditolak sepenuhnya (Camus, 2018: xxii). bermaksud menjadikan sesuatu hal yang ia miliki itu
Kontradiksi yang hakiki tidak mungkin absen diakui, dan hal yang sudah diakui oleh dirinya adalah lebih
menyertai kebanyakan manusia, semenjak manusia ingin penting daripada hal yang mungkin ia inginkan.
bertahan di dalam absurditas dan mengabaikan karakter Pemberontakan tidaklah realistis. Menurut Scheler rasa
aslinya yang kini menjadi suatu perubahan nyata. Itulah penyesalan selalu menjadi berambisi besar (arrivisme) atau
titik tolak yang dalam praktiknya sama dengan skeptisisme terasa pahit (aigreur) tergantung prasangkanya yang kuat
metodik-nya Descartes. Dengan demikian absurd dalam atau lemah. Tapi, manusia ingin menjadi selain dirinya apa
dirinya sendiri adalah kontradiksi. Absurd merupakan adanya itu diganggu oleh orang lain. Ia berjuang demi
kontradiksi dalam muatannya karena absurd menyisihkan keutuhan eksistensinya. Awalnya, ia tidak berusaha
pertimbangan-pertimbangan nilai untuk menjaga menaklukan melainkan memaksakan.
kehidupan. Sedangkan hidup itu sendiri adalah suatu Tampak bahwa rasa penyesalan sangat menikmati
pertimbangan nilai. Demi menghindari rasa puas diri, penderitaan yang ingin dirasakan oleh obyek rasa dendam.
pemikiran absurd menemukan le renoncement (pelepasan Nietszche dan Scheler betul-betul melihat sebuah ilustrasi
segala hal yang berbau duniawi) (Camus, 2018: xxv). cantik dari sensibilitas itu dalam fragmen dimana
Dan bila logika absurd itu dikembangkan sampai Tertullian mengabari para pembacanya bahwa sumber
tuntas, harus diakui bahwa pergulatan itu menuntut kebahagiaan yang terbesar di surga kelak adalah acara
ketiadaan harapan secara mutlak (yang tidak ada kaitannya pembakaran kaisar-kaisar Romawi di neraka. Itu
dengan keputusasaan), penolakan tanpa henti (jangan merupakan kebahagiaan orang-orang baik yang
dikacaukan dengan penyangkalan diri), dan ketidakpuasan menghadiri eksekusi tersebut. Sebaliknya, prinsip
yang sadar (tidak boleh disamakan dengan keresahan pemberontakan hanya terbatas pada tindakan menolak
remaja). Semua yang menghancurkan, menyembunyikan penghinaan, tanpa pernah menghendaki penghinaan itu
atau menghaluskan tuntutan-tuntutan tersebut (dan diperuntukkan bagi pihak lain. Ia rela bersusah hati demi
terutama persetujuan yang menghancurkan penceraian) penghormatan atas integritasnya (Camus, 2018: 8).
menghancurkan absurditas dan menurunkan nilai sikap Pemberontakan merupakan perbuatan manusia
yang dapat disarankan untuk itu. Manusia yang sadar akan yang menyadari hak-haknya. Walaupun demikian
yang absurd menjadi terikat padanya untuk selamanya. pemberontakan tidak berkaitan dengan hak-hak individu.
Manusia yang tidak mempunyai harapan dan sadar tidak Sebaliknya, pemberontakan berhubungan dengan suatu
mempunyai harapan, tidak lagi menjadi bagian masa kesadaran yang kian meluas yang diambil manusia dari
depan. Itu wajar. Wajar juga bahwa ia berusaha dirinya sendiri selama petualangannya. Dalam hal ini orang
menghindari alam dunia yang ia ciptakan sendiri (Camus, Inca maupun orang Paria tidak melakukan pemberontakan
1999: 39). karena mereka memang tidak memiliki tradisinya.
Camus (1999: 87) mengatakan bahwa saat ini ia Sebelum mereka bisa menegaskan pentingnya
hanya ingin berbicara tentang dunia dimana pemikiran- pemberontakan bagi diri mereka, muncullah jawaban yang
pemikiran, seperti halnya kehidupan, tidak mempunyai sakral dan tak boleh diganggu gugat. Ketika kita tidak
masa depan. Semua yang dapat membuat manusia bekerja menemukan masalah pemberontakan di dunia yang sakral,
dan sibuk menggunakan harapan. Jadi, satu-satunya itu berarti kita tidak menemukan permasalahan riil apapun
pemikiran yang tidak berbohong adalah suatu pemikiran di sana karena seluruh jawaban diberikan sekali saja.
Metafisika digantikan oleh mitos. Tidak ada lagi pengalaman itu sadar untuk menjadi kolektif dan
pertanyaan, yang ada hanyalah jawaban-jawaban dan pengalaman itu merupakan petualangan seluruh manusia.
komentar abadi yang kemudian bisa bersifat metafisik. Kemajuan pertama dari suatu semangat yang dipengaruhi
Tapi sebelum manusia masuk ke dalam hal yang sakral, oleh alienasi merupakan pengakuan bahwa ia berbagi
serta supaya ia bisa masuk ke sana dan keluar dari sana alienasi itu dengan seluruh manusia, dan manusia pada
dengan baik, maka ia perlu mengajukan gugatan dan dasarnya menderita karena berjarak dengan dunia.
melakukan pemberontakan. Manusia pemberontak adalah Kebatilan yang menguji individu pun berubah menjadi
manusia yang berada sebelum atau sesudah hal sakral. Ia penyakit pes kolektif. Dalam ujian sehari-hari terhadap diri
gigih menuntut lahirnya tatanan yang manusiawi dimana sendiri, pemberontakan memainkan peran yang sama
seluruh jawaban bersifat manusiawi karena dirumuskan dengan Cogito di tatanan pemikiran: pemberontakan
secara arif dan bijaksana. Sejak saat itu segala adalah kenyataan utama. Tapi kenyataan itu mengentaskan
permasalahan dan semua kata adalah pemberontakan. individu dari keterasingannya. Kenyataan itu
Sedangkan di dunia yang sakral, segala kata adalah mengumpulkan nilai utama pada seluruh umat manusia.
praktik-praktik ibadah. Jiwa manusia hanya memiliki dua “Aku berontak, maka aku ada”.
semesta yang mungkin, yaitu semesta kesakralan (istilah Pemberontakan metafisik adalah pergerakan
kristennya adalah grace) dan semesta pemberontakan. manusia yang menentang kondisi hidupnya dan seantero
Hilangnya salah satu sama artinya dengan munculnya satu alam. Pemberontakan itu bersifat metafisik karena
lainnya, walaupun kemunculan itu bisa terjadi dalam mempermasalahkan tamatnya manusia dan ciptaan. Dalam
bentuk-bentuk yang membingungkan. Dalam hal itu pula lingkup kedudukannya, budak memprotes kondisi hidup
dapat ditemukan kembali “Semuanya” atau “Tidak Sama yang diciptakan untuknya. Seorang pemberontak metafisik
Sekali”. Aktualitas dari masalah pemberontakan bermula menentang kondisi hidup yang diciptakan statusnya
hanya pada fakta bahwa segenap lingkungan masyarakat sebagai manusia. Budak pemberontak menegaskan ada
saat itu sudah mengambil jarak dengan hal sakral. Kita sesuatu dalam dirinya yang tidak rela menerima sikap
menuju sejarah desakralisasi sehingga manusia tidak tuannya dalam memperlakukan dirinya. Pemberontakan
hanya melakukan pemberontakan. Tapi sejarah masa kini, metafisik menyatakan bahwa dirinya telah dibuat frustasi
melalui sangkalan-sangkalannya, memaksa kita untuk oleh alam. Keduanya ini bukan semata-mata mengenai
menyatakan bahwa pemberontakan merupakan salah satu negasi yang murni dan lugu. Dua kasus itu ternyata dapat
dimensi manusia yang esensial. Pemberontakan ditemukan pertimbangan nilai yang membuat sang
merupakan realitas sejarah. Kalau menghindari realitas, pemberontak mengingkari persetujuannya terhadap
maka perlu menemukan nilai-nilai realitas itu. Bisakah, kondisi hidup yang dialaminya (Camus, 2018: 17).
manusia terlepas dari hal sakral dan nilai-nilai yang Budak yang menentang tuannya tidak berpikiran
mutlak, menemukan aturan suatu perilaku? Begitulah untuk menyangkal statusnya sebagai manusia. Ia
pertanyaan yang diajukan oleh pemberontakan (Camus, menyangkal status si tuan sebagai tuan. Ia menyangkal
2018: 12-13). bahwa tuannya itu mempunyai hak untuk mengingkari
Kita pernah mendaftarkan nilai rumit yang statusnya sebagai manusia, dan sangkalan itu berupa
muncul pada batas dimana pemberontakan dibenarkan. tuntutan. Si tuan jatuh martabatnya justru sejauh ia tidak
Lalu apakah nilai itu berada lagi dalam bentuk-bentuk menanggapi sebuah tuntutan yang diremehkan olehnya.
pemikiran dan tindakan berontak, serta kalaupun memang Apabila manusia tidak dapat mengacu pada sebuah nilai
demikian, haruskah menjelaskan lebih lanjut isinya? umum yang diakui oleh setiap manusia, maka antar-
Namun, landasan nilai itu adalah pemberontakan itu manusia pun sukar untuk saling memahami. Sang
sendiri. Solidaritas manusia berlandaskan gerakan pemberontak menuntut nilai itu diakui dengan jelas berada
pemberontakan, dan gerakan ini pada gilirannya hanya dalam dirinya sendiri, karena ia curiga maupun tahu
menemukan justifikasi dalam keterlibatan pada bahwa, tanpa prinsip itu, kekacauan dan kejahatan akan
pemberontakan. Dengan demikian dapatlah dinyatakan berkuasa di dunia. Gerakan pemberontakan tampak pada
bahwa seluruh pemberontakan yang mengingkari ataupun dirinya sebagai satu tuntutan yang bulat dan tegas.
menghancurkan solidaritas itu sama dengan gerakan yang Pemberontakan yang paling mendasar mengungkapkan
menghilangkan makna pemberontakan serta serupa secara paradoksal aspirasi akan adanya suatu ketertiban
dengan suatu pembunuhan. Begitupula dengan solidaritas (Camus, 2018: 17-18).
yang bukan merupakan hal sakral, memandang kehidupan Baris demi baris, deskripsi ini tepat
pada derajat pemberontakan. Drama sejati dari pemikiran menggambarkan seorang pemberontak metafisik.
berontak lalu dikabarkan. Agar memiliki eksistensi Pemberontak ini berdiri tegak di sebuah dunia yang porak
manusia harus memberontak, tetapi dengan menghormati poranda demi menuntut adanya unitas (kesatuan) dunia. Ia
batas yang diungkapkan oleh pemberontakan bagi dirinya mempertentangkan prinsip keadilan yang ada dalam
sendiri dan tujuannya untuk menyatukan kembali manusia. dirinya dengan prinsip ketidakadilan yang diketahuinya
Jadi, pemikiran berontak mutlak memerlukan memori. Ini sedang aktif di dunia. Sesungguhnya ia tidak menghendaki
merupakan suatu tegangan yang berlangsung tanpa henti. apapun selain kontradiksi itu serta mendirikan kedaulatan
Kalau mengikuti pemikiran berontak dalam karya-karya yang manunggal dengan keadilan kalau saja ia sanggup,
dan aksi-aksinya, maka akan terus bertanya apakah yang manunggal dengan ketidakadilan kalau ia tersudut.
pemikiran itu tetap setia pada keluhuran janjinya atau Sementara itu membongkar rahasia kontradiksi itu. Ia
apakah ia justru mengabaikan keluhuran tersebut karena memprotes kondisi hidup yang mengandung kontradiksi
ternyata pemikiran itu bersifat tiranik (Camus, 2018: 13- yang terpecahkan dan yang bercabang-cabang itu dengan
14). kematian dan kebatilan. Pemberontakan metafisik
Sikap Camus (2017: 15) terhadap pemberontakan merupakan tuntutan yang didorong oleh suatu ide unitas
berusaha memberi pernyataan. Inilah kemajuan pertama yang penuh kebahagiaan (unite heureuse) dalam
yang dilakukan oleh semangat pemberontakan melalui menentang penderitaan hidup dan penderitaan mati. Andai
refleksi yang semula dipenuhi absurditas dan semu. Dalam hukuman mati yang diberlakukan untuk semua orang
pengalaman absurd, penderitaan merupakan kejadian yang membatasi kondisi hidup umat manusia, maka wajar bila
bersifat individual. Sejak adanya gerakan pemberontakan, pemberontakan menentang hukuman itu. Pemberontak
menolak kondisi ajalnya sekaligus menolak untuk ilmu kedokteran maupun ole akal sehat. Di mata kaum
mengakui kekuatan yang membuatnya hidup dalam pemberontak, hal yang tidak terdapat pada penderitaan
kondisi seperti itu. Bisa dipastikan bahwa pemberontak dunia, sebagaimana pada saat-saat kebahagiannya, adalah
metafisik bukanlah ateis seperti yang diyakini orang, ia prinsip penjabaran. Pemberontakan terhadap kejahatan
adalah pengutuk Tuhan. Singkatnya pertama-tama ia tetaplah sebuah tuntutan atas unitas. Di dunia para
mengutuk Tuhan mengatasnamakan tatanan, dan terpidana mati, ataupun di dalam kelamnya sebuah kondisi
melaporkan kepada dunia perihal adanya gelar Bapak yang mematikan, pemberontakan terus mengajukan
Pembawa Ajal (Le Pere de La Mort) dan skandal tertinggi tuntutannya tentang hidup dan transparansi definitif. Tanpa
pada figure Tuhan (Camus, 2018: 18-19). disadari, pemberontak sedang mencari nilai moral dan
Dalam protesnya, budak membuktikan eksistensi sakral. Pemberontakan adalah suatu pegorbanan, walaupun
tuan yang ia lawan. Tapi, ia menunjukan dalam itu pengorbanan yang membabi buta. Apabila
keterbelengguannya itu ia mempunyai kemampuan seperti pemberontak menghujat Tuhan, maka itu adalah
tuannya. Ia juga menunjukan kemampuannya sendiri yaitu harapannya untuk menemukan Tuhan baru (Camus, 2018:
mempertanyakan secara terus-menerus superioritas yang 126).
menjajah dirinya hingga saat itu. Artinya, tuan dan budak Setidaknnya pemberontakan harus tahu apa yang
sebenarnya berada dalam sejarah yang sama: kedaulatan didapatkannya dari kehinaan. Setiap kali pemberontakan
sementara dari yang satu adalah sama relatifnya dengan itu mengaggungkan penolakan total atas sesuatu yang ada,
kepatuhan dari yang lainnya (Camus, 2018: 19). maka “Tidak” pun akan dihancurkan oleh pemberontakan
Sejarah pemberontakan metafisik tidak mungkin itu. Setiap kali pemberontakan secara membabi buta
berpadu dengan sejarah ateisme. Dari suatu sudut pandang menerima segala sesuatu yang ada, dan lalu menyerukan
tertentu ia berpadu dengan sejarah keagamaan “Ya” absolut, maka itu pun dihabisi. Kebencian Sang
kontemporer. Sang pemberontak tampak lebih menantang Pencipta dapat berbalik menjadi kebencian makhluk atau
ketimbang ia tidak melakukan bantahan. Pada dasarnya ia menjadi cinta eksklusif dan naluri yang menantang apapun.
tidak meniadakan Tuhan, tapi ia membiasakan dirinya Tapi, dalam kedua kasus itu, pemberontakan dapat muncul
berbicara dengan Tuhan secara sederajat. Namun itu menjadi pembunuhan dan kehilangan haknya untuk disebut
bukanlah dialog yang santun melainkan polemik yang pemberontakan. Seseorang dapat menjadi nihilis dalam
digerakkan oleh hasrat menaklukkan. Si budak awalnya dua cara dan masing-masing cara dengan keabsolutan
menuntut keadilan dan akhirnya menginginkan kedudukan tanpa batas. Nyatanya ada pemberontak yang ingin mati
raja. Ia pun kelak akan mendominasi. Pemberontakan dan ada juga yang ingin membunuh (Camus, 2018 : 127).
menentang kondisi hidup diatur dalam sebuah ekspedisi Tetapi, dengan semangat membara, proses pemikiran yang
yang berlebihan karena menentang surga untuk lebih panjang mengenai ketidakadilan ini telah megubah
mengembalikan seorang raja narapidana yang “kalau saja kamu ada” menjadi “kamu tidak layak”, lantas
keruntuhannya akan diumumkan pada awalnya, dan menjadi “kamu tidak ada”. Para korban telah mencari
hukuman matinya untuk selanjutnya. Pemberontakan kekuatan dan alasan-alasan kejahatan terakhir dengan
manusia berakhir dalam revolusi metafisik. Bila keluguan mereka. Merasa putus asa terhadap imoralitas
singgasana Tuhan digulingkan, sang pemberontak akan mereka, diyakinkan dengan hukuman mereka, lalu
mengakui bahwa keadilan, tatanan, dan kemanunggalan memutuskan untuk membunuh Tuhan. Upaya
itulah yang pernah dicarinya secara sia-sia dalam pembunuhan Tuhan ini menandakan momen puncak dari
hidupnya. Saat itu ia kembali lagi ke dalam kondisi sebuah drama yang dimulai sejak akhir zaman kuno, yang
tersebut untuk menciptakan ketiga hal itu dengan kedua syair-syair terakhirnya belum bergema lagi. Sejak momen
tangannya sendiri demi mengabsahkan runtuhnya itu manusia memutuskan untuk melepaskan diri dari Tuhan
keilahian. Kemudian suatu usaha yang nekad akan dimulai dan menjalani hidup dengan caranya masing-masing
demi mendirikan Kekaisaran Manusia dengan ongkos, bila (Camus, 2018 : 128).
diperlukan, berupa tindakan kejahatan. Hal ini tidak akan Pada prinsipnya, pemberontak hanya ingin
berhasil tanpa adanya konsekuensi-konsekuensi menguasai eksistensiya sendiri dan mempertahankannya di
mengerikan yang beberapa di antaranya sempat dikenal. hadapan Tuhan. Tapi ia melupakan asal muasalnya, dan
Namun konsekuensi-konsekuensi itu tidak melulu dengan hukum dari suatu imperialisme spiritual, itulah
disebabkan oleh pemberontakan. Konsekuensi- jalan bagi Kekaisaran Dunia melalui pembunuhan-
konsekuensi itu datang hanya selama sang pemberontak pembunuhan yang dilipatgandakan hingga jumlah yang
melalaikan tujuan awal pemberontakannya, jemu akan tidak terbatas. Pemberontak memburu Tuhan di langit-
kontradiksi “Ya” dan “Tidak”, serta menghanyutkan diri Nya, namun dalam semangat pemberontakan metafisik
ke dalam ketundukan total. Gerakan yang pertama, yang lantas bergabung secara terang-terangan dengan
pemberontakan metafisik terlihat sama dengan gerakan revolusioner, dan tuntutan irasional kebebasan
pemberontakan budak (Camus, 2018: 20). akan secara paradoksal menganggap rasio sebagai
Pemberontakan tidak menyatakan kehidupan, sederajat, hanya kemampuan untuk menaklukanlah yang
namun alasan kehidupan itu. Pemberontakan menolak tampak benar-benar manusiawi bagi pemberontakan.
konsekuensi-konsekuensi yang termuat dalam kematian. Tuhan mati, yang ada hanya manusia. Dengan demikian
Apabila tidak ada sesuatu pun yang dapat dijustifikasi, sejarah harus dibangun dan dipahami. Nihilisme dilingkup
maka segala sesuatu yang mati dapat dicabut maknanya. pemberontakan menguasai kekuatan alam ciptaan Tuhan
Berjuang menentang kematian sama saja dengan kembali tapi hanya menambahkan bahwa sejarah dapat dibangun
pada penututan atas makna hidup, dan berperang demi dengan segala cara. Di puncak irasionalitas, manusia
aturan dan unitas. Dalam prespektif itu protes menentang menggabungkan kejahatan-kejahatan rasio yang berjalan
kejahatan yang berada di jantung pemberontakan metafisik ke arah terbentuknya Kekaisaran Manusia di atas sebuah
pun menjadi sangat berarti. Ini bukanlah penderitaan dunia yang ia ketahui sebagai tempat terasing. Melalui
seorang anak yang memuakkan dirinya sendiri, tetapi ungkapan, “Saya berontak, maka kita ada,” dengan
kenyataan bahwa penderitaan tidak dapat dibenarkan. merenungkan rencana-rencana luar biasa dan bahkan
Bagaimanapun, kesedihan, pengasingan dan mengurung kematian pemberontakan, ia menambahkan ungkapan itu
diri kadang-kadang diterima manakala diyakinkan oleh dengan: “Dan kita sendirian.” (Camus, 2018 : 130). Karena
tak dapat dipungkiri bahwa pemberontakan pada akhirnya dunia sepenuhnya. Demikianlah, dari keputusasaan yang
berbicara tentang sebuah sikap yang dinyatakan untuk absolut akan memancar kebahagiaan yang tak terhingga,
mempertahankan eksistensinya dan menjadi jawaban atas dan dari keterikatan yang buta akan memancar pula
segala kegelisahan absurd. Pemberontakan tidak lain kebebasan yang tanpa ampun. Bebas adalah meniadakan
adalah keinginan untuk bebas dari segala bentuk belenggu tujuan. Keluguan dunia menggambarkan kondisi
absurd meskipun diujung pemberontakan akan berakhir maksimum kebebasan jiwa yang bebas menyukai hal yang
tanpa harapan sedikitpun. paling diperlukan (Camus, 2018: 86 - 87). Pun absurditas
menuntut untuk meninggalkan segala harapan serta tujuan
3. Kebebasan hidup. Agar tuntutan itu dapat berbicara keberadaan
Jika kebebasan harus selalu mengandalkan pada manusia secara utuh tanpa campur tangan dari manapun.
pemerintahan-pemerintahan untuk mendorong Sehingga kebebasan absurd tidak mengenal rasa
pertumbuhannya, kebebasan itu mungkin tetap saja berupa keterasingan, kesia-siaan, keterpisahan dan terperihkan.
bayi atau terkubur bersama tulisan “bidadari lain di surga”
(Camus, 2017: 111). Kebebasan adalah kepedulian orang-
orang tertindas, dan para pelindung alamiahnya selalu METODE PENELITIAN
berasal dari orang-orang tertindas (Camus, 2017: 112).
Kebebasan ditunda sampai akhir waktu, dengan tuntutan Jenis Penelitian
agar untuk sementara kebebasan tidak dibicarakan. Ada Jenis penelitian ini termasuk dalam penelitian
anggapan bahwa kita lebih dulu membutuhkan keadilan deskriptif kualitatif. Menurut Ratna, penelitian kualitatif
dan baru kemudian kita akan sampai pada kebebasan, adalah penelitian yang memanfaatkan cara-cara panfsiran
seolah-olah para budak bisa berharap akan memperoleh dalam bentuk deskripsi (2009: 46-47). Penelitian kualitatif
kebebasan, seolah-olah pekerja tidak tahu bahwa rotinya menekankan kepada penjabaran melalui cara-cara berfikir
bergantung sebagian pada kebebasannya (Camus, 2017: normal dan argumentatif (Azwar, 2015: 05). Dengan
114). Sebuah nilai terus-menerus dihina atau dilacurkan – demikian penelitian tersebut dapat dikatakan sebagai
kebebasan – dan kemudian kita perhatikan bahwa dimana- penelitian kualitatif karena menjelaskan dan menganalisis
mana, bersama kebebasan, keadilan juga dicemarkan terkait fenomena dan permasalahan yang terdapat pada
(Camus, 2017: 117). objek kajian.
Menghidupkan kembali nilai kebebasan dalam diri kita
sendiri dan sekaligus dalam diri orang lain-dan dengan Pendekatan Penelitian.
tidak pernah lagi menyetujui jika kebebasan dikorbankan, Menurut Abrams, terdapat empat pendekatan
meski hanya sebentar, atau dipisahkan dari tuntutan penelitian, yakni (1) pendekatan ekspresif, berhubungan
keadilan. Motto untuk semua sekarang hanya ini: tanpa dengan pengarang, (2) pendekatan objektif, yakni
memberikan apa pun di bidang keadilan, tidak akan menitikberatkan pada teks sastra yang kelak disebut
menghasilkan apa pun di bidang kebebasan (Camus, 2017: strukturalisme atau instrinsik, (3) pendekatan mimetik,
117). Tidak ada kebebasan ideal yang suatu hari akan yakni penelitian sastra yang berhubungan dengan
diberikan sekaligus, seperti uang pensiun di hari tua. Ada kesemestaan (universe), dan (4) pendekatan pragmatik,
kebebasan-kebebasan yang harus diraih dengan penuh rasa yang berhubungan dengan resepsi pembaca terhadap teks
sakit, satu demi satu, dan yang masih dimiliki adalah sastra (dalam Endaswara, 2008:9). Pada penelitian ini,
tahap-tahap – yang tentu saja belum memadai, namun digunakan pendekatan objektif. Pendekatan objektif
bagaimanapun, merupakan tahapan – menuju pembebasan merupakan pendekatan sastra yang menekankan pada segi
total. Jika setuju akan menekan tahapan-tahapan itu, maka intrinsik karya sastra yang bersangkutan (Yudiono, 1984:
tidaklah akan mengalami kemajuan. Sebaliknya ketika 53). Pendekatan objektif ini lebih mengutamakan
mundur ke belakang, dan pada suatu hari, harus melacak penyelidikan karya sastra berdasarkan kenyataan teks
kembali jejak-jejak sepanjang jalan itu, namun usaha baru sastra itu sendiri. Hal-hal yang di luar karya sastra,
itu sekali lagi akan dibuat dengan keringat dan darah walaupun masih terhubung dengan sastra dianggap tidak
manusia. Memilih kebebasan tidak berarti memilih perlu untuk dijadikan pertimbangan dalam menganalisis
menentang keadilan. Sebaliknya, kebebasan dipilih hari ini karya sastra.
dalam hubungannya dengan mereka yang dimana-mana
menderita dan berjuang dan inilah satu-satunya kebebasan Sumber Data dan Data
yang bermakna. Kebebasan dipilih pada waktu yang sama Sumber data
dengan keadilan dan tidak dapat memilih satu tanpa yang Sumber data dalam penelitian ini adalah tiga
lain. Jika seseorang merebut roti anda, pada waktu yang naskah drama karya Iwan Simatupang yang bejudul Bulan
sama ia menindas kebebasan anda. Namun, jika seseorang Bujur Sangkar, Petang Di Taman, dan RT 0 – RW 0. Data
merebut kebebasan anda, anda boleh merasa yakin bahwa dalam penelitian ini adalah kutipan-kutipan dialog yang
roti anda terancam juga, karena roti itu tidak lagi diambil dari sumber data yang berhubungan dengan
bergantung kepada anda dan perjuangan anda, namun pada masalah penelitian dalam ketiga naskah drama karya Iwan
tingkah majikan. Kemiskinan meningkat seiring dengan Simatupang.
mundurnya kebebasan di seluruh dunia, dan sebaliknya
(Camus, 2017: 118). Metode Pengumpulan Data
Kebebasan tidak lain adalah kesempatan untuk
menjadi lebih baik, sementara perbudakan adalah Metode pengumpulan data dalam penelitian ini
kepastian tentang yang terburuk (Camus, 2017: 130). adalah metode pustaka dan simak-catat. Metode studi
Karena orang mengakui bahwa dunia tidak mengejar pustaka merupakan metode yang digunakan untuk
satupun tujuan, Nietzsche menyarankan agar menerima memperoleh data dengan cara menemukan segala sumber
keluguan dunia. Ia menegaskan bahwa dunia tidak berada data yang terkait. (Faruk, 2012: 56). Sebagaimana Nazir
di bawah hukum karena ia tidak bisa dihukum atas maksud menjelaskan bahwa metode pustaka merupakan suatu
apa pun. Oleh karena itu hukum harus mengganti seluruh metode dalam pengumpulan data dengan mengadakan
keputusan sidang dengan satu “Ya” saja, yaitu mendukung
studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, absurditas maka ia harus memiliki keinginan,
catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada dimana salah satu keinginannya adalah
hubungannya dengan masalah yang dipecahkan (2005: memeperkosa perempuan sebagai pemberontakan
111-112). Metode tersebut merupakan langkah yang atas usia tuanya. Tokoh Orang Tua, setelah
penting dalam menetapkan topik-topik yang akan dibahas, mengalami kesadaran absurd – mengalami
tidak terkecuali perihal objek dan teori. Metode
pemberontakan – mengalami penderitaan kemudian
selanjutnya adalah metode simak yang dilakukan dengan
ia menunjukan sikap berontaknya yang terakhir
cara menyimak satuan-satuan linguistik yang signifikan
ada di dalam teks karya sastra yang menjadi sumbernya terhadap absurditas dengan cara mengakhiri
atas dasar konsep-konsep teoretik yang digunakan (Faruk, hidupnya. Tokoh Orang Tua bunuh diri, menempuh
2012: 168-169). Adapun langkah-langkah pengumpulan jalan kematian sebagai jalan kebebasan untuk
data yaitu, (1) membaca naskah drama secara berulang menjawab segala permasalahan kehidupannya yang
untuk memahami masalah penelitian, (2) mencermati data absurd.
untuk memahami masalah penelitian dalam naskah drama,
(3) menandai data sesuai rumusan masalah, dan (3) Bentuk Absurditas Tokoh Orang Tua Pada
mengklasifikasi data sesuai rumusan masalah. Naskah Drama Petang Di Taman.
Sikap tokoh Orang Tua yang tetap bertahan
Metode Analisis Data. dan kembali ke rumahnya, kembali ke gudang
Metode analisis yang akan dilakukan dalam
apeknya meskipun di sana ia selalu merasakan
penelitian ini disesuaikan dengan rumusan masalah, yaitu
dengan menafsirkan data yang berupa kutipan-kutipan bahwa hidupnya sangat menderita telah
dialog tokoh Kakek/Orang Tua dengan tokoh lain sesuai menunjukan bahwa tokoh Orang Tua adalah seorang
dengan konsep absurditas (kesadaran absurd, pemberontak dimana pemberontakan telah memberi
pemberontakan, dan kebebasan) Albert Camus. nilai pada kehidupan, megembalikan kebebasan
Adapun metode penafsiran yang dilakukan dalam pada eksistensi manusia.
menganalisis data penelitian adalah dengan melakukan Pemberontakan yang dilakukan tokoh Orang
beberapa metode membaca dalam beberapa langkah Tua mengakibatkan munculnya pengertian baru
pembacaan, yaitu (1) membaca kritis, (2) membaca kreatif, tentang kebebasan. Kebebasan adalah sebuah
dan (3) membaca hermeneutika. Adapun yang dimaksud pemikiran jernih, pengosongan diri dari harapan dan
dengan membaca kritis adalah membaca teks sastra yang rasa perih akibat penderitaan tak tertahankan. Tokoh
dibaca pembaca bukan hanya bertujuan memahami, Orang Tua telah menunjukan bahwa penderitaan
menikmati, dan menghayati melainkan juga bertujuan yang ia alami tidak semestinya diakhiri dengan
memberikan penilaian (Aminuddin, 2014: 20), sedangkan
kematian. Meskipun tokoh Orang Tua menganggap
membaca kreatif adalah kegiatan membaca yang dilatari
kematian sebagai sesuatu yang terbaik untuk
tujuan menerapkan perolehan pemahaman dari membaca
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang bersifat menyudahi segala kepedihan realitas. Tetapi
aplikatif (Aminuddin, 2014: 21), dan membaca sikapnya untuk berdiri tegap menatap kehidupan
hermeneutik merupakan sebuah usaha menafsirkan teks yang harus dijalani adalah sikap untuk tidak
sastra atas dasar logika linguistik dengan membuat membenarkan atau menyalahkan. Oleh karena tidak
penjelasan teks sastra dan pemahaman makna dengan adanya ukuran nilai benar ataupun salah terhadap
menggunakan makna kata dan selanjutnya makna bahasa kehidupannya. Tokoh Orang Tua memahami bahwa
yang nantinya menjadikan paham hermeneutik sastra hidup bukanlah perihal menyelesaikan segala
bukanlah sebuah paradigma penelitian yang berusaha sesuatu demi mendapatkan yang terbaik tetapi
menjelaskan fenomena sastra, melainkan upaya mengalami dan menjalani kehidupan hari ini – masa
memahami fenomena (Endaswara, 2008: 43). Selanjutnya, ini adalah sesuatu yang terpenting dalam hidup,
hasil pembacaan tersebut digunakan untuk menganalisis yaitu hidup sebagai Orang Tua seperti pada dialog
bentuk absurditas (kesadaran absurd, pemberontakan, dan
yang ia katakan, “Naluri saya ..... dan ingat, ini naluri
kebebasan) pada unit-unit data yang sudah diklasifikasikan
orang tua, lho”. Itulah kebebasan yang diraihnya.
sebelumnya.

PEMBAHASAN Bentuk Absurditas Tokoh Orang Tua Pada


Naskah Drama RT 0-RW 0.
Bentuk Absurditas Tokoh Orang Tua Pada Kesadaran eksistensinya yang absurd,
Naskah Drama Bulan Bujur Sangkar. bertahan untuk memberontak pada absurditas
Tokoh Orang Tua, memiliki kesadaran sebagai pemenang, menganggap dirinya lebih pantas
absurd, kesadaran bahwa ujung dari hidupnya menjadi mayat sebagai pahlawan tak dikenal bagi
adalah kematian. Tokoh Orang Tua menolak kemanusiaan, dan ‘menguap’ lalu tidur dengan
keberadaannya sehingga ia membuat tiang nyenyak tanpa memikirkan apapun yang akan
gantungannya sendiri yang sudah dipersiapkan terjadi hari esok adalah sebuah tindakan. Tokoh
selama enam puluh tahun untuk kematiannya. Kakek bertindak sesuai apa yang diyakininya – yang
Tokoh Orang Tua juga menolak pemikirannya telah dipikirkannya secara matang tanpa ada beban,
sendiri, pemikiran yang juga atas keberadaannya di tanpa penyesalan, tanpa menginginkan kehidupan
kehidupannya. Ia menolak ‘cogito’ – ia menolak yang lebih baik seperti tokoh lainnya, semua itu
‘berpikir’ sebagai sikap rasional untuk tetap adalah kebebasannya. Oleh karena tokoh Kakek
mempertahankan kehidupannya. Tokoh Orang Tua seutuhnya percaya bahwa dalam dunia yang absurd
untuk menunjukan sikap berontaknya terhadap ini, yang berakhir pada ketidakjelasan, hanya ada
kenyataan di sini dan sekarang, maka tokoh Kakek
telah membuktikan tentang kebebasan. Berpikir dan menjemputnya. Tokoh Kakek tidak ingin berjuang
bertindak tanpa harapan masa depan, hidup sebagai untuk hidup lebih baik di luar kolong jembatan
manusia hari ini, hidup dari suatu kesadaran penuh karena tokoh Kakek menyadari kehidupan absurd,
kepada absurditas secara terus-menerus, dan melihat memperoleh kebebasan dengan tetap tinggal di
secara jelas kegagalan demi kegagalan hidup kolong jembatan sebagai bentuk pemberontakannya
seseoranglah yang menjadikan dirinya sebagai atas absurditas.
peraih kebebasan. Tokoh Kakek telah menjadi Berdasarkan analisis absurditas pada tokoh
manusia yang bebas karena ia tidak Orang Tua/Kakek dalam tiga naskah drama Bulan
mempermasalahkan tentang bagaimana Bujur Sangkar, Petang Di Taman dan RT 0–RW 0 karya
menjelaskan dan menyelesaikan, tetapi lebih ke Iwan Simatupang melalui tiga tahap konsep berpikir
bagaimana ia mengalami dan hidup untuk hari ini absurd yaitu, Kesadaran Absurd, Pemberontakan
tanpa tuntutan apapun. Itulah pemberontakan dan Kebebasan. Simpulan hasil akhir penelitian ini
terhadap absurditas. Itulah kebebasan yang menyatakan bahwa ketiga naskah drama karya Iwan
sebenarnya, yaitu melepaskan absurditas pada Simatupang tidak menunjukan konsistensi
sebuah kesadaran, serta bertindak melampaui absurditas pada tokoh Orang Tua/Kakek, karena
realitas dan rasionalitas. pada naskah Bulan Bujur Sangkar tokoh Orang Tua
lebih memilih mati bunuh diri daripada terus
Konsistensi Absurditas Tokoh Orang menjalani kehidupan absurd seperti tokoh Orang
Tua/Kakek Pada Tiga Naskah Drama Bulan Tua di naskah Petang Di Taman dan tokoh Kakek di
Bujur Sangkar, Petang Di Taman, dan RT 0-RW naskah RT 0-RW0 yang kembali menemui absurditas
0. sebagai bentuk pemberontakan demi meraih
Simpulan sebagai hasil analisis ini kebebasannya.
menyatakan bahwa pada ketiga naskah drama
tersebut tidak memiliki konsistensi pada ruang Saran
absurditas, karena salah satu dari tokoh yaitu tokoh Ditinjau dari penelitian yang menjelaskan
Orang Tua pada naskah Bulan Bujur Sangkar telah tentang konsistensi absurditas tokoh Orang
memilih tindakan bunuh diri sebagai akhir atau juga Tua/Kakek pada ketiga naskah drama Bulan Bujur
pemberontakannya atas absurditas untuk mencapai Sangkar, Petang Di Taman, dan RT 0-RW 0 karya Iwan
kebebasan. Sedangkan tokoh Kakek pada naskah Simatupang, maka saran yang diampaikan pada
Petang Di Taman dan tokoh Orang Tua pada naskah penelitian ini yaitu, (1) perlu adanya pengembangan
RT 0-RW 0, merekalah yang telah menjadi penelitian sebagai bentuk apresiasi maupun kritik
pemberontak sejati sehingga mereka dapat meraih atas objek kajian sastra naskah drama dengan
kebebasannya dengan cara tetap bertahan untuk menggunakan penelitian ini sebagai bahan acuan
melawan absurditas yang selama ini mereka sadari untuk penelitian selanjutnya, (2) perlu adanya
dan mereka alami. Absurditas mengecam tindakan pembedahan pada tokoh-tokoh lain yang ada dalam
bunuh diri sebagai tujuan bebas dan memberontak tiga naskah drama Bulan Bujur Sangkar, Petang Di
tidak selalu dilakukan dengan cara membunuh. Taman, dan RT 0-RW 0 karya Iwan Simatupang
Pemberontakan terhadap absurditas adalah sebagai bentuk apresiasi maupun kritik terhadap
melawan dengan cara bertahan untuk meraih pemikiran tokoh dengan landasan teori yang sama
kebebasan melakukan sesuatu di sini dan saat ini ataupun yang berbeda, (3) perlu adanya
bukan nanti atau esok. Itulah ‘kehidupan paling pengembangan dan telaah kritis atas konsep berpikir
banyak’ untuk menyadari pengalaman secara penuh filsafat absurdisme yang dipaparkan oleh Albert
tanpa memikirkan masa depan yang mandul, yang Camus. (4) penelitian selanjutnya mengenai objek
berujung pada kematian. kajian naskah drama dan menggunakan filsafat
sebagai pisau bedah dapat difungsikan untuk tujuan
PENUTUP pengembangan pengetahuan, wawasan dan kritik
atas ideologi penulis dan karya sastra di era
SIMPULAN millennial yang sering disebut-sebut sebagai sastra
Pada akhir cerita naskah drama Bulan Bujur kontemporer. Dengan demikian, khazanah sastra
Sangkar tokoh Orang Tua yang menyadari atas Indonesia tidak sekadar berbicara materi, sayembara,
absurditas kehidupannya telah melakukan festival, media, dan proses kreatif tetapi juga saling
perlawanan terhadap absurditas dengan cara berdiskusi tentang idealism pengarang yang
mengakhiri hidupnya atau bunuh diri di tiang merupakan dasar lahirnya karya sastra berkualitas
gantungan. Kemudian naskah drama Petang Di untuk kehidupan bangsa dan negara.
Taman, tokoh Orang Tua yang mengalami absurditas
DAFTAR RUJUKAN
pada kehidupannya bahkan sampai menginginkan
BUKU
mati di taman, telah mengakhiri cerita dengan tetap
kembali pada kehidupan absurdnya, kembali Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta.
menerima penderitaannya secara lapang dada Gramedia Pustaka Utama.
sebagai bentuk pemberontakannya. Terakhir adalah Camus, Albert. 1999. Mite Sisifus: Pergulatan dengan
naskah drama RT 0-RW 0, tokoh Kakek lebih Absurditas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
memilih tinggal di kolong jembatan sampai ajal
Camus, Albert. 2017. Perlawanan, Pemberontakan,
Kematian. Yogyakarta: Narasi dan Pustaka
Promethea.
Camus, Albert. 2018. The Rebel. Yogyakarta: Immortal
Publishing dan Octopus.
Camus, Albert. 2017. Krisis Kebebasan. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Endaswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian
Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi.
Yogyakarta: Caps (Center For Academic
Publishing Secvice)
Endaswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian
Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi.
Yogyakarta: Media Presindo
Endraswara, Suwardi. 2012. Filsafat Sastra.
Yogyakarta: Layar Kata.
Martin, Vincent. 2003. Filsafat Eksistensialis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metode Penelitian: Kajian
Budaya dan Ilmu Humaniora Pada Umumnya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rosidi, Ajip. 1998. Ikhtisar Sejarah Sastra. Bandung:
Bina Cipta.
Suharyadi, 2017. Dramaturgi. Lamongan: Pustaka
Ilalang.
Wellek, Rene & Austin Warren. 2016. Teori
Kesustraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

ARTIKEL
Prayitno, Teguh Hadi dan Kukuh Ary Wibowo. 2003.
Bulan Bujur Sangkar di Semarang.
(https://www.liputan6.com/news/read/66567
/bulan-bujur-sangkar-di-semarang, diakses
pada tanggal 8 Juni 2018)
Mu’min, S. 2018. Teater Akar Angkat Nilai-nilai
Eksistensialisme dalam Lakon Petang di Taman.
(http://wartabahari.com/3280/teater-akar-
angkat-nilai-nilai-eksistensialisme-dalam-lakon-
petang-di-taman/, diakses pada tanggal 8 Juni
2018)
Lucky, Ariatami. 2014. Refleksi Ketimpangan
Sosial dalam RT 0-RW 0.
(http://ariatamilucky-
fib12.web.unair.ac.id/artikel_detail-101615-
Sastra%20Indonesia-
Refleksi%20Ketimpangan%20Sosial%20dalam%
20RT%20Nol%20RW%20Nol.html, diakses pada
tanggal 8 Juni 2018)

Anda mungkin juga menyukai