Anda di halaman 1dari 6

Rania Ramadhani Makarim

Sosiologi A 2017
1406617073
UAS Teori Sosial Kritis

Homi Bhabha : Teori Poskolonial


Homi K Bhaba kelahiran Mumbay, India, 1949. Bhaba adalah guru besar Sastra Inggris di
Universitas Harvard. Ia bersama dengan Edward Said dan Gayatri Spivak dianggap sebagai
peletak dasar Postkolonialisme sebagai teori sosial dan sejarah. Karya Bhaba yang paling
fenomenal adalah kumpulan essainya yang diberi judul The Location of Culture (1994) dan
sebagai salah satu penulis dalam buku Nation and Narration (1990). Teori postkolonial
muncul sebagai bentuk kritik terhadap penjajahan dan dampaknya. Namun, postkolonial tidak
diartikan sebagai pasca-kemerdekaan atau sesudah penjajahan, postkolonial muncul ketika
ada dominasi oleh penjajah terhadap terjajah. Pada essay ini akan dibahas pemikiran Homi
Bhaba pada teori postkolonial tentang identitas.

Bhabha mempertanyakan asumsi para analis kolonialis mengenai identitas penjajah dan
terjajah yang kaku, mutlak dan terlalu sederhana. Ia mempertanyakan bukankah yang disebut
“penjajah” dan “terjajah” itu adalah kenyataan yang berlapis. Menurutnya,“Penjajah” tak
mesti orang kulit putih dan terjajah bisa jadi juga orang kulit putih. Jika semua itu benar dan
bahkan bisa ditunjukkan betapa dahsyatnya dampak kolonialisme atau Orientalisme. Menurut
Edward Said dalam bukunya yang berjudul Orientalisme (1978), Orientalisme Eropa
membagi dua dunia, Barat dan Timur. Orientalisme secara sederhana adalah wacana kaum
Eropa (kulit putih) mengenai dunia di luar dirinya, yaitu dunia orang-orang non-kulit putih.
Karena mereka adalah “Barat”, maka dunia lain itu disebut “Timur” atau “Orient.” Itu
sebabnya wacana ini disebut Orientalisme. Dunia Timur dipandang tidak saja terbelakang dan
liar, tapi juga eksotis dan menarik.

Persoalannya adalah: Benarkah kaum terjajah ini hanyalah wayang yang siap dimainkan
sebagai apa saja oleh dalangnya (si penjajah)? Apakah identitas penjajah dan terjajah
monolitik? Apakah penjajahan demikian mutlak menguasai sang terjajah? Apakah hanya ada
relasi dominasi dan tidak ada interaksi? Bagaimana dengan kenyataan identitas antara, yaitu
perkawinan budaya Barat dan Timur, pernikahan orang Barat dan Timur yang menghasilkan
kaum Indo, metis, creole, dan sebagainya? Apakah hanya dunia Barat yang mengimajinasikan
dunia Timur?

Konsep kunci Bhabha untuk menjelaskan hubungan antara penjajah dan terjajah adalah
dalam konsep time-lag-nya yang pertama kali muncul pada tahun 1990 yaitu “sebuah struktur
keterbelahan dari wacana kolonial”. Kondisi terbelah ini menjadikan subjek selalu berada
pada the liminal space between cultures, di mana letak garis pemisah tidak pernah tetap dan
tidak dapat diketahui batas dan ujungnya. ang menjadi dasar ontologis konsep-konsep
postkolonialisme Bhabha adalah prinsip displacement atau pemindahan dan kondisi rupture
atau pemecahan. Keterpecahan wacana kolonial inilah yang kemudian membawa subjek pada
realitas yang liminal. Realitas liminal ini mencakup di dalamnya hibriditas, mimikri,
ambivalensi, bahkan mockery. Kondisi tersebut secara keseluruhan ditempatkan dalam
sebuah situasi yang oleh Bhabha disebut “lokasi kebudayaan”, sebuah wilayah antara yang di
satu pihak ingin bergerak keluar dari kekinian masyarakat dan kebudayaan kolonial dan di
lain pihak tetap terikat pada dan berada dalam lingkungan kekinian itu. Dalam essai ini, saya
akan menjelaskan beberapa konsep dari Homi Bhaba dalam Teori Poskolonialisme, yaitu
Hibriditas, Mimikri, dan Ambivalensi.

Metode yang digunakan oleh Bhaba adalah dekonstruksi. Metode ini sekaligus menjadi dasar
epistemologis konsep-konsep postkolonialisme Homi Bhabha. Metode ini beroperasi
setidaknya dengan dua cara. Pertama, melakukan analisis terhadap wacana terjajah untuk
menemukan asumsi-asumsi dasarnya. Kedua, melakukan analisis terhadap subjek yang
dimarjinalkan untuk mendesentralisasi kesatuan tematik wacana dominan.

Pokok Pemikiran: Hibriditas, Mimikri, dan Ambivalensi.

1. Hibriditas

Ruang ketiga atau ruang hibriditas ataupun yang disebut dengan ruang liminal. Di ruang
inilah kaum yang terjajah menemukan strategi untuk melawan dominasi penjajah. Bukan
melawan dengan cara frontal, melainkan dengan “perselingkuhan” budaya, yaitu dengan
mengambil alih tanda-tanda budaya penjajah, tapi diberi isi dan digugat sehingga
menghasilkan identitas dan cara hidup yang baru. Contohnya seperti pemakaian jas (beskap)
yang berasal dari Barat dikombinasi dengan jarik yang menjadi seragam resmi di kalangan
priyayi Jawa. Namun demi membangun ruang ketiga ini, pertama-tama Bhabha tak
mempermasalahkan seberapa menindasnya kolonialisme yang dilakukan penjajah terhadap si
terjajah. Ia lebih mempersoalkan betapa tajamnya pembedaan kedua kategori itu, yang
dipandangnya menguatkan oposisi biner yang telah dikritik oleh pemikiran Jacques Derrida.

Derrida menyatakan bahwa wacana Barat didominasi oleh binerisme yang membagi dua
dengan ketat identitas-identitas seperti putih/hitam, Barat/Timur, penjajah/terjajah,
lakilaki/perempuan, dan seterusnya. Sebaliknya, ruang ketiga atau hibriditas memberi ruang
simbolis bagi si terjajah untuk melakukan manuver budaya dengan membebaskan diri dari
binerisme. Apa yang dilakukan Bhabha dengan ruang ketiga ini memperlihatkan oposisi biner
penjajah dan terjajah tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dan berdiri sendiri.
Hubungan keduanya melahirkan hibriditas yang muncul dalam bentuk ras, bahasa, dan
budaya. Hibriditas kolonial bukanlah masalah genealogi atau identitas antara dua kebudayaan
berbeda yang kemudian diputuskan sebagai isu relativisme budaya. Menurutnya, Hibriditas
merupakan hasil negosiasi yang dilakukan di ruang ketiga yang memperlakukan kedua
budaya yang mengapitnya dengan sejajar. Alih-alih menganggap sikap “perlawanan” ini
semata sebagai penolakan identitas yang diberi oleh penjajah, situasi ini justru menunjukkan
dinamika pembentukan identitas yang terus berubah dan strategi bertahan dari penindasan
budaya dominan.

2. Mimikri

Gagasan mimikri dari Bhabha dikembangkannya dari dua tokoh penting yaitu pejuang
kemerdekaan Aljazair dan psikiater, Frantz Fanon (1925-1961), dan filsuf sekaligus
psikoanalis, Jacques Lacan (1901-1981).

Fanon menyatakan bahwa mimikri adalah hasil dari proses kolonisasi yang mencerabut kaum
terjajah dari tradisi dan identitas tradisionalnya dan memaksa mereka untuk beradaptasi
dengan identitas, perilaku dan budaya penjajahnya. Ia menyatakan hal tersebut berdasarkan
fenomena Malcolm X (1925-1965), sang pejuang hak-hak sipil kaum kulit hitam Amerika
Serikat, menyebutkan dua jenis budak kulit hitam. Yang pertama adalah “negro” rumahan,
yaitu budak kulit hitam yang tinggal menjadi PRT di rumah tuan kulit putihnya. Karena ia
tinggal bersama tuannya, maka ia terserap pada budaya tuannya dan mengira budaya kulit
putih itu adalah kondisi terbaik manusia. Ia mulai meniru tuannya dalam berpakaian, berperi
laku, tapi tetap saja mentalnya budak sehingga tak berpikir sekalipun untuk membebaskan
dirinya. Yang kedua adalah “negro” di ladang yang berkerja keras untuk mengerjakan ladang
tuan kulit putihnya. Ia mendapat perlakuan yang sangat buruk dan terus menerus berupaya
membebaskan diri dari perbudakan. Dari paparan ini “negro” rumahan adalah kaum terjajah
yang menjalankan proses mimikri. Mimikri bagi Fanon adalah sesuatu yang “memuakkan.”

Sedangan pengaruh Lacan dalam memaknakan mimikri bagi Bhabha yaitu bahwa mimikri
bukan saja meniru pihak lain tapi proses meniru itu juga merupakan perlawanan subversif.
Bagi Lacan, mimikri juga adalah kamuflase untuk membela diri atau bertahan hidup. Maka
mimikri tidak berusaha menyelaraskan diri dengan mengurangi perbedaan di antara si peniru
dan yang ditiru. Proses meniru ini semata untuk kepentingan dan tujuannya sendiri.
Contohnya seperti mimikri pada binatang atau seperti serdadu yang mencoreng mukanya
dengan warna hijau dan memakai seragam yang mirip seperti tanam-tanaman, dalam rangka
menyembunyikan diri dari musuh.

Bhabha mengembangkan gagasan ini dengan menyatakan bahwa mimikri adalah proses
penulisan ulang identitas terjajah di ruang ketiga, yaitu dengan menjadi hibrida, sebagai cara
mendekonstruksi wacana penjajah. Menyesuaikan diri dengan identitas penjajah justru
dimaksudkan untuk memalingkan wajah dari kuasa penjajahan itu. Ini adalah wahana
bertahan hidup sekaligus berupaya melawan penjajahan.

Menurut Bhaba, Mimikri bukanlah peniruan yang hanya sekedar meniru, ia merupakan
peniruan yang dalam konteks kolonial juga berarti cemooh (mockery), sebuah tanda kekuatan
otoritas kolonial sekaligus tanda kegagalan kolonial untuk berkuasa. Dalam mimikri ini
terdapat upaya untuk mengcopy penajajah, yang kemudian berubah menjadi sebuah parodi.
Terjajah Bermain antara kesetaraan dan kelebihan, sehingga membuat ia terlihat
menenangkan dan juga menakutkan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bhabha, mimikri
adalah kemiripan dan sekaligus ancaman.

3. Ambivalensi

Bagi Bhabha, kehadiran kolonial selalu bersifat ambivalen, yaitu terpecah antara
menampilkan dirinya sebagai asli dan otoritatif dengan artikulasinya yang menunjukkan
pengulangan dan perbedaan. Ambivalensi diturunkan dari ranah psikoanalisis yang digunakan
untuk menggambarkan kelabilan yang terus-menerus antara menginginkan sesuatu hal dan
menginginkan kebalikannya. Dalam diskursus postkolonial, ambivalensi berkembang
menjadi sebuah konsep yang berupaya untuk menjelaskan keragaman pilihan yang
ditawarkan pada subjek kolonial untuk pembentukan identitas. Ambivalensi mengacu pada
hakikat yang tidak stabil, berlawanan, dan tidak identik dari wacana kolonial.
Bhabha mengambil tulisan Frantz Fanon sebagai asas dalam membentuk konsep ambivalensi.
Fanon menyimpulkan bahwa keinginan peribumi adalah mendiami tempat tinggal penjajah,
Bhabha lalu menambahkan bahwa penjajah juga dari tempatnya yang tinggi ingin melihat ke
bawah untuk mencari identitasnya. Bagi Bhabha, sikap seperti itu menandakan sebuah
splitting (ingin tetap seperti yang asli, tapi di satu sisi juga ingin menjadi yang lain) atau
doubling (berhasrat untuk berada di dua tempat pada masa yang sama). Penjajah/Barat
memandang terjajah/Timur sebagai sesuatu yang dicintai tetapi dibenci. Hal inilah yang
membuat kolonial bersifat ambivalen, yaitu satu sisi merasa senang, namun di sisi lain ada
perasaan benci. Atau yang biasa kita sebut dengan perasaan ambigu.

Analisis Kasus

Dalam analisis kasus pemikiran Homi Bhabha kali ini, saya akan menganalisis kasus
kontemporer yang sederhana yaitu gaya berpakaian hijaber di Indonesia. Dalam artikel yang
berjudul “Hibriditas Budaya Pop: Berdandan Barat, Berhati Timur”, kita bisa lihat bahwa
sering kita temui fenomena yang sederhana ini yaitu dengan semakin berkembangnya zaman,
gaya busana pun bermacam-macam. Hibriditas dalam gaya berpakaian tentu saja terjadi, jika
dilihat disini terlihat gaya berpakaian barat yang identik dengan pakaian ketat dan modis
disambungkan dengan berbagai gaya hijab ala ketimuran. Gaya hijaber kontemporer ini
tentu saja meniru bahkan menggunakan hasil produksi brand Negara-Negara Barat. Jika kita
analisis dengan konsep Hibriditas nya Homi Bhabha, disini terlihat bahwa wanita-wanita
hijaber modern yang mengikuti zaman tersebut telah menggunakan gaya berbusana Barat
tetapi tanpa melupakan identitas ketimurannya yang menjadi alat kontrol dalam perilaku gaya
berbusana mereka. hal ini bisa dilihat bahwa apa yang dilakukan oleh hijaber itu adalah hasil
dari hibriditas kebudayaan. Dari sini bisa dilihat bahwa di era globalisasi, hijab sudah
menjadi salah satu tren fashion. Masyarakat tidak hanya menjadi korban fashion lagi dari
Negara-Negara Barat, atau sebagai colonized, namun dengan sedikit meniru (mimikri),
masyarakat menciptakan sebuah tren budaya bahkan identitas baru. Menurut Bhabha, sedikit
menyesuaikan dengan wacana penjajah justru menjadikan sesuatu untuk bertahan dari
ketertindasan. Tidak hanya pada wanita, pada lelaki pun banyak yang melakukan hibriditas
budaya dalam berbusana,contohnya seperti mix and match baju koko yang khas dengan
budaya ketimuran di mix dengan celana jeans.
Daftar Pustaka:
MIFTHAH, M. F. (2016). NOVEL MAUSIMU AL-HIJRAH ILA ASY-SYAMALI KARYA
AT-TAYYIB SALIH: SEBUAH TINJAUAN. http://etd.repository.ugm.ac.id.

Apriliadi, F. (2007). Poskolonial: Sebuah Pembahasan. Rumpun Sastra UNY.

Bhaba, H. (1994). The Location of Culture. London: Routledge.

Epafras, L. C. (2012). Signifikansi pemikiran Homi Bhabha. Sebuah Pengantar Teori


Pascakolonial.

Said, E. (1979). Orientalism. New York: Vintage Books.

Studi Kasus:

https://www.kompasiana.com/alfarisyi/57a14f62d27a616c0bac5e0c/hibriditas-budaya-pop-
berdandan-barat-berhati-timur

Anda mungkin juga menyukai