Anda di halaman 1dari 8

GAMBARAN DAYAK TOBAK

Oleh : Salfius Seko, SH.,MH

A. Gambaran Umum Tentang Dayak Tobak


Dayak Tobak atau yang lebih dikenal dengan Dayak Tebang adalah kelompok
masyarakat Dayak yang umumnya bermukim di wilayah kecamatan Tayan Hilir
dan kecamatan Toba, Kabupaten Sanggau. Wilayah penyebarannya juga terdapat
di Kabupaten Ketapang, yang dikenal dengan istilah orang Sepode atau Cempede.
Bahasa sub-suku Dayak Tebang ini sering dikenal dengan istilah bahasa Tobak
atau Tebang, yang menuturkan bahasa be’ope (apa). Bahasa ini memperlihatkan
ciri-ciri bahasa Melayik, meskipun dalam pemetaan yang dilakukan oleh Wurm
dan Hattori (1983) kelompok ini dipetakan sebagai kelompok Bidayuhik.
Adapun wilayah penyebaran sub-suku Dayak Tobak ini antara lain, sebagai
berikut :
a. Kecamatan Tayan Hilir : Kampung Tebang Benua, Munggu Bungkang, Semontol,
Sejangkar, Pulo Rawa, Selandak, Rapun, Lancak/Gontek, Cempedak, Mayak,
Tenggayong, Danau Teluk, Ampar, Muling/Jelawat, Sejotang, Batu Besi,
Selingan, Jeramun, Yongkok, Sayok, Ramba, Terentang/Rumah Susun, Lalang,
Entajo, Lais, Jang, Semenduk, Subah, Emberas, Kisam, Jonti, Maku, Sepode/Pulo
Cempede, Telabang, Beginjan, Engkepar, Keramas, Segelam Danau, Segelam
Katok, Segelam Bantok, Selutong, Mbaloh, Melugai, Empetai, Beringin, Sayok.
b. Kecamatan Toba : Kelapu, Sungai Lomas, Tanjung Beringin, Kuala Labai, Kocai,
Bagan Asam, Bagan Aur, Bantel, Sansat, Satu, Setarakng, Segasik, Sungai
Galing, Sungai Mayam, Sungai Dekan, Pemura, Sungai Ronggas, Ntukas, Sungai
Majo.
c. Kecamatan Balai Berkuak : Kampung Kualan Sekucing, Bantel, Kosong-Kosong,
Kenatu, Sei. Layang.

B. Asal-Usul Adat Dayak Tobak : Sebuah Mitologi


Makna religi dari alam sekitar (termasuk dalam pembentukan aturan adat)
dalam konsepsi masyarakat Dayak bermuara pada mite-mite tentang kejadian
alam semesta dan manusia serta mite-mite lainnya yang menggambarkan
keterikatan hakiki antara insan dengan alam sekitarnya (kosmos), antara
manusia dan kosmos serta isinya sama-sama mempunyai daya hidup yang
berasal dari Yang Ilahi. Dan karenanya, orang Dayak memperlakukan alam
sekitarnya sebagai makhluk bernyawa sehingga mereka memperlakukan alam
sekitarnya dengan rasa takut, khidmat dan rasa terima kasih. Demikian pula
halnya tentang kisah penciptaan manusia dan alam semesta merupakan
peristiwa yang tidak terlepas dari mite.
Mite-mite ini dipercayai oleh orang Dayak secara turun-temurun. Walaupun mite
bukan merupakan peristiwa sejarah yang menceritakan tentang kronologis suatu
kejadian dan dapat dibuktikan, namun mite merupakan cerita sejarah yang
dipercaya masyarakat sebagai suatu cerita yang benar-benar terjadi, dianggap
suci, banyak mengandung hal-hal yang ajaib, pada umumnya ditokohi dewa
(istilah KBBI), telah menjadi landasan untuk menata kehidupan orang Dayak,
yang memunculkan ketentuan seperti adat, ritus, kultus, dan kepercayaan. Hal
ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Van Peursen, yang memahami mite
sebagai suatu cerita yang memberi pedoman dan arah tertentu kepada kelompok
orang, termasuk masyarakat Dayak yang meyakini mite tersebut, sehingga mite
memiliki fungsi :
a. Sebagai sarana untuk menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan
ajaib. Mite ini tidak memberi bahan informasi mengenai kekuatan-kekuatan
tersebut, tetapi membantu manusia agar dapat menghayati daya-daya sebagai
suatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan
sukunya.
b. Untuk memberi jaminan bagi masa kini, G. Van der Leeuw menerangkan fungsi
ini dengan contoh, misalnya ketika orang akan menggarap ladang dengan
menceritakan dongeng atau memeragakan tarian. Ini merupakan suatu upaya
untuk menghadirkan kembali suatu peristiwa yang dulunya pernah terjadi,
sehingga dijamin keberhasiln usaha serupa dewasa ini.
c. Untuk memberi pengetahuan tentang dunia. Mite dilihat sebagai suatu cara
untuk memberi keterangan tentang terjadinya dunia, hubungan antara dewa-
dewa, asal mula kejahatan. Dalam hal ini tidak dilihat apakah cerita tersebut
bersifat spekulatif atau tidak, karena yang terpenting adalah bahwa cerita
tersebut telah memberi pengetahuan kepada orang lain (pendengar) sehingga
orang lain memiliki pengetahuan tentang apa yang telah didengarnya. Puncak
dari pengalaman mitis hubungan antara manusia terhadap alam sekitarnya
(kosmos), yakni ada sesuatu. Kenyataan tentang ada sesuatu tersebut baik
berupa eksistensi dunia sekitarnya maupun eksistensi dirinya sendiri, pada suku
Dayak merupakan suatu kekuatan yang mempesonakan pikiran dan
perbuatannya.
Pada akhirnya, bahwa kehidupan itu ada, ajaib dan berkuasa, penuh daya
kekuatan karena pengalaman mitis dan cerita-cerita mitis yang bertalian dengan
suku yang menyangkut kepemimpinan dan kerukunan suku tersebut. Untuk
memaknai hubungan manusia Dayak dengan aturan dalam konteks mitologi
adalah dengan berusaha Pertama menghubungkan apa yang terjadi di masa
silam dengan apa yang terjadi saat ini sebagai satu rangkaian-rangkaian dan satu
kesatuan, karena masa lalu menentukan masa kini dan masa kini adalah
gambaran masa lalu sehingga menjadi masa kini. Itulah sebabnya kita
menemukan kebanyakan ajaran-ajaran hukum para ahli adat mengakar pada
cerita-cerita masa lalu yang berfungsi sebagai justifikasi bagi ketentuan-
ketentuan dan institusi adat bersangkutan.
Kedua adanya komitmen untuk saling menghormati satu sama lain dan hidup
bersama dengan orang lain maupun dengan alam secara harmonis. Dengan
demikian, hukuman yang keras dalam adat dipahami sebagai sarana yang
diperlukan untuk memulihkan harmoni kehidupan yang dirusak oleh
pelanggaran-pelanggaran tertentu. Harmoni kehidupan dalam adat tidak hanya
dimonopoli oleh hubungan akrab sesama orang di dunia ini, tapi juga ditentukan
oleh hubungan manusia dengan alam.
Sebuah komunitas dilihat sebagai suatu keseluruhan, yang didalamnya manusia
tidak hanya berada di dalam dan menyesuaikan diri dengan alam. Sebab itu
sebuah komunitas tidak hanya dianggap sebagai gabungan individu-individu.
Hubungan internal semua bagian komunitas lebih baik dipahami dengan
pengertian hubungan organisasi “yang meluas sampai pada lingkungan yang di
dalamnya serta darinya pula komunitas itu berasal”. Di sini penekanan diberikan
pada tugas individu dalam hubungannya baik dengan alam maupun dengan
sesama mereka. Para individu, terutama yang berkedudukan tinggi dalam
komunitas, memiliki tugas khusus masing-masing yang dibebankan kepada
mereka. Pendeknya, dunia natural dipahami sebagai lokus kekuatan
supranatural yang dipenuhi oleh entitas impersonal atau roh leluhur namun pada
saat bersamaan memiliki kekuatan besar. Kepercayaan terhadap kekuatan
tersebut merupakan kebutuhan untuk mempertahankan keseimbangan dan
harmoni agar agen materi dan immateri dalam kehidupan. Sebab itu apa yang
kita pahami sebagai nilai saling timbal balik, keseimbangan dan kerukunan
diterapkan dan dipertahankan dalam dunia material serta dalam dunia
immaterial, karena ia adalah rumah bagi roh atau entitas natural. Jadi,
komunitas lebih sekedar kumpulan manusia yang memiliki realitas fisik;
komunitas mencakup kumpulan entitas non-fisik yang mengitari manusia atau
bersemayam di dalam objek material. Keyakinan tentang tidak terpisahkannya
dunia material dari dunia immaterial ini adalah sesuatu yang menyatu dengan
adat, sehingga adat pada dasarnya mengakomodasi konsep “kesakralan”.
Sifat sakral hukum adat itu sangat lazim diungkapkan dalam pengakuan
terhadap sanksi yang bisa dijatuhkan oleh roh leluhur atau kekuatan
supernatural. Namun dalam kenyataan, kesakralan tersebut merujuk pada
kecenderungan hukum adat untuk menghindari sanksi kekerasan dan
memberikan penekanan besar pada kekuatan moral-cerminan peran otoritas
moral dalam mendukung insitutis hukum komunitas. Berbagai pertanda dan
aktivitas yang bersifat magis bertujuan untuk mendukung aturan tertentu yang
pada dasarnya berasal dari hubungan yang harmonis antara komunitas dengan
alam dan dunia supernatural.
Ancaman apapun terhadap keseimbangan dan ketentraman hubungan ini selalu
dihindari, sebab ketika keseimbangan itu hilang, berbagai akibat yang berbahaya
pasti muncul karena lepasnya kekuatan magis alam. Dan oleh karenanya,
menurut Ter Haar keseimbangan tersebut harus dipulihkan kembali dengan
jalan pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang. Sedangkan
barang-barang atau uang tersebut bermakna simbolik yang memiliki arti magi.
Ketiga melihat pola relasi manusia dengan lingkungan sekitar dalam kerangka
struktur sejarah kebudayaan manusia, yang meliputi tahapan mitis, ontologis
dan fungsional. Ketiganya tidak dilihat sebagai rangkaian anak tangga dalam
posisi tinggi-rendah, akan tetapi dilihat sebaga suatu bangunan struktur. Pada
tahap mitis, sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh keatan-
kekuatan gaib sekitarnya, yakni kekuatan dewa-dewa, alam raya atau
kesuburan, seperti yang dipentaskan dalam mitologi. Tahap kedua, sikap
manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan
secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Pada tahap ketiga atau tahap
fungsional, merupakan sikap manusia yang tidak terpesona lagi oleh
lingkungannya dan tidak mengambil jarak dengan objek penelitiannya. Pola
bangunan struktur membuka pintu hubungan antara manusia dengan alam
sekitarnya, dimana alam sekitarnya dilihat sebagai suatu realitas kehidupan
yang sangat mempengaruhi pandangan suku terhadap lingkungan sekitarnya,
berupa adanya kekuatan-kekuatan magis.
Kekuatan-kekuatan magis yang melindungi, memberi kekuatan dan
kesejahteraan kepada orang Dayak dilihat sebagai bagian dari suatu sistem
kepercayaan suku. Dalam sistem kepercayaan suku Dayak ada dua faktor utama
yang melahirkan sistem kepercayaan suku, yaitu :
a. Pola relasi suku dalam hubungannya dengan roh-roh atau jiwa-jiwa yang
melahirkan kepercayaan animisme.
b. Pola relasi suku dalam hubungannya dengan kosmos/alam melahirkan
kepercayaan dinamisme.
Kedua sistem kepercayaan tersebut sangat mempengaruhi seluruh aspek
kehidupan suku Dayak dan selalu dilihat dalam kerangka tersebut karena
seluruh kehidupan suku Dayak, kesejahteraan, kebahagiaan dan
keberlangsungannya sangat bergantung pada persoalan bagaimana mereka
menata kehidupannya dalam hubungan dengan kosmos dan roh-roh atau jiwa-
jiwa. Demikian pula halnya dalam melakukan interaksi dengan dunia dalam
suatu sistem sosial, bagaimana terbangunnya harmoni yang melandasi interaksi
sosial. Filosofis tersebut terbangun dari cara pikir, pola tutur dalam kehidupan
sosial, dari suatu realitas sosial budaya masyarakat lokal bahwa alam selalu
berpasangan. Ini merupakan suatu dinamika yang bersifat kontekstual, yang
bergantung pada nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Pemahaman tentang
nilai, itu bergantung pada proses penilaian yang diperoleh dari resultante
pasangan nilai, antara baik-buruk, luhur-terkutuk, indah-jelek.
Kaum fungsionalis mengatakan bahwa suatu nilai dianggap baik, luhur dan
indah jika sesuatu yang dinilai itu bermanfaat atau berguna untuk tiap individu,
kelompok, masyarakat tidak sama. Oleh karena itu ada nilai individu, kelompok
dan masyarakat. Itu berarti bahwa nilai terkait dengan keputusan individu,
kelompok dan masyarakat dalam melakukan penilaian. Dalam pandangan kaum
konstruktivisme, memandang nilai jika ia bermakna atau berarti, artinya sesuatu
itu mampu memberi pedoman untuk berpikir, berkata dan berbuat. Itu berarti
bahwa objek yang mampu membentuk pola pikir seseorang adalah hasil dari
resultante dari berbagai pandangan berupa konsepsi dan persepsi. Dalam konteks
orang Dayak Tobak proses menuju resultante tersebut diperoleh melalui proses
“tahu”. Dalam konteks masyarakat Dayak Tobak “tahu” tersebut meliputi tahu
adat (mentaati aturan adat), tahu budi (balas budi), tahu basa (sopan-santun),
tahu mae diri (membawa dan menempatkan diri).
Dalam kaitannya adat sebagai suatu nilai, maka adat memberi manfaat yang baik
bagi masyarakat dan individu dalam menata kehidupan komunitas secara
holistik dalam setiap dimensi kehidupan. Fungsi tersebut dalam konteks
pemahaman Dayak Tobak tidak terlepas dari pemahaman mereka tentang
mitologi tentang adat. Menurut cerita mite, bahwa asal-mula terbentuknya adat
Dayak Tobak meliputi dua pola hubungan, yakni pertama hubungan antara
Jebata dengan manusia. Awal mulanya hidup kakak-beradik yang bernama
Setimpak (kondisi fisiknya buta) dan Semangkok (kondisi fisiknya lumpuh).
Konon kakak-beradik ini merupakan anak dari Mambang yang tinggal di hutan
rimba. Suatu ketika, kakak-beradik ini berburu di hutan dengan membawa
peralatan berburu dan canang (sejenis gong kecil). Dalam perburuan mereka
menemukan rumah panjang, dimana di kampung tersebut sedang diadakan pesta
pora. Ketika orang-orang kampung tersebut melihat kedua kakak-beradik,
mereka dibawa masuk ke rumah panjang tersebut dan disuguhi makanan dan
minuman. Saat keduanya sedang menikmati makanan dan minuman, datang
beberapa orang pemuda kampung tersebut untuk sekedar bertegur-sapa.
Ketika para pemuda tersebut melihat canang yang dibawa kakak-beradik
tersebut sangat heranlah mereka, karena benda tersebut sangat unik dan aneh.
Karena penasaran terhadap benda tersebut, mereka meminta kakak-beradik,
yakni Setimpak-Semangkok untuk memukul canang itu. Tapi, permintaan
pemuda kampung tersebut ditolak secara halus oleh keduanya. Alasannya benda
tersebut tidak boleh dipukul sembarangan. Karena para pemuda tersebut terus
memaksa kedua kakak-beradik tersebut memukul canang itu, akhirnya
permintaan para pemuda kampung ini dituruti juga. Ketika canang tersebut
dipukul sebanyak tujuh kali, maka gaduhlah para warga rumah panjang
tersebut, mereka berlarian tanpa arah karena sangat takut dengan suara canang
itu. Konon perkampungan tersebut dihuni oleh para hantu. Setelah kejadian itu,
maka rumah panjang tersebut sunyi karena para penghuninya entah lari
kemana. Adapun rumah panjang tersebut memiliki banyak harta benda. Karena
pemiliknya sudah tidak ada lagi, maka harta benda yang ada di rumah tersebut
menjadi milik kedua kakak-beradik itu. Selanjutnya harta benda yang ada di
rumah panjang itu dibagi dua. Akan tetapi karena dalam pembagian harta
tersebut tidak adil, maka terjadi cekcok antara kakak-adik itu bahkan terjadi
perkelahian fisik antara keduanya.
Dalam perkelahian tersebut, sang adik menendang kaki abangnya dan abangnya
menampar wajah adiknya. Namun hal yang aneh dan ajaib terjadi setelah
perkelahian tersebut, keduanya seketika itu juga sembuh dari penyakit yang
dideritanya. Setelah kejadian tersebut, mereka hidup rukun kembali mendiami
rumah panjang. Suatu hari, mereka kedatangan tamu yang bernama Ape Unte
Tanjong Bunga (Kakek Orang Utan dari Tanjung Bunga). Kakek ini mengunjungi
kedua bersaudara tersebut selama tujuh hari berturut-turut. Pada hari pertama
kunjungannya hanya merupakan kunjungan biasanya. Demikian pula pada
kunjungannya pada hari kedua, masih merupakan kunjungan biasa. Pada
kunjungan hari ketiga, kakek tersebut meminta kepada kedua kakak-beradik
tersebut untuk menikahi cucu-cucu perempuannya. Sampailah kunjungannya
(Kakek Unte Tanjong Bunga) pada hari ketujuh, kedua pemuda tersebut
(Setimpak-Semangkok) kemudian menerima permintaan kakek ini. Namun
sebelum melangsungkan perkawinan, kedua bersaudara tersebut harus
membayar adat sebagai persyaratan kawin. Adat yang harus dibayar tersebut
adalah adat Papak (adat suami-istri). Dari sinilah mulainya cerita adat dalam
hubungan antara Jebata (Tuhan) dengan manusia.
Kedua, adat yang timbul antara Jebata (Tuhan) dengan Komang. Menurut cerita
mite, pada suatu ketika manusia dan komang ini mencari ikan di hulu sungai.
Jika manusia mencari ikan dengan memancing, Komang tadi mencari ikan
dengan cara menuba. Tuba yang telah dicurahkan ke sungai tersebut
menyebabkan hilir sungai Jebata tersebut tercemar. Ketika anak Jebata mandi
ke sungai yang telah tercemar itu, maka sakitlah anak Jebata tersebut. Karena
penyebabnya adalah tuba yang telah digunakan Komang untuk menuba, maka
Jebata mengutus Ne’ Ntara (sebagai perantara) untuk meminta adat ae ompa (air
sirih) kepada Komang tadi. Akan tetapi Komang menolaknya. Kemudian, Jebata
mengutus kembali Ne’ Ntara untuk meminta adat calek (memberi tanda di kening
seseorang, misalnya dengan kapur atau darah ayam), namun ditolak kembali oleh
Komang. Selanjutnya, Jebata mengutus kembali Ne’Ntara untuk meminta adat
pipis, akan tetapi permintaan itu kembali ditolaknya. Karena permintaan adat
pertama, kedua dan ketiga ditolak juga, maka Jebata mengutus Ne’Ntara kembali
untuk meminta adat ½ (setengah) pati nyawa. Sekali lagi, adat ½ pati nyawa ini
juga ditolak oleh Komang. Untuk terakhir kalinya, Jebata mengutus Ne’Ntara
untuk meminta adat pati nyawa. Permintan adat yang terakhir inilah yang
dibayar Komang. Selanjutnya cara ber-adat yang diberlakukan Jebata kepada
Komang inilah kemudian ditiru manusia Dayak Tobak sampai kini.

Anda mungkin juga menyukai