Tujuan:
1. Menjelaskan pengertian budaya dan kepercayaan (C2, C3).
2. Menjelaskan pengaruh religiositas pada perilaku (C2).
3. Memahami dan menjelaskan hubungan antara religiositas dan agama (C2).
Metode:
1. Ceramah
2. Diskusi
3. Tanya jawab
Media/Alatbantu:
• White-board
• Infocus
• Spidol
• Gambar/film
Bahan Bacaan:
• Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi
• Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama
• Agus M. Hardjana, Religiositas, Agama, Spiritualitas
• Joko Suyanto, dkk., Agama dan Moral.
• Dr. Nico Syukur Dister Ofm, Pengalaman dan Motivasi Beragama
• J.W.M. Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar
• Karen Amstrong, A Short History Of Myth
• Frithjof Schoun, Titik temu Agama-agama
• Al. Andang, Agama yang Berpijak dan Berpihak
1.1. Pengantar
Manusia berkat jiwanya memiliki keterarahan dan kerinduan akan yang
transenden, yang disadari sebagai “kekuatan dan kekuasaan” di luar manusia.
Keterbatasan manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri, sesama manusia, dan
alam menyadarkan manusia akan adanya Yang Lain Yang Tidak Terbatas, yang
kekuatan dan kekuasaan-Nya melebihi manusia. Keterbatasan manusiawi ini
menghantarkan manusia pada kesadaran akan adanya Yang Tidak Terbatas yang
mampu mengatasi segala keterbatasan manusia.
Keterbatasan manusia paling nyata tampak pada aspek kejasmaniannya, bahwa
manusia bisa lapar, haus, capai, sakit, menjadi tua, dan akhirnya mengalami kematian.
Dalam keterbatasannya itu, manusia menyadari adanya Yang Lain, yang bukan “aku”,
juga bukan “sesama manusia”, dan bukan “alam”. Yang Lain itu jauh lebih kuat dan
berkuasa daripada manusia sendiri. Ia disadari sebagai yang menentukan manusia.
Berhadapan dengan Diri-Nya, manusia mengalami ketergantungan mutlak kepada-
Nya.1
Kesadaran dan pengalaman manusia akan adanya “Kekuatan” di luar dirinya
tersebut tidak sama dari zaman ke zaman. Hal itu berkaitan dengan tingkat
pengetahuan dan kebudayaan yang ada. Pada bab 1 ini, kita akan membahas tentang
sikap religius dalam masyarakat primitif (sebelum budaya baca tulis) yang ditandai
dengan berbagai macam kepercayaan.
1. 2. Kebudayaan Manusia
Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah bentuk jamak dari
buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan
sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada pula yang menjelaskan kata
“budaya” berasal dari kata budi-daya, yang artinya daya dari budi.2
Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar. Karena itu, terdapat tiga wujud kebudayaan 3 yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, dan peraturan. Wujud kebudayaan ini tempatnya dalam pikiran
warga masyarakat. Ide-ide dan gagasan tersebut membentuk suatu sistem,
maka disebut sistem budaya (cultural system) atau adat. Wujud kebudayaan ini
sering disebut kebudayaan ideal. Ia memberi jiwa pada masyarakat.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola
dari manusia dalam masyarakat. Wujud kebudayaan ini disebut juga sistem
sosial (social system). Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia
yang saling berinteraksi satu dengan yang lain menurut pola-pola tertentu
berdasarkan adat tata kelakuan. Seistem sosial ini bersifat konkret.
1
Joko Suyanto, Agama dan Moral, hal. 12
2
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hal. 181
3
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hal. 186-188
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ketiga
dari kebudayaan ini disebut kebudayaan fisik karena berupa seluruh hasil
aktivitas manusia dalam suatu masyarakat. Wujud ini merupakan wujud
kebudayaan paling kokret.
Ketiga wujud kebudayaan tersebut tidak terpisahkan satu dengan yang lain,
tetapi saling berhubungan. Kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah pada
tindakan dan karya manusia. Sebaliknya karya manusia mempengaruhi cara berpikir
dan bertindak manusia. Dalam konteks ini kita lihat hubungan antara kebudayaan dan
manusia. Di satu sisi kebudayaan merupakan ciptaan manusia berkat akal budinya, di
sisi lain kebudayaan fisik yang telah diciptakan tersebut menjadi otonom dan berbalik
mempengaruhi manusia. Dalam konteks ini pula kita bisa melihat bahwa kebudayaan
dapat berubah dan terus berkembang selama manusia terus berpikir untuk mencipta.
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan memiliki tujuh unsur, yaitu: bahasa,
sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem
mata pencaharian, sistem religi, serta kesenian. Tentu saja dalam tiap unsur
kebudayaan tersebut mewujud dalam tiga wujud kebudayaan, yaitu sistem budaya,
sistem sosial, dan kebudayaan fisik. Misalnya berkaitan dengan sistem religi wujud
sistem budayanya (ide-ide) tampak pada sistem keyakinan, gagasan tentang Tuhan,
dewa-dewi, roh-roh, sorga, neraka, dan sebagainya. Wujud sistem sosialnya (tindakan)
berupa upacara-upacara atau ritus keagamaan. Wujud fisik dari sistem religi tampak
dalam benda-benda suci yang dihasilkan untuk peribadatan.4
4
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hal. 202
Mariasusai Dhavamony menjelaskan berbagai macam kepercayaan dalam
masyarakat primitif 5:
a. Animisme
Animisme merupakan kepercayaan kepada makhluk-makhluk adikodrati yang
dipersonifikasikan. Perwujudannya dari Roh yang Mahatinggi hingga pada roh halus,
roh lelulur, dan roh dalam objek-objek alam. Kepercayaan pada roh tersebut muncul
sebagai kebutuhan untuk menangkal kejahatan, menghilangkan musibah, atau
menjamin kesejahteraan manusia.
c. Totemisme
Totemisme merupakan fenomena yang menunjuk hubungan suatu suku bangsa
atau klan dengan suatu spesies hewan atau tumbuhan tertentu. Totemisme merupakan
sistem kepercayaan dan praktik yang mewujudkan hubungan mistis antara anggota
kelompok masyarakat dan jenis binatang atau tumbuhan tertentu. Totemisme
diungkapkan dalam upacara-upacara dan peraturan-peraturan khusus. Totemisme
mengandung perintah-perintah yang dijunjung tinggi, misalnya tidak boleh
membunuh atau makan daging binatang totem atau merusak tumbuhan totem. Para
anggota klan percaya bahwa mereka berasal dari leluhur totem yang sama. Mereka
menggunakan totem sebagai simbol kelompok sekaligus sebagai pelindung kelompok.
Dalam upacara totem, kepentingan religius yang paling utama adalah
pengaktualisasian identitas antara totem dan klan. Hormat pada binatang / tumbuhan
totem diungkapkan masing-masing individu dalam hubungannya dengan masyarakat
5
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hal. 65-82
klan. Hal itu kemudian menjadi sumber dari tradisi moral dan makanan masyarakat.
Totemisme merupakan sistem masyarakat yang tidak hanya menyatukan
antarmanusia, tetapi juga manusia dengan lingkungannya.
d. Urmonoteisme/ Henoteisme
Menurut Pater Wilhelm Schmidt dalam masyarakat primitif telah terdapat
suatu kepercayaan akan yang Mahatinggi sebagai pencipta dan pemberi hukum. Yang
Mahatinggi tersebut dikenal sebagai dewa tertinggi atau bapa segala sesuatu dari suku
yang bersangkutan. Hampir semua agama primitif memiliki ide mengenai Yang
Mahatinggi atau dewa tertinggi. Dewa tertinggi itu diyakini oleh klan sebagai
pencipta, mahatahu, pembuat aturan tentang hubungan antarmanusia.
6
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hal. 147-165
yang jauh dan luar biasa. Para pelakunya adalah para dewa atau makhluk adikodrati.
Mitos digunakan untuk mempengaruhi masyarakat secara langsung dan mengubah
kondisi manusia. Mitos menceritakan bagaimana suatu keadaan menjadi sesuatu yang
lain: bagaimana dunia yang kosong menjadi berpenghuni, bagaimana situasi yang
kacau menjadi teratur, dan sebagainya. Mitos tidak hanya menceritakan asalmula
dunia, binatang, tumbuhan, dan manusia, tetapi juga kejadian-kejadian awal yang
menyebabkan manusia menemukan dirinya ada seperti sekarang ini.
Mitos sangat penting dalam masyarakat primitif. Dengan menghayati mitos
lewat ucapaca ritual, seseorang bisa meniru dan menghadirkan kembali makhluk-
makhluk ilahi dan aktivitas mereka. Mitos merupakan kisah yang diceritakan untuk
mengungkapkan kepercayaan tertentu, berperan sebagai peristiwa pertama dalam
suatu ritus, dan sebagai model tetap dari perilaku moral dan religius. Karena itu,
mitologi dari suatu masyarakat selalu terjalin dengan kebudayaan mereka. Mitos
menyuarakan keyakinan masyarakat yang bersangkutan. Mitos juga menentukan ritus,
peraturan sosial, dan sebagai model tetap dari tingkah laku moral mereka. Singkatnya,
mitos dalam masyarakat primitif berfungsi untuk mengungkapkan dan merumuskan
kepercayaan, melindungi dan memperkuat moralitas, menjamin ritus, dan memberi
peraturan-peraturan praktis untuk tuntunan hidup manusia. Jadi, mitos merupakan
suatu kekuatan yang mampu menata masyarakat.
Menurut Malinowski, mitos dalam masyarakata primitif bukanlah semata-mata
cerita yang dikisahkan, tetapi juga merupakan kenyataan yang dihayati. Mitos
merupakan daya aktif di dalam kehidupan masyarakat primitif. Mitos menjadi
penghubung antar institusi-institusi sosial yang ada.
Bagi Mircea Eliade, mitos selalu berkaitan dengan penciptaan. Mitos
menceritakan bagaimana segala sesuatu dijadikan atau memulai adanya. Mitos
merupakan sejarah suci. Karena itu, menceritakan mitos berarti menyingkapkan
sebuah misteri. Sejauh menceritakan tindakan para dewa dan para makhluk
adikodrati, mitos menjadi misteri dan sejarah yang suci.
Mitos mengisahkan sejarah suci, serentetan peristiwa yang terjadi pada awal
mula. Mitos menceritakan perbuatan dan tindakan para makhluk adikodrati pada awal
mula yang menyebabkan dunia menjadi ada sebagaimana sekarang ini. Para makhluk
adikodrati itu bertanggung jawab atas segala sesuatu yang ada sekarang, karena semua
kenyataan yang ada sekarang merupakan akibat dari tindakan mereka pada awal mula.
Mengingat mitos berkaitan dengan kata-kata dan tindakan makhluk-makhluk
adikodrati, mereka pun dijadikan teladan untuk ditiru dan diulang kembali oleh
manusia. Para makhluk adikodrati ini tidak hanya mengadakan alam semesta, tetapi
juga memberikan pola ideal bagi manusia untuk ditiru sehingga membentuk perilaku
mereka dalam keluarga dan masyarakat. Untuk bertindak sebagai manusia yang penuh
tanggung jawab, maka manusia harus menirukan dan mengulang tindakan mereka.
7
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hal.87
dihubungkan dengan kegiatan religius, ia menjadi sebuah objek yang suci. Batu
tersebut memperoleh kualitas lain yaitu suci.
Bagi masyarakat primitif seluruh kosmos terbuka kepada Yang Kudus
(kosmovitalisme). Objek apa pun dianggap sebagai hierofani yaitu penampakan dari
Yang Kudus. Matahari dinilai kudus karena mengungkapkan kekuasaan, keagungan,
dan kecemerlangan. Pokoknya segala sesuatu di dunia dimaknai sebagai penampakan
dari Yang Kudus. Benda, manusia atau binatang yang menjadi tempat hierofani
menjadi keramat, menjadi sesuatu yang lain dari benda-benda lain yang serupa.
Penampakan yang suci dapat terjadi kapan saja dan lewat apa saja. 8
Kepekaan manusia menangkap kehadiran Yang Kudus dalam pengalaman dunia
dapat terjadi karena manusia memiliki sensus religiosus dalam struktur kejiwaan
manusia. Berkat sensus religiosus ini manusia dapat mengalami hal-hal duniawi
sebagai tanda dari Yang Kudus.
Rudolf Otto dalam bukunya Das Heilige (The Idea of the Holy) menganalisis
struktur pengalaman religius manusia. Dalam pengalaman religius, manusia
mengalami Yang Kudus sebagai suatu "misteri", sesuatu yang tidak dapat dipahami,
tidak terselami karena berlainan sekali dengan manusia. Dalam pengalaman religius,
Yang Kudus hadir sebagai Mysterium tremendem et fascinans, yaitu sebagai misteri
yang menakjubkan, menakutkan dan sekaligus menarik dan mempesona.
Pengalaman religius merupakan bentuk pengetahuan yang lain dari pada
biasanya. Pengalaman religius ini bukanlah pengetahuan yang dapat dipahami secara
rasional karena Yang Kudus adalah suatu ‘misteri’ yang tidak dapat sepenuhnya
dimengerti oleh akal manusia.
Yang Kudus merupakan objek pengalaman religius. Secara konkret, Yang
Kudus dapat dipahami sebagai: satu dewa yang mahatinggi, dewa-dewa, hal-hal
supernatural, arwah-arwah leluhur yang dituhankan, orang-orang dan objek-objek
yang disucikan, ritual-ritual dan mitos-mitos.9
8
Joko Suyanto, Agama dan Moral, hal. 27-28
9
Joko Suyanto, Agama dan Moral, hal. 32-34
1. 6. Religiositas Sebagai Dasar Hidup Beragama 10
Pengetahuan religius dan pengalaman religius merupakan dua hal yang
berbeda, namun kedua hal tersebut sangat erat kaitannya dan tidak dapat terpisahkan.
Berkat pengetahuan dan pengalaman akan Yang Kudus itu terciptalah religiositas.
Religiositas merupakan rasa dan kesadaran manusia akan hubungan dan ikatan
manusia dengan Yang Kudus.
Apakah religiositas sama dengan agama? Tentu saja religiositas tidak sama
dengan agama. Religiositas merupakan asal muasal lahirnya agama. Setelah agama
terbentuk, religiositas berperan sebagai jiwa, semangat, dan roh dari agama.
Religiositas menjadi inti suatu agama yang tidak dapat ditinggalkan.
Kehidupan beragama tanpa didasari religiositas menjadi kurang bermakna
karena terlepas dari Yang Kudus. Dampaknya kelihatan dalam bidang dogma, ibadat,
moral, dan kelembagaan agama itu sendiri.
Dalam bidang dogma, ajaran-ajaran agama tidak ada bedanya dengan ajaran
ideologi. Ajarannya terasa kaku, tertutup, dan ekslusif. Mereka tidak mempedulikan
substansi dogma yang bersangkutan dan pemahaman baru yang mungkin. Mereka
tidak bisa menyesuaikan dogma dengan perkembangan zaman. Iman akan Yang
Kudus memang tidak berubah, tetapi pengungkapan dan perwujudannya
dimungkinkan untuk berubah karena perubahan zaman. Mereka mengganggap ajaran
agama dan penafsirannya paling benar dan berlaku selamanya. Akibatnya orang tidak
bisa menerima orang lain yang berbeda agama dan keyakinan dengannya. Dengan
demikian dogma tidak memberi pencerahan dan tuntunan hidup, tetapi justru menjadi
sumber perpecahan umat manusia.
Berkaitan dengan peribadatan, orang beragama mudah jatuh ke dalam
kemunafikan dan formalisme bila tidak didasari religiositas. Orang yang penting
menjalankan aturan agama dengan rajin beribadat. Mereka beribadat bukan untuk
meningkatkan relasi dan komunikasi dengan Yang Kudus, tetapi untuk memenuhi
aturan agama. Bisa juga terjadi orang rajin beribadat supaya dilihat dan dipuji orang
lain sebagai orang baik. Jadi, doa dan peribadatan menjadi kehilangan substansinya,
yaitu menjalin relasi dan kesatuan dengan Yang Kudus.
10
Agus M. Hardjana, Religiositas, Agama & Spiritualitas, hal. 52-62
Karena dilepaskan dari religiositas, moral agama pun menjadi aturan dan
larangan yang tidak ada hubungannya dengan Yang Kudus. Melaksanakan ajaran
moral bukan sebagai pelaksanaan kehendak Yang Kudus, tetapi supaya dapat
ganjaran. Demikian juga orang tidak melanggar perintah agama, bukan karena sadar
hal itu merusak hubungan dengan Yang Kudus, tetapi karena takut hukuman. Dengan
demikian, tidak adanya religiositas dalam kehidupan beragama memungkinkan orang
menghayati moralitas secara rendah. Orang tidak mampu menghayati moralitas
sebagai bentuk partisipasi pada Yang Kudus.
Lembaga keagamaan merupakan sarana pengembangan dogma, ibadat, dan
moral. Namun bila dilepaskan dari religiositas, lembaga agama dapat menjadi tujuan
pada dirinya sendiri. Lembaga agama tidak ada bedanya dengan organisasi
kemasyarakatan lainnya. Agama sibuk dengan aspek orgnisasi manusiawinya, tetapi
kehilangan inti religiositasnya.
Agama yang kehilangan religiositasnya membuat agama kehilangan daya
pikatnya dalam kehidupan masyarakat. Agama tidak mampu menghasilkan buah-buah
kebaikan, keadilan, kesejahteraan bagi masyarakatnya. Agama juga tidak mampu
memberi inspirasi dan motivasi bagi umatnya untuk meningkatkan kualitas hidupnya
sehingga semakin bermakna bagi masyarakat.
Agama tanpa religiositas dapat mengubah agama menjadi suatu ideologi yang
memperjuangkan kepentingan di luar agama. Agama yang dijadikan ideologi dipakai
untuk menggerakan massa demi mencapai sesuatu yang tidak berhubungan dengan
agama. Dengan menggunakan sentimen agama, kelompok memotivasi dan mendorong
orang-orang seagama agar ikut bergabung dalam kelompok dan berjuang bersamanya.
Karena agama menjadi ideologi, para penganut agama merasa diri paling benar,
bersifat eksklusif, tidak toleran terhadap pihak lain yang berbeda pandangan dengan
mereka.
1. 7. Penutup
Dalam masyarakat primitif, orang telah memiliki berbagai macam kepercayaan
akan adanya kekuatan di luar dirinya. Kekuatan tersebut dipahami berbeda-beda
sesuai dengan kepercayaan mereka.
Berkaitan dengan kepercayaan tersebut dibangun pula mitos-mitos yang
merupakan kisah suci. Mitos berfungsi untuk merumuskan kepercayaan, sekaligus
juga menjadi panduan hidup bersama dalam masyarakat.
Kepercayaan mereka dibangun atas pengalaman akan Yang Kudus yang hadir
dalam mistery tremendum et fascinant (misteri yang menggetarkan dan mempesona).
Inilah pengalaman religius.
Pengalaman religius disertai dengan pengetahuan religius menjadi religiositas.
Religiositas inilah inti dari setiap kepercayaan dan agama. Kehidupan beragama tanpa
didasari religiositas tidak bermakna. Orang menjalani ajaran agama, moral, dan
beribadat tanpa menghubungkannya dengan Yang Kudus sebagai intinya. Akibatnya
terjadi kemunafikan dalam praktik hidup beragama. Agama tanpa religiositas juga bisa
kehilangan daya pikatnya dalam masyarakat. Selain itu, agama tanpa religiositas bisa
menjadi suatu idiologi yang memperjuangkan kepentingan di luar agama, tetapi
mengatasnamakan agama.
PERTANYAAN REFLEKTIF:
1. Lihatlah hidupmu selama ini! Kapan Anda mengalami suatu pengalaman religius? Coba
rumuskan dalam sebuah tulisan!
2. Anda sebagai orang beragama, coba refleksikan: Apakah kehidupan beragamamu dilandasi
suatu religiositas atau tidak? Jangan-jangan Anda beragama bukan atas kesadaran sendiri
untuk menjalin relasi intin dengan Yang Kudus, tetapi karena diwajibkan oleh negara atau
karena turunan dari orang tua!
KEGIATAN KELOMPOK:
Diskusikanlah dalam kelompok! Setiap kelompok terdiri dari 5 orang.
1. Akhir-akhir ini banyak terjadi kemunafikan dalam kehidupan beragama. Mengaku sebagai
orang beragama, tetapi korupsi. Tidak jarang juga agama dipolitisasi untuk mencapai
kepentingan di luar agama. Hal itu terjadi karena agama telah kehilangan religiositas yang
menjadi inti agama.
Bagaimana cara mengembalikan religiositas dalam kehidupan beragama, sehingga agama
tidak kehilangan jiwanya!
2. Carilah mitos yang ada di daerah asalmu masing-masing! Temukan pesan yang ingin
disampaikan melalui mitos tersebut. Kemudian tunjukkan bagaimana bentuk budaya ideal
(mitologi) tersebut diikuti atau menghasilkan wujud kebudayaan selanjutnya yang berupa
tindakan dan benda-benda!
BAB 2
PAHAM KETUHANAN
Tujuan Pembelajaran:
1.Memahami dan menjelaskan konsep-konsep dasar tentang paham ketuhanan di dalam pelbagai agama.
2.Memhami dan menjelaskan nilai-nilai kehidupan yang diajarkan dan ditawarkan oleh agama-agama
dalam memanusiakan manusia/memujudkan manusia yang beriman (humanisme transcendental).
3.Menghargai akan adanya keanekaragaman cara manusia memahami dan menghayati
ketuhanan.
4.Menularkan spirit pluralisme berhadapan dengan bahaya radikalisme dan fanatisme.
Metode:
1. Presentasi
2. Diskusi
3. Tanya Jawab
Waktu: 100 menit
Media/Alat Bantu:
• White Board
• Infocus
• Spidol
• Gambar/film/video
Bahan Bacaan:
Daftar Pustaka
• Benawa, Arcadius et.al. Pendidikan Nilai dan Religiositas. Jakarta: UMN Press, 2015.
• Huston Smith. Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1999.
• Magnis Suseno F. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
• Tim Dosen Religiositas UMN. Religiositas, Agama dan Pendidikan Nilai. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2010.
• Mangunwijaya, Y.B. Menumbuhkan Sikap Religius Pada Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.1986
• Tarigan, Yakobus PR.Religiositas, Agama dan Gereja Katolik . Jakarta: Grasindo,2007.
• Diane Tilman. Living Values Activities for Young Adults / Pendidikan Nilai untuk Kaum Dewasa-
Muda. Jakarta: Gramdia Widiasarana Indonesia, Jakarta: 2004.
2. 1. Pengantar
Indonesia sebagai Negara berpenduduk paling besar nomor 4 di dunia
memiliki kekayaan budaya yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Tidak hanya
budaya dari pelbagai suku di seluruh penjuru Tanah Air, melainkan juga keberagaman
agama.11 Kekayaan budaya dan agama di satu pihak membanggakan, namun di lain
pihak kalau tidak disikapi dengan arif dan bijaksana, keberagaman budaya dan agama
tersebut dapat menjadi pemicu konflik yang membahayakan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Itulah sebabnya generasi muda, khususnya mahasiswa perlu memiliki
wawasan yang luas mengenai agamanya, dan juga agama-agama lain. Maka, pada bab
ini disajikan materi tentang bagaimana dari sikap religius kemudian berkembang
menjadi agama-agama yang ada di dunia. Tujuannya tak lain agar mahasiswa dapat
mengetahui konsep-konsep dasar paham ketuhanan dalam pelbagai agama, menyadari
keanekaragaman cara manusia menghayati ketuhanan di dunia ini dan perkembangan
penggambaran manusia tentang Tuhan dan menghormati serta menghargai adanya
keanekaragaman gambaran dan pemahaman tentang Tuhan dalam pelbagai agama,
agar tidak jatuh dalam radikalisme ataupun fanatisme.
11
Subagya Petrus Damianus dan Tim Dosen Religiositas UMN, Religiositas, Agama dan Budaya
Nilai. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010, hal 64-65
mengatakan bahwa gajah itu gilig dan kecil, sedangkan yang memegang belalai gajah
mengatakan bahwa gajah itu panjang dan gilig.
Karena masing-masing yakin dengan pengalamannya dan menganggap
pendapatnyalah yang paling benar tentang gajah akhirnya sukacita menikmati kebun
binatang pun berubah menjadi kericuhan di antara mereka. Beruntung bahwa orang
yang baik hati tadi menengahi dan mengatakan bahwa di antara mereka tidak ada
yang salah, tetapi juga tidak berarti gajah itu seperti yang diungkapkan masing-
masing.
Sumber: NN.
Kerap kali kita bertengkar bahkan kadang sampai saling membunuh bukan karena
kejahatan orang lain, tetapi karena kita terlalu mempertahankan kebenaran pandangan
dan keyakinan yang kita anut tanpa sadar bahwa keyakinan yang dialami dan dianut
orang lain juga bukan berarti salah, apalagi memahami Tuhan yang serba tak
terjangkau oleh manusia yang serba terbatas daya tangkap maupun pengartikulasian
atas pengalaman dan pemahamannya tersebut.
12
Frans Magnis-Suseno. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006, hal.26-36.
Daya alam yang melampaui keterbatasan daya kekuatan manusiawi itu
selanjutnya dipercaya memiliki roh, karena ia mampu ”berbuat” sesuatu (mengamuk,
menelan, membinasakan, meletus, menyembur, mengobrak-abrik, dsb.). Itu sebabnya
kemudian manusia membayangkan bahwa kekuatan alam itu sebagai sesuatu yang
hidup dan karenanya juga memiliki roh. Maka manusia mencoba membangun relasi
yang baik dengan daya alam yang ber-roh itu dengan ”mengambil hati” roh alam itu
dengan pelbagai pemberian yang selanjutnya kita kenal sebagai sesajian. Manusia kala
itu percaya kalau penguasa laut, gunung, bumi, langit, angin, dan sebagainya itu akan
reda amarahnya bila diberi sesajian. Praktik inilah yang kemudian melahirkan
animisme.
Selanjutnya dalam kepercayaan animis itu bagian-bagian alam yang ber-roh itu
diberi nama sebagai pribadi (person). Maka muncullah kemudian nama-nama Dewa
Bulan, Dewa Matahari, Dewa Bumi, Dewa Langit, Angin, Dewa Laut, dan sebagainya
dengan nama-nama yang spesifik sesuai dengan wilayah kekuasaannya. Inilah yang
kemudian kita kenal dengan istilah politeisme.
Dari politeisme untuk sampai pada monoteisme tidak serta merta terjadi begitu
saja. Ada tahap yang mengantarai keduanya, yakni henoteisme. Henoteisme ini ada 3
macam, yakni henoteisme waktu, tempat, dan koordinasi. Henoteisme waktu adalah
kepercayaan akan banyak dewa-dewi, namun pada kurun waktu tertentu yang menjadi
pemimpinnya itu berbeda-beda menurut periodisasi kekuasaannya. Henoteisme tempat
adalah kepercayaan akan banyak dewa-dewi, namun untuk tempat-tempat tertentu
penguasanya adalah dewa-dewi tertentu. Inilah yang sampai kini melahirkan konsep
tentang adanya “penunggu” untuk tempat-tempat tertentu. Henoteisme koordinasi
adalah kepercayaan akan banyak dewa-dewi, namun di antara dewa-dewi itu ada yang
menjadi koordinatornya.
Dari henoteisme koordinasi inilah kemudian muncul monoteisme, yang berarti
kepercayaan akan adanya satu Allah/Tuhan saja sebagaimana dipercayai di dalam
agama-agama Abrahamik, seperti Yudaisme, Kristianisme, dan Islam.
2. 3. Agama-Agama di Indonesia13
2. 3. 1. Aliran Kepercayaan
Aliran Kepercayaan (kebatinan) pada dasarnya mempercayai bahwa Zat Tuhan
adalah juga zat manusia; sifat Tuhan adalah sifat manusia; nama Tuhan adalah nama
manusia; kekekalan Tuhan adalah kekekalan manusia, begitu juga kasih Tuhan adalah
kasih manusia. Jadi, tidak ada perbedaan antara Tuhan dengan manusia. “Manusia di
dalam Allah dan Allah di dalam manusia”.14
Atma yang adalah bagian terdalam dari diri manusia, bersatu dengan Allah
sebagai zat mutlak. Pada saat meninggal dunia, manusia kembali kepada asalnya dan
melebur menjadi satu dengan zat yang mutlak. Pokok Aliran Kepercayaan (Kebatinan)
adalah upaya untuk meningkatkan integrasi diri manusia. Dengan banyak melakukan
latihan, manusia berusaha untuk beralih dari keadaan semula ke tingkat yang lebih
sempurna. Melalui perguruan dan pedukunan, penganut Aliran Kepercayaan belajar
cara-cara untuk memperoleh kesempurnaan hidup. Pada umumnya, mereka percaya
pada tenaga gaib,pengaruh nujum, magi, okultisme, ilmu alamat, sakti, zimat,tuah dan
kualat, mantera dan rapal, penyembuhan ajaib,mimpi aneh, penampakan. Aliran
Kepercayaan dan ilmu gaib merupakan dwi tunggal yang tidak terpisahkan.
Aliran Kepercayaan tidak mementingkan organisasi. Para anggotanya lebih
merupakan suatu paguyuban dengan mengadakan pertemuan berkala. Mereka bersatu
di sekitar pemimpin kharismatis. Dalam paguyuban mereka mengembangkan
kepribadian asli, bahasa daerah, tradisi suku, gaya hidup dan kesopanan timur. Tidak
puas dengan peraturan-peraturan agama resmi, mereka mengadakan latihan-latihan
untuk menerima wahyu sendiri, mendengar suara di dalam hati, melukiskan hal yang
membuat tentram dan puas.yang penting adalah unsur rasa atau pengalaman rohani
subyektif. Pengalaman itu dirasakan dalam batin, yang berada di dalam diri manusia
sendiri. Tidak penting lagi perbuatan lahir, peraturan dan hukum dari luar. Gelar,
pangkat, harta benda dan kekuasaan tidak ada gunanya, karena yang paling utama
adalah bahwa manusia harus menembus dinding pancaindera untuk bersemayam pada
13
Tarigan Yacobus. Religiositas, Agama dan Gerja Katolik. Jakarta: Grasido, 2007, hal.31-36.
14
Subagya Petrus Damianus dan Tim Dosen Religiositas UMN. Religiositas, Agama dan Budaya Nilai.
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010, hal. 67-69.
asas terakhir dari kepribadiannya, yaitu Roh. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
apabila mereka suka memprotes terhadap materialisme, kemerosotan moral, egosisme,
dan sekularisme. Penganut aliran kepercayaan mengajak manusia untuk kembali
kepada kesusilaan asli, kesederhanaan nenek moyang dengan semboyan budi luhur
dan sepi ing pamrih.
Untuk mencapai kesadaran diri yang damai dan tenang, penganut Aliran
Kepercayaan melaksanakan samadhi, olah rasa, mawas diri, yoga, pantang dan
tapabrata. Mereka harus mampu mengekang diri, menguasai nafsu-nafsu agresif dan
nafsu seksual. Hal-hal yang lahiriah dan jasmaniah harus dikuasai. Setelah itu barulah
tercapai manusia baru, budi luhur, manusia waskita dan susila. Karena merasa jijik
dengan hal-hal lahiriah dan ajaran dogmatis, bagi mereka satu-satunya sumber
pengakuan Tuhan adalah pengalaman batin manusia sendiri, ilham dari dalam dan dari
suara batin manusia sendiri.
15
Huston Smith. Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999, hal. 19.
diketahui”. Cukup banyak orang Hindu percaya bahwa Wisnu turun ke dunia
(inkarnasi) ketika kejahatan sudah merajalela.16
Orang Hindu percaya bahwa ada kekuatan suci yang disebut Brahman, yang
menyangga segala sesuatu yang ada, dan yang merupakan makna batiniah dari alam
semesta. Segala sesuatu di bumi adalah manifestasi dari Brahman. Dan dalam diri
setiap manusia, Brahman menjadi Atman. Dengan demikian, Brahman tidak terpisah
dari manusia (bukanlah sesuatu yang berada di luar manusia).
Namun yang utama bagi seorang Hindu Dharma adalah mokhsha, yakni
pembebasan dari reinkarnasi yang tidak berkesudahan (samsara). Spriritualitas
seorang Hindu adalah menemukan pembebasan dari kelahiran kembali. Jiwa manusia
kembali ke Brahman, yang daripadanya jiwa berasal. Oleh karena itu, upacara ngaben
mempunyai peranan yang sangat penting. Pembakaran mayat merupakan pesta yang
membebaskan jiwa manusia manusia untuk mencapai tingkat yang lebih sempurna.
Hari besar keagamaan adalah hari raya Nyepi. Pada hari raya ini, umat Hindu
menyucikan dan memperkuat diri terhadap pengaruh roh-roh jahat. Umat Hindu tidak
menyalakan api, tidak melakukan pekerjaan, tidak bepergian, dan tidak melakukan
hubungan seks. Hari berikutnya disebut ngebak geni, mereka boleh menyalakan api
tetapi masih tetap pantang bekerja. Selain hari raya Nyepi, umat Hindu juga
merayakan Galungan, untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan dari Ida
Sanghyang Widhi dari para leluhur.
Dalam agama Hindu, pemimpin agama mempunyai peranan yang tidak
tergantikan. Upacara keagamaan besar dipimpin oleh sulinggih, orang yang telah
dilantik untuk melaksanakan upacara. Sulinggih yang berasal dari kasta Brahmana
disebut pedanda; dari kasta Satria, disebut resi. Sistem kasta masih berpengaruh,
walapun di zaman modern ini mulai ada perubahan. Terdapat kasta Brahmana, Satria,
Weisa, dan sudra. Kurang dari 15 % orang Bali termasuk Triwangsa (Brahmana,
Satria, Weisa) sedangkan 85 % masyarakat Bali justru termasuk warga Jaba (Sudra).
Gelar bagi Brahmana adalah Ida bagus untuk laki-laki dan Ida Ayu untuk wanita.
Gelar bagi warga Satria adalah Cokorda dan bagi Weisa adalah Gusti.
16
Tarigan Yacobus Pr. Religiositas, Agama dan Gereja Katolik. Jakarta: PT Grasindo, 2007, hal. 36-
40.
2. 3. 2. 1. Empat jalan keselamatan
a. Jalan Bhakti : ibadat penuh kasih untuk salah satu dewa.
b. Jalan Karma : perbuatan baik membuahkan kebaikan, sedangkan perbuatan
jahat membuahkan kejahatan
c. Jalan Jnana : membebaskan diri dari keterikana duniawi melalui
penguasaan Kitab Suci secara mantap.
d. Jalan Yoga: disiplin spiritual terhadap latihan-latihan fisik dan mental;
misalnya dengan posisi duduk bersila, latihan pernafasan untuk
meningkatkan konsentrasi, pemusatan pikiran pada patung dewa dan
menyampaikan mantra
2. 3. Agama Budha
Agama Buddha dirintis oleh Pangeran Sidharta Gautama (554-478 SM), dengan
orangtuanya Raja Sudhodana dan Ratu Maya, yang memerintah suku Sakya. Pangeran
Sidharta Gautama diberi gelar Buddha, yang berarti orang yang mencapai
penerangan sempurna. Umat Budha melihat kehidupan secara wajar dan jujur sesuai
dengan pengalaman bahwa hidup adalah dukkha. Bagaimana pun manusia tidak bisa
menghindar dari kenyataan adanya sakit, usia lanjut, kekecewaan, dan kematian.
Sikap ini bukanlah pesimistis, akan tetapi justru realistis.17
Umat Budha Indonesia yang menghayati konsep ketuhanan Sanghyang Adi
Budha, diharapkan memiliki perilaku sebagai berikut.
Metta : kasih sayang terhadap semua makhluk.
Karuna : siap sedia meringankan makhluk lain.
Mudita : turut berbahagia dengan kebahagiaan mahkluk lain tanpa benci dan irihati
Upekka : bersikap adil, diam, tenang dan penuh dengan kebijaksanaan yang
seimbang.
17
Huston Smith. Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999, hal. 106.
Umat Budha meyakini Empat Kebenaran Mulia, yaitu kebenaran tentang
dukkha (derita); kebenaran tentang asal mula penderitaan; kebenaran tentang
lenyapnya penderitaan dan kebenaran tentang jalan menuju hilangnya penderitaan.
Untuk melenyapkan penderitaan, ditawarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan (Hasta
Arya Marga), yaitu pengertian yang benar, pemikiran yang benar, ucapan yang benar,
perbuatan yang benar, pencarian nafkah yang benar, dan semadi/konsentrasi yang
benar.
Agar dapat berhasil memahami Empat Kebenaran dan Delapan Jalan,
diperlukan permenungan dan penyelidikan secara mendalam dan teliti, terlebih
melihat kehidupan secara wajar dan jujur. Perlu diperhatikan dan diwaspadai bahwa
penderitaan adalah akibat dari nafsu keinginan yang rendah (tanha) untuk menikmati
hidup dalam pelbagai bentuk.
Umat Budha berusaha melenyapkan nafsu/keinginan akan kenikmatan agar
penderitaan bisa berakhir atau lenyap.Dengan begitu, tercapailah nirwana (Nibbana),
suatu ketenangan yang mutlak disertai keyakinan akan adanya kebebasan yang
absolut. Keadaan nirwana dapat diibaratkan seperti padamnya cahaya lilin yang tertiup
angin atau padamnya api yang kehabisan bahan bakar. Nirwana dapat dicapai ketika
kitra masih hidup dan situasi ini tidak bisa dibayangkan oleh manusia yang masih erat
dengan hal-hal duniawi. Nirwana adalah kasunyataan mutlak, kekal, abadi, tidak
dikenal hal-hal yang bertentangan atau kontradiksi, lenyapnya semua nafsu,
berakhirnya semua penderitaan.
Bagi umat Budha, kebahagiaan dan kesengsaraan hidup dimaknai sebagai
akibat dari segala perbuatan (karma), ucapan dan pikiran di masa lalu. Dalam kitab
Dhammapada ada tertulis: ”Perbuatan tidaklah membeku seperti air susu yang
mengental, akan tetapi membara seperti api yang menjalar mengikuti si pembuat.
Siapa yang berbuat jahat, berpikir jahat dan berkata jahat, maka penderitaan akan
menimpanya, mengikutinya ibarat roda pedati yang mengikuti jejak lembu yang
menariknya; sebaliknya, siapa yang berbuat baik, berpikir baik, maupun berkata
baik, kebahagiaan akan menyusulnya ibarat bayangan tak terlepas dari benda yang
bersangkutan.”
2. 3. 1. Bikhu adalah tokoh spiritual
Demikian, Etika Budhisme sangatlah praktis dan konkret. Manusia harus
membebaskan diri dari rasa dendam dan benci. Yang harus diutamakan adalah rasa
kasih dan sayang terhadap semua mahkluk. Kebodohan dan egoisme adalah
penghalang untuk berbuat baik. Dengan membasmi egoisme, kita dapat mengurangi
penderitaan mahkluk lain dan berusaha membahagiakan mereka. Kebencian tidak
akan berakhir jika dibalas dengan kebencian; justru sebaliknya, kebencian dapat
berakhir hanya dengan kasih sayang dan cinta kasih. ” Balaslah si pemarah dengan
kesabaran, si penjahat dengan kebaikan, yang kikir dengan kedermawanan atau
murah hati dan pendusta dengan kejujuran.”
Pandangan hidup dan Etika Agama Budha dapat dipelajari dalam Kitab Suci
Tripitaka, yang terdiri atas tiga bagian:
Vinaya Pitaka : tentang Sangha (komunitas rahib).
Sutta Pitaka : berbagai ceramah yang diberikan oleh budha.
Abhimdhamma Pitaka : berisi analisis ajaran Budha.
2. 4. Agama Kristen
Agama Kristen terdiri dari banyak Gereja atau kelompok seperti Gereja Katolik,
Gereja Ortodoks Timur, Gereja anglikan dan Lutheran, Gereja Metodis, Bala
Keselamatan, Gereja Baptis, dan Gereja Quaker. Semuanya mempunyai ciri khas
yang sama, yaitu percaya pada Pribadi Yesus Kristus. Umat Kristiani mempunyai
hubungan khusus dengan Yesus yang diberi gelar Kristus, bahkan disebut Tuhan.
Murid-murid Yesus disebut Kristen di Antokhia, sekitar tahun 40 Masehi. ”Di
Antiokhialah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen” (Kis. 11:26).
Awalnya, mereka menyebut diri sebagai ”murid” atau ”saudara. Ungkapan kristen
mengandung arti yang amat mendalam, yakni bahwa Yesus Kristus adalah pokok
dan sumber iman mereka. Kristus (bahasa Yunani: ”Khristos”) atau Mesias (bahasa
Ibrani: ”MASYIAKH”) atau ”MESHIHA’ dalam bahasa Aram, berarti ”orang yang
diurapi”. Sedangkan Tuhan atau Kirios (bahasa Yunani) berarti orang terkemuka atau
terhormat.
Umat Kristen percaya bahwa Yesus adalah Sang Kristus dari Allah; Yesus
adalah Putra Allah dan Tuhan, Mesias, dan Juruselamat umat manusia. Nama “Yesus”
berasal dari bahasa Ibrani ( הֹושֻׁ ַעYĕhōšuă‘, Yosua) yang berarti “Yahweh
menyelamatkan” atau “Tuhan menyelamatkan”. “Kristus” adalah gelar yang berasal
dari bahasa Ibrani ַ(מָ ִׁשיחMesias) yang berarti “yang diurapi” atau “yang terpilih”.18
Gereja Katolik memiliki jumlah umat paling besar, yakni 1,2 miliar umat;
Kristen Protestan 360 juta umat, dan Gereja Ortodoks 170 juta umat. Gereja Kristen
Protestan terbesar adalah Gereja Anglikan, memiliki umat sebanyak 80 juta jiwa.
18
Tarigan Yacobus Pr. Religiositas, Agama dan Gereja Katolik. Jakarta: Grasindo, 2007, hal.42-48
Aliran-aliran dalam Agama Kristen: Lutheran, Calvinis, Baptis, Metodis, Pantekosta,
Kharismatik, Injili, Adventis.
2. 4. 1. Hirarki
Di dalam Gereja Katolik ada pejabat Gereja yang disebut hirarki. Istilah hirarki
berasal dari dua kata Yunani, yakni hieros yang berarti jabatan, atau kekuasaan; dan
archos yang berarti agung, suci, mulia. Jadi, hirarki adalah orang-orang yang
mendapat jabatan atau kekuasaan karena disucikan, yakni melalui pentahbisan.
Mereka itu adalah Diakon, Imam, dan Uskup. Sedangkan Paus adalah pemimpin
tertinggi umat Katolik yang berkedudukan di Roma. Ia dipilih melalui Konklaf. Dia
tidak ditahbiskan melainkan dilantik, karena sesungguhnya Paus adalah Uskup Roma.
Jadi, dia sudah mendapatkan tahbisan Uskup. Hirarki mempunyai kuasa mengajar di
dalam Gereja. Khusus Paus dalam kuasa mengajarnya dipercaya memiliki infalibilitas
(tidak bisa salah) bila ia mengeluarkan ajaran iman dan moral kepada umat Katolik.
2. 4. 3. Puasa
Puasa lengkap = tidak makan dan minum
”Setelah aku mendaki gunung untuk menerima loh-loh batu, loh-loh perjanjian yang
diikat TUHAN dengan kamu, maka aku tinggal empat puluh hari empat puluh malam
lamanya di gunung itu; roti tidak kumakan dan air tidak kuminum”
(Ulangan 9:9)
Puasa Normal =Tidak makan dan minum kecuali air putih
“ Tetapi Yesus menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi
dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah."
(Matius 4:4).
2. 4. 4. Kitab Suci
Terbagi dalam 2 bagian besar, yakni Kitab Suci Perjanjian Lama dan Kitab Suci
Perjanjian Baru, yang lebih dikenal dengan sebutan Injil. Walau dalam arti sempit Injil
adalah Kabar Gembira, dan sebagai tulisan ada 4 tulisan di dalam Perjanjian yang
disebut Injil, yakni Injil menurut Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes.
2. 4. 5. Hari Raya
Ada dua hari raya besar, yakni Natal dan Paskah. Namun di antara Natal dan Paskah
ada serangkaian hari raya lain, seperti Rabu Abu, Kamis Putih, Jumat Agung,
Kenaikan Tuhan, Pentakosta, dan hari raya Kristus Raja Semesta Alam.
5. Agama Islam
Makna kata Islam adalah masuk dalam perdamaian. Itu berarti, seorang Muslim
adalah orang yang damai dengan Allah dan damai dengan manusia. Tugas utama
Agama Islam adalah:
a. Mendatangkan perdamaian di dunia dengan membentuk persaudaraan di antara
sekalian agama di dunia,
b. Menghimpun segala kebenaran yang termuat dalam agama-agama terdahulu,
c. Membetulkan kesalahan-kesalahan dalam agama-agama, menyaring mana
yang benar dan mana yang palsu,
d. Mengajarkan kebenaran abadi, dan
e. Memenuhi segala kebutuhan moral dan rohani umat manusia. 19
Dalam Agama Islam terdapat dua rukun (dasar utama), yaitu Rukun Islam dan
Rukun Iman.
2. 5. 1. Rukun Islam
a. Rukun Iman: ”Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
RasulNya”.
b. Shalat (sembahyang) 5 (lima) kali sehari: Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib dan
Isya.
Setiap kali sembahyang, Umat Islam membacakan:
19
Huston Smith. Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 19999, hal 254.
c. ”Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam, Yang Maha Pemurah lagi
Penyayang, yang merajai hari perhitungan. Hanya Engkaulah yang kami
sembah, dan hanya Engkaulah kami memohon pertolongan, pimpinlah kami ke
jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi
Ni’mat, bukan jalan yang mereka dimurkai dan bukan juga jalan mereka yang
sesat.” (Al Faatihah, Surat ke 1:7 ayat).
d. Zakat: pemberian wajib setahun sekali sebesar 1/40 dari kekayaan dalam
setahun, yang diberikan kepada orang miskin, untuk pembinaan iman, untuk
menebus budak belian, untuk pengembangan Agama Islam.
a. Zakat fitrah adalah zakat yang harus dibayar pada hari puasa terakhir.
Sedekah berbeda dengan zakat, karena sedekah adalah pemberian
sukarela; bantuan, pertolongan atau dana sosial di luar zakat dan zakat
fitrah.
e. Puasa dalam bulan Ramadhan: tidak makan dan tidak minum mulai pada
saat akan terbit matahari sampai saat terbenamnya.
f. Haji: Ibadah ke Mekkah pada bulan Zulhijjah, diteruskan ke Madinah untuk
berziarah ke makam nabi Muhhamad.
2. 5. 2. Rukun Iman
a. Percaya kepada Allah
b. Percaya kepada Malaikat-malaikat: Jibrail, Mikael, Israfil, Israil, Munkar dan
Nakir, Raqib dan Atib, Ridwan, Zabaniah.
c. Percaya pada Kitab-kitab Allah: Taurat, Zabur, Injil, Alquran. Dipercayai
bahwa Al-Quran diturunkan kepada nabi Muhammad, yang merupakan
kutipan dari Kitab Induk Surgawi (Lauh al-mahfudz).
d. Percaya kepada rasul-rasul Allah: Adam, Idris, Nuh, Ibrahim, Ismail, Ishaq,
Yahya, Isa, dan Muhammad. Muhammad adalah rasul (utusan) Allah dan
penutup dari semua nabi.
e. Percaya pada hari kiamat.
f. Percaya pada takdir: semua yang terjadi dan akan terjadi, sudah diketahui
Allah SWT.
6. Agama Konghucu
Agama Konghucu merupakan pelembagaan atas ajaran Konfusius (551 SM –
479 SM)di Tiongkok. Konfusius terkenal dengan ajaran-ajaran moral dan filsafatnya.
Tidak mengherankan jika ajarannya menyebar pesat di Jepang, Korea, Vietnam, dan
juga Indonesia.
Pada masa akhir Orde Lama dan awal Orde Baru penganut agama Konghucu
tidak mendapatkan tempat oleh pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Diskriminasi
umat Konghuchu saat diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967
Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina yang dikeluarkan oleh presiden
Soekarno. Meski demikian, agama Konghucu tetap diakui. Hal demikian tercantum
dalam Penetapan Presiden Nomor 1/Pn. Ps/ Tahun 1965 dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1969 yang mengakui adanya enam agama di Indonesia yaitu: Islam,
Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.
Pada masa Orde Baru, presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden
Nomor 1470/1978 yang berisi bahwa pemerintah hanya mengakui lima agama yaitu
Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Dengan demikian keberadaan Konghucu
tidak diakui di Indonesia. Namun demikian, sejak era Reformasi presiden KH.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui UU No 1/Pn.Ps/1965 mengakui Konghucu
sebagai salah satu agama di Indonesia.
Penutup
Dengan menyimak materi tentang paham ketuhanan ini bisa dipahami kalau
terjadi gesekan di sana-sini atau bahkan yang tidak bisa menghargai paham ketuhanan
sesamanya yang berbeda agama dan keyakinannya malah ada yang saling mengejek
atau menjelek-jelekkan. Hal itu tidak perlu terjadi kalau kita bisa memahami bahwa
paham ketuhanan dalam setiap agama itu diajarkan sesuai dengan kaidah iman agama
masing-masing.
Semua agama, pada dasarnya mengajarkan, mengusung, mewartakan nilai-nilai
kehidupan universal sebagaimana dihabituasikan oleh Living Values: An Educational
Program20, dalam rangka mengembangkan kehidupan manusia yang transcendental
dan kehidupan bersama damai dan sejahtera.
Demikin sikap dan perlaku yang terbaik dan yang harua kita wujudkan dalam
kehidupan kita sehari-hari menghormati dan menghargai paham ketuhanan yang
dianut oleh umat lain; dan mencoba memahami sesuai dengan ajaran agama kita
masing-masing, agar kita dapat hidup bersama, saling membantu, bekerjasama dalam
mewujudkan kehidupan bersama yang damai, sejahtera dan bahagia yang kita cita-
citakan bersama.
Penutup
Mengakhiri pembahasan tentang paham ketuhanan ini kita dapat melihat dinamika
perkembangan paham ketuhanan dari periode yang paling awal dalam paham
dinamisme hingga ke paham ketuhanan sebagaimana diajarkan oleh agama-agama
20
Diane Tilman. Living Values Activities for Young Adult; Pendidikan Nilai untuk Kaum Dewasa
Muda. Jakarta: PT Grasindo, 20004
besar yang dianut di Indonesia, seperti Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan
Konghucu. Sebetulnya masih terserak luas paham ketuhanan di dalam agama-agama
kecil atau agama suku, namun tidak memungkinkan semuanya diulas di sini.
Cukuplah disajikan paham ketuhanan seperti yang telah dipaparkan di atas dengan
harapan kita pun sebagai mahasiswa perlu terus mendinamisir pemahaman kita akan
ketuhanan kita seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman
hidup kita agar paham ketuhanan kita tidak mandul atau mandeg tanpa berimplikasi
pada kehidupan real kita sehari-hari dalam masyarakat, apalagi menyadari akan makin
merebaknya ancaman gerakan radikalisme dan fanatisme di mana-mana. Tantangan
seperti itu hendaknya menjadi tantangan bagi kita sebagai kaum terdidik untuk
mengkaji lebih dalam paham ketuhanan kita sesuai kaidah dan ajaran agama masing-
masing sehingga kita juga bisa saling menghargai paham ketuhanan orang lain yang
berbeda agama dan keyakinannya. Dengan demikian terciptalah kehidupan umat
beragama yang rukun dan bersatu pada dalam keanekaragaman paham ketuhanan
yang ada di Indonesia.
Pertanyaan Reflekif
1.Jelaskan pokok-pokok paham ketuhanan dan nilai-nilai kehidupan yang ditawarkan oleh ke
agama besar tersebut?!
2.Dari pelbagai penggambaran tentang Tuhan, manakah yang masih sulit Anda pahami dan
bagaimana Anda menyikapinya?
3.Seperti apapun gambaran Anda tentang Tuhan, namun bagaimana agar gambaran Anda
tentang Tuhan itu semakin berperan di dalam kehidupan Anda?
4.Tuliskan pengalaman tentang Tuhan yang pernah Anda rasakan dan ungkapkan juga
dampak dari pengalaman tersebut bagi pembentukan Anda sebagai orang beriman dan
beragama.
Kegiatan Belajar
1.Bertanyalah kepada teman-teman Anda yang Bergama lain, agar pengetahuan dan
pemahaman Anda tentang hakekat ketuhanan dan nilai-nilai kehidupan yang diajarkan oleh
agama tersebut semakin komprehensif. Bertanyalah tentang: a) Sejarahnya, b) Ajaran tentang
kehidupan personal, c) Ajaran tentang kehidupan social, dan d) Ajaran tentang perbedaan.
2.Hal yang sama dapat Anda peroleh pada kunjungan ke tokoh pelbagai agama, baik secara
pribadi maupun secara kelompok. Buat laporan tertulis tentang hakekat paham ketuhanan dan
nilai-nilai kehidupan yang diajarkan pada/oleh pelbagai agama tersebut.
3.Pilihlah satu nilai kehidupan dari nilai-nilai kehidupan yang diajarkan oleh agama Anda;
buatlah program pribadi pembisaan nilai kehidupan tersebut dan laksanakan selama beberapa
minggu ke depan; pada bab 7, Anda diminta untuk mensharingkan pelaksnaan pembiasaan
nilai kehidupan tersebut kepada teman-teman kelas Anda.
Glosarium
Animisme: kepercayaan bahwa alam itu sebagai sesuatu yang hidup dan karena
memiliki roh/jiwa (= anima)
Atma: bagian terdalam dari diri manusia, yang berasal dari yang mutlak dan
akan kembali bersatu dengan Allah sebagai yang mutlak.
Atman: unsur Brahman dalam diri setiap manusia.
Brahman: kekuatan suci yang menyangga segala sesuatu yang ada, atau aspek
batiniah dari alam semesta.
Chun-Tzu: kemanusiaan yang benar (gentleman). Bersama orang-orang ini dunia
menuju perdamaian. Sebaliknya, bersama manusia berjiwa kerdil (kasar
dan picik) dunia tak akan pernah damai.
Dinamisme: kepercayaan bahwa alam itu memiliki daya yang luar biasa yang
melampaui daya-daya manusiawi.
Henoteisme: kepercayaan akan banyak dewa-dewi, namun pada kurun waktu
tertentu ada yang menjadi pemimpinnya (henoteisme waktu),
sedangkan Henoteisme tempat adalah kepercayaan akan banyak dewa-
dewi, namun untuk tempat-tempat tertentu penguasanya adalah dewa-
dewi tertentu, dan Henoteisme koordinasi adalah kepercayaan akan
banyak dewa-dewi, namun di antara dewa-dewi itu ada yang menjadi
koordinatornya.
Hirarki: orang-orang yang mendapat jabatan atau kekuasaan karena disucikan,
atau karena mendapatkan pentahbisan. Mereka itu adalah Diakon,
Imam, dan Uskup.
Islam: masuk dalam perdamaian. Itu berarti, seorang Muslim adalah orang
yang damai dengan Allah dan damai dengan manusia.
Jen: hubungan ideal yang harus ada di antara manusia, seperti kebaikan,
kemurahan hati, manusiawi.
Karuna: siap sedia meringankan makhluk lain.
Li: cara yang seharusnya dilakukan, semacam “tata krama.” Orang harus
satu antara kata-kata, pikiran, dan perbuatan/kenyataan objektif.
Metta: kasih sayang terhadap semua makhluk.
Mokhsha: pembebasan dari reinkarnasi yang tidak berkesudahan (samsara).
Monoteisme: kepercayaan akan adanya satu Allah/Tuhan saja.
Mudita: turut berbahagia dengan kebahagiaan mahkluk lain tanpa benci dan iri
hati
Ngaben: upacara pembakaran mayat yang dipercayai umat hindu sebagai
upacara yang membebaskan jiwa manusia untuk mencapai tingkat yang
lebih sempurna.
Nirwana (Nibbana): suatu pencapaian kondisi ketenangan yang mutlak disertai
keyakinan akan adanya kebebasan yang absolut.
Politeisme: kepercayaan bahwa bagian-bagian alam yang ber-roh itu memiliki
nama sebagai pribadi (person), seperti Dewa Bulan, Dewa Matahari,
Dewa Bumi, Dewa Langit, Dewa Angin, Dewa Laut, dan sebagainya
sesuai dengan wilayah kekuasaannya.
Sakramen: tanda kelihatan dari rahmat Allah yang tidak kelihatan, sehingga
dengan menerima Sakramen, seseorang menerima rahmat tertentu dan
berjanji untuk hidup setia kepada Yesus Kristus sang pengatara rahmat.
Sulinggih: orang yang telah dilantik untuk melaksanakan upacara. Sulinggih yang
berasal dari kasta Brahmana disebut pedanda; dari kasta Satria disebut
resi.
Tanha: nafsu atau keinginan yang rendah.
Te: kekuatan yang muncul akibat kebajikan. Suatu dasar dari pemerintahan
yang arif dan bijaksana.
Trimurti: Tuhan Yang Esa yang mewujud dalam Brahmana (yang menciptakan),
Wisnu (yang melindungi, memelihara), dan Siwa (yang melebur segala
yang ada).
Upekka: bersikap adil, diam, tenang dan penuh dengan kebijaksanaan yang
seimbang.
Wen: “seni perdamaian” yang berkaitan dengan musik, seni lukis, puisi,
merangkai bunga, segala produk budaya yang bersifat estetis.
Zakat: pemberian wajib setahun sekali sebesar 1/40 dari kekayaan dalam
setahun, yang diberikan kepada orang miskin, untuk pembinaan iman,
untuk menebus budak belian, untuk pengembangan Agama Islam.
BAB 3
AGAMA KRISTEN
Tujuan Pembelajaran:
1. Memahami dan menjelaskan hakikat paham ketuhanan di dalam Agama Kristen
2. Memhami dan menjelaskan nilai-nilai kehidupan yang diajarkan dan ditawarkan oleh Agama
Kristen dalam membangun manusia yang religius.
3. Menghargai hakikat penghayatan iman Kristen serta nilai-nilai kehidupan yang diajarkan atau
ditawarkan.
Metode:
1. Presentasi
2. Diskusi
3. Tanya Jawab
Waktu: 100 menit
Media/Alat Bantu:
• White Board
• Infokus
• Spidol
• Gambar/film/video
Bahan Bacaan:
• Subagya Petrus Damianus et.al. Pendidikan Religiositas. Jakarta: UMN Press, 2017.
• Huston Smith. Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1999.
• Magnis Suseno F. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
• Tim Dosen Religiositas UMN. Religiositas, Agama dan Pendidikan Nilai. Jakarta: Grasindo,
2010.
• Sikap Religius Pada Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.1986
• Mariyanto, Ernest. Simbol, Maknanya dalam Kehidupan Sehari-hari dan Liturgi. Malang:
Dioma, 2002
• Tarigan, Yakobus Pr. Religiositas, Agama dan Gereja Katolik . Jakarta: Grasindo,2007.
3.1 Pengantar
Di tengah-tengah atau di antara pelbagai agama yang ada di muka bumi ini, yang
pola penghayatan ketuhanannya sama dengan agama-agama asli seperti Aliran
Kepercayaan, Agama Hindu, Agama Budha dan Agama Khong Hu Cu, muncul
agama-agama yang pola penghayatan ketuhanannya sangat khas dan berbeda. Sebuah
tradisi yang meyakini peristiwa unik sebagai dasar pola penghayatan ketuhanan yang
baru.21 Yakni Yahwe atau Allah yang memanggil Abraham, nenek moyang Bangsa
Israel. Pola paham ketuhanannya bukan lagi kesatuan segalanya di mana seluruh
suasana alami yang syarat dengan unsur-unsur gaib yang lalu dipersonifiksikan
sebagai dewa-dewi atau roh-roh tertentu. Akan tetapi, Abraham merasa telah
dipanggil secara pribadi oleh Tuhan yng namanya Yahwe atau Allah. Agama itu
adalah Yudaisme.
Yahwe pada awalnya belum Allah satu-satunya bagi umat Yahudi (keturungan
Bangsa Israel). Maksudnya, ada dewa-dewi lain, makin tidak berarti atau sepadan
dibandingkan dengan Yahwe, Allah yang memanggil Abraham, nenek moyang
Bangsa Israel.Yahwe tidak terikat pada waktu atau tempat tertentu. Ia diyakini sebagai
Tuhan atas bangsa-bangsa dan sejarah keselamatan untuk seluruh umat manusia dan
akan melaksanakannnya. Ia mengadakan hubungan dialogis dan personal kepada
bangsaNya.
Dalam perkembangan selanjutnya, Bangsa Israel sampai pada keyakinan bahwa
Yahwe adalah yang Maha Esa. Umat Yahudi (keturunan Bangsa Isarel) menjadi
monoteis. Dari pola penghayatan ketuhanan bahwa Yahwelah Tuhan Israel, Umat
Yahudi mulai percaya (yakin) hanya Yahwelah Allah Israel; dewa-dewi lain tidak ada
artinya. Pola penghayatan ketuhanan yang Illhi (Yang Transenden) sebagai Allah
Yang Esa dalam perkembangan selanjutnya mendasari dua agama monoteis besar
yang menyempal dari rumpun Yahudi, yakni agama Kristen dan agama Islam. 22
21
Frans Magnis Suseno. Menalar Tuhan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006, hal 37-39.
22
Ibid., hal. 38-39
Kristen Protestan 360 juta umat, Gereja Kristen Ortodoks 170 juta umat dan Gereja
Kristen Anglikan 80 juta umat.
Pada dasarnya, Agama Kristen yang kini sudah berusia lebih dari 2000 tahun
ini merupakan agama sejarah. Landasan utama Agama Kristen ini bukan terletak pada
hal-hal yang bersifat umum, akan tetapi didasarkan pada kejadian-kejadian nyata.
Peristiwa paling penting dari rangkaian peristiwa yang mendasari Agama Kristen ini
adalah Kisah Kehidupan Yesus Anak Yusuf, seorang tukang kayu yang tidak dikenal,
yang menikahi Maria. Yesus dan bukannya sebagai pahlawan. Tidak meninggalkan
harta apapun, idak mengikuti pendidikan, tidak menulis buku, tidak memiliki pasukan.
Meskipun demikian, tanggal lahirNya diingat oleh seluruh dunia dan saat
kematianNya diperingati dengan palang salib di seluruh pelosok dunia.
23
Tarigan Yacobus Pr. Religiositas, Agama dan Gereja Katolik, Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2007, hal. 75.
Yesus adalah pribadi yang sungguh luar biasa dan tidak ada bandingnya. Yang walau
pun muncul sebagai seorang tak dikenal, Ia kemudian melangkah maju sebagai pribadi
yang sungguh mengagumkan. Para rasul dan atau para murid yang akrab dengan Dia
secara perlahan-lahan merasa amat terpukau dengan apa yang mereka saksikan.
Sehinga mereka menjadi sangat yakin dan percaya bahwa Yesus adalah Tuhan, Putra
Allah, Mesias, dan Juru Selamat umat manusia. 24
Pengakuan pertama terhadap perananNya sebagai Sang Penebus atau Juru
Selamat umat datang seluruh kesan yang ditimbulkan (hidup dan karyaNya) kepada
para pengikutNya. Tidak pernah ada tokoh dalam sejarah yang lebih dimuliakan dari
beliau-beliau yang memuliakan Yesus daripada generasi sezamannya sendiri, yaitu
generasi Petrus, Yohanes, dan Paulus. Sudah pasti ada hal-hal mendasar yang ada
dalam diri dan kehidupan Tuhan Yesus, yang ”memaksa” para murid yang
mengenalNya dari dekat dan yang kemudian para pengikutnya yang saat ini tidak
kurang dari sepertiga penduduk dunia ini, sampai pada kesimpulan dan keyakinan
bahwa Yesus adalah Tuhan, Kristus, Putera Allah, dan Juru Selamat umat manusia.
Paling tidak ada tiga hal mendasar yang membuat para murid dan mereka
yang akrab dengannya sampai pada kesimpulan dan keyakinan itu; antara lain: apa
yang Ia perbuat (karyaNya), apa Ia katakan dan Diri Pribadi Yesus.
3. 3. 1. Karya Yesus
Kitab Suci Perjanjian Baru, utama Injil, penuh dengan testimoni; puji-
pujian terhadap karya Yesus yang sungguh mengagumkan. Halaman demi halaman
kitab ini, khususnya dalam Injil Markus, penuh dengan peristiwa ajaib atau mukjijat.
Yang sungguh sangat mengagumkan, bukan hal-hal itu yang menjadi titik berat
perhatian Yesus, akan tetapi Kasih Allah Bapa yang harus diteruskan atau dibagi
kepada orang lain; di mana pun dan kapan pun.Itulah tugas mulia yang diembanNya
dari Bapa di surga, ”Menyelamatkan umat manusia”. Yesus tidak pernah mengunakan
mukjijat-mukjijat yang dilakukanNya sebagai sarana untuk meyakinkan orang
24
Subagya Petrus Damianus dan Tim Dosen UMN. Religiositas, Jakarta: Penerbit UMN Press,
2017, hal 139-140.
mengenai siapakah Dia. Tidak pernh sekali pun Ia berusaha untuk membuat orang
lain kagum, mendesak atau menyiksa orang lain agar percaya kepadaNya.25
Petrus, salah seorang dari 12 rasul atau muridNya meringkaskan dan
menjelaskan seluruh karya Tuhan Yesus dalam hidupNya dalam lima kata yang padat:
”Ia berkeliling sambil berbuat baik”. Sangat sederhana kalimat itu, namun memang
sukar untuk mencari kalimat yang lebih baik lagi. Secara biasa dan tanpa rikuh, Tuhan
Yesus bergaul dengan orang-orang menderita dalam masyarakat, dengan perempuan
tuna susila, dengan para pemungut cukai. Melalui upaya penyembuhan dan dengan
membantu mereka yang berada dalam keadaan putus asa yang amat sangat, serta
dengan memberikan nasehat di saat mereka sedang berada dalam keadaan kritis, Ia
berkeliling sambil berbuat baik, berbuat kasih.
Yesus berkeliling sambil berbuat kasih dengan kesungguhan adan
ketulusan hati dan memang dengan hasil yang baik, sehingga orang-orang yang berada
di sekitarNya, dari hari ke hari merasa bahwa pandangan mereka terhadap beliau
berubah sama sekali. Mereka akhirnya berpikir dan yakin bahwa jika Tuhan yang
merupakan kebaikan sejati, akan mengambil wujud manusia, inilah perbuatanNya
sebagai manusia.
25
Huston Smith. Agama-Agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1999, hal 356-365.
menyengsarakan anda, potonglah. Jika mata anda merupakan rintangan antara diri
anda dengan hal-hal terbaik, cungkilah”.
Yesus selalu berbicara tentang unta-unta yang masuk melalui lubang jarum,
tentang orang-orang yang gigih mencari nyamuk yang terdapat dalam gelas
minumannya dan lupa pada unta-unta yang masuk lewat kerongkongan mereka. Ia
berbicara tentang orang-orang yang hidup malang. Itu semua bukan sekedar gaya
retoris, yang secara cerdas ditambahkan untuk memperoleh efek yang diinginkan.
Namun bahasa tersebut sungguh merupakan bagian atau ungkapan dari pribadi Yesus;
bersumber dan mengalir dari dorongan jiwa dan semangat keyakinanNya.
Kata-kata Yesus yang paling sering diingat dan diulang kembali di dunia ini,
antara lain: ”Cintailah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”; ”Lakukanlah
terhadap orang lain apa yang anda lakukan terhadap diri sendiri”; ”Datangah
kepadaKu, kamu semua yang letih dan berbeban berat dan aku akan menyegarkn
kamu”; ”Carilah kebenaran, maka kebenaran itu akan memerdekakan kamu”. Di
samping itu, Ia juga sering mengajar melalui ceritera-perumpamaan seperti: harta
terpendam, para penabur benih, pedagang mutiara, orang Samaria yang baik hati,
seorang pemuda yang kehilangan seluruh harta warisanya dengan berpoya-poya dan
kemudian terpaksa mengisi perutnya dengan potongan makan babi. Kisah-kisah itu
saat ini sudah sangat populer di seluruh dunia. Nah, para murid dan orang-orang yang
mendengar untuk pertama kalinya hatinya sedemikian rupa sehingga berteriak:
”Belum pernah ada orang yang berbicara demikian.”
Dalam dan melalui Kitab Suci Perjanjian Baru, Yesus (yang kemudian
dilanjutkan oleh para rasul dan para muridNya) mendidik umat manusia untuk
mengasihi Allah dan sesama manusia; bahkan diajarkan untuk tidak melawan
kejahatan orang lain terhadap diri kita; kita malahan disuruh untuk memberikan pipi
kita yang lain. Sementara dunia biasanya branggapan bahwa kejahatan orang lain
harus dilawan dengan sekuat tenaga dan dengan cara apa pun. Yesus mengajar kita
untuk mencintai musuh-musuh kita dan berdoa mohon kebaikan bagi mereka yang
mengutuk kita. Semntara dunia mengajarkan agar sahabat kitalh yang harus kita cintai
dan musuh harus kita benci. Kepada kita diajarkan bahwa matahari diterbitkan Allah
bagi mereka yang bersifat adil maupun bagi mereka yangtidak jujur. Dunia menolak
hal itu, karena seyogianya matahari hanya terbit bagi mereka yang berlaku adil saja,
dan seterunya masih banyak lagi. Jika kita dapat merasakan dampak kata-kata dan
ajaran Yesus yang asli, maka kita un akan merasakan terkejut dan kagum terhadap
sabda dan ajaran Yesus ini. Keindahan tidak akan dapat menutupi kenyataan-
kenyataan bahwa kata-kata Yesus tersebut adalah sangat keras. Tapi jika dilihat dan
dipahami secara keseluruhan, baik perumpamaan-perumpaan, sabda bahagia,
maupun kata-kata Yesus, ibarat suatu permukaan kaca bakar yang mengajak
manusia untuk dan memusatkan perhatiannya pada dua hal yang paling penting dalam
kehidupan ini. Yaitu tentang cinta Allah Bapa yang tidak ada habis-habisnya
kepada manusia; dan tetang perlunya manusia menerima cinta Allah Bapa itu
untuk kemudian diteruskan kepada sesamanya.
“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, manaruh pikiran dan perasaan yang
terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak
mnganggap kesetaraanNya dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,
elainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba
dan menjadi sama seperti manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah
merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib. Itualah
sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan menganugerahkan kepadaNya nama di
atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuklutut segala yang ada di langit
dan yang ada di bumi dan yang ada di bawah bumi dan segala lidah mengakui:
“Yesus Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah Bapa”. (Fil 2 : 6-11)
26
Tarigan Yacobus Pr. Religiositas, Agama dan Gereja Katolik. Jakarta: Gramedia
Widiasrana Indonesia, 2007, hal 76-79.
3. 3. 4. Kitab Suci
Umat Kristen (Katolik dan Protestan) dapat mengetahui pewartaan dan karya
Yesus Kristus melaui Kitab Suci, terlebih Kitab Suci Perjanjian Baru. Kitab Suci
adalah pewartaan kabar gembira (Injil) yang membuku dan mengkristal , yang
menjadi pedoman, ukuran, dan pegangan hidup seluruh umat Kristiani. 27
Peristiwa-peristiwa dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dipenuhi dalam Kitab
Suci Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama dapat ditelusuri rencana keselamatan
Allah sejak penciptaan dunia sampai pada saat bangsa Israel menantikan kedatangan
Sang Mesias. Terdapat 46 kitab dalam Perjanjian Lama. Kitab Suci Perjanjian Baru
terdiri dari 27 kitab, dari Injil Mateus sampai Wahyu kepada Yohanes. Bisa dikatakan
bahwa Kitab Suci Perjanjian Baru menjelaskan makna dan maksud sebenarnya dari
Kitab Suci Perjanjian Lama. Sedangkan Kitab Suci Perjanjian Lama merupakan
persiapan yang perlu untuk memahami makn dan maksud Kitab Suci Perjanjian Baru.
Di antara semua kitab suci, yang menduduki tempat istimewa adalah Kitab Injil
(Injil Mateus, Markus, Lukas dan Yohanes). Karena Injil merupakan kesaksian utama
tentang hidup, karya, dan ajaran Sabda Tuhan Yesus Kristus, Sang Juru Selamat umat
manusia.
3. 3. 5. Sakramen
Sakramen adalah suatu kesepakatan antara manusia dengan Tuhan Allah,
sehingga dengan menerima Sakramen, seseorang berjanji untuk hidup setia kepada
Yesus Kristus. Sebagai sumpah kesetiaan orang-orang percaya kepada TuhanYesus
Kristus.28
Dalam Gereja Katolik ada 7 sakramen; mengikuti irama hidup manusia, yakni
kelahiran (sakramen baptis), makan-minum untuk pertumbuhan (sakramen ekaristi),
sehingga menjadi kuat dan dewasa/sadar akan yang baik dan yang buruk (sakramen
penguatan/krisma), bertobat dari salah dan dosa (sakramen tobat), menentukan pilihan
hidup: menikah (sakramen perkawinan) atau selibat/tak kawin (sakramen imamat),
dan menjadi lemah / sakit dalam proses hidup (sakramen pengurapan orang sakit).
27
C.Groenen. Panggilan Hidup Kristen. Yogyakarta: Kanisius. 1979: hal 14.
28
Tarigan Yacobus Pr. Religiositas, Agama dan Gereja Katolik. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2007, hal 126-129.
Dalam Gereja Protestan ada 2 sakramen, yaitu (1).Baptisan; Berasal dari kata
Baptizzo (bahasa Yunani), yang artinya dimandikan, dibersihkan,atau diselamkan.
(2).Perjamuan Kudu Sakramen ditetapkan Tuhan Yesus untuk menguatkan dengan
sesama orang percaya, Seluruh umatNya, atau segenap keluarga Allah, di semua
tempat dan segala zaman.
Penutup
Sebagai penutup dari uraian tetang Agama Kristen di atas, kita dapat mencatat
beberapa point pokok, sebagai berikut:
1. Agama Kristen, bersama Agama Yahudi dan Agama Islam merupakan satu rumpun
agama Abrahamistik atau agama samawi. Bermula atau bertolak dari panggilan
Abraham oleh Yahwe ini muncul penghayatan ketuhanan baru dalam kehidupan
umat yang kemudian menjadi pola penghayatan khas tiga agama Abrahamistik:
Agama Yahudi, Agama Kristiani , dan Agama Islam. Tiga pola penghayatan
ketuhanan khas agama Abrahamistik tersebut adalah: (1) Allah memanggil secara
personal seseorang (Abraham) dan mulailah sebuah rencana keselamatan. (2) Allah
adalah satu-satunya Tuhan (monoteis). Dan (3) Allah adalah Pencipta langit dan
bumi dan segala isinya. Alah bertahta di atas langit dan bumi, dan bukan
bagiannya.
2. Agama Kristen (Katolik dan Protestan) terdiri dari banyak Gereja. Tapi semua
Gereja Kristen mempunyai cirri khas yang sama, yaitu percaya pada Pribadi
Yesus. Umat Kristiani mengimani Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru
Selamat umat manusia; demikian, Yesus Kristus menjadi pokok dan sumber
iman mereka.
3. Iman Umat Kristiani didasarkan pada sabda, karya dan terutama diri Pribadi
Yesus Kristus sendiri, yang dialami dan dirasakan oleh para murid dan umat pada
saat itu; seluruh kehidupan Yesus , dan teristimewa dalam sengsara, wafat dan
kebangkitaNya, sungguh mewujudkan Wahyu Allah (Ibr 1:1-3). Dalam dan
melalui Yesus, Allah Bapa Yang Maha Rahim itu hadir ke dunia untuk
menyelamatkan umat manusia (Fil 2: 6-11). Wafat dan kebangkitan Yesus itu
sungguh sesuai dengan kitab suci, dan dengan demikian memang sesuai dengan
karya dan rencana keselamatan Allah Bapa di surga.
4. Tugas pokok (tugas mulia) Gereja adalah (bersama dengan Yesus Kristus Yang
Bangkit) adalah melanjutkan karya Yesus Kristus, yaitu mewartakan kabar gembira
“Kerajaan Allah” kepada umat manusia. Bahwa Kerajaan Allah itu sudah dekat
sekali, maka perlulah manusia bertobat (Mrk 1:15). Bertobat berarti meninggalkan
dosa-dosanya, dan berbalik kembali kepada Alah yang maharahim. Yesus sendiri
menghengaki agar semua orang dibaptis: “.. karena itu pergilah, jadikanlah semua
bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus
(Mat 28:19).
5. Tiga nilai kehidupan utama yang diajarkan oleh Yesus dan yang harus
dilaksanakan dan dibagi kepada sesama adalah iman, harapan dan kasih. Di
antara ketiga nilai keutamaan Kristiani tersebut yang paling besar adalah kasih.
Seluruh halaman Kitab Suci Perjanjian Baru, utamanya keempat Injil (Matius,
Markus, Lukas, dan Yohanes), ketiga nilai kehidupan itu terwujud dalam seluruh
karya, sabda, ajaran dan diri pribadi Yesus.
Pertanyaan Reflektif
1. Sebutkan dan jelaskanlah hal-hal mendasar yang mendorong lahirkan Agama
Kristen ?
2. Jelaskanlah pokok-pokok penghayatan ketuhanan pada Agama Kristen?
3. Jelaskanlah nilai-nilai kehidupan yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dan yang
harus dilaksankan dan diwartakan oleh umat Kristiani?
Kegiatan Belajar
1. Bertanyalah kepada teman-teman Anda yang Bergama lain, agar pengetahuan dan
pemahaman Anda tentang hakekat ketuhanan dan nilai-nilai kehidupan yang
diajarkan oleh agama tersebut semakin komprehensif. Bertanyalah tentang: a)
Sejarah, b) Ajaran tentang ehidupan personal, c) Ajaran tentang kehidupan social,
d) Ajaran tentang perbedaan.
2. Hal yang sama dapat Anda peroleh pada kunjungan ke tokoh pelbagai agama,
baik secara pribadi maupun secara kelompok. Laporan tertulis dari kunjungan
dan wawancara dengan tokoh agama tersebut yang akan dipresentasikan pada
pertemuan di kelas.
3. Pilihlah satu nilai kehidupan dari nilai-nilai kehidupan yang diajarkan oleh agama
Anda; buatlah program pribadi pembisaan nilai kehidupan tersebut dan
laksanakan selama beberapa minggu ke depan; pada pertemuan ke 7, Anda
diminta untuk mensharingkan pelaksanaan pembiasaan nilai kehidupan tersebut
kepada teman-teman kelas Anda.
BAB 4
Sejarah Agama Islam
Tujuan:
1. Mahasiswa mampu menguraikan agama Islam (C4)
2. Mahasiswa mampu menganalisis ajaran-ajaran agama (C5)
Metode:
1. Ceramah
2. Diskusi
3. Tanya jawab
Waktu: 100 menit
Media/Alat bantu:
• White-board
• Infocus
• Spidol
• Gambar/film
Bahan Bacaan:
• Armstrong, Karen. Islam: A Short History, New York: Modern Library, 2002.
• Bagir, Haidar. Islam Tuhan Islam Manusia, Bandung: Mizan Media Utama, 2018.
• Bisri, M. Mustofa. Saleh Ritual, Saleh Sosial, Yogyakarta: Diva Press, 2019.
• Hanafi, Hasan & Nurcholish Madjid. Islam Dan Humanisme,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016.
• Madjid, Nurcholish. Islam Kemoderan Dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan Pustaka, 2008.
• ------------------------, Islam Agama Peradaban, Jakarta: Paramadina – Dian Rakyat, 2015.
• Menzies, Allan. History of Religion, Yogyakarta: Indoliterasi, 2015.
• Ridwan, Nur Kholik. Ajaran-Ajaran Gus Dur, Yogyakarta: Noktah, 2019.
• Shihab, M. Quraish. Islam Yang Saya Anut - Dasar-Dasar Ajaran Islam, Tangerang: Lentera Hati,
2018.
• Smith, Huston. Agama-Agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
• Tim Penulis Dosen Religiositas UMN, Pendidikan Nilai dan Religiositas, Jakarta: UMN Press,
2013.
• Wahid, Abdulrrahman. Islamku Islam Anda Islam Kita, Jakarta: Gramedia, 2015.
• Wahid, Abddurrahman & Daisaku Ikeda. Dialog Peradaban Untuk Toleransi Dan Perdamaian,
Jakarta: Gramedia, 2011.
4. 1. PENGANTAR:
Bentuk dan gambaran Islam sebagai agama tidak lepas dari nilai-nilai ajaran
yang terkandung di dalamnya. Dalam ajaran itulah, Islam memperkenalkan diri serta
memperlihatkan akan wajahnya. Wajah Islam akan nampak seperti apa, semuanya
tidak lepas dari umat Islam sendiri. Karena di situlah wajah Islam itu dilukis dan
diperlihatkan. Wajah Islam bukan terlihat pada indahnya ayat-ayat suci yang tertata
rapi di setiap lembaran-lembaran kertas kitab sucinya, tetapi pada praktik hidup dari
para penganutnya. Dalam tataran inilah pemahaman dan wawasan nilai-nilai
keagamaan yang mempuni menjadi sebuah kebutuhan dan sekaligus keharusan.
Pemahaman dan wawasan nilai-nilai keagamaan yang mumpuni merupakan
kunci untuk umat Islam bisa sampai kepada tujuan pokok dari keberagamaan itu
sendiri, yaitu untuk meraih rahmat Tuhan dan juga rahmatan lil’alamin (rahmat bagi
seluruh alam). Sebaliknya pemahaman yang terbatas dan cenderung sempit akan
menjadi pintu munculnya manusia-manusia yang beragama, tetapi tanpa iman dan
taqwa. Tanpa adanya keimanan dan ketaqwaan, agama akan menjadi tumpul,
kehilangan fungsi, sekaligus kehilangan “nyawanya”. Ketika agama kehilangan
nyawanya, maka agama akan menjadi “mati” sehingga walaupun ia ada, namun ia tak
akan memberi arti apa-apa bagi pemeluknya.
Agama punya fungsi untuk menolong manusia mencari dan sekaligus
menemukan arti kehidupan. Fungsi ini hanya akan bisa termaknai secara benar, hanya
pada saat keberagamaan itu di hidupi dengan baik oleh para penganutnya. Ketika
penganut agama telah sampai pada tahapan menghidupi keagamaannya, maka ia buka
lagi sekedar penganut agama, atau sebagai orang yang beragama, tetapi telah masuk
pada tahapan religius. 29 Tahapan persatuan dengan yang Mutlak (Tuhan). Kerangka
berpikir semacam inilah yang harusnya ada di setiap umat beragama di negeri ini,
khususnya bagi kaum muda, yaitu kehidupan keberagamaan yang menuju pada
tahapan religius dan bukan sekedar hanya sampai pada titik beragama saja.
29
Tim Penulis Dosen UMN, Religiositas, Tangerang: UMN Press, 2018. Hal. 49.
Islam dengan segala kekhasan dan keunikannya berinteraksi dengan berbagai budaya
masyarakat setempat. Dalam interaksi itu, terjadilah pemilah-milahan budaya, ada
budaya yang diterima kemudian dikukuhkan, ada juga yang diluruskan, dan ada pula
yang memang ditolak karena nyata-nyata bertentangan dengan prinsip dasar ajaran
yang ada di dalam al-Quran yang merupakan tuntunan bagi umat Islam itu sendiri.
Dalam konteks Islam, sumber pokok ajaran Islam itu ada tiga macam, yaitu:
al-Quran30, Hadis (Al-Sunnah)31 dan Ijtihad32 (penalaran atau akal pikiran). Semua hal
harus merujuk kepada ketiganya, tetapi yang paling utama adalah kepada al-Quran
yang oleh umat Islam diyakini merupakan wahyu Tuhan sendiri. Sebagai wahyu
Tuhan, al-Quran tidak lepas dari kehidupan manusia dengan segala tatanan yang ada
didalamnya. Karena itulah bisa dimengerti jikalau al-Quran lebih banyak berisi
tuntunan hidup yang memuat hukum-hukum tentang hidup dan kehidupan. Al-Quran
adalah rambu-rambu bagi umat Islam, berkaitan dengan bagaimana umat Islam harus
menjalani hidupnya di muka bumi ini.
Sebagai tuntunan al-Quran, selalu memberikan rujukan kepada umat Islam
berkenaan dengan banyak hal dan juga banyak persoalan yang dihadapi oleh umat
Islam. Al-Quran merumuskan, apa yang boleh maupun apa yang tidak boleh, apa yang
halal dan apa yang haram, apa yang baik maupun apa yang buruk. Karenanya tentu
tidaklah mengherankan jika Al-Quran sarat dengan perintah dan larangan. Berkenaan
dengan kebudayaan, al-Quran memerintahkan kepada Nabi agar mengukuhkan
kebudayaan (kebiasaan) positif yang ada di tengah-tegah masyarakat yang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan yang Islam ajaran. Al-Quran juga
30
Secara etimologi al-Qur’an berasal dari kata “qara’a, yaqra’u, qira’atan, qur’anan” yang berarti
mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain secara
teratur. Ada juga sumber lain mengatakan bahwa al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan sempurna”
merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaanpun yang dapat
menandingi al-Qur’an al-Karim, secara terminologi al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan
Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang disampaikan lewat malaikat jibril, yang
dikomunikasikan dengan bahasa Arab, harus dipercayai tanpa syarat dan menjadi pedoman utama
bagi umat Islam diseluruh dunia.
31
Al-Sunnah berkedudukan sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Selain
didasarkan pada keterangan-keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis juga didasarkan kepada
pendapat kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib
mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat, baik itu dalam
hal perintah ataupun larangan.
32
Ijtihhad merupakan sebuah usaha sungguh-sungguh yang bisa dilakukan oleh siapa saja yang sudah
berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam al-Quran maupun
hadis dengan syarat mempergunakan akal yang sehat dan pertimbangan matang.
memerintahkan kepada Nabi untuk melarang setiap budaya yang menyimpang dari
ajaran Islam. Melalui kasus ini diperoleh pemahaman bahwa Muhammad selalu
menempatkan Al-Quran sebagai rujukannya dalam setiap tindakannya, bukan karena
alasan ia suka atau pun karena ia tidak suka.
Dalam sejarah perjalanannya, Islam banyak bertemu dan bersinggungan
dengan kebudayaan di mana Islam itu diwartakan. Di saat bertemu itulah, Islam dan
kebudayaan masyarakat setempat itu saling mempengaruhi. Jikalau didapati bahwa
nilai budaya atau kebiasaan yang ada tersebut positif bagi masyarakat, maka budaya
tersebut akan dirujuk untuk diteruskan, sedangkan jikalau kedapatan bahwa budaya
yang ada tersebut mempunyai dampak atau nilai yang negatif, maka budaya tersebut
akan dihentikan dan dihilangkan, sedangkan jika ada budaya yang sebenarnya bagus,
tetapi sedikit bertentangan, maka budaya tersebut akan diluruskan. Dan standart ini
hanya berlaku bagi mereka yang memilih menganut Islam, artinya bagi mereka yang
tidak menganut agama Islam, hal tersebut Muhammad tidaklah paksakan.
Islam tidak memusuhi budaya (kebiasaan) yang ada berkembang dalam
lingkungan masyarakat yang ada kala itu. Islam hanya memilah-milahkan mana
budaya yang baik yang terus harus dikembangkan dan mana budaya yang tidak baik
sehingga harus ditinggalkan dan dihilangkan dari masyarakat Islam kala itu.
Dalam sejarah perjalanan selanjutnya, tatkala Islam yang Nabi Muhammad
ajarkan bersentuhan dengan masyarakat lain yang berbeda dengan masyarakat Mekah
dan Madinah, prinsip inilah yang kemudian dipakai serta dipraktikan. Akulturasi
budaya menjadi hal yang lumrah (biasa) dalam dunia ini, di mana budaya atau
kebiasaan yang kuat mempengaruhi budaya atau kebiasaan yang lemah. Sejarah
perjalanan Islam juga mengajarkan bahwa betapa banyak budaya atau kebiasaan yang
mempunyai nilai positif yang ada berkembang di Mekah dan Madinah sebelum Islam
lahir disana, dan nyatanya budaya atau kebiasaan itu (walau bisa dikategorikan
peninggalan kafir)33 tetap dipertahankan bahkan dilestarikan, artinya tidak semua
budaya ataupun kebiasaan di luar Islam itu tidak baik sehingga harus ditolak.
Muhammad juga mengajarkan perlunya untuk menghargai budaya ataupun kebiasaan
yang ada di tempat di mana Islam itu hadir, terutama tatkala tidak ada petunjuk yang
33
Kafir adalah sebutan untuk orang yang tidak percaya atau belum percaya kepada Allah.
jelas dari al-Quran yang melarang secara pasti akan keberadaan kebudayaan atau pun
kebiasaan tersebut.
Dari sinilah kemudian lahirlah kaidah al-adat muhakkamah.34 Artinya, bahwa
kebudayaan atau kebiasaan (adat) satu masyarakat yang tidak bertentangan dengan
tuntunan ataupun ajaran Islam yang bersifat pasti, maka dapat diterima dan sah
adanya35 sehingga dengan demikian tidak perlu untuk dipertentangkan lagi dikalangan
umat Islam.
Umat Islam meyakini bahwa Islam adalah agama yang mengayomi dan
menentramkan. Islam datang untuk membawa damai dan kebahagian di bumi ini.
Dalam Islam banyak terdapat ajaran-ajaran kehidupan, yang merupakan tuntunan
sekaligus landasan hidup bagi umat manusia untuk bagaimana mereka bersikap dan
berjuang dalam mengarungi samudra kehidupan selama di dunia ini. 36
34
Al-adat muhakkamah merupakan penetapan nilai-nilai budaya, tradisi dan sebagainya, untuk diadopsi
secara selektif sebagai alat penunjang dan pendamping hukum-hukum di masyarakat.
35
Tamrin Dahlan, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Malang: UIN maliki Press, 2010. Hal. 203.
36
Nur kholik Ridwan, Ajaran-ajaran Gus Dur, Yogyakarta: Noktah, 2019. Hal. 23.
37
M. Quraish Shihab, Islam Yang saya Anut, Tangerang: Lentera hati, 2018. Hal. 64.
lain.”38 Sisi kemuliaan inilah yang membuat manusia memiliki kedudukan yang sama
dengan manusia lainnya dari segi kemanusiaan. 39 Artinya bahwa semua manusia dari
sisi kemanusiaan adalah setara. Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada pula yang lebih
rendah, semuanya sama-sama mulianya.
Tindakan suka membeda-bedaan sebagaimana yang kerap manusia lakukan,
bahkan mungkin juga seringkali kita lakukan, merupakan tindakan yang menyalahi
ajaran Islam. Tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindakan menistakan manusia
dan juga menistakan Tuhan selaku penciptanya. Dalam bukunya yang berjudul “Islam
yang saya anut, dasar-dasar ajaran Islam” M. Quraish Shihab40 menekankan bahwa
seluruh manusia dalam pandangan Islam memiliki kedudukan yang sama dari segi
kemanusiaan, meskipun berbeda suku, bangsa, agama, warna kulit, jenis kelamin, dan
sebagainya. Semua telah Allah muliakan.
Kehormatan manusia harus dipelihara baik saat ia hidup maupun setelah
kematiannya karena dia adalah manusia. Kemuliaan manusia itu akan terus melekat
pada diri manusia sampai kapanpun, bahkan sampai manusia itu kembali kepada
penciptanya. Karena itu berkelakuan mulia merupakan sebuah keharusan sebagai
makhluk mulia, sebab tatkala kita tidak berlaku mulia, maka pada saat itu kita telah
merendahkan martabat kita sebagai makhluk mulia, dan ketika kita merendahkan
martabat kita sebagai makhluk mulia, maka sejatinya kita juga sedang merendahkan
martabat Tuhan selaku pencipta manusia.
Dalam kediriannya sebagai manusia, Islam juga mengajarkan bahwa manusia
selain mulia, ia juga istimewa. Keistimewaan itu terlihat jelas melalui banyaknya
aneka kelebihan yang Tuhan anugrahkan kepada manusia. Kelebihan tersebut antara
lain adalah manusia diberi akal pikiran, diberi hati dan juga perasaan, yang mana
semuanya itu hanya ada dan dimiliki oleh manusia. Inilah yang membedakan manusia
dengan ciptaan lainnya. Menurut Imam Al-Gazali, ilmuwan dan sufi41 kenamaan yang
hidup sekitar abad kesebelas Masehi, semua kelebihan ini tidak lain dan tidak bukan
38
_____________________ Al-Quran, Jakarta: Departemen agama RI, 2015.
39
M. Quraish Shihab. Hal. 66.
40
Ibid. hal. 69.
41
Sufi adalah sebutan untuk orang-orang yang mendalami sufisme atau ilmu tasawwuf. Sedangkan
tasawwuf ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak,
membangun lahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi.
sebagai perangkat kelengkapan diri yang dianugerahkan Tuhan kepada umat manusia
yang adalah hamba dan khilafah-Nya di bumi ini.42 Artinya, demi kemaslahatan
hidup manusia itu sendiri maupun bagi ciptaan lainnya, maka semua perangkat
perlengkapan itu dianugerahkan kepada manusia.
Karenanya bisa dipahami jika pada tahapan selanjutnya mengapa Tuhan
memberikan mandat kepada manusia untuk memelihara dan merawat bumi ini, dan
mengangkatnya sebagai khalifah fil ardhi,43 yang berarti dipercayai Tuhan sebagai
wakil-Nya untuk mengatur dan memakmurkan bumi. Penegasan itu bisa dilihat di
Surah Shad ayat 26, Surah Al-Fathir ayat 39, Surah An-Anam ayat 165, dan lain
sebagainya. Berkenaan dengan hal menunaikan tugas mulia ini, yaitu sebagai khalifah
fil ardhi (pemimpin di bumi) dalam praktiknya memang ada terbagi dalam dua
kelompok golongan, yang pertama adalah kelompok umat yang secara sungguh
menunaikannnya, dan yang kedua adalah kelompok yang memilih bersikap masa
bodoh dan mengabaikannya. 44 Dalam tataran ini, Islam mengajarkan bahwa mereka
yang sengaja bersikap masa bodoh dan mengabaikan tugasnya, maka itu berarti
mereka telah mencederai fitrah kemanusiaannya sebagai makhluk mulia yang
dipercaya oleh penciptannya untuk menjadi pemimpin di bumi dengan tugas pokok
memelihara dan memakmurkan bumi. Ini juga bisa diartikan bahwa manusia tersebut
telah menodai dan merendahkan kemuliaan yang ada pada dirinya. Namun begitu al-
Quran menyatakan walaupun mereka telah menodai dan merendahkan sisi
kemuliaannya, hal itu tetap saja tidak dapat menghilangkan status mereka sebagai
manusia yang dimuliakan Tuhan, sebab status tersebut sifatnya melekat pada diri
manusia sampai akhir hanyatnya.
Oleh karena adanya keyakinan bahwa manusia sebagai makhluk mulia, maka
hal ini harusnya mendorong seluruh umat Islam untuk selalu hidup dengan
mengedepankan dan selalu menjunjung martabat kemanusiaannya. Karena di saat
manusia menjunjung martabat kemanusiaannya di tengah-tengah praktik kehidupan
kesehariannya, maka di situlah kemuliaan akan nyata terlihat. Beranjak dari semua,
42
A. Mustofa Bisri, Saleh Ritual, Saleh Sosial, Kualitas Iman, Kualitas Ibadah, Kualitas Akhlak Sosial,
Yogyakarta: Diva Press, 2019. Hal. 16-17.
43
Khalifah fil ardi artinya pemimpin di bumi.
44
Nur kholik Ridwan. Hal. 40.
maka sudah seharusnya jika Islam mewajibkan umatnya untuk selalu menjaga
martabat kemanusiaannya ditengah-tengah pratik kehidupan keseharian. Sebab saat
manusia kehilangan martabat kemanusiaannya, manusia menjadi tidak mampu lagi
untuk memahami akan hakikat kemanusiaannya, yaitu sebagai makhluk yang luhur
dan menjaga marwah keluhuran kemanusiaan tersebut lewat semua aktivitas
kesehariannya demi mengangkat nilai-nilai yang memanusiakan manusia. 45 Sebab
tanpa ada landasan kesadaran semacam ini, kecenderungan manusia akan selalu
merendahkan martabat dan keluhuran kemanusiaannya. Oleh sebab itu, segala sesuatu
yang berkaitan dengan martabat dan keluhuran kemanusiaan harus selalu dibela,
dikedepankan, serta selalu dijadikan sebagai acuan interaksi, kebijaksanaan, dan
perumusan hukum-hukum yang dibuat oleh manusia.
Untuk itu tepat kiranya jikalau martabat kemanusiaan selalu menjadi acuan,
atas semua produk yang dihasilkan dalam interaksi, pembuatan kebijaksanaan, dan
perumusan hukum-hukum di muka bumi ini. Oleh karena itu produk apapun yang
dihasilkan oleh manusia (jikalau berkenaan dengan martabat dan keluhuran
kemanusiaan) tidak boleh merendahkan apalagi menciderai sisi kemanusiaan itu
sendiri. Karena kalau hal itu sampai terjadi, maka sudah seharusnya produk tersebut
ditolak dan dilawan atas nama kemanusiaan itu sendiri. Contoh produk yang
menciderai kemuliaan dan martabat kemanusiaan di negeri ini adalah adanya perda
yang berbau syariah di daerah-daerah dan terkait adanya kebijakan kepala sekolah
negeri yang mewajibkan semua muridnya untuk memakai pakaian muslim. Umat
Islam sepatutnya mampu bersikap kritis terhadap kasus-kasus yang demikian.
45
Tim Penulis Dosen UMN. Hal. 43.
antara manusia dengan ciptaan lainnya. Dalam diri manusia ada tergambar sifat-sifat
Tuhan yang melekat sejak lahir sampai mati.
Dalam al-Quran, Tuhan selalu digambarkan sebagai Yang Maha Mulia, maka
tidaklah mengherankan jikalau kemudian Ia berinisiatif untuk menciptakan manusia
sebagai makhluk mulia. Al-Quran juga menggambarkan Tuhan itu sebagai Yang
Maha Kasih Sayang, maka dalam tahapan ini, mencintai martabat kemanusiaan
sebagai makhluk mulia adalah bagian dari cerminan sekaligus pengejawantahan 46 dari
kasih sayang-Nya itu dan jika dilihat dari penciptaan manusia, maka penciptaan itu
sendiri didasari oleh karena kasih dan sayang-Nya. Mencintai apa yang Tuhan kasihi
dan sayangi tidak lain merupakan cerminan dari sifat-sifat ketuhanan-Nya.47
Kesadaran diri, merupakan kunci umat Islam untuk dapat dengan sempurna mengenali
cerminan sifat-sifat Tuhan yang melekat pada dirinya. Pengenalan itulah yang pada
akhirnya bisa mendorong manusia untuk bagaimana mengejawantahkan cerminan
sifat-sifat ketuhanan yang melekat pada diri mereka ditengah-tengah kehidupan
masyarakat modern seperti sekarang ini. Itulah salah satu tantangan terberat yang
harus dihadapi umat Islam, lebih khusus lagi bagi kaum muda Islam di tengah-tengah
degradasi48 kemanusiaan yang sedang masif melanda dunia saat ini, termasuk di
Indonesia.
50
Ibid. Hal. 214.
51
Ibid. Hal. 214.
52
Ibid. Hal. 216.
4. 3. 4. Ajaran Islam tentang Perbedaan
Islam mengajarkan bahwa perbedaan atau keanekaragaman itu adalah bagian
dari kehendak Tuhan itu sendiri. Oleh karena Tuhan yang menghendaki, maka sudah
seharusnya manusia bisa menerima perbedaan itu dan mensyukurinya. Perbedaan itu
indah, tetapi jikalu tidak disingkapi dengan baik, perbedaan bisa menjadi “biang
keladi” timbulnya berbagai masalah dalam hubungan antara manusia satu dengan
manusia lainnya. Supaya perbedaan tidak menjadi persoalan, maka diperlukan adanya
faham yang bisa menjembatani serta menyatukan semua perbedaan itu, sehingga lewat
faham itu terciptalah kehidupan yang harmonis dan jauh dari gesekan.
Jikalau melihat dari sejarah, maka faham semacam ini sejatinya telah lama
dipraktikan oleh Islam, utamanya pada saat Nabi menyebarkan ajaran Islam di kota
Madinah. Pada zaman itu, Arab dihuni oleh berbagai-bagai etnis, suku, agama, serta
budaya yang berbeda-beda. Untuk mengatasi hal ini, Nabi kemudian membuat
kesepakatan bersama. Dari kesepakatan itulah kemudian lahirlah Piagam Madinah53
sebagai acuan untuk menciptakan keharmonisan hidup dalam konteks masyarakat
yang multikultural. Piagam Madinah intinya menyatakan bahwa umat Islam dan
kaum Yahudi dan sekutunya adalah satu umat dalam kebersamaan. Penggunaan kata
umat ini bersifat inklusif dan dasarnya adalah “persaudaraan sosial dan kemanusiaan”,
atau al-ukhuwah al-ijtima’iyah wa al-insaniyah.54 Jadi dalam sisi kemanusiaan semua
orang itu saudara, walaupun pada kenyataannya mereka berbeda. Karena itu tepat apa
yang menjadi komentar Nurcholish Madjid bahwa “Muhammad tidak pernah
membentuk masyarakat yang eksklusif bagi kaum Muslimin,” 55 tetapi masyarakat
Islam yang inklusif. Hal ini terlihat jelas dengan tindakan Nabi yang mana
menghimpun semua golongan penduduk Madinah tanpa terkecuali. Nabi dalam hal
53
Piagam Madinah juga dikenal dengan sebutan Konstitusi Madinah, ialah sebuah dokumen yang
disusun oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan
semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yathrib (kemudian bernama Madinah) pada tahun 622.
Dokumen tersebut disusun sejelas-jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan pertentangan
sengit antara Bani 'Aus dan Bani Khazraj di Madinah. Untuk itu dokumen tersebut menetapkan
sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas-
komunitas pagan Madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas, yang
dalam bahasa Arab disebut ummah.
54
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh siyasah: ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994. Hal. 184.
55
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992. Hal. 12.
ini tidak mempersoalkan, apakah orang tersebut termasuk yang menerima maupun
yang menolak Islam, supaya hidup rukun, damai dalam kebersamaan.
Jadi dengan demikian, seharusnya perbedaan tidak menjadi alasan untuk umat
Islam tidak membaur dan bersatu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Gerakan Nabi mempersatukan penduduk Madinah menjadi satu umat, menurut Watt 56,
merupakan kesatuan tipe baru. Ia menulis “the people of Madina were now regard as
constituting apolitical unit a new type, an Ummah or Community”. Piagam Madinah
membuat era baru, menyatukan perbedaan, dan menghimpunnya dalam satu tali ikatan
persaudaraan. Jikalau semua umat Islam memahami akan hal ini, maka sewajarnya
tidak ada lagi pertentangan yang berarti berkenaan dengan masalah perbedaan.
Dalam zaman modern upaya menyatukan perbedaan ini dikenal dengan istilah
faham multikultural57. Faham Multikutural adalah suatu faham atau idiologi yang
sangat menjunjung tinggi adanya perbedaan dan kesetaraan antara yang satu dengan
yang lainnya. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan dalam banyak hal,
termasuk didalamnya adalah perbedaan individu, agama, maupun kebudayaan.
Multikultural dalam penerapannya selalu menekankan pentingnya pemahaman dan
upaya untuk hidup dalam konteks sosial budaya yang berbeda, baik itu secara pribadi
maupun kelompok sebagaimana yang selama ini diperjuangkan oleh Gus Dur 58,
Nurcholish Madjid,59 dan beberapa tokoh Islam besar lainnya yang ada di negeri ini.
Sehingga dengan demikian, justru oleh karena adanya perbedaan membuat orang bisa
56
W, Montgomery Watt, Mohammd Prophrt and Statedman, Oxford University Press, London, 1989.
Hal. 94.
57
Faham Multikultural adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam
kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan
58
Gus Dur, sosok yang sangat konsen dalam memperjuangkan faham multikultural dan pluarism di
Indonesia, menjadi icon Indonesia berdamai, sosok yang telah mendunia dan terkenal ke segala
penjuru, beliau tidak berfikir bagaimana layaknya sebagai orang Indonesia namun malah berfikir
bagaimana umumnya pemikiran manusia biasa berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya,
inilah yang sampai sekarang menjadi pembicaraan orang banyak betapa Gus Dur begitu dicintai dan
dielu-elukan sedemikian rupa berkat pluralism dan perdamaian yang beliau gagas baik dalam hal
pemikiran maupun praktis berkehidupan.
59
Nurcholis Madjid merupakan tokoh di Indonesia yang fokus pada multikulturalisme dan pluralisme.
Ada tiga pemikiran Madjid tentang multikulturalisme dan pluralisme, yaitu pertama,
multikulturalisme dan pluralisme adalah sebuah paham yang mengakui keberadaan kebudayaan lain
dan bersikap dewasa menghadapi keanekaragaman, toleransi dan berlomba-lomba dalam
kebaikan. Kedua, bahwa ide multikulturalisme dan pluralisme adalah sebuah prinsip hidup yang
mengakui kebebasan. Dan ketiga, konsep pemikiran Nurcholish Madjid adalah terbuka, dialogis,
toleran dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang sekaligus menjadi ciri pemikiran
Nurcholis Madjid untuk mewujudkan Islam yang hanif dan rahmatan lil alamin.
mengenal siapa dirinya dan juga sekaligus mengenal siapa orang lain yang berbeda
dengan dirinya.
Islam menyakini bahwa perbedaan adalah anugrah. Apa jadinya jikalau di
dunia ini orang lain sama dengan kita, dan kita sama dengan orang lain, maka
dipastikan kehidupan akan menjadi membosankan dan tidak menarik lagi. Dalam
konteks multikultural ini, umat Islam tidak hanya dituntut untuk sekedar mengenal
adanya perbedaan, tetapi juga untuk memahami keberbedaan itu sendiri. Ini berarti
bahwa setiap manusia dituntut untuk tidak saja mengenali kebudayaan, agama atau
apapun yang ada pada dirinya, tetapi juga konsen untuk bisa mengenali agama atau
kebudayaan yang ada pada diri orang lain. Tujuan dari semua ini adalah supaya
manusia bisa meletakkan kebudayaan dan agama orang lain menjadi setara
dipemandangan dan pemikirannya. Sehingga dengan adanya pemikiran yang
demikian, bisa dipastikan dengan sendirinya dalam diri orang tersebut akan tumbuh
kesadaran untuk hidup saling menghormati dan saling menghargai, sehingga
perbedaan tidak lagi menjadi persoalan.
Dalam Islam, konsep saling menghormati, saling menghargai dan saling
bekerjasama yang merupakan ciri faham multikulturial ada banyak dijumpai, baik itu
di al-Quran maupun al-Sunnah. Hal ini memberikan pengertian bahwa Islam sejak
diturunkan, menjunjung tinggi asas multikulturial itu. Beberapa ayat dalam al-Quran
bahkan sangat menekankan akan pentingnya saling menghargai, saling menghormati,
saling mengenal dan sebagainya.
Berdasarkan ayat ini, dapat diketahui bahwa Allah menjadikan manusia berkaum-
kaum, laki-perempuan, dan berbeda-beda dengan tujuan agar mereka saling mengenal
antara satu dengan lainnya. Jikalau antara satu dengan yang lainnya saling mengenal,
maka dengan sendirinya akan tercipta tali persaudaraan. Maksud dari kata mengenal
itu bukan bermakna sekedar hanya “kenal”, tetapi lebih dari itu, yaitu mengenal
kebudayaan dan agama, atau hal-hal lainnya yang berbeda dengan dirinya. Sehingga
dengan demikian dapat menghilangkan prasangka-prasangka yang ada pada dirinya
terhadap kebudayaan, agama, atau hal-hal lainnya selama ini.
Oleh karena itu perbedaan tidak boleh menjadi penghalang bagi setiap manusia
untuk hidup harmonis, rukun dan damai. Perbedaan itu adalah sunnatullah,60 bagian
dari kehendak Tuhan sendiri. Jadi menghargai dan menghormati perbedaan ataupun
keberagaman manusia itu sesungguhnya adalah bagian dari memuliakan Tuhan,
sekaligus juga menunjukkan sisi kemanusiaan dari manusia itu sendiri, selaku
makhluk mulia dengan memandang bahwa semua manusia itu pada dasarnya adalah
setara (sederajat). Dalam ranah ini, Islam menghargai dan menghormati perbedaan,
bahkan meyakini bahwa perbedaan itu adalah bagian dari kehendak Tuhan itu sendiri
yang tak terbantahkan.
Untuk itu, umat beragama dalam konteks ini adalah umat Islam perlu
melakukan reformasi pemikiran 61 dari teologis ekslusif menuju pemikiran teologis
yang inklusif, terbuka dan pluralis, serta bersedia menerima dan mengakui perbedaan
itu sebagai anugerah Tuhan bagi dunia ini. Kesadaran inilah yang pada akhirnya akan
memunculkan sikap toleransi dalam kehidupan bersama di tengah-tengah perbedaan.
Untuk mencapai kehidupan masyarakat yang dinamis dan ideal ditengah-tengah
perbedaan, maka ada baiknya umat beragama selalu mengadakan pertemuan secara
berkesinambungan, selalu mengutamakan kesamaan dan bukannya perbedaan, selalu
saling aktif untuk saling menjelaskan dan mendengarkan, selalu mengutamakan pesan
kedamaian, kebenaran dan keselamatan. 62
Perbedaan itu bisa diibaratkan seperti roda sepeda. Semakin jari-jarinya jauh
dari pusat, maka akan semakin rengganglah. Demikian juga sebaliknya, semakin
dekat dengan pusat jari-jarinya akan semakin dekat dan bahkan bersatu. Artinya,
semakin seseorang hanya melihat perbedaan yang ada di sekelilingnya, ia akan
60
Ibid. Hal. 43.
61
Tim Penulis Dosen UMN. Hal. 221.
62
Ibid. Hal. 226.
semakin jauh dari yang lain, tetapi apabila seseorang mau terbuka terhadap adanya
perbedaan, maka ia akan semakin bisa dekat dengan yang lain. 63 Persoalannya
sebenarnya hanya sepele, mau terbuka atau mau tertutup, mau mendekat, atau mau
menjauh, tidak lebih dari itu. Sederhana sekali bukan!
Penutup
Dari sejarah perjalanan Islam dapat dipahami bahwa ajaran Islam tidak
diarahkan kepada eksklusifisme, seperti membenci perbedaan, memusuhi agama lain,
merendahkan orang lain, tetapi lebih kepada Islam inklusif yang mengedepankan
sisi kemanusiaan, yang penuh toleransi, terbuka, dan yang bisa bekerja sama dengan
siapapun, sebagaimana yang selama ini Gus Dur dan banyak tokoh Islam yakini dan
perjuangkan. Islam juga menekankan bahwa perbedaan tidak boleh menjadi
penghalang untuk berinteraksi, bahkan lebih jauh Islam selalu menganjurkan
merangkul semua elemen yang ada disekitarnya untuk bekerja sama membangun
masyarakat dan bangsa.
Islam mempromosikan perdamaian bukan kekerasan.64 Jadi jikalau ada pihak
yang mengaku diri sebagai Islam, tetapi perilakunya jauh dari apa yang diajarkan oleh
Islam itu sendiri, maka itu perlu dipertanyakan dan dikritisi. Islam yang inklusif
itulah yang harusnya terus menjadi wajah Islam di Indonesia. Islam yang terbuka,
yang menghargai kebebasan, dan bukan Islam yang eksklusif, yang tertutup, yang
kaku, dan yang tidak bisa menghargai perbedaan. Kemampuan untuk menampilkan
Islam yang inklusif inilah yang harus dijawab oleh umat Islam di negeri ini, karena
inilah yang akan menentukan sejarah dan masa depan Islam kedepannya. Dan
tantangan ini hanya akan bisa terjawab, jikalau umat Islam di negeri ini mau keluar
dari penjara-penjara formalisme agama65, dari segala bentuk kesalehan palsu
kehidupan beragama.66 Penghayatan dan pemaknaan yang mendalam tentang
63
Ibid. Hal. 229.
64
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan,
Jakarta: The Wahid Institut, 2007. Hal.44.
65
Formalisme agama adalah pemahaman beragama yang terjebak pada bentuk (form) semata, seperti
ritual dan aturan-aturan yang sudah ketinggalan jaman. Orang lalu sibuk mengikuti aturan berdoa dan
aturan moral yang dibuat ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu, tanpa paham isi dan tujuan
sebenarnya. Ia lalu cenderung untuk tidak toleran terhadap perbedaan, bersikap fanatik dan radikal.
66
Tim penulis UMN. Hal. 317.
kehidupan beragama yang benar sangat dibutuhkan dalam hal ini, sehingga pada
akhirnya agama lepas dari tuduhan sebagai pemicu konflik, tetapi sebaliknya sebagai
sumber rahmat sekaligus berkah bagi semua umat manusia, bagi semua makhluk.
Kesadaran inilah yang harus dimiliki oleh semua umat Islam, atau yang mengaku diri
sebagai Islam. Karena itu umat Islam harus bersegera untuk melakukan semuanya ini,
dan jangan jadikan alasan untuk mereka yang belum melakukannya untuk tidak
bersegera melakukannya. 67 Sebab Islam akan jadi apa kedepannya, itu semua
bergantung pada apa yang saat ini dibuat dan dilakukan oleh umat Islam itu sendiri di
hari ini.
Pertanyaan Reflektif:
1. Sebagai generasi penerus bangsa, anak muda perlu dididik secara baik, benar dan
serius untuk mempelajari dan sekaligus memahami nilai-nilai keagamaan yang
mereka anut, dan kemudian didorong untuk mempraktikan nilai-nilai tersebut dalam
keseharian mereka. Apakah anda setuju dengan pernyataan ini? Berikanlah
penjelasan atas jawaban anda tersebut!
2. Walaupun Islam mengajarkan bahwa perbedaan itu rahmat dari Tuhan, tetapi sejarah
menyatakan bahwa perbedaan tetap punya potensi besar sebagai pemicu berbagai
konflik, maka umat Islam di Indonesia bukan sekedar butuh, tetapi harus memiliki
pemahaman yang mendasar dan sekaligus wawasan yang luas berkenaan dengan
kehidupan bersama dalam berbagai perbedaan. Berikanlah contoh kasus konflik
yang pernah terjadi di Indonesia yang dipicu oleh karena adanya perbedaan dan
sebagai umat beragama bagaimanakah kita menyikapi hal demikian agar tidak
terulang kembali?
67
A. Mustofa Bisri, Saleh Ritual saleh Sosial, Yogyakarta: Diva Press, 2019. Hal. 38.
MODUL PEMBELAJARAN
BAB 5
AGAMA HINDU
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2008.
Sou’yb, Joesoef. Agama-Agama Besar di Dunia. Jakarta, PT. Al Husna Zikra.1996.
Swabodhi,D.D. Harsa (Pandita). Upamana-Pramana Buddha dharma dan Hindu Dharma.
Medan: Yayasan Perguruan “Budaya” & I.B.C., 1980.
Suhardana, K.M. Pengantar Etika dan Moralitas Hindu: Bahan Kajian Untuk Memperbaiki Tingkah
Laku. Surabaya: Paramita, 2006.
5. 1. Pengantar
Sejarah agama Hindu tidak dapat dilepaskan dari sejarah pertumbuhan dan
perkembangan kebudayaan Hindu di India berkaitan dengan sistem kepercayaan
bangsa Arya yang masuk ke India pada 1500 S.M. Kebudayaan Arya berkembang di
Lembah Sungai Indus India. Bangsa Arya mengembangkan sistem kepercayaan dan
sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan tradisi yang dimilikinya. Sistem
kepercayaan itu berupa penyembahan terhadap banyak dewa yang dipimpin oleh
golongan pendeta atau Brahmana.
Keyakinan bangsa Arya terhadap kepemimpinan kaum Brahmana dalam
melakukan upacara ini melahirkan kepercayaan terhadap Brahmanisme. Selanjutnya
golongan ini juga menulis ajaran mereka dalam kitab-kitab suci yang menjadi standar
pelaksanaan upacara-upacara keagamaan. Kitab suci agama Hindu disebut Weda
(Veda), artinya pengetahuan tentang agama.
Weda terdiri dari 4 buah kitab, yaitu:
a. Rigweda adalah kitab yang berisi tentang ajaran-ajaran Hindu. Rigweda
merupakan kitab yang tertua.
b. Samaweda adalah kitab yang berisi nyanyian-nyanyian pujaan yang wajib
dilakukan ketika upacara agama.
c. Yajurweda adalah kitab yang berisi dosa-doa yang dibacakan ketika
diselenggarakan upacara agama.
d. Atharwaweda adalah kitab yang berisi doa-doa untuk menyembuhkan
penyakit, doa untuk memerangi raksasa.
Agama Hindu bersifat Politheisme, yaitu percaya terhadap banyak dewa yang
masing-masing dewa memiliki peranan dalam kehidupan masyarakat. Ada tiga dewa
utama dalam agama Hindu yang disebut Trimurti terdiri dari Dewa Brahma (dewa
pencipta), Dewa Wisnu (dewa pelindung), dan Dewa Siwa (dewa pelebur).
Sistem kemasyarakatan yang dikembangkan oleh bangsa Arya adalah sistem
kasta. Sistem kasta mengatur hubungan sosial bangsa Arya dengan bangsa-bangsa
yang ditaklukkannya. Sistem ini membedakan masyarakat berdasarkan fungsinya.
Golongan Brahmana (pendeta) menduduki golongan pertama. Ksatria
(bangsawan, prajurit) menduduki golongan kedua. Waisya (pedagang dan petani)
menduduki golongan ketiga, sedangkan Sudra (rakyat biasa) menduduki golongan
terendah atau golongan keempat. Sistem kepercayaan dan kasta menjadi dasar
terbentuknya kepercayaan terhadap Hinduisme. Penggolongan seperti inilah yang
disebut caturwarna.
68
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2008, h. 173.
e. Adapun unsur kekosongan/kehampaan (Vacuum) yang ada pada alam dunia
dan badan makhluk/manusia disebabkan oleh unsur ether (Akasa).
Menurut ajaran agama Hindu, manusia pertama disebut dengan nama: MANU,
atau selengkapnya SWAYABHU-MANU, tetapi ini bukan nama perseorangan. Sebab
dalam bahasa sansekerta, Swayambhu berarti: yang menjadikan diri sendiri. Suku kata
“swayam” berarti diri sendiri, dan suku kata “bhu” berarti: menjadi, dan kata “manu”
berarti “makhluk berfikir yang menjadikan dirinya sendiri”, yakni MANUSIA
PERTAMA. Istilah manu sekarang menjadi kata manusia. Menurut ajaran Hinduisme,
semua manusia adalah keturunan Manu.69
Jika di alam semesta atau makrokosmos pancamahabhuta atau anasir kasar
membentuk triloka (Bhur-loka, Bhuwah-loka, dan Swah-loka) maka di dalam manusia
sebagai mikrokosmos pancamahabhuta membentuk trisarira yaitu tubuh kasar, tubuh
halus, dan tubuh penyebab.Itulah sebabnya kedua alam (makro dan mikrokosmos)
memiliki sifat-sifat yang sama. Kecuali ketiga macam tubuh dalam manusia masih
terdapat Atman, yaitu percikan kecil atau sinarParama Atman, sinar sang Hyang Widi.
Atman pada manusia disebut Jiwatman, yaitu yang menghidupkan manusia. Fungsi
Atman di dalam badan manusia saperti kusir terhadap kereta. Sebagai sinar ilahi atau
percikan sang Hyang Widi, Atman memiliki sifat-sifat sang Hyang Widi, sebagai
misalnya: tak terlukai oleh senjata, tak terbakar oleh api, tak terkeringkan oleh angin,
tak terbasahkan oleh air, abadi, ada di mana-mana, tak dilahirkan, tak dipikirkan, dsb.
Sekalipun demikian manusia tidaklah sempurna, fana, dapat mati. Hal ini disebabkan
karena Atman dipenjarakan di dalam tubuh, yang mengakibatkan manusia dikuasai
oleh awidya. Akibat awidya lebih lanjut ialah manusia dikuasai oleh
hukum karma dan samsara, kelahiran kembali (purnabhawa). Hukum karma tadi
dapat menyebabkan orang dilahirkan kembali sebagai manusia, tetapi juga sebagai
binatang, tumbuh-tumbuhan. Jika orang dilahirkan kembali sebagai manusia, hal itu
adalah suatu keuntungan yang besar, sebab kelahiran kembali sebagai manusia
memberi kesempatan untuk meningkatkan kesempurnaan hidup, guna mengatasi
69
Pandita D.D. Harsa Swabodhi, Upamana-Pramana Buddha dharma dan Hindu Dharma.
Medan: Yayasan Perguruan “Budaya” & I.B.C., 1980, h. 68-69.
kesengsaraan. Itulah sebabnya dewa-dewa pun perlu dilahirkan kembali sebagai
manusia dulu, agar dapat mencapai kebebasan abadi (nirwana).70
Berbeda dengan keyakinan di dalam agama Islam, Kristen, Yahudi, yang
mengajarkan bahwa alam semesta itu diciptakan Tuhan Yang Maha Esa dari tidak ada
menjadi ada, maka agama Brahma mengajarkan bahwa alam semesta itu adalah
pancaran dari Brahman. Upanishad pada bagian chandogya mengungkapkan pada
kejadian alam semesta sebagai berikut:
Pada permulaan hanya ADA sendirian, Maha Esa, tanpa ada yang kedua. Dia, Yang
Maha Esa itu berpikir di dalam dirinya: biarlah aku menjadi banyak, biarlah aku
berkembang selanjutnya. Kemudian dengan zat-nya iapun menentukan alam semesta:
setelah menentukan zat-nya ke alam semesta, ia masuk ke dalam setiap makhluknya
itu. Adapun seluruh makhluk memiliki zat-nya yang paling halus di dalam diri tiap
makhluk. Dia adalah Al-haqq, dia adalah diri. Dan begitulah, hai Svetaku, bahwa
ITU ADALAH ENGKAU.
70
Harun Hadiwijono. Ibid, h. 174
Menurut ajaran Brahman “aku” itu adalah atman yang merupakan proyeksi dari zat
Brahman dalam ajaran ini tampak kesamaan dengan ajaran Neoplatonism. Aliran
filsafat Yunani yang terakhir, dibangun oleh Plotinus(205-270M) pada abad ke 3
masehi di Iskandaria. Ada yang berpendapat bahwa Plotinus pernah mendalami
filsafat India.
Pokok ajaran tentang mengenali dia dalam diri sendiri dan dia terdapat pada
diri seluruhnya dan dia adalah seluruhnya yang banyak dijumpai dalam Kitab Veda
terutama dalam Kitab Upanishad, melahirkan paham bahwa wujud tunggal
pencipta itu meresapi seluruh alam. Paham itu di dalam dunia filsafat disebut dengan
panteism. Paham tersebut juga pernah dianut oleh sufi-sufi islam sejak abad ke 10
masehi, oleh Jalaludin Ar-rumi pada tahun (1207-1273). Adapun paham itu juga
berpengaruh dalam pihak tertentu dari mistik Kristen, seperti St. Augustinus salah
satu tokoh dalam agama Kristen pada tahun (396-430M).71
Bagi umat Hindu menjalani serta memahami ketiga kerangka dasar tersebut
menjadi suatu kewajiban dan sangat penting. Oleh karenanya setiap umat Hindu akan
dengan sungguh-sungguh melaksanakan ketiga kewajiban tersebut.
Tattwa merupakan inti ajaran Agama, sedangkan susila sebagai pelaksana
ajaran dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Sebagai bentuk rasa syukur kepada
71
Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia (Jakarta, PT. Al Husna Zikra.1996), h. 45-49.
Tuhan Ida Sanghyang Widi, maka dilaksanakan pengorbanan suci yaitu
berupa upacara atau ritual.
72
K.M. Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu: Bahan Kajian Untuk Memperbaiki Tingkah
Laku (Surabaya: Paramita, 2006), h. 28.
• Tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal.
• Tidak berpikir buruk terhadap sesama manusia atau mahluk lainnya.
• Yakin dan percaya terhadap hukum karma.
2. Wacika (berkata yang baik dan benar). Seseorang dapat dinyatakan
sebagai wacika apabila ia:
• Tidak mencaci maki orang lain.
• Tidak berkata-kata yang kasar kepada orang lain.
• Tidak memfitnah atau mengadu domba
• Tidak ingkar janji.
3. Kayika (berbuat yang baik dan jujur). Seseorang dapat
dikatakan kayika, manakala ia:
• Tidak menyiksa, menyakiti atau membunuh.
• Tidak berbuat curang, mencuri atau merampok.
• Tidak berzina
73
Ibid., h. 29
c. Satya Laksana yaitu jujur dan bertanggung jawab terhadap apa yang
diucapkan.
d. Satya Mitra yaitu selalu setia kepada teman dan tidak pernah
berkhianat.
e. Satya Semaya yaitu selalu menepati janji, tidak pernah ingkar kepada
janjinya.
4. Awyawahara (tidak terikat keduniawian).
5. Asteya atau Asteneya (tidak mencuri).
74
Ibid., h. 33.
75
Ibid., h. 36
5. 3. 1. 5. Dasa Niyama Brata
Dasa Niyama Brata merupakan suatu etika lanjutan dalam agama Hindu yang lebih
tinggi lagi tingkatannya. Dasa Niyama Brata terdiri dari76
1. Dana (bersedekah).
2. Ijya (memuja dan memuji Tuhan).
3. Tapa (menjauhi kesenangan duniawi).
4. Dhyana (memusatkan pikiran).
5. Swadhyaya (belajar sendiri).
6. Upasthanigraha (mengendalikan hawa nafsu).
7. Brata (melaksanakan pantangan).
8. Upawasa (puasa).
9. Mona (tidak berbicara).
10. Snana (membersihkan diri).
5. 3. 1. 6. Dasa Dharma
Dasa Dharma ialah sepuluh macam perbuatan baik yang patut dilaksanakan oleh umat
Hindu. Dengan melaksanakan ajaran dharma ini dapat mendorong terciptanya
masyarakat yang aman, tentram dan damai. Sepuluh dasa dharma tersebut ialah77
1. Dhriti (bekerja dengan sungguh-sungguh).
2. Ksama (mudah memberikan maaf).
3. Dama (dapat mengendalikan nafsu).
4. Asteya (tidak mencuri).
5. Sauca (berhati bersih dan suci).
6. Indrayanigraha (dapat mengendalikan keinginan).
7. Dhira (berani membela yang benar).
8. Widya (belajar dan mengajar).
9. Satya (kebenaran, kesetiaan, dan kejujuran).
10. Akrodha (tidak cepat marah).
76
Ibid., h. 39
77
Ibid., h. 39
5. 3. 1. 7. Catur Paramita
Catur paramita berasal dari kata catur yang berarti empat dan paramita yang berarti
perbuatan luhur. Dengan demikian catur paramita berarti empat perbuatan luhur, yang
harus dilaksanakan oleh seluruh umat Hindu.
Catur paramita terdiri dari78
1. Maitri (bersahabat).
2. Karuna (cinta kasih).
3. Mudhita (simpati).
4. Upeksa (toleransi).
78
Ibid., h. 42
79
Ibid., h. 48
harus dijaga dengan rapi dan sehat, tdak menebang pohon sembarangan
(illegal logging), pencemaran udara, pencemaran air dan lain-lain.
Banyak hal yang mencerminkan bahwa Hindu memiliki toleransi yang tinggi dengan
agama lain. Landasannya adalah bahwasanya semua makhluk adalah sama dimata
Tuhan dan itu ditegaskan didalam Weda.
Penutup
Agama Hindu merupakan bentuk spiritualitas yang timbul di India. Kompleksitas
ajaran-ajarannya hadir karena ajaran Hindu banyak mentolerir budaya-budaya yang
ada, baik di India mau pun yang ada di Indonesia. Namun demikian terdapat hal-hal
yang tetap menjadi pegangan bersama, yakni kitab Veda.
Terbuka terhadap perbedaan dan saling menghormati merupakan inti dari ajaran
Hindu. Melalui jiwa yang bersih, mereka percaya akan mendatangkan masyarakat
yang baik dan penuh kasih.
Pertanyaan Reflektif
1. Apa yang dapat Anda refleksikan dari sejarah perkembangan agama Hindu?
2. Apa yang dapat Anda refleksikan dari ajaran tentang persona dalam agama Hindu?
3. Apa yang dapat Anda refleksikan dari ajaran tentang sosialitas dalam agama Hindu?
BAB 6
Agama Buddha
Tujuan:
1. Memahami sejarah agama Buddha (C3, C4).
2. Memahami ajaran Buddhisme tentang individualitas dan sosialitas manusia (C3, C4).
3. Menganalisis sifat inklusif dan toleran agama Buddha dalam ajaran dan praktiknya (C5)
Metode:
1. Ceramah/Presentasi
2. Diskusi
3. Tanya jawab
Waktu: 100 menit
Media/Alat bantu:
• White-board
• Infocus
• Spidol
• Gambar/film
Bahan Bacaan:
• Ali, Mukti. 1988. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Pres.
• Hadiwijono, Harun. 1987. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
• Liaw, Ponijan. 2019. Sosialitas dalam Perspektif Agama Buddha. Jakarta: Manuskrip Pribadi.
• Wuryanto, Joko dan Yuyuk Sri Rahayu (ed.). 2003. Pengetahuan Dharma untuk Mahasiswa. Jakarta:
CV. Dewi Kayana Abad.
• ---------, 2005. Jadilah Pelita Ajaran Univeral Buddha. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya dan
Ehipassako Foundation.
6. 1. PENGANTAR:
Agama Buddha merupakan salah satu agama yang muncul dan berkembang pesat di
daratan India. Agama ini mulai muncul pada abad ke-6 SM. Sebagai agama yang
muncul pada masa itu, secara historis agama tersebut masih mempunyai kaitan erat
dengan agama pendahulunya, yaitu agama Hindu. Pembawa ajaran agama Buddha
adalah Sidharta Buddha Gautama, yang sebelum memperoleh pencerahan merupakan
seorang pangeran kerajaan Maghada dan pemeluk agama Hindu. Pedoman dan
hukum-hukum yang diajarkan oleh Sidharta mempunyai tujuan akhir untuk
melepaskan nafsu dan penderitaan dalam hidup manusia sehingga dapat mencapai
nirvana.
Sebagai agama, ajaran Buddha tidak bertitik tolak kepada Tuhan dan
hubungan-Nya dengan alam semesta dan seluruh isinya. Agama Buddha justru bertitik
tolak kepada keadaan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya sehari-hari,
khususnya tentang tata susila manusia agar terbebas dari lingkaran dukkha yang selalu
mengiringi hidupnya.
Menurut Buddha Gautama, jika manusia mampu melaksanakan hidup suci dengan
melenyapkan keinginan kuat nafsu kehidupan, maka setelah ia melalui serangkaian
reinkarnasi pada akhirnya ia akan mencapai nirwana (parinibana). Orang yang telah
mencapai nirwana disebut Arahat. Dalam rangkaian reinkarnasi itu orang dapat
menjelma menjadi manusia kembali, binatang atau dewa.
Manusia, menurut ajaran Buddha adalah kumpulan dari kelompok energi fisik
dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak, yang disebut Pancakhanda atau lima
kelompok kegemaran, yaitu:
1. Rupakhandha (kegemaran akan wujud atau bentuk) adalah semua yang terdapat
dalam makhluk yang masih berbentuk (unsur dasar) yang dapat diserap dan
dibayangkan oleh indra. Yang termasuk Rupakhandha adalah hal-hal yang
berhubungan dengan lima indra dengan obyek seperti bentuk yang terlihat,
terdengar, terasa, tercium ataupun tersentuh.
2. Vedanakhandha (kegemaran akan perasaan) adalah semua perasaan yang timbul
karena adanya hubungan lima indra manusia dengan dunia luar. Baik perasaan
senang, susah ataupun netral.
3. Sannakhandha adalah kegemaran akan penyerapan yang menyangkut intensitas
indra dalam menanggapi rangsangan dari luar yang menyangkut enam macam
penyerapan indrawi seperti bentuk-bentuk suara, bau-bauan, cita rasa, sentuhan
jasmaniah dan pikiran.
4. Shankharakhandha adalah kegemaran bentuk-bentuk pikiran. Bentuk-bentuk
pikiran di sini ada 50 macam, seperti lobha (keserakahan), chanda (keinginan),
sadha (keyakinan), viriya (kemauan keras) dan sebagainya.
5. Vinnanakhandha (kegemaran akan kesadaran) adalah kegemaran terhadap reaksi
atau jawaban yang berdasarkan pada salah satu dari keenam indra dengan obyek
dari indra yang bersangkutan. Kesadaran mata misalnya, mempunyai mata sebagai
dasar dan sasaran benda-benda yang dapat dilihat. Kesadaran tersebut mengarah
pada yang buruk, yang baik atau netral. 80
Kelima Kandha tersebut sering diringkas menjadi dua, yaitu nama dan rupa. Nama
adalah kumpulan dari perasaan, pikiran, penyerapan dan perasaan, yang dapat
digolongkan sebagai unsur-unsur rohaniah. Rupa adalah badan jasmaniah yang terdiri
dari empat unsur materi, yaitu unsur tanah, air, api dan udara.
Pemikiran tentang manusia dalam agama Buddha adalah unik, yaitu karena
penyangkalannya terhadap adanya roh atau atma yang kekal abadi dalam diri manusia.
Manusia dianggap merupakan kumpulan dari lima Kandha tanpa adanya roh atau atma
di dalamnya.
Anatma merupakan ajaran yang mengatakan bahwa tiada aku yang kekal atau
tetap.81 Bila roh yang dianggap sebagai inti manusia itu bersifat langgeng, maka tak
akan terjadi suatu perkembangan ataupun kemunduran. Menurut pendapat Bertrand
Russel “Perbedaan lama antara roh dan tubuh telah usai, karena materi telah
80
Mukti Ali. 1988. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, h. 124.
81
Harun Hadiwijono. 1987. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, h. 78.
kehilangan spiritualitasnya. Psikologi sudah menjadi ilmiah. Dalam psikologi modern
kepercayaan akan kekekalan tidak mendapat dukungan dari ilmu pengetahuan”.
Umat Buddha setuju dengan pendapat Bertrand Russel yang menyatakan
“Jelas terdapat beberapa alasan di mana aku sekarang merupakan orang yang sama
dengan aku kemarin, dan menggunakan contoh yang lebih jelas, bila aku melihat
seseorang dan mendengar ia bicara maka terdapat suatu pengertian di mana “aku”
yang mendengar.82
Anatma dapat diterangkan dalam 3 tingkatan, yaitu:
1. Tidak terlalu mementingkan diri
2. Kita tidak dapat memerintah terhadap siapa dan apa saja,
3. Bila tingkatan pengetahuan tinggi telah dicapai dan telah mempraktekkan
akan pengetahuan dan menemukan bahwa jasmani dan batinnya sendiri
adalah tanpa aku.
Jika ada suatu diri yang sejati atau permanen harus dapat diidentifikasikan.
Bagaimanapun juga tubuh berubah tak henti-hentinya dari detik ke detik, dari
kelahiran sampai kematian. Pikiran berubah lebih cepat lagi. Jadi, tidak dapat
dikatakan bahwa batin, badan, atau gabungan tertentu dari keduanya adalah suatu diri
yang berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri, karena badan maupun batin
tergantung dari banyak faktor untuk eksis. Karena apa yang dinamakan “diri” ini
hanyalah sekumpulan faktor fisik dan mental yang terkondisi dan selalu dalam
perubahan, tidak ada unsur yang nyata atau konkrit di dalam kita. Dengan menyadari
di atas, maka akan lebih mudah untuk tumbuh, belajar, berkembang, bermurah hati
dan berwelas asih karena tidak merasa harus membentengi diri. 83
Agama Buddha tidak menolak sama sekali adanya suatu kepribadian dalam
suatu pengertian empiris. Agama Buddha hanya bermaksud menunjukkan bahwa roh
kekal tidak ada di dalam suatu pengertian mutlak. Istilah filsafat Budhis bagi seorang
individu adalah Santana, yaitu arus atau kelangsungan, yang mencakup unsur-unsur
82
Joko Wuryanto dan Yuyuk Sri Rahayu (ed.). 2003. Pengetahuan Dharma untuk Mahasiswa. Jakarta:
CV. Dewi Kayana Abadi, h. 66.
83
---------, 2005. Jadilah Pelita Ajaran Univeral Buddha. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya dan
Ehipassako Foundation, h. 81.
rohani dan jasmani”. Kekuatan kamma masing-masing individu merupakan unsur-
unsur batin dan jasmani.84
Manusia selalu berada dalam dukkha karena hidup menurut ajaran Buddha
selalu dalam keadaan dukkha, sebagaimana diajarkan dalam Catur Arya Satyani
tentang hakikat dari dukkha. Ada 3 macam dukkha, yaitu:
1. Dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha)
2. Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (viparinamadukkha)
3. Dukkha sebagai keadaan yang saling bergantung (sankharadukkha)
84
Joko Wuryanto dan Yuyuk Sri Rahayu (ed.). 2003, h. 69.
85
Mukti Ali. 1988, h. 126.
6. 3. Ajaran tentang kehidupan sosial86
Peduli terhadap sesama adalah ajaran inti dari banyak keyakinan di dunia. Tidak
terkecuali agama Buddha. Hal ini tergambar jelas dari perjalanan hidup Sang Buddha
Gautama sebelum mencapai pencerahannya.
Sejak menjadi pewaris tunggal Kerajaan Sakya di India pada zamannya dan
menjadi Pangeran Sidharta Gautama, ia sudah menunjukkan kepeduliannya terhadap
sesama. Sebagai pangeran yang berkelimpahan materi, rezeki, harta, tahta dan kereta,
ia, walaupun diasingkan oleh ayahandanya untuk melihat dunia luar yang penuh
dengan ‘derita’ hidup warganya karena hal itu dapat menjadi pemicu sang pangeran
meninggalkan istana dan menjadi petapa (menurut peramal Asita yang sangat sakti
pada saat itu), tetap saja jiwa sosial sang pemegang tahta kerjaan Sakya itu tidak
terbendung.
Dengan penuh kesadaran bahwa yang ingin bahagia bukan hanya dirinya, ia
pun meninggalkan istana, istri dan putra tunggalnya demi menolong makhluk lain
yang memerlukan bantuannya. Dan, benar saja, saat berada di luar tembok istana,
segala bentuk derita yang dialami warganya terlihat nyata. Ada yang lahir tidak
sempurna, tua merana, sakit terlunta-lunta sampai dengan meninggal sia-sia. Hal itu
adalah kepedulian pertama yang membuatnya mencetuskan sebuah gagasan besar:
‘Aku harus melakukan sesuatu untuk menolong sesama.’
Melalui beragam rintangan, tentangan dan tantangan selama lebih kurang 6
(enam) tahun, akhirnya sang pangeran yang telah menjadi Petapa Gotama pun meraih
pencerahan sempurna (samma sambodhi) dan menjadi seorang Buddha (orang yang
tercerahkan). Sesaat setelah ia mencapai itu semua, ada keraguan pada dirinya: apakah
yang telah didapatkannya akan mampu diterima oleh manusia lainnya? Namun, berkat
dorongan sosial yang sangat kuat pada dirinya, ia memutuskan untuk mulai mengajar.
Dan, sejarah mencatat ia mengajar selama 45 tahun sampai akhirnya berserah pada
kerapuhan fisik yang tidak dapat dipertahankan lagi (80 tahun) dan akhirnya
parinibbana (wafat Agung).
Ajaran sosial yang beliau tebarkan terlihat jelas pada banyak bagian dalam
kitab suci Tripitaka. Beberapa di antaranya adalah tentang Dana (beramal) buat
86
Ponijan Liaw. 2019. Sosialitas dalam Perspektif Agama Buddha. Jakarta: Manuskrip Pribadi.
sesama yang terdapat pada Sad Paramita (6 Sila) dan Dasa Paramita (10 Sila). Dan,
yang melegenda adalah ajaran beliau tentang kepedulian sosial terhadap orang yang
sakit: “Seseorang yang merawat orang sakit, berarti ia telah merawat saya”.
Jadi, jelas bahwa Buddha mengajar bukan untuk mendapatkan pengikut atau
pun mengubah keyakinan atau cara hidup seseorang, melainkan untuk menunjukkan
jalan melenyapkan permasalahan kehidupan (dalam istilah Buddhis disebut
penderitaan atau dukkha) tanpa seseorang harus terikat dengan menganut agama
Buddha. Contohnya, ajaran Buddha tentang meditasi ketenangan batin dapat
dijalankan oleh siapa saja, dari agama mana pun dan bangsa mana pun, tanpa perlu
menjadi umat Buddha (telah terdapat banyak bukti bahwa meditasi bisa meningkatkan
kualitas hidup seseorang, terutama dalam hal kesehatan).
6. 4. 3. Hormati Guru Agamamu yang Sebelumnya
Pada abad ke 6 SM di India berkembang berbagai ajaran agama selain agama Hindu
yang bersumber dari kitab Veda. Selain agama Buddha, terdapat juga agama Jainisme
yang diajarkan oleh Jaina Mahavira (disebut juga Nigantha Nataputta dalam kitab-
kitab Buddhis) yang hidup sezaman dengan Buddha Gautama. Walaupun agama
Buddha sudah hampir punah di tanah kelahirannya, agama Jainisme masih mengakar
kuat dan memiliki banyak pengikut di India saat ini.
Seorang pengikut awam Nigantha Nataputta yang terkemuka bernama Upali
terkenal akan kepandaiannya dalam berdebat. Ia diutus oleh gurunya untuk
mengalahkan Buddha dalam perdebatan tentang manakah yang menghasilkan akibat
yang lebih besar perbuatan melalui pikiran, tubuh, atau ucapan. Buddha mengajarkan
bahwa perbuatan melalui pikiranlah yang menghasilkan akibat yang lebih besar,
sedangkan Nigantha mengajarkan bahwa perbuatan melalui tubuh yang menghasilkan
akibat yang lebih besar. Pada akhir perdebatan tersebut, Upali mengakui kebenaran
ajaran Buddha dan bermaksud untuk menjadi pengikut Beliau. Namun Sang Buddha
berkata:
“Perumah tangga, pikirkanlah kembali sebelum kamu berbuat, orang-orang
terkemuka seperti dirimu seharusnya berpikir secara hati-hati sebelum bertindak.”
Upali menjawab, “Yang Mulia, saya sangat puas dan gembira dengan kata-kata Sang
Bhagava tadi. Jika para pertapa lain mendapatkan murid seperti saya, mereka akan
membawaku berkeliling kota Nalanda dengan mengatakan: ‘Upali sang perumah
tangga telah menjadi pengikut kami.’ Namun di sini Sang Bhagava mengatakan:
‘Perumah tangga, pikirkan kembali sebelum kamu berbuat... dst.’ Sekarang saya
menyatakan diri berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha untuk kedua
kalinya. Semoga saya diingat sebagai umat awam yang telah mengambil
perlindungan sejak hari ini hingga kehidupanku berakhir.”
“Perumah tangga, telah lama sekali keluargamu menjadi penyokong utama bagi para
Nigantha. Aku menganjurkan agar dana makanan tetap diberikan kepada para
Nigantha yang datang.”
“Yang Mulia, saya sangat puas dan gembira dengan kata-kata Sang Bhagava ini:
‘Perumah tangga, telah lama sekali keluargamu menjadi penyokong utama bagi para
Nigantha.... dst.’ Yang Mulia, saya telah mendengar tentang Anda: ‘Pemberian dana
harus diberikan kepada-Ku saja, tidak kepada orang lain. Pemberian dana harus
diberikan kepada para siswa-Ku saja, tidak kepada para siswa ajaran lain.
Pemberian dana yang diberikan kepada para siswa-Ku akan memiliki buah yang
besar, tetapi tidak pemberian kepada orang lain.’ Namun di sini Sang Bhagava
menyarankan saya agar memberikan dana kepada para Nigantha. Kami mengetahui
kapan waktunya untuk melakukan hal tersebut. Sekarang saya berlindung kepada
Buddha, Dhamma, dan Sangha untuk ketiga kalinya....” (Upali Sutta)
Terlihat bahwa Buddha menganjurkan agar para pengikut-Nya yang berasal
dari keyakinan lain setelah menjadi pengikut Beliau harus tetap menghormati para
guru agamanya yang terdahulu dengan menerima mereka dengan baik jika datang ke
rumah untuk meminta dana makanan (meminta dana makanan dengan mendatangi
rumah ke rumah adalah kebiasaan para pertapa India sejak zaman dahulu dan saat ini
masih dilakukan para bhikkhu Buddhis).
Di sini Buddha mengatakan bahwa ajaran mana pun yang mengajarkan Jalan
Mulia Berunsur Delapan merupakan ajaran yang dapat menghasilkan orang-orang
suci; oleh karena itu, ajaran tersebut adalah ajaran yang benar. Jalan Mulia Berunsur
Delapan dalam ajaran Buddha dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu
pengembangan perilaku yang bermoral (sila), pembersihan pikiran/batin melalui
meditasi (samadhi), dan pengembangan kebijaksanaan (panna/prajna). Menurut agama
Buddha, agama mana pun yang mengajarkan ketiga hal ini adalah agama yang benar
dan dapat membuat pengikutnya menjadi suci batinnya. Dengan demikian, agama
Buddha juga mengakui adanya kebenaran dalam ajaran agama lain.
Demikianlah agama Buddha dengan sifat toleransi dan pasifisme (paham cinta
damai) yang tinggi dapat hidup rukun dan harmonis dengan agama lain di mana pun ia
berkembang. Dalam sejarah perkembangannya, agama Buddha tidak pernah
menyebabkan pertumpahan darah saat memperkenalkan ajarannya di dalam maupun
di luar India. Di Asia Timur khususnya di Cina agama Buddha dapat berbaur dengan
keyakinan setempat (agama Kong Hu Cu dan Taoisme) yang kemudian menghasilkan
keyakinan baru yang disebut Tri-Dharma (Tiga Ajaran: Buddha, Kong Hu Cu, dan
Tao). Di Indonesia sendiri pada masa kerajaan Majapahit kehidupan agama Buddha
dan agama Hindu berlangsung rukun dan harmonis seperti yang tersirat dalam
ungkapan Jawa Kuno “Bhinneka tunggal ika, tan hana Dharma mangrwa (Berbeda-
beda namun tetap satu, tiada Kebenaran yang mendua)” yang tertulis dalam kitab
Sutasoma.
Pada zaman modern ini umat Buddha telah membina kerukunan intern dalam
agama Buddha sendiri dengan pendirian berbagai organisasi Buddhis internasional
non-sektarian seperti World Buddhist Council dan World Fellowship of Buddhist yang
berusaha mempersatukan berbagai aliran agama Buddha yang berbeda-beda. Pada
abad ke-21 umat Buddha di seluruh dunia sama sekali tidak terpancing emosi ketika
patung Buddha raksasa di Bamiyan, Afghanistan dihancurkan. Reaksi umat Buddha
yang singkat dan damai serupa juga terjadi saat pendirian Buddha Bar di Indonesia.
PERTANYAAN REFLEKTIF
1. Jelaskan secara singkat sejarah munculnya agama Buddha?
2. Jelaskan ajaran Buddhisme tentang individualitas dan sosialitas manusia!
3. Berilah analisis Anda terkait dengan ajaran Agama Buddha tentang individualitas dan
sosialitas tersebut dalam konteks kehidupan yang harus semakin inklusif dan toleran!
KEGIATAN:
1. Carilah/Browsing contoh-contoh implementasi ajaran agama Buddha tentang individualitas
dan sosialitas!
2. Diskusikanlah dalam kelompok, bagaimana seharusnya kita bersikap dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan ini dalam membangun sikap yang inklusif dan toleran seperti
diajarkan dalam agama Buddha.
Bab 7
AGAMA DAN KEBEBASAN MANUSIA
Tujuan:
1. Menjelaskan konsep-agama dalam menghadapi problem kemanusiaan, khususnya tentang
kebebasan (C4).
2. Melihat dan menjelaskan kehendak bebas sebagai berkah Ilahi (C4, C6).
3. Menularkan spiritualitas berbagi dan membangun kebersamaan sosial (C6).
Metode:
1. Presentasi kelompok
2. Pendalaman materi
3. Tanya jawab
Waktu: 100 menit
Media/Alatbantu:
• White-board
• Infocus
• Spidol
• Gambar/film
Bahan Bacaan:
• Joko Suyanto, dkk., Agama dan Moral
• Joko Suyanto, dkk., Beriman dalam Konteks
• Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri
• Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Bab 7)
• Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar
• Albertus Sujoko, MSC, Belajar Menjadi Manusia (Bab 2)
• Frithjof Schoun, Transformasi Manusia
7. 1. Pengantar
Manusia itu sebenarnya memiliki kebebasan atau tidak? Berkaitan dengan
pertanyaan tersebut terdapat pandangan yang tidak sama, baik dari pandangan agama
maupun filsafat. Kaum determinis berpendapat bahwa manusia itu tidak memiliki
kebebasan karena sudah ditentukan. Sementara kaum liberalis mengatakan bahwa
manusia memiliki kehendak bebas untuk menentukan dirinya sendiri. Justru karena
memiliki kebebasan inilah maka manusia dapat dimintai pertanggungjawaban atas
setiap tindakan yang dilakukannya. Berkat kehendak bebasnya pula, manusia dapat
menanggapi atau menolak panggilan Allah untuk hidup baik dan benar.
Pada pertemuan ini, kita akan membicarakan persoalan kebebasan manusia dan
bagaimana menggunakan kebebasan tersebut secara benar. Pandangan ini sebagian
besar mengikuti pemikiran dalam buku Agama dan Moral.87
87
Joko Suyanto, Agama dan Moral, hal.100-112
7. 2. Manusia tidak Bebas: Pandangan Determinisme
Kaum determinis menyatakan bahwa manusia itu sesungguhnya tidak memiliki
kebebasan. Perilaku manusia sudah ditentukan oleh berbagai faktor, seperti faktor
biologis, psikologis, sosiologis, dan teologis.
a. Determinisme biologis
Determinisme biologis menyatakan bahwa tindakan manusia sangat ditentukan
oleh faktor-faktor biologisnya sehingga ia tidak bebas lagi. Bentuk tubuh, umur, daya
kekuatan, kondisi, jenis kelamin seseorang mau tidak mau berpengaruh terhadap
perilakunya. Seorang berpostur tubuh pendek misalnya tidak bisa melakukan suatu
perbuatan yang dilakukan oleh seorang yang berbadan tinggi. Determinisme biologis
menegaskan bahwa perilaku manusia bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah
keharusan dari dimensi biologis manusia. Struktur genetika manusia telah
mengarahkan orang tersebut pada perilaku tertentu.
b. Determinisme psikologis
Menurut Sigmund Freud struktur kejiwaan manusia terdiri atas tiga bagian,
yakni Id, Ego, dan Superego. Id merupakan lapisan psikis manusia paling bawah. Di
dalamnya terdapat naluri-naluri seksual dan keinginan yang direpresi. Sigmund Freud
berpendapat bahwa yang membentuk hidup psikis manusia dalam kehidupan sehari-
hari adalah alam bawah sadar (id), termasuk dorongan untuk mencari nikmat yang
disebutnya sebagai libido. Dorongan ini menggerakkan dan menentukan tindakan
manusia. Karena sudah ditentukan oleh id, maka kebebasan manusia untuk memilih
tindakannya tidak ada. Dengan demikian tidak ada juga tanggung jawab moral.
c. Determinisme sosial
Menurut determinisme sosial, tingkah laku manusia baik perseorangan maupun
kelompok ditentukan oleh lingkungan atau struktur sosialnya. Karena itu, tidak ada
kebebasan manusia untuk menentukan tindakannya sendiri. Dalam konteks ini pula
manusia tidak mungkin diminta pertanggungjawaban moral sebab
pertanggungjawaban moral mengandaikan adanya kebebasan.
Kita ikuti pemikiran Karl Marx dan Skinner. Menurut Marx, bukan kesadaran
manusia yang menentukan keadaan sosial, melainkan keadaan sosiallah yang
menentukan kesadaran seseorang. Dengan kata lain, perilaku manusia sangat
ditentukan oleh struktur sosial masyarakat yaitu struktur ekonomi yang oleh Marx
disebutnya sebagai infrastruktur (bangunan bawah). Sedangkan ide, agama, politik,
dan ideologi merupakan bangunan atas (supra struktur). Yang menentukan seluruh
aktivitas manusia bukanlah supra struktur, melainkan infrastruktur yaitu basis
ekonomi.
BF. Skinner juga berpandangan bahwa tingkah laku manusia ditentukan oleh
lingkungannya. Menurut Skinner, seorang anak yang lahir dalam situasi lingkungan
yang baik, misalnya, dengan sendirinya berperilaku baik. Sebaliknya, jika ia
dilahirkan dalam lingkungan sosial yang kurang baik, perilakunya akan terbentuk oleh
lingkungan tersebut.
d. Determinisme teologis
Determinisme teologis menyatakan bahwa Kekuatan Ilahi telah menentukan
manusia bukan hanya perilakunya, tetapi juga hidup manusia itu sendiri. Manusia
tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan dan tindakannya karena Allah
Yang Mahakuasa sudah menentukan. Manusia hanya dapat menerima dan
menjalaninya. Dalam pandangan ini manusia dilihat seperti wayang di tangan sang
dalang.
7. 4. Pengertian Kebebasan
Kebebasan berarti kemampuan manusia untuk mengambil keputusan sendiri.
Dengan kata lain kebebasan berarti kesanggupan seseorang untuk memilih dan
memutuskan sendiri apa yang harus dilakukan. Kebebasan seperti ini disebut juga
kebebasan eksistensial, yaitu kemampuan manusia untuk menentukan tindakannya
sendiri. Karena itu kata yang dipakai adalah "bebas untuk". Manusia “bebas untuk”
bertindak.
Kebebasan eksistensial mencakup kebebasan jasmani dan kebebasan rohani.
Kebebasan jasmani berarti seseorang bebas untuk menentukan sendiri apa yang akan
dilakukan secara fisik. Dengan kata lain, kebebasan jasmani berarti kemampuan
manusia untuk menggerakan anggota badannya. Sedangkan kebebasan rohani berarti
kemampuan seseorang untuk berpikir sendiri. Kedua kebebasan tersebut saling
berhubungan. Kebebasan rohani menjadi dasar kebebasan jasmani. Artinya, orang
berpikir dahulu sebelum mewujudkannya dalam suatu tindakan.
Kebebasan juga dapat dimengerti sebagai suatu suatu keadaan di mana tidak ada
hambatan atau larangan dari pihak luar. Kebebasan dalam arti ini disebut kebebasan
sosial. Kebebasan sosial dapat dipahami sebagai “bebas dari” pembatasan tindakan
yang dilakukan secara paksa atau sengaja oleh orang lain.
Orang lain atau masyarakat boleh membatasi kebebasan manusia dengan dasar
bahwa setiap manusia memiliki kebebasan yang sama. Karena setiap manusia
memiliki kebebasan, maka kebebasan itu harus diatur atau dibatasi. Alasan lain dalam
pembatasan kebebasan manusia adalah demi tercapainya tujuan bersama dalam
masyarakat. Tanpa adanya pembatasan kebebasan, tujuan bersama masyarakat sulit
tercapai.
Masyarakat dapat membatasi anggotanya dengan berbagai cara. Pertama,
pembatasan kebebasan jasmani dengan cara paksaan. Dalam hal ini, orang yang lebih
kuat melakukan paksaan fisik kepada orang lainnya, sehingga tidak mampu
menggerakkan anggota badannya. Misalnya dengan cara: memasung, memborgol,
memenjara, dan sebagainya. Kedua, pembatasan kebebasan rohani dengan cara
tekanan. Artinya orang lain secara sadar mempengaruhi pemikiran orang lain.
Akibatnya orang tersebut tidak mampu berpikir sendiri. Cara yang dipakai bisa
dengan sugesti, hipnotis, cuci otak, dan sebagainya. Ketiga, pembatasan kebebasan
normatif dengan cara memberi larangan dan kewajiban. Pembatasan ini dilakukan
melalui peraturan dan perintah.
Dari ketiga pembatasan itu yang dibenarkan secara moral adalah pembatasan
normatif. Pembatasan normatif tidak mematikan kebebasan eksistensial seseorang.
Adanya peraturan dan larangan tidak membuat orang tidak dapat berpikir dan
bertindak sendiri. Hal itu berbeda dengan pembatasan jasmani dan rohani yang
membuat orang tidak mampu berpikir dan bertindak sendiri. Dalam pembatasan
normatif, orang masih dapat berpikir untuk memilih melanggar peraturan atau tidak.
Setelah berpikir, dia akan mewujudkannya dalam suatu tindakan nyata. Misalnya,
larangan merokok di kampus. Dalam hal ini, orang bisa saja tidak mematuhinya.
Pembatasan kebebasan normatif dapat diterima karena menghargai martabat manusia,
yang mampu berpikir dan bertindak sendiri.
88
Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, hal. 214.
Roh membimbing dan mengarahkan manusia pada kebaikan dan kebenaran. Ia
menghantar manusia untuk bersatu dengan Allah, Sang Kebaikan dan Kebenaran
sejati sehingga manusia mengalami kebahagiaan.
Dengan akal budinya manusia tahu yang baik dan yang jahat. Manusia tahu
mana yang berkenan kepada Allah dan mana yang tidak. Ia tahu mana yang benar dan
yang salah. Dengan akalnya, manusia dapat membedakan mana tujuan dan mana
sarana. Dengan pikirannya juga manusia dapat menimbang-nimbang dan memilih
dalam hidup ini. Kemampuan manusia memilih secara tepat sangat menentukan
tercapainya tujuan hidupnya.
Selain roh dan akal budi, Allah juga memberi kehendak bebas kepada manusia.
Manusia dengan kehendak bebasnya mampu menentukan pilihannya sendiri. Allah
tidak pernah memaksa manusia. Manusia bebas memutuskan sendiri: apakah ia mau
mengikuti Allah atau tidak. Roh, akal budi, dan kebebasan merupakan kekhasan
manusia. Ciptaan lain tidak mempunyai ketiga hal tersebut.
Akhirnya, manusia melaksanakan keputusan bebasnya tersebut dalam suatu
tindakan nyata. Setiap tindakan manusia merupakan perwujudan dari kerohanian
manusia. Artinya setiap tindakan kita merupakan hasil keputusan bebas yang kita
ambil setelah melalui proses pemikiran yang matang. Karena itulah setiap tindakan
manusia menjadi bernilai. Setelah bertindak, manusia harus siap untuk bertanggung
jawab, orang harus siap menanggung risikonya.
“Manusia jatuh ke dalam dosa” yang diceritakan dalam Kitab Kejadian 3
memberi gambaran yang bagus tentang kebebasan manusia. Dalam kisah tersebut
tergambar jelas, bagaimana proses pemikiran, pilihan, dan keputusan yang diambil si
perempuan. Akhirnya, disajikan juga gambaran mengenai akibat dari keputusan salah
yang diambilnya. Pikiran perempuan dalam kisah tersebut dihadapkan pada pilihan
antara makan buah terlarang atau tidak. Makan buah terlarang berarti tidak setia
kepada Allah; tidak makan berarti setia kepada Allah. Pertimbangan ini masuk ranah
akal budinya. Masih berkaitan dengan akal budinya, si perempuan menjatuhkan suatu
pilihan untuk makan.
Setelah menimbang-nimbang dan memilih, akhirnya perempuan itu
memutuskan untuk makan. Keputusan tersebut dilakukan dengan sadar dan bebas,
tidak ada yang memaksa. Meskipun si perempuan menyalahkan si ular seolah-olah ia
yang memaksanya makan buah terlarang, bagaimanapun juga perempuan tersebut
tetap bebas untuk menolaknya. Dengan demikian, perempuan tersebut dengan sadar
dan bebas telah memilih untuk tidak setia kepada Allah. Ia dengan kehendak bebasnya
memilih meninggalkan Allah, yang adalah Kasih. Akibat memilih hidup di luar Kasih,
maka manusia mengalami penderitaan. 89
89
Joko Suyanto, Beriman dalam Konteks, hal. 16-18
Segi ketiga adalah relasi manusia dengan ciptaan lainnya. Dibanding ciptaan
lainnya, manusia adalah makhluk paling mulia. Karenanya manusia dipercaya Tuhan
untuk mengelola dan merawat alam. Sebagai wakil Allah di dunia, manusia
berkewajiban untuk memelihara dan melestarikan alam ciptaan-Nya. Lingkungan
alam merupakan rumah kita. Kerusakan lingkungan alam berarti kehancuran manusia
sendiri. 90
Apa dasarnya manusia harus berbuat baik? Manusia hidup karena kebaikan.
Tanpa kebaikan atau kasih. Manusia tidak bisa hidup. Kasih itu pertama-tama dari
Allah yang menghendaki kita hidup dengan perantaraan kedua orang tua. Selanjutnya
kita hidup karena kasih dan kebaikan dari sesama kita, seperti orang tua, keluarga,
para guru dan dosen, juga masyarakat sekitar. Kita hidup juga karena ditopang oleh
alam yang menyediakan kebutuhan hidup kita. Karena kita telah menerima kasih dan
kebaikan, maka sudah selayaknya kalau hidup kita untuk kasih dan kebaikan.
PERTANYAAN REFLEKTIF:
3. Apakah hidup manusia di dunia ini telah ditentukan oleh Allah sehingga manusia tidak
memiliki kebebasan lagi? Berikan argumentasi dan contoh-contohnya!
4. Mengapa kita harus memakai kebebasan kita untuk memilih dan memutuskan yang
baik?
KEGIATAN:
Diskusikanlah dalam kelompok: sesungguhnya manusia itu memiliki kebebasan atau tidak?
Jelaskan dari sudut pandang agama Anda masing-masing!
90
Joko Suyanto, Beriman dalam Konteks, hal.9-11