Anda di halaman 1dari 100

BAB 1

BUDAYA MANUSIA DAN PENGALAMAN TRANSENDENTAL

Tujuan:
1. Menjelaskan pengertian budaya dan kepercayaan (C2, C3).
2. Menjelaskan pengaruh religiositas pada perilaku (C2).
3. Memahami dan menjelaskan hubungan antara religiositas dan agama (C2).

Metode:
1. Ceramah
2. Diskusi
3. Tanya jawab

Waktu: 100 menit

Media/Alatbantu:
• White-board
• Infocus
• Spidol
• Gambar/film

Bahan Bacaan:
• Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi
• Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama
• Agus M. Hardjana, Religiositas, Agama, Spiritualitas
• Joko Suyanto, dkk., Agama dan Moral.
• Dr. Nico Syukur Dister Ofm, Pengalaman dan Motivasi Beragama
• J.W.M. Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar
• Karen Amstrong, A Short History Of Myth
• Frithjof Schoun, Titik temu Agama-agama
• Al. Andang, Agama yang Berpijak dan Berpihak

1.1. Pengantar
Manusia berkat jiwanya memiliki keterarahan dan kerinduan akan yang
transenden, yang disadari sebagai “kekuatan dan kekuasaan” di luar manusia.
Keterbatasan manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri, sesama manusia, dan
alam menyadarkan manusia akan adanya Yang Lain Yang Tidak Terbatas, yang
kekuatan dan kekuasaan-Nya melebihi manusia. Keterbatasan manusiawi ini
menghantarkan manusia pada kesadaran akan adanya Yang Tidak Terbatas yang
mampu mengatasi segala keterbatasan manusia.
Keterbatasan manusia paling nyata tampak pada aspek kejasmaniannya, bahwa
manusia bisa lapar, haus, capai, sakit, menjadi tua, dan akhirnya mengalami kematian.
Dalam keterbatasannya itu, manusia menyadari adanya Yang Lain, yang bukan “aku”,
juga bukan “sesama manusia”, dan bukan “alam”. Yang Lain itu jauh lebih kuat dan
berkuasa daripada manusia sendiri. Ia disadari sebagai yang menentukan manusia.
Berhadapan dengan Diri-Nya, manusia mengalami ketergantungan mutlak kepada-
Nya.1
Kesadaran dan pengalaman manusia akan adanya “Kekuatan” di luar dirinya
tersebut tidak sama dari zaman ke zaman. Hal itu berkaitan dengan tingkat
pengetahuan dan kebudayaan yang ada. Pada bab 1 ini, kita akan membahas tentang
sikap religius dalam masyarakat primitif (sebelum budaya baca tulis) yang ditandai
dengan berbagai macam kepercayaan.

1. 2. Kebudayaan Manusia
Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah bentuk jamak dari
buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan
sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada pula yang menjelaskan kata
“budaya” berasal dari kata budi-daya, yang artinya daya dari budi.2
Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar. Karena itu, terdapat tiga wujud kebudayaan 3 yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, dan peraturan. Wujud kebudayaan ini tempatnya dalam pikiran
warga masyarakat. Ide-ide dan gagasan tersebut membentuk suatu sistem,
maka disebut sistem budaya (cultural system) atau adat. Wujud kebudayaan ini
sering disebut kebudayaan ideal. Ia memberi jiwa pada masyarakat.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola
dari manusia dalam masyarakat. Wujud kebudayaan ini disebut juga sistem
sosial (social system). Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia
yang saling berinteraksi satu dengan yang lain menurut pola-pola tertentu
berdasarkan adat tata kelakuan. Seistem sosial ini bersifat konkret.

1
Joko Suyanto, Agama dan Moral, hal. 12
2
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hal. 181
3
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hal. 186-188
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ketiga
dari kebudayaan ini disebut kebudayaan fisik karena berupa seluruh hasil
aktivitas manusia dalam suatu masyarakat. Wujud ini merupakan wujud
kebudayaan paling kokret.

Ketiga wujud kebudayaan tersebut tidak terpisahkan satu dengan yang lain,
tetapi saling berhubungan. Kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah pada
tindakan dan karya manusia. Sebaliknya karya manusia mempengaruhi cara berpikir
dan bertindak manusia. Dalam konteks ini kita lihat hubungan antara kebudayaan dan
manusia. Di satu sisi kebudayaan merupakan ciptaan manusia berkat akal budinya, di
sisi lain kebudayaan fisik yang telah diciptakan tersebut menjadi otonom dan berbalik
mempengaruhi manusia. Dalam konteks ini pula kita bisa melihat bahwa kebudayaan
dapat berubah dan terus berkembang selama manusia terus berpikir untuk mencipta.
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan memiliki tujuh unsur, yaitu: bahasa,
sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem
mata pencaharian, sistem religi, serta kesenian. Tentu saja dalam tiap unsur
kebudayaan tersebut mewujud dalam tiga wujud kebudayaan, yaitu sistem budaya,
sistem sosial, dan kebudayaan fisik. Misalnya berkaitan dengan sistem religi wujud
sistem budayanya (ide-ide) tampak pada sistem keyakinan, gagasan tentang Tuhan,
dewa-dewi, roh-roh, sorga, neraka, dan sebagainya. Wujud sistem sosialnya (tindakan)
berupa upacara-upacara atau ritus keagamaan. Wujud fisik dari sistem religi tampak
dalam benda-benda suci yang dihasilkan untuk peribadatan.4

1. 3. Berbagai Kepercayaan dalam Budaya Kuno


Yang dimaksud dengan “budaya kuno” di sini adalah orang-orang pada zaman
pra-sejarah. Orang-orang pada zaman itu telah bisa menggunakan akal budi dan
beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta menghasilkan benda-benda
tertentu, tetapi belum bisa baca tulis. Istilah lain menyebutnya sebagai masyarakat
primitif. Istilah “primitif” di sini menunjuk pada masyarakat kesukuan yang belum
mengenal baca tulis.

4
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hal. 202
Mariasusai Dhavamony menjelaskan berbagai macam kepercayaan dalam
masyarakat primitif 5:
a. Animisme
Animisme merupakan kepercayaan kepada makhluk-makhluk adikodrati yang
dipersonifikasikan. Perwujudannya dari Roh yang Mahatinggi hingga pada roh halus,
roh lelulur, dan roh dalam objek-objek alam. Kepercayaan pada roh tersebut muncul
sebagai kebutuhan untuk menangkal kejahatan, menghilangkan musibah, atau
menjamin kesejahteraan manusia.

b. Pra-Animisme atau Animatisme


Animatisme mendahului animisme sebab bentuknya lebih sederhana daripada
animisme. Animatisme berpandangan bahwa di dunia ini ada daya pembaharu yang
tersebar di mana-mana sebelum mempribadi sebagai makhluk-makhluk rohani yang
terpisah. Sebagai suatu kepercayaan, animatisme berarti suatu daya atau kekuatan
supernatural yang terdapat pada pribadi tertentu, binatang, dan benda-benda. Daya ini
bersifat adikodrati dan tak berpribadi.

c. Totemisme
Totemisme merupakan fenomena yang menunjuk hubungan suatu suku bangsa
atau klan dengan suatu spesies hewan atau tumbuhan tertentu. Totemisme merupakan
sistem kepercayaan dan praktik yang mewujudkan hubungan mistis antara anggota
kelompok masyarakat dan jenis binatang atau tumbuhan tertentu. Totemisme
diungkapkan dalam upacara-upacara dan peraturan-peraturan khusus. Totemisme
mengandung perintah-perintah yang dijunjung tinggi, misalnya tidak boleh
membunuh atau makan daging binatang totem atau merusak tumbuhan totem. Para
anggota klan percaya bahwa mereka berasal dari leluhur totem yang sama. Mereka
menggunakan totem sebagai simbol kelompok sekaligus sebagai pelindung kelompok.
Dalam upacara totem, kepentingan religius yang paling utama adalah
pengaktualisasian identitas antara totem dan klan. Hormat pada binatang / tumbuhan
totem diungkapkan masing-masing individu dalam hubungannya dengan masyarakat

5
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hal. 65-82
klan. Hal itu kemudian menjadi sumber dari tradisi moral dan makanan masyarakat.
Totemisme merupakan sistem masyarakat yang tidak hanya menyatukan
antarmanusia, tetapi juga manusia dengan lingkungannya.

d. Urmonoteisme/ Henoteisme
Menurut Pater Wilhelm Schmidt dalam masyarakat primitif telah terdapat
suatu kepercayaan akan yang Mahatinggi sebagai pencipta dan pemberi hukum. Yang
Mahatinggi tersebut dikenal sebagai dewa tertinggi atau bapa segala sesuatu dari suku
yang bersangkutan. Hampir semua agama primitif memiliki ide mengenai Yang
Mahatinggi atau dewa tertinggi. Dewa tertinggi itu diyakini oleh klan sebagai
pencipta, mahatahu, pembuat aturan tentang hubungan antarmanusia.

e. Pemujaan terhadap Leluhur


Pemujaan leluhur merupakan suatu kumpulan sikap, kepercayaan, dan praktik
berhubungan dengan pendewaan terhadap orang-orang yang sudah meninggal dalam
suatu hubungan kekeluargaan. Di balik sikap tersebut terdapat keyakinan bahwa
leluhur yang telah meninggal masih hidup dalam wujud lain dan bisa campur tangan
dalam kehidupan manusia di dunia. Oleh karena itu, ia harus ditenangkan dan
disejahterakan.
Dasar umum dari pemujaan leluhur ini adalah struktur keluarga dan pertalian
keluarga. Secara tidak langsung pemujaan leluhur berfungsi sebagai pengikat anggota
masyarakat dengan aturan tingkah laku moral. Misal, seseorang tidak mengindahkan
norma-norma tradisi. Ia akan dipandang sebagai penyebab kemarahan roh-roh leluhur
dan dapat mendatangkan bencana bagi diri sendiri maupun kelompok.

1. 4. Peran Mitos dalam Kepercayaan 6


Mitos merupakan cerita atau sesuatu yang dikatakan seseorang. Mitos
mengandung pernyataan atas suatu kebenaran tentang realitas asali. Masyarakat suku
menyampaikan pengetahuan tentang mitos hanya untuk orang-orang yang sudah
diinisiasi. Mitos mengisahkan sejarah, sejumlah peristiwa yang terjadi di masa lalu

6
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hal. 147-165
yang jauh dan luar biasa. Para pelakunya adalah para dewa atau makhluk adikodrati.
Mitos digunakan untuk mempengaruhi masyarakat secara langsung dan mengubah
kondisi manusia. Mitos menceritakan bagaimana suatu keadaan menjadi sesuatu yang
lain: bagaimana dunia yang kosong menjadi berpenghuni, bagaimana situasi yang
kacau menjadi teratur, dan sebagainya. Mitos tidak hanya menceritakan asalmula
dunia, binatang, tumbuhan, dan manusia, tetapi juga kejadian-kejadian awal yang
menyebabkan manusia menemukan dirinya ada seperti sekarang ini.
Mitos sangat penting dalam masyarakat primitif. Dengan menghayati mitos
lewat ucapaca ritual, seseorang bisa meniru dan menghadirkan kembali makhluk-
makhluk ilahi dan aktivitas mereka. Mitos merupakan kisah yang diceritakan untuk
mengungkapkan kepercayaan tertentu, berperan sebagai peristiwa pertama dalam
suatu ritus, dan sebagai model tetap dari perilaku moral dan religius. Karena itu,
mitologi dari suatu masyarakat selalu terjalin dengan kebudayaan mereka. Mitos
menyuarakan keyakinan masyarakat yang bersangkutan. Mitos juga menentukan ritus,
peraturan sosial, dan sebagai model tetap dari tingkah laku moral mereka. Singkatnya,
mitos dalam masyarakat primitif berfungsi untuk mengungkapkan dan merumuskan
kepercayaan, melindungi dan memperkuat moralitas, menjamin ritus, dan memberi
peraturan-peraturan praktis untuk tuntunan hidup manusia. Jadi, mitos merupakan
suatu kekuatan yang mampu menata masyarakat.
Menurut Malinowski, mitos dalam masyarakata primitif bukanlah semata-mata
cerita yang dikisahkan, tetapi juga merupakan kenyataan yang dihayati. Mitos
merupakan daya aktif di dalam kehidupan masyarakat primitif. Mitos menjadi
penghubung antar institusi-institusi sosial yang ada.
Bagi Mircea Eliade, mitos selalu berkaitan dengan penciptaan. Mitos
menceritakan bagaimana segala sesuatu dijadikan atau memulai adanya. Mitos
merupakan sejarah suci. Karena itu, menceritakan mitos berarti menyingkapkan
sebuah misteri. Sejauh menceritakan tindakan para dewa dan para makhluk
adikodrati, mitos menjadi misteri dan sejarah yang suci.
Mitos mengisahkan sejarah suci, serentetan peristiwa yang terjadi pada awal
mula. Mitos menceritakan perbuatan dan tindakan para makhluk adikodrati pada awal
mula yang menyebabkan dunia menjadi ada sebagaimana sekarang ini. Para makhluk
adikodrati itu bertanggung jawab atas segala sesuatu yang ada sekarang, karena semua
kenyataan yang ada sekarang merupakan akibat dari tindakan mereka pada awal mula.
Mengingat mitos berkaitan dengan kata-kata dan tindakan makhluk-makhluk
adikodrati, mereka pun dijadikan teladan untuk ditiru dan diulang kembali oleh
manusia. Para makhluk adikodrati ini tidak hanya mengadakan alam semesta, tetapi
juga memberikan pola ideal bagi manusia untuk ditiru sehingga membentuk perilaku
mereka dalam keluarga dan masyarakat. Untuk bertindak sebagai manusia yang penuh
tanggung jawab, maka manusia harus menirukan dan mengulang tindakan mereka.

1. 5. Pengalaman akan Yang Kudus dalam Masyarakat Primitif


Pengertian Yang Kudus dapat dibedakan secara luas dan sempit. Pengertian
secara luas, Yang Kudus adalah sesuatu yang terlindung dari pelanggaran, pengacauan
atau pencemaran. Yang Kudus adalah sesuatu yang dihormati, dimuliakan, dan tidak
dapat dinodai. Dalam arti ini Yang Kudus tidak hanya terbatas pada agama. Dalam arti
sempit Yang Kudus adalah sesuatu yang dilindungi khususnya oleh agama terhadap
pelanggaran, pengacauan, dan pencemaran. Yang Kudus adalah sesuatu yang suci dan
keramat. Yang Kudus merupakan sesuatu yang tidak boleh dan tidak dapat disentuh
oleh yang profan tanpa mengakibatkan hukuman. 7
Pengertian Yang Kudus pada suku-suku primitif dapat digambarkan sebagai
sesuatu Luar Biasa, Misterius, atau Adikodrati. Sedangkan jawaban religius manusia
tampak pada rasa kagum dan terpesona terhadap yang Adikodrati, Luar Biasa,
Mengerikan, Kudus, Suci, Ilahi tersebut. Perasaan-perasaan takut, terpesona, hormat,
penolakan, dan ketertarikan adalah suatu rasa misterius. Orang primitif sadar bahwa
Yang Kudus adalah sesuatu yang lain daripada biasanya. Ia lain daripada hal-hal yang
sudah biasa baginya.
Yang Kudus tidak terpisahkan dari yang profan. Dalam dan melalui yang
profan itulah Yang Kudus menyatakan dirinya. Dengan menampakan kekudusan,
objek profan menjadi sesuatu yang lain, yaitu Yang Kudus. Misalnya, sebuah batu
suci tetaplah sebuah batu, tidak berbeda dengan batu lainnya. Tetapi ketika

7
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hal.87
dihubungkan dengan kegiatan religius, ia menjadi sebuah objek yang suci. Batu
tersebut memperoleh kualitas lain yaitu suci.
Bagi masyarakat primitif seluruh kosmos terbuka kepada Yang Kudus
(kosmovitalisme). Objek apa pun dianggap sebagai hierofani yaitu penampakan dari
Yang Kudus. Matahari dinilai kudus karena mengungkapkan kekuasaan, keagungan,
dan kecemerlangan. Pokoknya segala sesuatu di dunia dimaknai sebagai penampakan
dari Yang Kudus. Benda, manusia atau binatang yang menjadi tempat hierofani
menjadi keramat, menjadi sesuatu yang lain dari benda-benda lain yang serupa.
Penampakan yang suci dapat terjadi kapan saja dan lewat apa saja. 8
Kepekaan manusia menangkap kehadiran Yang Kudus dalam pengalaman dunia
dapat terjadi karena manusia memiliki sensus religiosus dalam struktur kejiwaan
manusia. Berkat sensus religiosus ini manusia dapat mengalami hal-hal duniawi
sebagai tanda dari Yang Kudus.
Rudolf Otto dalam bukunya Das Heilige (The Idea of the Holy) menganalisis
struktur pengalaman religius manusia. Dalam pengalaman religius, manusia
mengalami Yang Kudus sebagai suatu "misteri", sesuatu yang tidak dapat dipahami,
tidak terselami karena berlainan sekali dengan manusia. Dalam pengalaman religius,
Yang Kudus hadir sebagai Mysterium tremendem et fascinans, yaitu sebagai misteri
yang menakjubkan, menakutkan dan sekaligus menarik dan mempesona.
Pengalaman religius merupakan bentuk pengetahuan yang lain dari pada
biasanya. Pengalaman religius ini bukanlah pengetahuan yang dapat dipahami secara
rasional karena Yang Kudus adalah suatu ‘misteri’ yang tidak dapat sepenuhnya
dimengerti oleh akal manusia.
Yang Kudus merupakan objek pengalaman religius. Secara konkret, Yang
Kudus dapat dipahami sebagai: satu dewa yang mahatinggi, dewa-dewa, hal-hal
supernatural, arwah-arwah leluhur yang dituhankan, orang-orang dan objek-objek
yang disucikan, ritual-ritual dan mitos-mitos.9

8
Joko Suyanto, Agama dan Moral, hal. 27-28
9
Joko Suyanto, Agama dan Moral, hal. 32-34
1. 6. Religiositas Sebagai Dasar Hidup Beragama 10
Pengetahuan religius dan pengalaman religius merupakan dua hal yang
berbeda, namun kedua hal tersebut sangat erat kaitannya dan tidak dapat terpisahkan.
Berkat pengetahuan dan pengalaman akan Yang Kudus itu terciptalah religiositas.
Religiositas merupakan rasa dan kesadaran manusia akan hubungan dan ikatan
manusia dengan Yang Kudus.
Apakah religiositas sama dengan agama? Tentu saja religiositas tidak sama
dengan agama. Religiositas merupakan asal muasal lahirnya agama. Setelah agama
terbentuk, religiositas berperan sebagai jiwa, semangat, dan roh dari agama.
Religiositas menjadi inti suatu agama yang tidak dapat ditinggalkan.
Kehidupan beragama tanpa didasari religiositas menjadi kurang bermakna
karena terlepas dari Yang Kudus. Dampaknya kelihatan dalam bidang dogma, ibadat,
moral, dan kelembagaan agama itu sendiri.
Dalam bidang dogma, ajaran-ajaran agama tidak ada bedanya dengan ajaran
ideologi. Ajarannya terasa kaku, tertutup, dan ekslusif. Mereka tidak mempedulikan
substansi dogma yang bersangkutan dan pemahaman baru yang mungkin. Mereka
tidak bisa menyesuaikan dogma dengan perkembangan zaman. Iman akan Yang
Kudus memang tidak berubah, tetapi pengungkapan dan perwujudannya
dimungkinkan untuk berubah karena perubahan zaman. Mereka mengganggap ajaran
agama dan penafsirannya paling benar dan berlaku selamanya. Akibatnya orang tidak
bisa menerima orang lain yang berbeda agama dan keyakinan dengannya. Dengan
demikian dogma tidak memberi pencerahan dan tuntunan hidup, tetapi justru menjadi
sumber perpecahan umat manusia.
Berkaitan dengan peribadatan, orang beragama mudah jatuh ke dalam
kemunafikan dan formalisme bila tidak didasari religiositas. Orang yang penting
menjalankan aturan agama dengan rajin beribadat. Mereka beribadat bukan untuk
meningkatkan relasi dan komunikasi dengan Yang Kudus, tetapi untuk memenuhi
aturan agama. Bisa juga terjadi orang rajin beribadat supaya dilihat dan dipuji orang
lain sebagai orang baik. Jadi, doa dan peribadatan menjadi kehilangan substansinya,
yaitu menjalin relasi dan kesatuan dengan Yang Kudus.

10
Agus M. Hardjana, Religiositas, Agama & Spiritualitas, hal. 52-62
Karena dilepaskan dari religiositas, moral agama pun menjadi aturan dan
larangan yang tidak ada hubungannya dengan Yang Kudus. Melaksanakan ajaran
moral bukan sebagai pelaksanaan kehendak Yang Kudus, tetapi supaya dapat
ganjaran. Demikian juga orang tidak melanggar perintah agama, bukan karena sadar
hal itu merusak hubungan dengan Yang Kudus, tetapi karena takut hukuman. Dengan
demikian, tidak adanya religiositas dalam kehidupan beragama memungkinkan orang
menghayati moralitas secara rendah. Orang tidak mampu menghayati moralitas
sebagai bentuk partisipasi pada Yang Kudus.
Lembaga keagamaan merupakan sarana pengembangan dogma, ibadat, dan
moral. Namun bila dilepaskan dari religiositas, lembaga agama dapat menjadi tujuan
pada dirinya sendiri. Lembaga agama tidak ada bedanya dengan organisasi
kemasyarakatan lainnya. Agama sibuk dengan aspek orgnisasi manusiawinya, tetapi
kehilangan inti religiositasnya.
Agama yang kehilangan religiositasnya membuat agama kehilangan daya
pikatnya dalam kehidupan masyarakat. Agama tidak mampu menghasilkan buah-buah
kebaikan, keadilan, kesejahteraan bagi masyarakatnya. Agama juga tidak mampu
memberi inspirasi dan motivasi bagi umatnya untuk meningkatkan kualitas hidupnya
sehingga semakin bermakna bagi masyarakat.
Agama tanpa religiositas dapat mengubah agama menjadi suatu ideologi yang
memperjuangkan kepentingan di luar agama. Agama yang dijadikan ideologi dipakai
untuk menggerakan massa demi mencapai sesuatu yang tidak berhubungan dengan
agama. Dengan menggunakan sentimen agama, kelompok memotivasi dan mendorong
orang-orang seagama agar ikut bergabung dalam kelompok dan berjuang bersamanya.
Karena agama menjadi ideologi, para penganut agama merasa diri paling benar,
bersifat eksklusif, tidak toleran terhadap pihak lain yang berbeda pandangan dengan
mereka.

1. 7. Penutup
Dalam masyarakat primitif, orang telah memiliki berbagai macam kepercayaan
akan adanya kekuatan di luar dirinya. Kekuatan tersebut dipahami berbeda-beda
sesuai dengan kepercayaan mereka.
Berkaitan dengan kepercayaan tersebut dibangun pula mitos-mitos yang
merupakan kisah suci. Mitos berfungsi untuk merumuskan kepercayaan, sekaligus
juga menjadi panduan hidup bersama dalam masyarakat.
Kepercayaan mereka dibangun atas pengalaman akan Yang Kudus yang hadir
dalam mistery tremendum et fascinant (misteri yang menggetarkan dan mempesona).
Inilah pengalaman religius.
Pengalaman religius disertai dengan pengetahuan religius menjadi religiositas.
Religiositas inilah inti dari setiap kepercayaan dan agama. Kehidupan beragama tanpa
didasari religiositas tidak bermakna. Orang menjalani ajaran agama, moral, dan
beribadat tanpa menghubungkannya dengan Yang Kudus sebagai intinya. Akibatnya
terjadi kemunafikan dalam praktik hidup beragama. Agama tanpa religiositas juga bisa
kehilangan daya pikatnya dalam masyarakat. Selain itu, agama tanpa religiositas bisa
menjadi suatu idiologi yang memperjuangkan kepentingan di luar agama, tetapi
mengatasnamakan agama.
PERTANYAAN REFLEKTIF:
1. Lihatlah hidupmu selama ini! Kapan Anda mengalami suatu pengalaman religius? Coba
rumuskan dalam sebuah tulisan!
2. Anda sebagai orang beragama, coba refleksikan: Apakah kehidupan beragamamu dilandasi
suatu religiositas atau tidak? Jangan-jangan Anda beragama bukan atas kesadaran sendiri
untuk menjalin relasi intin dengan Yang Kudus, tetapi karena diwajibkan oleh negara atau
karena turunan dari orang tua!

KEGIATAN KELOMPOK:
Diskusikanlah dalam kelompok! Setiap kelompok terdiri dari 5 orang.
1. Akhir-akhir ini banyak terjadi kemunafikan dalam kehidupan beragama. Mengaku sebagai
orang beragama, tetapi korupsi. Tidak jarang juga agama dipolitisasi untuk mencapai
kepentingan di luar agama. Hal itu terjadi karena agama telah kehilangan religiositas yang
menjadi inti agama.
Bagaimana cara mengembalikan religiositas dalam kehidupan beragama, sehingga agama
tidak kehilangan jiwanya!
2. Carilah mitos yang ada di daerah asalmu masing-masing! Temukan pesan yang ingin
disampaikan melalui mitos tersebut. Kemudian tunjukkan bagaimana bentuk budaya ideal
(mitologi) tersebut diikuti atau menghasilkan wujud kebudayaan selanjutnya yang berupa
tindakan dan benda-benda!
BAB 2

PAHAM KETUHANAN

Tujuan Pembelajaran:
1.Memahami dan menjelaskan konsep-konsep dasar tentang paham ketuhanan di dalam pelbagai agama.
2.Memhami dan menjelaskan nilai-nilai kehidupan yang diajarkan dan ditawarkan oleh agama-agama
dalam memanusiakan manusia/memujudkan manusia yang beriman (humanisme transcendental).
3.Menghargai akan adanya keanekaragaman cara manusia memahami dan menghayati
ketuhanan.
4.Menularkan spirit pluralisme berhadapan dengan bahaya radikalisme dan fanatisme.
Metode:
1. Presentasi
2. Diskusi
3. Tanya Jawab
Waktu: 100 menit
Media/Alat Bantu:
• White Board
• Infocus
• Spidol
• Gambar/film/video

Bahan Bacaan:
Daftar Pustaka

• Benawa, Arcadius et.al. Pendidikan Nilai dan Religiositas. Jakarta: UMN Press, 2015.
• Huston Smith. Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1999.
• Magnis Suseno F. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
• Tim Dosen Religiositas UMN. Religiositas, Agama dan Pendidikan Nilai. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2010.
• Mangunwijaya, Y.B. Menumbuhkan Sikap Religius Pada Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.1986
• Tarigan, Yakobus PR.Religiositas, Agama dan Gereja Katolik . Jakarta: Grasindo,2007.
• Diane Tilman. Living Values Activities for Young Adults / Pendidikan Nilai untuk Kaum Dewasa-
Muda. Jakarta: Gramdia Widiasarana Indonesia, Jakarta: 2004.
2. 1. Pengantar
Indonesia sebagai Negara berpenduduk paling besar nomor 4 di dunia
memiliki kekayaan budaya yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Tidak hanya
budaya dari pelbagai suku di seluruh penjuru Tanah Air, melainkan juga keberagaman
agama.11 Kekayaan budaya dan agama di satu pihak membanggakan, namun di lain
pihak kalau tidak disikapi dengan arif dan bijaksana, keberagaman budaya dan agama
tersebut dapat menjadi pemicu konflik yang membahayakan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Itulah sebabnya generasi muda, khususnya mahasiswa perlu memiliki
wawasan yang luas mengenai agamanya, dan juga agama-agama lain. Maka, pada bab
ini disajikan materi tentang bagaimana dari sikap religius kemudian berkembang
menjadi agama-agama yang ada di dunia. Tujuannya tak lain agar mahasiswa dapat
mengetahui konsep-konsep dasar paham ketuhanan dalam pelbagai agama, menyadari
keanekaragaman cara manusia menghayati ketuhanan di dunia ini dan perkembangan
penggambaran manusia tentang Tuhan dan menghormati serta menghargai adanya
keanekaragaman gambaran dan pemahaman tentang Tuhan dalam pelbagai agama,
agar tidak jatuh dalam radikalisme ataupun fanatisme.

Si Buta dan Gajah


Suatu hari ada seorang yang berbaik hati dengan mengajak 5 orang buta yang
biasa mangkal di pasar untuk jalan-jalan ke Kebun Binatang. Sampai di kandang
gajah sang pawang berbaik hati dengan mengizinkan rombongan orang buta itu
untuk masuk dan “melihat” gajah secara langsung. Dengan amat suka cita mereka
masing-masing mendekati gajah dan meraba-raba si gajah.
Usai “melihat” gajah dengan penuh semangat dan keyakinan mereka masing-
masing berbagi cerita tentang gajah. Yang memegang kuping gajah mengatakan
bahwa gajah itu pipih, lebar, dan licin. Sementara yang memegang perut gajah
mengatakan bahwa gajah itu bulat dan empuk. Yang memegang kaki gajah
mengatakan bahwa gajah itu seperti batang bambu. Yang memegang ekor gajah

11
Subagya Petrus Damianus dan Tim Dosen Religiositas UMN, Religiositas, Agama dan Budaya
Nilai. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010, hal 64-65
mengatakan bahwa gajah itu gilig dan kecil, sedangkan yang memegang belalai gajah
mengatakan bahwa gajah itu panjang dan gilig.
Karena masing-masing yakin dengan pengalamannya dan menganggap
pendapatnyalah yang paling benar tentang gajah akhirnya sukacita menikmati kebun
binatang pun berubah menjadi kericuhan di antara mereka. Beruntung bahwa orang
yang baik hati tadi menengahi dan mengatakan bahwa di antara mereka tidak ada
yang salah, tetapi juga tidak berarti gajah itu seperti yang diungkapkan masing-
masing.
Sumber: NN.

Kerap kali kita bertengkar bahkan kadang sampai saling membunuh bukan karena
kejahatan orang lain, tetapi karena kita terlalu mempertahankan kebenaran pandangan
dan keyakinan yang kita anut tanpa sadar bahwa keyakinan yang dialami dan dianut
orang lain juga bukan berarti salah, apalagi memahami Tuhan yang serba tak
terjangkau oleh manusia yang serba terbatas daya tangkap maupun pengartikulasian
atas pengalaman dan pemahamannya tersebut.

2. 2. Perkembangan Paham Ketuhanan


Manusia yang terbatas dalam era yang sangat awal menyadari akan adanya
yang tak terbatas itu melalui fenomena alam yang diamati dan dialaminya. Misalnya,
bahwa desanya yang damai, tenang, dan sejahtera tiba-tiba harus mengalami musibah
dan bencana. Seperti adanya gunung meletus, banjir bandang, hempasan ombak laut
yang dahsyat atau tsunami, angin ribut yang sanggup mengobrak-abrik tempat tinggal
manusia, gempa bumi yang meluluh-lantakkan bangunan, hewan, ternak, dan
manusia. Selagi manusia belum mampu menjelaskan gejala atau fenomena alam yang
dahsyat yang melampaui daya-daya manusia itu, mendorongnya membayangkan
adanya daya yang melampaui daya kemampuan manusiawi. Dari situlah muncul
kepercayaan bahwa alam itu memiliki daya yang luar biasa yang melampaui daya-
daya manusiawi.12 Oleh karena itu, daya-daya alam harus dipelihara, dihormati. Maka
muncullah kepercayaan yang kini kita kenal sebagai aliran dinamisme.

12
Frans Magnis-Suseno. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006, hal.26-36.
Daya alam yang melampaui keterbatasan daya kekuatan manusiawi itu
selanjutnya dipercaya memiliki roh, karena ia mampu ”berbuat” sesuatu (mengamuk,
menelan, membinasakan, meletus, menyembur, mengobrak-abrik, dsb.). Itu sebabnya
kemudian manusia membayangkan bahwa kekuatan alam itu sebagai sesuatu yang
hidup dan karenanya juga memiliki roh. Maka manusia mencoba membangun relasi
yang baik dengan daya alam yang ber-roh itu dengan ”mengambil hati” roh alam itu
dengan pelbagai pemberian yang selanjutnya kita kenal sebagai sesajian. Manusia kala
itu percaya kalau penguasa laut, gunung, bumi, langit, angin, dan sebagainya itu akan
reda amarahnya bila diberi sesajian. Praktik inilah yang kemudian melahirkan
animisme.
Selanjutnya dalam kepercayaan animis itu bagian-bagian alam yang ber-roh itu
diberi nama sebagai pribadi (person). Maka muncullah kemudian nama-nama Dewa
Bulan, Dewa Matahari, Dewa Bumi, Dewa Langit, Angin, Dewa Laut, dan sebagainya
dengan nama-nama yang spesifik sesuai dengan wilayah kekuasaannya. Inilah yang
kemudian kita kenal dengan istilah politeisme.
Dari politeisme untuk sampai pada monoteisme tidak serta merta terjadi begitu
saja. Ada tahap yang mengantarai keduanya, yakni henoteisme. Henoteisme ini ada 3
macam, yakni henoteisme waktu, tempat, dan koordinasi. Henoteisme waktu adalah
kepercayaan akan banyak dewa-dewi, namun pada kurun waktu tertentu yang menjadi
pemimpinnya itu berbeda-beda menurut periodisasi kekuasaannya. Henoteisme tempat
adalah kepercayaan akan banyak dewa-dewi, namun untuk tempat-tempat tertentu
penguasanya adalah dewa-dewi tertentu. Inilah yang sampai kini melahirkan konsep
tentang adanya “penunggu” untuk tempat-tempat tertentu. Henoteisme koordinasi
adalah kepercayaan akan banyak dewa-dewi, namun di antara dewa-dewi itu ada yang
menjadi koordinatornya.
Dari henoteisme koordinasi inilah kemudian muncul monoteisme, yang berarti
kepercayaan akan adanya satu Allah/Tuhan saja sebagaimana dipercayai di dalam
agama-agama Abrahamik, seperti Yudaisme, Kristianisme, dan Islam.
2. 3. Agama-Agama di Indonesia13

2. 3. 1. Aliran Kepercayaan
Aliran Kepercayaan (kebatinan) pada dasarnya mempercayai bahwa Zat Tuhan
adalah juga zat manusia; sifat Tuhan adalah sifat manusia; nama Tuhan adalah nama
manusia; kekekalan Tuhan adalah kekekalan manusia, begitu juga kasih Tuhan adalah
kasih manusia. Jadi, tidak ada perbedaan antara Tuhan dengan manusia. “Manusia di
dalam Allah dan Allah di dalam manusia”.14
Atma yang adalah bagian terdalam dari diri manusia, bersatu dengan Allah
sebagai zat mutlak. Pada saat meninggal dunia, manusia kembali kepada asalnya dan
melebur menjadi satu dengan zat yang mutlak. Pokok Aliran Kepercayaan (Kebatinan)
adalah upaya untuk meningkatkan integrasi diri manusia. Dengan banyak melakukan
latihan, manusia berusaha untuk beralih dari keadaan semula ke tingkat yang lebih
sempurna. Melalui perguruan dan pedukunan, penganut Aliran Kepercayaan belajar
cara-cara untuk memperoleh kesempurnaan hidup. Pada umumnya, mereka percaya
pada tenaga gaib,pengaruh nujum, magi, okultisme, ilmu alamat, sakti, zimat,tuah dan
kualat, mantera dan rapal, penyembuhan ajaib,mimpi aneh, penampakan. Aliran
Kepercayaan dan ilmu gaib merupakan dwi tunggal yang tidak terpisahkan.
Aliran Kepercayaan tidak mementingkan organisasi. Para anggotanya lebih
merupakan suatu paguyuban dengan mengadakan pertemuan berkala. Mereka bersatu
di sekitar pemimpin kharismatis. Dalam paguyuban mereka mengembangkan
kepribadian asli, bahasa daerah, tradisi suku, gaya hidup dan kesopanan timur. Tidak
puas dengan peraturan-peraturan agama resmi, mereka mengadakan latihan-latihan
untuk menerima wahyu sendiri, mendengar suara di dalam hati, melukiskan hal yang
membuat tentram dan puas.yang penting adalah unsur rasa atau pengalaman rohani
subyektif. Pengalaman itu dirasakan dalam batin, yang berada di dalam diri manusia
sendiri. Tidak penting lagi perbuatan lahir, peraturan dan hukum dari luar. Gelar,
pangkat, harta benda dan kekuasaan tidak ada gunanya, karena yang paling utama
adalah bahwa manusia harus menembus dinding pancaindera untuk bersemayam pada

13
Tarigan Yacobus. Religiositas, Agama dan Gerja Katolik. Jakarta: Grasido, 2007, hal.31-36.
14
Subagya Petrus Damianus dan Tim Dosen Religiositas UMN. Religiositas, Agama dan Budaya Nilai.
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010, hal. 67-69.
asas terakhir dari kepribadiannya, yaitu Roh. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
apabila mereka suka memprotes terhadap materialisme, kemerosotan moral, egosisme,
dan sekularisme. Penganut aliran kepercayaan mengajak manusia untuk kembali
kepada kesusilaan asli, kesederhanaan nenek moyang dengan semboyan budi luhur
dan sepi ing pamrih.
Untuk mencapai kesadaran diri yang damai dan tenang, penganut Aliran
Kepercayaan melaksanakan samadhi, olah rasa, mawas diri, yoga, pantang dan
tapabrata. Mereka harus mampu mengekang diri, menguasai nafsu-nafsu agresif dan
nafsu seksual. Hal-hal yang lahiriah dan jasmaniah harus dikuasai. Setelah itu barulah
tercapai manusia baru, budi luhur, manusia waskita dan susila. Karena merasa jijik
dengan hal-hal lahiriah dan ajaran dogmatis, bagi mereka satu-satunya sumber
pengakuan Tuhan adalah pengalaman batin manusia sendiri, ilham dari dalam dan dari
suara batin manusia sendiri.

2. 3. 2. Agama Hindu Bali


Saat ini di seluruh dunia terdapat lebih dari 800 juta pemeluk agama Hindu. Di
India, yang merupakan rumah spiritual Hinduisme, pemeluk agama Hindu berjumlah
sekitar 650 juta orang. Umat Hindu percaya bahwa ada hubungan erat antara agama,
tradisi kebudayaan dan bahasa; bahkan hubungan itu tidak bisa dipisahkan. Kuil
merupakan pusat kehidupan religius. Namun demikian, kebanyakan ibadat agama
Hindu dilaksanakan di rumah. Oleh karena itu, di setiap rumah terdapat tempat
pemujaan. Di rumah-rumah penganut Hindu, lebih sering terdapat gambara dewa
pujaan yaitu Khrisna, yang melambangkan cinta dan kebaikan, ketika datang
menjelma ke dunia sebagai Vishnu. Tiap hari dibuatkan seajian berupa dupa, bunga,
makanan, dan minuman.15
Diwarnai unsur lokal, pemeluk Hindu Bali percaya akan satu Tuhan dalam
bentuk konsep Trimurti. Tuhan Yang Esa (Trimurti) berwujud Brahmana (yang
menciptakan), Wisnu (yang melindungi, memelihara), dan Siwa (yang melebur segala
yang ada). Selain itu, mereka juga menghormati banyak dewa dengan pelbagai sesaji.
Melalui patung dewa-dewa, mereka dengan mudah boleh mengenal ”apa yang tidak

15
Huston Smith. Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999, hal. 19.
diketahui”. Cukup banyak orang Hindu percaya bahwa Wisnu turun ke dunia
(inkarnasi) ketika kejahatan sudah merajalela.16
Orang Hindu percaya bahwa ada kekuatan suci yang disebut Brahman, yang
menyangga segala sesuatu yang ada, dan yang merupakan makna batiniah dari alam
semesta. Segala sesuatu di bumi adalah manifestasi dari Brahman. Dan dalam diri
setiap manusia, Brahman menjadi Atman. Dengan demikian, Brahman tidak terpisah
dari manusia (bukanlah sesuatu yang berada di luar manusia).
Namun yang utama bagi seorang Hindu Dharma adalah mokhsha, yakni
pembebasan dari reinkarnasi yang tidak berkesudahan (samsara). Spriritualitas
seorang Hindu adalah menemukan pembebasan dari kelahiran kembali. Jiwa manusia
kembali ke Brahman, yang daripadanya jiwa berasal. Oleh karena itu, upacara ngaben
mempunyai peranan yang sangat penting. Pembakaran mayat merupakan pesta yang
membebaskan jiwa manusia manusia untuk mencapai tingkat yang lebih sempurna.
Hari besar keagamaan adalah hari raya Nyepi. Pada hari raya ini, umat Hindu
menyucikan dan memperkuat diri terhadap pengaruh roh-roh jahat. Umat Hindu tidak
menyalakan api, tidak melakukan pekerjaan, tidak bepergian, dan tidak melakukan
hubungan seks. Hari berikutnya disebut ngebak geni, mereka boleh menyalakan api
tetapi masih tetap pantang bekerja. Selain hari raya Nyepi, umat Hindu juga
merayakan Galungan, untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan dari Ida
Sanghyang Widhi dari para leluhur.
Dalam agama Hindu, pemimpin agama mempunyai peranan yang tidak
tergantikan. Upacara keagamaan besar dipimpin oleh sulinggih, orang yang telah
dilantik untuk melaksanakan upacara. Sulinggih yang berasal dari kasta Brahmana
disebut pedanda; dari kasta Satria, disebut resi. Sistem kasta masih berpengaruh,
walapun di zaman modern ini mulai ada perubahan. Terdapat kasta Brahmana, Satria,
Weisa, dan sudra. Kurang dari 15 % orang Bali termasuk Triwangsa (Brahmana,
Satria, Weisa) sedangkan 85 % masyarakat Bali justru termasuk warga Jaba (Sudra).
Gelar bagi Brahmana adalah Ida bagus untuk laki-laki dan Ida Ayu untuk wanita.
Gelar bagi warga Satria adalah Cokorda dan bagi Weisa adalah Gusti.

16
Tarigan Yacobus Pr. Religiositas, Agama dan Gereja Katolik. Jakarta: PT Grasindo, 2007, hal. 36-
40.
2. 3. 2. 1. Empat jalan keselamatan
a. Jalan Bhakti : ibadat penuh kasih untuk salah satu dewa.
b. Jalan Karma : perbuatan baik membuahkan kebaikan, sedangkan perbuatan
jahat membuahkan kejahatan
c. Jalan Jnana : membebaskan diri dari keterikana duniawi melalui
penguasaan Kitab Suci secara mantap.
d. Jalan Yoga: disiplin spiritual terhadap latihan-latihan fisik dan mental;
misalnya dengan posisi duduk bersila, latihan pernafasan untuk
meningkatkan konsentrasi, pemusatan pikiran pada patung dewa dan
menyampaikan mantra

2. 3. Agama Budha
Agama Buddha dirintis oleh Pangeran Sidharta Gautama (554-478 SM), dengan
orangtuanya Raja Sudhodana dan Ratu Maya, yang memerintah suku Sakya. Pangeran
Sidharta Gautama diberi gelar Buddha, yang berarti orang yang mencapai
penerangan sempurna. Umat Budha melihat kehidupan secara wajar dan jujur sesuai
dengan pengalaman bahwa hidup adalah dukkha. Bagaimana pun manusia tidak bisa
menghindar dari kenyataan adanya sakit, usia lanjut, kekecewaan, dan kematian.
Sikap ini bukanlah pesimistis, akan tetapi justru realistis.17
Umat Budha Indonesia yang menghayati konsep ketuhanan Sanghyang Adi
Budha, diharapkan memiliki perilaku sebagai berikut.
Metta : kasih sayang terhadap semua makhluk.
Karuna : siap sedia meringankan makhluk lain.
Mudita : turut berbahagia dengan kebahagiaan mahkluk lain tanpa benci dan irihati
Upekka : bersikap adil, diam, tenang dan penuh dengan kebijaksanaan yang
seimbang.

17
Huston Smith. Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999, hal. 106.
Umat Budha meyakini Empat Kebenaran Mulia, yaitu kebenaran tentang
dukkha (derita); kebenaran tentang asal mula penderitaan; kebenaran tentang
lenyapnya penderitaan dan kebenaran tentang jalan menuju hilangnya penderitaan.
Untuk melenyapkan penderitaan, ditawarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan (Hasta
Arya Marga), yaitu pengertian yang benar, pemikiran yang benar, ucapan yang benar,
perbuatan yang benar, pencarian nafkah yang benar, dan semadi/konsentrasi yang
benar.
Agar dapat berhasil memahami Empat Kebenaran dan Delapan Jalan,
diperlukan permenungan dan penyelidikan secara mendalam dan teliti, terlebih
melihat kehidupan secara wajar dan jujur. Perlu diperhatikan dan diwaspadai bahwa
penderitaan adalah akibat dari nafsu keinginan yang rendah (tanha) untuk menikmati
hidup dalam pelbagai bentuk.
Umat Budha berusaha melenyapkan nafsu/keinginan akan kenikmatan agar
penderitaan bisa berakhir atau lenyap.Dengan begitu, tercapailah nirwana (Nibbana),
suatu ketenangan yang mutlak disertai keyakinan akan adanya kebebasan yang
absolut. Keadaan nirwana dapat diibaratkan seperti padamnya cahaya lilin yang tertiup
angin atau padamnya api yang kehabisan bahan bakar. Nirwana dapat dicapai ketika
kitra masih hidup dan situasi ini tidak bisa dibayangkan oleh manusia yang masih erat
dengan hal-hal duniawi. Nirwana adalah kasunyataan mutlak, kekal, abadi, tidak
dikenal hal-hal yang bertentangan atau kontradiksi, lenyapnya semua nafsu,
berakhirnya semua penderitaan.
Bagi umat Budha, kebahagiaan dan kesengsaraan hidup dimaknai sebagai
akibat dari segala perbuatan (karma), ucapan dan pikiran di masa lalu. Dalam kitab
Dhammapada ada tertulis: ”Perbuatan tidaklah membeku seperti air susu yang
mengental, akan tetapi membara seperti api yang menjalar mengikuti si pembuat.
Siapa yang berbuat jahat, berpikir jahat dan berkata jahat, maka penderitaan akan
menimpanya, mengikutinya ibarat roda pedati yang mengikuti jejak lembu yang
menariknya; sebaliknya, siapa yang berbuat baik, berpikir baik, maupun berkata
baik, kebahagiaan akan menyusulnya ibarat bayangan tak terlepas dari benda yang
bersangkutan.”
2. 3. 1. Bikhu adalah tokoh spiritual
Demikian, Etika Budhisme sangatlah praktis dan konkret. Manusia harus
membebaskan diri dari rasa dendam dan benci. Yang harus diutamakan adalah rasa
kasih dan sayang terhadap semua mahkluk. Kebodohan dan egoisme adalah
penghalang untuk berbuat baik. Dengan membasmi egoisme, kita dapat mengurangi
penderitaan mahkluk lain dan berusaha membahagiakan mereka. Kebencian tidak
akan berakhir jika dibalas dengan kebencian; justru sebaliknya, kebencian dapat
berakhir hanya dengan kasih sayang dan cinta kasih. ” Balaslah si pemarah dengan
kesabaran, si penjahat dengan kebaikan, yang kikir dengan kedermawanan atau
murah hati dan pendusta dengan kejujuran.”
Pandangan hidup dan Etika Agama Budha dapat dipelajari dalam Kitab Suci
Tripitaka, yang terdiri atas tiga bagian:
Vinaya Pitaka : tentang Sangha (komunitas rahib).
Sutta Pitaka : berbagai ceramah yang diberikan oleh budha.
Abhimdhamma Pitaka : berisi analisis ajaran Budha.

2. 3. 2. Tripitaka sebagai Kitab Suci Umat Buddha

Kitab Suci Tripitaka dipakai oleh Buddhisme Theravada maupun oleh


Buddhisme Mahayana. Aliran Theravada dalam Kitab Sucinya Pali canon,
menekankan bahwa Budha hanyalah seorang manusia, seorang yang telah mencapai
pencerahan; dan bahwa pencerahan dapat dicapai dengan mengikuti teladan dan
pengajarannya. Sementara itu, Buddhisme Mahayana menekankan bahwa manusia
tidak boleh bergantung pada usaha mereka sendiri untuk mencapai nirwana. Untuk
menuju pencerahan, manusia perlu dibantu oleh Bodhistva, yaitu mereka yang sudah
mencapai pencerahan tetapi masih tinggal di bumi supaya dapat menolong orang lain
untuk mencapai Nirwana. Buddhisme Mahayana memakai juga Kitab Suci yang lain,
seperti Lankavatara, Avatamsaka Sutra, Saddharma Pundarika Sutra, dan
Vajracchedika Sutra. Sanghyang Kamahayanikan adalah Kitab suci Buddhis Khas
Indonesia.
Hari Raya Nasional Agama Buddha adalah Waisak: perayaan kelahiran,
pencerahan, kematian Buddha, yang diyakini terjadi pada hari yang sama dalam bulan
Wesak (Mei sampai Juni). Rumah dihias dan memberi persembahan di kuil. Lilin dan
lampu dimaknai sebagai pencerahan Buddha. Umat Buddhis Indonesia merayakan
Waisak dengan meriah di kompleks Candi Mendut dan mencapai puncaknya di candi
Borobudur.

2. 4. Agama Kristen
Agama Kristen terdiri dari banyak Gereja atau kelompok seperti Gereja Katolik,
Gereja Ortodoks Timur, Gereja anglikan dan Lutheran, Gereja Metodis, Bala
Keselamatan, Gereja Baptis, dan Gereja Quaker. Semuanya mempunyai ciri khas
yang sama, yaitu percaya pada Pribadi Yesus Kristus. Umat Kristiani mempunyai
hubungan khusus dengan Yesus yang diberi gelar Kristus, bahkan disebut Tuhan.
Murid-murid Yesus disebut Kristen di Antokhia, sekitar tahun 40 Masehi. ”Di
Antiokhialah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen” (Kis. 11:26).
Awalnya, mereka menyebut diri sebagai ”murid” atau ”saudara. Ungkapan kristen
mengandung arti yang amat mendalam, yakni bahwa Yesus Kristus adalah pokok
dan sumber iman mereka. Kristus (bahasa Yunani: ”Khristos”) atau Mesias (bahasa
Ibrani: ”MASYIAKH”) atau ”MESHIHA’ dalam bahasa Aram, berarti ”orang yang
diurapi”. Sedangkan Tuhan atau Kirios (bahasa Yunani) berarti orang terkemuka atau
terhormat.
Umat Kristen percaya bahwa Yesus adalah Sang Kristus dari Allah; Yesus
adalah Putra Allah dan Tuhan, Mesias, dan Juruselamat umat manusia. Nama “Yesus”
berasal dari bahasa Ibrani ‫( הֹושֻׁ ַע‬Yĕhōšuă‘, Yosua) yang berarti “Yahweh
menyelamatkan” atau “Tuhan menyelamatkan”. “Kristus” adalah gelar yang berasal
dari bahasa Ibrani ַ‫(מָ ִׁשיח‬Mesias) yang berarti “yang diurapi” atau “yang terpilih”.18
Gereja Katolik memiliki jumlah umat paling besar, yakni 1,2 miliar umat;
Kristen Protestan 360 juta umat, dan Gereja Ortodoks 170 juta umat. Gereja Kristen
Protestan terbesar adalah Gereja Anglikan, memiliki umat sebanyak 80 juta jiwa.

18
Tarigan Yacobus Pr. Religiositas, Agama dan Gereja Katolik. Jakarta: Grasindo, 2007, hal.42-48
Aliran-aliran dalam Agama Kristen: Lutheran, Calvinis, Baptis, Metodis, Pantekosta,
Kharismatik, Injili, Adventis.

2. 4. 1. Hirarki
Di dalam Gereja Katolik ada pejabat Gereja yang disebut hirarki. Istilah hirarki
berasal dari dua kata Yunani, yakni hieros yang berarti jabatan, atau kekuasaan; dan
archos yang berarti agung, suci, mulia. Jadi, hirarki adalah orang-orang yang
mendapat jabatan atau kekuasaan karena disucikan, yakni melalui pentahbisan.
Mereka itu adalah Diakon, Imam, dan Uskup. Sedangkan Paus adalah pemimpin
tertinggi umat Katolik yang berkedudukan di Roma. Ia dipilih melalui Konklaf. Dia
tidak ditahbiskan melainkan dilantik, karena sesungguhnya Paus adalah Uskup Roma.
Jadi, dia sudah mendapatkan tahbisan Uskup. Hirarki mempunyai kuasa mengajar di
dalam Gereja. Khusus Paus dalam kuasa mengajarnya dipercaya memiliki infalibilitas
(tidak bisa salah) bila ia mengeluarkan ajaran iman dan moral kepada umat Katolik.

2. 4. 3. Puasa
Puasa lengkap = tidak makan dan minum
”Setelah aku mendaki gunung untuk menerima loh-loh batu, loh-loh perjanjian yang
diikat TUHAN dengan kamu, maka aku tinggal empat puluh hari empat puluh malam
lamanya di gunung itu; roti tidak kumakan dan air tidak kuminum”
(Ulangan 9:9)
Puasa Normal =Tidak makan dan minum kecuali air putih
“ Tetapi Yesus menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi
dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah."
(Matius 4:4).

2. 4. 4. Kitab Suci
Terbagi dalam 2 bagian besar, yakni Kitab Suci Perjanjian Lama dan Kitab Suci
Perjanjian Baru, yang lebih dikenal dengan sebutan Injil. Walau dalam arti sempit Injil
adalah Kabar Gembira, dan sebagai tulisan ada 4 tulisan di dalam Perjanjian yang
disebut Injil, yakni Injil menurut Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes.

2. 4. 5. Hari Raya
Ada dua hari raya besar, yakni Natal dan Paskah. Namun di antara Natal dan Paskah
ada serangkaian hari raya lain, seperti Rabu Abu, Kamis Putih, Jumat Agung,
Kenaikan Tuhan, Pentakosta, dan hari raya Kristus Raja Semesta Alam.

5. Agama Islam
Makna kata Islam adalah masuk dalam perdamaian. Itu berarti, seorang Muslim
adalah orang yang damai dengan Allah dan damai dengan manusia. Tugas utama
Agama Islam adalah:
a. Mendatangkan perdamaian di dunia dengan membentuk persaudaraan di antara
sekalian agama di dunia,
b. Menghimpun segala kebenaran yang termuat dalam agama-agama terdahulu,
c. Membetulkan kesalahan-kesalahan dalam agama-agama, menyaring mana
yang benar dan mana yang palsu,
d. Mengajarkan kebenaran abadi, dan
e. Memenuhi segala kebutuhan moral dan rohani umat manusia. 19

Dalam Agama Islam terdapat dua rukun (dasar utama), yaitu Rukun Islam dan
Rukun Iman.

2. 5. 1. Rukun Islam
a. Rukun Iman: ”Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
RasulNya”.
b. Shalat (sembahyang) 5 (lima) kali sehari: Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib dan
Isya.
Setiap kali sembahyang, Umat Islam membacakan:

19
Huston Smith. Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 19999, hal 254.
c. ”Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam, Yang Maha Pemurah lagi
Penyayang, yang merajai hari perhitungan. Hanya Engkaulah yang kami
sembah, dan hanya Engkaulah kami memohon pertolongan, pimpinlah kami ke
jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi
Ni’mat, bukan jalan yang mereka dimurkai dan bukan juga jalan mereka yang
sesat.” (Al Faatihah, Surat ke 1:7 ayat).

Sholat lima waktu hukumnya wajib bagi umat Islam

d. Zakat: pemberian wajib setahun sekali sebesar 1/40 dari kekayaan dalam
setahun, yang diberikan kepada orang miskin, untuk pembinaan iman, untuk
menebus budak belian, untuk pengembangan Agama Islam.
a. Zakat fitrah adalah zakat yang harus dibayar pada hari puasa terakhir.
Sedekah berbeda dengan zakat, karena sedekah adalah pemberian
sukarela; bantuan, pertolongan atau dana sosial di luar zakat dan zakat
fitrah.
e. Puasa dalam bulan Ramadhan: tidak makan dan tidak minum mulai pada
saat akan terbit matahari sampai saat terbenamnya.
f. Haji: Ibadah ke Mekkah pada bulan Zulhijjah, diteruskan ke Madinah untuk
berziarah ke makam nabi Muhhamad.

2. 5. 2. Rukun Iman
a. Percaya kepada Allah
b. Percaya kepada Malaikat-malaikat: Jibrail, Mikael, Israfil, Israil, Munkar dan
Nakir, Raqib dan Atib, Ridwan, Zabaniah.
c. Percaya pada Kitab-kitab Allah: Taurat, Zabur, Injil, Alquran. Dipercayai
bahwa Al-Quran diturunkan kepada nabi Muhammad, yang merupakan
kutipan dari Kitab Induk Surgawi (Lauh al-mahfudz).
d. Percaya kepada rasul-rasul Allah: Adam, Idris, Nuh, Ibrahim, Ismail, Ishaq,
Yahya, Isa, dan Muhammad. Muhammad adalah rasul (utusan) Allah dan
penutup dari semua nabi.
e. Percaya pada hari kiamat.
f. Percaya pada takdir: semua yang terjadi dan akan terjadi, sudah diketahui
Allah SWT.

Ada lima Hari Raya khas Islam di Indonesia, yaitu:


a. Maulud nabi Muhammad; perayaan kelahiran nabi Muhammad yang lahir
pada hari Senin, 12 Rabiul Awal atau 20 April 570M, dari ayah Abdullah bin
Abdul Mutalib dan ibunya Aminah binti Wahab,
b. Isra dan Miraj; perjalanan nabi Muhammad dari Masjid Al Haram menuju
Masjid Al Aqsa di bait al Maqdis dengan mengendarai Buraq (kuda bersayap)
(Israj) dan dilanjutkan perjalanan dari Yerusalem menuju Sidratul Muntaha
untuk menghadap Tuhan (Miraj),
c. Tahun Baru Hijriah; pada awal tahun 662 M, Muhhammad melakukan hijrah
(pindah) dari Makkah ke Yathrib (Medinah),
d. Idul Adha; bertalian dengan menunaikan ibadah haji, yang dimaknai sebagai
pengabdian diri kepada kehendak Allah, dan
e. Idul Fitri; perayaan berakhirnya kewajiban menjalankan ibadah puasa 1
Syawal.
Umat Islam merayakan kembali ke fitri (sifat asal, suci, bersih dari dosa).
Karena Ilmu Fiqih cenderung menimbulkan semangat legalisme yang hanya
mementingkan perbuatan lahiriah, munculah gerakan Tasawuf atau sufisme yang lebih
langsung mau berhubungan dengan tuhan, para sufi merasakan dorongan dan
kerindyan yang besar terhadap Tuhan. Melalui oleh rohani, para sufi menghayati
kedekatan hubungan dengan tuhan dan mendapatkan kesadaran langsung terhadap
kebenaran sejati. Sementara itu, dalam masyarakat Islam muncul filsuf-filsuf Islam
antara lain: Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Muhammad Abduh,
Muhammad Iqbal. Para filsuf mengingatkan agar umat Islam tidak melupakan peranan
akal dalam kehidupan dunia. Muhammad Abduh (1849 – 1905) misalnya, berbendapat
bahwa orang harus menggunakan akal dalam urusan dunia dan urusan agama. Adalah
kafir kalau orang menolak kebenaran rasional. Masyarakat yang ideal adalah yang
tunduk pada firman Tuhan dan memberikan penafsiran secara rasional.

6. Agama Konghucu
Agama Konghucu merupakan pelembagaan atas ajaran Konfusius (551 SM –
479 SM)di Tiongkok. Konfusius terkenal dengan ajaran-ajaran moral dan filsafatnya.
Tidak mengherankan jika ajarannya menyebar pesat di Jepang, Korea, Vietnam, dan
juga Indonesia.
Pada masa akhir Orde Lama dan awal Orde Baru penganut agama Konghucu
tidak mendapatkan tempat oleh pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Diskriminasi
umat Konghuchu saat diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967
Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina yang dikeluarkan oleh presiden
Soekarno. Meski demikian, agama Konghucu tetap diakui. Hal demikian tercantum
dalam Penetapan Presiden Nomor 1/Pn. Ps/ Tahun 1965 dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1969 yang mengakui adanya enam agama di Indonesia yaitu: Islam,
Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.
Pada masa Orde Baru, presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden
Nomor 1470/1978 yang berisi bahwa pemerintah hanya mengakui lima agama yaitu
Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Dengan demikian keberadaan Konghucu
tidak diakui di Indonesia. Namun demikian, sejak era Reformasi presiden KH.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui UU No 1/Pn.Ps/1965 mengakui Konghucu
sebagai salah satu agama di Indonesia.

Ada 5 ajaran pokok di dalam Konghucu, yaitu:


a. Jen, yaitu hubungan ideal yang harus ada di antara manusia, seperti kebaikan,
kemurahan hati, manusiawi. Suatu intisari dari kesempurnaan adikodrati
b. Chun-Tzu, yaitu kemanusiaan yang benar (gentleman). Bersama orang-orang
ini dunia menuju perdamaian. Sebaliknya, bersama manusia berjiwa kerdil
(kasar dan picik) dunia tak akan pernah damai.
c. Li, yaitu cara yang seharusnya dilakukan, semacam “tata krama.” Orang harus
satu antara kata-kata, pikiran, dan perbuatan/kenyataan objektif.
d. Te, yaitu kekuatan yang muncul akibat kebajikan. Suatu dasar dari
pemerintahan yang arif dan bijaksana.
e. Wen, yaitu “seni perdamaian” versus “seni perang.” Wen berkaitan dengan
musik, seni lukis, puisi, merangkai bunga, segala produk budaya yang bersifat
estetis. Seni yang baik diabdikan sebagai sarana pendidikan moral, karena
pikiran dan hati digugah untuk mawas diri.

Dalam konfusianisme diakui adanya dimensi yang melampaui dimensi manusiawi:


a. Langit dan Bumi dipandang sebagai kesinambungan. Istilah ini menunjuk
tempat bagi “yang mendiaminya.” Ti (nenek moyang) berdiam di langit.
Mereka diperintah oleh para nenek moyang tertinggi (Shang-Ti). Langit
mengendalikan kesejahteraan Bumi melalui cuaca, angin, hujan, dan
seterusnya.
b. Cara paling konkret bagi Bumi untuk berbicara dengan Langit adalah melalui
pengorbanan. Di sana dipanjatkan harapan-harapan baik.
c. Ramalan adalah cara Langit mendengar Bumi. Jadi, dalam peristiwa-peristiwa
penting bijaksanalah untuk bertanya kepada langit.
Konfusius dengan tetap menghormati peranan “langit” mengalihkan titik berat dari
langit ke bumi, untuk membentuk karakter orang-orang sebangsanya. Maka,
Konfusius memberi nasihat agar manusia lebih memahami satu dunia saja pada
satu waktu, dan bergerak dari soal-soal pemujaan kepada nenek moyang kepada
kesalehan anak cucu. Dengan kata lain, Konfusius lebih menekankan kualitas
hidup keluarga daripada praktik pemujaan
Inti ajarannya:
a. Jika ada kebenaran dalam hati, akan ada keindahan watak;
b. Jika ada keindahan dalam watak, akan ada keselarasan dalam rumah
tangga;
c. Jika ada keselarasan dalam rumah tangga, akan ada ketertiban dalam
bangsa;
d. Jika ada ketertiban dalam bangsa, akan ada perdamaian dunia.
Ada 4 ciri khas Konfusianisme:
a. Menjunjung tinggi keselarasan kosmis
b. Menaruh hormat terhadap nenek moyang
c. Mengakui “Dao” sebagai sesuatu yang melatarbelakangi kejadian di alam.
d. Mengakui dua prinsip ”Yin” dan ”Yang” (Yin – prinsip keperempuanan: pasif,
bumi, kerelaan; Yang – prinsip kelelakian: aktif, langit, kekuatan).

Penutup
Dengan menyimak materi tentang paham ketuhanan ini bisa dipahami kalau
terjadi gesekan di sana-sini atau bahkan yang tidak bisa menghargai paham ketuhanan
sesamanya yang berbeda agama dan keyakinannya malah ada yang saling mengejek
atau menjelek-jelekkan. Hal itu tidak perlu terjadi kalau kita bisa memahami bahwa
paham ketuhanan dalam setiap agama itu diajarkan sesuai dengan kaidah iman agama
masing-masing.
Semua agama, pada dasarnya mengajarkan, mengusung, mewartakan nilai-nilai
kehidupan universal sebagaimana dihabituasikan oleh Living Values: An Educational
Program20, dalam rangka mengembangkan kehidupan manusia yang transcendental
dan kehidupan bersama damai dan sejahtera.
Demikin sikap dan perlaku yang terbaik dan yang harua kita wujudkan dalam
kehidupan kita sehari-hari menghormati dan menghargai paham ketuhanan yang
dianut oleh umat lain; dan mencoba memahami sesuai dengan ajaran agama kita
masing-masing, agar kita dapat hidup bersama, saling membantu, bekerjasama dalam
mewujudkan kehidupan bersama yang damai, sejahtera dan bahagia yang kita cita-
citakan bersama.

Penutup
Mengakhiri pembahasan tentang paham ketuhanan ini kita dapat melihat dinamika
perkembangan paham ketuhanan dari periode yang paling awal dalam paham
dinamisme hingga ke paham ketuhanan sebagaimana diajarkan oleh agama-agama

20
Diane Tilman. Living Values Activities for Young Adult; Pendidikan Nilai untuk Kaum Dewasa
Muda. Jakarta: PT Grasindo, 20004
besar yang dianut di Indonesia, seperti Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan
Konghucu. Sebetulnya masih terserak luas paham ketuhanan di dalam agama-agama
kecil atau agama suku, namun tidak memungkinkan semuanya diulas di sini.
Cukuplah disajikan paham ketuhanan seperti yang telah dipaparkan di atas dengan
harapan kita pun sebagai mahasiswa perlu terus mendinamisir pemahaman kita akan
ketuhanan kita seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman
hidup kita agar paham ketuhanan kita tidak mandul atau mandeg tanpa berimplikasi
pada kehidupan real kita sehari-hari dalam masyarakat, apalagi menyadari akan makin
merebaknya ancaman gerakan radikalisme dan fanatisme di mana-mana. Tantangan
seperti itu hendaknya menjadi tantangan bagi kita sebagai kaum terdidik untuk
mengkaji lebih dalam paham ketuhanan kita sesuai kaidah dan ajaran agama masing-
masing sehingga kita juga bisa saling menghargai paham ketuhanan orang lain yang
berbeda agama dan keyakinannya. Dengan demikian terciptalah kehidupan umat
beragama yang rukun dan bersatu pada dalam keanekaragaman paham ketuhanan
yang ada di Indonesia.
Pertanyaan Reflekif

1.Jelaskan pokok-pokok paham ketuhanan dan nilai-nilai kehidupan yang ditawarkan oleh ke
agama besar tersebut?!
2.Dari pelbagai penggambaran tentang Tuhan, manakah yang masih sulit Anda pahami dan
bagaimana Anda menyikapinya?
3.Seperti apapun gambaran Anda tentang Tuhan, namun bagaimana agar gambaran Anda
tentang Tuhan itu semakin berperan di dalam kehidupan Anda?
4.Tuliskan pengalaman tentang Tuhan yang pernah Anda rasakan dan ungkapkan juga
dampak dari pengalaman tersebut bagi pembentukan Anda sebagai orang beriman dan
beragama.

Kegiatan Belajar

1.Bertanyalah kepada teman-teman Anda yang Bergama lain, agar pengetahuan dan
pemahaman Anda tentang hakekat ketuhanan dan nilai-nilai kehidupan yang diajarkan oleh
agama tersebut semakin komprehensif. Bertanyalah tentang: a) Sejarahnya, b) Ajaran tentang
kehidupan personal, c) Ajaran tentang kehidupan social, dan d) Ajaran tentang perbedaan.
2.Hal yang sama dapat Anda peroleh pada kunjungan ke tokoh pelbagai agama, baik secara
pribadi maupun secara kelompok. Buat laporan tertulis tentang hakekat paham ketuhanan dan
nilai-nilai kehidupan yang diajarkan pada/oleh pelbagai agama tersebut.
3.Pilihlah satu nilai kehidupan dari nilai-nilai kehidupan yang diajarkan oleh agama Anda;
buatlah program pribadi pembisaan nilai kehidupan tersebut dan laksanakan selama beberapa
minggu ke depan; pada bab 7, Anda diminta untuk mensharingkan pelaksnaan pembiasaan
nilai kehidupan tersebut kepada teman-teman kelas Anda.

Glosarium

Animisme: kepercayaan bahwa alam itu sebagai sesuatu yang hidup dan karena
memiliki roh/jiwa (= anima)
Atma: bagian terdalam dari diri manusia, yang berasal dari yang mutlak dan
akan kembali bersatu dengan Allah sebagai yang mutlak.
Atman: unsur Brahman dalam diri setiap manusia.
Brahman: kekuatan suci yang menyangga segala sesuatu yang ada, atau aspek
batiniah dari alam semesta.
Chun-Tzu: kemanusiaan yang benar (gentleman). Bersama orang-orang ini dunia
menuju perdamaian. Sebaliknya, bersama manusia berjiwa kerdil (kasar
dan picik) dunia tak akan pernah damai.
Dinamisme: kepercayaan bahwa alam itu memiliki daya yang luar biasa yang
melampaui daya-daya manusiawi.
Henoteisme: kepercayaan akan banyak dewa-dewi, namun pada kurun waktu
tertentu ada yang menjadi pemimpinnya (henoteisme waktu),
sedangkan Henoteisme tempat adalah kepercayaan akan banyak dewa-
dewi, namun untuk tempat-tempat tertentu penguasanya adalah dewa-
dewi tertentu, dan Henoteisme koordinasi adalah kepercayaan akan
banyak dewa-dewi, namun di antara dewa-dewi itu ada yang menjadi
koordinatornya.
Hirarki: orang-orang yang mendapat jabatan atau kekuasaan karena disucikan,
atau karena mendapatkan pentahbisan. Mereka itu adalah Diakon,
Imam, dan Uskup.
Islam: masuk dalam perdamaian. Itu berarti, seorang Muslim adalah orang
yang damai dengan Allah dan damai dengan manusia.
Jen: hubungan ideal yang harus ada di antara manusia, seperti kebaikan,
kemurahan hati, manusiawi.
Karuna: siap sedia meringankan makhluk lain.
Li: cara yang seharusnya dilakukan, semacam “tata krama.” Orang harus
satu antara kata-kata, pikiran, dan perbuatan/kenyataan objektif.
Metta: kasih sayang terhadap semua makhluk.
Mokhsha: pembebasan dari reinkarnasi yang tidak berkesudahan (samsara).
Monoteisme: kepercayaan akan adanya satu Allah/Tuhan saja.
Mudita: turut berbahagia dengan kebahagiaan mahkluk lain tanpa benci dan iri
hati
Ngaben: upacara pembakaran mayat yang dipercayai umat hindu sebagai
upacara yang membebaskan jiwa manusia untuk mencapai tingkat yang
lebih sempurna.
Nirwana (Nibbana): suatu pencapaian kondisi ketenangan yang mutlak disertai
keyakinan akan adanya kebebasan yang absolut.
Politeisme: kepercayaan bahwa bagian-bagian alam yang ber-roh itu memiliki
nama sebagai pribadi (person), seperti Dewa Bulan, Dewa Matahari,
Dewa Bumi, Dewa Langit, Dewa Angin, Dewa Laut, dan sebagainya
sesuai dengan wilayah kekuasaannya.
Sakramen: tanda kelihatan dari rahmat Allah yang tidak kelihatan, sehingga
dengan menerima Sakramen, seseorang menerima rahmat tertentu dan
berjanji untuk hidup setia kepada Yesus Kristus sang pengatara rahmat.
Sulinggih: orang yang telah dilantik untuk melaksanakan upacara. Sulinggih yang
berasal dari kasta Brahmana disebut pedanda; dari kasta Satria disebut
resi.
Tanha: nafsu atau keinginan yang rendah.
Te: kekuatan yang muncul akibat kebajikan. Suatu dasar dari pemerintahan
yang arif dan bijaksana.
Trimurti: Tuhan Yang Esa yang mewujud dalam Brahmana (yang menciptakan),
Wisnu (yang melindungi, memelihara), dan Siwa (yang melebur segala
yang ada).
Upekka: bersikap adil, diam, tenang dan penuh dengan kebijaksanaan yang
seimbang.
Wen: “seni perdamaian” yang berkaitan dengan musik, seni lukis, puisi,
merangkai bunga, segala produk budaya yang bersifat estetis.
Zakat: pemberian wajib setahun sekali sebesar 1/40 dari kekayaan dalam
setahun, yang diberikan kepada orang miskin, untuk pembinaan iman,
untuk menebus budak belian, untuk pengembangan Agama Islam.
BAB 3

AGAMA KRISTEN
Tujuan Pembelajaran:
1. Memahami dan menjelaskan hakikat paham ketuhanan di dalam Agama Kristen
2. Memhami dan menjelaskan nilai-nilai kehidupan yang diajarkan dan ditawarkan oleh Agama
Kristen dalam membangun manusia yang religius.
3. Menghargai hakikat penghayatan iman Kristen serta nilai-nilai kehidupan yang diajarkan atau
ditawarkan.

Metode:
1. Presentasi
2. Diskusi
3. Tanya Jawab
Waktu: 100 menit
Media/Alat Bantu:
• White Board
• Infokus
• Spidol
• Gambar/film/video
Bahan Bacaan:
• Subagya Petrus Damianus et.al. Pendidikan Religiositas. Jakarta: UMN Press, 2017.
• Huston Smith. Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1999.
• Magnis Suseno F. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
• Tim Dosen Religiositas UMN. Religiositas, Agama dan Pendidikan Nilai. Jakarta: Grasindo,
2010.
• Sikap Religius Pada Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.1986
• Mariyanto, Ernest. Simbol, Maknanya dalam Kehidupan Sehari-hari dan Liturgi. Malang:
Dioma, 2002
• Tarigan, Yakobus Pr. Religiositas, Agama dan Gereja Katolik . Jakarta: Grasindo,2007.

3.1 Pengantar
Di tengah-tengah atau di antara pelbagai agama yang ada di muka bumi ini, yang
pola penghayatan ketuhanannya sama dengan agama-agama asli seperti Aliran
Kepercayaan, Agama Hindu, Agama Budha dan Agama Khong Hu Cu, muncul
agama-agama yang pola penghayatan ketuhanannya sangat khas dan berbeda. Sebuah
tradisi yang meyakini peristiwa unik sebagai dasar pola penghayatan ketuhanan yang
baru.21 Yakni Yahwe atau Allah yang memanggil Abraham, nenek moyang Bangsa
Israel. Pola paham ketuhanannya bukan lagi kesatuan segalanya di mana seluruh
suasana alami yang syarat dengan unsur-unsur gaib yang lalu dipersonifiksikan
sebagai dewa-dewi atau roh-roh tertentu. Akan tetapi, Abraham merasa telah
dipanggil secara pribadi oleh Tuhan yng namanya Yahwe atau Allah. Agama itu
adalah Yudaisme.
Yahwe pada awalnya belum Allah satu-satunya bagi umat Yahudi (keturungan
Bangsa Israel). Maksudnya, ada dewa-dewi lain, makin tidak berarti atau sepadan
dibandingkan dengan Yahwe, Allah yang memanggil Abraham, nenek moyang
Bangsa Israel.Yahwe tidak terikat pada waktu atau tempat tertentu. Ia diyakini sebagai
Tuhan atas bangsa-bangsa dan sejarah keselamatan untuk seluruh umat manusia dan
akan melaksanakannnya. Ia mengadakan hubungan dialogis dan personal kepada
bangsaNya.
Dalam perkembangan selanjutnya, Bangsa Israel sampai pada keyakinan bahwa
Yahwe adalah yang Maha Esa. Umat Yahudi (keturunan Bangsa Isarel) menjadi
monoteis. Dari pola penghayatan ketuhanan bahwa Yahwelah Tuhan Israel, Umat
Yahudi mulai percaya (yakin) hanya Yahwelah Allah Israel; dewa-dewi lain tidak ada
artinya. Pola penghayatan ketuhanan yang Illhi (Yang Transenden) sebagai Allah
Yang Esa dalam perkembangan selanjutnya mendasari dua agama monoteis besar
yang menyempal dari rumpun Yahudi, yakni agama Kristen dan agama Islam. 22

3. 2. Kelahiran Agama Kristen


Dari semua agama yang dianut oleh umat manusia2, Agama Kristenlah yang
paling luas tersebar di muka bumi dan paling banyak pengikutnya. Sepertiga dari
penduduk dunia ini merupakan penganut Agama Kristen. Agama Kristen saat ini
terdiri dari banyak Gereja atau kelompok umat seperti Gereja Katolik, Gereja
Ortodoks Timur, Gereja Anglikan dan Gereja Protestan. Di antara Gereja-Gereja
tersebut, Gereja Katolik memiliki pengikut yang paling besar, 1,2 milyar umat. Gereja

21
Frans Magnis Suseno. Menalar Tuhan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006, hal 37-39.
22
Ibid., hal. 38-39
Kristen Protestan 360 juta umat, Gereja Kristen Ortodoks 170 juta umat dan Gereja
Kristen Anglikan 80 juta umat.
Pada dasarnya, Agama Kristen yang kini sudah berusia lebih dari 2000 tahun
ini merupakan agama sejarah. Landasan utama Agama Kristen ini bukan terletak pada
hal-hal yang bersifat umum, akan tetapi didasarkan pada kejadian-kejadian nyata.
Peristiwa paling penting dari rangkaian peristiwa yang mendasari Agama Kristen ini
adalah Kisah Kehidupan Yesus Anak Yusuf, seorang tukang kayu yang tidak dikenal,
yang menikahi Maria. Yesus dan bukannya sebagai pahlawan. Tidak meninggalkan
harta apapun, idak mengikuti pendidikan, tidak menulis buku, tidak memiliki pasukan.
Meskipun demikian, tanggal lahirNya diingat oleh seluruh dunia dan saat
kematianNya diperingati dengan palang salib di seluruh pelosok dunia.

3. 3. Yesus Kristus, Pokok Iman Umat Kristiani


Agama Kristen berpusat pada diri Yesus Kristus sebagai Penyelamat bagi
semua orang yang percaya.23 Umat Kristen percaya kepada Yesus Kristus yang
dibangkitkan oleh Allah dari dunia orang mati, yang sekarang hidup dan sepanjang
segala abad berkarya di dunia ini melalui Roh-Nya. ”Tetapi bukan ajaran dan teladan-
Nya yang menjadi utama dan pertama. Sebaliknya, karena percaya kepada diri Yesus
Kristus yang kini hidup, berkuasa dan berkarya, maka umat Kristen bersedia
mendengarkan dan mengamalkan ajaranNya dan rela mengikuti teladan yang
ditinggalkanNya” (1 Pts2:21). Kristus (bahasa Yunani: ”Khristos”) atau Mesias
(bahasa Ibrani: ”Masyiakh”), dalam bhasa Aram: ”Mesihiha” adalah gelar; yang
berarti ”orang yang diurapi.” Sedangkan Tuhan atau Kirios (bahasa Yunani) berarti
orang terkemuka dan terhormat. Ut Kristen percaya bahwa Yesus (nama diri) dari
Nasaret adalah Sang Kristus dari Allah; Yesus adalah Putra Allah dan Tuhan.
Informasi tentang tubuh jasmani dan perjalanan historis hidup Tuhan Yesus
memang sangat sedikit. Namun ketika membaca Kitab Suci Perjanjian Baru, yang
berisikan tetang kisah kehidupan dan karya Tuhan Yesus, tidak seorang pun pembaca
yang kritis akan luput dari pengaruh kekuatan dan kekhususan pribadi TuhanNya.

23
Tarigan Yacobus Pr. Religiositas, Agama dan Gereja Katolik, Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2007, hal. 75.
Yesus adalah pribadi yang sungguh luar biasa dan tidak ada bandingnya. Yang walau
pun muncul sebagai seorang tak dikenal, Ia kemudian melangkah maju sebagai pribadi
yang sungguh mengagumkan. Para rasul dan atau para murid yang akrab dengan Dia
secara perlahan-lahan merasa amat terpukau dengan apa yang mereka saksikan.
Sehinga mereka menjadi sangat yakin dan percaya bahwa Yesus adalah Tuhan, Putra
Allah, Mesias, dan Juru Selamat umat manusia. 24
Pengakuan pertama terhadap perananNya sebagai Sang Penebus atau Juru
Selamat umat datang seluruh kesan yang ditimbulkan (hidup dan karyaNya) kepada
para pengikutNya. Tidak pernah ada tokoh dalam sejarah yang lebih dimuliakan dari
beliau-beliau yang memuliakan Yesus daripada generasi sezamannya sendiri, yaitu
generasi Petrus, Yohanes, dan Paulus. Sudah pasti ada hal-hal mendasar yang ada
dalam diri dan kehidupan Tuhan Yesus, yang ”memaksa” para murid yang
mengenalNya dari dekat dan yang kemudian para pengikutnya yang saat ini tidak
kurang dari sepertiga penduduk dunia ini, sampai pada kesimpulan dan keyakinan
bahwa Yesus adalah Tuhan, Kristus, Putera Allah, dan Juru Selamat umat manusia.
Paling tidak ada tiga hal mendasar yang membuat para murid dan mereka
yang akrab dengannya sampai pada kesimpulan dan keyakinan itu; antara lain: apa
yang Ia perbuat (karyaNya), apa Ia katakan dan Diri Pribadi Yesus.

3. 3. 1. Karya Yesus
Kitab Suci Perjanjian Baru, utama Injil, penuh dengan testimoni; puji-
pujian terhadap karya Yesus yang sungguh mengagumkan. Halaman demi halaman
kitab ini, khususnya dalam Injil Markus, penuh dengan peristiwa ajaib atau mukjijat.
Yang sungguh sangat mengagumkan, bukan hal-hal itu yang menjadi titik berat
perhatian Yesus, akan tetapi Kasih Allah Bapa yang harus diteruskan atau dibagi
kepada orang lain; di mana pun dan kapan pun.Itulah tugas mulia yang diembanNya
dari Bapa di surga, ”Menyelamatkan umat manusia”. Yesus tidak pernah mengunakan
mukjijat-mukjijat yang dilakukanNya sebagai sarana untuk meyakinkan orang

24
Subagya Petrus Damianus dan Tim Dosen UMN. Religiositas, Jakarta: Penerbit UMN Press,
2017, hal 139-140.
mengenai siapakah Dia. Tidak pernh sekali pun Ia berusaha untuk membuat orang
lain kagum, mendesak atau menyiksa orang lain agar percaya kepadaNya.25
Petrus, salah seorang dari 12 rasul atau muridNya meringkaskan dan
menjelaskan seluruh karya Tuhan Yesus dalam hidupNya dalam lima kata yang padat:
”Ia berkeliling sambil berbuat baik”. Sangat sederhana kalimat itu, namun memang
sukar untuk mencari kalimat yang lebih baik lagi. Secara biasa dan tanpa rikuh, Tuhan
Yesus bergaul dengan orang-orang menderita dalam masyarakat, dengan perempuan
tuna susila, dengan para pemungut cukai. Melalui upaya penyembuhan dan dengan
membantu mereka yang berada dalam keadaan putus asa yang amat sangat, serta
dengan memberikan nasehat di saat mereka sedang berada dalam keadaan kritis, Ia
berkeliling sambil berbuat baik, berbuat kasih.
Yesus berkeliling sambil berbuat kasih dengan kesungguhan adan
ketulusan hati dan memang dengan hasil yang baik, sehingga orang-orang yang berada
di sekitarNya, dari hari ke hari merasa bahwa pandangan mereka terhadap beliau
berubah sama sekali. Mereka akhirnya berpikir dan yakin bahwa jika Tuhan yang
merupakan kebaikan sejati, akan mengambil wujud manusia, inilah perbuatanNya
sebagai manusia.

3. 3. 2. Sabda dan Ajaran Yesus


Selain karya Yesus, yang menyebabkan para rasul, para murid dan orang-
orang pada waktu itu memandang dan meyakininya sebagai Tuhan, Yang Diurapi atau
Juru Selamat Umat manusia, adalah juga pada ajaranNya; pada apa yang Ia katakan 8
Klausner seorang sarjana Yahudi menyatakan bahwa jika kita menelaah ajaran-ajaran
yang dalam Perjanjian Baru secara terpisah-pisah, kita akan menemukan padan ajaran-
ajaran tersebut dalam Kitab Suci Perjanjian Lama maupun dalam Kitab Talmud.
Secara menyeluruh ajaran Yesus sangat terasa mengandung suatu desakan, suatu
perasaan yang berkobar-kobar dan bersemangat, suatu pengabdian yang luhur mulia.
Kata-kata Yesus mengandung suatu sifat yang luar biasa yang tidak mampu
dilakukan oleh orang arif bijaksana pada waktu itu seperti: ”Jika tangan ada

25
Huston Smith. Agama-Agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1999, hal 356-365.
menyengsarakan anda, potonglah. Jika mata anda merupakan rintangan antara diri
anda dengan hal-hal terbaik, cungkilah”.
Yesus selalu berbicara tentang unta-unta yang masuk melalui lubang jarum,
tentang orang-orang yang gigih mencari nyamuk yang terdapat dalam gelas
minumannya dan lupa pada unta-unta yang masuk lewat kerongkongan mereka. Ia
berbicara tentang orang-orang yang hidup malang. Itu semua bukan sekedar gaya
retoris, yang secara cerdas ditambahkan untuk memperoleh efek yang diinginkan.
Namun bahasa tersebut sungguh merupakan bagian atau ungkapan dari pribadi Yesus;
bersumber dan mengalir dari dorongan jiwa dan semangat keyakinanNya.
Kata-kata Yesus yang paling sering diingat dan diulang kembali di dunia ini,
antara lain: ”Cintailah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”; ”Lakukanlah
terhadap orang lain apa yang anda lakukan terhadap diri sendiri”; ”Datangah
kepadaKu, kamu semua yang letih dan berbeban berat dan aku akan menyegarkn
kamu”; ”Carilah kebenaran, maka kebenaran itu akan memerdekakan kamu”. Di
samping itu, Ia juga sering mengajar melalui ceritera-perumpamaan seperti: harta
terpendam, para penabur benih, pedagang mutiara, orang Samaria yang baik hati,
seorang pemuda yang kehilangan seluruh harta warisanya dengan berpoya-poya dan
kemudian terpaksa mengisi perutnya dengan potongan makan babi. Kisah-kisah itu
saat ini sudah sangat populer di seluruh dunia. Nah, para murid dan orang-orang yang
mendengar untuk pertama kalinya hatinya sedemikian rupa sehingga berteriak:
”Belum pernah ada orang yang berbicara demikian.”
Dalam dan melalui Kitab Suci Perjanjian Baru, Yesus (yang kemudian
dilanjutkan oleh para rasul dan para muridNya) mendidik umat manusia untuk
mengasihi Allah dan sesama manusia; bahkan diajarkan untuk tidak melawan
kejahatan orang lain terhadap diri kita; kita malahan disuruh untuk memberikan pipi
kita yang lain. Sementara dunia biasanya branggapan bahwa kejahatan orang lain
harus dilawan dengan sekuat tenaga dan dengan cara apa pun. Yesus mengajar kita
untuk mencintai musuh-musuh kita dan berdoa mohon kebaikan bagi mereka yang
mengutuk kita. Semntara dunia mengajarkan agar sahabat kitalh yang harus kita cintai
dan musuh harus kita benci. Kepada kita diajarkan bahwa matahari diterbitkan Allah
bagi mereka yang bersifat adil maupun bagi mereka yangtidak jujur. Dunia menolak
hal itu, karena seyogianya matahari hanya terbit bagi mereka yang berlaku adil saja,
dan seterunya masih banyak lagi. Jika kita dapat merasakan dampak kata-kata dan
ajaran Yesus yang asli, maka kita un akan merasakan terkejut dan kagum terhadap
sabda dan ajaran Yesus ini. Keindahan tidak akan dapat menutupi kenyataan-
kenyataan bahwa kata-kata Yesus tersebut adalah sangat keras. Tapi jika dilihat dan
dipahami secara keseluruhan, baik perumpamaan-perumpaan, sabda bahagia,
maupun kata-kata Yesus, ibarat suatu permukaan kaca bakar yang mengajak
manusia untuk dan memusatkan perhatiannya pada dua hal yang paling penting dalam
kehidupan ini. Yaitu tentang cinta Allah Bapa yang tidak ada habis-habisnya
kepada manusia; dan tetang perlunya manusia menerima cinta Allah Bapa itu
untuk kemudian diteruskan kepada sesamanya.

3. 3. 3. Diri Pribadi Yesus


Selain karya dan kata-kataNya, hal mendasar yang ”memaksa” para mkurid
dan sahabatNya sampai pada kesimpulan dan keyakinan bahwa Yesus yang lahir di
kandang domba ternyata memiliki sifat-sifat ilahi adalah pribadi Yesus sendiri8.
Sudah pasti bahwa hal yang paling mengagumkan tentang ajaran-ajaran Yesus
bukanlah karena Ia telah mengajarkan, akan tetapi karena Yesus sendiri telah
menghayati dan mengamalkannya semua yang Ia ajarkan. Seluruh kehidupan Yesus
merupakan perwujudan mutlak dari kesederhanaan, kerendahan hati, pemgorbanan
diri dan kasih yang idak menghendaki imbalan. Yesus tidak peduli, apakah sehausnya
manusia mengetahui siapakah Ia.
Yang menjadi pusat perhatianNya adalah agar manusia mengenal Allah dan
kehendakNya bagi kehidupan umat manusia ini. Yesus sngat memuliakan Allah dan
sama sekali tidak menghiraukan diriNya sendiri. Tidak mungkin membaca apa yang
telah dikatakan oleh Yesus mengenai sikap tidak mementingkan diri sendiri tanpa
sekaligus merasakan betapa Ia tidak pernah membanggakan diriNya sendiri.
Halaman demi halaman Kitab Injil menampilkan Yesus sebagai sosok pribadi
yang memiliki daya tarik dan pengaruh yang tiada taranya; sama sekali tidak
memerikan kesan asing, kecuali kesempurnaaNya yang memang merupakan hal yang
asing, hal yang baru sama sekali pada saat itu. Yesus senang dengan orang lain, dan
sebaliknya mereka senang dengan Yesus, bahkan mencintaiNya. Dan jumlah orang
yang mencitaiNya sangat banyak.
Pada akhirnya, terutama pada saat Yesus mengorbankan nyawaNya untuk para
sahabatNya, bagi mereka yang mengenal lebih dekat, sampai pada kesimpulan bahwa
Yesuslah pribadi yang sama sekali tidak pernah memiliki perasaan mementingkan diri
sendiri. Yesus menyerahkan seluruh hidupNya demi kehendak Allah, sehigga dengan
jelas kehendak Allah Bapa itu terlihat dengan jelas melalui kehidupanNya. Hal itu
sangat dirasakan oleh para muridNya, sehingga sewaktu-waktu memandang Yesus,
para murid merasa seakan-akan sedang memandang bagaimana wujud Allah
seandainya Ia akan mengambil rupa manusia.

3. 3. 4. Wafat Dan Kebangkitan Tuhan Yesus


Karya keselamatan Allah terlaksana dalam wafat dan kebangkitan Yesus.
Yesus dihukum mati karena pewartaan dan ajaranNya dianggap berbahaya bagi
kedudukan dan kuasa para pemimpin agama Yahudi. Karena Yesus adalah orang
benar, maka kebenaranNya Nampak dalam penderitaan yang dialamiNya. Dengan
kematianNya, Yesus solider atau senasib manusia malang; keturunan manusia pertama
yang terkutuk. Yesus wafat untuk manusia, demi keselamatan umat manusia, dan
karena dosa-dosa manusia. Sengsara dan wafat Yesus dengan demikian termasuk
dalam tata penyelamatan Allah. Sepintas, kematian Yesus Nampak seperti tanda
kegagalan; akan tetapi bagi umat Kristen yang percaya, kematian itu menandai puncak
kemenangan atas kuasa kegelapan. Umat Kristen percaya bahwa dengan kematian
Yesus, dosa manusia diampuni dan dengan kebangkitanNya, kematian bukanlah akhir
dari kehidupan.

“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, manaruh pikiran dan perasaan yang
terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak
mnganggap kesetaraanNya dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,
elainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba
dan menjadi sama seperti manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah
merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib. Itualah
sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan menganugerahkan kepadaNya nama di
atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuklutut segala yang ada di langit
dan yang ada di bumi dan yang ada di bawah bumi dan segala lidah mengakui:
“Yesus Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah Bapa”. (Fil 2 : 6-11)

Saat-saat terakhir kegiatan menyampaikan ajaranNya, Yesus telah dikenal


setiap orang. Setelah bergaul dengan banyak orang dan mengajar mereka selama
beberapa bulan, Yesus disalibkan. Saat itu seyogyanya merupakan akhir dari kisah
Yesus. Sejarah penuh dengan kisah orang yang mempunyai ilham tentang masa depan,
memiliki berbagai rencana, kemudian tewas, dan itulah akhir dari kisah yang dapat
kita dengar mengenai mereka. Namun dalam hal ini, kisah Yesus berbeda. Dalam
beberapa minggu sesudah penyalibpanNya, para murid justru dengan penuh semangat
menyampaikan kabar gembira mengenai Yesus yang telah bangkit kembali.
Tak dapat diragukan bahwa iman akan kebangkitan inilah yang menjadi
dorongan kuat untuk berdirinya Gereja, komunitas umat yang beriman kepada Allah
dalam diri Yesus Kristus. Selanjutnya, tersebar luaslah kabar kebangkitan Yesus dan
bersama dengan kabar gembira ini tersiar pula kabar bahwa mereka yang percaya
kepadaNya, seperti Dia dan bersama Dia akan dapat mengalahkan dosa dan maut, dan
menuju suatu kehidupan yang baru, bahagia dan kekal. 26
Dalam wafat, kebangkitan dan seluruh hidupNya, Yesus menyampaikan wahyu
Allah, bahkan mewujudkan wahyu iu dalam DiriNya. Allah memperkenalkan diri-Nya
dan menyingkapkan rencana keselamatanNya dalam Diri Yesus Kristus. Allah
mengajak manusia untuk hidup bersatu denganNya. Yesus adalah Wahyu Allah yang
penuh dan menentukan. Pengalaman Paskah adalah pengalaman akan Roh Kudus,
yang ternyata Roh Yesus Kristus yang dibangkitkan. Yesus tampil bukan dalam
keadaan yang menyedihkan, akan tetapi sebagai pemenang yang mengalahkan segala
sesuatu, bahkan akhir dari segala akhir yakni maut itu sendiri. Yesus berkuasa juga
atas kematian.

26
Tarigan Yacobus Pr. Religiositas, Agama dan Gereja Katolik. Jakarta: Gramedia
Widiasrana Indonesia, 2007, hal 76-79.
3. 3. 4. Kitab Suci
Umat Kristen (Katolik dan Protestan) dapat mengetahui pewartaan dan karya
Yesus Kristus melaui Kitab Suci, terlebih Kitab Suci Perjanjian Baru. Kitab Suci
adalah pewartaan kabar gembira (Injil) yang membuku dan mengkristal , yang
menjadi pedoman, ukuran, dan pegangan hidup seluruh umat Kristiani. 27
Peristiwa-peristiwa dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dipenuhi dalam Kitab
Suci Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama dapat ditelusuri rencana keselamatan
Allah sejak penciptaan dunia sampai pada saat bangsa Israel menantikan kedatangan
Sang Mesias. Terdapat 46 kitab dalam Perjanjian Lama. Kitab Suci Perjanjian Baru
terdiri dari 27 kitab, dari Injil Mateus sampai Wahyu kepada Yohanes. Bisa dikatakan
bahwa Kitab Suci Perjanjian Baru menjelaskan makna dan maksud sebenarnya dari
Kitab Suci Perjanjian Lama. Sedangkan Kitab Suci Perjanjian Lama merupakan
persiapan yang perlu untuk memahami makn dan maksud Kitab Suci Perjanjian Baru.
Di antara semua kitab suci, yang menduduki tempat istimewa adalah Kitab Injil
(Injil Mateus, Markus, Lukas dan Yohanes). Karena Injil merupakan kesaksian utama
tentang hidup, karya, dan ajaran Sabda Tuhan Yesus Kristus, Sang Juru Selamat umat
manusia.
3. 3. 5. Sakramen
Sakramen adalah suatu kesepakatan antara manusia dengan Tuhan Allah,
sehingga dengan menerima Sakramen, seseorang berjanji untuk hidup setia kepada
Yesus Kristus. Sebagai sumpah kesetiaan orang-orang percaya kepada TuhanYesus
Kristus.28
Dalam Gereja Katolik ada 7 sakramen; mengikuti irama hidup manusia, yakni
kelahiran (sakramen baptis), makan-minum untuk pertumbuhan (sakramen ekaristi),
sehingga menjadi kuat dan dewasa/sadar akan yang baik dan yang buruk (sakramen
penguatan/krisma), bertobat dari salah dan dosa (sakramen tobat), menentukan pilihan
hidup: menikah (sakramen perkawinan) atau selibat/tak kawin (sakramen imamat),
dan menjadi lemah / sakit dalam proses hidup (sakramen pengurapan orang sakit).

27
C.Groenen. Panggilan Hidup Kristen. Yogyakarta: Kanisius. 1979: hal 14.
28
Tarigan Yacobus Pr. Religiositas, Agama dan Gereja Katolik. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2007, hal 126-129.
Dalam Gereja Protestan ada 2 sakramen, yaitu (1).Baptisan; Berasal dari kata
Baptizzo (bahasa Yunani), yang artinya dimandikan, dibersihkan,atau diselamkan.
(2).Perjamuan Kudu Sakramen ditetapkan Tuhan Yesus untuk menguatkan dengan
sesama orang percaya, Seluruh umatNya, atau segenap keluarga Allah, di semua
tempat dan segala zaman.

Penutup
Sebagai penutup dari uraian tetang Agama Kristen di atas, kita dapat mencatat
beberapa point pokok, sebagai berikut:
1. Agama Kristen, bersama Agama Yahudi dan Agama Islam merupakan satu rumpun
agama Abrahamistik atau agama samawi. Bermula atau bertolak dari panggilan
Abraham oleh Yahwe ini muncul penghayatan ketuhanan baru dalam kehidupan
umat yang kemudian menjadi pola penghayatan khas tiga agama Abrahamistik:
Agama Yahudi, Agama Kristiani , dan Agama Islam. Tiga pola penghayatan
ketuhanan khas agama Abrahamistik tersebut adalah: (1) Allah memanggil secara
personal seseorang (Abraham) dan mulailah sebuah rencana keselamatan. (2) Allah
adalah satu-satunya Tuhan (monoteis). Dan (3) Allah adalah Pencipta langit dan
bumi dan segala isinya. Alah bertahta di atas langit dan bumi, dan bukan
bagiannya.
2. Agama Kristen (Katolik dan Protestan) terdiri dari banyak Gereja. Tapi semua
Gereja Kristen mempunyai cirri khas yang sama, yaitu percaya pada Pribadi
Yesus. Umat Kristiani mengimani Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru
Selamat umat manusia; demikian, Yesus Kristus menjadi pokok dan sumber
iman mereka.
3. Iman Umat Kristiani didasarkan pada sabda, karya dan terutama diri Pribadi
Yesus Kristus sendiri, yang dialami dan dirasakan oleh para murid dan umat pada
saat itu; seluruh kehidupan Yesus , dan teristimewa dalam sengsara, wafat dan
kebangkitaNya, sungguh mewujudkan Wahyu Allah (Ibr 1:1-3). Dalam dan
melalui Yesus, Allah Bapa Yang Maha Rahim itu hadir ke dunia untuk
menyelamatkan umat manusia (Fil 2: 6-11). Wafat dan kebangkitan Yesus itu
sungguh sesuai dengan kitab suci, dan dengan demikian memang sesuai dengan
karya dan rencana keselamatan Allah Bapa di surga.
4. Tugas pokok (tugas mulia) Gereja adalah (bersama dengan Yesus Kristus Yang
Bangkit) adalah melanjutkan karya Yesus Kristus, yaitu mewartakan kabar gembira
“Kerajaan Allah” kepada umat manusia. Bahwa Kerajaan Allah itu sudah dekat
sekali, maka perlulah manusia bertobat (Mrk 1:15). Bertobat berarti meninggalkan
dosa-dosanya, dan berbalik kembali kepada Alah yang maharahim. Yesus sendiri
menghengaki agar semua orang dibaptis: “.. karena itu pergilah, jadikanlah semua
bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus
(Mat 28:19).
5. Tiga nilai kehidupan utama yang diajarkan oleh Yesus dan yang harus
dilaksanakan dan dibagi kepada sesama adalah iman, harapan dan kasih. Di
antara ketiga nilai keutamaan Kristiani tersebut yang paling besar adalah kasih.
Seluruh halaman Kitab Suci Perjanjian Baru, utamanya keempat Injil (Matius,
Markus, Lukas, dan Yohanes), ketiga nilai kehidupan itu terwujud dalam seluruh
karya, sabda, ajaran dan diri pribadi Yesus.

Pertanyaan Reflektif
1. Sebutkan dan jelaskanlah hal-hal mendasar yang mendorong lahirkan Agama
Kristen ?
2. Jelaskanlah pokok-pokok penghayatan ketuhanan pada Agama Kristen?
3. Jelaskanlah nilai-nilai kehidupan yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dan yang
harus dilaksankan dan diwartakan oleh umat Kristiani?

Kegiatan Belajar
1. Bertanyalah kepada teman-teman Anda yang Bergama lain, agar pengetahuan dan
pemahaman Anda tentang hakekat ketuhanan dan nilai-nilai kehidupan yang
diajarkan oleh agama tersebut semakin komprehensif. Bertanyalah tentang: a)
Sejarah, b) Ajaran tentang ehidupan personal, c) Ajaran tentang kehidupan social,
d) Ajaran tentang perbedaan.
2. Hal yang sama dapat Anda peroleh pada kunjungan ke tokoh pelbagai agama,
baik secara pribadi maupun secara kelompok. Laporan tertulis dari kunjungan
dan wawancara dengan tokoh agama tersebut yang akan dipresentasikan pada
pertemuan di kelas.
3. Pilihlah satu nilai kehidupan dari nilai-nilai kehidupan yang diajarkan oleh agama
Anda; buatlah program pribadi pembisaan nilai kehidupan tersebut dan
laksanakan selama beberapa minggu ke depan; pada pertemuan ke 7, Anda
diminta untuk mensharingkan pelaksanaan pembiasaan nilai kehidupan tersebut
kepada teman-teman kelas Anda.
BAB 4
Sejarah Agama Islam

Tujuan:
1. Mahasiswa mampu menguraikan agama Islam (C4)
2. Mahasiswa mampu menganalisis ajaran-ajaran agama (C5)
Metode:
1. Ceramah
2. Diskusi
3. Tanya jawab
Waktu: 100 menit
Media/Alat bantu:
• White-board
• Infocus
• Spidol
• Gambar/film
Bahan Bacaan:
• Armstrong, Karen. Islam: A Short History, New York: Modern Library, 2002.
• Bagir, Haidar. Islam Tuhan Islam Manusia, Bandung: Mizan Media Utama, 2018.
• Bisri, M. Mustofa. Saleh Ritual, Saleh Sosial, Yogyakarta: Diva Press, 2019.
• Hanafi, Hasan & Nurcholish Madjid. Islam Dan Humanisme,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016.
• Madjid, Nurcholish. Islam Kemoderan Dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan Pustaka, 2008.
• ------------------------, Islam Agama Peradaban, Jakarta: Paramadina – Dian Rakyat, 2015.
• Menzies, Allan. History of Religion, Yogyakarta: Indoliterasi, 2015.
• Ridwan, Nur Kholik. Ajaran-Ajaran Gus Dur, Yogyakarta: Noktah, 2019.
• Shihab, M. Quraish. Islam Yang Saya Anut - Dasar-Dasar Ajaran Islam, Tangerang: Lentera Hati,
2018.
• Smith, Huston. Agama-Agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
• Tim Penulis Dosen Religiositas UMN, Pendidikan Nilai dan Religiositas, Jakarta: UMN Press,
2013.
• Wahid, Abdulrrahman. Islamku Islam Anda Islam Kita, Jakarta: Gramedia, 2015.
• Wahid, Abddurrahman & Daisaku Ikeda. Dialog Peradaban Untuk Toleransi Dan Perdamaian,
Jakarta: Gramedia, 2011.

4. 1. PENGANTAR:
Bentuk dan gambaran Islam sebagai agama tidak lepas dari nilai-nilai ajaran
yang terkandung di dalamnya. Dalam ajaran itulah, Islam memperkenalkan diri serta
memperlihatkan akan wajahnya. Wajah Islam akan nampak seperti apa, semuanya
tidak lepas dari umat Islam sendiri. Karena di situlah wajah Islam itu dilukis dan
diperlihatkan. Wajah Islam bukan terlihat pada indahnya ayat-ayat suci yang tertata
rapi di setiap lembaran-lembaran kertas kitab sucinya, tetapi pada praktik hidup dari
para penganutnya. Dalam tataran inilah pemahaman dan wawasan nilai-nilai
keagamaan yang mempuni menjadi sebuah kebutuhan dan sekaligus keharusan.
Pemahaman dan wawasan nilai-nilai keagamaan yang mumpuni merupakan
kunci untuk umat Islam bisa sampai kepada tujuan pokok dari keberagamaan itu
sendiri, yaitu untuk meraih rahmat Tuhan dan juga rahmatan lil’alamin (rahmat bagi
seluruh alam). Sebaliknya pemahaman yang terbatas dan cenderung sempit akan
menjadi pintu munculnya manusia-manusia yang beragama, tetapi tanpa iman dan
taqwa. Tanpa adanya keimanan dan ketaqwaan, agama akan menjadi tumpul,
kehilangan fungsi, sekaligus kehilangan “nyawanya”. Ketika agama kehilangan
nyawanya, maka agama akan menjadi “mati” sehingga walaupun ia ada, namun ia tak
akan memberi arti apa-apa bagi pemeluknya.
Agama punya fungsi untuk menolong manusia mencari dan sekaligus
menemukan arti kehidupan. Fungsi ini hanya akan bisa termaknai secara benar, hanya
pada saat keberagamaan itu di hidupi dengan baik oleh para penganutnya. Ketika
penganut agama telah sampai pada tahapan menghidupi keagamaannya, maka ia buka
lagi sekedar penganut agama, atau sebagai orang yang beragama, tetapi telah masuk
pada tahapan religius. 29 Tahapan persatuan dengan yang Mutlak (Tuhan). Kerangka
berpikir semacam inilah yang harusnya ada di setiap umat beragama di negeri ini,
khususnya bagi kaum muda, yaitu kehidupan keberagamaan yang menuju pada
tahapan religius dan bukan sekedar hanya sampai pada titik beragama saja.

4. 2. Sejarah Agama Islam


Islam identik dengan Nabi Muhammad, dan keduanya tentunya tidaklah
mungkin bisa untuk dipisahkan. Muhammad dalam keyakinan Islam adalah Nabi
terakhir yang secara khusus Tuhan pilih dan tetapkan menerima wahyu untuk
disampaikan ke seluruh umat manusia. Nabi memulai menyampaikan ajaran tersebut
(Islam) di dua kota suci, yaitu di kota Mekah dan Madinah. Dari dua kota inilah
kemudian Islam dengan semua ajaran-ajaran yang ada di dalamnya mulai tersebar, dan
mulai mempengaruhi banyak orang di berbagai tempat, bahkan sampai ke semua
penjuru dunia, termasuk Indonesia. Di dua kota inilah, Mekah dan Madinah ajaran

29
Tim Penulis Dosen UMN, Religiositas, Tangerang: UMN Press, 2018. Hal. 49.
Islam dengan segala kekhasan dan keunikannya berinteraksi dengan berbagai budaya
masyarakat setempat. Dalam interaksi itu, terjadilah pemilah-milahan budaya, ada
budaya yang diterima kemudian dikukuhkan, ada juga yang diluruskan, dan ada pula
yang memang ditolak karena nyata-nyata bertentangan dengan prinsip dasar ajaran
yang ada di dalam al-Quran yang merupakan tuntunan bagi umat Islam itu sendiri.
Dalam konteks Islam, sumber pokok ajaran Islam itu ada tiga macam, yaitu:
al-Quran30, Hadis (Al-Sunnah)31 dan Ijtihad32 (penalaran atau akal pikiran). Semua hal
harus merujuk kepada ketiganya, tetapi yang paling utama adalah kepada al-Quran
yang oleh umat Islam diyakini merupakan wahyu Tuhan sendiri. Sebagai wahyu
Tuhan, al-Quran tidak lepas dari kehidupan manusia dengan segala tatanan yang ada
didalamnya. Karena itulah bisa dimengerti jikalau al-Quran lebih banyak berisi
tuntunan hidup yang memuat hukum-hukum tentang hidup dan kehidupan. Al-Quran
adalah rambu-rambu bagi umat Islam, berkaitan dengan bagaimana umat Islam harus
menjalani hidupnya di muka bumi ini.
Sebagai tuntunan al-Quran, selalu memberikan rujukan kepada umat Islam
berkenaan dengan banyak hal dan juga banyak persoalan yang dihadapi oleh umat
Islam. Al-Quran merumuskan, apa yang boleh maupun apa yang tidak boleh, apa yang
halal dan apa yang haram, apa yang baik maupun apa yang buruk. Karenanya tentu
tidaklah mengherankan jika Al-Quran sarat dengan perintah dan larangan. Berkenaan
dengan kebudayaan, al-Quran memerintahkan kepada Nabi agar mengukuhkan
kebudayaan (kebiasaan) positif yang ada di tengah-tegah masyarakat yang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan yang Islam ajaran. Al-Quran juga
30
Secara etimologi al-Qur’an berasal dari kata “qara’a, yaqra’u, qira’atan, qur’anan” yang berarti
mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain secara
teratur. Ada juga sumber lain mengatakan bahwa al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan sempurna”
merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaanpun yang dapat
menandingi al-Qur’an al-Karim, secara terminologi al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan
Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang disampaikan lewat malaikat jibril, yang
dikomunikasikan dengan bahasa Arab, harus dipercayai tanpa syarat dan menjadi pedoman utama
bagi umat Islam diseluruh dunia.
31
Al-Sunnah berkedudukan sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Selain
didasarkan pada keterangan-keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis juga didasarkan kepada
pendapat kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib
mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat, baik itu dalam
hal perintah ataupun larangan.
32
Ijtihhad merupakan sebuah usaha sungguh-sungguh yang bisa dilakukan oleh siapa saja yang sudah
berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam al-Quran maupun
hadis dengan syarat mempergunakan akal yang sehat dan pertimbangan matang.
memerintahkan kepada Nabi untuk melarang setiap budaya yang menyimpang dari
ajaran Islam. Melalui kasus ini diperoleh pemahaman bahwa Muhammad selalu
menempatkan Al-Quran sebagai rujukannya dalam setiap tindakannya, bukan karena
alasan ia suka atau pun karena ia tidak suka.
Dalam sejarah perjalanannya, Islam banyak bertemu dan bersinggungan
dengan kebudayaan di mana Islam itu diwartakan. Di saat bertemu itulah, Islam dan
kebudayaan masyarakat setempat itu saling mempengaruhi. Jikalau didapati bahwa
nilai budaya atau kebiasaan yang ada tersebut positif bagi masyarakat, maka budaya
tersebut akan dirujuk untuk diteruskan, sedangkan jikalau kedapatan bahwa budaya
yang ada tersebut mempunyai dampak atau nilai yang negatif, maka budaya tersebut
akan dihentikan dan dihilangkan, sedangkan jika ada budaya yang sebenarnya bagus,
tetapi sedikit bertentangan, maka budaya tersebut akan diluruskan. Dan standart ini
hanya berlaku bagi mereka yang memilih menganut Islam, artinya bagi mereka yang
tidak menganut agama Islam, hal tersebut Muhammad tidaklah paksakan.
Islam tidak memusuhi budaya (kebiasaan) yang ada berkembang dalam
lingkungan masyarakat yang ada kala itu. Islam hanya memilah-milahkan mana
budaya yang baik yang terus harus dikembangkan dan mana budaya yang tidak baik
sehingga harus ditinggalkan dan dihilangkan dari masyarakat Islam kala itu.
Dalam sejarah perjalanan selanjutnya, tatkala Islam yang Nabi Muhammad
ajarkan bersentuhan dengan masyarakat lain yang berbeda dengan masyarakat Mekah
dan Madinah, prinsip inilah yang kemudian dipakai serta dipraktikan. Akulturasi
budaya menjadi hal yang lumrah (biasa) dalam dunia ini, di mana budaya atau
kebiasaan yang kuat mempengaruhi budaya atau kebiasaan yang lemah. Sejarah
perjalanan Islam juga mengajarkan bahwa betapa banyak budaya atau kebiasaan yang
mempunyai nilai positif yang ada berkembang di Mekah dan Madinah sebelum Islam
lahir disana, dan nyatanya budaya atau kebiasaan itu (walau bisa dikategorikan
peninggalan kafir)33 tetap dipertahankan bahkan dilestarikan, artinya tidak semua
budaya ataupun kebiasaan di luar Islam itu tidak baik sehingga harus ditolak.
Muhammad juga mengajarkan perlunya untuk menghargai budaya ataupun kebiasaan
yang ada di tempat di mana Islam itu hadir, terutama tatkala tidak ada petunjuk yang

33
Kafir adalah sebutan untuk orang yang tidak percaya atau belum percaya kepada Allah.
jelas dari al-Quran yang melarang secara pasti akan keberadaan kebudayaan atau pun
kebiasaan tersebut.
Dari sinilah kemudian lahirlah kaidah al-adat muhakkamah.34 Artinya, bahwa
kebudayaan atau kebiasaan (adat) satu masyarakat yang tidak bertentangan dengan
tuntunan ataupun ajaran Islam yang bersifat pasti, maka dapat diterima dan sah
adanya35 sehingga dengan demikian tidak perlu untuk dipertentangkan lagi dikalangan
umat Islam.
Umat Islam meyakini bahwa Islam adalah agama yang mengayomi dan
menentramkan. Islam datang untuk membawa damai dan kebahagian di bumi ini.
Dalam Islam banyak terdapat ajaran-ajaran kehidupan, yang merupakan tuntunan
sekaligus landasan hidup bagi umat manusia untuk bagaimana mereka bersikap dan
berjuang dalam mengarungi samudra kehidupan selama di dunia ini. 36

4. 3. Ajaran Islam Tentang Kehidupan Personal


Secara ringkas ajaran Islam tentang kehidupan personal terbagi atas dua hal,
yaitu: yang pertama Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan
Tuhan yang mulia dan bermartabat, yang kedua Islam mengajarkan bahwa diri
manusia adalah sebagai cerminan sifat-sifat ketuhanan.

4. 3. 1. Islam Mengajarkan Bahwa Manusia Makhluk Ciptaan Tuhan Yang


Mulia Dan Bermartabat
Manusia adalah makhluk dwi dimensi, 37 asal kejadiannya dari tanah, dan juga
hembusan illahi. Manusia ciptaan yang unik, beda dengan ciptaan yang lainnya. Al-
Quran menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan yang paling istimewa di
muka bumi ini. Keistimewaan manusia itu nampak jelas lewat peristiwa penciptaan
manusia, yang jauh berbeda jikalau dibandingkan dengan ciptaan yang lainnya,
sebagaimana yang tertulis didalam Qs. At-Tin [95]:4 “Dia (Allah) memuliakan
manusia dan Dia menganugerahinya aneka kelebihan atas banyak makhluk-Nya yang

34
Al-adat muhakkamah merupakan penetapan nilai-nilai budaya, tradisi dan sebagainya, untuk diadopsi
secara selektif sebagai alat penunjang dan pendamping hukum-hukum di masyarakat.
35
Tamrin Dahlan, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Malang: UIN maliki Press, 2010. Hal. 203.
36
Nur kholik Ridwan, Ajaran-ajaran Gus Dur, Yogyakarta: Noktah, 2019. Hal. 23.
37
M. Quraish Shihab, Islam Yang saya Anut, Tangerang: Lentera hati, 2018. Hal. 64.
lain.”38 Sisi kemuliaan inilah yang membuat manusia memiliki kedudukan yang sama
dengan manusia lainnya dari segi kemanusiaan. 39 Artinya bahwa semua manusia dari
sisi kemanusiaan adalah setara. Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada pula yang lebih
rendah, semuanya sama-sama mulianya.
Tindakan suka membeda-bedaan sebagaimana yang kerap manusia lakukan,
bahkan mungkin juga seringkali kita lakukan, merupakan tindakan yang menyalahi
ajaran Islam. Tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindakan menistakan manusia
dan juga menistakan Tuhan selaku penciptanya. Dalam bukunya yang berjudul “Islam
yang saya anut, dasar-dasar ajaran Islam” M. Quraish Shihab40 menekankan bahwa
seluruh manusia dalam pandangan Islam memiliki kedudukan yang sama dari segi
kemanusiaan, meskipun berbeda suku, bangsa, agama, warna kulit, jenis kelamin, dan
sebagainya. Semua telah Allah muliakan.
Kehormatan manusia harus dipelihara baik saat ia hidup maupun setelah
kematiannya karena dia adalah manusia. Kemuliaan manusia itu akan terus melekat
pada diri manusia sampai kapanpun, bahkan sampai manusia itu kembali kepada
penciptanya. Karena itu berkelakuan mulia merupakan sebuah keharusan sebagai
makhluk mulia, sebab tatkala kita tidak berlaku mulia, maka pada saat itu kita telah
merendahkan martabat kita sebagai makhluk mulia, dan ketika kita merendahkan
martabat kita sebagai makhluk mulia, maka sejatinya kita juga sedang merendahkan
martabat Tuhan selaku pencipta manusia.
Dalam kediriannya sebagai manusia, Islam juga mengajarkan bahwa manusia
selain mulia, ia juga istimewa. Keistimewaan itu terlihat jelas melalui banyaknya
aneka kelebihan yang Tuhan anugrahkan kepada manusia. Kelebihan tersebut antara
lain adalah manusia diberi akal pikiran, diberi hati dan juga perasaan, yang mana
semuanya itu hanya ada dan dimiliki oleh manusia. Inilah yang membedakan manusia
dengan ciptaan lainnya. Menurut Imam Al-Gazali, ilmuwan dan sufi41 kenamaan yang
hidup sekitar abad kesebelas Masehi, semua kelebihan ini tidak lain dan tidak bukan

38
_____________________ Al-Quran, Jakarta: Departemen agama RI, 2015.
39
M. Quraish Shihab. Hal. 66.
40
Ibid. hal. 69.
41
Sufi adalah sebutan untuk orang-orang yang mendalami sufisme atau ilmu tasawwuf. Sedangkan
tasawwuf ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak,
membangun lahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi.
sebagai perangkat kelengkapan diri yang dianugerahkan Tuhan kepada umat manusia
yang adalah hamba dan khilafah-Nya di bumi ini.42 Artinya, demi kemaslahatan
hidup manusia itu sendiri maupun bagi ciptaan lainnya, maka semua perangkat
perlengkapan itu dianugerahkan kepada manusia.
Karenanya bisa dipahami jika pada tahapan selanjutnya mengapa Tuhan
memberikan mandat kepada manusia untuk memelihara dan merawat bumi ini, dan
mengangkatnya sebagai khalifah fil ardhi,43 yang berarti dipercayai Tuhan sebagai
wakil-Nya untuk mengatur dan memakmurkan bumi. Penegasan itu bisa dilihat di
Surah Shad ayat 26, Surah Al-Fathir ayat 39, Surah An-Anam ayat 165, dan lain
sebagainya. Berkenaan dengan hal menunaikan tugas mulia ini, yaitu sebagai khalifah
fil ardhi (pemimpin di bumi) dalam praktiknya memang ada terbagi dalam dua
kelompok golongan, yang pertama adalah kelompok umat yang secara sungguh
menunaikannnya, dan yang kedua adalah kelompok yang memilih bersikap masa
bodoh dan mengabaikannya. 44 Dalam tataran ini, Islam mengajarkan bahwa mereka
yang sengaja bersikap masa bodoh dan mengabaikan tugasnya, maka itu berarti
mereka telah mencederai fitrah kemanusiaannya sebagai makhluk mulia yang
dipercaya oleh penciptannya untuk menjadi pemimpin di bumi dengan tugas pokok
memelihara dan memakmurkan bumi. Ini juga bisa diartikan bahwa manusia tersebut
telah menodai dan merendahkan kemuliaan yang ada pada dirinya. Namun begitu al-
Quran menyatakan walaupun mereka telah menodai dan merendahkan sisi
kemuliaannya, hal itu tetap saja tidak dapat menghilangkan status mereka sebagai
manusia yang dimuliakan Tuhan, sebab status tersebut sifatnya melekat pada diri
manusia sampai akhir hanyatnya.
Oleh karena adanya keyakinan bahwa manusia sebagai makhluk mulia, maka
hal ini harusnya mendorong seluruh umat Islam untuk selalu hidup dengan
mengedepankan dan selalu menjunjung martabat kemanusiaannya. Karena di saat
manusia menjunjung martabat kemanusiaannya di tengah-tengah praktik kehidupan
kesehariannya, maka di situlah kemuliaan akan nyata terlihat. Beranjak dari semua,

42
A. Mustofa Bisri, Saleh Ritual, Saleh Sosial, Kualitas Iman, Kualitas Ibadah, Kualitas Akhlak Sosial,
Yogyakarta: Diva Press, 2019. Hal. 16-17.
43
Khalifah fil ardi artinya pemimpin di bumi.
44
Nur kholik Ridwan. Hal. 40.
maka sudah seharusnya jika Islam mewajibkan umatnya untuk selalu menjaga
martabat kemanusiaannya ditengah-tengah pratik kehidupan keseharian. Sebab saat
manusia kehilangan martabat kemanusiaannya, manusia menjadi tidak mampu lagi
untuk memahami akan hakikat kemanusiaannya, yaitu sebagai makhluk yang luhur
dan menjaga marwah keluhuran kemanusiaan tersebut lewat semua aktivitas
kesehariannya demi mengangkat nilai-nilai yang memanusiakan manusia. 45 Sebab
tanpa ada landasan kesadaran semacam ini, kecenderungan manusia akan selalu
merendahkan martabat dan keluhuran kemanusiaannya. Oleh sebab itu, segala sesuatu
yang berkaitan dengan martabat dan keluhuran kemanusiaan harus selalu dibela,
dikedepankan, serta selalu dijadikan sebagai acuan interaksi, kebijaksanaan, dan
perumusan hukum-hukum yang dibuat oleh manusia.
Untuk itu tepat kiranya jikalau martabat kemanusiaan selalu menjadi acuan,
atas semua produk yang dihasilkan dalam interaksi, pembuatan kebijaksanaan, dan
perumusan hukum-hukum di muka bumi ini. Oleh karena itu produk apapun yang
dihasilkan oleh manusia (jikalau berkenaan dengan martabat dan keluhuran
kemanusiaan) tidak boleh merendahkan apalagi menciderai sisi kemanusiaan itu
sendiri. Karena kalau hal itu sampai terjadi, maka sudah seharusnya produk tersebut
ditolak dan dilawan atas nama kemanusiaan itu sendiri. Contoh produk yang
menciderai kemuliaan dan martabat kemanusiaan di negeri ini adalah adanya perda
yang berbau syariah di daerah-daerah dan terkait adanya kebijakan kepala sekolah
negeri yang mewajibkan semua muridnya untuk memakai pakaian muslim. Umat
Islam sepatutnya mampu bersikap kritis terhadap kasus-kasus yang demikian.

4. 3. 2. Diri Manusia Adalah Sebagai Cerminan Sifat-Sifat Ketuhanan


Dalam ajaran Islam, manusia diposisikan sebagai makhluk yang istimewa. Hal
ini dikarenakan di dalam diri kemanusiaan manusia cerminan sifat-sifat ketuhanan itu
terpancar. Memandang manusia sebagai makhluk mulia tentu tidak bisa terlepas dari
keyakinan bahwa manusia itu sendiri adalah cerminan dari sifat-sifat ketuhanan itu
sendiri, atau penggambaran dari Tuhan itu sendiri. Itulah yang menjadi pembeda

45
Tim Penulis Dosen UMN. Hal. 43.
antara manusia dengan ciptaan lainnya. Dalam diri manusia ada tergambar sifat-sifat
Tuhan yang melekat sejak lahir sampai mati.
Dalam al-Quran, Tuhan selalu digambarkan sebagai Yang Maha Mulia, maka
tidaklah mengherankan jikalau kemudian Ia berinisiatif untuk menciptakan manusia
sebagai makhluk mulia. Al-Quran juga menggambarkan Tuhan itu sebagai Yang
Maha Kasih Sayang, maka dalam tahapan ini, mencintai martabat kemanusiaan
sebagai makhluk mulia adalah bagian dari cerminan sekaligus pengejawantahan 46 dari
kasih sayang-Nya itu dan jika dilihat dari penciptaan manusia, maka penciptaan itu
sendiri didasari oleh karena kasih dan sayang-Nya. Mencintai apa yang Tuhan kasihi
dan sayangi tidak lain merupakan cerminan dari sifat-sifat ketuhanan-Nya.47
Kesadaran diri, merupakan kunci umat Islam untuk dapat dengan sempurna mengenali
cerminan sifat-sifat Tuhan yang melekat pada dirinya. Pengenalan itulah yang pada
akhirnya bisa mendorong manusia untuk bagaimana mengejawantahkan cerminan
sifat-sifat ketuhanan yang melekat pada diri mereka ditengah-tengah kehidupan
masyarakat modern seperti sekarang ini. Itulah salah satu tantangan terberat yang
harus dihadapi umat Islam, lebih khusus lagi bagi kaum muda Islam di tengah-tengah
degradasi48 kemanusiaan yang sedang masif melanda dunia saat ini, termasuk di
Indonesia.

4. 3. 3. Ajaran Tentang Kehidupan Sosial


Islam mengajarkan bahwa manusia ditakdirkan Allah sebagai makhluk sosial
yang membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia, demi
kebaikan dirinya maupun demi kebaikan bersama. Ini berarti bahwa Islam itu adalah
agama yang terbuka dengan pihak lain (berinteraksi sosial). Bahkan lebih jauh Islam
mengajarkan umatnya untuk selalu bekerja sama dan saling ta’awun49 dengan siapa
saja dalam hal kebaikan. Yang dimaksud dengan siapa saja di sini mengandung
pengertian bahwa dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam tidak boleh
46
Arti kata pengejawantahan menurut KBBI penjelmaan (perwujudan, pelaksanaan, manifestasi) suatu
posisi, kondisi, sikap, pendirian, dan sebagainya; penjelmaan; perwujudan; manifestasi.
47
Tim Penulis Dosen UMN. Hal. 43.
48
Degradasi artinya kemunduran, kemerosotan atau penurunan terkait dengan moral, mutu, dan
sebagainya.
49
Ta’awun artinya saling tolong menolong dalam kebaikan antar sesama manusia dan terlebih lagi
kepada saudara seiman.
menutup diri, tetapi harus bisa bekerjasama dan berhubungan dengan siapa saja tanpa
batasan ras, bangsa, agama dan sebagainya. Bentuk kerjasama yang dimaksud
meliputi semua aspek kehidupan yang ada sangkut pautnya dengan masalah
kemanusiaan dan kehidupan sosial.
Kerjasama harus menjadi sesuatu yang penting bagi semua umat beragama
demi menunjukkan sisi kemanusiaannya dan juga demi mengangkat harkat dan
martabat hidup manusia lainnya. Dalam aksi model seperti ini, para pemeluk agama
berbaur bersama-sama membantu mereka yang sedang menderita. Contohnya
bersama-sama membantu korban banjir dan bencana alam lainnya, membangun sarana
dan prasarana umum, seperti jalan, jembatan dan sebagainya. 50 Kesadaran bahwa
semua kelompok agama mempunyai tugas dan tanggungjawab bersama, itulah yang
perlu dibangun semua umat beragama, termasuk di dalamnya umat Islam.
Makna dari pengertian kerjasama yang dimaksud di sini adalah semangat dari
pelbagai pihak dalam kebersamaan untuk menyelesaikan persoalan ataupun tugas
yang sama-sama dihadapi. Dalam konteks kerjasama antar umat beragama, tugas atau
persoalan yang harus sama-sama dihadapi dengan spirit kebersamaan adalah terkait
dengan masalah kemiskinan, ketidakadilan, dan kemerosotan moral 51 yang semakin
hari semakin meningkat dan memprihatinkan.
Tanpa dialog tidaklah mungkin kehidupan harmonis akan tercipta. Sering
terjadinya gesekan antara umat Islam dengan agama lain di negeri ini adalah karena
kurang terbukanya ruang dialog antar umat beragama. Dialog sesungguhnya tidak
hanya berguna untuk membina persatuan, melainkan juga untuk memperkaya dan
mengembangkan serta mengakarkan iman dari setiap pemeluk agama. Perjumpaan
dengan agama lain dapat mendorong umat beragama untuk memperdalam keyakinan
mereka dan memurnikannya. Karena dengan merefleksikan kembali pengetahuan dan
pengalaman iman tersebut melalui perjumpaan dengan pemeluk agama lain, hal itu
akan membuat mereka bisa melihat kembali pengetahuan dan pengalaman keagamaan
mereka dengan lebih baik dan lebih kritis lagi. 52

50
Ibid. Hal. 214.
51
Ibid. Hal. 214.
52
Ibid. Hal. 216.
4. 3. 4. Ajaran Islam tentang Perbedaan
Islam mengajarkan bahwa perbedaan atau keanekaragaman itu adalah bagian
dari kehendak Tuhan itu sendiri. Oleh karena Tuhan yang menghendaki, maka sudah
seharusnya manusia bisa menerima perbedaan itu dan mensyukurinya. Perbedaan itu
indah, tetapi jikalu tidak disingkapi dengan baik, perbedaan bisa menjadi “biang
keladi” timbulnya berbagai masalah dalam hubungan antara manusia satu dengan
manusia lainnya. Supaya perbedaan tidak menjadi persoalan, maka diperlukan adanya
faham yang bisa menjembatani serta menyatukan semua perbedaan itu, sehingga lewat
faham itu terciptalah kehidupan yang harmonis dan jauh dari gesekan.
Jikalau melihat dari sejarah, maka faham semacam ini sejatinya telah lama
dipraktikan oleh Islam, utamanya pada saat Nabi menyebarkan ajaran Islam di kota
Madinah. Pada zaman itu, Arab dihuni oleh berbagai-bagai etnis, suku, agama, serta
budaya yang berbeda-beda. Untuk mengatasi hal ini, Nabi kemudian membuat
kesepakatan bersama. Dari kesepakatan itulah kemudian lahirlah Piagam Madinah53
sebagai acuan untuk menciptakan keharmonisan hidup dalam konteks masyarakat
yang multikultural. Piagam Madinah intinya menyatakan bahwa umat Islam dan
kaum Yahudi dan sekutunya adalah satu umat dalam kebersamaan. Penggunaan kata
umat ini bersifat inklusif dan dasarnya adalah “persaudaraan sosial dan kemanusiaan”,
atau al-ukhuwah al-ijtima’iyah wa al-insaniyah.54 Jadi dalam sisi kemanusiaan semua
orang itu saudara, walaupun pada kenyataannya mereka berbeda. Karena itu tepat apa
yang menjadi komentar Nurcholish Madjid bahwa “Muhammad tidak pernah
membentuk masyarakat yang eksklusif bagi kaum Muslimin,” 55 tetapi masyarakat
Islam yang inklusif. Hal ini terlihat jelas dengan tindakan Nabi yang mana
menghimpun semua golongan penduduk Madinah tanpa terkecuali. Nabi dalam hal

53
Piagam Madinah juga dikenal dengan sebutan Konstitusi Madinah, ialah sebuah dokumen yang
disusun oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan
semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yathrib (kemudian bernama Madinah) pada tahun 622.
Dokumen tersebut disusun sejelas-jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan pertentangan
sengit antara Bani 'Aus dan Bani Khazraj di Madinah. Untuk itu dokumen tersebut menetapkan
sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas-
komunitas pagan Madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas, yang
dalam bahasa Arab disebut ummah.
54
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh siyasah: ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994. Hal. 184.
55
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992. Hal. 12.
ini tidak mempersoalkan, apakah orang tersebut termasuk yang menerima maupun
yang menolak Islam, supaya hidup rukun, damai dalam kebersamaan.
Jadi dengan demikian, seharusnya perbedaan tidak menjadi alasan untuk umat
Islam tidak membaur dan bersatu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Gerakan Nabi mempersatukan penduduk Madinah menjadi satu umat, menurut Watt 56,
merupakan kesatuan tipe baru. Ia menulis “the people of Madina were now regard as
constituting apolitical unit a new type, an Ummah or Community”. Piagam Madinah
membuat era baru, menyatukan perbedaan, dan menghimpunnya dalam satu tali ikatan
persaudaraan. Jikalau semua umat Islam memahami akan hal ini, maka sewajarnya
tidak ada lagi pertentangan yang berarti berkenaan dengan masalah perbedaan.
Dalam zaman modern upaya menyatukan perbedaan ini dikenal dengan istilah
faham multikultural57. Faham Multikutural adalah suatu faham atau idiologi yang
sangat menjunjung tinggi adanya perbedaan dan kesetaraan antara yang satu dengan
yang lainnya. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan dalam banyak hal,
termasuk didalamnya adalah perbedaan individu, agama, maupun kebudayaan.
Multikultural dalam penerapannya selalu menekankan pentingnya pemahaman dan
upaya untuk hidup dalam konteks sosial budaya yang berbeda, baik itu secara pribadi
maupun kelompok sebagaimana yang selama ini diperjuangkan oleh Gus Dur 58,
Nurcholish Madjid,59 dan beberapa tokoh Islam besar lainnya yang ada di negeri ini.
Sehingga dengan demikian, justru oleh karena adanya perbedaan membuat orang bisa

56
W, Montgomery Watt, Mohammd Prophrt and Statedman, Oxford University Press, London, 1989.
Hal. 94.
57
Faham Multikultural adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam
kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan
58
Gus Dur, sosok yang sangat konsen dalam memperjuangkan faham multikultural dan pluarism di
Indonesia, menjadi icon Indonesia berdamai, sosok yang telah mendunia dan terkenal ke segala
penjuru, beliau tidak berfikir bagaimana layaknya sebagai orang Indonesia namun malah berfikir
bagaimana umumnya pemikiran manusia biasa berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya,
inilah yang sampai sekarang menjadi pembicaraan orang banyak betapa Gus Dur begitu dicintai dan
dielu-elukan sedemikian rupa berkat pluralism dan perdamaian yang beliau gagas baik dalam hal
pemikiran maupun praktis berkehidupan.
59
Nurcholis Madjid merupakan tokoh di Indonesia yang fokus pada multikulturalisme dan pluralisme.
Ada tiga pemikiran Madjid tentang multikulturalisme dan pluralisme, yaitu pertama,
multikulturalisme dan pluralisme adalah sebuah paham yang mengakui keberadaan kebudayaan lain
dan bersikap dewasa menghadapi keanekaragaman, toleransi dan berlomba-lomba dalam
kebaikan. Kedua, bahwa ide multikulturalisme dan pluralisme adalah sebuah prinsip hidup yang
mengakui kebebasan. Dan ketiga, konsep pemikiran Nurcholish Madjid adalah terbuka, dialogis,
toleran dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang sekaligus menjadi ciri pemikiran
Nurcholis Madjid untuk mewujudkan Islam yang hanif dan rahmatan lil alamin.
mengenal siapa dirinya dan juga sekaligus mengenal siapa orang lain yang berbeda
dengan dirinya.
Islam menyakini bahwa perbedaan adalah anugrah. Apa jadinya jikalau di
dunia ini orang lain sama dengan kita, dan kita sama dengan orang lain, maka
dipastikan kehidupan akan menjadi membosankan dan tidak menarik lagi. Dalam
konteks multikultural ini, umat Islam tidak hanya dituntut untuk sekedar mengenal
adanya perbedaan, tetapi juga untuk memahami keberbedaan itu sendiri. Ini berarti
bahwa setiap manusia dituntut untuk tidak saja mengenali kebudayaan, agama atau
apapun yang ada pada dirinya, tetapi juga konsen untuk bisa mengenali agama atau
kebudayaan yang ada pada diri orang lain. Tujuan dari semua ini adalah supaya
manusia bisa meletakkan kebudayaan dan agama orang lain menjadi setara
dipemandangan dan pemikirannya. Sehingga dengan adanya pemikiran yang
demikian, bisa dipastikan dengan sendirinya dalam diri orang tersebut akan tumbuh
kesadaran untuk hidup saling menghormati dan saling menghargai, sehingga
perbedaan tidak lagi menjadi persoalan.
Dalam Islam, konsep saling menghormati, saling menghargai dan saling
bekerjasama yang merupakan ciri faham multikulturial ada banyak dijumpai, baik itu
di al-Quran maupun al-Sunnah. Hal ini memberikan pengertian bahwa Islam sejak
diturunkan, menjunjung tinggi asas multikulturial itu. Beberapa ayat dalam al-Quran
bahkan sangat menekankan akan pentingnya saling menghargai, saling menghormati,
saling mengenal dan sebagainya.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki


dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
bangsa supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah lagi maha mengetahui dan lagi maha mengenal.” (Al-Hujaraat:
13).

Berdasarkan ayat ini, dapat diketahui bahwa Allah menjadikan manusia berkaum-
kaum, laki-perempuan, dan berbeda-beda dengan tujuan agar mereka saling mengenal
antara satu dengan lainnya. Jikalau antara satu dengan yang lainnya saling mengenal,
maka dengan sendirinya akan tercipta tali persaudaraan. Maksud dari kata mengenal
itu bukan bermakna sekedar hanya “kenal”, tetapi lebih dari itu, yaitu mengenal
kebudayaan dan agama, atau hal-hal lainnya yang berbeda dengan dirinya. Sehingga
dengan demikian dapat menghilangkan prasangka-prasangka yang ada pada dirinya
terhadap kebudayaan, agama, atau hal-hal lainnya selama ini.
Oleh karena itu perbedaan tidak boleh menjadi penghalang bagi setiap manusia
untuk hidup harmonis, rukun dan damai. Perbedaan itu adalah sunnatullah,60 bagian
dari kehendak Tuhan sendiri. Jadi menghargai dan menghormati perbedaan ataupun
keberagaman manusia itu sesungguhnya adalah bagian dari memuliakan Tuhan,
sekaligus juga menunjukkan sisi kemanusiaan dari manusia itu sendiri, selaku
makhluk mulia dengan memandang bahwa semua manusia itu pada dasarnya adalah
setara (sederajat). Dalam ranah ini, Islam menghargai dan menghormati perbedaan,
bahkan meyakini bahwa perbedaan itu adalah bagian dari kehendak Tuhan itu sendiri
yang tak terbantahkan.
Untuk itu, umat beragama dalam konteks ini adalah umat Islam perlu
melakukan reformasi pemikiran 61 dari teologis ekslusif menuju pemikiran teologis
yang inklusif, terbuka dan pluralis, serta bersedia menerima dan mengakui perbedaan
itu sebagai anugerah Tuhan bagi dunia ini. Kesadaran inilah yang pada akhirnya akan
memunculkan sikap toleransi dalam kehidupan bersama di tengah-tengah perbedaan.
Untuk mencapai kehidupan masyarakat yang dinamis dan ideal ditengah-tengah
perbedaan, maka ada baiknya umat beragama selalu mengadakan pertemuan secara
berkesinambungan, selalu mengutamakan kesamaan dan bukannya perbedaan, selalu
saling aktif untuk saling menjelaskan dan mendengarkan, selalu mengutamakan pesan
kedamaian, kebenaran dan keselamatan. 62
Perbedaan itu bisa diibaratkan seperti roda sepeda. Semakin jari-jarinya jauh
dari pusat, maka akan semakin rengganglah. Demikian juga sebaliknya, semakin
dekat dengan pusat jari-jarinya akan semakin dekat dan bahkan bersatu. Artinya,
semakin seseorang hanya melihat perbedaan yang ada di sekelilingnya, ia akan

60
Ibid. Hal. 43.
61
Tim Penulis Dosen UMN. Hal. 221.
62
Ibid. Hal. 226.
semakin jauh dari yang lain, tetapi apabila seseorang mau terbuka terhadap adanya
perbedaan, maka ia akan semakin bisa dekat dengan yang lain. 63 Persoalannya
sebenarnya hanya sepele, mau terbuka atau mau tertutup, mau mendekat, atau mau
menjauh, tidak lebih dari itu. Sederhana sekali bukan!

Penutup
Dari sejarah perjalanan Islam dapat dipahami bahwa ajaran Islam tidak
diarahkan kepada eksklusifisme, seperti membenci perbedaan, memusuhi agama lain,
merendahkan orang lain, tetapi lebih kepada Islam inklusif yang mengedepankan
sisi kemanusiaan, yang penuh toleransi, terbuka, dan yang bisa bekerja sama dengan
siapapun, sebagaimana yang selama ini Gus Dur dan banyak tokoh Islam yakini dan
perjuangkan. Islam juga menekankan bahwa perbedaan tidak boleh menjadi
penghalang untuk berinteraksi, bahkan lebih jauh Islam selalu menganjurkan
merangkul semua elemen yang ada disekitarnya untuk bekerja sama membangun
masyarakat dan bangsa.
Islam mempromosikan perdamaian bukan kekerasan.64 Jadi jikalau ada pihak
yang mengaku diri sebagai Islam, tetapi perilakunya jauh dari apa yang diajarkan oleh
Islam itu sendiri, maka itu perlu dipertanyakan dan dikritisi. Islam yang inklusif
itulah yang harusnya terus menjadi wajah Islam di Indonesia. Islam yang terbuka,
yang menghargai kebebasan, dan bukan Islam yang eksklusif, yang tertutup, yang
kaku, dan yang tidak bisa menghargai perbedaan. Kemampuan untuk menampilkan
Islam yang inklusif inilah yang harus dijawab oleh umat Islam di negeri ini, karena
inilah yang akan menentukan sejarah dan masa depan Islam kedepannya. Dan
tantangan ini hanya akan bisa terjawab, jikalau umat Islam di negeri ini mau keluar
dari penjara-penjara formalisme agama65, dari segala bentuk kesalehan palsu
kehidupan beragama.66 Penghayatan dan pemaknaan yang mendalam tentang

63
Ibid. Hal. 229.
64
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan,
Jakarta: The Wahid Institut, 2007. Hal.44.
65
Formalisme agama adalah pemahaman beragama yang terjebak pada bentuk (form) semata, seperti
ritual dan aturan-aturan yang sudah ketinggalan jaman. Orang lalu sibuk mengikuti aturan berdoa dan
aturan moral yang dibuat ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu, tanpa paham isi dan tujuan
sebenarnya. Ia lalu cenderung untuk tidak toleran terhadap perbedaan, bersikap fanatik dan radikal.
66
Tim penulis UMN. Hal. 317.
kehidupan beragama yang benar sangat dibutuhkan dalam hal ini, sehingga pada
akhirnya agama lepas dari tuduhan sebagai pemicu konflik, tetapi sebaliknya sebagai
sumber rahmat sekaligus berkah bagi semua umat manusia, bagi semua makhluk.
Kesadaran inilah yang harus dimiliki oleh semua umat Islam, atau yang mengaku diri
sebagai Islam. Karena itu umat Islam harus bersegera untuk melakukan semuanya ini,
dan jangan jadikan alasan untuk mereka yang belum melakukannya untuk tidak
bersegera melakukannya. 67 Sebab Islam akan jadi apa kedepannya, itu semua
bergantung pada apa yang saat ini dibuat dan dilakukan oleh umat Islam itu sendiri di
hari ini.

Pertanyaan Reflektif:
1. Sebagai generasi penerus bangsa, anak muda perlu dididik secara baik, benar dan
serius untuk mempelajari dan sekaligus memahami nilai-nilai keagamaan yang
mereka anut, dan kemudian didorong untuk mempraktikan nilai-nilai tersebut dalam
keseharian mereka. Apakah anda setuju dengan pernyataan ini? Berikanlah
penjelasan atas jawaban anda tersebut!
2. Walaupun Islam mengajarkan bahwa perbedaan itu rahmat dari Tuhan, tetapi sejarah
menyatakan bahwa perbedaan tetap punya potensi besar sebagai pemicu berbagai
konflik, maka umat Islam di Indonesia bukan sekedar butuh, tetapi harus memiliki
pemahaman yang mendasar dan sekaligus wawasan yang luas berkenaan dengan
kehidupan bersama dalam berbagai perbedaan. Berikanlah contoh kasus konflik
yang pernah terjadi di Indonesia yang dipicu oleh karena adanya perbedaan dan
sebagai umat beragama bagaimanakah kita menyikapi hal demikian agar tidak
terulang kembali?

Kegiatan Diskusi Kelompok:


1. Diskusikan dengan kelompok, pada kenyataannya Islam akan jadi apa kedepannya, itu
semua bergantung pada apa yang saat ini dibuat dan dilakukan oleh umat Islam itu
sendiri di hari ini. Berikan penjelasan mengenai pemahaman anda berkaitan dengan
pernyataan diatas!
2. Berilah gambaran wajah Islam di Indonesia saat ini menurut kacamata anda dan
berilah penggambaran bagaimanakah wajah Islam yang ideal itu!
3. Bukalah artikel di https://rumahfilsafat.com/2018/02/06/melampaui-formalisme-
agama/ kemudian berilah tanggapan atas tulisan tersebut!

67
A. Mustofa Bisri, Saleh Ritual saleh Sosial, Yogyakarta: Diva Press, 2019. Hal. 38.
MODUL PEMBELAJARAN
BAB 5
AGAMA HINDU

Tujuan Pembelajaran adalah Mahasiswa mampu:


1. Menguraikan sejarah agama Hindu (C4)
2. Menganalisis ajaran agama Hindu tentang personal, sosial, dan perbedaan (C5)
Metode :
- Presentasi kelompok
- Pendalaman materi
- Tanya jawab
- Penugasan dan Program aksi
Waktu: 100 Menit
Media:
• White-board
• Infocus
• Spidol
Bahan Bacaan:

Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2008.
Sou’yb, Joesoef. Agama-Agama Besar di Dunia. Jakarta, PT. Al Husna Zikra.1996.
Swabodhi,D.D. Harsa (Pandita). Upamana-Pramana Buddha dharma dan Hindu Dharma.
Medan: Yayasan Perguruan “Budaya” & I.B.C., 1980.
Suhardana, K.M. Pengantar Etika dan Moralitas Hindu: Bahan Kajian Untuk Memperbaiki Tingkah
Laku. Surabaya: Paramita, 2006.

5. 1. Pengantar
Sejarah agama Hindu tidak dapat dilepaskan dari sejarah pertumbuhan dan
perkembangan kebudayaan Hindu di India berkaitan dengan sistem kepercayaan
bangsa Arya yang masuk ke India pada 1500 S.M. Kebudayaan Arya berkembang di
Lembah Sungai Indus India. Bangsa Arya mengembangkan sistem kepercayaan dan
sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan tradisi yang dimilikinya. Sistem
kepercayaan itu berupa penyembahan terhadap banyak dewa yang dipimpin oleh
golongan pendeta atau Brahmana.
Keyakinan bangsa Arya terhadap kepemimpinan kaum Brahmana dalam
melakukan upacara ini melahirkan kepercayaan terhadap Brahmanisme. Selanjutnya
golongan ini juga menulis ajaran mereka dalam kitab-kitab suci yang menjadi standar
pelaksanaan upacara-upacara keagamaan. Kitab suci agama Hindu disebut Weda
(Veda), artinya pengetahuan tentang agama.
Weda terdiri dari 4 buah kitab, yaitu:
a. Rigweda adalah kitab yang berisi tentang ajaran-ajaran Hindu. Rigweda
merupakan kitab yang tertua.
b. Samaweda adalah kitab yang berisi nyanyian-nyanyian pujaan yang wajib
dilakukan ketika upacara agama.
c. Yajurweda adalah kitab yang berisi dosa-doa yang dibacakan ketika
diselenggarakan upacara agama.
d. Atharwaweda adalah kitab yang berisi doa-doa untuk menyembuhkan
penyakit, doa untuk memerangi raksasa.

Agama Hindu bersifat Politheisme, yaitu percaya terhadap banyak dewa yang
masing-masing dewa memiliki peranan dalam kehidupan masyarakat. Ada tiga dewa
utama dalam agama Hindu yang disebut Trimurti terdiri dari Dewa Brahma (dewa
pencipta), Dewa Wisnu (dewa pelindung), dan Dewa Siwa (dewa pelebur).
Sistem kemasyarakatan yang dikembangkan oleh bangsa Arya adalah sistem
kasta. Sistem kasta mengatur hubungan sosial bangsa Arya dengan bangsa-bangsa
yang ditaklukkannya. Sistem ini membedakan masyarakat berdasarkan fungsinya.
Golongan Brahmana (pendeta) menduduki golongan pertama. Ksatria
(bangsawan, prajurit) menduduki golongan kedua. Waisya (pedagang dan petani)
menduduki golongan ketiga, sedangkan Sudra (rakyat biasa) menduduki golongan
terendah atau golongan keempat. Sistem kepercayaan dan kasta menjadi dasar
terbentuknya kepercayaan terhadap Hinduisme. Penggolongan seperti inilah yang
disebut caturwarna.

5. 2. Ajaran tentang Kehidupan Personal


Mengenai terjadinya manusia diajarkan demikian: Sari Pancamahabhuta,
yaitu sari ether, hawa, api, air, dan bumi bersatu menjadi sadrasa (enam rasa), yaitu:
rasa manis, pahit, asam, asin, pedas, dan sepat. Kemudian unsur-unsur ini bercampur
dengan unsur-unsur yang lain, yaitu cita, budhi, ahangkara, dasendrya, pancatanmatra,
dan pancamahabhuta. Pencampuran ini menghasilkan dua unsur benih kehidupan,
yaitu mani wanita (swanita) dan mani laki-laki (sukla). Kedua unsur benih kehidupan
itu bertemu. Pertemuannya terjadi seperti halnya dengan pertemuan purusa dan
prakrti, serta melahirkan manusia. Oleh karena itu maka sama halnya dengan alam
semesta, manusia juga juga terdiri dari unsur-unsur cita, budhi, dan ahangkara, yang
membentuk watak budi manusia, dilengkapi dengan dasendrya dan pancatanmatra
serta pancamahabhuta atau anasir-anasir kasar, yang bersama-sama
membentuk tubuh manusia.68
Cita, Bhudi dan Ahangkara membentuk watak budi seseorang . Dasendria
membentuk indrianya. Pancatanmatra dan pancamahabhuta membentuk badan
manusia/mahluk. Jika pancamahabhuta di alam besar (Macrocosmos) antara lain
membentu Triloka, yakni:
a. Bhur-loka/alam dunia bumi,
b. Bhuwah-loka/alam dunia angkasa udara dan
c. Swah-loka/ alam sorga, maka di alam kecil (microcosmos) atau tubuh
manusia/makhluk terbentuklah tiga lapis badan (Trisarira), yakni: 1) Badan
kasar (Sthula Sarira), 2) Badan Halus (Sukma-Sarira), dan 3) Badan penyebab
(Karana Sarira).
Kedua alam tersebut yakni alam-semesta (Bhuwana agung/Macrocosmos) dan alam
badan makhluk (Bhuwana Alit/Microcosmos) mempunyai sifat-sifat keadaan yang
sama.
a. Segala yang kental, padat dan keras pada alam maupun badan makhluk
disebabkan oleh zat padat (Prthiwi).
b. Segala sesuatu yang besifat cair di alam dunia maupun di alam makhluk
disebabkan oleh unsur zat cair (Apah).
c. Segala sesuatu yang bercahaya panas, baik di Bhuwana Agung maupun di
Bhuwana Alit disebabkan oleh unsur cahaya panas/api (Teja).
d. Yang bersifat angin, hawa dan gas pada alam dunia serta nafas pada badan
mahluk/manusia disebabkan oleh unsur gas (Bayu).

68
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2008, h. 173.
e. Adapun unsur kekosongan/kehampaan (Vacuum) yang ada pada alam dunia
dan badan makhluk/manusia disebabkan oleh unsur ether (Akasa).

Menurut ajaran agama Hindu, manusia pertama disebut dengan nama: MANU,
atau selengkapnya SWAYABHU-MANU, tetapi ini bukan nama perseorangan. Sebab
dalam bahasa sansekerta, Swayambhu berarti: yang menjadikan diri sendiri. Suku kata
“swayam” berarti diri sendiri, dan suku kata “bhu” berarti: menjadi, dan kata “manu”
berarti “makhluk berfikir yang menjadikan dirinya sendiri”, yakni MANUSIA
PERTAMA. Istilah manu sekarang menjadi kata manusia. Menurut ajaran Hinduisme,
semua manusia adalah keturunan Manu.69
Jika di alam semesta atau makrokosmos pancamahabhuta atau anasir kasar
membentuk triloka (Bhur-loka, Bhuwah-loka, dan Swah-loka) maka di dalam manusia
sebagai mikrokosmos pancamahabhuta membentuk trisarira yaitu tubuh kasar, tubuh
halus, dan tubuh penyebab.Itulah sebabnya kedua alam (makro dan mikrokosmos)
memiliki sifat-sifat yang sama. Kecuali ketiga macam tubuh dalam manusia masih
terdapat Atman, yaitu percikan kecil atau sinarParama Atman, sinar sang Hyang Widi.
Atman pada manusia disebut Jiwatman, yaitu yang menghidupkan manusia. Fungsi
Atman di dalam badan manusia saperti kusir terhadap kereta. Sebagai sinar ilahi atau
percikan sang Hyang Widi, Atman memiliki sifat-sifat sang Hyang Widi, sebagai
misalnya: tak terlukai oleh senjata, tak terbakar oleh api, tak terkeringkan oleh angin,
tak terbasahkan oleh air, abadi, ada di mana-mana, tak dilahirkan, tak dipikirkan, dsb.
Sekalipun demikian manusia tidaklah sempurna, fana, dapat mati. Hal ini disebabkan
karena Atman dipenjarakan di dalam tubuh, yang mengakibatkan manusia dikuasai
oleh awidya. Akibat awidya lebih lanjut ialah manusia dikuasai oleh
hukum karma dan samsara, kelahiran kembali (purnabhawa). Hukum karma tadi
dapat menyebabkan orang dilahirkan kembali sebagai manusia, tetapi juga sebagai
binatang, tumbuh-tumbuhan. Jika orang dilahirkan kembali sebagai manusia, hal itu
adalah suatu keuntungan yang besar, sebab kelahiran kembali sebagai manusia
memberi kesempatan untuk meningkatkan kesempurnaan hidup, guna mengatasi

69
Pandita D.D. Harsa Swabodhi, Upamana-Pramana Buddha dharma dan Hindu Dharma.
Medan: Yayasan Perguruan “Budaya” & I.B.C., 1980, h. 68-69.
kesengsaraan. Itulah sebabnya dewa-dewa pun perlu dilahirkan kembali sebagai
manusia dulu, agar dapat mencapai kebebasan abadi (nirwana).70
Berbeda dengan keyakinan di dalam agama Islam, Kristen, Yahudi, yang
mengajarkan bahwa alam semesta itu diciptakan Tuhan Yang Maha Esa dari tidak ada
menjadi ada, maka agama Brahma mengajarkan bahwa alam semesta itu adalah
pancaran dari Brahman. Upanishad pada bagian chandogya mengungkapkan pada
kejadian alam semesta sebagai berikut:

Pada permulaan hanya ADA sendirian, Maha Esa, tanpa ada yang kedua. Dia, Yang
Maha Esa itu berpikir di dalam dirinya: biarlah aku menjadi banyak, biarlah aku
berkembang selanjutnya. Kemudian dengan zat-nya iapun menentukan alam semesta:
setelah menentukan zat-nya ke alam semesta, ia masuk ke dalam setiap makhluknya
itu. Adapun seluruh makhluk memiliki zat-nya yang paling halus di dalam diri tiap
makhluk. Dia adalah Al-haqq, dia adalah diri. Dan begitulah, hai Svetaku, bahwa
ITU ADALAH ENGKAU.

Di dalam Upanishad pada bagian chandogya itu dikisahkan seterusnya bahwa


terhadap Svetaku yang belum dapat memahamkan hal itu. Maka Rishi Uddalaka
menyuruh Svetaku meletakkan kepingan garam ke dalam mangkok air. Pada
keesokannya Rishi Uddalaku menyuruh Svetaku memeriksa kepingan garam tersebut,
dan hasilnya tidak ada. Kemudian Rhisi Uddalaku menyuruh Svetaku untuk
menyicipinya, dan stevaku merasakan asin pada air tersebut. Maka Rhisi Uddalaku
menjelaskan bahwa demikianlah zat Brahma merasuk ke dalam tubuh yang ada, dan
itulah disebut atman.
Seorang manusia memanggilkan dirinya “aku” , sewaktu kakinya dipotong ,
dia masih berteriak “aku”, setelah kedua lengannya terpotong dia masih berteriak
“aku”, dan setelah badannya dicincang dia masi berteriak “aku”, hingga ketika ia
menghembuskan nafas terakhir iapun berbisik “aku”.
Lantas siapakah “aku” itu?

70
Harun Hadiwijono. Ibid, h. 174
Menurut ajaran Brahman “aku” itu adalah atman yang merupakan proyeksi dari zat
Brahman dalam ajaran ini tampak kesamaan dengan ajaran Neoplatonism. Aliran
filsafat Yunani yang terakhir, dibangun oleh Plotinus(205-270M) pada abad ke 3
masehi di Iskandaria. Ada yang berpendapat bahwa Plotinus pernah mendalami
filsafat India.
Pokok ajaran tentang mengenali dia dalam diri sendiri dan dia terdapat pada
diri seluruhnya dan dia adalah seluruhnya yang banyak dijumpai dalam Kitab Veda
terutama dalam Kitab Upanishad, melahirkan paham bahwa wujud tunggal
pencipta itu meresapi seluruh alam. Paham itu di dalam dunia filsafat disebut dengan
panteism. Paham tersebut juga pernah dianut oleh sufi-sufi islam sejak abad ke 10
masehi, oleh Jalaludin Ar-rumi pada tahun (1207-1273). Adapun paham itu juga
berpengaruh dalam pihak tertentu dari mistik Kristen, seperti St. Augustinus salah
satu tokoh dalam agama Kristen pada tahun (396-430M).71

5. 3. Ajaran tentang kehidupan sosial


Agama Hindu mempunyai bangunan dasar agama yang sangat ketat, hal ini
sebagai pedoman bagi umat Hindu dalam menjalankan ibadah serta syariat agamanya
sehari-hari. Semua ajaran tentang kerangka dasar ini bersumber dari Kitab Suci
Weda dan Kitab-kitab Suci Agama Hindu lainnya. Kerangka dasar agama Hindu
tersebut ialah:
a. Tattwa atau Filsafat Agama Hindu
b. Susila atau Etika Agama Hindu
c. Upacara atau Ritual Agama Hindu

Bagi umat Hindu menjalani serta memahami ketiga kerangka dasar tersebut
menjadi suatu kewajiban dan sangat penting. Oleh karenanya setiap umat Hindu akan
dengan sungguh-sungguh melaksanakan ketiga kewajiban tersebut.
Tattwa merupakan inti ajaran Agama, sedangkan susila sebagai pelaksana
ajaran dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Sebagai bentuk rasa syukur kepada

71
Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia (Jakarta, PT. Al Husna Zikra.1996), h. 45-49.
Tuhan Ida Sanghyang Widi, maka dilaksanakan pengorbanan suci yaitu
berupa upacara atau ritual.

5. 3. 1. Pengertian Etika dalam Agama Hindu


Dalam agama Hindu etika dinamakan susila, yang berasal dari dua suku
kata, su yang berarti baik, dan sila berarti kebiasaan atau tingkah laku perbuatan
manusia yang baik. Dalam hal ini maka etika dalam agama Hindu dikatakan sebagai
ilmu yang mempelajari tata nilai, tentang baik dan buruknya suatu perbuatan manusia,
mengenai apa yang harus dikerjakan dan apa yang harus ditinggalkan, sehingga
dengan demikian akan tercipta kehidupan yang rukun dan damai dalam kehidupan
manusia. Pada dasarnya etika merupakan rasa cinta kasih, rasa kasih sayang, dimana
seseorang yang menjalani dan melaksanakan etika itu karena ia mencintai dirinya
sendiri dan menghargai orang lain.
Etika menjadikan kehidupan masyarakat menjadi harmonis, karena saling
menjunjung tinggi rasa saling menghargai antar sesama dan saling tolong menolong.
Dengan etika akan membina masyarakat untuk menjadi anggota keluarga dan anggota
masyarakat yang baik, menjadi warga negara yang mulia.
Etika agama Hindu pada dasarnya mengajarkan aturan tingkah laku yang baik
dan mulia. Dengan adanya pedoman tersebut diharapkan seluruh umat hidup dapat
menjalani serta memahami secara baik dan benar. Kerangka dasar etika dalam Hindu
Dharma antara lain:

5. 3. 1. 1. Tri Kaya Parisuda


Tri Kaya Parisuda berasal dari kata tri artinya tiga, kaya berarti tingkah laku dan
parisuda mulia atau bersih. Tri Kaya Parisuda dengan demikian berarti tiga tingkah
laku yang mulia (baik).72
Adapun tiga tingkah laku yang baik termaksud adalah:
1. Manacika (berpikir yang baik dan suci). Seseorang dapat
dikatakan manacika apabila ia:

72
K.M. Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu: Bahan Kajian Untuk Memperbaiki Tingkah
Laku (Surabaya: Paramita, 2006), h. 28.
• Tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal.
• Tidak berpikir buruk terhadap sesama manusia atau mahluk lainnya.
• Yakin dan percaya terhadap hukum karma.
2. Wacika (berkata yang baik dan benar). Seseorang dapat dinyatakan
sebagai wacika apabila ia:
• Tidak mencaci maki orang lain.
• Tidak berkata-kata yang kasar kepada orang lain.
• Tidak memfitnah atau mengadu domba
• Tidak ingkar janji.
3. Kayika (berbuat yang baik dan jujur). Seseorang dapat
dikatakan kayika, manakala ia:
• Tidak menyiksa, menyakiti atau membunuh.
• Tidak berbuat curang, mencuri atau merampok.
• Tidak berzina

5. 3. 1. 2. Panca Yama Brata


Panca Yama Brata berasal dari tiga suku kata, yaitu panca berarti lima, yama artinya
pengendalian dan brata yang berarti keinginan. Panca Yama Brata ialah lima
keinginan untuk mengendalikan diri dari godaan-godaan nafsu yang tidak baik. Lima
macam pengendalian diri yang perlu diperhatikan oleh umat Hindu ialah 73
1. Ahimsa (tidak menyakiti atau membunuh).
2. Brahmacari (berpikir suci, bersih dan jernih).
3. Satya (kebenaran, kesetiaan dan kejujuran). Ada lima jenis satya yang
disebutPanca Satya dan patut diperhatikan oleh umat Hindu, yakni:
a. Satya Wacana yaitu setia dan jujur dalam berkata-kata, tidak
sombong, tidak mengucapkan kata-kata yang tidak sopan, tidak
berkata-kata yang menyakitkan serta tidak memaki.
b. Satya Hredaya yaitu setia terhadap kata hati dan selalu konsisten
atau berpendirian teguh.

73
Ibid., h. 29
c. Satya Laksana yaitu jujur dan bertanggung jawab terhadap apa yang
diucapkan.
d. Satya Mitra yaitu selalu setia kepada teman dan tidak pernah
berkhianat.
e. Satya Semaya yaitu selalu menepati janji, tidak pernah ingkar kepada
janjinya.
4. Awyawahara (tidak terikat keduniawian).
5. Asteya atau Asteneya (tidak mencuri).

5. 3. 1. 3. Dasa Yama Brata


Etika Dasa Yama Brata antara lain74
1. Anrsamsa (tidak kejam).
2.Ksama (pemaaf).
3. Satya (kebenaran, kesetiaan dan kejujuran)
4. Ahimsa (tidak menyakiti atau membunuh)
5. Dama (mengendalikan hawa nafsu)
6. Arjawa (tetap pendirian)
7. Priti (welas asih).
8. Prasada (berpikir jernih dan suci)

5. 3. 1. 4. Panca Niyama Brata


Panca Niyama Brata adalah lima cara pengendalian diri lanjutan (tahap kedua) untuk
dapat tercapainya ketenangan dan ketentraman batin. Kelima cara dimaksud adalah 75
1. Akrodha (tidak marah).
2. Guru Susrusa (hormat kepada guru).
3. Sauca (bersih atau suci).
4. Aharalaghawa (makan makanan sederhana).
5. Apramadha (tidak mengabaikan kewajiban).

74
Ibid., h. 33.
75
Ibid., h. 36
5. 3. 1. 5. Dasa Niyama Brata
Dasa Niyama Brata merupakan suatu etika lanjutan dalam agama Hindu yang lebih
tinggi lagi tingkatannya. Dasa Niyama Brata terdiri dari76
1. Dana (bersedekah).
2. Ijya (memuja dan memuji Tuhan).
3. Tapa (menjauhi kesenangan duniawi).
4. Dhyana (memusatkan pikiran).
5. Swadhyaya (belajar sendiri).
6. Upasthanigraha (mengendalikan hawa nafsu).
7. Brata (melaksanakan pantangan).
8. Upawasa (puasa).
9. Mona (tidak berbicara).
10. Snana (membersihkan diri).

5. 3. 1. 6. Dasa Dharma
Dasa Dharma ialah sepuluh macam perbuatan baik yang patut dilaksanakan oleh umat
Hindu. Dengan melaksanakan ajaran dharma ini dapat mendorong terciptanya
masyarakat yang aman, tentram dan damai. Sepuluh dasa dharma tersebut ialah77
1. Dhriti (bekerja dengan sungguh-sungguh).
2. Ksama (mudah memberikan maaf).
3. Dama (dapat mengendalikan nafsu).
4. Asteya (tidak mencuri).
5. Sauca (berhati bersih dan suci).
6. Indrayanigraha (dapat mengendalikan keinginan).
7. Dhira (berani membela yang benar).
8. Widya (belajar dan mengajar).
9. Satya (kebenaran, kesetiaan, dan kejujuran).
10. Akrodha (tidak cepat marah).

76
Ibid., h. 39
77
Ibid., h. 39
5. 3. 1. 7. Catur Paramita
Catur paramita berasal dari kata catur yang berarti empat dan paramita yang berarti
perbuatan luhur. Dengan demikian catur paramita berarti empat perbuatan luhur, yang
harus dilaksanakan oleh seluruh umat Hindu.
Catur paramita terdiri dari78
1. Maitri (bersahabat).
2. Karuna (cinta kasih).
3. Mudhita (simpati).
4. Upeksa (toleransi).

5. 3. 1. 8. Tri Hita Karana


Tri Hita Karana berasal dari kata tri yang berarti tiga, hita yang berarti
kebahagiaan, dan karana yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri
Hita Karana dapat di artikan dengan tiga penyebab kebahagiaan. Tiga
penyebab kebahagian itu adalah 79
1. Hubungan baik manusia dengan Tuhan. Manusia merupakan ciptaan tuhan,
sedangkan Atman yang ada dalam diri manusia merupakan percikan sinar
suci kebesaran tuhan yang menyebabkan manusia tetap hidup. Oleh karena
itu manusia wajib berterima kasih, berbakti, dan selalu sujud kepadanya.
2. Hubungan baik manusia dengan manusia. Manusia didunia ini tidak dapat
hidup sendiri, mereka membutuhkan bantuan dan kerja sama kepada orang
lain. sehingga dikatakan dengan mahkluk sosial. Karena itu hubungan
antara sesama manusia baik perorangan, keluarga, dan masyarakat harus
selalu baik dan harmonis. Masyarakat yang aman dan damai akan
menciptakan negara yang tentram dan sejahtera.
3. Hubungan baik manusia dengan lingkungannya. Sebagai mahkluk hidup,
manusia selalu dipengaruhi oleh lingkungan, baik dari perkembangan
maupun pertahanan diri manusia tersebut. dengan demikian lingkungan

78
Ibid., h. 42
79
Ibid., h. 48
harus dijaga dengan rapi dan sehat, tdak menebang pohon sembarangan
(illegal logging), pencemaran udara, pencemaran air dan lain-lain.

5.4. Ajaran tentang perbedaan


Toleransi dalam Agama Hindu memiliki arti yang utama, penerapannya dimanapun
umat Hindu berada jarang terdengar adanya konflik dengan pemeluk agama lain.
Tidak salah jika ada yang menyebutkan Hindu adalah agama yang memiliki ciri khas
sebagai salah satu agama yang paling toleran, yang mana di dalam kitab suci Weda
dalam salah satu baitnya menyatakan:

Ekam Sat Vipraaha Bahudhaa Vadanti


(**baca: Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti)
Artinya:“Hanya ada satu kebenaran tetapi para orang pandai menyebut-Nya dengan
banyak nama.” | Reg Weda (Buku I, Gita CLXIV, Bait 46) ini seolah menegaskan
bahwa kebenaran itu hanyalah milik Sang Hyang Widhi, dimana Beliau mempunyai
banyak nama(sebutan) sesuai dengan manifestasi-Nya.
Dalam berbagai pustaka suci Hindu juga banyak terdapat sloka-sloka yang
mencerminkan toleransi dan sikap yang adil oleh Sang Hyang Widhi. Umat Hindu
menghormati kebenaran dari mana pun datangnya dan menganggap bahwa hakikat
semua agama bertujuan sama, yaitu menuju Tuhan, namun dengan berbagai sudut
pandang dan cara pelaksanaan yang berbeda. Hal itu diuraikan dalam kitab suci
mereka sebagai berikut:
samo ‘haṁ sarva-bhūteṣu na me dveṣyo ‘sti na priyah
ye bhajanti tu māṁ bhaktyā mayi te teṣu cāpy aham | (Bhagawadgita, IX:29)
Artinya:
Aku tidak pernah iri dan selalu bersikap adil terhadap semua makhluk.
Bagi-Ku tidak ada yang paling Ku-benci dan tidak ada yang paling Aku kasihi.
Tetapi yang berbakti kepada-Ku, dia berada pada-Ku dan Aku bersamanya pula

Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham,


mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah | (Bhagawadgita, 4:11)
Artinya:
Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku,
Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku
dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)

Yo yo yām yām tanum bhaktah śraddhayārcitum icchati,


tasya tasyācalām śraddhām tām eva vidadhāmy aham | (Bhagawadgita, 7:21)
Artinya:
Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang,
Aku perlakukan mereka sama dan
Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap

Banyak hal yang mencerminkan bahwa Hindu memiliki toleransi yang tinggi dengan
agama lain. Landasannya adalah bahwasanya semua makhluk adalah sama dimata
Tuhan dan itu ditegaskan didalam Weda.

Penutup
Agama Hindu merupakan bentuk spiritualitas yang timbul di India. Kompleksitas
ajaran-ajarannya hadir karena ajaran Hindu banyak mentolerir budaya-budaya yang
ada, baik di India mau pun yang ada di Indonesia. Namun demikian terdapat hal-hal
yang tetap menjadi pegangan bersama, yakni kitab Veda.
Terbuka terhadap perbedaan dan saling menghormati merupakan inti dari ajaran
Hindu. Melalui jiwa yang bersih, mereka percaya akan mendatangkan masyarakat
yang baik dan penuh kasih.

Pertanyaan Reflektif
1. Apa yang dapat Anda refleksikan dari sejarah perkembangan agama Hindu?
2. Apa yang dapat Anda refleksikan dari ajaran tentang persona dalam agama Hindu?
3. Apa yang dapat Anda refleksikan dari ajaran tentang sosialitas dalam agama Hindu?
BAB 6
Agama Buddha

Tujuan:
1. Memahami sejarah agama Buddha (C3, C4).
2. Memahami ajaran Buddhisme tentang individualitas dan sosialitas manusia (C3, C4).
3. Menganalisis sifat inklusif dan toleran agama Buddha dalam ajaran dan praktiknya (C5)
Metode:
1. Ceramah/Presentasi
2. Diskusi
3. Tanya jawab
Waktu: 100 menit
Media/Alat bantu:
• White-board
• Infocus
• Spidol
• Gambar/film
Bahan Bacaan:

• Ali, Mukti. 1988. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Pres.
• Hadiwijono, Harun. 1987. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
• Liaw, Ponijan. 2019. Sosialitas dalam Perspektif Agama Buddha. Jakarta: Manuskrip Pribadi.
• Wuryanto, Joko dan Yuyuk Sri Rahayu (ed.). 2003. Pengetahuan Dharma untuk Mahasiswa. Jakarta:
CV. Dewi Kayana Abad.
• ---------, 2005. Jadilah Pelita Ajaran Univeral Buddha. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya dan
Ehipassako Foundation.

6. 1. PENGANTAR:
Agama Buddha merupakan salah satu agama yang muncul dan berkembang pesat di
daratan India. Agama ini mulai muncul pada abad ke-6 SM. Sebagai agama yang
muncul pada masa itu, secara historis agama tersebut masih mempunyai kaitan erat
dengan agama pendahulunya, yaitu agama Hindu. Pembawa ajaran agama Buddha
adalah Sidharta Buddha Gautama, yang sebelum memperoleh pencerahan merupakan
seorang pangeran kerajaan Maghada dan pemeluk agama Hindu. Pedoman dan
hukum-hukum yang diajarkan oleh Sidharta mempunyai tujuan akhir untuk
melepaskan nafsu dan penderitaan dalam hidup manusia sehingga dapat mencapai
nirvana.
Sebagai agama, ajaran Buddha tidak bertitik tolak kepada Tuhan dan
hubungan-Nya dengan alam semesta dan seluruh isinya. Agama Buddha justru bertitik
tolak kepada keadaan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya sehari-hari,
khususnya tentang tata susila manusia agar terbebas dari lingkaran dukkha yang selalu
mengiringi hidupnya.

6. 2. Ajaran tentang Kehidupan Personal


Untuk menegakkan Dharma, para pengikut Buddha pada umumnya wajib menjauhi
larangan-larangan sebagai berikut:
1. Dilarang melakukan pembunuhan terhadap semua makhluk.
2. Dilarang melakukan pencurian, perampokan, penyerobotan, dan sebagainya.
3. Dilarang melakukan perbuatan cabut, misalnya berzina.
4. Dilarang berbuat dusta/menipu.
5. Dilarang minum minuman keras.
Ajaran Buddha Gautama merupakan reformasi terhadap ajaran para Brahman. Ia
sendiri dulunya berasal dari golongan Ksatria, sehingga tidak mengherankan jika
banyak orang dari kasta tersebut yang menjadi pengikutnya.

Reformasi yang diadakan oleh Buddha Gautama antara lain:


1. Meniadakan sistem kasta.
2. Meniadakan penyembahan kepada banyak dewa.
3. Memberikan pengertian baru kepada hukum karma dan samsara/reinkarnasi.

Menurut Buddha Gautama, jika manusia mampu melaksanakan hidup suci dengan
melenyapkan keinginan kuat nafsu kehidupan, maka setelah ia melalui serangkaian
reinkarnasi pada akhirnya ia akan mencapai nirwana (parinibana). Orang yang telah
mencapai nirwana disebut Arahat. Dalam rangkaian reinkarnasi itu orang dapat
menjelma menjadi manusia kembali, binatang atau dewa.
Manusia, menurut ajaran Buddha adalah kumpulan dari kelompok energi fisik
dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak, yang disebut Pancakhanda atau lima
kelompok kegemaran, yaitu:
1. Rupakhandha (kegemaran akan wujud atau bentuk) adalah semua yang terdapat
dalam makhluk yang masih berbentuk (unsur dasar) yang dapat diserap dan
dibayangkan oleh indra. Yang termasuk Rupakhandha adalah hal-hal yang
berhubungan dengan lima indra dengan obyek seperti bentuk yang terlihat,
terdengar, terasa, tercium ataupun tersentuh.
2. Vedanakhandha (kegemaran akan perasaan) adalah semua perasaan yang timbul
karena adanya hubungan lima indra manusia dengan dunia luar. Baik perasaan
senang, susah ataupun netral.
3. Sannakhandha adalah kegemaran akan penyerapan yang menyangkut intensitas
indra dalam menanggapi rangsangan dari luar yang menyangkut enam macam
penyerapan indrawi seperti bentuk-bentuk suara, bau-bauan, cita rasa, sentuhan
jasmaniah dan pikiran.
4. Shankharakhandha adalah kegemaran bentuk-bentuk pikiran. Bentuk-bentuk
pikiran di sini ada 50 macam, seperti lobha (keserakahan), chanda (keinginan),
sadha (keyakinan), viriya (kemauan keras) dan sebagainya.
5. Vinnanakhandha (kegemaran akan kesadaran) adalah kegemaran terhadap reaksi
atau jawaban yang berdasarkan pada salah satu dari keenam indra dengan obyek
dari indra yang bersangkutan. Kesadaran mata misalnya, mempunyai mata sebagai
dasar dan sasaran benda-benda yang dapat dilihat. Kesadaran tersebut mengarah
pada yang buruk, yang baik atau netral. 80
Kelima Kandha tersebut sering diringkas menjadi dua, yaitu nama dan rupa. Nama
adalah kumpulan dari perasaan, pikiran, penyerapan dan perasaan, yang dapat
digolongkan sebagai unsur-unsur rohaniah. Rupa adalah badan jasmaniah yang terdiri
dari empat unsur materi, yaitu unsur tanah, air, api dan udara.
Pemikiran tentang manusia dalam agama Buddha adalah unik, yaitu karena
penyangkalannya terhadap adanya roh atau atma yang kekal abadi dalam diri manusia.
Manusia dianggap merupakan kumpulan dari lima Kandha tanpa adanya roh atau atma
di dalamnya.
Anatma merupakan ajaran yang mengatakan bahwa tiada aku yang kekal atau
tetap.81 Bila roh yang dianggap sebagai inti manusia itu bersifat langgeng, maka tak
akan terjadi suatu perkembangan ataupun kemunduran. Menurut pendapat Bertrand
Russel “Perbedaan lama antara roh dan tubuh telah usai, karena materi telah

80
Mukti Ali. 1988. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, h. 124.
81
Harun Hadiwijono. 1987. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, h. 78.
kehilangan spiritualitasnya. Psikologi sudah menjadi ilmiah. Dalam psikologi modern
kepercayaan akan kekekalan tidak mendapat dukungan dari ilmu pengetahuan”.
Umat Buddha setuju dengan pendapat Bertrand Russel yang menyatakan
“Jelas terdapat beberapa alasan di mana aku sekarang merupakan orang yang sama
dengan aku kemarin, dan menggunakan contoh yang lebih jelas, bila aku melihat
seseorang dan mendengar ia bicara maka terdapat suatu pengertian di mana “aku”
yang mendengar.82
Anatma dapat diterangkan dalam 3 tingkatan, yaitu:
1. Tidak terlalu mementingkan diri
2. Kita tidak dapat memerintah terhadap siapa dan apa saja,
3. Bila tingkatan pengetahuan tinggi telah dicapai dan telah mempraktekkan
akan pengetahuan dan menemukan bahwa jasmani dan batinnya sendiri
adalah tanpa aku.
Jika ada suatu diri yang sejati atau permanen harus dapat diidentifikasikan.
Bagaimanapun juga tubuh berubah tak henti-hentinya dari detik ke detik, dari
kelahiran sampai kematian. Pikiran berubah lebih cepat lagi. Jadi, tidak dapat
dikatakan bahwa batin, badan, atau gabungan tertentu dari keduanya adalah suatu diri
yang berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri, karena badan maupun batin
tergantung dari banyak faktor untuk eksis. Karena apa yang dinamakan “diri” ini
hanyalah sekumpulan faktor fisik dan mental yang terkondisi dan selalu dalam
perubahan, tidak ada unsur yang nyata atau konkrit di dalam kita. Dengan menyadari
di atas, maka akan lebih mudah untuk tumbuh, belajar, berkembang, bermurah hati
dan berwelas asih karena tidak merasa harus membentengi diri. 83
Agama Buddha tidak menolak sama sekali adanya suatu kepribadian dalam
suatu pengertian empiris. Agama Buddha hanya bermaksud menunjukkan bahwa roh
kekal tidak ada di dalam suatu pengertian mutlak. Istilah filsafat Budhis bagi seorang
individu adalah Santana, yaitu arus atau kelangsungan, yang mencakup unsur-unsur

82
Joko Wuryanto dan Yuyuk Sri Rahayu (ed.). 2003. Pengetahuan Dharma untuk Mahasiswa. Jakarta:
CV. Dewi Kayana Abadi, h. 66.
83
---------, 2005. Jadilah Pelita Ajaran Univeral Buddha. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya dan
Ehipassako Foundation, h. 81.
rohani dan jasmani”. Kekuatan kamma masing-masing individu merupakan unsur-
unsur batin dan jasmani.84
Manusia selalu berada dalam dukkha karena hidup menurut ajaran Buddha
selalu dalam keadaan dukkha, sebagaimana diajarkan dalam Catur Arya Satyani
tentang hakikat dari dukkha. Ada 3 macam dukkha, yaitu:
1. Dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha)
2. Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (viparinamadukkha)
3. Dukkha sebagai keadaan yang saling bergantung (sankharadukkha)

Untuk menghilangkan dukkha manusia harus mengetahui dan memahami


sumber dukkha yang disebut dukkhasamudaya, yang ada dalam diri manusia itu
sendiri, yaitu berupa tanha (kehausan) yang mengakibatkan kelangsungan dan
kelahiran kembali serta keterikatan pada hawa nafsu.
Terhentinya dukkha manusia disebut dukkhanirodda yang berarti nirwana atau
nibbana. Istilah “nirwana” mempunyai pengertian khusus untuk menggambarkan akhir
proses yang terjadi dalam diri manusia, yang berbeda dengan konsep surga maupun
neraka atau arti yang identik dengan itu dalam agama Islam, Kristen, ataupun Hindu.
Nirwana diartikan sebagai suatu keadaan yang harus disadari dan dipahami oleh
orang-orang yang ingin mengalaminya melalui cara-cara tertentu. Isa diartikan sebagai
pemadaman, penghancuran anavas, yaitu sifat-sifat induvidualis, menuruti hawa nafsu
dan kebodohan dan terlepasnya ikatan pada hal-hal yang indrawi sehingga menjadi
tidak ada kelahiran kembali.
Nirwana merupakan tujuan akhir dari semua pemeluk Buddha, baik sewaktu
masih hidup maupun sesudah mati, yang dapat dicapai oleh setiap orang dengan jalan
memahami delapan jalan mulia atau Hasta Arya Marga.85

84
Joko Wuryanto dan Yuyuk Sri Rahayu (ed.). 2003, h. 69.
85
Mukti Ali. 1988, h. 126.
6. 3. Ajaran tentang kehidupan sosial86
Peduli terhadap sesama adalah ajaran inti dari banyak keyakinan di dunia. Tidak
terkecuali agama Buddha. Hal ini tergambar jelas dari perjalanan hidup Sang Buddha
Gautama sebelum mencapai pencerahannya.
Sejak menjadi pewaris tunggal Kerajaan Sakya di India pada zamannya dan
menjadi Pangeran Sidharta Gautama, ia sudah menunjukkan kepeduliannya terhadap
sesama. Sebagai pangeran yang berkelimpahan materi, rezeki, harta, tahta dan kereta,
ia, walaupun diasingkan oleh ayahandanya untuk melihat dunia luar yang penuh
dengan ‘derita’ hidup warganya karena hal itu dapat menjadi pemicu sang pangeran
meninggalkan istana dan menjadi petapa (menurut peramal Asita yang sangat sakti
pada saat itu), tetap saja jiwa sosial sang pemegang tahta kerjaan Sakya itu tidak
terbendung.
Dengan penuh kesadaran bahwa yang ingin bahagia bukan hanya dirinya, ia
pun meninggalkan istana, istri dan putra tunggalnya demi menolong makhluk lain
yang memerlukan bantuannya. Dan, benar saja, saat berada di luar tembok istana,
segala bentuk derita yang dialami warganya terlihat nyata. Ada yang lahir tidak
sempurna, tua merana, sakit terlunta-lunta sampai dengan meninggal sia-sia. Hal itu
adalah kepedulian pertama yang membuatnya mencetuskan sebuah gagasan besar:
‘Aku harus melakukan sesuatu untuk menolong sesama.’
Melalui beragam rintangan, tentangan dan tantangan selama lebih kurang 6
(enam) tahun, akhirnya sang pangeran yang telah menjadi Petapa Gotama pun meraih
pencerahan sempurna (samma sambodhi) dan menjadi seorang Buddha (orang yang
tercerahkan). Sesaat setelah ia mencapai itu semua, ada keraguan pada dirinya: apakah
yang telah didapatkannya akan mampu diterima oleh manusia lainnya? Namun, berkat
dorongan sosial yang sangat kuat pada dirinya, ia memutuskan untuk mulai mengajar.
Dan, sejarah mencatat ia mengajar selama 45 tahun sampai akhirnya berserah pada
kerapuhan fisik yang tidak dapat dipertahankan lagi (80 tahun) dan akhirnya
parinibbana (wafat Agung).
Ajaran sosial yang beliau tebarkan terlihat jelas pada banyak bagian dalam
kitab suci Tripitaka. Beberapa di antaranya adalah tentang Dana (beramal) buat

86
Ponijan Liaw. 2019. Sosialitas dalam Perspektif Agama Buddha. Jakarta: Manuskrip Pribadi.
sesama yang terdapat pada Sad Paramita (6 Sila) dan Dasa Paramita (10 Sila). Dan,
yang melegenda adalah ajaran beliau tentang kepedulian sosial terhadap orang yang
sakit: “Seseorang yang merawat orang sakit, berarti ia telah merawat saya”.

6. 4. Ajaran tentang Toleransi


Di dunia ini kita mengenal berbagai agama dari agama yang masih primitif (animisme
dan dinamisme) sampai dengan agama-agama besar dunia. Di antara agama-agama
tersebut, agama Buddha adalah salah satunya. Oleh sebab itu, agama Buddha
menyadari keberadaan keyakinan dan agama lain serta berusaha hidup rukun, damai,
dan harmonis dengan keyakinan lain tersebut melalui toleransinya yang besar terhadap
ajaran lain tersebut. Hal ini sudah terjadi sejak zaman Buddha Gautama hidup dulu di
India sampai saat ini di mana agama Buddha menyebar ke berbagai penjuru dunia.

6. 4. 1. Jangan Terpancing Emosi


Suatu ketika Buddha bersama lima ratus orang siswa-Nya dari satu kota ke kota lain.
Mengikuti di belakang rombongan Sang Buddha, dua orang pertapa pengembara,
yaitu seorang guru dan muridnya. Walaupun keduanya guru dan murid, kedua berbeda
pandangan terhadap ajaran Buddha; selama perjalanan sang guru menghina dan
merendahkan ajaran Buddha, sedangkan muridnya berusaha memuji dengan berbagai
cara. Perdebatan keduanya berlangsung selama perjalanan hingga akhirnya
rombongan Buddha mendapatkan tempat persinggahan untuk beristirahat.
Saat itu para bhikkhu membicarakan tentang kejadian ini dan bagaimana
Buddha diam saja walaupun jelas-jelas keduanya yang berdebat tentang ajaran Beliau
berada persis di belakang rombongan tersebut. Ketika Buddha mengetahui
pembicaraan tersebut, Beliau berkata:
"Para bhikkhu, jika seseorang menghina-Ku, Dhamma (ajaran Buddha), atau Sangha
(perkumpulan para bhikkhu), kalian tidak boleh marah, tersinggung, atau terganggu
akan hal itu. Jika kalian marah atau tidak senang akan penghinaan itu, maka itu akan
menjadi rintangan bagi kalian. Karena jika orang lain menghina-Ku, Dhamma, atau
Sangha, dan kalian marah atau tidak senang, dapatkah kalian mengetahui apakah
yang mereka katakan itu benar atau salah?"
"Tidak, Bhagava," jawab para bhikkhu.
"Jika orang lain menghina-Ku, Dhamma, atau Sangha, maka kalian harus
menjelaskan apa yang tidak benar sebagai tidak benar, dengan mengatakan: ‘Itu
tidak benar, itu salah, itu bukan jalan kami, itu tidak ada pada kami'."
"Jika orang lain memuji-Ku, Dhamma, atau Sangha, kalian tidak boleh gembira,
bahagia, atau senang akan hal itu. Jika kalian gembira, bahagia, atau senang akan
pujian itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Jika orang lain memuji-Ku,
Dhamma, atau Sangha, kalian harus mengakui kebenaran sebagai kebenaran, dengan
mengatakan: 'Itu benar, itu tepat sekali, itu adalah jalan kami, itu ada pada kami'."
(Brahmajala Sutta)

Dengan demikian, Buddha mengajarkan agar para pengikut-Nya tidak terbawa


emosi positif atau negatif saat seseorang memuji ataupun merendahkan ajaran Beliau,
melainkan menjelaskan mana yang benar dan mana yang tidak benar atas pandangan
terhadap ajaran Buddha tersebut sehingga dapat membebaskan agama Buddha dari
pandangan salah orang-orang yang tidak tahu atas ajarannya.

6. 4. 2. Buddha Tidak Berminat Mencari Pengikut


Pada kesempatan lain, seorang umat awam Buddha hendak mengunjungi Sang
Buddha, namun saat itu waktunya tidak tepat karena masih terlalu pagi dan biasanya
Buddha sedang bermeditasi pada waktu demikian. Oleh sebab itu, orang tersebut
mengunjungi tempat pertapaan pengikut ajaran lain dan ia terlibat percakapan serius di
mana para pertapa tersebut mengatakan hal-hal yang tidak baik terhadap Sang
Buddha. Ketika Buddha mengetahui hal ini, Beliau mengunjungi tempat pertapaan
tersebut dan melalui serangkaian tanya jawab antara kedua pihak, Buddha berhasil
melenyapkan pandangan salah para pertapa ajaran lain tersebut. Namun demikian,
pada akhir kotbah para pertapa tersebut tidak menjadi pengikut Buddha.
Saat itu Buddha berkata: "Nigrodha, engkau mungkin berpikir: 'Petapa
Gautama mengatakan hal ini untuk mendapatkan murid.' Namun jangan engkau
beranggapan demikian. Biarlah ia yang menjadi gurumu tetap menjadi gurumu. Atau
engkau mungkin berpikir: 'Beliau ingin kami meninggalkan peraturan-peraturan
kami.' Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah peraturanmu tetap
berlaku seperti apa adanya. Atau engkau mungkin berpikir: 'Beliau ingin kami
meninggalkan gaya hidup kami.' Namun jangan engkau beranggapan demikian.
Biarlah gaya hidupmu tetap seperti apa adanya. Atau engkau mungkin berpikir:
'Beliau ingin kami mengukuhkan kami dalam melakukan hal-hal yang menurut ajaran
kami adalah salah, dan yang dianggap demikian oleh kami.' Namun jangan engkau
beranggapan demikian. Biarlah hal-hal yang kalian anggap salah tetap dianggap
demikian. Atau engkau mungkin berpikir: 'Beliau ingin menarik kami dari hal-hal
yang menurut ajaran kami adalah baik, dan yang dianggap demikian oleh kami.'
Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah hal-hal yang kalian anggap
baik tetap dianggap demikian. Nigrodha, Aku tidak berbicara karena alasan-alasan
ini."
"Ada, Nigrodha, hal-hal tidak baik yang belum ditinggalkan, ternoda,
mendukung kelahiran kembali, menakutkan, menghasilkan akibat menyakitkan di
masa depan, berhubungan dengan kelahiran, kerusakan, dan kematian. Adalah untuk
meninggalkan hal-hal ini, maka Aku mengajarkan Dhamma. Jika engkau
mempraktikkan dengan benar, hal-hal ternoda ini akan ditinggalkan, dan hal-hal
yang murni akan tumbuh dan berkembang dan engkau akan mencapai dan berdiam
dalam kesempurnaan kebijaksanaan sepenuhnya, dalam kehidupan ini, dengan
pandangan terang dan pencapaianmu sendiri." (Udumbarika-Sihanada Sutta)

Jadi, jelas bahwa Buddha mengajar bukan untuk mendapatkan pengikut atau
pun mengubah keyakinan atau cara hidup seseorang, melainkan untuk menunjukkan
jalan melenyapkan permasalahan kehidupan (dalam istilah Buddhis disebut
penderitaan atau dukkha) tanpa seseorang harus terikat dengan menganut agama
Buddha. Contohnya, ajaran Buddha tentang meditasi ketenangan batin dapat
dijalankan oleh siapa saja, dari agama mana pun dan bangsa mana pun, tanpa perlu
menjadi umat Buddha (telah terdapat banyak bukti bahwa meditasi bisa meningkatkan
kualitas hidup seseorang, terutama dalam hal kesehatan).
6. 4. 3. Hormati Guru Agamamu yang Sebelumnya
Pada abad ke 6 SM di India berkembang berbagai ajaran agama selain agama Hindu
yang bersumber dari kitab Veda. Selain agama Buddha, terdapat juga agama Jainisme
yang diajarkan oleh Jaina Mahavira (disebut juga Nigantha Nataputta dalam kitab-
kitab Buddhis) yang hidup sezaman dengan Buddha Gautama. Walaupun agama
Buddha sudah hampir punah di tanah kelahirannya, agama Jainisme masih mengakar
kuat dan memiliki banyak pengikut di India saat ini.
Seorang pengikut awam Nigantha Nataputta yang terkemuka bernama Upali
terkenal akan kepandaiannya dalam berdebat. Ia diutus oleh gurunya untuk
mengalahkan Buddha dalam perdebatan tentang manakah yang menghasilkan akibat
yang lebih besar perbuatan melalui pikiran, tubuh, atau ucapan. Buddha mengajarkan
bahwa perbuatan melalui pikiranlah yang menghasilkan akibat yang lebih besar,
sedangkan Nigantha mengajarkan bahwa perbuatan melalui tubuh yang menghasilkan
akibat yang lebih besar. Pada akhir perdebatan tersebut, Upali mengakui kebenaran
ajaran Buddha dan bermaksud untuk menjadi pengikut Beliau. Namun Sang Buddha
berkata:
“Perumah tangga, pikirkanlah kembali sebelum kamu berbuat, orang-orang
terkemuka seperti dirimu seharusnya berpikir secara hati-hati sebelum bertindak.”
Upali menjawab, “Yang Mulia, saya sangat puas dan gembira dengan kata-kata Sang
Bhagava tadi. Jika para pertapa lain mendapatkan murid seperti saya, mereka akan
membawaku berkeliling kota Nalanda dengan mengatakan: ‘Upali sang perumah
tangga telah menjadi pengikut kami.’ Namun di sini Sang Bhagava mengatakan:
‘Perumah tangga, pikirkan kembali sebelum kamu berbuat... dst.’ Sekarang saya
menyatakan diri berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha untuk kedua
kalinya. Semoga saya diingat sebagai umat awam yang telah mengambil
perlindungan sejak hari ini hingga kehidupanku berakhir.”
“Perumah tangga, telah lama sekali keluargamu menjadi penyokong utama bagi para
Nigantha. Aku menganjurkan agar dana makanan tetap diberikan kepada para
Nigantha yang datang.”
“Yang Mulia, saya sangat puas dan gembira dengan kata-kata Sang Bhagava ini:
‘Perumah tangga, telah lama sekali keluargamu menjadi penyokong utama bagi para
Nigantha.... dst.’ Yang Mulia, saya telah mendengar tentang Anda: ‘Pemberian dana
harus diberikan kepada-Ku saja, tidak kepada orang lain. Pemberian dana harus
diberikan kepada para siswa-Ku saja, tidak kepada para siswa ajaran lain.
Pemberian dana yang diberikan kepada para siswa-Ku akan memiliki buah yang
besar, tetapi tidak pemberian kepada orang lain.’ Namun di sini Sang Bhagava
menyarankan saya agar memberikan dana kepada para Nigantha. Kami mengetahui
kapan waktunya untuk melakukan hal tersebut. Sekarang saya berlindung kepada
Buddha, Dhamma, dan Sangha untuk ketiga kalinya....” (Upali Sutta)
Terlihat bahwa Buddha menganjurkan agar para pengikut-Nya yang berasal
dari keyakinan lain setelah menjadi pengikut Beliau harus tetap menghormati para
guru agamanya yang terdahulu dengan menerima mereka dengan baik jika datang ke
rumah untuk meminta dana makanan (meminta dana makanan dengan mendatangi
rumah ke rumah adalah kebiasaan para pertapa India sejak zaman dahulu dan saat ini
masih dilakukan para bhikkhu Buddhis).

6. 4. 4. Terdapat Kebenaran di Luar Ajaran Buddha


Siddharttha Gautama meninggalkan kehidupan mewah di istana pada usia 29 tahun.
Setelah menyadari kesia-siaan pertapaan penyiksaan diri yang Ia lakukan selama 6
tahun, ia mencapai Pencerahan di bawah pohon Bodhi dengan mempraktekkan
meditasi pandangan terang. Selama 45 tahun kemudian Ia dikenal sebagai Buddha dan
mengembara ke berbagai daerah di sekitar lembah sungai Gangga untuk mengajar
banyak orang. Titik terakhir perjalanan Beliau adalah sebuah kota kecil bernama
Kusinara. Saat itu seorang pertapa pengembara bernama Subhadda mendekati Buddha
yang sedang menjelang ajal-Nya dan bertanya mengenai kebenaran berbagai ajaran
agama yang ada saat itu. Tanpa mengatakan bahwa ajaran Beliau-lah yang paling
benar, Buddha menjawab:
“Cukup, Subhadda, jangan pikirkan apakah mereka semua, atau tidak seorang pun,
atau sebagian dari mereka telah menembus kebenaran. Aku akan mengajarkan
Dhamma kepadamu. Dengarkan dan perhatikan baik-baik....”
“Dalam ajaran dan disiplin mana pun, Subhadda, di mana tidak terdapat Jalan Mulia
Berunsur Delapan, maka tidak akan mungkin ditemukan para pertapa yang telah
mencapai kesucian pertama (Sotapanna), kesucian kedua (Sakadagami), kesucian
ketiga (Anagami), dan kesucian keempat (Arahat). Tetapi dalam ajaran dan disiplin
mana pun di mana terdapat Jalan Mulia Berunsur Delapan, maka di sana dapat
ditemukan para pertapa yang telah mencapai kesucian pertama, kedua, ketiga, dan
keempat.” (Mahaparinibbana Sutta)

Di sini Buddha mengatakan bahwa ajaran mana pun yang mengajarkan Jalan
Mulia Berunsur Delapan merupakan ajaran yang dapat menghasilkan orang-orang
suci; oleh karena itu, ajaran tersebut adalah ajaran yang benar. Jalan Mulia Berunsur
Delapan dalam ajaran Buddha dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu
pengembangan perilaku yang bermoral (sila), pembersihan pikiran/batin melalui
meditasi (samadhi), dan pengembangan kebijaksanaan (panna/prajna). Menurut agama
Buddha, agama mana pun yang mengajarkan ketiga hal ini adalah agama yang benar
dan dapat membuat pengikutnya menjadi suci batinnya. Dengan demikian, agama
Buddha juga mengakui adanya kebenaran dalam ajaran agama lain.

6. 4. 5. Sifat Toleransi Raja Asoka


Kurang lebih 200 tahun kemudian seorang raja terbesar sepanjang sejarah India yang
bernama Asoka menjadikan agama Buddha sebagai agama negara. Berkat jasanya
mengutus para misionaris Buddhis, agama Buddha dapat menyebar ke berbagai
wilayah di luar India: ke arah barat menyebar sampai ke wilayah Yunani (walaupun
tidak bertahan lama di sana), ke selatan menyebar ke Sri Lanka, ke timur menyebar ke
Myanmar, Thailand, Malaysia, dan Indonesia, ke utara menyebar ke Tibet, Cina,
Jepang, dan Korea. Namun demikian, Raja Asoka tetap menghargai dan menghormati
berbagai agama lain yang ada saat itu. Dalam beberapa prasastinya tercatat bahwa
Raja Asoka walaupun beragama Buddha mendanakan sejumlah gua sebagai tempat
pertapaan bagi para pertapa ajaran lain. Di antara sekian banyak prasasti peninggalan
Raja Asoka terdapat sebuah prasasti yang mengajarkan toleransi antar umat beragama
yang berbunyi sbb:
“Janganlah kita menghormati agama kita sendiri dengan mencela agama lain.
Sebaliknya agama lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu. Dengan
berbuat demikian kita membuat agama kita sendiri berkembang, selain
menguntungkan pula agama lain. Jika kita berbuat sebaliknya, kita akan merugikan
agama kita sendiri selain merugikan agama lain. Oleh karena itu, barangsiapa
menghormati agamanya sendiri dan mencela agama lain, semata-mata terdorong
oleh rasa bakti kepada agamanya sendiri dengan pikiran ‘Bagaimana aku dapat
memuliakan agamaku sendiri’, justru ia akan merugikan agamanya sendiri. Karena
itu kerukunan dianjurkan dengan pengertian biarlah semua orang mendengar dan
menghormati ajaran yang dianut orang lain.” (Rock Edict XII)

Demikianlah agama Buddha dengan sifat toleransi dan pasifisme (paham cinta
damai) yang tinggi dapat hidup rukun dan harmonis dengan agama lain di mana pun ia
berkembang. Dalam sejarah perkembangannya, agama Buddha tidak pernah
menyebabkan pertumpahan darah saat memperkenalkan ajarannya di dalam maupun
di luar India. Di Asia Timur khususnya di Cina agama Buddha dapat berbaur dengan
keyakinan setempat (agama Kong Hu Cu dan Taoisme) yang kemudian menghasilkan
keyakinan baru yang disebut Tri-Dharma (Tiga Ajaran: Buddha, Kong Hu Cu, dan
Tao). Di Indonesia sendiri pada masa kerajaan Majapahit kehidupan agama Buddha
dan agama Hindu berlangsung rukun dan harmonis seperti yang tersirat dalam
ungkapan Jawa Kuno “Bhinneka tunggal ika, tan hana Dharma mangrwa (Berbeda-
beda namun tetap satu, tiada Kebenaran yang mendua)” yang tertulis dalam kitab
Sutasoma.
Pada zaman modern ini umat Buddha telah membina kerukunan intern dalam
agama Buddha sendiri dengan pendirian berbagai organisasi Buddhis internasional
non-sektarian seperti World Buddhist Council dan World Fellowship of Buddhist yang
berusaha mempersatukan berbagai aliran agama Buddha yang berbeda-beda. Pada
abad ke-21 umat Buddha di seluruh dunia sama sekali tidak terpancing emosi ketika
patung Buddha raksasa di Bamiyan, Afghanistan dihancurkan. Reaksi umat Buddha
yang singkat dan damai serupa juga terjadi saat pendirian Buddha Bar di Indonesia.
PERTANYAAN REFLEKTIF
1. Jelaskan secara singkat sejarah munculnya agama Buddha?
2. Jelaskan ajaran Buddhisme tentang individualitas dan sosialitas manusia!
3. Berilah analisis Anda terkait dengan ajaran Agama Buddha tentang individualitas dan
sosialitas tersebut dalam konteks kehidupan yang harus semakin inklusif dan toleran!
KEGIATAN:
1. Carilah/Browsing contoh-contoh implementasi ajaran agama Buddha tentang individualitas
dan sosialitas!
2. Diskusikanlah dalam kelompok, bagaimana seharusnya kita bersikap dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan ini dalam membangun sikap yang inklusif dan toleran seperti
diajarkan dalam agama Buddha.
Bab 7
AGAMA DAN KEBEBASAN MANUSIA
Tujuan:
1. Menjelaskan konsep-agama dalam menghadapi problem kemanusiaan, khususnya tentang
kebebasan (C4).
2. Melihat dan menjelaskan kehendak bebas sebagai berkah Ilahi (C4, C6).
3. Menularkan spiritualitas berbagi dan membangun kebersamaan sosial (C6).
Metode:
1. Presentasi kelompok
2. Pendalaman materi
3. Tanya jawab
Waktu: 100 menit
Media/Alatbantu:
• White-board
• Infocus
• Spidol
• Gambar/film
Bahan Bacaan:
• Joko Suyanto, dkk., Agama dan Moral
• Joko Suyanto, dkk., Beriman dalam Konteks
• Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri
• Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Bab 7)
• Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar
• Albertus Sujoko, MSC, Belajar Menjadi Manusia (Bab 2)
• Frithjof Schoun, Transformasi Manusia

7. 1. Pengantar
Manusia itu sebenarnya memiliki kebebasan atau tidak? Berkaitan dengan
pertanyaan tersebut terdapat pandangan yang tidak sama, baik dari pandangan agama
maupun filsafat. Kaum determinis berpendapat bahwa manusia itu tidak memiliki
kebebasan karena sudah ditentukan. Sementara kaum liberalis mengatakan bahwa
manusia memiliki kehendak bebas untuk menentukan dirinya sendiri. Justru karena
memiliki kebebasan inilah maka manusia dapat dimintai pertanggungjawaban atas
setiap tindakan yang dilakukannya. Berkat kehendak bebasnya pula, manusia dapat
menanggapi atau menolak panggilan Allah untuk hidup baik dan benar.
Pada pertemuan ini, kita akan membicarakan persoalan kebebasan manusia dan
bagaimana menggunakan kebebasan tersebut secara benar. Pandangan ini sebagian
besar mengikuti pemikiran dalam buku Agama dan Moral.87

87
Joko Suyanto, Agama dan Moral, hal.100-112
7. 2. Manusia tidak Bebas: Pandangan Determinisme
Kaum determinis menyatakan bahwa manusia itu sesungguhnya tidak memiliki
kebebasan. Perilaku manusia sudah ditentukan oleh berbagai faktor, seperti faktor
biologis, psikologis, sosiologis, dan teologis.
a. Determinisme biologis
Determinisme biologis menyatakan bahwa tindakan manusia sangat ditentukan
oleh faktor-faktor biologisnya sehingga ia tidak bebas lagi. Bentuk tubuh, umur, daya
kekuatan, kondisi, jenis kelamin seseorang mau tidak mau berpengaruh terhadap
perilakunya. Seorang berpostur tubuh pendek misalnya tidak bisa melakukan suatu
perbuatan yang dilakukan oleh seorang yang berbadan tinggi. Determinisme biologis
menegaskan bahwa perilaku manusia bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah
keharusan dari dimensi biologis manusia. Struktur genetika manusia telah
mengarahkan orang tersebut pada perilaku tertentu.

b. Determinisme psikologis
Menurut Sigmund Freud struktur kejiwaan manusia terdiri atas tiga bagian,
yakni Id, Ego, dan Superego. Id merupakan lapisan psikis manusia paling bawah. Di
dalamnya terdapat naluri-naluri seksual dan keinginan yang direpresi. Sigmund Freud
berpendapat bahwa yang membentuk hidup psikis manusia dalam kehidupan sehari-
hari adalah alam bawah sadar (id), termasuk dorongan untuk mencari nikmat yang
disebutnya sebagai libido. Dorongan ini menggerakkan dan menentukan tindakan
manusia. Karena sudah ditentukan oleh id, maka kebebasan manusia untuk memilih
tindakannya tidak ada. Dengan demikian tidak ada juga tanggung jawab moral.

c. Determinisme sosial
Menurut determinisme sosial, tingkah laku manusia baik perseorangan maupun
kelompok ditentukan oleh lingkungan atau struktur sosialnya. Karena itu, tidak ada
kebebasan manusia untuk menentukan tindakannya sendiri. Dalam konteks ini pula
manusia tidak mungkin diminta pertanggungjawaban moral sebab
pertanggungjawaban moral mengandaikan adanya kebebasan.
Kita ikuti pemikiran Karl Marx dan Skinner. Menurut Marx, bukan kesadaran
manusia yang menentukan keadaan sosial, melainkan keadaan sosiallah yang
menentukan kesadaran seseorang. Dengan kata lain, perilaku manusia sangat
ditentukan oleh struktur sosial masyarakat yaitu struktur ekonomi yang oleh Marx
disebutnya sebagai infrastruktur (bangunan bawah). Sedangkan ide, agama, politik,
dan ideologi merupakan bangunan atas (supra struktur). Yang menentukan seluruh
aktivitas manusia bukanlah supra struktur, melainkan infrastruktur yaitu basis
ekonomi.
BF. Skinner juga berpandangan bahwa tingkah laku manusia ditentukan oleh
lingkungannya. Menurut Skinner, seorang anak yang lahir dalam situasi lingkungan
yang baik, misalnya, dengan sendirinya berperilaku baik. Sebaliknya, jika ia
dilahirkan dalam lingkungan sosial yang kurang baik, perilakunya akan terbentuk oleh
lingkungan tersebut.

d. Determinisme teologis
Determinisme teologis menyatakan bahwa Kekuatan Ilahi telah menentukan
manusia bukan hanya perilakunya, tetapi juga hidup manusia itu sendiri. Manusia
tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan dan tindakannya karena Allah
Yang Mahakuasa sudah menentukan. Manusia hanya dapat menerima dan
menjalaninya. Dalam pandangan ini manusia dilihat seperti wayang di tangan sang
dalang.

7. 3. Manusia Bebas: Pandangan Liberalisme


Berbeda dengan kaum determinis, kaum liberal berpandangan bahwa manusia
pada hakikatnya adalah makhluk yang bebas. Manusia adalah makhluk yang memiliki
kebebasan. Benar bahwa kondisi biologis, psikologis, dan sosiologis seseorang bisa
mempengaruhi tindakan seseorang. Namun demikian, orang tetap bebas untuk
bersikap terhadap hal-hal yang mempengaruhi dirinya tersebut. Dalam keadaan apa
pun, manusia tetap mampu menentukan pilihan dan keputusannya sendiri.
Untuk menunjang pandangan mereka bahwa manusia memiliki kebebasan,
kaum liberal memberi beberapa bukti sebagai berikut: Pertama, ketika manusia
dihadapkan pada pilihan moral. Misalnya, seseorang menemukan dompet yang berisi
banyak uang. Dalam dompet tersebut terdapat juga identitas pemiliknya. Orang
tersebut dihadapkan pada pilihan: mengambil uang tersebut untuk diri sendiri atau
mengembalikan kepada pemiliknya. Karena orang tersebut memiliki kebebasan, ia
dapat menentukan sendiri keputusannya. Dengan kebebasannya, ia memutuskan
sendiri tindakannya: apakah mengambil atau mengembalikan uang tersebut kepada
pemiliknya.
Kedua, ketika orang berhadapan dengan dua pilihan yang bobot nilainya
positifnya kurang lebih sama. Sebelum menentukan pilihan dan memutuskan, tentu
orang akan mempertimbangkan pro kontranya. Orang tersebut tentu memikirkan dari
keduanya itu mana nilai positif yang lebih banyak dan itulah yang dia putuskan.
Keputusan tersebut datang dari dalam diri sendiri bukan ditentukan oleh faktor
eksternal seperti kondisi biologis ataupun faktor sosial lainnya. Jadi, manusia tetap
memiliki kebebasan dan dengan kebebasannya manusia dapat menentukan pilihan.
Ketiga, adanya tanggung jawab pribadi. Setiap orang bertanggung jawab atas
tindakannya. Orang lain dapat menuntut tanggung jawab dari kita atas apa yang kita
lakukan karena kita memiliki kebebasan. Adanya tanggung jawab mengandaikan
adanya kebebasan.
Keempat, sistem peradilan pun mengandaikan adanya kebebasan. Tingkat
hukuman yang diberikan kepada orang yang melakukan pelanggaran hukum
berhubungan dengan kebebasannya. Orang yang melakukan pelanggaran hukum
karena dipaksa, tentu berbeda hukumannya dengan orang yang dengan sadar dan
bebas sengaja melakukan tindakan tersebut. Kebebasan seseorang menjadi bahan
pertimbangan dan penentu dalam menjatuhkan hukuman.
Kelima, dari sudut pandang moral Immanuel Kant. Kehidupan moral tidak akan
berarti apa-apa manakala tidak disertai dengan kebebasan. Seseorang melakukan
sesuatu secara moral kalau ia memiliki kebebasan untuk menolak dan menerima
tindakan tersebut.

7. 4. Pengertian Kebebasan
Kebebasan berarti kemampuan manusia untuk mengambil keputusan sendiri.
Dengan kata lain kebebasan berarti kesanggupan seseorang untuk memilih dan
memutuskan sendiri apa yang harus dilakukan. Kebebasan seperti ini disebut juga
kebebasan eksistensial, yaitu kemampuan manusia untuk menentukan tindakannya
sendiri. Karena itu kata yang dipakai adalah "bebas untuk". Manusia “bebas untuk”
bertindak.
Kebebasan eksistensial mencakup kebebasan jasmani dan kebebasan rohani.
Kebebasan jasmani berarti seseorang bebas untuk menentukan sendiri apa yang akan
dilakukan secara fisik. Dengan kata lain, kebebasan jasmani berarti kemampuan
manusia untuk menggerakan anggota badannya. Sedangkan kebebasan rohani berarti
kemampuan seseorang untuk berpikir sendiri. Kedua kebebasan tersebut saling
berhubungan. Kebebasan rohani menjadi dasar kebebasan jasmani. Artinya, orang
berpikir dahulu sebelum mewujudkannya dalam suatu tindakan.
Kebebasan juga dapat dimengerti sebagai suatu suatu keadaan di mana tidak ada
hambatan atau larangan dari pihak luar. Kebebasan dalam arti ini disebut kebebasan
sosial. Kebebasan sosial dapat dipahami sebagai “bebas dari” pembatasan tindakan
yang dilakukan secara paksa atau sengaja oleh orang lain.
Orang lain atau masyarakat boleh membatasi kebebasan manusia dengan dasar
bahwa setiap manusia memiliki kebebasan yang sama. Karena setiap manusia
memiliki kebebasan, maka kebebasan itu harus diatur atau dibatasi. Alasan lain dalam
pembatasan kebebasan manusia adalah demi tercapainya tujuan bersama dalam
masyarakat. Tanpa adanya pembatasan kebebasan, tujuan bersama masyarakat sulit
tercapai.
Masyarakat dapat membatasi anggotanya dengan berbagai cara. Pertama,
pembatasan kebebasan jasmani dengan cara paksaan. Dalam hal ini, orang yang lebih
kuat melakukan paksaan fisik kepada orang lainnya, sehingga tidak mampu
menggerakkan anggota badannya. Misalnya dengan cara: memasung, memborgol,
memenjara, dan sebagainya. Kedua, pembatasan kebebasan rohani dengan cara
tekanan. Artinya orang lain secara sadar mempengaruhi pemikiran orang lain.
Akibatnya orang tersebut tidak mampu berpikir sendiri. Cara yang dipakai bisa
dengan sugesti, hipnotis, cuci otak, dan sebagainya. Ketiga, pembatasan kebebasan
normatif dengan cara memberi larangan dan kewajiban. Pembatasan ini dilakukan
melalui peraturan dan perintah.
Dari ketiga pembatasan itu yang dibenarkan secara moral adalah pembatasan
normatif. Pembatasan normatif tidak mematikan kebebasan eksistensial seseorang.
Adanya peraturan dan larangan tidak membuat orang tidak dapat berpikir dan
bertindak sendiri. Hal itu berbeda dengan pembatasan jasmani dan rohani yang
membuat orang tidak mampu berpikir dan bertindak sendiri. Dalam pembatasan
normatif, orang masih dapat berpikir untuk memilih melanggar peraturan atau tidak.
Setelah berpikir, dia akan mewujudkannya dalam suatu tindakan nyata. Misalnya,
larangan merokok di kampus. Dalam hal ini, orang bisa saja tidak mematuhinya.
Pembatasan kebebasan normatif dapat diterima karena menghargai martabat manusia,
yang mampu berpikir dan bertindak sendiri.

7. 5. Kebebasan dan Tanggung Jawab


Kebebasan dan tanggung jawab berhubungan erat. Semakin orang bertanggung
jawab, semakin ia bebas. Orang yang bertanggung jawab berarti orang yang mengerti
kewajibannya dan melaksanakannya. Sebaliknya, orang yang menyadari
kewajibannya, tetapi tidak mau melaksanakannya disebut orang tidak bertanggung
jawab. Orang tidak bertanggung jawab karena karena ia dikuasai oleh dorongan-
dorongan irasional, seperti malas, takut, marah, iri, cemburu, dan sebagainya. Semakin
orang tidak bertanggung jawab, semakin ia dikuasai oleh dorongan irasional tersebut.
Artinya ia semakin tidak bebas dari dorongan irasional dan tidak bebas untuk
mewujudkan nilai-nilai hidup. Sebaliknya semakin orang bertanggung jawab, setia
selalu melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya, semakin ia bebas dari dorongan
irasional dan semakin bebas pula untuk mengejar nilai-nilai hidup yang lebih tinggi.

7. 6. Kebebasan Manusia Berhadapan dengan Yang Transenden


Kalau manusia mengakui bahwa hidupnya di dunia ini diciptakan oleh Yang
Ilahi, Yang Mahakuasa, timbul pertanyaan apakah manusia masih memiliki kebebasan
berhadapan dengan Yang Kuasa tersebut. Apakah hidup manusia itu sungguh bebas?
Artinya hidup manusia sepenuhnya ditentukan oleh manusia sendiri atau Allah, Yang
Mahakuasa, yang menentukan hidup manusia?
Permasalahan tersebut bertolak dari pandangan bahwa kekuasaan Allah dan
kebebasan manusia dapat diperbandingkan. Kemahakuasaan Allah dianggap tidak
memberikan ruang pada kebebasan manusia.
Berkaitan dengan kemahakuasaan Allah dan kebebasan manusia, cara berpikir
yang harus dibongkar adalah pengandaian bahwa Allah dan manusia bersaing dalam
tingkatan yang sama. Sang Pencipta dan ciptaan tidak pernah pada level yang sama.
Manusia sebagai ciptaan, seluruh eksistensi dan kegiatannya, ditunjang dan tergantung
pada Penciptanya yaitu Allah. Dengan kata lain, Allah memberdayakan ciptaan-Nya,
bukan memperdayakannya. Menciptakan berarti memberi daya kepada ciptaan.
Ketergantungan manusia kepada Pencipta tersebut berarti memberi daya pada manusia
untuk semakin serupa dengan-Nya. Makin manusia tergantung pada Pencipta, makin
manusia bebas untuk melaksanakan kehendak-Nya. Makin kemahakuasaan Allah
berada dalam manusia, makin manusia mampu untuk menentukan dirinya sendiri
dengan bebas. Ia semakin diberdayakan oleh kemahakuasaan Allah. 88 Tuhan
menciptakan manusia untuk memberdayakan manusia sehingga bisa menjawab
sapaan-Nya dengan bebas.
Berkaitan dengan persoalan kebebasan manusia di hadapan Allah, pertama-
tama kita harus menyadari bahwa bagaimanapun juga manusia dan Allah adalah
hubungan antara makhluk dan Penciptanya. Sebagai ciptaan, manusia mau tidak mau
tunduk kepada Penciptanya. Allah, Sang Pencipta berkuasa penuh atas ciptaan-Nya. Ia
bisa menentukan kelahiran, keadaan, dan kematian ciptaan. Dalam hal ini, manusia
sebagai ciptaan-Nya mau tidak mau hanya bisa menerimanya. Manusia tidak bisa
menolaknya.
Apakah dengan demikian berarti Allah telah menentukan manusia, sehingga
manusia tidak lagi memiliki kebebasan? Dalam beberapa hal manusia memang telah
“ditentukan” oleh Pencipta-Nya, namun manusia tetap makhluk yang bebas. Ia
mampu menentukan pilihan dan hidupnya sendiri, berkat roh, akal budi, dan kehendak
bebas yang dimilikinya.

88
Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, hal. 214.
Roh membimbing dan mengarahkan manusia pada kebaikan dan kebenaran. Ia
menghantar manusia untuk bersatu dengan Allah, Sang Kebaikan dan Kebenaran
sejati sehingga manusia mengalami kebahagiaan.
Dengan akal budinya manusia tahu yang baik dan yang jahat. Manusia tahu
mana yang berkenan kepada Allah dan mana yang tidak. Ia tahu mana yang benar dan
yang salah. Dengan akalnya, manusia dapat membedakan mana tujuan dan mana
sarana. Dengan pikirannya juga manusia dapat menimbang-nimbang dan memilih
dalam hidup ini. Kemampuan manusia memilih secara tepat sangat menentukan
tercapainya tujuan hidupnya.
Selain roh dan akal budi, Allah juga memberi kehendak bebas kepada manusia.
Manusia dengan kehendak bebasnya mampu menentukan pilihannya sendiri. Allah
tidak pernah memaksa manusia. Manusia bebas memutuskan sendiri: apakah ia mau
mengikuti Allah atau tidak. Roh, akal budi, dan kebebasan merupakan kekhasan
manusia. Ciptaan lain tidak mempunyai ketiga hal tersebut.
Akhirnya, manusia melaksanakan keputusan bebasnya tersebut dalam suatu
tindakan nyata. Setiap tindakan manusia merupakan perwujudan dari kerohanian
manusia. Artinya setiap tindakan kita merupakan hasil keputusan bebas yang kita
ambil setelah melalui proses pemikiran yang matang. Karena itulah setiap tindakan
manusia menjadi bernilai. Setelah bertindak, manusia harus siap untuk bertanggung
jawab, orang harus siap menanggung risikonya.
“Manusia jatuh ke dalam dosa” yang diceritakan dalam Kitab Kejadian 3
memberi gambaran yang bagus tentang kebebasan manusia. Dalam kisah tersebut
tergambar jelas, bagaimana proses pemikiran, pilihan, dan keputusan yang diambil si
perempuan. Akhirnya, disajikan juga gambaran mengenai akibat dari keputusan salah
yang diambilnya. Pikiran perempuan dalam kisah tersebut dihadapkan pada pilihan
antara makan buah terlarang atau tidak. Makan buah terlarang berarti tidak setia
kepada Allah; tidak makan berarti setia kepada Allah. Pertimbangan ini masuk ranah
akal budinya. Masih berkaitan dengan akal budinya, si perempuan menjatuhkan suatu
pilihan untuk makan.
Setelah menimbang-nimbang dan memilih, akhirnya perempuan itu
memutuskan untuk makan. Keputusan tersebut dilakukan dengan sadar dan bebas,
tidak ada yang memaksa. Meskipun si perempuan menyalahkan si ular seolah-olah ia
yang memaksanya makan buah terlarang, bagaimanapun juga perempuan tersebut
tetap bebas untuk menolaknya. Dengan demikian, perempuan tersebut dengan sadar
dan bebas telah memilih untuk tidak setia kepada Allah. Ia dengan kehendak bebasnya
memilih meninggalkan Allah, yang adalah Kasih. Akibat memilih hidup di luar Kasih,
maka manusia mengalami penderitaan. 89

7. 7. Panggilan Manusia Bebas: Berbagi Kebaikan


Sebagai ciptaan Allah paling mulia, manusia dipanggil untuk menghadirkan
Allah Yang Mahabaik di dunia ini. Panggilan manusia tersebut menyangkut tiga
aspek:
Segi pertama adalah relasi manusia dengan Allah. Manusia dimungkinkan
berelasi dan berkomunikasi dengan Allah karena manusia mempunyai roh atau spirit
dalam dirinya. Roh tersebut berasal Allah sendiri. Manusia tidak hanya makhluk
jasmani saja, tetapi juga makhluk spiritual, yang mampu menjalin persahabatan dan
berkomunikasi dengan Penciptanya. Manusia dipanggil untuk mendekatkan diri dan
bersatu dengan Allah, Sumber Kebaikan. Dengan demikian, kita dapat memancarkan
kebaikan Allah di tengah dunia ini. Manusia dipanggil untuk memantulkan cahaya
Kebaikan Ilahi. Melalui kebaikan manusia, Allah dimuliakan.
Segi kedua menyangkut relasi dengan sesama manusia. Semua manusia
mempunyai martabat yang sama karena berasal dari Pencipta yang sama. Apabila kita
menyadari bahwa keluhuran martabat manusia itu berasal dari Allah yang
menciptakannya, bahwa manusia adalah karya tangan Allah, maka tak seorangpun
boleh ditundukkan demi kepentingan manusia lain. Karena manusia bernilai, maka
tidak boleh dikorbankan demi kepentingan apa pun atau siapa pun. Kita harus
menghargai hak-hak manusia dan menyadari tanggung jawab sosial kita. Tidak ada
lagi tempat untuk penindasan, pembunuhan, euthanasia, aborsi, suicide, genocide,
penyiksaan, diskriminasi, kekerasan, ataupun ketidakadilan di antara manusia. Karena
semua itu merendahkan martabat pribadi manusia.

89
Joko Suyanto, Beriman dalam Konteks, hal. 16-18
Segi ketiga adalah relasi manusia dengan ciptaan lainnya. Dibanding ciptaan
lainnya, manusia adalah makhluk paling mulia. Karenanya manusia dipercaya Tuhan
untuk mengelola dan merawat alam. Sebagai wakil Allah di dunia, manusia
berkewajiban untuk memelihara dan melestarikan alam ciptaan-Nya. Lingkungan
alam merupakan rumah kita. Kerusakan lingkungan alam berarti kehancuran manusia
sendiri. 90
Apa dasarnya manusia harus berbuat baik? Manusia hidup karena kebaikan.
Tanpa kebaikan atau kasih. Manusia tidak bisa hidup. Kasih itu pertama-tama dari
Allah yang menghendaki kita hidup dengan perantaraan kedua orang tua. Selanjutnya
kita hidup karena kasih dan kebaikan dari sesama kita, seperti orang tua, keluarga,
para guru dan dosen, juga masyarakat sekitar. Kita hidup juga karena ditopang oleh
alam yang menyediakan kebutuhan hidup kita. Karena kita telah menerima kasih dan
kebaikan, maka sudah selayaknya kalau hidup kita untuk kasih dan kebaikan.

PERTANYAAN REFLEKTIF:
3. Apakah hidup manusia di dunia ini telah ditentukan oleh Allah sehingga manusia tidak
memiliki kebebasan lagi? Berikan argumentasi dan contoh-contohnya!
4. Mengapa kita harus memakai kebebasan kita untuk memilih dan memutuskan yang
baik?

KEGIATAN:
Diskusikanlah dalam kelompok: sesungguhnya manusia itu memiliki kebebasan atau tidak?
Jelaskan dari sudut pandang agama Anda masing-masing!

90
Joko Suyanto, Beriman dalam Konteks, hal.9-11

Anda mungkin juga menyukai