Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

BUDAYA MANUSIA DAN PENGALAMAN TRANSENDENTAL


Tujuan:
1. Menjelaskan pengertian budaya dan kepercayaan (C2, C3).
2. Menjelaskan pengaruh religiositas pada perilaku (C2).
3. Memahami dan menjelaskan hubungan antara religiositas dan agama (C2).

1.1. Pengantar
Manusia berkat jiwanya memiliki keterarahan dan kerinduan akan yang transenden, yang disadari sebagai
“kekuatan dan kekuasaan” di luar manusia. Keterbatasan dengan diri sendiri, sesama manusia, dan alam menyadarkan
tentang Yang Lain Yang Tidak Terbatas, yang kekuatan dan kekuasaan-Nya melebihi manusia hal ini membuat manusia
mampu mengatasi segala keterbatasan manusia.
Keterbatasan manusia paling nyata pada aspek kejasmaniannya, manusia bisa lapar, haus, capai, sakit, menjadi
tua, dan akhirnya mengalami kematian. Dalam keterbatasannya itu, manusia menyadari adanya Yang Lain, yang bukan
“aku”, juga bukan “sesama manusia”, dan bukan “alam”. Yang Lain itu jauh lebih kuat dan berkuasa daripada manusia
sendiri. Ia disadari sebagai yang menentukan manusia. Berhadapan dengan Diri-Nya, manusia mengalami ketergantungan
mutlak kepada-Nya.
Kesadaran dan pengalaman manusia akan adanya “Kekuatan” di luar dirinya tersebut tidak sama dari zaman ke
zaman. Hal itu berkaitan dengan tingkat pengetahuan dan kebudayaan yang ada. Pada bab 1 ini, kita akan membahas
tentang sikap religius dalam masyarakat primitif.

1. 2. Kebudayaan Manusia
Kata “kebudayaan” Sanskerta buddhayah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Ada pula yang
menjelaskan kata “budaya” berasal dari kata budi-daya, yang artinya daya dari budi.

Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Karena itu, terdapat tiga wujud
kebudayaan yaitu:

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan. Wujud
kebudayaan ini tempatnya dalam pikiran warga masyarakat. Ide-ide dan gagasan tersebut membentuk suatu
sistem, maka disebut sistem budaya (cultural system) atau adat. Wujud kebudayaan ini sering disebut kebudayaan
ideal. Ia memberi jiwa pada masyarakat.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
Wujud kebudayaan ini disebut juga sistem sosial (social system). Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas
manusia yang saling berinteraksi satu dengan yang lain menurut pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan.
Sistem sosial ini bersifat konkret.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ketiga dari kebudayaan ini disebut
kebudayaan fisik karena berupa seluruh hasil aktivitas manusia dalam suatu masyarakat. Wujud ini merupakan
wujud kebudayaan paling kokret.
Ketiga wujud kebudayaan tersebut tidak terpisahkan satu dengan yang lain, tetapi saling berhubungan. Kebudayaan
ideal mengatur dan memberi arah pada tindakan dan karya manusia. Sebaliknya karya manusia mempengaruhi cara
berpikir dan bertindak manusia. hubungan antara kebudayaan dan manusia. Di satu sisi kebudayaan merupakan
ciptaan manusia berkat akal budinya, di sisi lain kebudayaan fisik yang telah diciptakan tersebut menjadi otonom dan
berbalik mempengaruhi manusia. Dalam konteks ini pula kita bisa melihat bahwa kebudayaan dapat berubah dan terus
berkembang selama manusia terus berpikir untuk mencipta.
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan memiliki tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi
sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, serta kesenian. Tentu saja dalam tiap
unsur kebudayaan tersebut mewujud dalam tiga wujud kebudayaan, yaitu sistem budaya, sistem sosial, dan kebudayaan
fisik. Misalnya berkaitan dengan sistem religi wujud sistem budayanya (ide-ide) tampak pada sistem keyakinan, gagasan
tentang Tuhan, dewa-dewi, roh-roh, sorga, neraka, dan sebagainya. Wujud sistem sosialnya (tindakan) berupa upacara-
upacara atau ritus keagamaan. Wujud fisik dari sistem religi tampak dalam benda-benda suci yang dihasilkan untuk
peribadatan.

1. 3. Berbagai Kepercayaan dalam Budaya Kuno


“budaya kuno” adalah orang-orang pada zaman pra-sejarah. bisa menggunakan akal budi dan beraktivitas untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya serta menghasilkan benda tertentu, tetapi belum bisa baca tulis ( masyarakat primitive )
Mariasusai Dhavamony menjelaskan berbagai macam kepercayaan dalam masyarakat primitif:
a. Animisme kepercayaan kepada makhluk-makhluk adikodrati yang dipersonifikasikan. Perwujudannya dari Roh yang
Mahatinggi hingga pada roh halus, roh lelulur, dan roh dalam objek-objek alam. Kepercayaan pada roh tersebut
muncul sebagai kebutuhan untuk menangkal kejahatan, menghilangkan musibah, atau menjamin kesejahteraan
manusia.
b. Pra-Animisme atau Animatisme/dinamisme Animatisme mendahului animisme sebab bentuknya lebih sederhana
daripada animisme. Animatisme berpandangan bahwa di dunia ini ada daya pembaharu yang tersebar di mana-mana
sebelum mempribadi sebagai makhluk-makhluk rohani yang terpisah. Sebagai suatu kepercayaan, animatisme berarti
suatu daya atau kekuatan supernatural yang terdapat pada pribadi tertentu, binatang, dan benda-benda. Daya ini
bersifat adikodrati dan tak berpribadi.
c. Totemisme fenomena yang menunjuk hubungan suatu suku bangsa atau klan dengan suatu spesies hewan atau
tumbuhan tertentu. Totemisme merupakan sistem kepercayaan dan praktik yang mewujudkan hubungan mistis antara
anggota kelompok masyarakat dan jenis binatang atau tumbuhan tertentu. Totemisme diungkapkan dalam upacara-
upacara dan peraturan-peraturan khusus. Totemisme mengandung perintah-perintah yang dijunjung tinggi, misalnya
tidak boleh membunuh atau makan daging binatang totem atau merusak tumbuhan totem. Para anggota klan percaya
bahwa mereka berasal dari leluhur totem yang sama. Mereka menggunakan totem sebagai simbol kelompok sekaligus
sebagai pelindung kelompok.
Dalam upacara totem, kepentingan religius yang paling utama adalah pengaktualisasian identitas antara totem dan
klan. Hormat pada binatang / tumbuhan totem diungkapkan masing-masing individu dalam hubungannya dengan
masyarakat klan. Hal itu kemudian menjadi sumber dari tradisi moral dan makanan masyarakat. Totemisme merupakan
sistem masyarakat yang tidak hanya menyatukan antarmanusia, tetapi juga manusia dengan lingkungannya.

d. Urmonoteisme/ Henoteisme keyakinan kepada satu Tuhan tanpa mengingkari adanya dewa lain dan makhluk halus
Menurut Pater Wilhelm Schmidt dalam masyarakat primitif telah terdapat suatu kepercayaan akan yang
Mahatinggi sebagai pencipta dan pemberi hukum. Yang Mahatinggi tersebut dikenal sebagai dewa tertinggi atau bapa
segala sesuatu dari suku yang bersangkutan. Hampir semua agama primitif memiliki ide mengenai Yang Mahatinggi atau
dewa tertinggi. Dewa tertinggi itu diyakini oleh klan sebagai pencipta, mahatahu, pembuat aturan tentang hubungan
antarmanusia.

e. Pemujaan terhadap Leluhur


Pemujaan leluhur merupakan suatu kumpulan sikap, kepercayaan, dan praktik berhubungan dengan pendewaan
terhadap orang-orang yang sudah meninggal dalam suatu hubungan kekeluargaan. Di balik sikap tersebut terdapat
keyakinan bahwa leluhur yang telah meninggal masih hidup dalam wujud lain dan bisa campur tangan dalam kehidupan
manusia di dunia. Oleh karena itu, ia harus ditenangkan dan disejahterakan.
Dasar umum dari pemujaan leluhur ini adalah struktur keluarga dan pertalian keluarga. Secara tidak langsung
pemujaan leluhur berfungsi sebagai pengikat anggota masyarakat dengan aturan tingkah laku moral. Misal, seseorang
tidak mengindahkan norma-norma tradisi. Ia akan dipandang sebagai penyebab kemarahan roh-roh leluhur dan dapat
mendatangkan bencana bagi diri sendiri maupun kelompok.
1. 4. Peran Mitos dalam Kepercayaan
Mitos merupakan cerita atau sesuatu yang dikatakan seseorang. Mitos mengandung pernyataan atas suatu
kebenaran tentang realitas asali. Masyarakat suku menyampaikan pengetahuan tentang mitos hanya untuk orang-orang
yang sudah diinisiasi. Mitos mengisahkan sejarah, sejumlah peristiwa yang terjadi di masa lalu yang jauh dan luar biasa.
Para pelakunya adalah para dewa atau makhluk adikodrati. Mitos digunakan untuk mempengaruhi masyarakat secara
langsung dan mengubah kondisi manusia. Mitos menceritakan bagaimana suatu keadaan menjadi sesuatu yang lain:
bagaimana dunia yang kosong menjadi berpenghuni, bagaimana situasi yang kacau menjadi teratur, dan sebagainya. Mitos
tidak hanya menceritakan asalmula dunia, binatang, tumbuhan, dan manusia, tetapi juga kejadian-kejadian awal yang
menyebabkan manusia menemukan dirinya ada seperti sekarang ini.
Mitos sangat penting dalam masyarakat primitif. Dengan menghayati mitos lewat ucapaca ritual, seseorang bisa
meniru dan menghadirkan kembali makhluk-makhluk ilahi dan aktivitas mereka. Mitos merupakan kisah yang diceritakan
untuk mengungkapkan kepercayaan tertentu, berperan sebagai peristiwa pertama dalam suatu ritus, dan sebagai model
tetap dari perilaku moral dan religius. Karena itu, mitologi dari suatu masyarakat selalu terjalin dengan kebudayaan
mereka. Mitos menyuarakan keyakinan masyarakat yang bersangkutan. Mitos juga menentukan ritus, peraturan sosial, dan
sebagai model tetap dari tingkah laku moral mereka. Singkatnya, mitos dalam masyarakat primitif berfungsi untuk
mengungkapkan dan merumuskan kepercayaan, melindungi dan memperkuat moralitas, menjamin ritus, dan memberi
peraturan-peraturan praktis untuk tuntunan hidup manusia. Jadi, mitos merupakan suatu kekuatan yang mampu menata
masyarakat.
Menurut Malinowski, mitos dalam masyarakat primitif bukanlah semata-mata cerita yang dikisahkan, tetapi juga
merupakan kenyataan yang dihayati. Mitos merupakan daya aktif di dalam kehidupan masyarakat primitif. Mitos menjadi
penghubung antar institusi-institusi sosial yang ada.
Bagi Mircea Eliade, mitos selalu berkaitan dengan penciptaan. Mitos menceritakan bagaimana segala sesuatu
dijadikan atau memulai adanya. Mitos merupakan sejarah suci. Karena itu, menceritakan mitos berarti menyingkapkan
sebuah misteri. Sejauh menceritakan tindakan para dewa dan para makhluk adikodrati, mitos menjadi misteri dan sejarah
yang suci.
Mitos mengisahkan sejarah suci, serentetan peristiwa yang terjadi pada awal mula. Mitos menceritakan perbuatan
dan tindakan para makhluk adikodrati pada awal mula yang menyebabkan dunia menjadi ada sebagaimana sekarang ini.
Para makhluk adikodrati itu bertanggung jawab atas segala sesuatu yang ada sekarang, karena semua kenyataan yang ada
sekarang merupakan akibat dari tindakan mereka pada awal mula.
Mengingat mitos berkaitan dengan kata-kata dan tindakan makhluk-makhluk adikodrati, mereka pun dijadikan
teladan untuk ditiru dan diulang kembali oleh manusia. Para makhluk adikodrati ini tidak hanya mengadakan alam
semesta, tetapi juga memberikan pola ideal bagi manusia untuk ditiru sehingga membentuk perilaku mereka dalam
keluarga dan masyarakat. Untuk bertindak sebagai manusia yang penuh tanggung jawab, maka manusia harus menirukan
dan mengulang tindakan mereka.

1. 5. Pengalaman akan Yang Kudus dalam Masyarakat Primitif


Pengertian Yang Kudus dapat dibedakan secara luas dan sempit. Pengertian secara luas, Yang Kudus adalah
sesuatu yang terlindung dari pelanggaran, pengacauan atau pencemaran. Yang Kudus adalah sesuatu yang dihormati,
dimuliakan, dan tidak dapat dinodai. Dalam arti ini Yang Kudus tidak hanya terbatas pada agama. Dalam arti sempit Yang
Kudus adalah sesuatu yang dilindungi khususnya oleh agama terhadap pelanggaran, pengacauan, dan pencemaran. Yang
Kudus adalah sesuatu yang suci dan keramat. Yang Kudus merupakan sesuatu yang tidak boleh dan tidak dapat disentuh
oleh yang profan tanpa mengakibatkan hukuman.
Pengertian Yang Kudus pada suku-suku primitif dapat digambarkan sebagai sesuatu Luar Biasa, Misterius, atau
Adikodrati (supernatural). Sedangkan jawaban religius manusia tampak pada rasa kagum dan terpesona terhadap yang
Adikodrati, Luar Biasa, Mengerikan, Kudus, Suci, Ilahi tersebut. Perasaan-perasaan takut, terpesona, hormat, penolakan,
dan ketertarikan adalah suatu rasa misterius. Orang primitif sadar bahwa Yang Kudus adalah sesuatu yang lain daripada
biasanya. Ia lain daripada hal-hal yang sudah biasa baginya.
Yang Kudus tidak terpisahkan dari yang profan. Dalam dan melalui yang profan itulah Yang Kudus menyatakan
dirinya. Dengan menampakan kekudusan, objek profan menjadi sesuatu yang lain, yaitu Yang Kudus. Misalnya, sebuah
batu suci tetaplah sebuah batu, tidak berbeda dengan batu lainnya. Tetapi ketika dihubungkan dengan kegiatan religius, ia
menjadi sebuah objek yang suci. Batu tersebut memperoleh kualitas lain yaitu suci.
Bagi masyarakat primitif seluruh kosmos terbuka kepada Yang Kudus (kosmovitalisme). Objek apa pun dianggap
sebagai hierofani yaitu penampakan dari Yang Kudus. Matahari dinilai kudus karena mengungkapkan kekuasaan,
keagungan, dan kecemerlangan. Pokoknya segala sesuatu di dunia dimaknai sebagai penampakan dari Yang Kudus.
Benda, manusia atau binatang yang menjadi tempat hierofani menjadi keramat, menjadi sesuatu yang lain dari benda-
benda lain yang serupa. Penampakan yang suci dapat terjadi kapan saja dan lewat apa saja.
Kepekaan manusia menangkap kehadiran Yang Kudus dalam pengalaman dunia dapat terjadi karena manusia
memiliki sensus religiosus dalam struktur kejiwaan manusia. Berkat sensus religiosus ini manusia dapat mengalami hal-
hal duniawi sebagai tanda dari Yang Kudus.
Rudolf Otto dalam bukunya Das Heilige (The Idea of the Holy) menganalisis struktur pengalaman religius manusia.
Dalam pengalaman religius, manusia mengalami Yang Kudus sebagai suatu "misteri", sesuatu yang tidak dapat dipahami,
tidak terselami karena berlainan sekali dengan manusia. Dalam pengalaman religius, Yang Kudus hadir sebagai
Mysterium tremendem et fascinans, yaitu sebagai misteri yang menakjubkan, menakutkan dan sekaligus menarik dan
mempesona.
Pengalaman religius merupakan bentuk pengetahuan yang lain dari pada biasanya. Pengalaman religius ini bukanlah
pengetahuan yang dapat dipahami secara rasional karena Yang Kudus adalah suatu ‘misteri’ yang tidak dapat sepenuhnya
dimengerti oleh akal manusia.
Yang Kudus merupakan objek pengalaman religius. Secara konkret, Yang Kudus dapat dipahami sebagai: satu
dewa yang mahatinggi, dewa-dewa, hal-hal supernatural, arwah-arwah leluhur yang dituhankan, orang-orang dan objek-
objek yang disucikan, ritual-ritual dan mitos-mitos.

1. 6. Religiositas Sebagai Dasar Hidup Beragama


Pengetahuan religius dan pengalaman religius merupakan dua hal yang berbeda, namun kedua hal tersebut sangat
erat kaitannya dan tidak dapat terpisahkan. Berkat pengetahuan dan pengalaman akan Yang Kudus itu terciptalah
religiositas. Religiositas merupakan rasa dan kesadaran manusia akan hubungan dan ikatan manusia dengan Yang Kudus.
Apakah religiositas sama dengan agama? Tentu saja religiositas tidak sama dengan agama. Religiositas
merupakan asal muasal lahirnya agama. Setelah agama terbentuk, religiositas berperan sebagai jiwa, semangat, dan roh
dari agama. Religiositas menjadi inti suatu agama yang tidak dapat ditinggalkan.
Kehidupan beragama tanpa didasari religiositas menjadi kurang bermakna karena terlepas dari Yang Kudus.
Dampaknya kelihatan dalam bidang dogma, ibadat, moral, dan kelembagaan agama itu sendiri.
Dalam bidang dogma, ajaran-ajaran agama tidak ada bedanya dengan ajaran ideologi. Ajarannya terasa kaku,
tertutup, dan ekslusif. Mereka tidak mempedulikan substansi dogma yang bersangkutan dan pemahaman baru yang
mungkin. Mereka tidak bisa menyesuaikan dogma dengan perkembangan zaman. Iman akan Yang Kudus memang tidak
berubah, tetapi pengungkapan dan perwujudannya dimungkinkan untuk berubah karena perubahan zaman. Mereka
mengganggap ajaran agama dan penafsirannya paling benar dan berlaku selamanya. Akibatnya orang tidak bisa menerima
orang lain yang berbeda agama dan keyakinan dengannya. Dengan demikian dogma tidak memberi pencerahan dan
tuntunan hidup, tetapi justru menjadi sumber perpecahan umat manusia.
Berkaitan dengan peribadatan, orang beragama mudah jatuh ke dalam kemunafikan dan formalisme bila tidak
didasari religiositas. Orang yang penting menjalankan aturan agama dengan rajin beribadat. Mereka beribadat bukan
untuk meningkatkan relasi dan komunikasi dengan Yang Kudus, tetapi untuk memenuhi aturan agama. Bisa juga terjadi
orang rajin beribadat supaya dilihat dan dipuji orang lain sebagai orang baik. Jadi, doa dan peribadatan menjadi
kehilangan substansinya, yaitu menjalin relasi dan kesatuan dengan Yang Kudus.
Karena dilepaskan dari religiositas, moral agama pun menjadi aturan dan larangan yang tidak ada hubungannya
dengan Yang Kudus. Melaksanakan ajaran moral bukan sebagai pelaksanaan kehendak Yang Kudus, tetapi supaya dapat
ganjaran. Demikian juga orang tidak melanggar perintah agama, bukan karena sadar hal itu merusak hubungan dengan
Yang Kudus, tetapi karena takut hukuman. Dengan demikian, tidak adanya religiositas dalam kehidupan beragama
memungkinkan orang menghayati moralitas secara rendah. Orang tidak mampu menghayati moralitas sebagai bentuk
partisipasi pada Yang Kudus.
Lembaga keagamaan merupakan sarana pengembangan dogma, ibadat, dan moral. Namun bila dilepaskan dari
religiositas, lembaga agama dapat menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Lembaga agama tidak ada bedanya dengan
organisasi kemasyarakatan lainnya. Agama sibuk dengan aspek orgnisasi manusiawinya, tetapi kehilangan inti
religiositasnya.
Agama yang kehilangan religiositasnya membuat agama kehilangan daya pikatnya dalam kehidupan masyarakat.
Agama tidak mampu menghasilkan buah-buah kebaikan, keadilan, kesejahteraan bagi masyarakatnya. Agama juga tidak
mampu memberi inspirasi dan motivasi bagi umatnya untuk meningkatkan kualitas hidupnya sehingga semakin bermakna
bagi masyarakat.
Agama tanpa religiositas dapat mengubah agama menjadi suatu ideologi yang memperjuangkan kepentingan di
luar agama. Agama yang dijadikan ideologi dipakai untuk menggerakan massa demi mencapai sesuatu yang tidak
berhubungan dengan agama. Dengan menggunakan sentimen agama, kelompok memotivasi dan mendorong orang-orang
seagama agar ikut bergabung dalam kelompok dan berjuang bersamanya. Karena agama menjadi ideologi, para penganut
agama merasa diri paling benar, bersifat eksklusif, tidak toleran terhadap pihak lain yang berbeda pandangan dengan
mereka.

1. 7. Penutup
Dalam masyarakat primitif, orang telah memiliki berbagai macam kepercayaan akan adanya kekuatan di luar
dirinya. Kekuatan tersebut dipahami berbeda-beda sesuai dengan kepercayaan mereka.
Berkaitan dengan kepercayaan tersebut dibangun pula mitos-mitos yang merupakan kisah suci. Mitos berfungsi
untuk merumuskan kepercayaan, sekaligus juga menjadi panduan hidup bersama dalam masyarakat.
Kepercayaan mereka dibangun atas pengalaman akan Yang Kudus yang hadir dalam mistery tremendum et
fascinant (misteri yang menggetarkan dan mempesona). Inilah pengalaman religius.
Pengalaman religius disertai dengan pengetahuan religius menjadi religiositas. Religiositas inilah inti dari setiap
kepercayaan dan agama. Kehidupan beragama tanpa didasari religiositas tidak bermakna. Orang menjalani ajaran agama,
moral, dan beribadat tanpa menghubungkannya dengan Yang Kudus sebagai intinya. Akibatnya terjadi kemunafikan
dalam praktik hidup beragama. Agama tanpa religiositas juga bisa kehilangan daya pikatnya dalam masyarakat. Selain itu,
agama tanpa religiositas bisa menjadi suatu idiologi yang memperjuangkan kepentingan di luar agama, tetapi
mengatasnamakan agama.

BAB 2
PAHAM KETUHANAN
Tujuan Pembelajaran:
1.Memahami dan menjelaskan konsep-konsep dasar tentang paham ketuhanan di dalam pelbagai agama.
2.Memhami dan menjelaskan nilai-nilai kehidupan yang diajarkan dan ditawarkan oleh agama-agama
dalam memanusiakan manusia/memujudkan manusia yang beriman (humanisme transcendental).
3.Menghargai akan adanya keanekaragaman cara manusia memahami dan menghayati
ketuhanan.
4.Menularkan spirit pluralisme berhadapan dengan bahaya radikalisme dan fanatisme.

2. 1. Pengantar
Indonesia sebagai Negara berpenduduk paling besar nomor 4 di dunia memiliki kekayaan budaya yang tersebar
dari Sabang sampai Merauke. Tidak hanya budaya dari pelbagai suku di seluruh penjuru Tanah Air, melainkan juga
keberagaman agama. Kekayaan budaya dan agama di satu pihak membanggakan, namun di lain pihak kalau tidak
disikapi dengan arif dan bijaksana, keberagaman budaya dan agama tersebut dapat menjadi pemicu konflik yang
membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Itulah sebabnya generasi muda, khususnya mahasiswa perlu memiliki wawasan yang luas mengenai agamanya,
dan juga agama-agama lain. Maka, pada bab ini disajikan materi tentang bagaimana dari sikap religius kemudian
berkembang menjadi agama-agama yang ada di dunia. Tujuannya tak lain agar mahasiswa dapat mengetahui konsep-
konsep dasar paham ketuhanan dalam pelbagai agama, menyadari keanekaragaman cara manusia menghayati ketuhanan
di dunia ini dan perkembangan penggambaran manusia tentang Tuhan dan menghormati serta menghargai adanya
keanekaragaman gambaran dan pemahaman tentang Tuhan dalam pelbagai agama, agar tidak jatuh dalam radikalisme
ataupun fanatisme.

Si Buta dan Gajah


Suatu hari ada seorang yang berbaik hati dengan mengajak 5 orang buta yang biasa mangkal di pasar untuk jalan-
jalan ke Kebun Binatang. Sampai di kandang gajah sang pawang berbaik hati dengan mengizinkan rombongan orang
buta itu untuk masuk dan “melihat” gajah secara langsung. Dengan amat suka cita mereka masing-masing mendekati
gajah dan meraba-raba si gajah.
Usai “melihat” gajah dengan penuh semangat dan keyakinan mereka masing-masing berbagi cerita tentang gajah.
Yang memegang kuping gajah mengatakan bahwa gajah itu pipih, lebar, dan licin. Sementara yang memegang perut
gajah mengatakan bahwa gajah itu bulat dan empuk. Yang memegang kaki gajah mengatakan bahwa gajah itu seperti
batang bambu. Yang memegang ekor gajah mengatakan bahwa gajah itu gilig dan kecil, sedangkan yang memegang
belalai gajah mengatakan bahwa gajah itu panjang dan gilig.
Karena masing-masing yakin dengan pengalamannya dan menganggap pendapatnyalah yang paling benar tentang
gajah akhirnya sukacita menikmati kebun binatang pun berubah menjadi kericuhan di antara mereka. Beruntung bahwa
orang yang baik hati tadi menengahi dan mengatakan bahwa di antara mereka tidak ada yang salah, tetapi juga tidak
berarti gajah itu seperti yang diungkapkan masing-masing.
Sumber: NN.

Kerap kali kita bertengkar bahkan kadang sampai saling membunuh bukan karena kejahatan orang lain, tetapi karena
kita terlalu mempertahankan kebenaran pandangan dan keyakinan yang kita anut tanpa sadar bahwa keyakinan yang
dialami dan dianut orang lain juga bukan berarti salah, apalagi memahami Tuhan yang serba tak terjangkau oleh manusia
yang serba terbatas daya tangkap maupun pengartikulasian atas pengalaman dan pemahamannya tersebut.

2. 2. Perkembangan Paham Ketuhanan


Manusia yang terbatas dalam era yang sangat awal menyadari akan adanya yang tak terbatas itu melalui fenomena
alam yang diamati dan dialaminya. Misalnya, bahwa desanya yang damai, tenang, dan sejahtera tiba-tiba harus mengalami
musibah dan bencana. Seperti adanya gunung meletus, banjir bandang, hempasan ombak laut yang dahsyat atau tsunami,
angin ribut yang sanggup mengobrak-abrik tempat tinggal manusia, gempa bumi yang meluluh-lantakkan bangunan,
hewan, ternak, dan manusia. Selagi manusia belum mampu menjelaskan gejala atau fenomena alam yang dahsyat yang
melampaui daya-daya manusia itu, mendorongnya membayangkan adanya daya yang melampaui daya kemampuan
manusiawi. Dari situlah muncul kepercayaan bahwa alam itu memiliki daya yang luar biasa yang melampaui daya-daya
manusiawi. Oleh karena itu, daya-daya alam harus dipelihara, dihormati. Maka muncullah kepercayaan yang kini kita
kenal sebagai aliran dinamisme.
Daya alam yang melampaui keterbatasan daya kekuatan manusiawi itu selanjutnya dipercaya memiliki roh,
karena ia mampu ”berbuat” sesuatu (mengamuk, menelan, membinasakan, meletus, menyembur, mengobrak-abrik, dsb.).
Itu sebabnya kemudian manusia membayangkan bahwa kekuatan alam itu sebagai sesuatu yang hidup dan karenanya juga
memiliki roh. Maka manusia mencoba membangun relasi yang baik dengan daya alam yang ber-roh itu dengan
”mengambil hati” roh alam itu dengan pelbagai pemberian yang selanjutnya kita kenal sebagai sesajian. Manusia kala itu
percaya kalau penguasa laut, gunung, bumi, langit, angin, dan sebagainya itu akan reda amarahnya bila diberi sesajian.
Praktik inilah yang kemudian melahirkan animisme.
Selanjutnya dalam kepercayaan animis itu bagian-bagian alam yang ber-roh itu diberi nama sebagai pribadi (person).
Maka muncullah kemudian nama-nama Dewa Bulan, Dewa Matahari, Dewa Bumi, Dewa Langit, Angin, Dewa Laut, dan
sebagainya dengan nama-nama yang spesifik sesuai dengan wilayah kekuasaannya. Inilah yang kemudian kita kenal
dengan istilah politeisme.
Dari politeisme untuk sampai pada monoteisme tidak serta merta terjadi begitu saja. Ada tahap yang mengantarai
keduanya, yakni henoteisme. Henoteisme ini ada 3 macam, yakni henoteisme waktu, tempat, dan koordinasi. Henoteisme
waktu adalah kepercayaan akan banyak dewa-dewi, namun pada kurun waktu tertentu yang menjadi pemimpinnya itu
berbeda-beda menurut periodisasi kekuasaannya. Henoteisme tempat adalah kepercayaan akan banyak dewa-dewi, namun
untuk tempat-tempat tertentu penguasanya adalah dewa-dewi tertentu. Inilah yang sampai kini melahirkan konsep tentang
adanya “penunggu” untuk tempat-tempat tertentu. Henoteisme koordinasi adalah kepercayaan akan banyak dewa-dewi,
namun di antara dewa-dewi itu ada yang menjadi koordinatornya.
Dari henoteisme koordinasi inilah kemudian muncul monoteisme, yang berarti kepercayaan akan adanya satu
Allah/Tuhan saja sebagaimana dipercayai di dalam agama-agama Abrahamik, seperti Yudaisme, Kristianisme, dan Islam.

2. 3. Agama-Agama di Indonesia

2. 3. 1. Aliran Kepercayaan
Aliran Kepercayaan (kebatinan) pada dasarnya mempercayai bahwa Zat Tuhan adalah juga zat manusia; sifat
Tuhan adalah sifat manusia; nama Tuhan adalah nama manusia; kekekalan Tuhan adalah kekekalan manusia, begitu juga
kasih Tuhan adalah kasih manusia. Jadi, tidak ada perbedaan antara Tuhan dengan manusia. “Manusia di dalam Allah
dan Allah di dalam manusia”.
Atma yang adalah bagian terdalam dari diri manusia, bersatu dengan Allah sebagai zat mutlak. Pada saat
meninggal dunia, manusia kembali kepada asalnya dan melebur menjadi satu dengan zat yang mutlak. Pokok Aliran
Kepercayaan (Kebatinan) adalah upaya untuk meningkatkan integrasi diri manusia. Dengan banyak melakukan latihan,
manusia berusaha untuk beralih dari keadaan semula ke tingkat yang lebih sempurna. Melalui perguruan dan pedukunan,
penganut Aliran Kepercayaan belajar cara-cara untuk memperoleh kesempurnaan hidup. Pada umumnya, mereka percaya
pada tenaga gaib,pengaruh nujum, magi, okultisme, ilmu alamat, sakti, zimat,tuah dan kualat, mantera dan rapal,
penyembuhan ajaib,mimpi aneh, penampakan. Aliran Kepercayaan dan ilmu gaib merupakan dwi tunggal yang tidak
terpisahkan.
Aliran Kepercayaan tidak mementingkan organisasi. Para anggotanya lebih merupakan suatu paguyuban dengan
mengadakan pertemuan berkala. Mereka bersatu di sekitar pemimpin kharismatis. Dalam paguyuban mereka
mengembangkan kepribadian asli, bahasa daerah, tradisi suku, gaya hidup dan kesopanan timur. Tidak puas dengan
peraturan-peraturan agama resmi, mereka mengadakan latihan-latihan untuk menerima wahyu sendiri, mendengar suara di
dalam hati, melukiskan hal yang membuat tentram dan puas.yang penting adalah unsur rasa atau pengalaman rohani
subyektif. Pengalaman itu dirasakan dalam batin, yang berada di dalam diri manusia sendiri. Tidak penting lagi perbuatan
lahir, peraturan dan hukum dari luar. Gelar, pangkat, harta benda dan kekuasaan tidak ada gunanya, karena yang paling
utama adalah bahwa manusia harus menembus dinding pancaindera untuk bersemayam pada asas terakhir dari
kepribadiannya, yaitu Roh. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila mereka suka memprotes terhadap
materialisme, kemerosotan moral, egosisme, dan sekularisme. Penganut aliran kepercayaan mengajak manusia untuk
kembali kepada kesusilaan asli, kesederhanaan nenek moyang dengan semboyan budi luhur dan sepi ing pamrih.
Untuk mencapai kesadaran diri yang damai dan tenang, penganut Aliran Kepercayaan melaksanakan samadhi, olah
rasa, mawas diri, yoga, pantang dan tapabrata. Mereka harus mampu mengekang diri, menguasai nafsu-nafsu agresif dan
nafsu seksual. Hal-hal yang lahiriah dan jasmaniah harus dikuasai. Setelah itu barulah tercapai manusia baru, budi luhur,
manusia waskita dan susila. Karena merasa jijik dengan hal-hal lahiriah dan ajaran dogmatis, bagi mereka satu-satunya
sumber pengakuan Tuhan adalah pengalaman batin manusia sendiri, ilham dari dalam dan dari suara batin manusia
sendiri.

2. 3. 2. Agama Hindu Bali


Saat ini di seluruh dunia terdapat lebih dari 800 juta pemeluk agama Hindu. Di India, yang merupakan rumah
spiritual Hinduisme, pemeluk agama Hindu berjumlah sekitar 650 juta orang. Umat Hindu percaya bahwa ada hubungan
erat antara agama, tradisi kebudayaan dan bahasa; bahkan hubungan itu tidak bisa dipisahkan. Kuil merupakan pusat
kehidupan religius. Namun demikian, kebanyakan ibadat agama Hindu dilaksanakan di rumah. Oleh karena itu, di setiap
rumah terdapat tempat pemujaan. Di rumah-rumah penganut Hindu, lebih sering terdapat gambara dewa pujaan yaitu
Khrisna, yang melambangkan cinta dan kebaikan, ketika datang menjelma ke dunia sebagai Vishnu. Tiap hari dibuatkan
seajian berupa dupa, bunga, makanan, dan minuman.
Diwarnai unsur lokal, pemeluk Hindu Bali percaya akan satu Tuhan dalam bentuk konsep Trimurti. Tuhan Yang
Esa (Trimurti) berwujud Brahmana (yang menciptakan), Wisnu (yang melindungi, memelihara), dan Siwa (yang melebur
segala yang ada). Selain itu, mereka juga menghormati banyak dewa dengan pelbagai sesaji. Melalui patung dewa-dewa,
mereka dengan mudah boleh mengenal ”apa yang tidak diketahui”. Cukup banyak orang Hindu percaya bahwa Wisnu
turun ke dunia (inkarnasi) ketika kejahatan sudah merajalela.
Orang Hindu percaya bahwa ada kekuatan suci yang disebut Brahman, yang menyangga segala sesuatu yang ada,
dan yang merupakan makna batiniah dari alam semesta. Segala sesuatu di bumi adalah manifestasi dari Brahman. Dan
dalam diri setiap manusia, Brahman menjadi Atman. Dengan demikian, Brahman tidak terpisah dari manusia (bukanlah
sesuatu yang berada di luar manusia).
Namun yang utama bagi seorang Hindu Dharma adalah mokhsha, yakni pembebasan dari reinkarnasi yang tidak
berkesudahan (samsara). Spriritualitas seorang Hindu adalah menemukan pembebasan dari kelahiran kembali. Jiwa
manusia kembali ke Brahman, yang daripadanya jiwa berasal. Oleh karena itu, upacara ngaben mempunyai peranan yang
sangat penting. Pembakaran mayat merupakan pesta yang membebaskan jiwa manusia manusia untuk mencapai tingkat
yang lebih sempurna.
Hari besar keagamaan adalah hari raya Nyepi. Pada hari raya ini, umat Hindu menyucikan dan memperkuat diri
terhadap pengaruh roh-roh jahat. Umat Hindu tidak menyalakan api, tidak melakukan pekerjaan, tidak bepergian, dan
tidak melakukan hubungan seks. Hari berikutnya disebut ngebak geni, mereka boleh menyalakan api tetapi masih tetap
pantang bekerja. Selain hari raya Nyepi, umat Hindu juga merayakan Galungan, untuk memohon keselamatan dan
kesejahteraan dari Ida Sanghyang Widhi dari para leluhur.
Dalam agama Hindu, pemimpin agama mempunyai peranan yang tidak tergantikan. Upacara keagamaan besar
dipimpin oleh sulinggih, orang yang telah dilantik untuk melaksanakan upacara. Sulinggih yang berasal dari kasta
Brahmana disebut pedanda; dari kasta Satria, disebut resi. Sistem kasta masih berpengaruh, walapun di zaman modern ini
mulai ada perubahan. Terdapat kasta Brahmana, Satria, Weisa, dan sudra. Kurang dari 15 % orang Bali termasuk
Triwangsa (Brahmana, Satria, Weisa) sedangkan 85 % masyarakat Bali justru termasuk warga Jaba (Sudra). Gelar bagi
Brahmana adalah Ida bagus untuk laki-laki dan Ida Ayu untuk wanita. Gelar bagi warga Satria adalah Cokorda dan bagi
Weisa adalah Gusti.

2. 3. 2. 1. Empat jalan keselamatan


a. Jalan Bhakti : ibadat penuh kasih untuk salah satu dewa.
b. Jalan Karma : perbuatan baik membuahkan kebaikan, sedangkan perbuatan jahat membuahkan kejahatan
c. Jalan Jnana : membebaskan diri dari keterikana duniawi melalui penguasaan Kitab Suci secara mantap.
d. Jalan Yoga: disiplin spiritual terhadap latihan-latihan fisik dan mental; misalnya dengan posisi duduk bersila,
latihan pernafasan untuk meningkatkan konsentrasi, pemusatan pikiran pada patung dewa dan menyampaikan
mantra

2. 3. Agama Budha
Agama Buddha dirintis oleh Pangeran Sidharta Gautama (554-478 SM), dengan orangtuanya Raja Sudhodana dan
Ratu Maya, yang memerintah suku Sakya. Pangeran Sidharta Gautama diberi gelar Buddha, yang berarti orang yang
mencapai penerangan sempurna. Umat Budha melihat kehidupan secara wajar dan jujur sesuai dengan pengalaman
bahwa hidup adalah dukkha. Bagaimana pun manusia tidak bisa menghindar dari kenyataan adanya sakit, usia lanjut,
kekecewaan, dan kematian. Sikap ini bukanlah pesimistis, akan tetapi justru realistis.
Umat Budha Indonesia yang menghayati konsep ketuhanan Sanghyang Adi Budha, diharapkan memiliki perilaku
sebagai berikut.
Metta : kasih sayang terhadap semua makhluk.
Karuna : siap sedia meringankan makhluk lain.
Mudita : turut berbahagia dengan kebahagiaan mahkluk lain tanpa benci dan irihati
Upekka : bersikap adil, diam, tenang dan penuh dengan kebijaksanaan yang seimbang
 Trimurti
o Dewa Siwa = pelebur o Dewa Wisnu = pemelihara o Dewa Brahma = pencipta
 Trisakti
o Dewi Durga/Uma/Parwati – saktin dari Dewa Siwa yang sama sama memiliki tugas untuk melebur. Bertugas
sebagai dewi yang membasmi kejahatan dan menolong orang-orang teraniaya.
o Dewi Laksmi/Dewi Sri – sakti dari Dewa Wisnu, dewi kekayaan, kesuburan, kemakmuran, keberuntungan,
kecantikan, keadilan, dan kebijaksanaan.
o Dewi Saraswati – dewi ilmu pengetahuan
 Ajaran Impersonal
Agama Buddha itu konsep Tuhan (Tuhan sama Buddha berbeda) didefinisikannya itu yg tidak dilahirkan (AJATA),
yg tidak menjelma (ABHUTA), yg tidak diciptakan (AKATA), dan yg mutlak (ASANKHATA).
Umat Budha meyakini Empat Kebenaran Mulia, yaitu kebenaran tentang dukkha (derita); kebenaran tentang asal
mula penderitaan; kebenaran tentang lenyapnya penderitaan dan kebenaran tentang jalan menuju hilangnya penderitaan.
Untuk melenyapkan penderitaan, ditawarkan
Jalan Mulia Berunsur Delapan (Hasta Arya Marga), yaitu
- pengertian yang benar - perbuatan yang benar
- pemikiran yang benar - pencarian nafkah yang benar
- ucapan yang benar - dan semadi/konsentrasi yang benar
Agar dapat berhasil memahami Empat Kebenaran dan Delapan Jalan, diperlukan permenungan dan penyelidikan
secara mendalam dan teliti, terlebih melihat kehidupan secara wajar dan jujur. Perlu diperhatikan dan diwaspadai bahwa
penderitaan adalah akibat dari nafsu keinginan yang rendah (tanha) untuk menikmati hidup dalam pelbagai bentuk.
Umat Budha berusaha melenyapkan nafsu/keinginan akan kenikmatan agar penderitaan bisa berakhir atau
lenyap.Dengan begitu, tercapailah nirwana (Nibbana), suatu ketenangan yang mutlak disertai keyakinan akan adanya
kebebasan yang absolut. Keadaan nirwana dapat diibaratkan seperti padamnya cahaya lilin yang tertiup angin atau
padamnya api yang kehabisan bahan bakar. Nirwana dapat dicapai ketika kitra masih hidup dan situasi ini tidak bisa
dibayangkan oleh manusia yang masih erat dengan hal-hal duniawi. Nirwana adalah kasunyataan mutlak, kekal, abadi,
tidak dikenal hal-hal yang bertentangan atau kontradiksi, lenyapnya semua nafsu, berakhirnya semua penderitaan.
Bagi umat Budha, kebahagiaan dan kesengsaraan hidup dimaknai sebagai akibat dari segala perbuatan (karma),
ucapan dan pikiran di masa lalu. Dalam kitab Dhammapada ada tertulis: ”Perbuatan tidaklah membeku seperti air susu
yang mengental, akan tetapi membara seperti api yang menjalar mengikuti si pembuat. Siapa yang berbuat jahat,
berpikir jahat dan berkata jahat, maka penderitaan akan menimpanya, mengikutinya ibarat roda pedati yang
mengikuti jejak lembu yang menariknya; sebaliknya, siapa yang berbuat baik, berpikir baik, maupun berkata baik,
kebahagiaan akan menyusulnya ibarat bayangan tak terlepas dari benda yang bersangkutan.”

2. 3. 1. Bikhu adalah tokoh spiritual


Demikian, Etika Budhisme sangatlah praktis dan konkret. Manusia harus membebaskan diri dari rasa dendam dan
benci. Yang harus diutamakan adalah rasa kasih dan sayang terhadap semua mahkluk. Kebodohan dan egoisme adalah
penghalang untuk berbuat baik. Dengan membasmi egoisme, kita dapat mengurangi penderitaan mahkluk lain dan
berusaha membahagiakan mereka. Kebencian tidak akan berakhir jika dibalas dengan kebencian; justru sebaliknya,
kebencian dapat berakhir hanya dengan kasih sayang dan cinta kasih. ” Balaslah si pemarah dengan kesabaran, si
penjahat dengan kebaikan, yang kikir dengan kedermawanan atau murah hati dan pendusta dengan kejujuran.”
Pandangan hidup dan Etika Agama Budha dapat dipelajari dalam Kitab Suci Tripitaka, yang terdiri atas tiga
bagian:
Vinaya Pitaka : tentang Sangha (komunitas rahib).
Sutta Pitaka : berbagai ceramah yang diberikan oleh budha.
Abhimdhamma Pitaka : berisi analisis ajaran Budha.

2. 3. 2. Tripitaka sebagai Kitab Suci Umat Buddha

Kitab Suci Tripitaka dipakai oleh Buddhisme Theravada maupun oleh Buddhisme Mahayana. Aliran Theravada
dalam Kitab Sucinya Pali canon, menekankan bahwa Budha hanyalah seorang manusia, seorang yang telah mencapai
pencerahan; dan bahwa pencerahan dapat dicapai dengan mengikuti teladan dan pengajarannya. Sementara itu,
Buddhisme Mahayana menekankan bahwa manusia tidak boleh bergantung pada usaha mereka sendiri untuk mencapai
nirwana. Untuk menuju pencerahan, manusia perlu dibantu oleh Bodhistva, yaitu mereka yang sudah mencapai
pencerahan tetapi masih tinggal di bumi supaya dapat menolong orang lain untuk mencapai Nirwana. Buddhisme
Mahayana memakai juga Kitab Suci yang lain, seperti Lankavatara, Avatamsaka Sutra, Saddharma Pundarika Sutra, dan
Vajracchedika Sutra. Sanghyang Kamahayanikan adalah Kitab suci Buddhis Khas Indonesia.
Hari Raya Nasional Agama Buddha adalah Waisak: perayaan kelahiran, pencerahan, kematian Buddha, yang
diyakini terjadi pada hari yang sama dalam bulan Wesak (Mei sampai Juni). Rumah dihias dan memberi persembahan di
kuil. Lilin dan lampu dimaknai sebagai pencerahan Buddha. Umat Buddhis Indonesia merayakan Waisak dengan meriah
di kompleks Candi Mendut dan mencapai puncaknya di candi Borobudur.

2. 4. Agama Kristen
Agama Kristen terdiri dari banyak Gereja atau kelompok seperti Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, Gereja
anglikan dan Lutheran, Gereja Metodis, Bala Keselamatan, Gereja Baptis, dan Gereja Quaker. Semuanya mempunyai ciri
khas yang sama, yaitu percaya pada Pribadi Yesus Kristus. Umat Kristiani mempunyai hubungan khusus dengan Yesus
yang diberi gelar Kristus, bahkan disebut Tuhan.
Murid-murid Yesus disebut Kristen di Antokhia, sekitar tahun 40 Masehi. ”Di Antiokhialah murid-murid itu
untuk pertama kalinya disebut Kristen” (Kis. 11:26). Awalnya, mereka menyebut diri sebagai ”murid” atau ”saudara.
Ungkapan kristen mengandung arti yang amat mendalam, yakni bahwa Yesus Kristus adalah pokok dan sumber iman
mereka. Kristus (bahasa Yunani: ”Khristos”) atau Mesias (bahasa Ibrani: ”MASYIAKH”) atau ”MESHIHA’ dalam
bahasa Aram, berarti ”orang yang diurapi”. Sedangkan Tuhan atau Kirios (bahasa Yunani) berarti orang terkemuka atau
terhormat.
Umat Kristen percaya bahwa Yesus adalah Sang Kristus dari Allah; Yesus adalah Putra Allah dan Tuhan, Mesias,
dan Juruselamat umat manusia. Nama “Yesus” berasal dari bahasa Ibrani ‫ש ַע‬ֻׁ ‫( הֹו‬Yĕhōšuă‘, Yosua) yang berarti “Yahweh
menyelamatkan” atau “Tuhan menyelamatkan”. “Kristus” adalah gelar yang berasal dari bahasa Ibrani ַ‫(מָ ִׁשיח‬Mesias) yang
berarti “yang diurapi” atau “yang terpilih”.
Gereja Katolik memiliki jumlah umat paling besar, yakni 1,2 miliar umat; Kristen Protestan 360 juta umat, dan
Gereja Ortodoks 170 juta umat. Gereja Kristen Protestan terbesar adalah Gereja Anglikan, memiliki umat sebanyak 80
juta jiwa. Aliran-aliran dalam Agama Kristen: Lutheran, Calvinis, Baptis, Metodis, Pantekosta, Kharismatik, Injili,
Adventis.

2. 4. 1. Hirarki
Di dalam Gereja Katolik ada pejabat Gereja yang disebut hirarki. Istilah hirarki berasal dari dua kata Yunani,
yakni hieros yang berarti jabatan, atau kekuasaan; dan archos yang berarti agung, suci, mulia. Jadi, hirarki adalah orang-
orang yang mendapat jabatan atau kekuasaan karena disucikan, yakni melalui pentahbisan. Mereka itu adalah Diakon,
Imam, dan Uskup. Sedangkan Paus adalah pemimpin tertinggi umat Katolik yang berkedudukan di Roma. Ia dipilih
melalui Konklaf. Dia tidak ditahbiskan melainkan dilantik, karena sesungguhnya Paus adalah Uskup Roma. Jadi, dia
sudah mendapatkan tahbisan Uskup. Hirarki mempunyai kuasa mengajar di dalam Gereja. Khusus Paus dalam kuasa
mengajarnya dipercaya memiliki infalibilitas (tidak bisa salah) bila ia mengeluarkan ajaran iman dan moral kepada umat
Katolik.

2. 4. 3. Puasa
Puasa lengkap = tidak makan dan minum
”Setelah aku mendaki gunung untuk menerima loh-loh batu, loh-loh perjanjian yang diikat TUHAN dengan kamu, maka
aku tinggal empat puluh hari empat puluh malam lamanya di gunung itu; roti tidak kumakan dan air tidak kuminum”
(Ulangan 9:9)
Puasa Normal =Tidak makan dan minum kecuali air putih
“ Tetapi Yesus menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari
mulut Allah."
(Matius 4:4).

2. 4. 4. Kitab Suci
Terbagi dalam 2 bagian besar, yakni Kitab Suci Perjanjian Lama dan Kitab Suci Perjanjian Baru, yang lebih dikenal
dengan sebutan Injil. Walau dalam arti sempit Injil adalah Kabar Gembira, dan sebagai tulisan ada 4 tulisan di dalam
Perjanjian yang disebut Injil, yakni Injil menurut Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes.

2. 4. 5. Hari Raya
Ada dua hari raya besar, yakni Natal dan Paskah. Namun di antara Natal dan Paskah ada serangkaian hari raya lain,
seperti Rabu Abu, Kamis Putih, Jumat Agung, Kenaikan Tuhan, Pentakosta, dan hari raya Kristus Raja Semesta Alam.

5. Agama Islam
Agama Islam mengajari umat untuk senantiasa menjunjung tinggi suatu perdamaian. Agama Islam sendiri berarti
perdamaian, yang berarti bahwa seorang umat muslim adalah orang yang damai dengan Allah SWT dan damai dengan
manusia. Kemudian kita diajak untuk tunduk dan menyerah sepenuhnya kepada Allah sehingga pada akhirnya umat Islam
memperoleh rahmat Allah dengan menjalankan lima hukum Islam dan enam rukun Iman. Sedangkan pokok paham
ketuhanan dalam Islam ada dua konsep, yaitu berdasarkan Al – Quran dan hadis atau pokok-pokok secara harafiah dengan
sedikit spekulasi sehingga banyak pakar ulama bidang akidah yang menyepakatinya, dan konsep ketuhanan yang bersifat
spekulasi berdasarkan penafsiran mendalam yang bersifat spekulatif, filosofis, bahkan mistis. Nilai kehidupan dalam
islam adalah terdapat ajaran mengenai moralitas, sebagai pegangan dalam kehidupan atau pedoman hidup, sebagai
pendorong atau motivasi dalam hidup, dan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan.
Makna kata Islam adalah masuk dalam perdamaian. Itu berarti, seorang Muslim adalah orang yang damai dengan
Allah dan damai dengan manusia. Tugas utama Agama Islam adalah:
a. Mendatangkan perdamaian di dunia dengan membentuk persaudaraan di antara sekalian agama di dunia,
b. Menghimpun segala kebenaran yang termuat dalam agama-agama terdahulu,
c. Membetulkan kesalahan-kesalahan dalam agama-agama, menyaring mana yang benar dan mana yang palsu,
d. Mengajarkan kebenaran abadi, dan
e. Memenuhi segala kebutuhan moral dan rohani umat manusia.

Dalam Agama Islam terdapat dua rukun (dasar utama), yaitu Rukun Islam dan Rukun Iman.

2. 5. 1. Rukun Islam
a. Rukun Iman: ”Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah RasulNya”.
b. Shalat (sembahyang) 5 (lima) kali sehari: Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib dan Isya.
Setiap kali sembahyang, Umat Islam membacakan:
”Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam, Yang Maha Pemurah lagi Penyayang, yang merajai hari perhitungan.
Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya Engkaulah kami memohon pertolongan, pimpinlah kami ke jalan yang
lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi Ni’mat, bukan jalan yang mereka dimurkai dan bukan juga
jalan mereka yang sesat.” (Al Faatihah, Surat ke 1:7 ayat).

Sholat lima waktu hukumnya wajib bagi umat Islam

a. Zakat: pemberian wajib setahun sekali sebesar 1/40 dari kekayaan dalam setahun, yang diberikan kepada orang
miskin, untuk pembinaan iman, untuk menebus budak belian, untuk pengembangan Agama Islam.
 Zakat fitrah adalah zakat yang harus dibayar pada hari puasa terakhir. Sedekah berbeda dengan zakat, karena
sedekah adalah pemberian sukarela; bantuan, pertolongan atau dana sosial di luar zakat dan zakat fitrah.
b. Puasa dalam bulan Ramadhan: tidak makan dan tidak minum mulai pada saat akan terbit matahari sampai saat
terbenamnya.
c. Haji: Ibadah ke Mekkah pada bulan Zulhijjah, diteruskan ke Madinah untuk berziarah ke makam nabi Muhhamad.

2. 5. 2. Rukun Iman
a. Percaya kepada Allah
b. Percaya kepada Malaikat-malaikat: Jibrail, Mikael, Israfil, Israil, Munkar dan Nakir, Raqib dan Atib, Ridwan,
Zabaniah.
c. Percaya pada Kitab-kitab Allah: Taurat, Zabur, Injil, Alquran. Dipercayai bahwa Al-Quran diturunkan kepada
nabi Muhammad, yang merupakan kutipan dari Kitab Induk Surgawi (Lauh al-mahfudz).
d. Percaya kepada rasul-rasul Allah: Adam, Idris, Nuh, Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yahya, Isa, dan Muhammad.
Muhammad adalah rasul (utusan) Allah dan penutup dari semua nabi.
e. Percaya pada hari kiamat.
f. Percaya pada takdir: semua yang terjadi dan akan terjadi, sudah diketahui Allah SWT.

Ada lima Hari Raya khas Islam di Indonesia, yaitu:


a. Maulud nabi Muhammad; perayaan kelahiran nabi Muhammad yang lahir pada hari Senin, 12 Rabiul Awal atau
20 April 570M, dari ayah Abdullah bin Abdul Mutalib dan ibunya Aminah binti Wahab,
b. Isra dan Miraj; perjalanan nabi Muhammad dari Masjid Al Haram menuju Masjid Al Aqsa di bait al Maqdis
dengan mengendarai Buraq (kuda bersayap) (Israj) dan dilanjutkan perjalanan dari Yerusalem menuju Sidratul
Muntaha untuk menghadap Tuhan (Miraj),
c. Tahun Baru Hijriah; pada awal tahun 662 M, Muhhammad melakukan hijrah (pindah) dari Makkah ke Yathrib
(Medinah),
d. Idul Adha; bertalian dengan menunaikan ibadah haji, yang dimaknai sebagai pengabdian diri kepada kehendak
Allah, dan
e. Idul Fitri; perayaan berakhirnya kewajiban menjalankan ibadah puasa 1 Syawal.
Umat Islam merayakan kembali ke fitri (sifat asal, suci, bersih dari dosa).
Karena Ilmu Fiqih cenderung menimbulkan semangat legalisme yang hanya mementingkan perbuatan lahiriah, munculah
gerakan Tasawuf atau sufisme yang lebih langsung mau berhubungan dengan tuhan, para sufi merasakan dorongan dan
kerindyan yang besar terhadap Tuhan. Melalui oleh rohani, para sufi menghayati kedekatan hubungan dengan tuhan dan
mendapatkan kesadaran langsung terhadap kebenaran sejati. Sementara itu, dalam masyarakat Islam muncul filsuf-filsuf
Islam antara lain: Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal. Para filsuf
mengingatkan agar umat Islam tidak melupakan peranan akal dalam kehidupan dunia. Muhammad Abduh (1849 – 1905)
misalnya, berbendapat bahwa orang harus menggunakan akal dalam urusan dunia dan urusan agama. Adalah kafir kalau
orang menolak kebenaran rasional. Masyarakat yang ideal adalah yang tunduk pada firman Tuhan dan memberikan
penafsiran secara rasional.
 Kitab-kitab Allah (urut)
a. Taurat (Nabi Musa A.S.) - perintah-perintah
Mengapa hanya Nabi Muhammad bergelas S.A.W. sedangkan yang lain A.S.?
- A.S. – di blessed (limpahkan) keselamatan kepadanya dari Allah
- S.A.W. – hanya khusus diberikan kepada Muhammad yang berarti semoga Allah memberikan Shalawat
(pray) dan Salam(gratitudes) kepadanya (Al – azhab 56)
b. Zabur (Nabi Daud A.S.) – nyanyian-nyanyian, pemazmuran
c. Injil (Nabi Isa A.S.) – membenarkan ajaran sebelumnya yang berisi petunjuk & cahaya
d. Al – Quran (Nabi Muhammad) – tiang agama/pedoman Islam (isinya peringatan). Hadis (perintah atau larangan
Allah kepada umat) & Al Sunnah (tindakan yang jika dilakukan memperoleh pahala)
 99 asma'ul husna – beriman bahwa Allah memiliki nama dan sifat baik

6. Agama Konghucu
Agama Konghucu merupakan pelembagaan atas ajaran Konfusius (551 SM – 479 SM)di Tiongkok. Konfusius
terkenal dengan ajaran-ajaran moral dan filsafatnya. Tidak mengherankan jika ajarannya menyebar pesat di Jepang,
Korea, Vietnam, dan juga Indonesia.
Pada masa akhir Orde Lama dan awal Orde Baru penganut agama Konghucu tidak mendapatkan tempat oleh
pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Diskriminasi umat Konghuchu saat diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 14
Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina yang dikeluarkan oleh presiden Soekarno. Meski
demikian, agama Konghucu tetap diakui. Hal demikian tercantum dalam Penetapan Presiden Nomor 1/Pn. Ps/ Tahun 1965
dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang mengakui adanya enam agama di Indonesia yaitu: Islam, Kristen,
Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.
Pada masa Orde Baru, presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1470/1978 yang berisi bahwa
pemerintah hanya mengakui lima agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Dengan demikian keberadaan
Konghucu tidak diakui di Indonesia. Namun demikian, sejak era Reformasi presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
melalui UU No 1/Pn.Ps/1965 mengakui Konghucu sebagai salah satu agama di Indonesia.

Ada 5 ajaran pokok di dalam Konghucu, yaitu:


a. Jen, yaitu hubungan ideal yang harus ada di antara manusia, seperti kebaikan, kemurahan hati, manusiawi. Suatu
intisari dari kesempurnaan adikodrati
b. Chun-Tzu, yaitu kemanusiaan yang benar (gentleman). Bersama orang-orang ini dunia menuju perdamaian.
Sebaliknya, bersama manusia berjiwa kerdil (kasar dan picik) dunia tak akan pernah damai.
c. Li, yaitu cara yang seharusnya dilakukan, semacam “tata krama.” Orang harus satu antara kata-kata, pikiran, dan
perbuatan/kenyataan objektif.
d. Te, yaitu kekuatan yang muncul akibat kebajikan. Suatu dasar dari pemerintahan yang arif dan bijaksana.
e. Wen, yaitu “seni perdamaian” versus “seni perang.” Wen berkaitan dengan musik, seni lukis, puisi, merangkai
bunga, segala produk budaya yang bersifat estetis. Seni yang baik diabdikan sebagai sarana pendidikan moral,
karena pikiran dan hati digugah untuk mawas diri.

Dalam konfusianisme diakui adanya dimensi yang melampaui dimensi manusiawi:


a. Langit dan Bumi dipandang sebagai kesinambungan. Istilah ini menunjuk tempat bagi “yang mendiaminya.” Ti
(nenek moyang) berdiam di langit. Mereka diperintah oleh para nenek moyang tertinggi (Shang-Ti). Langit
mengendalikan kesejahteraan Bumi melalui cuaca, angin, hujan, dan seterusnya.
b. Cara paling konkret bagi Bumi untuk berbicara dengan Langit adalah melalui pengorbanan. Di sana dipanjatkan
harapan-harapan baik.
c. Ramalan adalah cara Langit mendengar Bumi. Jadi, dalam peristiwa-peristiwa penting bijaksanalah untuk
bertanya kepada langit.
Konfusius dengan tetap menghormati peranan “langit” mengalihkan titik berat dari langit ke bumi, untuk membentuk
karakter orang-orang sebangsanya. Maka, Konfusius memberi nasihat agar manusia lebih memahami satu dunia saja
pada satu waktu, dan bergerak dari soal-soal pemujaan kepada nenek moyang kepada kesalehan anak cucu. Dengan
kata lain, Konfusius lebih menekankan kualitas hidup keluarga daripada praktik pemujaan
Inti ajarannya:
a. Jika ada kebenaran dalam hati, akan ada keindahan watak;
b. Jika ada keindahan dalam watak, akan ada keselarasan dalam rumah tangga;
c. Jika ada keselarasan dalam rumah tangga, akan ada ketertiban dalam bangsa;
d. Jika ada ketertiban dalam bangsa, akan ada perdamaian dunia.

Ada 4 ciri khas Konfusianisme:


a. Menjunjung tinggi keselarasan kosmis
b. Menaruh hormat terhadap nenek moyang
c. Mengakui “Dao” sebagai sesuatu yang melatarbelakangi kejadian di alam.
d. Mengakui dua prinsip ”Yin” dan ”Yang” (Yin – prinsip keperempuanan: pasif, bumi, kerelaan; Yang – prinsip
kelelakian: aktif, langit, kekuatan).

Agma Khonghucu :
Konsep ketuhanan dalam Khonghucu bisa ditemukan dalam kitab Yi Jing (Kitab Perubahan). Dalam kitab ini, Tuhan
digambarkan dengan istilah Qian yang dapat diartikan Tuhan sebagai subjek Yang Maha Ada, Maha Sempurna, Khalik
Semesta Alam, Maha Positif dan Proaktif.

Penutup
Dengan menyimak materi tentang paham ketuhanan ini bisa dipahami kalau terjadi gesekan di sana-sini atau bahkan
yang tidak bisa menghargai paham ketuhanan sesamanya yang berbeda agama dan keyakinannya malah ada yang saling
mengejek atau menjelek-jelekkan. Hal itu tidak perlu terjadi kalau kita bisa memahami bahwa paham ketuhanan dalam
setiap agama itu diajarkan sesuai dengan kaidah iman agama masing-masing.
Semua agama, pada dasarnya mengajarkan, mengusung, mewartakan nilai-nilai kehidupan universal sebagaimana
dihabituasikan oleh Living Values: An Educational Program, dalam rangka mengembangkan kehidupan manusia yang
transcendental dan kehidupan bersama damai dan sejahtera.
Demikin sikap dan perlaku yang terbaik dan yang harua kita wujudkan dalam kehidupan kita sehari-hari
menghormati dan menghargai paham ketuhanan yang dianut oleh umat lain; dan mencoba memahami sesuai dengan
ajaran agama kita masing-masing, agar kita dapat hidup bersama, saling membantu, bekerjasama dalam mewujudkan
kehidupan bersama yang damai, sejahtera dan bahagia yang kita cita-citakan bersama.

Penutup
Mengakhiri pembahasan tentang paham ketuhanan ini kita dapat melihat dinamika perkembangan paham ketuhanan dari
periode yang paling awal dalam paham dinamisme hingga ke paham ketuhanan sebagaimana diajarkan oleh agama-agama
besar yang dianut di Indonesia, seperti Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sebetulnya masih terserak
luas paham ketuhanan di dalam agama-agama kecil atau agama suku, namun tidak memungkinkan semuanya diulas di
sini.
Cukuplah disajikan paham ketuhanan seperti yang telah dipaparkan di atas dengan harapan kita pun sebagai
mahasiswa perlu terus mendinamisir pemahaman kita akan ketuhanan kita seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan pengalaman hidup kita agar paham ketuhanan kita tidak mandul atau mandeg tanpa berimplikasi pada
kehidupan real kita sehari-hari dalam masyarakat, apalagi menyadari akan makin merebaknya ancaman gerakan
radikalisme dan fanatisme di mana-mana. Tantangan seperti itu hendaknya menjadi tantangan bagi kita sebagai kaum
terdidik untuk mengkaji lebih dalam paham ketuhanan kita sesuai kaidah dan ajaran agama masing-masing sehingga kita
juga bisa saling menghargai paham ketuhanan orang lain yang berbeda agama dan keyakinannya. Dengan demikian
terciptalah kehidupan umat beragama yang rukun dan bersatu pada dalam keanekaragaman paham ketuhanan yang ada di
Indonesia.

Glosarium

Animisme: kepercayaan bahwa alam itu sebagai sesuatu yang hidup dan karena memiliki roh/jiwa (= anima)
Atma: bagian terdalam dari diri manusia, yang berasal dari yang mutlak dan akan kembali bersatu dengan Allah
sebagai yang mutlak.
Atman: unsur Brahman dalam diri setiap manusia.
Brahman: kekuatan suci yang menyangga segala sesuatu yang ada, atau aspek batiniah dari alam semesta.
Chun-Tzu: kemanusiaan yang benar (gentleman). Bersama orang-orang ini dunia menuju perdamaian. Sebaliknya,
bersama manusia berjiwa kerdil (kasar dan picik) dunia tak akan pernah damai.
Dinamisme: kepercayaan bahwa alam itu memiliki daya yang luar biasa yang melampaui daya-daya manusiawi.
Henoteisme: kepercayaan akan banyak dewa-dewi, namun pada kurun waktu tertentu ada yang menjadi pemimpinnya
(henoteisme waktu), sedangkan Henoteisme tempat adalah kepercayaan akan banyak dewa-dewi, namun
untuk tempat-tempat tertentu penguasanya adalah dewa-dewi tertentu, dan Henoteisme koordinasi adalah
kepercayaan akan banyak dewa-dewi, namun di antara dewa-dewi itu ada yang menjadi koordinatornya.
Hirarki: orang-orang yang mendapat jabatan atau kekuasaan karena disucikan, atau karena mendapatkan
pentahbisan. Mereka itu adalah Diakon, Imam, dan Uskup.
Islam: masuk dalam perdamaian. Itu berarti, seorang Muslim adalah orang yang damai dengan Allah dan damai
dengan manusia.
Jen: hubungan ideal yang harus ada di antara manusia, seperti kebaikan, kemurahan hati, manusiawi.
Karuna: siap sedia meringankan makhluk lain.
Li: cara yang seharusnya dilakukan, semacam “tata krama.” Orang harus satu antara kata-kata, pikiran, dan
perbuatan/kenyataan objektif.
Metta: kasih sayang terhadap semua makhluk.
Mokhsha: pembebasan dari reinkarnasi yang tidak berkesudahan (samsara).
Monoteisme: kepercayaan akan adanya satu Allah/Tuhan saja.
Mudita: turut berbahagia dengan kebahagiaan mahkluk lain tanpa benci dan iri hati
Ngaben: upacara pembakaran mayat yang dipercayai umat hindu sebagai upacara yang membebaskan jiwa
manusia untuk mencapai tingkat yang lebih sempurna.
Nirwana (Nibbana): suatu pencapaian kondisi ketenangan yang mutlak disertai keyakinan akan adanya kebebasan yang
absolut.
Politeisme: kepercayaan bahwa bagian-bagian alam yang ber-roh itu memiliki nama sebagai pribadi (person), seperti
Dewa Bulan, Dewa Matahari, Dewa Bumi, Dewa Langit, Dewa Angin, Dewa Laut, dan sebagainya sesuai
dengan wilayah kekuasaannya.
Sakramen: tanda kelihatan dari rahmat Allah yang tidak kelihatan, sehingga dengan menerima Sakramen, seseorang
menerima rahmat tertentu dan berjanji untuk hidup setia kepada Yesus Kristus sang pengatara rahmat.
Sulinggih: orang yang telah dilantik untuk melaksanakan upacara. Sulinggih yang berasal dari kasta Brahmana
disebut pedanda; dari kasta Satria disebut resi.
Tanha: nafsu atau keinginan yang rendah.
Te: kekuatan yang muncul akibat kebajikan. Suatu dasar dari pemerintahan yang arif dan bijaksana.
Trimurti: Tuhan Yang Esa yang mewujud dalam Brahmana (yang menciptakan), Wisnu (yang melindungi,
memelihara), dan Siwa (yang melebur segala yang ada).
Upekka: bersikap adil, diam, tenang dan penuh dengan kebijaksanaan yang seimbang.
Wen: “seni perdamaian” yang berkaitan dengan musik, seni lukis, puisi, merangkai bunga, segala produk
budaya yang bersifat estetis.
Zakat: pemberian wajib setahun sekali sebesar 1/40 dari kekayaan dalam setahun, yang diberikan kepada orang
miskin, untuk pembinaan iman, untuk menebus budak belian, untuk pengembangan Agama Islam.

BAB 3
AGAMA KRISTEN

Tujuan Pembelajaran:
1. Memahami dan menjelaskan hakikat paham ketuhanan di dalam Agama Kristen
2. Memhami dan menjelaskan nilai-nilai kehidupan yang diajarkan dan ditawarkan oleh Agama
Kristen dalam membangun manusia yang religius.
3. Menghargai hakikat penghayatan iman Kristen serta nilai-nilai kehidupan yang diajarkan atau
ditawarkan.
3.1 Pengantar
Di tengah-tengah atau di antara pelbagai agama yang ada di muka bumi ini, yang pola penghayatan ketuhanannya
sama dengan agama-agama asli seperti Aliran Kepercayaan, Agama Hindu, Agama Budha dan Agama Khong Hu Cu,
muncul agama-agama yang pola penghayatan ketuhanannya sangat khas dan berbeda. Sebuah tradisi yang meyakini
peristiwa unik sebagai dasar pola penghayatan ketuhanan yang baru. Yakni Yahwe atau Allah yang memanggil Abraham,
nenek moyang Bangsa Israel. Pola paham ketuhanannya bukan lagi kesatuan segalanya di mana seluruh suasana alami
yang syarat dengan unsur-unsur gaib yang lalu dipersonifiksikan sebagai dewa-dewi atau roh-roh tertentu. Akan tetapi,
Abraham merasa telah dipanggil secara pribadi oleh Tuhan yng namanya Yahwe atau Allah. Agama itu adalah Yudaisme.
Yahwe pada awalnya belum Allah satu-satunya bagi umat Yahudi (keturungan Bangsa Israel). Maksudnya, ada
dewa-dewi lain, makin tidak berarti atau sepadan dibandingkan dengan Yahwe, Allah yang memanggil Abraham, nenek
moyang Bangsa Israel.Yahwe tidak terikat pada waktu atau tempat tertentu. Ia diyakini sebagai Tuhan atas bangsa-bangsa
dan sejarah keselamatan untuk seluruh umat manusia dan akan melaksanakannnya. Ia mengadakan hubungan dialogis dan
personal kepada bangsaNya.
Dalam perkembangan selanjutnya, Bangsa Israel sampai pada keyakinan bahwa Yahwe adalah yang Maha Esa.
Umat Yahudi (keturunan Bangsa Isarel) menjadi monoteis. Dari pola penghayatan ketuhanan bahwa Yahwelah Tuhan
Israel, Umat Yahudi mulai percaya (yakin) hanya Yahwelah Allah Israel; dewa-dewi lain tidak ada artinya. Pola
penghayatan ketuhanan yang Illhi (Yang Transenden) sebagai Allah Yang Esa dalam perkembangan selanjutnya
mendasari dua agama monoteis besar yang menyempal dari rumpun Yahudi, yakni agama Kristen dan agama Islam.

3. 2. Kelahiran Agama Kristen


Dari semua agama yang dianut oleh umat manusia2, Agama Kristenlah yang paling luas tersebar di muka bumi
dan paling banyak pengikutnya. Sepertiga dari penduduk dunia ini merupakan penganut Agama Kristen. Agama Kristen
saat ini terdiri dari banyak Gereja atau kelompok umat seperti Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, Gereja Anglikan
dan Gereja Protestan. Di antara Gereja-Gereja tersebut, Gereja Katolik memiliki pengikut yang paling besar, 1,2 milyar
umat. Gereja Kristen Protestan 360 juta umat, Gereja Kristen Ortodoks 170 juta umat dan Gereja Kristen Anglikan 80
juta umat.
Pada dasarnya, Agama Kristen yang kini sudah berusia lebih dari 2000 tahun ini merupakan agama sejarah.
Landasan utama Agama Kristen ini bukan terletak pada hal-hal yang bersifat umum, akan tetapi didasarkan pada kejadian-
kejadian nyata. Peristiwa paling penting dari rangkaian peristiwa yang mendasari Agama Kristen ini adalah Kisah
Kehidupan Yesus Anak Yusuf, seorang tukang kayu yang tidak dikenal, yang menikahi Maria. Yesus dan bukannya
sebagai pahlawan. Tidak meninggalkan harta apapun, idak mengikuti pendidikan, tidak menulis buku, tidak memiliki
pasukan. Meskipun demikian, tanggal lahirNya diingat oleh seluruh dunia dan saat kematianNya diperingati dengan
palang salib di seluruh pelosok dunia.

3. 3. Yesus Kristus, Pokok Iman Umat Kristiani


Agama Kristen berpusat pada diri Yesus Kristus sebagai Penyelamat bagi semua orang yang percaya. Umat Kristen
percaya kepada Yesus Kristus yang dibangkitkan oleh Allah dari dunia orang mati, yang sekarang hidup dan sepanjang
segala abad berkarya di dunia ini melalui Roh-Nya. ”Tetapi bukan ajaran dan teladan-Nya yang menjadi utama dan
pertama. Sebaliknya, karena percaya kepada diri Yesus Kristus yang kini hidup, berkuasa dan berkarya, maka umat
Kristen bersedia mendengarkan dan mengamalkan ajaranNya dan rela mengikuti teladan yang ditinggalkanNya” (1
Pts2:21). Kristus (bahasa Yunani: ”Khristos”) atau Mesias (bahasa Ibrani: ”Masyiakh”), dalam bhasa Aram: ”Mesihiha”
adalah gelar; yang berarti ”orang yang diurapi.” Sedangkan Tuhan atau Kirios (bahasa Yunani) berarti orang terkemuka
dan terhormat. Ut Kristen percaya bahwa Yesus (nama diri) dari Nasaret adalah Sang Kristus dari Allah; Yesus adalah
Putra Allah dan Tuhan.
Informasi tentang tubuh jasmani dan perjalanan historis hidup Tuhan Yesus memang sangat sedikit. Namun ketika
membaca Kitab Suci Perjanjian Baru, yang berisikan tetang kisah kehidupan dan karya Tuhan Yesus, tidak seorang pun
pembaca yang kritis akan luput dari pengaruh kekuatan dan kekhususan pribadi TuhanNya. Yesus adalah pribadi yang
sungguh luar biasa dan tidak ada bandingnya. Yang walau pun muncul sebagai seorang tak dikenal, Ia kemudian
melangkah maju sebagai pribadi yang sungguh mengagumkan. Para rasul dan atau para murid yang akrab dengan Dia
secara perlahan-lahan merasa amat terpukau dengan apa yang mereka saksikan. Sehinga mereka menjadi sangat yakin dan
percaya bahwa Yesus adalah Tuhan, Putra Allah, Mesias, dan Juru Selamat umat manusia.
Pengakuan pertama terhadap perananNya sebagai Sang Penebus atau Juru Selamat umat datang seluruh kesan
yang ditimbulkan (hidup dan karyaNya) kepada para pengikutNya. Tidak pernah ada tokoh dalam sejarah yang lebih
dimuliakan dari beliau-beliau yang memuliakan Yesus daripada generasi sezamannya sendiri, yaitu generasi Petrus,
Yohanes, dan Paulus. Sudah pasti ada hal-hal mendasar yang ada dalam diri dan kehidupan Tuhan Yesus, yang
”memaksa” para murid yang mengenalNya dari dekat dan yang kemudian para pengikutnya yang saat ini tidak kurang
dari sepertiga penduduk dunia ini, sampai pada kesimpulan dan keyakinan bahwa Yesus adalah Tuhan, Kristus, Putera
Allah, dan Juru Selamat umat manusia.
Paling tidak ada tiga hal mendasar yang membuat para murid dan mereka yang akrab dengannya sampai pada
kesimpulan dan keyakinan itu; antara lain: apa yang Ia perbuat (karyaNya), apa Ia katakan dan Diri Pribadi Yesus.

3. 3. 1. Karya Yesus
Kitab Suci Perjanjian Baru, utama Injil, penuh dengan testimoni; puji-pujian terhadap karya Yesus yang
sungguh mengagumkan. Halaman demi halaman kitab ini, khususnya dalam Injil Markus, penuh dengan peristiwa ajaib
atau mukjijat. Yang sungguh sangat mengagumkan, bukan hal-hal itu yang menjadi titik berat perhatian Yesus, akan tetapi
Kasih Allah Bapa yang harus diteruskan atau dibagi kepada orang lain; di mana pun dan kapan pun.Itulah tugas mulia
yang diembanNya dari Bapa di surga, ”Menyelamatkan umat manusia”. Yesus tidak pernah mengunakan mukjijat-
mukjijat yang dilakukanNya sebagai sarana untuk meyakinkan orang mengenai siapakah Dia. Tidak pernh sekali pun Ia
berusaha untuk membuat orang lain kagum, mendesak atau menyiksa orang lain agar percaya kepadaNya.
Petrus, salah seorang dari 12 rasul atau muridNya meringkaskan dan menjelaskan seluruh karya Tuhan Yesus
dalam hidupNya dalam lima kata yang padat: ”Ia berkeliling sambil berbuat baik”. Sangat sederhana kalimat itu,
namun memang sukar untuk mencari kalimat yang lebih baik lagi. Secara biasa dan tanpa rikuh, Tuhan Yesus bergaul
dengan orang-orang menderita dalam masyarakat, dengan perempuan tuna susila, dengan para pemungut cukai. Melalui
upaya penyembuhan dan dengan membantu mereka yang berada dalam keadaan putus asa yang amat sangat, serta dengan
memberikan nasehat di saat mereka sedang berada dalam keadaan kritis, Ia berkeliling sambil berbuat baik, berbuat
kasih.
Yesus berkeliling sambil berbuat kasih dengan kesungguhan adan ketulusan hati dan memang dengan hasil
yang baik, sehingga orang-orang yang berada di sekitarNya, dari hari ke hari merasa bahwa pandangan mereka terhadap
beliau berubah sama sekali. Mereka akhirnya berpikir dan yakin bahwa jika Tuhan yang merupakan kebaikan sejati, akan
mengambil wujud manusia, inilah perbuatanNya sebagai manusia.

3. 3. 2. Sabda dan Ajaran Yesus


Selain karya Yesus, yang menyebabkan para rasul, para murid dan orang-orang pada waktu itu memandang dan
meyakininya sebagai Tuhan, Yang Diurapi atau Juru Selamat Umat manusia, adalah juga pada ajaranNya; pada apa yang
Ia katakan8 Klausner seorang sarjana Yahudi menyatakan bahwa jika kita menelaah ajaran-ajaran yang dalam Perjanjian
Baru secara terpisah-pisah, kita akan menemukan padan ajaran-ajaran tersebut dalam Kitab Suci Perjanjian Lama maupun
dalam Kitab Talmud. Secara menyeluruh ajaran Yesus sangat terasa mengandung suatu desakan, suatu perasaan yang
berkobar-kobar dan bersemangat, suatu pengabdian yang luhur mulia.
Kata-kata Yesus mengandung suatu sifat yang luar biasa yang tidak mampu dilakukan oleh orang arif bijaksana
pada waktu itu seperti: ”Jika tangan ada menyengsarakan anda, potonglah. Jika mata anda merupakan rintangan antara diri
anda dengan hal-hal terbaik, cungkilah”.
Yesus selalu berbicara tentang unta-unta yang masuk melalui lubang jarum, tentang orang-orang yang gigih
mencari nyamuk yang terdapat dalam gelas minumannya dan lupa pada unta-unta yang masuk lewat kerongkongan
mereka. Ia berbicara tentang orang-orang yang hidup malang. Itu semua bukan sekedar gaya retoris, yang secara cerdas
ditambahkan untuk memperoleh efek yang diinginkan. Namun bahasa tersebut sungguh merupakan bagian atau ungkapan
dari pribadi Yesus; bersumber dan mengalir dari dorongan jiwa dan semangat keyakinanNya.
Kata-kata Yesus yang paling sering diingat dan diulang kembali di dunia ini, antara lain: ”Cintailah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri”; ”Lakukanlah terhadap orang lain apa yang anda lakukan terhadap diri sendiri”;
”Datangah kepadaKu, kamu semua yang letih dan berbeban berat dan aku akan menyegarkn kamu”; ”Carilah kebenaran,
maka kebenaran itu akan memerdekakan kamu”. Di samping itu, Ia juga sering mengajar melalui ceritera-perumpamaan
seperti: harta terpendam, para penabur benih, pedagang mutiara, orang Samaria yang baik hati, seorang pemuda yang
kehilangan seluruh harta warisanya dengan berpoya-poya dan kemudian terpaksa mengisi perutnya dengan potongan
makan babi. Kisah-kisah itu saat ini sudah sangat populer di seluruh dunia. Nah, para murid dan orang-orang yang
mendengar untuk pertama kalinya hatinya sedemikian rupa sehingga berteriak: ”Belum pernah ada orang yang berbicara
demikian.”
Dalam dan melalui Kitab Suci Perjanjian Baru, Yesus (yang kemudian dilanjutkan oleh para rasul dan para
muridNya) mendidik umat manusia untuk mengasihi Allah dan sesama manusia; bahkan diajarkan untuk tidak melawan
kejahatan orang lain terhadap diri kita; kita malahan disuruh untuk memberikan pipi kita yang lain. Sementara dunia
biasanya branggapan bahwa kejahatan orang lain harus dilawan dengan sekuat tenaga dan dengan cara apa pun. Yesus
mengajar kita untuk mencintai musuh-musuh kita dan berdoa mohon kebaikan bagi mereka yang mengutuk kita. Semntara
dunia mengajarkan agar sahabat kitalh yang harus kita cintai dan musuh harus kita benci. Kepada kita diajarkan bahwa
matahari diterbitkan Allah bagi mereka yang bersifat adil maupun bagi mereka yangtidak jujur. Dunia menolak hal itu,
karena seyogianya matahari hanya terbit bagi mereka yang berlaku adil saja, dan seterunya masih banyak lagi. Jika kita
dapat merasakan dampak kata-kata dan ajaran Yesus yang asli, maka kita un akan merasakan terkejut dan kagum terhadap
sabda dan ajaran Yesus ini. Keindahan tidak akan dapat menutupi kenyataan-kenyataan bahwa kata-kata Yesus tersebut
adalah sangat keras. Tapi jika dilihat dan dipahami secara keseluruhan, baik perumpamaan-perumpaan, sabda bahagia,
maupun kata-kata Yesus, ibarat suatu permukaan kaca bakar yang mengajak manusia untuk dan memusatkan
perhatiannya pada dua hal yang paling penting dalam kehidupan ini. Yaitu tentang cinta Allah Bapa yang tidak ada
habis-habisnya kepada manusia; dan tetang perlunya manusia menerima cinta Allah Bapa itu untuk kemudian
diteruskan kepada sesamanya.

3. 3. 3. Diri Pribadi Yesus


Selain karya dan kata-kataNya, hal mendasar yang ”memaksa” para mkurid dan sahabatNya sampai pada
kesimpulan dan keyakinan bahwa Yesus yang lahir di kandang domba ternyata memiliki sifat-sifat ilahi adalah pribadi
Yesus sendiri8. Sudah pasti bahwa hal yang paling mengagumkan tentang ajaran-ajaran Yesus bukanlah karena Ia telah
mengajarkan, akan tetapi karena Yesus sendiri telah menghayati dan mengamalkannya semua yang Ia ajarkan. Seluruh
kehidupan Yesus merupakan perwujudan mutlak dari kesederhanaan, kerendahan hati, pemgorbanan diri dan kasih yang
idak menghendaki imbalan. Yesus tidak peduli, apakah sehausnya manusia mengetahui siapakah Ia.
Yang menjadi pusat perhatianNya adalah agar manusia mengenal Allah dan kehendakNya bagi kehidupan umat
manusia ini. Yesus sngat memuliakan Allah dan sama sekali tidak menghiraukan diriNya sendiri. Tidak mungkin
membaca apa yang telah dikatakan oleh Yesus mengenai sikap tidak mementingkan diri sendiri tanpa sekaligus
merasakan betapa Ia tidak pernah membanggakan diriNya sendiri.
Halaman demi halaman Kitab Injil menampilkan Yesus sebagai sosok pribadi yang memiliki daya tarik dan
pengaruh yang tiada taranya; sama sekali tidak memerikan kesan asing, kecuali kesempurnaaNya yang memang
merupakan hal yang asing, hal yang baru sama sekali pada saat itu. Yesus senang dengan orang lain, dan sebaliknya
mereka senang dengan Yesus, bahkan mencintaiNya. Dan jumlah orang yang mencitaiNya sangat banyak.
Pada akhirnya, terutama pada saat Yesus mengorbankan nyawaNya untuk para sahabatNya, bagi mereka yang
mengenal lebih dekat, sampai pada kesimpulan bahwa Yesuslah pribadi yang sama sekali tidak pernah memiliki perasaan
mementingkan diri sendiri. Yesus menyerahkan seluruh hidupNya demi kehendak Allah, sehigga dengan jelas kehendak
Allah Bapa itu terlihat dengan jelas melalui kehidupanNya. Hal itu sangat dirasakan oleh para muridNya, sehingga
sewaktu-waktu memandang Yesus, para murid merasa seakan-akan sedang memandang bagaimana wujud Allah
seandainya Ia akan mengambil rupa manusia.

3. 3. 4. Wafat Dan Kebangkitan Tuhan Yesus


Karya keselamatan Allah terlaksana dalam wafat dan kebangkitan Yesus. Yesus dihukum mati karena pewartaan
dan ajaranNya dianggap berbahaya bagi kedudukan dan kuasa para pemimpin agama Yahudi. Karena Yesus adalah orang
benar, maka kebenaranNya Nampak dalam penderitaan yang dialamiNya. Dengan kematianNya, Yesus solider atau
senasib manusia malang; keturunan manusia pertama yang terkutuk. Yesus wafat untuk manusia, demi keselamatan umat
manusia, dan karena dosa-dosa manusia. Sengsara dan wafat Yesus dengan demikian termasuk dalam tata penyelamatan
Allah. Sepintas, kematian Yesus Nampak seperti tanda kegagalan; akan tetapi bagi umat Kristen yang percaya, kematian
itu menandai puncak kemenangan atas kuasa kegelapan. Umat Kristen percaya bahwa dengan kematian Yesus, dosa
manusia diampuni dan dengan kebangkitanNya, kematian bukanlah akhir dari kehidupan.

“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, manaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,
yang walaupun dalam rupa Allah, tidak mnganggap kesetaraanNya dengan Allah itu sebagai milik yang harus
dipertahankan, elainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama
seperti manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan mati
di kayu salib. Itualah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan menganugerahkan kepadaNya nama di atas segala
nama, supaya dalam nama Yesus bertekuklutut segala yang ada di langit dan yang ada di bumi dan yang ada di bawah
bumi dan segala lidah mengakui: “Yesus Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah Bapa”. (Fil 2 : 6-11)

Saat-saat terakhir kegiatan menyampaikan ajaranNya, Yesus telah dikenal setiap orang. Setelah bergaul dengan
banyak orang dan mengajar mereka selama beberapa bulan, Yesus disalibkan. Saat itu seyogyanya merupakan akhir dari
kisah Yesus. Sejarah penuh dengan kisah orang yang mempunyai ilham tentang masa depan, memiliki berbagai rencana,
kemudian tewas, dan itulah akhir dari kisah yang dapat kita dengar mengenai mereka. Namun dalam hal ini, kisah Yesus
berbeda. Dalam beberapa minggu sesudah penyalibpanNya, para murid justru dengan penuh semangat menyampaikan
kabar gembira mengenai Yesus yang telah bangkit kembali.
Tak dapat diragukan bahwa iman akan kebangkitan inilah yang menjadi dorongan kuat untuk berdirinya Gereja,
komunitas umat yang beriman kepada Allah dalam diri Yesus Kristus. Selanjutnya, tersebar luaslah kabar kebangkitan
Yesus dan bersama dengan kabar gembira ini tersiar pula kabar bahwa mereka yang percaya kepadaNya, seperti Dia dan
bersama Dia akan dapat mengalahkan dosa dan maut, dan menuju suatu kehidupan yang baru, bahagia dan kekal.
Dalam wafat, kebangkitan dan seluruh hidupNya, Yesus menyampaikan wahyu Allah, bahkan mewujudkan wahyu
iu dalam DiriNya. Allah memperkenalkan diri-Nya dan menyingkapkan rencana keselamatanNya dalam Diri Yesus
Kristus. Allah mengajak manusia untuk hidup bersatu denganNya. Yesus adalah Wahyu Allah yang penuh dan
menentukan. Pengalaman Paskah adalah pengalaman akan Roh Kudus, yang ternyata Roh Yesus Kristus yang
dibangkitkan. Yesus tampil bukan dalam keadaan yang menyedihkan, akan tetapi sebagai pemenang yang mengalahkan
segala sesuatu, bahkan akhir dari segala akhir yakni maut itu sendiri. Yesus berkuasa juga atas kematian.

3. 3. 4. Kitab Suci
Umat Kristen (Katolik dan Protestan) dapat mengetahui pewartaan dan karya Yesus Kristus melaui Kitab Suci,
terlebih Kitab Suci Perjanjian Baru. Kitab Suci adalah pewartaan kabar gembira (Injil) yang membuku dan mengkristal ,
yang menjadi pedoman, ukuran, dan pegangan hidup seluruh umat Kristiani.
Peristiwa-peristiwa dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dipenuhi dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. Dalam
Perjanjian Lama dapat ditelusuri rencana keselamatan Allah sejak penciptaan dunia sampai pada saat bangsa Israel
menantikan kedatangan Sang Mesias. Terdapat 46 kitab dalam Perjanjian Lama. Kitab Suci Perjanjian Baru terdiri dari 27
kitab, dari Injil Mateus sampai Wahyu kepada Yohanes. Bisa dikatakan bahwa Kitab Suci Perjanjian Baru menjelaskan
makna dan maksud sebenarnya dari Kitab Suci Perjanjian Lama. Sedangkan Kitab Suci Perjanjian Lama merupakan
persiapan yang perlu untuk memahami makn dan maksud Kitab Suci Perjanjian Baru.
Di antara semua kitab suci, yang menduduki tempat istimewa adalah Kitab Injil (Injil Mateus, Markus, Lukas dan
Yohanes). Karena Injil merupakan kesaksian utama tentang hidup, karya, dan ajaran Sabda Tuhan Yesus Kristus, Sang
Juru Selamat umat manusia.
3. 3. 5. Sakramen
Sakramen adalah suatu kesepakatan antara manusia dengan Tuhan Allah, sehingga dengan menerima Sakramen,
seseorang berjanji untuk hidup setia kepada Yesus Kristus. Sebagai sumpah kesetiaan orang-orang percaya kepada
TuhanYesus Kristus.
Dalam Gereja Katolik ada 7 sakramen; mengikuti irama hidup manusia, yakni kelahiran (sakramen baptis),
makan-minum untuk pertumbuhan (sakramen ekaristi), sehingga menjadi kuat dan dewasa/sadar akan yang baik dan yang
buruk (sakramen penguatan/krisma), bertobat dari salah dan dosa (sakramen tobat), menentukan pilihan hidup: menikah
(sakramen perkawinan) atau selibat/tak kawin (sakramen imamat), dan menjadi lemah / sakit dalam proses hidup
(sakramen pengurapan orang sakit).
Dalam Gereja Protestan ada 2 sakramen, yaitu (1).Baptisan; Berasal dari kata Baptizzo (bahasa Yunani), yang
artinya dimandikan, dibersihkan,atau diselamkan. (2).Perjamuan Kudu Sakramen ditetapkan Tuhan Yesus untuk
menguatkan dengan sesama orang percaya, Seluruh umatNya, atau segenap keluarga Allah, di semua tempat dan segala
zaman.

Penutup
Sebagai penutup dari uraian tetang Agama Kristen di atas, kita dapat mencatat beberapa point pokok, sebagai
berikut:
1. Agama Kristen, bersama Agama Yahudi dan Agama Islam merupakan satu rumpun agama Abrahamistik atau agama
samawi. Bermula atau bertolak dari panggilan Abraham oleh Yahwe ini muncul penghayatan ketuhanan baru dalam
kehidupan umat yang kemudian menjadi pola penghayatan khas tiga agama Abrahamistik: Agama Yahudi, Agama
Kristiani , dan Agama Islam. Tiga pola penghayatan ketuhanan khas agama Abrahamistik tersebut adalah: (1) Allah
memanggil secara personal seseorang (Abraham) dan mulailah sebuah rencana keselamatan. (2) Allah adalah satu-
satunya Tuhan (monoteis). Dan (3) Allah adalah Pencipta langit dan bumi dan segala isinya. Alah bertahta di atas
langit dan bumi, dan bukan bagiannya.
2. Agama Kristen (Katolik dan Protestan) terdiri dari banyak Gereja. Tapi semua Gereja Kristen mempunyai cirri khas
yang sama, yaitu percaya pada Pribadi Yesus. Umat Kristiani mengimani Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru
Selamat umat manusia; demikian, Yesus Kristus menjadi pokok dan sumber iman mereka.
3. Iman Umat Kristiani didasarkan pada sabda, karya dan terutama diri Pribadi Yesus Kristus sendiri, yang dialami
dan dirasakan oleh para murid dan umat pada saat itu; seluruh kehidupan Yesus , dan teristimewa dalam sengsara,
wafat dan kebangkitaNya, sungguh mewujudkan Wahyu Allah (Ibr 1:1-3). Dalam dan melalui Yesus, Allah Bapa
Yang Maha Rahim itu hadir ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia (Fil 2: 6-11). Wafat dan kebangkitan Yesus
itu sungguh sesuai dengan kitab suci, dan dengan demikian memang sesuai dengan karya dan rencana keselamatan
Allah Bapa di surga.
4. Tugas pokok (tugas mulia) Gereja adalah (bersama dengan Yesus Kristus Yang Bangkit) adalah melanjutkan karya
Yesus Kristus, yaitu mewartakan kabar gembira “Kerajaan Allah” kepada umat manusia. Bahwa Kerajaan Allah itu
sudah dekat sekali, maka perlulah manusia bertobat (Mrk 1:15). Bertobat berarti meninggalkan dosa-dosanya, dan
berbalik kembali kepada Alah yang maharahim. Yesus sendiri menghengaki agar semua orang dibaptis: “.. karena itu
pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus (Mat
28:19).
5. Tiga nilai kehidupan utama yang diajarkan oleh Yesus dan yang harus dilaksanakan dan dibagi kepada sesama adalah
iman, harapan dan kasih. Di antara ketiga nilai keutamaan Kristiani tersebut yang paling besar adalah kasih. Seluruh
halaman Kitab Suci Perjanjian Baru, utamanya keempat Injil (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes), ketiga nilai
kehidupan itu terwujud dalam seluruh karya, sabda, ajaran dan diri pribadi Yesus.

-Allah Tritunggal
– Allah Bapa, Anak/Putra , Roh Kudus
-1 Korintus 13:13 - Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di
antaranya ialah kasih.
KREDO –PENGAKUAN IMAN
Versi Katolik Roma Versi Protestan
Aku percaya akan Allah, Aku percaya kepada Allah,
Bapa yang mahakuasa, Bapa yang Mahakuasa,
pencipta langit dan bumi; Khalik langit dan bumi
dan akan Yesus Kristus, Dan kepada Yesus Kristus,
Putra-Nya yang tunggal, Tuhan kita, Anak-Nya yang Tunggal, Tuhan kita
yang dikandung dari Roh Kudus, Yang dikandung daripada Roh Kudus,
dilahirkan oleh Perawan Maria; lahir dari anak dara Maria
yang menderita sengsara Yang menderita sengsara
dalam pemerintahan Pontius Pilatus di bawah pemerintahan Pontius Pilatus,
disalibkan, wafat, dan dimakamkan; disalibkan, mati dan dikuburkan,
yang turun ke tempat penantian turun ke dalam kerajaan maut
pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati; Pada hari yang ketiga bangkit pula
yang naik ke surga, dari antara orang mati
duduk di sebelah kanan Allah Bapa Naik ke surga,
yang mahakuasa; duduk di sebelah kanan Allah Bapa yang Mahakuasa,
dari situ Ia akan datang Dan dari sana Ia akan datang
mengadili orang yang hidup dan yang mati. untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati.
Aku percaya akan Roh Kudus, Aku percaya kepada Roh Kudus,
Gereja katolik² yang kudus, gereja yang kudus dan am,
persekutuan para kudus, persekutuan orang kudus
pengampunan dosa, pengampunan dosa
kebangkitan badan, kebangkitan daging;
kehidupan kekal. dan hidup yang kekal. Amin
Amin.
Perbedaan Kitab suci Katolik dan kitab suci Kristen Protestan memang ada perbedaan yang khas. Perbedaannya adalah
pada jumlah kitabnya. Dalam Katolik ada 46 kitab Perjanjian Lama, sedangkan dalam Kristen Protestan hanya 39 kitab
Perjanjian Lama. Sedangkan kitab Perjanjian Baru jumlahnya sama yakni 27 kitab. Ada 7 kitab yang diakui oleh Gereja
Katolik sebagai kitab suci, sedangkan Kristen Protestan tidak mengakui 7 kitab tersebut sebagai kitab suci. Tujuh kitab itu
sering disebut “Deuterokanonika”.

Sakramen : ritual upacara suci


Sakramen Katolik:
-Pembaptisan (Permandian)
-Peneguhan (Krisma)
-Rekonsiliasi (Sakramen Tobat, Pengakuan Dosa)
-Ekaristi (Komuni Suci)
-Pernikahan (Perkawinan)
-Pengurapan Orang Sakit (Sakramen Minyak Suci)
-Imamat (Pentahbisan)
Sakramen Kristen:
-Pembaptisan
-Perjamuan Kudus (Roti&Anggur)

Umat Kristiani mempunyai hubungan khusus dengan Yesus yang diberi gelar Kristus, bahkan disebut Tuhan. Yesus
juga jelas menyatakan bahwa Ia adalah Tuhan, “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab
memang Akulah Guru dan Tuhan.” (Yoh 13:13) Tidak ada seorang-pun yang lain, yang pernah berkata demikian.

BAB 4
Sejarah Agama Islam
Tujuan:
1. Mahasiswa mampu menguraikan agama Islam (C4)
2. Mahasiswa mampu menganalisis ajaran-ajaran agama (C5)

PENGANTAR:
Bentuk dan gambaran Islam sebagai agama tidak lepas dari nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalamnya.
Dalam ajaran itulah, Islam memperkenalkan diri serta memperlihatkan akan wajahnya. Wajah Islam akan nampak
seperti apa, semuanya tidak lepas dari umat Islam sendiri. Karena di situlah wajah Islam itu dilukis dan diperlihatkan.
Wajah Islam bukan terlihat pada indahnya ayat-ayat suci yang tertata rapi di setiap lembaran-lembaran kertas kitab
sucinya, tetapi pada praktik hidup dari para penganutnya. Dalam tataran inilah pemahaman dan wawasan nilai-nilai
keagamaan yang mempuni menjadi sebuah kebutuhan dan sekaligus keharusan.
Pemahaman dan wawasan nilai-nilai keagamaan yang mumpuni merupakan kunci untuk umat Islam bisa
sampai kepada tujuan pokok dari keberagamaan itu sendiri, yaitu untuk meraih rahmat Tuhan dan juga rahmatan
lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam). Sebaliknya pemahaman yang terbatas dan cenderung sempit akan menjadi
pintu munculnya manusia-manusia yang beragama, tetapi tanpa iman dan taqwa. Tanpa adanya keimanan dan
ketaqwaan, agama akan menjadi tumpul, kehilangan fungsi, sekaligus kehilangan “nyawanya”. Ketika agama
kehilangan nyawanya, maka agama akan menjadi “mati” sehingga walaupun ia ada, namun ia tak akan memberi arti
apa-apa bagi pemeluknya.
Agama punya fungsi untuk menolong manusia mencari dan sekaligus menemukan arti kehidupan. Fungsi ini
hanya akan bisa termaknai secara benar, hanya pada saat keberagamaan itu di hidupi dengan baik oleh para
penganutnya. Ketika penganut agama telah sampai pada tahapan menghidupi keagamaannya, maka ia buka lagi
sekedar penganut agama, atau sebagai orang yang beragama, tetapi telah masuk pada tahapan religius. Tahapan
persatuan dengan yang Mutlak (Tuhan). Kerangka berpikir semacam inilah yang harusnya ada di setiap umat
beragama di negeri ini, khususnya bagi kaum muda, yaitu kehidupan keberagamaan yang menuju pada tahapan
religius dan bukan sekedar hanya sampai pada titik beragama saja.

4. 2. Sejarah Agama Islam


Islam identik dengan Nabi Muhammad, dan keduanya tentunya tidaklah mungkin bisa untuk dipisahkan.
Muhammad dalam keyakinan Islam adalah Nabi terakhir yang secara khusus Tuhan pilih dan tetapkan menerima
wahyu untuk disampaikan ke seluruh umat manusia. Nabi memulai menyampaikan ajaran tersebut (Islam) di dua kota
suci, yaitu di kota Mekah dan Madinah. Dari dua kota inilah kemudian Islam dengan semua ajaran-ajaran yang ada di
dalamnya mulai tersebar, dan mulai mempengaruhi banyak orang di berbagai tempat, bahkan sampai ke semua
penjuru dunia, termasuk Indonesia. Di dua kota inilah, Mekah dan Madinah ajaran Islam dengan segala kekhasan dan
keunikannya berinteraksi dengan berbagai budaya masyarakat setempat. Dalam interaksi itu, terjadilah pemilah-
milahan budaya, ada budaya yang diterima kemudian dikukuhkan, ada juga yang diluruskan, dan ada pula yang
memang ditolak karena nyata-nyata bertentangan dengan prinsip dasar ajaran yang ada di dalam al-Quran yang
merupakan tuntunan bagi umat Islam itu sendiri.
Dalam konteks Islam, sumber pokok ajaran Islam itu ada tiga macam, yaitu: al-Quran, Hadis (Al-Sunnah) dan
Ijtihad (penalaran atau akal pikiran). Semua hal harus merujuk kepada ketiganya, tetapi yang paling utama adalah
kepada al-Quran yang oleh umat Islam diyakini merupakan wahyu Tuhan sendiri. Sebagai wahyu Tuhan, al-Quran
tidak lepas dari kehidupan manusia dengan segala tatanan yang ada didalamnya. Karena itulah bisa dimengerti jikalau
al-Quran lebih banyak berisi tuntunan hidup yang memuat hukum-hukum tentang hidup dan kehidupan. Al-Quran
adalah rambu-rambu bagi umat Islam, berkaitan dengan bagaimana umat Islam harus menjalani hidupnya di muka
bumi ini.
Sebagai tuntunan al-Quran, selalu memberikan rujukan kepada umat Islam berkenaan dengan banyak hal dan
juga banyak persoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Al-Quran merumuskan, apa yang boleh maupun apa yang tidak
boleh, apa yang halal dan apa yang haram, apa yang baik maupun apa yang buruk. Karenanya tentu tidaklah
mengherankan jika Al-Quran sarat dengan perintah dan larangan. Berkenaan dengan kebudayaan, al-Quran
memerintahkan kepada Nabi agar mengukuhkan kebudayaan (kebiasaan) positif yang ada di tengah-tegah masyarakat
yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan yang Islam ajaran. Al-Quran juga memerintahkan kepada Nabi
untuk melarang setiap budaya yang menyimpang dari ajaran Islam. Melalui kasus ini diperoleh pemahaman bahwa
Muhammad selalu menempatkan Al-Quran sebagai rujukannya dalam setiap tindakannya, bukan karena alasan ia suka
atau pun karena ia tidak suka.
Dalam sejarah perjalanannya, Islam banyak bertemu dan bersinggungan dengan kebudayaan di mana Islam itu
diwartakan. Di saat bertemu itulah, Islam dan kebudayaan masyarakat setempat itu saling mempengaruhi. Jikalau
didapati bahwa nilai budaya atau kebiasaan yang ada tersebut positif bagi masyarakat, maka budaya tersebut akan
dirujuk untuk diteruskan, sedangkan jikalau kedapatan bahwa budaya yang ada tersebut mempunyai dampak atau nilai
yang negatif, maka budaya tersebut akan dihentikan dan dihilangkan, sedangkan jika ada budaya yang sebenarnya
bagus, tetapi sedikit bertentangan, maka budaya tersebut akan diluruskan. Dan standart ini hanya berlaku bagi mereka
yang memilih menganut Islam, artinya bagi mereka yang tidak menganut agama Islam, hal tersebut Muhammad
tidaklah paksakan.
Islam tidak memusuhi budaya (kebiasaan) yang ada berkembang dalam lingkungan masyarakat yang ada kala
itu. Islam hanya memilah-milahkan mana budaya yang baik yang terus harus dikembangkan dan mana budaya yang
tidak baik sehingga harus ditinggalkan dan dihilangkan dari masyarakat Islam kala itu.
Dalam sejarah perjalanan selanjutnya, tatkala Islam yang Nabi Muhammad ajarkan bersentuhan dengan
masyarakat lain yang berbeda dengan masyarakat Mekah dan Madinah, prinsip inilah yang kemudian dipakai serta
dipraktikan. Akulturasi budaya menjadi hal yang lumrah (biasa) dalam dunia ini, di mana budaya atau kebiasaan yang
kuat mempengaruhi budaya atau kebiasaan yang lemah. Sejarah perjalanan Islam juga mengajarkan bahwa betapa
banyak budaya atau kebiasaan yang mempunyai nilai positif yang ada berkembang di Mekah dan Madinah sebelum
Islam lahir disana, dan nyatanya budaya atau kebiasaan itu (walau bisa dikategorikan peninggalan kafir) tetap
dipertahankan bahkan dilestarikan, artinya tidak semua budaya ataupun kebiasaan di luar Islam itu tidak baik sehingga
harus ditolak. Muhammad juga mengajarkan perlunya untuk menghargai budaya ataupun kebiasaan yang ada di
tempat di mana Islam itu hadir, terutama tatkala tidak ada petunjuk yang jelas dari al-Quran yang melarang secara
pasti akan keberadaan kebudayaan atau pun kebiasaan tersebut.
Dari sinilah kemudian lahirlah kaidah al-adat muhakkamah. Artinya, bahwa kebudayaan atau kebiasaan (adat)
satu masyarakat yang tidak bertentangan dengan tuntunan ataupun ajaran Islam yang bersifat pasti, maka dapat
diterima dan sah adanya sehingga dengan demikian tidak perlu untuk dipertentangkan lagi dikalangan umat Islam.
Umat Islam meyakini bahwa Islam adalah agama yang mengayomi dan menentramkan. Islam datang untuk
membawa damai dan kebahagian di bumi ini. Dalam Islam banyak terdapat ajaran-ajaran kehidupan, yang merupakan
tuntunan sekaligus landasan hidup bagi umat manusia untuk bagaimana mereka bersikap dan berjuang dalam
mengarungi samudra kehidupan selama di dunia ini.

4. 3. Ajaran Islam Tentang Kehidupan Personal


Secara ringkas ajaran Islam tentang kehidupan personal terbagi atas dua hal, yaitu: yang pertama Islam
mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang mulia dan bermartabat, yang kedua Islam
mengajarkan bahwa diri manusia adalah sebagai cerminan sifat-sifat ketuhanan.

4. 3. 1. Islam Mengajarkan Bahwa Manusia Makhluk Ciptaan Tuhan Yang Mulia Dan Bermartabat
Manusia adalah makhluk dwi dimensi, asal kejadiannya dari tanah, dan juga hembusan illahi. Manusia ciptaan
yang unik, beda dengan ciptaan yang lainnya. Al-Quran menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan yang
paling istimewa di muka bumi ini. Keistimewaan manusia itu nampak jelas lewat peristiwa penciptaan manusia, yang
jauh berbeda jikalau dibandingkan dengan ciptaan yang lainnya, sebagaimana yang tertulis didalam Qs. At-Tin [95]:4
“Dia (Allah) memuliakan manusia dan Dia menganugerahinya aneka kelebihan atas banyak makhluk-Nya yang
lain.” Sisi kemuliaan inilah yang membuat manusia memiliki kedudukan yang sama dengan manusia lainnya dari
segi kemanusiaan. Artinya bahwa semua manusia dari sisi kemanusiaan adalah setara. Tidak ada yang lebih tinggi,
tidak ada pula yang lebih rendah, semuanya sama-sama mulianya.
Tindakan suka membeda-bedaan sebagaimana yang kerap manusia lakukan, bahkan mungkin juga seringkali
kita lakukan, merupakan tindakan yang menyalahi ajaran Islam. Tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindakan
menistakan manusia dan juga menistakan Tuhan selaku penciptanya. Dalam bukunya yang berjudul “Islam yang saya
anut, dasar-dasar ajaran Islam” M. Quraish Shihab menekankan bahwa seluruh manusia dalam pandangan Islam
memiliki kedudukan yang sama dari segi kemanusiaan, meskipun berbeda suku, bangsa, agama, warna kulit, jenis
kelamin, dan sebagainya. Semua telah Allah muliakan.
Kehormatan manusia harus dipelihara baik saat ia hidup maupun setelah kematiannya karena dia adalah
manusia. Kemuliaan manusia itu akan terus melekat pada diri manusia sampai kapanpun, bahkan sampai manusia itu
kembali kepada penciptanya. Karena itu berkelakuan mulia merupakan sebuah keharusan sebagai makhluk mulia,
sebab tatkala kita tidak berlaku mulia, maka pada saat itu kita telah merendahkan martabat kita sebagai makhluk
mulia, dan ketika kita merendahkan martabat kita sebagai makhluk mulia, maka sejatinya kita juga sedang
merendahkan martabat Tuhan selaku pencipta manusia.
Dalam kediriannya sebagai manusia, Islam juga mengajarkan bahwa manusia selain mulia, ia juga istimewa.
Keistimewaan itu terlihat jelas melalui banyaknya aneka kelebihan yang Tuhan anugrahkan kepada manusia.
Kelebihan tersebut antara lain adalah manusia diberi akal pikiran, diberi hati dan juga perasaan, yang mana semuanya
itu hanya ada dan dimiliki oleh manusia. Inilah yang membedakan manusia dengan ciptaan lainnya. Menurut Imam
Al-Gazali, ilmuwan dan sufi kenamaan yang hidup sekitar abad kesebelas Masehi, semua kelebihan ini tidak lain dan
tidak bukan sebagai perangkat kelengkapan diri yang dianugerahkan Tuhan kepada umat manusia yang adalah hamba
dan khilafah-Nya di bumi ini. Artinya, demi kemaslahatan hidup manusia itu sendiri maupun bagi ciptaan lainnya,
maka semua perangkat perlengkapan itu dianugerahkan kepada manusia.
Karenanya bisa dipahami jika pada tahapan selanjutnya mengapa Tuhan memberikan mandat kepada manusia
untuk memelihara dan merawat bumi ini, dan mengangkatnya sebagai khalifah fil ardhi, yang berarti dipercayai Tuhan
sebagai wakil-Nya untuk mengatur dan memakmurkan bumi. Penegasan itu bisa dilihat di Surah Shad ayat 26, Surah
Al-Fathir ayat 39, Surah An-Anam ayat 165, dan lain sebagainya. Berkenaan dengan hal menunaikan tugas mulia ini,
yaitu sebagai khalifah fil ardhi (pemimpin di bumi) dalam praktiknya memang ada terbagi dalam dua kelompok
golongan, yang pertama adalah kelompok umat yang secara sungguh menunaikannnya, dan yang kedua adalah
kelompok yang memilih bersikap masa bodoh dan mengabaikannya. Dalam tataran ini, Islam mengajarkan bahwa
mereka yang sengaja bersikap masa bodoh dan mengabaikan tugasnya, maka itu berarti mereka telah mencederai
fitrah kemanusiaannya sebagai makhluk mulia yang dipercaya oleh penciptannya untuk menjadi pemimpin di bumi
dengan tugas pokok memelihara dan memakmurkan bumi. Ini juga bisa diartikan bahwa manusia tersebut telah
menodai dan merendahkan kemuliaan yang ada pada dirinya. Namun begitu al-Quran menyatakan walaupun mereka
telah menodai dan merendahkan sisi kemuliaannya, hal itu tetap saja tidak dapat menghilangkan status mereka sebagai
manusia yang dimuliakan Tuhan, sebab status tersebut sifatnya melekat pada diri manusia sampai akhir hanyatnya.
Oleh karena adanya keyakinan bahwa manusia sebagai makhluk mulia, maka hal ini harusnya mendorong
seluruh umat Islam untuk selalu hidup dengan mengedepankan dan selalu menjunjung martabat kemanusiaannya.
Karena di saat manusia menjunjung martabat kemanusiaannya di tengah-tengah praktik kehidupan kesehariannya,
maka di situlah kemuliaan akan nyata terlihat. Beranjak dari semua, maka sudah seharusnya jika Islam mewajibkan
umatnya untuk selalu menjaga martabat kemanusiaannya ditengah-tengah pratik kehidupan keseharian. Sebab saat
manusia kehilangan martabat kemanusiaannya, manusia menjadi tidak mampu lagi untuk memahami akan hakikat
kemanusiaannya, yaitu sebagai makhluk yang luhur dan menjaga marwah keluhuran kemanusiaan tersebut lewat
semua aktivitas kesehariannya demi mengangkat nilai-nilai yang memanusiakan manusia. Sebab tanpa ada landasan
kesadaran semacam ini, kecenderungan manusia akan selalu merendahkan martabat dan keluhuran kemanusiaannya.
Oleh sebab itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan martabat dan keluhuran kemanusiaan harus selalu dibela,
dikedepankan, serta selalu dijadikan sebagai acuan interaksi, kebijaksanaan, dan perumusan hukum-hukum yang
dibuat oleh manusia.
Untuk itu tepat kiranya jikalau martabat kemanusiaan selalu menjadi acuan, atas semua produk yang
dihasilkan dalam interaksi, pembuatan kebijaksanaan, dan perumusan hukum-hukum di muka bumi ini. Oleh karena
itu produk apapun yang dihasilkan oleh manusia (jikalau berkenaan dengan martabat dan keluhuran kemanusiaan)
tidak boleh merendahkan apalagi menciderai sisi kemanusiaan itu sendiri. Karena kalau hal itu sampai terjadi, maka
sudah seharusnya produk tersebut ditolak dan dilawan atas nama kemanusiaan itu sendiri. Contoh produk yang
menciderai kemuliaan dan martabat kemanusiaan di negeri ini adalah adanya perda yang berbau syariah di daerah-
daerah dan terkait adanya kebijakan kepala sekolah negeri yang mewajibkan semua muridnya untuk memakai pakaian
muslim. Umat Islam sepatutnya mampu bersikap kritis terhadap kasus-kasus yang demikian.

4. 3. 2. Diri Manusia Adalah Sebagai Cerminan Sifat-Sifat Ketuhanan


Dalam ajaran Islam, manusia diposisikan sebagai makhluk yang istimewa. Hal ini dikarenakan di dalam diri
kemanusiaan manusia cerminan sifat-sifat ketuhanan itu terpancar. Memandang manusia sebagai makhluk mulia tentu
tidak bisa terlepas dari keyakinan bahwa manusia itu sendiri adalah cerminan dari sifat-sifat ketuhanan itu sendiri, atau
penggambaran dari Tuhan itu sendiri. Itulah yang menjadi pembeda antara manusia dengan ciptaan lainnya. Dalam
diri manusia ada tergambar sifat-sifat Tuhan yang melekat sejak lahir sampai mati.
Dalam al-Quran, Tuhan selalu digambarkan sebagai Yang Maha Mulia, maka tidaklah mengherankan jikalau
kemudian Ia berinisiatif untuk menciptakan manusia sebagai makhluk mulia. Al-Quran juga menggambarkan Tuhan
itu sebagai Yang Maha Kasih Sayang, maka dalam tahapan ini, mencintai martabat kemanusiaan sebagai makhluk
mulia adalah bagian dari cerminan sekaligus pengejawantahan dari kasih sayang-Nya itu dan jika dilihat dari
penciptaan manusia, maka penciptaan itu sendiri didasari oleh karena kasih dan sayang-Nya. Mencintai apa yang
Tuhan kasihi dan sayangi tidak lain merupakan cerminan dari sifat-sifat ketuhanan-Nya. Kesadaran diri, merupakan
kunci umat Islam untuk dapat dengan sempurna mengenali cerminan sifat-sifat Tuhan yang melekat pada dirinya.
Pengenalan itulah yang pada akhirnya bisa mendorong manusia untuk bagaimana mengejawantahkan cerminan sifat-
sifat ketuhanan yang melekat pada diri mereka ditengah-tengah kehidupan masyarakat modern seperti sekarang ini.
Itulah salah satu tantangan terberat yang harus dihadapi umat Islam, lebih khusus lagi bagi kaum muda Islam di
tengah-tengah degradasi kemanusiaan yang sedang masif melanda dunia saat ini, termasuk di Indonesia.

4. 3. 3. Ajaran Tentang Kehidupan Sosial


Islam mengajarkan bahwa manusia ditakdirkan Allah sebagai makhluk sosial yang membutuhkan hubungan
dan interaksi sosial dengan sesama manusia, demi kebaikan dirinya maupun demi kebaikan bersama. Ini berarti bahwa
Islam itu adalah agama yang terbuka dengan pihak lain (berinteraksi sosial). Bahkan lebih jauh Islam mengajarkan
umatnya untuk selalu bekerja sama dan saling ta’awun dengan siapa saja dalam hal kebaikan. Yang dimaksud dengan
siapa saja di sini mengandung pengertian bahwa dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam tidak boleh
menutup diri, tetapi harus bisa bekerjasama dan berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, agama dan
sebagainya. Bentuk kerjasama yang dimaksud meliputi semua aspek kehidupan yang ada sangkut pautnya dengan
masalah kemanusiaan dan kehidupan sosial.
Kerjasama harus menjadi sesuatu yang penting bagi semua umat beragama demi menunjukkan sisi
kemanusiaannya dan juga demi mengangkat harkat dan martabat hidup manusia lainnya. Dalam aksi model seperti ini,
para pemeluk agama berbaur bersama-sama membantu mereka yang sedang menderita. Contohnya bersama-sama
membantu korban banjir dan bencana alam lainnya, membangun sarana dan prasarana umum, seperti jalan, jembatan
dan sebagainya. Kesadaran bahwa semua kelompok agama mempunyai tugas dan tanggungjawab bersama, itulah
yang perlu dibangun semua umat beragama, termasuk di dalamnya umat Islam.
Makna dari pengertian kerjasama yang dimaksud di sini adalah semangat dari pelbagai pihak dalam
kebersamaan untuk menyelesaikan persoalan ataupun tugas yang sama-sama dihadapi. Dalam konteks kerjasama antar
umat beragama, tugas atau persoalan yang harus sama-sama dihadapi dengan spirit kebersamaan adalah terkait dengan
masalah kemiskinan, ketidakadilan, dan kemerosotan moral yang semakin hari semakin meningkat dan
memprihatinkan.
Tanpa dialog tidaklah mungkin kehidupan harmonis akan tercipta. Sering terjadinya gesekan antara umat
Islam dengan agama lain di negeri ini adalah karena kurang terbukanya ruang dialog antar umat beragama. Dialog
sesungguhnya tidak hanya berguna untuk membina persatuan, melainkan juga untuk memperkaya dan
mengembangkan serta mengakarkan iman dari setiap pemeluk agama. Perjumpaan dengan agama lain dapat
mendorong umat beragama untuk memperdalam keyakinan mereka dan memurnikannya. Karena dengan
merefleksikan kembali pengetahuan dan pengalaman iman tersebut melalui perjumpaan dengan pemeluk agama lain,
hal itu akan membuat mereka bisa melihat kembali pengetahuan dan pengalaman keagamaan mereka dengan lebih
baik dan lebih kritis lagi.

4. 3. 4. Ajaran Islam tentang Perbedaan


Islam mengajarkan bahwa perbedaan atau keanekaragaman itu adalah bagian dari kehendak Tuhan itu sendiri.
Oleh karena Tuhan yang menghendaki, maka sudah seharusnya manusia bisa menerima perbedaan itu dan
mensyukurinya. Perbedaan itu indah, tetapi jikalu tidak disingkapi dengan baik, perbedaan bisa menjadi “biang
keladi” timbulnya berbagai masalah dalam hubungan antara manusia satu dengan manusia lainnya. Supaya perbedaan
tidak menjadi persoalan, maka diperlukan adanya faham yang bisa menjembatani serta menyatukan semua perbedaan
itu, sehingga lewat faham itu terciptalah kehidupan yang harmonis dan jauh dari gesekan.
Jikalau melihat dari sejarah, maka faham semacam ini sejatinya telah lama dipraktikan oleh Islam, utamanya
pada saat Nabi menyebarkan ajaran Islam di kota Madinah. Pada zaman itu, Arab dihuni oleh berbagai-bagai etnis,
suku, agama, serta budaya yang berbeda-beda. Untuk mengatasi hal ini, Nabi kemudian membuat kesepakatan
bersama. Dari kesepakatan itulah kemudian lahirlah Piagam Madinah sebagai acuan untuk menciptakan keharmonisan
hidup dalam konteks masyarakat yang multikultural. Piagam Madinah intinya menyatakan bahwa umat Islam dan
kaum Yahudi dan sekutunya adalah satu umat dalam kebersamaan. Penggunaan kata umat ini bersifat inklusif dan
dasarnya adalah “persaudaraan sosial dan kemanusiaan”, atau al-ukhuwah al-ijtima’iyah wa al-insaniyah. Jadi dalam
sisi kemanusiaan semua orang itu saudara, walaupun pada kenyataannya mereka berbeda. Karena itu tepat apa yang
menjadi komentar Nurcholish Madjid bahwa “Muhammad tidak pernah membentuk masyarakat yang eksklusif bagi
kaum Muslimin,” tetapi masyarakat Islam yang inklusif. Hal ini terlihat jelas dengan tindakan Nabi yang mana
menghimpun semua golongan penduduk Madinah tanpa terkecuali. Nabi dalam hal ini tidak mempersoalkan, apakah
orang tersebut termasuk yang menerima maupun yang menolak Islam, supaya hidup rukun, damai dalam
kebersamaan.
Jadi dengan demikian, seharusnya perbedaan tidak menjadi alasan untuk umat Islam tidak membaur dan
bersatu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Gerakan Nabi mempersatukan penduduk Madinah menjadi
satu umat, menurut Watt, merupakan kesatuan tipe baru. Ia menulis “the people of Madina were now regard as
constituting apolitical unit a new type, an Ummah or Community”. Piagam Madinah membuat era baru, menyatukan
perbedaan, dan menghimpunnya dalam satu tali ikatan persaudaraan. Jikalau semua umat Islam memahami akan hal
ini, maka sewajarnya tidak ada lagi pertentangan yang berarti berkenaan dengan masalah perbedaan.
Dalam zaman modern upaya menyatukan perbedaan ini dikenal dengan istilah faham multikultural. Faham
Multikutural adalah suatu faham atau idiologi yang sangat menjunjung tinggi adanya perbedaan dan kesetaraan antara
yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan dalam banyak hal, termasuk didalamnya
adalah perbedaan individu, agama, maupun kebudayaan. Multikultural dalam penerapannya selalu menekankan
pentingnya pemahaman dan upaya untuk hidup dalam konteks sosial budaya yang berbeda, baik itu secara pribadi
maupun kelompok sebagaimana yang selama ini diperjuangkan oleh Gus Dur, Nurcholish Madjid, dan beberapa tokoh
Islam besar lainnya yang ada di negeri ini. Sehingga dengan demikian, justru oleh karena adanya perbedaan membuat
orang bisa mengenal siapa dirinya dan juga sekaligus mengenal siapa orang lain yang berbeda dengan dirinya.
Islam menyakini bahwa perbedaan adalah anugrah. Apa jadinya jikalau di dunia ini orang lain sama dengan
kita, dan kita sama dengan orang lain, maka dipastikan kehidupan akan menjadi membosankan dan tidak menarik lagi.
Dalam konteks multikultural ini, umat Islam tidak hanya dituntut untuk sekedar mengenal adanya perbedaan, tetapi
juga untuk memahami keberbedaan itu sendiri. Ini berarti bahwa setiap manusia dituntut untuk tidak saja mengenali
kebudayaan, agama atau apapun yang ada pada dirinya, tetapi juga konsen untuk bisa mengenali agama atau
kebudayaan yang ada pada diri orang lain. Tujuan dari semua ini adalah supaya manusia bisa meletakkan kebudayaan
dan agama orang lain menjadi setara dipemandangan dan pemikirannya. Sehingga dengan adanya pemikiran yang
demikian, bisa dipastikan dengan sendirinya dalam diri orang tersebut akan tumbuh kesadaran untuk hidup saling
menghormati dan saling menghargai, sehingga perbedaan tidak lagi menjadi persoalan.
Dalam Islam, konsep saling menghormati, saling menghargai dan saling bekerjasama yang merupakan ciri
faham multikulturial ada banyak dijumpai, baik itu di al-Quran maupun al-Sunnah. Hal ini memberikan pengertian
bahwa Islam sejak diturunkan, menjunjung tinggi asas multikulturial itu. Beberapa ayat dalam al-Quran bahkan sangat
menekankan akan pentingnya saling menghargai, saling menghormati, saling mengenal dan sebagainya.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
lagi maha mengetahui dan lagi maha mengenal.” (Al-Hujaraat: 13).

Berdasarkan ayat ini, dapat diketahui bahwa Allah menjadikan manusia berkaum-kaum, laki-perempuan, dan berbeda-
beda dengan tujuan agar mereka saling mengenal antara satu dengan lainnya. Jikalau antara satu dengan yang lainnya
saling mengenal, maka dengan sendirinya akan tercipta tali persaudaraan. Maksud dari kata mengenal itu bukan
bermakna sekedar hanya “kenal”, tetapi lebih dari itu, yaitu mengenal kebudayaan dan agama, atau hal-hal lainnya
yang berbeda dengan dirinya. Sehingga dengan demikian dapat menghilangkan prasangka-prasangka yang ada pada
dirinya terhadap kebudayaan, agama, atau hal-hal lainnya selama ini.
Oleh karena itu perbedaan tidak boleh menjadi penghalang bagi setiap manusia untuk hidup harmonis, rukun
dan damai. Perbedaan itu adalah sunnatullah, bagian dari kehendak Tuhan sendiri. Jadi menghargai dan menghormati
perbedaan ataupun keberagaman manusia itu sesungguhnya adalah bagian dari memuliakan Tuhan, sekaligus juga
menunjukkan sisi kemanusiaan dari manusia itu sendiri, selaku makhluk mulia dengan memandang bahwa semua
manusia itu pada dasarnya adalah setara (sederajat). Dalam ranah ini, Islam menghargai dan menghormati perbedaan,
bahkan meyakini bahwa perbedaan itu adalah bagian dari kehendak Tuhan itu sendiri yang tak terbantahkan.
Untuk itu, umat beragama dalam konteks ini adalah umat Islam perlu melakukan reformasi pemikiran dari
teologis ekslusif menuju pemikiran teologis yang inklusif, terbuka dan pluralis, serta bersedia menerima dan mengakui
perbedaan itu sebagai anugerah Tuhan bagi dunia ini. Kesadaran inilah yang pada akhirnya akan memunculkan sikap
toleransi dalam kehidupan bersama di tengah-tengah perbedaan. Untuk mencapai kehidupan masyarakat yang
dinamis dan ideal ditengah-tengah perbedaan, maka ada baiknya umat beragama selalu mengadakan pertemuan secara
berkesinambungan, selalu mengutamakan kesamaan dan bukannya perbedaan, selalu saling aktif untuk saling
menjelaskan dan mendengarkan, selalu mengutamakan pesan kedamaian, kebenaran dan keselamatan.
Perbedaan itu bisa diibaratkan seperti roda sepeda. Semakin jari-jarinya jauh dari pusat, maka akan semakin
rengganglah. Demikian juga sebaliknya, semakin dekat dengan pusat jari-jarinya akan semakin dekat dan bahkan
bersatu. Artinya, semakin seseorang hanya melihat perbedaan yang ada di sekelilingnya, ia akan semakin jauh dari
yang lain, tetapi apabila seseorang mau terbuka terhadap adanya perbedaan, maka ia akan semakin bisa dekat dengan
yang lain. Persoalannya sebenarnya hanya sepele, mau terbuka atau mau tertutup, mau mendekat, atau mau menjauh,
tidak lebih dari itu. Sederhana sekali bukan!

Penutup
Dari sejarah perjalanan Islam dapat dipahami bahwa ajaran Islam tidak diarahkan kepada eksklusifisme,
seperti membenci perbedaan, memusuhi agama lain, merendahkan orang lain, tetapi lebih kepada Islam inklusif
yang mengedepankan sisi kemanusiaan, yang penuh toleransi, terbuka, dan yang bisa bekerja sama dengan siapapun,
sebagaimana yang selama ini Gus Dur dan banyak tokoh Islam yakini dan perjuangkan. Islam juga menekankan
bahwa perbedaan tidak boleh menjadi penghalang untuk berinteraksi, bahkan lebih jauh Islam selalu menganjurkan
merangkul semua elemen yang ada disekitarnya untuk bekerja sama membangun masyarakat dan bangsa.
Islam mempromosikan perdamaian bukan kekerasan. Jadi jikalau ada pihak yang mengaku diri sebagai Islam,
tetapi perilakunya jauh dari apa yang diajarkan oleh Islam itu sendiri, maka itu perlu dipertanyakan dan dikritisi.
Islam yang inklusif itulah yang harusnya terus menjadi wajah Islam di Indonesia. Islam yang terbuka, yang
menghargai kebebasan, dan bukan Islam yang eksklusif, yang tertutup, yang kaku, dan yang tidak bisa menghargai
perbedaan. Kemampuan untuk menampilkan Islam yang inklusif inilah yang harus dijawab oleh umat Islam di negeri
ini, karena inilah yang akan menentukan sejarah dan masa depan Islam kedepannya. Dan tantangan ini hanya akan
bisa terjawab, jikalau umat Islam di negeri ini mau keluar dari penjara-penjara formalisme agama, dari segala bentuk
kesalehan palsu kehidupan beragama. Penghayatan dan pemaknaan yang mendalam tentang kehidupan beragama
yang benar sangat dibutuhkan dalam hal ini, sehingga pada akhirnya agama lepas dari tuduhan sebagai pemicu
konflik, tetapi sebaliknya sebagai sumber rahmat sekaligus berkah bagi semua umat manusia, bagi semua makhluk.
Kesadaran inilah yang harus dimiliki oleh semua umat Islam, atau yang mengaku diri sebagai Islam. Karena itu umat
Islam harus bersegera untuk melakukan semuanya ini, dan jangan jadikan alasan untuk mereka yang belum
melakukannya untuk tidak bersegera melakukannya. Sebab Islam akan jadi apa kedepannya, itu semua bergantung
pada apa yang saat ini dibuat dan dilakukan oleh umat Islam itu sendiri di hari ini.

10 Hukum Taurat
1. Jangan ada allah lain dihadapanku 6. Jangan mencuri
2. Jgn buat patung menyerupai apapun utk disembah. 7. Jangan berzinah
3. Jgn menyebut Tuhan Allahmu dengan sembarangan 8. Jangan membunuh
4. Ingat dan kuduskanlah hari sabat 9. Jangan bersaksi dusta terhadap sesamamu
5. Hormatilah ayah dan ibumu 10. Jangan menginginkan hak milik orang lain.

Dalam agama Islam Tuhan di sebut Allah dan agama Islam percaya bahwa Tuhan Maha Esa, serta tidak beranak.
Surat asy-Syura, ayat 11
"Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya"
Surat al-An’am, ayat 101
"Allah Pencipta langit dan Bumi, bagaimana mungkin Dia mempunyai putera, padahal Dia telah menciptakan segala
sesuatu dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."

MODUL PEMBELAJARAN
BAB 5
AGAMA HINDU
Tujuan Pembelajaran adalah Mahasiswa mampu:
1. Menguraikan sejarah agama Hindu (C4)
2. Menganalisis ajaran agama Hindu tentang personal, sosial, dan perbedaan (C5)

5. 1. Pengantar
Sejarah agama Hindu tidak dapat dilepaskan dari sejarah pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Hindu di
India berkaitan dengan sistem kepercayaan bangsa Arya yang masuk ke India pada 1500 S.M. Kebudayaan Arya
berkembang di Lembah Sungai Indus India. Bangsa Arya mengembangkan sistem kepercayaan dan sistem
kemasyarakatan yang sesuai dengan tradisi yang dimilikinya. Sistem kepercayaan itu berupa penyembahan terhadap
banyak dewa yang dipimpin oleh golongan pendeta atau Brahmana.
Keyakinan bangsa Arya terhadap kepemimpinan kaum Brahmana dalam melakukan upacara ini melahirkan
kepercayaan terhadap Brahmanisme. Selanjutnya golongan ini juga menulis ajaran mereka dalam kitab-kitab suci yang
menjadi standar pelaksanaan upacara-upacara keagamaan. Kitab suci agama Hindu disebut Weda (Veda), artinya
pengetahuan tentang agama.
Weda terdiri dari 4 buah kitab, yaitu:
a. Rigweda adalah kitab yang berisi tentang ajaran-ajaran Hindu. Rigweda merupakan kitab yang tertua.
b. Samaweda adalah kitab yang berisi nyanyian-nyanyian pujaan yang wajib dilakukan ketika upacara agama.
c. Yajurweda adalah kitab yang berisi dosa-doa yang dibacakan ketika diselenggarakan upacara agama.
d. Atharwaweda adalah kitab yang berisi doa-doa untuk menyembuhkan penyakit, doa untuk memerangi
raksasa.
Agama Hindu bersifat Politheisme, yaitu percaya terhadap banyak dewa yang masing-masing dewa memiliki
peranan dalam kehidupan masyarakat. Ada tiga dewa utama dalam agama Hindu yang disebut Trimurti terdiri dari Dewa
Brahma (dewa pencipta), Dewa Wisnu (dewa pelindung), dan Dewa Siwa (dewa pelebur).
Sistem kemasyarakatan yang dikembangkan oleh bangsa Arya adalah sistem kasta. Sistem kasta mengatur
hubungan sosial bangsa Arya dengan bangsa-bangsa yang ditaklukkannya.
Sistem ini membedakan masyarakat berdasarkan fungsinya, Sistem kepercayaan dan kasta menjadi dasar terbentuknya
kepercayaan terhadap Hinduisme. Penggolongan seperti inilah yang disebut caturwarna, urutan kasta :
1. Brahmana (pendeta)
2. Ksatria (bangsawan, prajurit)
3. Waisya (pedagang dan petani)
4. Sudra (rakyat biasa) menduduki
5. 2. Ajaran tentang Kehidupan Personal
Mengenai terjadinya manusia diajarkan demikian: Sari Pancamahabhuta, yaitu sari ether, hawa, api, air, dan
bumi bersatu menjadi sadrasa (enam rasa), yaitu: rasa manis, pahit, asam, asin, pedas, dan sepat. Kemudian unsur-
unsur ini bercampur dengan unsur-unsur yang lain, yaitu cita, budhi, ahangkara, dasendrya, pancatanmatra, dan
pancamahabhuta. Pencampuran ini menghasilkan dua unsur benih kehidupan, yaitu mani wanita (swanita) dan mani
laki-laki (sukla). Kedua unsur benih kehidupan itu bertemu. Pertemuannya terjadi seperti halnya dengan pertemuan
purusa dan prakrti, serta melahirkan manusia. Oleh karena itu maka sama halnya dengan alam semesta, manusia juga
juga terdiri dari unsur-unsur cita, budhi, dan ahangkara, yang membentuk watak budi manusia, dilengkapi dengan
dasendrya dan pancatanmatra serta panca maha bhuta atau anasir-anasir kasar, yang bersama-sama
membentuk tubuh manusia.
Cita, Bhudi dan Ahangkara membentuk watak budi seseorang . Dasendria membentuk indrianya.
Pancatanmatra dan pancamahabhuta membentuk badan manusia/mahluk. Jika pancamahabhuta di alam besar
(Macrocosmos) antara lain membentu Triloka, yakni:
a. Bhur-loka/alam dunia bumi,
b. Bhuwah-loka/alam dunia angkasa udara dan
c. Swah-loka/ alam sorga, maka di alam kecil (microcosmos) atau tubuh manusia/makhluk terbentuklah tiga
lapis badan (Trisarira), yakni: 1) Badan kasar (Sthula Sarira), 2) Badan Halus (Sukma-Sarira), dan 3) Badan
penyebab (Karana Sarira).
Kedua alam tersebut yakni alam-semesta (Bhuwana agung/Macrocosmos) dan alam badan makhluk (Bhuwana
Alit/Microcosmos) mempunyai sifat-sifat keadaan yang sama.
a. Segala yang kental, padat dan keras pada alam maupun badan makhluk disebabkan oleh zat padat
(Prthiwi).
b. Segala sesuatu yang besifat cair di alam dunia maupun di alam makhluk disebabkan oleh unsur zat cair
(Apah).
c. Segala sesuatu yang bercahaya panas, baik di Bhuwana Agung maupun di Bhuwana Alit disebabkan oleh
unsur cahaya panas/api (Teja).
d. Yang bersifat angin, hawa dan gas pada alam dunia serta nafas pada badan mahluk/manusia disebabkan
oleh unsur gas (Bayu).
e. Adapun unsur kekosongan/kehampaan (Vacuum) yang ada pada alam dunia dan badan makhluk/manusia
disebabkan oleh unsur ether (Akasa).

Menurut ajaran agama Hindu, manusia pertama disebut dengan nama: MANU, atau selengkapnya
SWAYABHU-MANU, tetapi ini bukan nama perseorangan. Sebab dalam bahasa sansekerta, Swayambhu berarti:
yang menjadikan diri sendiri. Suku kata “swayam” berarti diri sendiri, dan suku kata “bhu” berarti: menjadi, dan kata
“manu” berarti “makhluk berfikir yang menjadikan dirinya sendiri”, yakni MANUSIA PERTAMA. Istilah manu
sekarang menjadi kata manusia. Menurut ajaran Hinduisme, semua manusia adalah keturunan Manu.
Jika di alam semesta atau makrokosmos pancamahabhuta atau anasir kasar membentuk triloka (Bhur-loka,
Bhuwah-loka, dan Swah-loka) maka di dalam manusia sebagai mikrokosmos pancamahabhuta
membentuk trisarira yaitu tubuh kasar, tubuh halus, dan tubuh penyebab.Itulah sebabnya kedua alam (makro dan
mikrokosmos) memiliki sifat-sifat yang sama. Kecuali ketiga macam tubuh dalam manusia masih
terdapat Atman, yaitu percikan kecil atau sinarParama Atman, sinar sang Hyang Widi. Atman pada manusia
disebut Jiwatman, yaitu yang menghidupkan manusia. Fungsi Atman di dalam badan manusia saperti kusir terhadap
kereta. Sebagai sinar ilahi atau percikan sang Hyang Widi, Atman memiliki sifat-sifat sang Hyang Widi, sebagai
misalnya: tak terlukai oleh senjata, tak terbakar oleh api, tak terkeringkan oleh angin, tak terbasahkan oleh air, abadi,
ada di mana-mana, tak dilahirkan, tak dipikirkan, dsb.
Sekalipun demikian manusia tidaklah sempurna, fana, dapat mati. Hal ini disebabkan karena Atman dipenjarakan di
dalam tubuh, yang mengakibatkan manusia dikuasai oleh awidya. Akibat awidya lebih lanjut ialah manusia dikuasai
oleh hukum karma dan samsara, kelahiran kembali (purnabhawa). Hukum karma tadi dapat menyebabkan orang
dilahirkan kembali sebagai manusia, tetapi juga sebagai binatang, tumbuh-tumbuhan. Jika orang dilahirkan kembali
sebagai manusia, hal itu adalah suatu keuntungan yang besar, sebab kelahiran kembali sebagai manusia memberi
kesempatan untuk meningkatkan kesempurnaan hidup, guna mengatasi kesengsaraan. Itulah sebabnya dewa-dewa pun
perlu dilahirkan kembali sebagai manusia dulu, agar dapat mencapai kebebasan abadi (nirwana).
Berbeda dengan keyakinan di dalam agama Islam, Kristen, Yahudi, yang mengajarkan bahwa alam semesta
itu diciptakan Tuhan Yang Maha Esa dari tidak ada menjadi ada, maka agama Brahma mengajarkan bahwa alam
semesta itu adalah pancaran dari Brahman. Upanishad pada bagian chandogya mengungkapkan pada kejadian alam
semesta sebagai berikut:

Pada permulaan hanya ADA sendirian, Maha Esa, tanpa ada yang kedua. Dia, Yang Maha Esa itu berpikir di dalam
dirinya: biarlah aku menjadi banyak, biarlah aku berkembang selanjutnya. Kemudian dengan zat-nya iapun
menentukan alam semesta: setelah menentukan zat-nya ke alam semesta, ia masuk ke dalam setiap makhluknya itu.
Adapun seluruh makhluk memiliki zat-nya yang paling halus di dalam diri tiap makhluk. Dia adalah Al-haqq, dia
adalah diri. Dan begitulah, hai Svetaku, bahwa ITU ADALAH ENGKAU.

Di dalam Upanishad pada bagian chandogya itu dikisahkan seterusnya bahwa terhadap Svetaku yang belum
dapat memahamkan hal itu. Maka Rishi Uddalaka menyuruh Svetaku meletakkan kepingan garam ke dalam mangkok
air. Pada keesokannya Rishi Uddalaku menyuruh Svetaku memeriksa kepingan garam tersebut, dan hasilnya tidak ada.
Kemudian Rhisi Uddalaku menyuruh Svetaku untuk menyicipinya, dan stevaku merasakan asin pada air tersebut.
Maka Rhisi Uddalaku menjelaskan bahwa demikianlah zat Brahma merasuk ke dalam tubuh yang ada, dan itulah
disebut atman.
Seorang manusia memanggilkan dirinya “aku” , sewaktu kakinya dipotong , dia masih berteriak “aku”, setelah
kedua lengannya terpotong dia masih berteriak “aku”, dan setelah badannya dicincang dia masi berteriak “aku”,
hingga ketika ia menghembuskan nafas terakhir iapun berbisik “aku”.
Lantas siapakah “aku” itu?
Menurut ajaran Brahman “aku” itu adalah atman yang merupakan proyeksi dari zat Brahman dalam ajaran ini tampak
kesamaan dengan ajaran Neoplatonism. Aliran filsafat Yunani yang terakhir, dibangun oleh Plotinus(205-270M)
pada abad ke 3 masehi di Iskandaria. Ada yang berpendapat bahwa Plotinus pernah mendalami filsafat India.
Pokok ajaran tentang mengenali dia dalam diri sendiri dan dia terdapat pada diri seluruhnya dan dia adalah
seluruhnya yang banyak dijumpai dalam Kitab Veda terutama dalam Kitab Upanishad, melahirkan paham
bahwa wujud tunggal pencipta itu meresapi seluruh alam. Paham itu di dalam dunia filsafat disebut dengan panteism.
Paham tersebut juga pernah dianut oleh sufi-sufi islam sejak abad ke 10 masehi, oleh Jalaludin Ar-rumi pada tahun
(1207-1273). Adapun paham itu juga berpengaruh dalam pihak tertentu dari mistik Kristen, seperti St. Augustinus
salah satu tokoh dalam agama Kristen pada tahun (396-430M).

5. 3. Ajaran tentang kehidupan sosial


Agama Hindu mempunyai bangunan dasar agama yang sangat ketat, hal ini sebagai pedoman bagi umat
Hindu dalam menjalankan ibadah serta syariat agamanya sehari-hari. Semua ajaran tentang kerangka dasar ini
bersumber dari Kitab Suci Weda dan Kitab-kitab Suci Agama Hindu lainnya. Kerangka dasar agama Hindu tersebut
ialah:
a. Tattwa atau Filsafat Agama Hindu
b. Susila atau Etika Agama Hindu
c. Upacara atau Ritual Agama Hindu

Bagi umat Hindu menjalani serta memahami ketiga kerangka dasar tersebut menjadi suatu kewajiban dan
sangat penting. Oleh karenanya setiap umat Hindu akan dengan sungguh-sungguh melaksanakan ketiga kewajiban
tersebut.
Tattwa merupakan inti ajaran Agama, sedangkan susila sebagai pelaksana ajaran dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Ida Sanghyang Widi, maka dilaksanakan
pengorbanan suci yaitu berupa upacara atau ritual.

5. 3. 1. Pengertian Etika dalam Agama Hindu


Dalam agama Hindu etika dinamakan susila, yang berasal dari dua suku kata, su yang berarti baik,
dan sila berarti kebiasaan atau tingkah laku perbuatan manusia yang baik. Dalam hal ini maka etika dalam agama
Hindu dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tata nilai, tentang baik dan buruknya suatu perbuatan manusia,
mengenai apa yang harus dikerjakan dan apa yang harus ditinggalkan, sehingga dengan demikian akan tercipta
kehidupan yang rukun dan damai dalam kehidupan manusia. Pada dasarnya etika merupakan rasa cinta kasih, rasa
kasih sayang, dimana seseorang yang menjalani dan melaksanakan etika itu karena ia mencintai dirinya sendiri dan
menghargai orang lain.
Etika menjadikan kehidupan masyarakat menjadi harmonis, karena saling menjunjung tinggi rasa saling
menghargai antar sesama dan saling tolong menolong. Dengan etika akan membina masyarakat untuk menjadi
anggota keluarga dan anggota masyarakat yang baik, menjadi warga negara yang mulia.
Etika agama Hindu pada dasarnya mengajarkan aturan tingkah laku yang baik dan mulia. Dengan adanya
pedoman tersebut diharapkan seluruh umat hidup dapat menjalani serta memahami secara baik dan benar. Kerangka
dasar etika dalam Hindu Dharma antara lain: atau Etika dalam Agama HINDU

5. 3. 1. 1. Tri Kaya Parisuda


Tri Kaya Parisuda berasal dari kata tri artinya tiga, kaya berarti tingkah laku dan parisuda mulia atau bersih. Tri Kaya
Parisuda dengan demikian berarti tiga tingkah laku yang mulia (baik).
Adapun tiga tingkah laku yang baik termaksud adalah:
1. Manacika (berpikir yang baik dan suci). Seseorang dapat dikatakan manacika apabila ia:
 Tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal.
 Tidak berpikir buruk terhadap sesama manusia atau mahluk lainnya.
 Yakin dan percaya terhadap hukum karma.
2. Wacika (berkata yang baik dan benar). Seseorang dapat dinyatakan sebagai wacika apabila ia:
 Tidak mencaci maki orang lain.
 Tidak berkata-kata yang kasar kepada orang lain.
 Tidak memfitnah atau mengadu domba
 Tidak ingkar janji.
3. Kayika (berbuat yang baik dan jujur). Seseorang dapat dikatakan kayika, manakala ia:
 Tidak menyiksa, menyakiti atau membunuh.
 Tidak berbuat curang, mencuri atau merampok.
 Tidak berzina

5. 3. 1. 2. Panca Yama Brata


Panca Yama Brata berasal dari tiga suku kata, yaitu panca berarti lima, yama artinya pengendalian dan brata yang
berarti keinginan. Panca Yama Brata ialah lima keinginan untuk mengendalikan diri dari godaan-godaan nafsu yang
tidak baik. Lima macam pengendalian diri yang perlu diperhatikan oleh umat Hindu ialah
1. Ahimsa (tidak menyakiti atau membunuh).
2. Brahmacari (berpikir suci, bersih dan jernih).
3. Satya (kebenaran, kesetiaan dan kejujuran). Ada lima jenis satya yang disebutPanca Satya dan patut
diperhatikan oleh umat Hindu, yakni:
a. Satya Wacana yaitu setia dan jujur dalam berkata-kata, tidak sombong, tidak mengucapkan kata-kata yang
tidak sopan, tidak berkata-kata yang menyakitkan serta tidak memaki.
b. Satya Hredaya yaitu setia terhadap kata hati dan selalu konsisten atau berpendirian teguh.
c. Satya Laksana yaitu jujur dan bertanggung jawab terhadap apa yang diucapkan.
d. Satya Mitra yaitu selalu setia kepada teman dan tidak pernah berkhianat.
e. Satya Semaya yaitu selalu menepati janji, tidak pernah ingkar kepada janjinya.

4. Awyawahara (tidak terikat keduniawian).


5. Asteya atau Asteneya (tidak mencuri).

5. 3. 1. 3. Dasa Yama Brata


Etika Dasa Yama Brata antara lain
1. Anrsamsa (tidak kejam). 5. Dama (mengendalikan hawa nafsu)
2. Ksama (pemaaf). 6. Arjawa (tetap pendirian)
3. Satya (kebenaran, kesetiaan dan kejujuran) 7. Priti (welas asih).
4. Ahimsa (tidak menyakiti atau membunuh) 8. Prasada (berpikir jernih dan suci

5. 3. 1. 4. Panca Niyama Brata


Panca Niyama Brata adalah lima cara pengendalian diri lanjutan (tahap kedua) untuk dapat tercapainya ketenangan
dan ketentraman batin. Kelima cara dimaksud adalah
1. Akrodha (tidak marah). minum secara teratur untuk mencapai kesucian lahir
2. Guru Susrusa (hormat kepada guru). batin.
3. Sauca (bersih atau suci). 5. Apramadha (tidak mengabaikan kewajiban), tidak
4. Aharalaghawa (makanmakanan sederhana). sombong angkuh.
memilih makan yang baik bagi tubuh kita dan makan,

5. 3. 1. 5. Dasa Niyama Brata


Dasa Niyama Brata merupakan suatu etika lanjutan dalam agama Hindu yang lebih tinggi lagi tingkatannya. Dasa
Niyama Brata terdiri dari
1. Dana (bersedekah). 5. Swadhyaya (belajar sendiri).
2. Ijya (memuja dan memuji Tuhan). 6. Upasthanigraha (mengendalikan hawa nafsu).
3. Tapa (menjauhi kesenangan duniawi). 7. Brata (melaksanakan pantangan).
4. Dhyana (memusatkan pikiran). 8. Upawasa (puasa).
9. Mona (tidak berbicara).
10. Snana (membersihkan diri).

5. 3. 1. 6. Dasa Dharma
Dasa Dharma ialah sepuluh macam perbuatan baik yang patut dilaksanakan oleh umat Hindu. Dengan melaksanakan
ajaran dharma ini dapat mendorong terciptanya masyarakat yang aman, tentram dan damai. Sepuluh dasa
dharma tersebut ialah
1. Dhriti (bekerja dengan sungguh-sungguh). 6. Indrayanigraha (dapat mengendalikan keinginan).
2. Ksama (mudah memberikan maaf). 7. Dhira (berani membela yang benar).
3. Dama (dapat mengendalikan nafsu). 8. Widya (belajar dan mengajar).
4. Asteya (tidak mencuri). 9. Satya (kebenaran, kesetiaan, dan kejujuran).
5. Sauca (berhati bersih dan suci). 10. Akrodha (tidak cepat marah).

5. 3. 1. 7. Catur Paramita
Catur paramita berasal dari kata catur yang berarti empat dan paramita yang berarti perbuatan luhur. Dengan
demikian catur paramita berarti empat perbuatan luhur, yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat Hindu.
Catur paramita terdiri dari
Maitri (bersahabat). Karuna (cinta kasih). Mudhita (simpati). Upeksa (toleransi).
Rangkum : a. Maitri (senang mencari kawan dan bergaul, yakni tahu menempatkan diri dalam masyarakat, ramah-
tamah, serta menarik hati segala perilakunya sehingga menyenangkan orang lain dalam diri pribadinya).
b. Karuna (belas kasihan, maksudnya adalah selalu memupuk rasa kasih sayang terhadap semua mahluk).
c. Mudita (selalu memperlihatkan wajah yang riang gebira, yakni penuh simpatisan terhadap yang baik serta sopan
santun).
d. Upeksa (senantiasa mengalah demi kebaikan, walaupun tersinggung perasaan oleh orang lain, ia tetap tenang
dan selalu berusaha membalas kejahatan deman kebaikan bisa juga dimaksud dengan tahu mawas diri).

5. 3. 1. 8. Tri Hita Karana


Tri Hita Karana berasal dari kata tri yang berarti tiga, hita yang berarti kebahagiaan, dan karana yang berarti
penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana dapat di artikan dengan tiga penyebab kebahagiaan. Tiga penyebab
kebahagian itu adalah
1. Hubungan baik manusia dengan Tuhan. Manusia merupakan ciptaan tuhan, sedangkan Atman yang ada dalam
diri manusia merupakan percikan sinar suci kebesaran tuhan yang menyebabkan manusia tetap hidup. Oleh
karena itu manusia wajib berterima kasih, berbakti, dan selalu sujud kepadanya.
2. Hubungan baik manusia dengan manusia. Manusia didunia ini tidak dapat hidup sendiri, mereka membutuhkan
bantuan dan kerja sama kepada orang lain. sehingga dikatakan dengan mahkluk sosial. Karena itu hubungan
antara sesama manusia baik perorangan, keluarga, dan masyarakat harus selalu baik dan harmonis. Masyarakat
yang aman dan damai akan menciptakan negara yang tentram dan sejahtera.
3. Hubungan baik manusia dengan lingkungannya. Sebagai mahkluk hidup, manusia selalu dipengaruhi oleh
lingkungan, baik dari perkembangan maupun pertahanan diri manusia tersebut. dengan demikian lingkungan
harus dijaga dengan rapi dan sehat, tdak menebang pohon sembarangan (illegal logging), pencemaran udara,
pencemaran air dan lain-lain.
Rangkum Tri Hita Karana (Tiga penyebab terciptanya kebahagiaan)
1. Manusia dengan Tuhan (Sanghyang Jagatkarana)
- beribadah dan melaksanakan perintahnya.
- melaksanakan Tirtha Yatra atau Dharma Yatra, yaitu kunjungan ketempat-tempat suci.
- melaksanakan Yoga Samadhi.
- mempelajari, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama
2. Manusia dengan Alam Lingkungannya (Bhuana)
Menjaga keseimbangan lingkungan, lingkungan yang ditata dengan rapi dan bersih akan menciptakan keindahan.
Keindahan lingkungan dapat menimbulkan rasa tenang dan tenteram dalam diri manusia
3. Manusia dengan Sesamanya (Manusia)
Saling menghargai, saling mengasihi dan saling membimbing. Hubungan dengan masyarakat lainya juga harus
harmoni. Hubungan baik ini akan menciptakan keamanan dan kedamaian lahir batin di masyarakat. Masyarakat
yang aman dan damai akan menciptakan Negara yang tenteram dan sejahtera.

5.4. Ajaran tentang perbedaan


Toleransi dalam Agama Hindu memiliki arti yang utama, penerapannya dimanapun umat Hindu berada jarang
terdengar adanya konflik dengan pemeluk agama lain. Tidak salah jika ada yang menyebutkan Hindu adalah agama
yang memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran, yang mana di dalam kitab suci Weda dalam
salah satu baitnya menyatakan:

Ekam Sat Vipraaha Bahudhaa Vadanti


(**baca: Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti)
Artinya:“Hanya ada satu kebenaran tetapi para orang pandai menyebut-Nya dengan banyak nama.” | Reg Weda
(Buku I, Gita CLXIV, Bait 46) ini seolah menegaskan bahwa kebenaran itu hanyalah milik Sang Hyang Widhi,
dimana Beliau mempunyai banyak nama(sebutan) sesuai dengan manifestasi-Nya.
Dalam berbagai pustaka suci Hindu juga banyak terdapat sloka-sloka yang mencerminkan toleransi dan sikap yang
adil oleh Sang Hyang Widhi. Umat Hindu menghormati kebenaran dari mana pun datangnya dan menganggap bahwa
hakikat semua agama bertujuan sama, yaitu menuju Tuhan, namun dengan berbagai sudut pandang dan cara
pelaksanaan yang berbeda. Hal itu diuraikan dalam kitab suci mereka sebagai berikut:
samo ‘haṁ sarva-bhūteṣu na me dveṣyo ‘sti na priyah
ye bhajanti tu māṁ bhaktyā mayi te teṣu cāpy aham | (Bhagawadgita, IX:29)
Artinya:
Aku tidak pernah iri dan selalu bersikap adil terhadap semua makhluk.
Bagi-Ku tidak ada yang paling Ku-benci dan tidak ada yang paling Aku kasihi.
Tetapi yang berbakti kepada-Ku, dia berada pada-Ku dan Aku bersamanya pula

Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham,


mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah | (Bhagawadgita, 4:11)
Artinya:
Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku,
Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku
dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)

Yo yo yām yām tanum bhaktah śraddhayārcitum icchati,


tasya tasyācalām śraddhām tām eva vidadhāmy aham (Bhagawadgita, 7:21)
Artinya:
Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang,
Aku perlakukan mereka sama dan
Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap

Banyak hal yang mencerminkan bahwa Hindu memiliki toleransi yang tinggi dengan agama lain. Landasannya adalah
bahwasanya semua makhluk adalah sama dimata Tuhan dan itu ditegaskan didalam Weda.

Penutup
Agama Hindu merupakan bentuk spiritualitas yang timbul di India. Kompleksitas ajaran-ajarannya hadir karena ajaran
Hindu banyak mentolerir budaya-budaya yang ada, baik di India mau pun yang ada di Indonesia. Namun demikian
terdapat hal-hal yang tetap menjadi pegangan bersama, yakni kitab Veda.
Terbuka terhadap perbedaan dan saling menghormati merupakan inti dari ajaran Hindu. Melalui jiwa yang bersih,
mereka percaya akan mendatangkan masyarakat yang baik dan penuh kasih.

Agama Hindu :
ada tiga sosok yang dipersepsikan sebagai Tuhan atau Dewa, yaitu Brahma yang dikenal sebagai Sang Pencipta,
Wisnu sebagai Sang Pelindung atau Pemelihara, dan Syiwa sebagai Sang Penghancur atau Pelebur.
Meskipun disebut tiga nama, Tuhan di dalam agama Hindu diyakini tetap Esa,
Pemeluk Hindu Bali percaya akan satu Tuhan dalam bentuk konsep Trimurti , di mana dalam kitab Upanisad
disebut: Ekam evam adwityam Brahma (Hanya satu Tuhan, tidak ada yang kedua)

BAB 6
Agama Buddha

Tujuan:
1. Memahami sejarah agama Buddha (C3, C4).
2. Memahami ajaran Buddhisme tentang individualitas dan sosialitas manusia (C3, C4).
3. Menganalisis sifat inklusif dan toleran agama Buddha dalam ajaran dan praktiknya (C5)

6. 1. PENGANTAR:
Agama Buddha merupakan salah satu agama yang muncul dan berkembang pesat di daratan India. Agama ini mulai
muncul pada abad ke-6 SM. Sebagai agama yang muncul pada masa itu, secara historis agama tersebut masih
mempunyai kaitan erat dengan agama pendahulunya, yaitu agama Hindu. Pembawa ajaran agama Buddha adalah
Sidharta Buddha Gautama, yang sebelum memperoleh pencerahan merupakan seorang pangeran kerajaan Maghada
dan pemeluk agama Hindu. Pedoman dan hukum-hukum yang diajarkan oleh Sidharta mempunyai tujuan akhir untuk
melepaskan nafsu dan penderitaan dalam hidup manusia sehingga dapat mencapai nirvana.
Sebagai agama, ajaran Buddha tidak bertitik tolak kepada Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta dan
seluruh isinya. Agama Buddha justru bertitik tolak kepada keadaan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya
sehari-hari, khususnya tentang tata susila manusia agar terbebas dari lingkaran dukkha yang selalu mengiringi
hidupnya.

6. 2. Ajaran tentang Kehidupan Personal


Untuk menegakkan Dharma ( Pancasila Buddha), para pengikut Buddha pada umumnya wajib menjauhi larangan-
larangan sebagai berikut:
1. Dilarang melakukan pembunuhan terhadap semua makhluk.
2. Dilarang melakukan pencurian, perampokan, penyerobotan, dan sebagainya.
3. Dilarang melakukan perbuatan cabut, misalnya berzina.
4. Dilarang berbuat dusta/menipu.
5. Dilarang minum minuman keras.
Ajaran Buddha Gautama merupakan reformasi terhadap ajaran para Brahman. Ia sendiri dulunya berasal dari golongan
Ksatria, sehingga tidak mengherankan jika banyak orang dari kasta tersebut yang menjadi pengikutnya.

Reformasi yang diadakan oleh Buddha Gautama antara lain:


1. Meniadakan sistem kasta.
2. Meniadakan penyembahan kepada banyak dewa.
3. Memberikan pengertian baru kepada hukum karma dan samsara/reinkarnasi.

Menurut Buddha Gautama, jika manusia mampu melaksanakan hidup suci dengan melenyapkan keinginan kuat nafsu
kehidupan, maka setelah ia melalui serangkaian reinkarnasi pada akhirnya ia akan mencapai nirwana (parinibana).
Orang yang telah mencapai nirwana disebut Arahat. Dalam rangkaian reinkarnasi itu orang dapat menjelma menjadi
manusia kembali, binatang atau dewa.
Manusia, menurut ajaran Buddha adalah kumpulan dari kelompok energi fisik dan mental yang selalu dalam
keadaan bergerak, yang disebut Pancak handa atau lima kelompok kegemaran, yaitu:
1. Rupakhandha (kegemaran akan wujud atau bentuk) adalah semua yang terdapat dalam makhluk yang masih
berbentuk (unsur dasar) yang dapat diserap dan dibayangkan oleh indra. Yang termasuk Rupakhandha adalah hal-
hal yang berhubungan dengan lima indra dengan obyek seperti bentuk yang terlihat, terdengar, terasa, tercium
ataupun tersentuh.
2. Vedanakhandha (kegemaran akan perasaan) adalah semua perasaan yang timbul karena adanya hubungan lima
indra manusia dengan dunia luar. Baik perasaan senang, susah ataupun netral.
3. Sannakhandha adalah kegemaran akan penyerapan yang menyangkut intensitas indra dalam menanggapi
rangsangan dari luar yang menyangkut enam macam penyerapan indrawi seperti bentuk-bentuk suara, bau-bauan,
cita rasa, sentuhan jasmaniah dan pikiran.
4. Shankharakhandha adalah kegemaran bentuk-bentuk pikiran. Bentuk-bentuk pikiran di sini ada 50 macam, seperti
lobha (keserakahan), chanda (keinginan), sadha (keyakinan), viriya (kemauan keras) dan sebagainya.
5. Vinnanakhandha (kegemaran akan kesadaran) adalah kegemaran terhadap reaksi atau jawaban yang berdasarkan
pada salah satu dari keenam indra dengan obyek dari indra yang bersangkutan. Kesadaran mata misalnya,
mempunyai mata sebagai dasar dan sasaran benda-benda yang dapat dilihat. Kesadaran tersebut mengarah pada
yang buruk, yang baik atau netral.
Kelima Kandha tersebut sering diringkas menjadi dua, yaitu nama dan rupa. Nama adalah kumpulan dari perasaan,
pikiran, penyerapan dan perasaan, yang dapat digolongkan sebagai unsur-unsur rohaniah. Rupa adalah badan
jasmaniah yang terdiri dari empat unsur materi, yaitu unsur tanah, air, api dan udara.
Pemikiran tentang manusia dalam agama Buddha adalah unik, yaitu karena penyangkalannya terhadap adanya
roh atau atma yang kekal abadi dalam diri manusia. Manusia dianggap merupakan kumpulan dari lima Kandha tanpa
adanya roh atau atma di dalamnya.
Anatma merupakan ajaran yang mengatakan bahwa tiada aku yang kekal atau tetap. Bila roh yang dianggap
sebagai inti manusia itu bersifat langgeng, maka tak akan terjadi suatu perkembangan ataupun kemunduran. Menurut
pendapat Bertrand Russel “Perbedaan lama antara roh dan tubuh telah usai, karena materi telah kehilangan
spiritualitasnya. Psikologi sudah menjadi ilmiah. Dalam psikologi modern kepercayaan akan kekekalan tidak
mendapat dukungan dari ilmu pengetahuan”.
Umat Buddha setuju dengan pendapat Bertrand Russel yang menyatakan “Jelas terdapat beberapa alasan di
mana aku sekarang merupakan orang yang sama dengan aku kemarin, dan menggunakan contoh yang lebih jelas, bila
aku melihat seseorang dan mendengar ia bicara maka terdapat suatu pengertian di mana “aku” yang mendengar.
Anatma dapat diterangkan dalam 3 tingkatan, yaitu:
1. Tidak terlalu mementingkan diri
2. Kita tidak dapat memerintah terhadap siapa dan apa saja,
3. Bila tingkatan pengetahuan tinggi telah dicapai dan telah mempraktekkan akan pengetahuan dan
menemukan bahwa jasmani dan batinnya sendiri adalah tanpa aku.
Jika ada suatu diri yang sejati atau permanen harus dapat diidentifikasikan. Bagaimanapun juga tubuh berubah
tak henti-hentinya dari detik ke detik, dari kelahiran sampai kematian. Pikiran berubah lebih cepat lagi. Jadi, tidak
dapat dikatakan bahwa batin, badan, atau gabungan tertentu dari keduanya adalah suatu diri yang berdiri sendiri. Tidak
ada yang dapat berdiri sendiri, karena badan maupun batin tergantung dari banyak faktor untuk eksis. Karena apa yang
dinamakan “diri” ini hanyalah sekumpulan faktor fisik dan mental yang terkondisi dan selalu dalam perubahan, tidak
ada unsur yang nyata atau konkrit di dalam kita. Dengan menyadari di atas, maka akan lebih mudah untuk tumbuh,
belajar, berkembang, bermurah hati dan berwelas asih karena tidak merasa harus membentengi diri.
Agama Buddha tidak menolak sama sekali adanya suatu kepribadian dalam suatu pengertian empiris. Agama
Buddha hanya bermaksud menunjukkan bahwa roh kekal tidak ada di dalam suatu pengertian mutlak. Istilah filsafat
Budhis bagi seorang individu adalah Santana, yaitu arus atau kelangsungan, yang mencakup unsur-unsur rohani dan
jasmani”. Kekuatan kamma masing-masing individu merupakan unsur-unsur batin dan jasmani.
Manusia selalu berada dalam dukkha karena hidup menurut ajaran Buddha selalu dalam keadaan dukkha,
sebagaimana diajarkan dalam Catur Arya Satyani tentang hakikat dari dukkha. Ada 3 macam dukkha, yaitu:
1. Dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha)
2. Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (viparinamadukkha)
3. Dukkha sebagai keadaan yang saling bergantung (sankharadukkha)

Untuk menghilangkan dukkha manusia harus mengetahui dan memahami sumber dukkha yang disebut
dukkhasamudaya, yang ada dalam diri manusia itu sendiri, yaitu berupa tanha (kehausan) yang mengakibatkan
kelangsungan dan kelahiran kembali serta keterikatan pada hawa nafsu.
Terhentinya dukkha manusia disebut dukkhanirodda yang berarti nirwana atau nibbana. Istilah “nirwana”
mempunyai pengertian khusus untuk menggambarkan akhir proses yang terjadi dalam diri manusia, yang berbeda
dengan konsep surga maupun neraka atau arti yang identik dengan itu dalam agama Islam, Kristen, ataupun Hindu.
Nirwana diartikan sebagai suatu keadaan yang harus disadari dan dipahami oleh orang-orang yang ingin
mengalaminya melalui cara-cara tertentu. Isa diartikan sebagai pemadaman, penghancuran anavas, yaitu sifat-sifat
induvidualis, menuruti hawa nafsu dan kebodohan dan terlepasnya ikatan pada hal-hal yang indrawi sehingga menjadi
tidak ada kelahiran kembali.
Nirwana merupakan tujuan akhir dari semua pemeluk Buddha, baik sewaktu masih hidup maupun sesudah
mati, yang dapat dicapai oleh setiap orang dengan jalan memahami delapan jalan mulia atau Hasta Arya Marga.

6. 3. Ajaran tentang kehidupan sosial


Peduli terhadap sesama adalah ajaran inti dari banyak keyakinan di dunia. Tidak terkecuali agama Buddha. Hal ini
tergambar jelas dari perjalanan hidup Sang Buddha Gautama sebelum mencapai pencerahannya.
Sejak menjadi pewaris tunggal Kerajaan Sakya di India pada zamannya dan menjadi Pangeran Sidharta
Gautama, ia sudah menunjukkan kepeduliannya terhadap sesama. Sebagai pangeran yang berkelimpahan materi,
rezeki, harta, tahta dan kereta, ia, walaupun diasingkan oleh ayahandanya untuk melihat dunia luar yang penuh dengan
‘derita’ hidup warganya karena hal itu dapat menjadi pemicu sang pangeran meninggalkan istana dan menjadi petapa
(menurut peramal Asita yang sangat sakti pada saat itu), tetap saja jiwa sosial sang pemegang tahta kerjaan Sakya itu
tidak terbendung.
Dengan penuh kesadaran bahwa yang ingin bahagia bukan hanya dirinya, ia pun meninggalkan istana, istri
dan putra tunggalnya demi menolong makhluk lain yang memerlukan bantuannya. Dan, benar saja, saat berada di luar
tembok istana, segala bentuk derita yang dialami warganya terlihat nyata. Ada yang lahir tidak sempurna, tua merana,
sakit terlunta-lunta sampai dengan meninggal sia-sia. Hal itu adalah kepedulian pertama yang membuatnya
mencetuskan sebuah gagasan besar: ‘Aku harus melakukan sesuatu untuk menolong sesama.’
Melalui beragam rintangan, tentangan dan tantangan selama lebih kurang 6 (enam) tahun, akhirnya sang
pangeran yang telah menjadi Petapa Gotama pun meraih pencerahan sempurna (samma sambodhi) dan menjadi
seorang Buddha (orang yang tercerahkan). Sesaat setelah ia mencapai itu semua, ada keraguan pada dirinya: apakah
yang telah didapatkannya akan mampu diterima oleh manusia lainnya? Namun, berkat dorongan sosial yang sangat
kuat pada dirinya, ia memutuskan untuk mulai mengajar. Dan, sejarah mencatat ia mengajar selama 45 tahun sampai
akhirnya berserah pada kerapuhan fisik yang tidak dapat dipertahankan lagi (80 tahun) dan akhirnya parinibbana
(wafat Agung).
Ajaran sosial yang beliau tebarkan terlihat jelas pada banyak bagian dalam kitab suci Tripitaka. Beberapa di
antaranya adalah tentang Dana (beramal) buat sesama yang terdapat pada Sad Paramita (6 Sila) dan Dasa Paramita (10
Sila). Dan, yang melegenda adalah ajaran beliau tentang kepedulian sosial terhadap orang yang sakit: “Seseorang yang
merawat orang sakit, berarti ia telah merawat saya”.

6. 4. Ajaran tentang Toleransi


Di dunia ini kita mengenal berbagai agama dari agama yang masih primitif (animisme dan dinamisme) sampai dengan
agama-agama besar dunia. Di antara agama-agama tersebut, agama Buddha adalah salah satunya. Oleh sebab itu,
agama Buddha menyadari keberadaan keyakinan dan agama lain serta berusaha hidup rukun, damai, dan harmonis
dengan keyakinan lain tersebut melalui toleransinya yang besar terhadap ajaran lain tersebut. Hal ini sudah terjadi
sejak zaman Buddha Gautama hidup dulu di India sampai saat ini di mana agama Buddha menyebar ke berbagai
penjuru dunia.

6. 4. 1. Jangan Terpancing Emosi


Suatu ketika Buddha bersama lima ratus orang siswa-Nya dari satu kota ke kota lain. Mengikuti di belakang
rombongan Sang Buddha, dua orang pertapa pengembara, yaitu seorang guru dan muridnya. Walaupun keduanya guru
dan murid, kedua berbeda pandangan terhadap ajaran Buddha; selama perjalanan sang guru menghina dan
merendahkan ajaran Buddha, sedangkan muridnya berusaha memuji dengan berbagai cara. Perdebatan keduanya
berlangsung selama perjalanan hingga akhirnya rombongan Buddha mendapatkan tempat persinggahan untuk
beristirahat.
Saat itu para bhikkhu membicarakan tentang kejadian ini dan bagaimana Buddha diam saja walaupun jelas-
jelas keduanya yang berdebat tentang ajaran Beliau berada persis di belakang rombongan tersebut. Ketika Buddha
mengetahui pembicaraan tersebut, Beliau berkata:
"Para bhikkhu, jika seseorang menghina-Ku, Dhamma (ajaran Buddha), atau Sangha (perkumpulan para bhikkhu),
kalian tidak boleh marah, tersinggung, atau terganggu akan hal itu. Jika kalian marah atau tidak senang akan
penghinaan itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Karena jika orang lain menghina-Ku, Dhamma, atau
Sangha, dan kalian marah atau tidak senang, dapatkah kalian mengetahui apakah yang mereka katakan itu benar
atau salah?"
"Tidak, Bhagava," jawab para bhikkhu.
"Jika orang lain menghina-Ku, Dhamma, atau Sangha, maka kalian harus menjelaskan apa yang tidak benar sebagai
tidak benar, dengan mengatakan: ‘Itu tidak benar, itu salah, itu bukan jalan kami, itu tidak ada pada kami'."
"Jika orang lain memuji-Ku, Dhamma, atau Sangha, kalian tidak boleh gembira, bahagia, atau senang akan hal itu.
Jika kalian gembira, bahagia, atau senang akan pujian itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Jika orang
lain memuji-Ku, Dhamma, atau Sangha, kalian harus mengakui kebenaran sebagai kebenaran, dengan mengatakan:
'Itu benar, itu tepat sekali, itu adalah jalan kami, itu ada pada kami'." (Brahmajala Sutta)

Dengan demikian, Buddha mengajarkan agar para pengikut-Nya tidak terbawa emosi positif atau negatif saat
seseorang memuji ataupun merendahkan ajaran Beliau, melainkan menjelaskan mana yang benar dan mana yang tidak
benar atas pandangan terhadap ajaran Buddha tersebut sehingga dapat membebaskan agama Buddha dari pandangan
salah orang-orang yang tidak tahu atas ajarannya.

6. 4. 2. Buddha Tidak Berminat Mencari Pengikut


Pada kesempatan lain, seorang umat awam Buddha hendak mengunjungi Sang Buddha, namun saat itu waktunya tidak
tepat karena masih terlalu pagi dan biasanya Buddha sedang bermeditasi pada waktu demikian. Oleh sebab itu, orang
tersebut mengunjungi tempat pertapaan pengikut ajaran lain dan ia terlibat percakapan serius di mana para pertapa
tersebut mengatakan hal-hal yang tidak baik terhadap Sang Buddha. Ketika Buddha mengetahui hal ini, Beliau
mengunjungi tempat pertapaan tersebut dan melalui serangkaian tanya jawab antara kedua pihak, Buddha berhasil
melenyapkan pandangan salah para pertapa ajaran lain tersebut. Namun demikian, pada akhir kotbah para pertapa
tersebut tidak menjadi pengikut Buddha.
Saat itu Buddha berkata: "Nigrodha, engkau mungkin berpikir: 'Petapa Gautama mengatakan hal ini untuk
mendapatkan murid.' Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah ia yang menjadi gurumu tetap menjadi
gurumu. Atau engkau mungkin berpikir: 'Beliau ingin kami meninggalkan peraturan-peraturan kami.' Namun jangan
engkau beranggapan demikian. Biarlah peraturanmu tetap berlaku seperti apa adanya. Atau engkau mungkin
berpikir: 'Beliau ingin kami meninggalkan gaya hidup kami.' Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah
gaya hidupmu tetap seperti apa adanya. Atau engkau mungkin berpikir: 'Beliau ingin kami mengukuhkan kami dalam
melakukan hal-hal yang menurut ajaran kami adalah salah, dan yang dianggap demikian oleh kami.' Namun jangan
engkau beranggapan demikian. Biarlah hal-hal yang kalian anggap salah tetap dianggap demikian. Atau engkau
mungkin berpikir: 'Beliau ingin menarik kami dari hal-hal yang menurut ajaran kami adalah baik, dan yang dianggap
demikian oleh kami.' Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah hal-hal yang kalian anggap baik tetap
dianggap demikian. Nigrodha, Aku tidak berbicara karena alasan-alasan ini."
"Ada, Nigrodha, hal-hal tidak baik yang belum ditinggalkan, ternoda, mendukung kelahiran kembali,
menakutkan, menghasilkan akibat menyakitkan di masa depan, berhubungan dengan kelahiran, kerusakan, dan
kematian. Adalah untuk meninggalkan hal-hal ini, maka Aku mengajarkan Dhamma. Jika engkau mempraktikkan
dengan benar, hal-hal ternoda ini akan ditinggalkan, dan hal-hal yang murni akan tumbuh dan berkembang dan
engkau akan mencapai dan berdiam dalam kesempurnaan kebijaksanaan sepenuhnya, dalam kehidupan ini, dengan
pandangan terang dan pencapaianmu sendiri." (Udumbarika-Sihanada Sutta)
Jadi, jelas bahwa Buddha mengajar bukan untuk mendapatkan pengikut atau pun mengubah keyakinan atau
cara hidup seseorang, melainkan untuk menunjukkan jalan melenyapkan permasalahan kehidupan (dalam istilah
Buddhis disebut penderitaan atau dukkha) tanpa seseorang harus terikat dengan menganut agama Buddha. Contohnya,
ajaran Buddha tentang meditasi ketenangan batin dapat dijalankan oleh siapa saja, dari agama mana pun dan bangsa
mana pun, tanpa perlu menjadi umat Buddha (telah terdapat banyak bukti bahwa meditasi bisa meningkatkan kualitas
hidup seseorang, terutama dalam hal kesehatan).

6. 4. 3. Hormati Guru Agamamu yang Sebelumnya


Pada abad ke 6 SM di India berkembang berbagai ajaran agama selain agama Hindu yang bersumber dari kitab Veda.
Selain agama Buddha, terdapat juga agama Jainisme yang diajarkan oleh Jaina Mahavira (disebut juga Nigantha
Nataputta dalam kitab-kitab Buddhis) yang hidup sezaman dengan Buddha Gautama. Walaupun agama Buddha sudah
hampir punah di tanah kelahirannya, agama Jainisme masih mengakar kuat dan memiliki banyak pengikut di India
saat ini.
Seorang pengikut awam Nigantha Nataputta yang terkemuka bernama Upali terkenal akan kepandaiannya
dalam berdebat. Ia diutus oleh gurunya untuk mengalahkan Buddha dalam perdebatan tentang manakah yang
menghasilkan akibat yang lebih besar perbuatan melalui pikiran, tubuh, atau ucapan. Buddha mengajarkan bahwa
perbuatan melalui pikiranlah yang menghasilkan akibat yang lebih besar, sedangkan Nigantha mengajarkan bahwa
perbuatan melalui tubuh yang menghasilkan akibat yang lebih besar. Pada akhir perdebatan tersebut, Upali mengakui
kebenaran ajaran Buddha dan bermaksud untuk menjadi pengikut Beliau. Namun Sang Buddha berkata:
“Perumah tangga, pikirkanlah kembali sebelum kamu berbuat, orang-orang terkemuka seperti dirimu seharusnya
berpikir secara hati-hati sebelum bertindak.”
Upali menjawab, “Yang Mulia, saya sangat puas dan gembira dengan kata-kata Sang Bhagava tadi. Jika para
pertapa lain mendapatkan murid seperti saya, mereka akan membawaku berkeliling kota Nalanda dengan
mengatakan: ‘Upali sang perumah tangga telah menjadi pengikut kami.’ Namun di sini Sang Bhagava mengatakan:
‘Perumah tangga, pikirkan kembali sebelum kamu berbuat... dst.’ Sekarang saya menyatakan diri berlindung kepada
Buddha, Dhamma, dan Sangha untuk kedua kalinya. Semoga saya diingat sebagai umat awam yang telah mengambil
perlindungan sejak hari ini hingga kehidupanku berakhir.”
“Perumah tangga, telah lama sekali keluargamu menjadi penyokong utama bagi para Nigantha. Aku menganjurkan
agar dana makanan tetap diberikan kepada para Nigantha yang datang.”
“Yang Mulia, saya sangat puas dan gembira dengan kata-kata Sang Bhagava ini: ‘Perumah tangga, telah lama sekali
keluargamu menjadi penyokong utama bagi para Nigantha.... dst.’ Yang Mulia, saya telah mendengar tentang Anda:
‘Pemberian dana harus diberikan kepada-Ku saja, tidak kepada orang lain. Pemberian dana harus diberikan kepada
para siswa-Ku saja, tidak kepada para siswa ajaran lain. Pemberian dana yang diberikan kepada para siswa-Ku
akan memiliki buah yang besar, tetapi tidak pemberian kepada orang lain.’ Namun di sini Sang Bhagava
menyarankan saya agar memberikan dana kepada para Nigantha. Kami mengetahui kapan waktunya untuk
melakukan hal tersebut. Sekarang saya berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha untuk ketiga kalinya....”
(Upali Sutta)
Terlihat bahwa Buddha menganjurkan agar para pengikut-Nya yang berasal dari keyakinan lain setelah
menjadi pengikut Beliau harus tetap menghormati para guru agamanya yang terdahulu dengan menerima mereka
dengan baik jika datang ke rumah untuk meminta dana makanan (meminta dana makanan dengan mendatangi rumah
ke rumah adalah kebiasaan para pertapa India sejak zaman dahulu dan saat ini masih dilakukan para bhikkhu
Buddhis).

6. 4. 4. Terdapat Kebenaran di Luar Ajaran Buddha


Siddharttha Gautama meninggalkan kehidupan mewah di istana pada usia 29 tahun. Setelah menyadari kesia-siaan
pertapaan penyiksaan diri yang Ia lakukan selama 6 tahun, ia mencapai Pencerahan di bawah pohon Bodhi dengan
mempraktekkan meditasi pandangan terang. Selama 45 tahun kemudian Ia dikenal sebagai Buddha dan mengembara
ke berbagai daerah di sekitar lembah sungai Gangga untuk mengajar banyak orang. Titik terakhir perjalanan Beliau
adalah sebuah kota kecil bernama Kusinara. Saat itu seorang pertapa pengembara bernama Subhadda mendekati
Buddha yang sedang menjelang ajal-Nya dan bertanya mengenai kebenaran berbagai ajaran agama yang ada saat itu.
Tanpa mengatakan bahwa ajaran Beliau-lah yang paling benar, Buddha menjawab:
“Cukup, Subhadda, jangan pikirkan apakah mereka semua, atau tidak seorang pun, atau sebagian dari mereka telah
menembus kebenaran. Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu. Dengarkan dan perhatikan baik-baik....”
“Dalam ajaran dan disiplin mana pun, Subhadda, di mana tidak terdapat Jalan Mulia Berunsur Delapan, maka tidak
akan mungkin ditemukan para pertapa yang telah mencapai kesucian pertama (Sotapanna), kesucian kedua
(Sakadagami), kesucian ketiga (Anagami), dan kesucian keempat (Arahat). Tetapi dalam ajaran dan disiplin mana
pun di mana terdapat Jalan Mulia Berunsur Delapan, maka di sana dapat ditemukan para pertapa yang telah
mencapai kesucian pertama, kedua, ketiga, dan keempat.” (Mahaparinibbana Sutta)
Di sini Buddha mengatakan bahwa ajaran mana pun yang mengajarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan
merupakan ajaran yang dapat menghasilkan orang-orang suci; oleh karena itu, ajaran tersebut adalah ajaran yang
benar. Jalan Mulia Berunsur Delapan dalam ajaran Buddha dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu
pengembangan perilaku yang bermoral (sila), pembersihan pikiran/batin melalui meditasi (samadhi), dan
pengembangan kebijaksanaan (panna/prajna). Menurut agama Buddha, agama mana pun yang mengajarkan ketiga hal
ini adalah agama yang benar dan dapat membuat pengikutnya menjadi suci batinnya. Dengan demikian, agama
Buddha juga mengakui adanya kebenaran dalam ajaran agama lain.

6. 4. 5. Sifat Toleransi Raja Asoka


Kurang lebih 200 tahun kemudian seorang raja terbesar sepanjang sejarah India yang bernama Asoka menjadikan
agama Buddha sebagai agama negara. Berkat jasanya mengutus para misionaris Buddhis, agama Buddha dapat
menyebar ke berbagai wilayah di luar India: ke arah barat menyebar sampai ke wilayah Yunani (walaupun tidak
bertahan lama di sana), ke selatan menyebar ke Sri Lanka, ke timur menyebar ke Myanmar, Thailand, Malaysia, dan
Indonesia, ke utara menyebar ke Tibet, Cina, Jepang, dan Korea. Namun demikian, Raja Asoka tetap menghargai dan
menghormati berbagai agama lain yang ada saat itu. Dalam beberapa prasastinya tercatat bahwa Raja Asoka walaupun
beragama Buddha mendanakan sejumlah gua sebagai tempat pertapaan bagi para pertapa ajaran lain. Di antara sekian
banyak prasasti peninggalan Raja Asoka terdapat sebuah prasasti yang mengajarkan toleransi antar umat beragama
yang berbunyi sbb:
“Janganlah kita menghormati agama kita sendiri dengan mencela agama lain. Sebaliknya agama lain pun hendaknya
dihormati atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian kita membuat agama kita sendiri berkembang, selain
menguntungkan pula agama lain. Jika kita berbuat sebaliknya, kita akan merugikan agama kita sendiri selain
merugikan agama lain. Oleh karena itu, barangsiapa menghormati agamanya sendiri dan mencela agama lain,
semata-mata terdorong oleh rasa bakti kepada agamanya sendiri dengan pikiran ‘Bagaimana aku dapat memuliakan
agamaku sendiri’, justru ia akan merugikan agamanya sendiri. Karena itu kerukunan dianjurkan dengan pengertian
biarlah semua orang mendengar dan menghormati ajaran yang dianut orang lain.” (Rock Edict XII)

Demikianlah agama Buddha dengan sifat toleransi dan pasifisme (paham cinta damai) yang tinggi dapat hidup
rukun dan harmonis dengan agama lain di mana pun ia berkembang. Dalam sejarah perkembangannya, agama Buddha
tidak pernah menyebabkan pertumpahan darah saat memperkenalkan ajarannya di dalam maupun di luar India. Di
Asia Timur khususnya di Cina agama Buddha dapat berbaur dengan keyakinan setempat (agama Kong Hu Cu dan
Taoisme) yang kemudian menghasilkan keyakinan baru yang disebut Tri-Dharma (Tiga Ajaran: Buddha, Kong Hu
Cu, dan Tao). Di Indonesia sendiri pada masa kerajaan Majapahit kehidupan agama Buddha dan agama Hindu
berlangsung rukun dan harmonis seperti yang tersirat dalam ungkapan Jawa Kuno “Bhinneka tunggal ika, tan hana
Dharma mangrwa (Berbeda-beda namun tetap satu, tiada Kebenaran yang mendua)” yang tertulis dalam kitab
Sutasoma.
Pada zaman modern ini umat Buddha telah membina kerukunan intern dalam agama Buddha sendiri dengan
pendirian berbagai organisasi Buddhis internasional non-sektarian seperti World Buddhist Council dan World
Fellowship of Buddhist yang berusaha mempersatukan berbagai aliran agama Buddha yang berbeda-beda. Pada abad
ke-21 umat Buddha di seluruh dunia sama sekali tidak terpancing emosi ketika patung Buddha raksasa di Bamiyan,
Afghanistan dihancurkan. Reaksi umat Buddha yang singkat dan damai serupa juga terjadi saat pendirian Buddha Bar
di Indonesia.

Paham ketuhanan agama Buddha adalah Sanghyang Adi Budaya memiliki prilaku: Metta (kasih sayang terhadap
semua makhluk), Karuna (siap sedia meringankan makhluk lain), Mudita ( turut berbahagia dengan kebahagiaan
mahkluk lain tanpa benci dan iri hati), Upekka ( bersikap adil, diam, tenang dan penuh dengan kebijaksanaan yang
seimbang. Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang
yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak"

ajaran sosial buddha


• Enam jalan keutamaan untuk menuju keluhuran (Sad Paramita)
1. Dana Paramita, memberi dana punia atau sedekah baik berupa materiil maupun spirituil.
2. Sila Paramita, berfikir, berkata, berbuat yang baik, suci dan luhur.
3. Ksanti Paramita, pikiran tenang, tahan terhadap penghinaan dan segala penyebab penyakit, terhadap orang dengki
atau perbuatan tak benar dan kata-kata yang tidak baik.
4. Wirya Paramita, pikiran, kata-kata dan perbuatan yang teguh, tetap dan tidak berobah, tidak mengeluh terhadap apa
yang dihadapi. Jadi yang termasuk Wirya Paramita ini adalah keteguhan pikiran (hati), kata-kata dan perbuatan untuk
membela dan melaksanakan dharma dan kebenaran.
5. Dhyana Paramita, niat mempersatukan pikiran untuk menelaah dan mencari jawaban atas kebenaran. Juga berarti
pemusatan pikiran terutama kepada Hyang Widhi dan cita-cita luhur untuk keselamatan.
6. Pradnya Paramita, kebijaksanaan dalam menimbang-nimbang suatu kebenaran.

• Sepuluh pelaksanaan mulia (Dasa Paramita)


1.Kesempurnaan dalam kebajikan beramal (dana paramita).
2.Kesempurnaan dalam kebajikan menjalankan moralitas (sila paramita).
3.Kesempurnaan dalam kebajikan melepaskan ikatan nafsu inderawi (nekkhama paramita). 4.Kesempurnaan dalam
kebajikan menjalankan kebijaksanaan (panna paramita). 5.Kesempurnaan dalam semangat kebajikan (viriya paramita).
6.Kesempurnaan dalam kebajikan kesabaran (khanti paramita).
7.Kesempurnaan dalam kebajikan menjalankan kebenaran (sacca paramita).
8.Kesempurnaan dalam kebajikan menjalankan tekad (aditthana paramita).
9.Kesempurnaan dalam kebajikan menyebarkan cinta-kasih (metta paramita).
10.Kesempurnaan dalam kebajikan menjaga keseimbangan batin (upekha paramita).

Bab 7
AGAMA DAN KEBEBASAN MANUSIA
Tujuan:
1. Menjelaskan konsep-agama dalam menghadapi problem kemanusiaan, khususnya tentang
kebebasan (C4).
2. Melihat dan menjelaskan kehendak bebas sebagai berkah Ilahi (C4, C6).
3. Menularkan spiritualitas berbagi dan membangun kebersamaan sosial (C6).

7. 1. Pengantar
Manusia itu sebenarnya memiliki kebebasan atau tidak? Berkaitan dengan pertanyaan tersebut terdapat
pandangan yang tidak sama, baik dari pandangan agama maupun filsafat. Kaum determinis berpendapat bahwa
manusia itu tidak memiliki kebebasan karena sudah ditentukan. Sementara kaum liberalis mengatakan bahwa manusia
memiliki kehendak bebas untuk menentukan dirinya sendiri. Justru karena memiliki kebebasan inilah maka manusia
dapat dimintai pertanggungjawaban atas setiap tindakan yang dilakukannya. Berkat kehendak bebasnya pula, manusia
dapat menanggapi atau menolak panggilan Allah untuk hidup baik dan benar.
Pada pertemuan ini, kita akan membicarakan persoalan kebebasan manusia dan bagaimana menggunakan
kebebasan tersebut secara benar. Pandangan ini sebagian besar mengikuti pemikiran dalam buku Agama dan Moral.
7. 2. Manusia tidak Bebas: Pandangan Determinisme
Kaum determinis menyatakan bahwa manusia itu sesungguhnya tidak memiliki kebebasan. Perilaku manusia
sudah ditentukan oleh berbagai faktor, seperti faktor biologis, psikologis, sosiologis, dan teologis.
a. Determinisme biologis
Determinisme biologis menyatakan bahwa tindakan manusia sangat ditentukan oleh faktor-faktor biologisnya
sehingga ia tidak bebas lagi. Bentuk tubuh, umur, daya kekuatan, kondisi, jenis kelamin seseorang mau tidak mau
berpengaruh terhadap perilakunya. Seorang berpostur tubuh pendek misalnya tidak bisa melakukan suatu perbuatan
yang dilakukan oleh seorang yang berbadan tinggi. Determinisme biologis menegaskan bahwa perilaku manusia
bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan dari dimensi biologis manusia. Struktur genetika manusia telah
mengarahkan orang tersebut pada perilaku tertentu.

b. Determinisme psikologis
Menurut Sigmund Freud struktur kejiwaan manusia terdiri atas tiga bagian, yakni Id, Ego, dan Superego. Id
merupakan lapisan psikis manusia paling bawah. Di dalamnya terdapat naluri-naluri seksual dan keinginan yang
direpresi. Sigmund Freud berpendapat bahwa yang membentuk hidup psikis manusia dalam kehidupan sehari-hari
adalah alam bawah sadar (id), termasuk dorongan untuk mencari nikmat yang disebutnya sebagai libido. Dorongan ini
menggerakkan dan menentukan tindakan manusia. Karena sudah ditentukan oleh id, maka kebebasan manusia untuk
memilih tindakannya tidak ada. Dengan demikian tidak ada juga tanggung jawab moral.

c. Determinisme sosial
Menurut determinisme sosial, tingkah laku manusia baik perseorangan maupun kelompok ditentukan oleh
lingkungan atau struktur sosialnya. Karena itu, tidak ada kebebasan manusia untuk menentukan tindakannya sendiri.
Dalam konteks ini pula manusia tidak mungkin diminta pertanggungjawaban moral sebab pertanggungjawaban moral
mengandaikan adanya kebebasan.
Kita ikuti pemikiran Karl Marx dan Skinner. Menurut Marx, bukan kesadaran manusia yang menentukan
keadaan sosial, melainkan keadaan sosiallah yang menentukan kesadaran seseorang. Dengan kata lain, perilaku
manusia sangat ditentukan oleh struktur sosial masyarakat yaitu struktur ekonomi yang oleh Marx disebutnya sebagai
infrastruktur (bangunan bawah). Sedangkan ide, agama, politik, dan ideologi merupakan bangunan atas (supra
struktur). Yang menentukan seluruh aktivitas manusia bukanlah supra struktur, melainkan infrastruktur yaitu basis
ekonomi.
BF. Skinner juga berpandangan bahwa tingkah laku manusia ditentukan oleh lingkungannya. Menurut Skinner,
seorang anak yang lahir dalam situasi lingkungan yang baik, misalnya, dengan sendirinya berperilaku baik.
Sebaliknya, jika ia dilahirkan dalam lingkungan sosial yang kurang baik, perilakunya akan terbentuk oleh lingkungan
tersebut.

d. Determinisme teologis
Determinisme teologis menyatakan bahwa Kekuatan Ilahi telah menentukan manusia bukan hanya perilakunya,
tetapi juga hidup manusia itu sendiri. Manusia tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan dan
tindakannya karena Allah Yang Mahakuasa sudah menentukan. Manusia hanya dapat menerima dan menjalaninya.
Dalam pandangan ini manusia dilihat seperti wayang di tangan sang dalang.

7. 3. Manusia Bebas: Pandangan Liberalisme


Berbeda dengan kaum determinis, kaum liberal berpandangan bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk
yang bebas. Manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan. Benar bahwa kondisi biologis, psikologis, dan
sosiologis seseorang bisa mempengaruhi tindakan seseorang. Namun demikian, orang tetap bebas untuk bersikap
terhadap hal-hal yang mempengaruhi dirinya tersebut. Dalam keadaan apa pun, manusia tetap mampu menentukan
pilihan dan keputusannya sendiri.
Untuk menunjang pandangan mereka bahwa manusia memiliki kebebasan, kaum liberal memberi beberapa
bukti sebagai berikut: Pertama, ketika manusia dihadapkan pada pilihan moral. Misalnya, seseorang menemukan
dompet yang berisi banyak uang. Dalam dompet tersebut terdapat juga identitas pemiliknya. Orang tersebut
dihadapkan pada pilihan: mengambil uang tersebut untuk diri sendiri atau mengembalikan kepada pemiliknya. Karena
orang tersebut memiliki kebebasan, ia dapat menentukan sendiri keputusannya. Dengan kebebasannya, ia memutuskan
sendiri tindakannya: apakah mengambil atau mengembalikan uang tersebut kepada pemiliknya.
Kedua, ketika orang berhadapan dengan dua pilihan yang bobot nilainya positifnya kurang lebih sama. Sebelum
menentukan pilihan dan memutuskan, tentu orang akan mempertimbangkan pro kontranya. Orang tersebut tentu
memikirkan dari keduanya itu mana nilai positif yang lebih banyak dan itulah yang dia putuskan. Keputusan tersebut
datang dari dalam diri sendiri bukan ditentukan oleh faktor eksternal seperti kondisi biologis ataupun faktor sosial
lainnya. Jadi, manusia tetap memiliki kebebasan dan dengan kebebasannya manusia dapat menentukan pilihan.
Ketiga, adanya tanggung jawab pribadi. Setiap orang bertanggung jawab atas tindakannya. Orang lain dapat
menuntut tanggung jawab dari kita atas apa yang kita lakukan karena kita memiliki kebebasan. Adanya tanggung
jawab mengandaikan adanya kebebasan.
Keempat, sistem peradilan pun mengandaikan adanya kebebasan. Tingkat hukuman yang diberikan kepada
orang yang melakukan pelanggaran hukum berhubungan dengan kebebasannya. Orang yang melakukan pelanggaran
hukum karena dipaksa, tentu berbeda hukumannya dengan orang yang dengan sadar dan bebas sengaja melakukan
tindakan tersebut. Kebebasan seseorang menjadi bahan pertimbangan dan penentu dalam menjatuhkan hukuman.
Kelima, dari sudut pandang moral Immanuel Kant. Kehidupan moral tidak akan berarti apa-apa manakala tidak
disertai dengan kebebasan. Seseorang melakukan sesuatu secara moral kalau ia memiliki kebebasan untuk menolak
dan menerima tindakan tersebut.

7. 4. Pengertian Kebebasan
Kebebasan berarti kemampuan manusia untuk mengambil keputusan sendiri. Dengan kata lain kebebasan
berarti kesanggupan seseorang untuk memilih dan memutuskan sendiri apa yang harus dilakukan. Kebebasan seperti
ini disebut juga kebebasan eksistensial, yaitu kemampuan manusia untuk menentukan tindakannya sendiri. Karena itu
kata yang dipakai adalah "bebas untuk". Manusia “bebas untuk” bertindak.
Kebebasan eksistensial mencakup kebebasan jasmani dan kebebasan rohani. Kebebasan jasmani berarti
seseorang bebas untuk menentukan sendiri apa yang akan dilakukan secara fisik. Dengan kata lain, kebebasan jasmani
berarti kemampuan manusia untuk menggerakan anggota badannya. Sedangkan kebebasan rohani berarti kemampuan
seseorang untuk berpikir sendiri. Kedua kebebasan tersebut saling berhubungan. Kebebasan rohani menjadi dasar
kebebasan jasmani. Artinya, orang berpikir dahulu sebelum mewujudkannya dalam suatu tindakan.
Kebebasan juga dapat dimengerti sebagai suatu suatu keadaan di mana tidak ada hambatan atau larangan dari
pihak luar. Kebebasan dalam arti ini disebut kebebasan sosial. Kebebasan sosial dapat dipahami sebagai “bebas dari”
pembatasan tindakan yang dilakukan secara paksa atau sengaja oleh orang lain.
Orang lain atau masyarakat boleh membatasi kebebasan manusia dengan dasar bahwa setiap manusia memiliki
kebebasan yang sama. Karena setiap manusia memiliki kebebasan, maka kebebasan itu harus diatur atau dibatasi.
Alasan lain dalam pembatasan kebebasan manusia adalah demi tercapainya tujuan bersama dalam masyarakat. Tanpa
adanya pembatasan kebebasan, tujuan bersama masyarakat sulit tercapai.
Masyarakat dapat membatasi anggotanya dengan berbagai cara. Pertama, pembatasan kebebasan jasmani
dengan cara paksaan. Dalam hal ini, orang yang lebih kuat melakukan paksaan fisik kepada orang lainnya, sehingga
tidak mampu menggerakkan anggota badannya. Misalnya dengan cara: memasung, memborgol, memenjara, dan
sebagainya. Kedua, pembatasan kebebasan rohani dengan cara tekanan. Artinya orang lain secara sadar
mempengaruhi pemikiran orang lain. Akibatnya orang tersebut tidak mampu berpikir sendiri. Cara yang dipakai bisa
dengan sugesti, hipnotis, cuci otak, dan sebagainya. Ketiga, pembatasan kebebasan normatif dengan cara memberi
larangan dan kewajiban. Pembatasan ini dilakukan melalui peraturan dan perintah.
Dari ketiga pembatasan itu yang dibenarkan secara moral adalah pembatasan normatif. Pembatasan normatif
tidak mematikan kebebasan eksistensial seseorang. Adanya peraturan dan larangan tidak membuat orang tidak dapat
berpikir dan bertindak sendiri. Hal itu berbeda dengan pembatasan jasmani dan rohani yang membuat orang tidak
mampu berpikir dan bertindak sendiri. Dalam pembatasan normatif, orang masih dapat berpikir untuk memilih
melanggar peraturan atau tidak. Setelah berpikir, dia akan mewujudkannya dalam suatu tindakan nyata. Misalnya,
larangan merokok di kampus. Dalam hal ini, orang bisa saja tidak mematuhinya. Pembatasan kebebasan normatif
dapat diterima karena menghargai martabat manusia, yang mampu berpikir dan bertindak sendiri.

7. 5. Kebebasan dan Tanggung Jawab


Kebebasan dan tanggung jawab berhubungan erat. Semakin orang bertanggung jawab, semakin ia bebas. Orang
yang bertanggung jawab berarti orang yang mengerti kewajibannya dan melaksanakannya. Sebaliknya, orang yang
menyadari kewajibannya, tetapi tidak mau melaksanakannya disebut orang tidak bertanggung jawab. Orang tidak
bertanggung jawab karena karena ia dikuasai oleh dorongan-dorongan irasional, seperti malas, takut, marah, iri,
cemburu, dan sebagainya. Semakin orang tidak bertanggung jawab, semakin ia dikuasai oleh dorongan irasional
tersebut. Artinya ia semakin tidak bebas dari dorongan irasional dan tidak bebas untuk mewujudkan nilai-nilai hidup.
Sebaliknya semakin orang bertanggung jawab, setia selalu melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya, semakin ia
bebas dari dorongan irasional dan semakin bebas pula untuk mengejar nilai-nilai hidup yang lebih tinggi.

7. 6. Kebebasan Manusia Berhadapan dengan Yang Transenden


Kalau manusia mengakui bahwa hidupnya di dunia ini diciptakan oleh Yang Ilahi, Yang Mahakuasa, timbul
pertanyaan apakah manusia masih memiliki kebebasan berhadapan dengan Yang Kuasa tersebut. Apakah hidup
manusia itu sungguh bebas? Artinya hidup manusia sepenuhnya ditentukan oleh manusia sendiri atau Allah, Yang
Mahakuasa, yang menentukan hidup manusia?
Permasalahan tersebut bertolak dari pandangan bahwa kekuasaan Allah dan kebebasan manusia dapat
diperbandingkan. Kemahakuasaan Allah dianggap tidak memberikan ruang pada kebebasan manusia.
Berkaitan dengan kemahakuasaan Allah dan kebebasan manusia, cara berpikir yang harus dibongkar adalah
pengandaian bahwa Allah dan manusia bersaing dalam tingkatan yang sama. Sang Pencipta dan ciptaan tidak pernah
pada level yang sama. Manusia sebagai ciptaan, seluruh eksistensi dan kegiatannya, ditunjang dan tergantung pada
Penciptanya yaitu Allah. Dengan kata lain, Allah memberdayakan ciptaan-Nya, bukan memperdayakannya.
Menciptakan berarti memberi daya kepada ciptaan. Ketergantungan manusia kepada Pencipta tersebut berarti memberi
daya pada manusia untuk semakin serupa dengan-Nya. Makin manusia tergantung pada Pencipta, makin manusia
bebas untuk melaksanakan kehendak-Nya. Makin kemahakuasaan Allah berada dalam manusia, makin manusia
mampu untuk menentukan dirinya sendiri dengan bebas. Ia semakin diberdayakan oleh kemahakuasaan Allah. Tuhan
menciptakan manusia untuk memberdayakan manusia sehingga bisa menjawab sapaan-Nya dengan bebas.
Berkaitan dengan persoalan kebebasan manusia di hadapan Allah, pertama-tama kita harus menyadari bahwa
bagaimanapun juga manusia dan Allah adalah hubungan antara makhluk dan Penciptanya. Sebagai ciptaan, manusia
mau tidak mau tunduk kepada Penciptanya. Allah, Sang Pencipta berkuasa penuh atas ciptaan-Nya. Ia bisa
menentukan kelahiran, keadaan, dan kematian ciptaan. Dalam hal ini, manusia sebagai ciptaan-Nya mau tidak mau
hanya bisa menerimanya. Manusia tidak bisa menolaknya.
Apakah dengan demikian berarti Allah telah menentukan manusia, sehingga manusia tidak lagi memiliki
kebebasan? Dalam beberapa hal manusia memang telah “ditentukan” oleh Pencipta-Nya, namun manusia tetap
makhluk yang bebas. Ia mampu menentukan pilihan dan hidupnya sendiri, berkat roh, akal budi, dan kehendak bebas
yang dimilikinya.
Roh membimbing dan mengarahkan manusia pada kebaikan dan kebenaran. Ia menghantar manusia untuk
bersatu dengan Allah, Sang Kebaikan dan Kebenaran sejati sehingga manusia mengalami kebahagiaan.
Dengan akal budinya manusia tahu yang baik dan yang jahat. Manusia tahu mana yang berkenan kepada Allah
dan mana yang tidak. Ia tahu mana yang benar dan yang salah. Dengan akalnya, manusia dapat membedakan mana
tujuan dan mana sarana. Dengan pikirannya juga manusia dapat menimbang-nimbang dan memilih dalam hidup ini.
Kemampuan manusia memilih secara tepat sangat menentukan tercapainya tujuan hidupnya.
Selain roh dan akal budi, Allah juga memberi kehendak bebas kepada manusia. Manusia dengan kehendak
bebasnya mampu menentukan pilihannya sendiri. Allah tidak pernah memaksa manusia. Manusia bebas memutuskan
sendiri: apakah ia mau mengikuti Allah atau tidak. Roh, akal budi, dan kebebasan merupakan kekhasan manusia.
Ciptaan lain tidak mempunyai ketiga hal tersebut.
Akhirnya, manusia melaksanakan keputusan bebasnya tersebut dalam suatu tindakan nyata. Setiap tindakan
manusia merupakan perwujudan dari kerohanian manusia. Artinya setiap tindakan kita merupakan hasil keputusan
bebas yang kita ambil setelah melalui proses pemikiran yang matang. Karena itulah setiap tindakan manusia menjadi
bernilai. Setelah bertindak, manusia harus siap untuk bertanggung jawab, orang harus siap menanggung risikonya.
“Manusia jatuh ke dalam dosa” yang diceritakan dalam Kitab Kejadian 3 memberi gambaran yang bagus
tentang kebebasan manusia. Dalam kisah tersebut tergambar jelas, bagaimana proses pemikiran, pilihan, dan
keputusan yang diambil si perempuan. Akhirnya, disajikan juga gambaran mengenai akibat dari keputusan salah yang
diambilnya. Pikiran perempuan dalam kisah tersebut dihadapkan pada pilihan antara makan buah terlarang atau tidak.
Makan buah terlarang berarti tidak setia kepada Allah; tidak makan berarti setia kepada Allah. Pertimbangan ini
masuk ranah akal budinya. Masih berkaitan dengan akal budinya, si perempuan menjatuhkan suatu pilihan untuk
makan.
Setelah menimbang-nimbang dan memilih, akhirnya perempuan itu memutuskan untuk makan. Keputusan
tersebut dilakukan dengan sadar dan bebas, tidak ada yang memaksa. Meskipun si perempuan menyalahkan si ular
seolah-olah ia yang memaksanya makan buah terlarang, bagaimanapun juga perempuan tersebut tetap bebas untuk
menolaknya. Dengan demikian, perempuan tersebut dengan sadar dan bebas telah memilih untuk tidak setia kepada
Allah. Ia dengan kehendak bebasnya memilih meninggalkan Allah, yang adalah Kasih. Akibat memilih hidup di luar
Kasih, maka manusia mengalami penderitaan.

7. 7. Panggilan Manusia Bebas: Berbagi Kebaikan


Sebagai ciptaan Allah paling mulia, manusia dipanggil untuk menghadirkan Allah Yang Mahabaik di dunia
ini. Panggilan manusia tersebut menyangkut tiga aspek:
Segi pertama adalah relasi manusia dengan Allah. Manusia dimungkinkan berelasi dan berkomunikasi dengan
Allah karena manusia mempunyai roh atau spirit dalam dirinya. Roh tersebut berasal Allah sendiri. Manusia tidak
hanya makhluk jasmani saja, tetapi juga makhluk spiritual, yang mampu menjalin persahabatan dan berkomunikasi
dengan Penciptanya. Manusia dipanggil untuk mendekatkan diri dan bersatu dengan Allah, Sumber Kebaikan. Dengan
demikian, kita dapat memancarkan kebaikan Allah di tengah dunia ini. Manusia dipanggil untuk memantulkan cahaya
Kebaikan Ilahi. Melalui kebaikan manusia, Allah dimuliakan.
Segi kedua menyangkut relasi dengan sesama manusia. Semua manusia mempunyai martabat yang sama
karena berasal dari Pencipta yang sama. Apabila kita menyadari bahwa keluhuran martabat manusia itu berasal dari
Allah yang menciptakannya, bahwa manusia adalah karya tangan Allah, maka tak seorangpun boleh ditundukkan
demi kepentingan manusia lain. Karena manusia bernilai, maka tidak boleh dikorbankan demi kepentingan apa pun
atau siapa pun. Kita harus menghargai hak-hak manusia dan menyadari tanggung jawab sosial kita. Tidak ada lagi
tempat untuk penindasan, pembunuhan, euthanasia, aborsi, suicide, genocide, penyiksaan, diskriminasi, kekerasan,
ataupun ketidakadilan di antara manusia. Karena semua itu merendahkan martabat pribadi manusia.
Segi ketiga adalah relasi manusia dengan ciptaan lainnya. Dibanding ciptaan lainnya, manusia adalah
makhluk paling mulia “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik”. (Kej 1:31). Karenanya
manusia dipercaya Tuhan untuk mengelola dan merawat alam. Sebagai wakil Allah di dunia, manusia berkewajiban
untuk memelihara dan melestarikan alam ciptaan-Nya. Lingkungan alam merupakan rumah kita. Kerusakan
lingkungan alam berarti kehancuran manusia sendiri.
Apa dasarnya manusia harus berbuat baik? Manusia hidup karena kebaikan. Tanpa kebaikan atau kasih.
Manusia tidak bisa hidup. Kasih itu pertama-tama dari Allah yang menghendaki kita hidup dengan perantaraan kedua
orang tua. Selanjutnya kita hidup karena kasih dan kebaikan dari sesama kita, seperti orang tua, keluarga, para guru
dan dosen, juga masyarakat sekitar. Kita hidup juga karena ditopang oleh alam yang menyediakan kebutuhan hidup
kita. Karena kita telah menerima kasih dan kebaikan, maka sudah selayaknya kalau hidup kita untuk kasih dan
kebaikan.

Anda mungkin juga menyukai