Anda di halaman 1dari 76

I.

PENDAHULUAN
1. Defenisi Sosiologi
Sosiologi berasal dari dua kata sosial dan logika( ilmu).
Sosiologi adalah ilmu tentang sifat, perilaku dan
perkembangan masyarakat ( KBBI).
a. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan
pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial
misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala
keluarga.
b. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara
manusia dan kelompok-kelompok.
c. sosiologi adalah penelitian secara ilmiah
terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu
organisasi sosial.
d. Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang
struktur-struktur dan proses-proses
kemasyarakatan yang bersifat stabil.
e. Sosiologi adalah ilmu yang berupaya
memahami tindakan-tindakan sosial.
f. Sosiologi adalah Ilmu kemasyarakatan yang mempelajari
struktur sosial dan proses sosial termasuk perubahan
sosial.
g. Sosiologi adalah Ilmu ilmu yang memusatkan perhatian
pada pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum
dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum
kehidupan masyarakat.
h. Sosiologi adalah suatu upaya ilmiah untuk mempelajari
masyarakat dan perilaku sosial anggotanya dan
menjadikan masyarakat ya ng bersangkutan dalam
berbagai kelompok dan kondisi.
i. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
kehidupan dan perilaku terutama dalam
kaitannya dengan suatu sistem tersebut
memengaruhi orang dan bagaimana pula
orang yang terlibat didalamnya memengaruhi
sistem tersebut.
KESIMPULAN.
Jadi sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
hubungan antara manusia dalam masyarakat
dan sistem perilaku sosial dimana sistem
tersebut memengaruhi orang dan bagaimana
orang yang terlibat didalamnya memengaruhi
sistem tersebut.
2.Defenisi Agama

Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari


kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia
yang menghubungkan manusia dengan
tatanan/perintah dari kehidupan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
pengertian atau definisi agama adalah sistem yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta
tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya.
• Pengertian Agama dalam beberapa bahasa “kata
agama” dalam bahasa Indonesia sama dengan
“diin” (dari bahasa Arab) dalam bahasa Eropa
disebut “religi”, religion (bahasa Inggris), la religion
(bahasa Perancis), the religie (bahasa Belanda), die
religion, (bahasa Jerman). Kata “diin” dalam bahasa
Semit berarti undang-undang (hukum), sedang kata
diin dalam bahasa Arab berarti menguasai,
menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan
• Agama sendiri adalah suatu istilah yang
berasal dari bahasa Sanskerta “āgama” yang
memiliki arti “tradisi”.
• Agama adalah religi yang berasal dari bahasa
latin “religio” dan berakar pada kata kerja “re-
ligare” yang memiliki arti “mengikat kembali”.
Mengikat di sini maksudnya yaitu dengan ber-
religi maka seseorang akan mengikat dirinya
kepada Tuhan.
Defenisi Agama Menurut Para Ahli

• Defenisi Agama menurut Émile Durkheim


mengatakan bahwa agama adalah suatu
sistem yang terpadu yang terdiri atas
kepercayaan dan praktik yang berhubungan
dengan hal yang suci. Kita sebagai umat
beragama semaksimal mungkin berusaha
untuk terus meningkatkan keimanan kita
melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani
yang sempurna kesuciannya.
• Defenisi Agama Menurut Anthony F.C. Wallace:
Agama sebagai seperangkat upacara yang
diberi rasionalisasi lewat mitos dan
menggerakkan kekuatan supernatural dengan
maksud untuk mencapai terjadinya perubahan
keadaan pada manusia dan semesta.
• Defenisi Agama Menurut Parsons & Bellah:
Agama adalah tingkat yang paling tinggi dan
paling umum dari budaya manusia.
• Agama Menurut Luckmann: Agama adalah
kemampuan organisme manusia untuk
mengangkat alam biologisnya melalui
pembentukan alam-alam makna yang objektig,
memiliki daya ikat moral dan serba meliputi.
• Agama menurut prof Dr.m. Drikarya definisi
Agama adalah kenyakinan adanya suatu
kekuatan supranatural yang mengatur
danmenciptakan alam dan isinya.
II. Agama dalam Kajian Ilmu Sosiologi

Dalam sosiologi, agama dikaji sebagai suatu


fakta sosial. Munculnya sosiologi agama di
akhir abad ke 19 sebagai disiplin baru dari
ilmu sosiologi untuk melihat agama sebagai
situs pengetahuan yang dikaji dari sudut
pandang sosiologis. Sosiologi agama tidak
melihat bagaimana orang beragama, tetapi
untuk memotret kehidupan beragama secara
kelektif yang difokuskan kepada-
peran agama dalam mengembangkan atau
menghambat eksistensi sebuah peradapan
suatu masyarakat.
Sejarah peradapan kemanusiaan selama
berabad-abad memang tidak pernah sepi dari
hirukpikuk aktualisasi agama dan kepercayaan
dengan berbagai defenisinya yang khasdan
diwujudkan dalam perilaku sehari masyarakat.
Defenisi sosiologi Agama Menurut Para ahli

1. Emile Durkheim, seorang sosiolog terkemuka


asal Prancis mendefenisikan agama sebagai suatu
sistem yang terkait antara kepercayaan dan
praktek ritual yang berkaitan dengan hal-hal yang
kudus yang mampu menyatukan pengikutnya
menjadi satu kesatuan dalam norma keagamaan.
Dari pengertian ini agama bisa dimaknai sebagai
pembentuk pormasi sosial yang menumbuhkan
kolektifisme dalam sutu komunitas masyarakat.
Kesimpulan umum menjadi pijakan bagi para
sosiolog agama dalam menjelaskan
dimensisosial agama dimana kekuatan
kolektivisme agama dianggap telah mampu
menyatukan banyak perbedaan antara
individu dan golongan diantara pemeluknya.
Di sini agama dianggap mampu berperan
dalam tranformasi sosial manuju masyarakat
yang membangun masyarakat secara kolektif.
2. Karl Marx, memiliki pendapat yang sinis
terhadap agama. Menurutnya agama tak lebih
dari doktrin metafisik yang tidak material, dan
hanya menitikberatkan pada orientasi pasca-
kematian. Hal ini menurutnya agama telah
dijadikan alat untuk membangun “kesadaran
palsu” untuk mengalihkan perhatian
pemeluknya penderitaan nyata dan kesulitan
dalam kehidupan mereka.
Dalam memperkenalkan filsafat materialisme
historisnya dalam kajian ideologi, Mark
menjelaskan bahwa agama adalah imajinasi
atau lebih tepatnya khayalan yang seseorang
terlena. Agama menjadi suatu doktrin
kepercayaan yang kerap digunakan sebagai
alat legitimasi untuk mempertahankan hal-hal
yang ada di dalam masyarakat sesuai dengan
kepentingan para penindas.
Kritik Mark atas agama ini adalah refleksi dalam
konteks sesamannya dimana kekuatan agama nyata
tidak mampu menjadi penggerak atas struktur
kapitalismeyang menindas masyarakat kelas bawah.
Mark menyatakan agama mendukung dan melayani
kepentingan tertentu yang terkait dengan dominasi
kelas dan dan penundukan kelas. Dia menyebut
bahwa agama dari sudut sosialitasnya adalah
mereka golongan masayrakat yang tertindas.
Agama tidak mampu menjadi alat perubahan dan
perlawanan masyarakat miskin yang tertindas.
Karena luas dan keanekaragaman pokok bahasannya,
maka bidang agama merupakan suatu yang sulit
untuk diukur dengan menggunakan penilaian sosial.
Bagi kenabnyakan orang, perhatian utama terhadap
agama bersifat perorangan dan individualistik. Dalam
mengkaji agama tersebut sorang cenderung
memusatkan pada aspek-aspek etik dan kepercayaan
yang bersifat intelektual dan emosional.
3. William James, dalam defenisinya tentang agama,
membuang aspek-aspek agama yang bersifat
universal, sosial dan institusional. James tertarik
kepada gama fungsi universal masyarakat dimana
saja temukan. Perhatiannya adalah kepada agama
sebagai salah satu aspek dari tingkahlaku kelompok
dan kepada peranan yang dimainkannya selama
berabad-abad hingga sekarang dalam
mengembangkan dan menghambat kelangsungan
hidup kelompok-kelompok masayrakat.
Orang pertama yang mendahului bahwa tidak ada
defenisi (agama) yang benar-benar memuaskan. Karena
satu hal, agama dan keanekaragamannya yang hampir
tidak dapat dibayangkan itu memerlukan deskripsi
(penggambaran) dan bukan defenisi (batasan). Agama
senantiasa dipakai menanamkan keyakinan baru hati
sanubari terhadap alam gaib dan surga-surga telah
didirikan di alam tersebut. Namun demikian agama juga
berfungsi melepaskan belenggu-belenggu adat atau
kepercayaan manusia yang sudah usang.
Agama memberi lambang-lambang kepada manusia. Dengan
lambang tersebut mereka dapat mengungkapkan hal-hal yang
susak diungkapkan, meskipun hakikat pengalaman keagamaan
selamanya tidak dapat diungkapkan. Penulis terdahulu seperti
Tylor dan spencer menganggap agama sebagai suatu hasil
pemikiran manusia dan hasratnya untuk mengetahui.
Durkheim dan juga beelakangan Freud, mengemukakan
landasan agama yang bersifat naluriah dan emosional. Semua
yang dijelaskan tentang agama, bahwa agama itu merupakan
produk kebudayaan, atau pengembangan dari aktivitas
manusia sebagai mahluk pencipta kebudayaan.
Salah satu hal terpenting dalam agama pada
masyarakat adalah ia harus percaya terhadap
hal yang sakral, walaupun ini berkaitan dengan
hal-hal yang penuh misteri baik yang sangat
mengagumkan ataupun sangat menakutkan.
Dalam semua masyarakat yang dikenal
terhadap perbedaan antara yang suci dengan
yang biasa atau sering kita katakan, antara
yang sakral dan yang sekuler atau duniawi.
Ciri umum apakah yang kita temukan dalam berbagai
benda atau wujud sakral yang hampir tidak terbatas ini,
atau yang bisa disebut sakral. Apabila kita
memperhatikan benda-benda atau wujud-wujudnya saja
kita akan menemukan jawaban. Menurut Emile
Durkeim, bukan benda-benda itu sendiri yang
merupakan tanda dari yang sakral, tetapi justru berbagai
sikap dan perasaan yang memperkuat kesakralan benda-
benda itu. Dengan demikian kesakralan terwujud kerena
sikap mental yang didukung oleh perasaan.
Berkaitan erat dengan yang sakral atau suci adalah yang
tidak suci, yang mencakup apa saja yang diannggap
mencemarkan yang suci itu. Untuk menghindari
kemungkinan timbulnya pencemaran inilah hal-hal yang
sakral dipagari engan larangan-larangan atau tabu-tabu.
Jadi sangat penting untuk ditekankan bahwa manurut
pemahaman sosiologi, agama tidak dipandang bersumber
dari “pewahyuan” yang datang dari “dunia luar”, tatepi
diangkat dari pengalaman sekitar agama yang dihimpun
dari peristiwa di mana masa lampau maupun penomena
agama pada masa kini.
Dengan kata lain, defenisi agama menurut
sosiologi adalah defenisi yang empiris.
Sosiologi tidak memberikan defenisi agama
yang evaluatif (menilai). Tetapi hanya
memberikan penjelasan mengenai agama
nyang deskriptif (mengambarkan apaadanya),
yang mengungkapkan apa yang dipahami dan
dialami oleh pemeluk-pemeluk agama.
III. Agama dalam berbagai Teori
1. Agama Sebagai Animisme.
Lokus studi E.B. Tylor sebenarnya bukanlah agama
melainkan organisasi sosial yang dibentuk oleh
manusia. Itu sebabnya, ada yang berpandangan E.B.
Tylor adalah pendiri dari antropologi sosial atau
budaya. Lahir pada tahun 1832 lahir dalam keluarga
yang memiliki perusahan/pabrik kuningan di
London. Ia adalah bagian dari kelompok keagamaan
Quaker namun kemudian dia beralih seorang yang
manganut paham liberal, bahkan ateis.
Peralihan tersebut tergambar dalam tulisan-tulisannya
yang hampir seluruhnya menunjukkan
ketidaksenangannya pada semua bentuk pada semua
bentuk dan praktek agama Kristen tradisional, terutama
katolikisme Romawi. Tylor menderi penyakit
tuberkolosis, ia menetap di wilayah tropis di daerah
Amerika tengah dan disana studinya tentang
kebudayaan asing dimulai. Tylor meneliti tentang
masyarakat primitif, baik dari zaman prasejarahmaupun
dari komunitas suku pada masa itu.
a. Asal Usul Agama Dalam Peradaban Manusia.
Tylor berpendapat bahwa agama tidak dapat dibatasi
hanya sekedar sebagai kepercayaan pada Tuhan,
meskipun itu yang dipahami oleh sebagian dunia pada
saat itu, khususnya agama Kristen. Pendekatan semacam
itu meniadakan masyarakat religius yang tidak menaruh
kepercayaannya pada Tuhan tetapi para dewa-dewa dan
yang lainnya. Karena itu, Tylor mengusulkan agar agama
labih baik jika dipahami sebagai kepercayaan terhadap
mahluk spritual .
Jadi hakikat dari agama (besar atau kecil, kuno atau
modern) adalah kepercayaan pada roh yang berpikir,
bertindak, dan merasa sama seperti manusia. Dari
pemahaman tersebut muncul istilah animisme yang
berasal dari bahasa latin, yang berarti roh yakni
kepercayaan pada kekuatan pribadi yang hidup
dibalik semua benda. Untuk mengetahui asal usul
agama tidak lain dengan cara mengetahui
bagaimana dan mengapa masyarakat pada awalnya
percaya pada keberadaan wujud-wujud spiritual.
Agama samawi ( Yahudi, Kristen, dan Islam) beranggapan
bahwa adanya kepercayaan pada wujud spiritual, seperti
Tuhan, karena wujud itu telah berbicara pada mereka
secara sepernatural melalui Kitab-Kitab Suci (Taurat,
Alkitab, dan Al Quran). Tapi Tylor dalam studinya tidak
terikat pada pemahaman iman semacam itu. Ia
menegaskan bahwa bahwa setiap keterangan tentang
bagaimana manusia parcaya pada mahluk spritual pasti
hanya berasal dari sebab-sebab ala, yang kemudian dapat
dianalisa dan dijelaskan dengan menggunakan metode-
metode penelitian dalam ilmu pengetahuan Etnologi.
Tylor berpandangan bahwa dalam masa prasejarah,
perjumpaan manusia prasejarah, perjumpaan
manusia prasejarah dengan kematian dan mimpi
menciptakan teori sederhana tentang kehidupan
bahwa setiap mahluk dihidupkan oleh roh suatu
prinsip spritual. Roh itu dipandang sebagai
“banyanagan manusia tak bersubstansi yang tipis,
memiliki sifat sejenis asap, film, atau bayang-bayang;
sebab kehidupan dan pemikiran dalam diri
seseorang yang ia hidupkan”.
Masyarakat primitif memperluas gagasannya
tersebut untuk menjelaskan alam semesta dan
berbagai kenyataan lain yang mereka jumpai,
seperti tentang roh-roh yang ada dibalik
penampakan alam, tumbuhan , batu, gunung, tapi
yang terpenting adanya roh-roh tertinggi, mahluk-
mahluk spritual yang disebut sebagai dewa-dewa.
Jadi sebagaimana manusia dihidupkan oleh roh,
begitupula oleh roh yang memberi kehidupan bagi
dunia( alam semesta).
Pertumbuhan Pemikiran Agama:
• Ide-ide tentang roh (anima) dalam masyarakat tidak berada dalam
bentuk yang tetap, ia mengalami perkembangan.
• Dalam perjalanan waktu, roh mulai dianggap terpisah dari objek
yang dikuasainya (bersifat supranatural) dan memiliki identitas dan
karakteristik sendiri.
• Dalam kebudayaan masyarakat “barbar”, agama yang
dikembangkan merupakan gambaran dari struktur pembagian
kerja, kekuasaan yang ada dalam masyarakat tersebut.
• Mencapai bentuk yang paling tinggi, ketika diciptakan adanya
suatu dewa (ZEUS) sebagai wujud spritual tertinggi yang berada di
puncak masyarakat dewa.
2. Agama sebagai yang sakral.
Durkeim dilahirkan di Epinal, Prancis. Ia
berasal dari keluarga Yahudi Prancis yang
saleh, ayah dan kakeknya adalah rabi. Hidup
Durkheim sendiri sama sekali sekuler.
Karyanya membuktikan bahwa fenomena
keagamaan berasal dari faktor-fator sosial.
a. Teori Durkheim tentang agama sebagai yang sakral.
Durkheim menolak pandangan Tylor dan Fraser yang
berpandangan bahwa agama terbentuk pada masa prasejarah
dalam paham animisme kuno dan untuk proposisi tersebut
mereka tidak memiliki fakta yang nyata, sementara
pandangan durkheim, studi semacam itu tidak ilmiah kerena
hanya melihat dari hal-hal luar saja dimana substansi yang
tidak dalam. Durkheim yakin bahwa untuk mencapai
pemahaman yang sungguh ilmiah mengenai agama tidak
dapat dengan hanya mencari tahu bagaimana manusia
berpikir dan menciptakan agama dalam sejarah masa lampau.
Jadi Durkheim mengatakan bahwa sesuatu yang pada
semua waktu dan tempat memaksa manusia beriman dan
berpegang pada pandangan-pandangan agama.
Durkheim menjajaki msayrakat yang paling primitif di
muka bumi dan mempelajari setiap aspek kehidupan
mereka. Ia melakukan penelitian yang mendalam dimana
ia meneliti masyarakat Aborigin yang mempraktekkan
totemisme ( suatu kepercayaan atau agama yang hidup
pada sebuah komunitas atau organisasi yang
mempercayai adanya daya atau sifat ilahi yang dikandung
sebuah benda atau mahluk hidup selain manusia.
Durkheim berpendapat bahwa agama merupakan suatu hal
sosial yang utama. Manifestasi agama ditandai oleh sikap sakral
pengalaman –pengalaman kelompok masyarakat dan
dituangkan dalam bentuk ritual dan praktek-praktek yang suci.
Selanjutnya, menurut Durkheim, agama adalah pensucian tradisi
yang menyatukan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam
perilaku manusia atas tumpuan akhir masyarakat itu. Tradisi yang
dimaksud disini ialah bentuk-bentuk ritual dan praktek-pratek
yang suci sebagai hasil interpretasi masyarakat terhadap
pengalaman-pengalaman yang sakral yang mereka alami.
Pengalaman agama dan ide tentang yang suci adalah
produk kehidupan kolektif, kepercayaan dan ritus agama
dapat memberikan kontribusi dalam memperkuat ikatan-
ikatan sosial dimana kehidupan kolektif itu bersandar.
Ritus agama mempersatukan individu dalam kegiatan
bersama dengan satu tujuan bersama dan memperkuat
kepercayaan, perasan dan komitmen moral yang
merupakan dasar struktur sosial. Ide yang suci diperkuat
dalam manifestasi perasaan serta kegiatan bersama yang
berulang-ulang mengenai kepercayaan mereka tentang
yang suci.
Dengan demikian agama diyakini oleh Durkheim dapat membuat
individu menjadi mahluk sosial dan agama dapat melestarikan
masyrakat, memeliharany dihadapan manusia dalam arti memberi
nilai bagi manusia, dan menanamkan manusia untuknya.
Durkheim melihat agama dapat meningkatkan kekompakan dan
solodaritas sosial. Namun ia, mengabaikan sejarah mengenai
konflik yang disebabkan oleg persoalan agama. Elemen-elemen dari
agama seperti pengakuan umat yang yakin agama yang dianutnya
merupakan kebenaran yang hakiki dan agama lain merupakan
kesesatan (fanatisme agama) mempertajam konflik, akibatnya
dalam masyarakat terjadi perpecahan yang tajam antar kelompok
agama yang berbeda.
3.Agama Sebagai Keterasingan.
Karl Marx adalah seorang yang lahir dari keluarga Yahudi. Ayahnya
bernama Herschel, meninggalkan agama Yahudi dan beralih agama
protestan yang liberal, keluarga Marx sangat liberal.
a. Pemikiran Karl Marx tentang agama sebagai keterasingan dan candu
bagi masyarakat.
Bagi Marx, sejarah semua masyarakat adalah sejarah perjuangan kelas.
Orang merdeka dengan budak, singkatnya antara penindas yang
ditindas selalu dalam pertarungan satu sama lain, suatu konfrontasi
yang tiada putusnya.
Agama menurut Marx adalah ideologi yang dibangun oleh negara
sebagai representasi dari kepentingan kelas yang berkuasa untuk
mempertahankan kepaentingan dari kelas penguasa.
Agama adalah sebuah ilusi dengan konsekwensi yang sangat jahat
yakni melanggengkan ketidakadilan yang sedang berlangsung di
dalam masyarakat. Mark beranggapan bahwa ketika agama
berbicara tentang Tuhan yang mutlak sesunguhnya yang
dikemukakan adalah manusia itu sendiri.
Agama adalah suatu kesalahan sebab “mengasingkan” kesadaran
kita. Agama telah membutakan kesadaran manusia, karena
mngasingkan kesadaran kita dari realitas yang sebenarnya.
Kecenderungan manusia membentuk agama yang mengasingkan
kesadaranya ditandai dimana agama mengambil sifat-sifat
kehidupan manusia yang dasar dan membeikan pada suatu
wujud asing dan khayalan yang disebut Tuhan.
Agama dalam hubungan keterasingan menyimpulkan
bahwa keterasingan dalam agama merupakan ekspresi
dari ketidakbahagian yang bersifat materi daripada
spritual. Marx menguraikan bahwa agama keluh kesah
mahluk yang tertindas, hati dunia yang tak berhati, roh
dari satu keadaan yang tak punya roh, ia adalah candu
bagi masyarakat. Dengan agama, penderitaan orang
miskin dalam dunia ekploitasi yang kejam dihilangkan
dengan fantasi mengenai suatu dunia supranatural
dimana segala kesedihan akan berakhir, semua
penderitaan akan berakhir.
4. Agama sebagai suatu Kepribadian.
Sigmund Freud lahir di cekoslowakia 6 mei 1856,
bangsa Yahudi. Sigmund kebiasaan dari kecil gemar
membaca Injil. Freud giat mempelajari kebudayaan
dan hubungan antar manusia didunia ini. Ia barani
mengungkapkan keburukan dan kebaikan perilaku
manusia. Ia tetap konsisten melakukan penyelidikan
berkaitan dengan manusia dan kejiwaannya. Ia juga
mempelajari secara serius dan mengkritisi teori
evolusi Darwin.
Ia psikiater yang menyusun teori kepribadian dan metode terapi
untuk metode penelitian psikologi, teori tersebut namanya
analisis asosiasi bebas.
Agama akan menjadi agama yang sejati bila mengalami
bermacam-macam konflik dan ketegangan. Dengan itu orang
akan mempunyai keyakinan religius yang mantaf dan
matang.Agama harus mempersatukan manusia dalam suatu
persaudaraan. Orang baru sebetulnya baru dapat menghadap
Allah secara benar bila sanggup melibatkan orang lain orang
lain dalam kehidupan pribadinya. Kepekaan seseorang terhadap
kepentingan komunitas merupakan tolak ukur yang baik untuk
menilai sikap beragama seseorang.
Agama adalah keyakinan tertentu yang merupakan
tempat paling hangat dalam kepribadian kita.
Tempat itulah pusat kepribadian kita sebab
daripadanya kita hidup dan berkarya demi
keyakinan kita melibatkan diri dengan segenap jiwa
raga kita. Agama melalui pendekatan dari dalam.
Jadi Sigmund menyatakan bahwa agama adalah ilusi,
neurosis menghalangi pemikiran kritis dan
pemenuhan sikap dan kekanak-kanakan.
Ia memandang bahwa gama sebagai pemuasan keinginan kekanak-
kanakan. Lebih lanjut Freud menyakini agama sebagai suatu hal yang
negatif dan neurotis (Sakit saraf/jiwa) sekaligus agama sebagai
pemuasan keiginan kekanak-kanakkan. Penyebabnya ada dua Faktor:
Pertama, kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan dalam sosok bapak.
Pengalaman orang beragama pada usia dini yang menganggap orang
tua, dimana bapak menenterampan yang tidak berdaya dan pada
akhirnya terciptalah surga buatan baginya.
Kedua, ritus-ritus wajib yang dijalankan secara rumit.
Agama adalah gejala penyakit jiwa dimana manusia pada dasarnya
adalah mahluk yang bebas lalu dengan adanya agama manusia
menajadi mahlik yang terbatas dengan banyaknya aturan yang harus
ditaaati di dalam agama.
Selamat Mengikuti
Ujian Tengah Semester
Tuhan Yesus Memberkati.
5. Agama sebagai aspek perilaku manusia.
Max Webber dilahirkan di Erfurt Jerman pada
tahun 1864, dari keluarga kaya dan terpandang.
Ayahnya adalah seorang birokrat dan
menempati posisi politik tang terpenting dan
ibunya adalah pemeluk agama yang terpenting.
Orientasi agama menurut Max Webber yaitu
menempatkan ide ke dalam konteks nilai-nilai
etika.
Ide tersebut merujuk kepada bentuk tertinggi dari
kewajiban moral bagi individu untuk memenuhi
tugas-tugasnya dalam urusan duniawi. Konsep
tersebut memproyeksikan perilaku religius ke
dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.
Weber membahas masalah hubungan antara
berbagai kepercayaan keagamaan. Agamalah
yang menentukan arah perkembangan perilaku
manusia.
Weber mulai menggali konsep konsep dasar
agama pmimitif. Setiap masyarakat memiliki
konsep tentang tatanan adikodrati, roh-roh,
tuhan-tuhan, yang labih unggul dari kejadian
alamiah pada aktivitas bagi aspek pengalaman
manusia yang tidak lazim. Agama menurut
Weber aspek kehidupan manusia yang universal.
Agama merupakan sifat dasar manusia yang logis
atau rasional dalam berbagai aspek kehidupan.
Weber membuktikan bahwa agama
memberikan dorongan terhadap perjuangan
manusia memperbaiki kehidupannya. Ia
mengidentifikasi agama yang punya kontribusi
bagi perubahan sosial dalam masyarakat. Oleh
sebab itu agama sebagai institusi yang paling
mempengaruhi perkembangan masyarakat.
6. Agama Menurut Perspektif Struktural-Fungsional
Dapat kita bayangkan bagaimana ruwetnya suatu
diskusi panel, rapat, musyawarah yang diikuti oleh
berbagai pihak dengan latar belakang kepentingan
yang berbeda. Situasi semacam ini menimbulkan
pertanyaan mengenai bagaimanakah suatu
komunitas, besar atau kecil, membentuk dan
mempertahankan integrasi dan keteraturan sosial
yang mencegah terjadinya kekacauan.
Dalam asumsi dasar teori fungsional terdapat
cara pandang yang menyatakan bahwa
masyarakat (sebagai sistem) terintegrasi oleh
adanya kesepakatan bersama. Kebersamaan
dan kohesi sosial dimungkinkan karena adanya
hubungan fungsional antarbagian pembentuk
sistem, interpedency. Dengan demikian,
kondisi masyarakat akan selalu dalam keadaan
seimbang.
Seandainya ada perubahan-perubahan, baik
karena faktor internal maupun eksternal
perubahan itu diyakini tidak akan sampai
menggangu integritas sosial atau
keseimbangan sosial, sebab sifat perubahan
yang terjadi lebih bersifat mendasar.
Talcot Parson (sebagai tokoh utama paradigma ini)
mengajukan teori tentang tindakan manusia. Tentang
hal ini, ia membedakan ke dalam empat subsistem:
Organisme, personality, system sosial, dan system
cultural. Keempat unsur, menurut Parson sebagai
elemen-elemen yang mengendalikan tindakan
manusia. Semua tindakan manusia ditentukan oleh
keempat subsistem: budaya, sosial, kepribadian, dan
organisme. Sistem cultural merupakan sumber ide,
pengetahuan, nilai, kepercayaan, dan simbol-simbol.
Sistem ini penuh dengan gagasan dan ide, karena
itu kaya akan informasi, tetapi lemah dalam aksi.
Untuk sampai pada tindakan, personaliti, dan
sistem sosial berfungsi sebagai mediator terhadap
sistem kultural. Artinya bahwa simbol-simbol
budaya diterjemahkan sedemikian rupa dalam
sistem sosial yang kemudian disampaikan kepada
individu-individu warga masyarakat (sistem sosial)
melalui proses sosialisasi dan internalisasi.
Dari penjelasan keempat fungsi di atas
dapat disimpulkan bahwa agama dalam
perspektif fungsional berperan sebagai
sarana pengesahan atau legitimasi bagi
perilaku yang bertujuan untuk
membentuk dan mempertahankan
integritas dari suatu komunitas.
Jadi sekalipun agama (istilah yang digunakan yakni
Ultimate Reality) bersifat eksternal dalam sistem
tindakan manusia namun ia sangat mewarnai subsistem
kultural dan masyarakat sebagai subsistem yang
menterjemahkannya kepercayaan atau pengertian
tentang realitas tertinggi itu ke dalam nilai-nilai kultural.
Sedangkan nilai-nilai kultural, pada gilirannya berperan
sebagai tiang penyangga tata kehidupan bermasyarakat
dan sebagai pedoman yang mengarahkan tingkah laku
masyarakat di alam kehidupan fisik yang nyata.
IV. PERAN AGAMA DALAM MASYARAKAT
MAJEMUK
1. Membangun dialog antar umat-beragama.
Dialog antar-umat beragama untuk mencapai harmoni
atau keselarasan di antara umat dalam masyarakat
majemuk. Salah satu krisis yang paling mengancam
adalah hubungan antar sesama manusia dalam
perbedaan agama. Peranan agama sebagai landasan
etika moral dan spritual dalam memberi makna dan
dorongan terhadap hidup sangat penting, dimana
peranan agama bagi pembangunan hidup dan hubungan
antar manusia , dan hal itu ditandai oleh kebangkitan
kembali agama-agama.
Toleransi dan saling menerima merupakan landasan etika,
moral dan spritual dalam kehidupan beragama yang
harmonis. Hal tersebut tidak akan terjadi jika ada agama
yang menganggap agama yang lain sebagai sesuatu yang
asing. Dengan adanya dialog antar umat beragama akan
ada pengalaman baru yakni orang dari agama yang satu
berkesempatan akan mengalami pengalaman keagaman
dari agama yang lain. Mis: Orang kristen mengalami
transformasi iman dengan mengenal seorang muslim
rajin berdoa, budda punya waktak cinta selalu akan yang
hidup.
Bentuk-bentuk dialog antar umat beragama yaitu:
Dialog kehidupan yaitu berbeda agama lalu membagi
nilai-nilai keagamaan dan turut memmberi sumabang
bagi tercapainya sikap saling mempercayai pada
pembentukan hidup bersama yang harmonis.
Dialog melalui percakapan yaitu para ahli dari bebagai
agama mempercakapkan ajaran agama masing-masing
sehingga mengahsilkan temu pikir dan pendapat dalam
suatu komunitas antar umat beragama.
Dialog dalam tindakan yaitu ada kerjasama, tindakan bersama, dan
hidup bersama sebagai jalan untuk membawa keharmonisan
dan kesatuan antar para pemeluk berbagai agama.
2. Memiliki sikap hidup beragama yang tepat.
Di masa depan pada abad ke 21, karena pengaruh iptek, agama
—agama dan kepercayaan seharusnya meninggalkan
kepercayaan terhadap alam gaib. Dengan demikian
keberagaman kita pada saat itu adalah keberagaman kita pada
saat itu adalah keberagaman yang menopang dan menghargai
hidup sebagai pemebrian Allah dan oleh sebab itu harus selalu
terbuka.
Sikap keberagaman kita haruslah mencerminkan suatu sikap hidup
yang menghargai dan mengukuhkan kebinekaan dalam
keberagaman manusia. Mengukuhkan kepelbagaian agama-
agama dan kepercayaan umat manusia secara bersama
membangun dunia sebagai satu-satunya kemuliaan Allah
dinyatakan. Alaupu kita berbeda agama dan kepercayaan, tetapi
namun sebagai manusia kita dapat dapat saling memberi dan
menerima serta membagi informasi yang sangat diperlukan
dalam pengembangan ilmu demi kesejahteraan bersama seluruh
umat manusia.
Dengan demikian memberlakukan damai sejahtera Allah bagi
orang-orang yang beragama dan kepercayaan lain.
3. Mengamalkan ajaran agama secara bertanggungjawab.
Mengamalkan ajaran agama secara bertanggungjawab bagi
peningkatan kesejahteraan semua orang tanpa melihat
keyakinan agama, suku, ras dan asal-usul.
Hal ini menunjuk kepada kebersamaan, keterbukaan, dan
berorientasi ke masa depan yang lebih baik, lebih adil lebih
sejahtera, dan pada akhirnya lebih manusiawi serta menolak
sifat egoisme dalam menempatkan pengambilan keputusan.
Kebebasan tersebut adalah kebebasan untuk memberikanyang
terbaik ari hidup kita untuk menghidupkan orang lain.
Ajaran islam yaitu menemukan kepribadian yang utuh
yang dilanda perpecahan dan keterasingan.
Hindu yaitu kelepasan dari penderitaan dan
kesengsaraan.
Buddha yaitu menemukan ketenangan ditengah dunia
yang penuh gejolak dan kekuatiran
Kristen yaitu mendasarkan hidupnya pada pemberlakuan
KASIH.
Jadi: memberlakukan hal seperti itu merupakan
tanggungjawab dalam masyrakat beragama.
V. AGAMA DALAM PRAKSIS MASYARAKAT
MAJEMUK
Agama merupakan dasar kepercayaan
seseorang akan hidup. Secara mendasar,
manusia membutuhkan komitmen dasar,
komitmen pada makna, nilai dan norma.
Agama memberikan makna yang
komfrehensip tentang hidup, menjadi jaminan
bagi nilai-nilai tertinggi dan norma-norma
yang bersifat tanpa syarat, memberikan
komunitas dan rumah rohani.
1. Agama sebagai suatu simbol.
Fakta sebagai realitas dipergunakan untuk menjangkau
realitas lain, yang biasaya berada diluar jangkauan
pengalaman indrawi manusia. Simbol memuat berbagai
pemahaman yang dalam untuk mengatasi kemampuan
indrawi manusia yang terbatas. Dengan demikian manusia
selalu membutuhkan dan menggunakan simbol sebagai
mahluk yang berakal budi untuk mengaktualisasikan
pikiran dan kehendaknya. Hal itu berarti bahwa simbol
merupakan penjelmaan dari kebebasan budi manusia.
Realisasi sikap tanggap manusia terhadap
berbagai realitas di sekitarnya, termasuk kuasa
transenden yang diakui sebagai keberadaan
yang melebihi dirinya, terwujud dalam bentuk
agama. Secara keseluruhan dapat dikatakan
bahwa agama adalah suatu sistem simbol untuk
mengungkapkan konsep-konsep dan gagasan-
gagasan tentang kekudusan serta relasi manusia
dengannya.
Secara khusus simbol-simbol dalam agama
dapat disebut simbol keagamaan yang bersifat
material maupun imaterial.
Agama, apapun bentuknya sebagai suatu sistem
simbol memiliki unsur-unsur: perasaan
keagamaan, atau kesadaran keagamaan, sistem
ajaran atau sistem kepercayaan, sistem
peribadatan, serta sistem religius yang menganut
sistim ajaran atau sistim kepercayaan.
Agama dalam gerakan bersama rakyat untuk tatanan
ekonomi masyarakat dalam perbedaaan agama.
Tanpa disadai, sebenarnya banyak negara yang ekonominya
sudah maju berupaya untuk mempengaruhi negara yang
ekonominya masih lemah agar penganut agama menuju
kepada tatanan ekonomi yang kuat. Jadi untuk memperkuat
fungsi mediasi sosial, maka agama harus mengusai wacana
manusia. Dengan demikian, untuk melawan kekuatan
dominasi tersebut, agama harus mampu menciptakan
bahasa baru untuk melakukan konstruksi tatanan ekonomi.
2. Agama sebagai sumber hidup manusia.
Semua ciptaan Allah dipercayakan kepada manusia
untuk dikelola dan dipelihara. Allah menciptakan
kehidupan dan harus dipelihara, oleh sebab itu
manusia mendesain pola hidupnya berkembang
sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia.
Agama sebagai sumber hidup manusia yang
diwujudkan dalam tiga relasi yaitu relasi dengan Allah
pencipta, dengan sesama dan semua ciptaannya.
Jika seseorang beragama secara benar, akan mewujudkan
kehidupan yang sejahtera tapi sebaliknya jika ada perasaan
saling membenci dan saling bermusuhan akan terwujud
kehudupan beragama yang diwarnai kekacauan.
Oleh sebab itu fungsi umat beragama yang harus dilakukan
dalam kehidupan bersama yaitu:
1. menjadi berkat bagi semua umat manusia.
2. menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik.
3. mencari kebanaran dan keadilan Allah.
Ketiga fungsi tersebut yang seharusnya mewarnai praktek
keberagaman di tengah-tengah kemajemukan agama.
VI. IMPLEMENTASI AGAMA DALAM
MASYARAKAT MAJEMUK
Implikasi praktis bagi gereja yang akan dilaksanakan guna
tercapainya kebersamaan dalam masyarakat yang majemuk
khususnya agama yang berbeda dalam masyarakat tersebut.
Adapun implikasi praktis tersebut antaralain:
 Informasi yaitu gereja menyampaikan masalah-masalah
mengenai perbedaan pendapat mengenai agama dalam
masyarakat secara benar dan tepatuntuk menolong mereka
yang belum memehami dengan benar mengenai agama
yang sesungguhnya. Usaha ini untuk menghapus cara
pandang yang salah mengenai agama dalam senuah
realitas kehidupan sosial manusia.
 Membentuk Forum yaitu gereja menjadi inisiator untuk
membentuk forum keagamaan yang telah melampaui
batas-batas agama. Melalui forum tersebut sebagai alat
yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang
timbul dalam masyarakat oleh karena perbedaan agama.
 Membentuk satgas lintas agama yaitu gereja memelopori
untuk membentuk satgas lintas agama untuk menolong
masyarakat majemuk agar tercipta usaha membengun
budaya persaudaraan universal yang telah melampaui
batas agama dan melihat manusia yang harus dikasihi
tanpa syarat.
 Membentuk pusat studi yaitu gereja bersama lembaga
lainnya entah agama atau masyarakat untuk membangun
pusat studi untuk membahas secara bersama mengenai
masalah agama.
Kesimpulan:
Agama harus memainkan fungsi trasformatif yaitu menjadi
kesadaran dan gerak bersama, sehingga agama menjadi
relevan bagi kehidupan yang lebih baik secara kualitatif. Agama
sebagai kekuatan yang kritis yang memiliki vitalitas trasformstif
yang mampu melakukan rekeontruksi sosial menuju kepada
bangunan sosial yang ideal dalam masyarakat majemuk.

Anda mungkin juga menyukai