A. Pendahuluan
Sejarah perkembangan psikologi mencatat bahwa Sigmund Freud dilahirkan di
Cekoslowakia pada 6 Mei 1856. Ia adalah bangsa Yahudi yang tinggal berpindah-pindah dari
Negara satu ke Negara lain. Di Negara tempat kelahirannya Cekoslowakia, Freud hanya tinggal
selama 4 tahun kemudian pindah ke Wina, Austria. Freud mempunyai kebiasaan dari kecil, yaitu
gemar sekali membaca kitab Injil.
Perjalanan keilmuan Freud yang kemudian membuatnya dikenal oleh banyak orang
dimulai setelah tamat sarjana muda. Freud giat mempelajari kebudayaan dan hubungan
antarmanusia di dunia ini. Hal tersebut dikaji oleh Freud dengan sangat detail bahkan ia berani
mengungkap keburukan-keburukan selain kebaikan-kebaikan perilaku manusia. Langkah yang
telah ditempuh oleh Freud tersebut kemudian diketahui oleh orang banyak dan membawa
dampak yang tidak menguntungkan bagi Freud, yaitu dibenci oleh masyarakat luas pada
zamannya.
Meskipun demikian, Freud tampaknya tidak terlalu memperdulikan penentangan dari
mereka. Ia tetap konsisten melakukan penyelidikan berkaitan dengan manusia dan kejiwaannya.
Hal itu dibuktikan dengan tindakan konkret dalam kehidupannya. Selain mengkaji secara
mendalam tentang kebudayaan dan hubungan antarmanusia, Freud mempelajari secara serius dan
mengkritisi teori evolusi Darwin.
Kemajuan ilmu pengetahuan ilmiah pada zaman itu tampak begitu pesatnya. Begitu juga
dengan ilmu psikologi. Bidang psikologi mengalami revolusi, terutama dalam wawasan
kehidupan jiwa dan kepribadian manusia. Hal tersebut berkat rintisan Sigmund Freud seperti
diakui oleh banyak orang, seorang dokter sakit jiwa (psikiater) lulusan Universitas di Wina
tahun 1881 dengan spesialisasi psikoterapi. Freud sebagai dokter ahli jiwa, sembari bekerja
menyusun teori kepribadian dan metode terapi untuk metode penelitian psikologi. Teori terapi
tersebut terkenal dengan sebutan analisis asosiasi bebas. Paham Freud selanjutnya
disebutpsikoanalisis, seperti yang dipelajari oleh banyak orang di zaman sekarang.[1]
B. Pendapat beberapa tokoh tentang Agama
Agama adalah kekuatan ghaib yang diyakini berada di atas kekuatan manusia, didorong
oleh kelemahan dan keterbatasannya. Manusia merasa berhajat akan pertolongan dengan cara
menjaga dan membina hubungan baik dengan kekuatan ghaib tersebut. Sebagai relisasinya
adalah sikap patuh terhadap perintah dan larangan kekuatan ghaib tersebut.[2]
a. A. Vergote
Seluruh agama pasti didasari secara psikologis oleh psikisme manusia yang paling
elementer dan fundamental. Dan tidak menjadi agama yang sejati sebelum mengalami
bermacam-macam konflik dan ketegangan. Dengan itu orang akan mempunyai keyakinan
religious yang mantap dan matang.
agama bersifat komuniter. Maka dari itu agama harus mempersatukan manusia dalam
suatu persaudaraan. Orang sebetulnya baru dapat menghadap Allah secara otentik bila ia
sanggup melibatkan orang lain pula dalam kehidupan pribadinya. Tidak mungkin menghadap
Tuhan sendirian. Oleh karena itu kepekaan seseorang terhadap kepentingan komunitas
merupakan tolak ukur yang baik untuk menilai sikap beragama seseorang.[3]
b. Carl Gustav Jung
Agama untuk mengetahui kedewasaan seseorang. Maka, kedewasaan seseorang terlihat
setelah ia beragama.
c. Emile Durkheim
Agama sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang
berkaitan dengan hal-hal yang kudus kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu
menjadi suatu komunitas moral yang tunggal. Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang
menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu sifat kudus dari agama dan praktek-praktek
ritual dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk
supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas.[4]
d. William James
Agama adalah keyakinan tertentu yang merupakan tempat paling hangat dalam
kepribadian kita. Tempat itulah pusat kepribadian kita, sebab dari padanya kita hidup dan
berkarya. Demi set keyakinan itu kita melibatkan diri dengan segenap jiwa raga kita. Oleh
karena itu, dalam bukunya, ia menyebut set keyakinan tersebut the habitual centre of his
personal energy.[5]
e. Mircea Eliade
percaya kepada independensi atau otonomi agama. Agama bukan penampilan dari
ekonomi atau lainnya. Agama bukan hasil dari realitas yang lain, agama bukan suatu variable
dependen, seperti yang dikemukakan oleh ahli lain. Agama, menurut Eliade, harus dipahami
sebagai yang mempengaruhi aspek-aspek kehidupan yang lain, sebagai variable independen.
Agama tidak cukup dipahami seperti cara kerja sejarawan, tetapi juga harus dengan pendekatan
dari dalam, secara fenomenologis. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa pembicaraan
mengenai saling mempengaruhi ini tidaklah spesifik mengungkap definisi agama, tetapi lebih
dekat kepada pembahasan tentang teori. Namun, pendapatnya bahwa agama adalah sesuatu yang
independen dan otonomi.[6]
Eliade juga memulai menjelaskan agama dengan membedakan antara kehidupan sakral
dan kehidupan profan. Yang sakral itu aktifitas kehidupan yang disengaja, yang supranatural,
mengesankan, yang substansial dan penting; yang teratur, sempurna, tempat bersama leluhur,
para pahlawan dan para dewa. Sebaliknya, yang profan adalah yang biasa-biasa saja dalam
kehidupan sehari-hari, yang selalu berubah.[7]
C. Agama Menurut Sigmund Freud
Sigmund Freud menyatakan bahwa agama adalah ilusi, neurosis, menghalangi pemikiran
kritis dan pemenuhan sikap kekanak-kanakan.
Ia memandang bahwa agama adalah sebagai pemuasan keinginan kekanak-kanakkan. Ini
menilik dari arti nama psikoanalisis itu sendiri yang secara sederhana diartikan sebagai sebuah
perawatan medis bagi orang-orang yang menderita gangguan syaraf. Lebih jauh lagi Freud dan
para pengikutnya yang meyakini agama sebagai sesuatu hal yang negatif dan neurotis (sakit
saraf/jiwa) sekaligus agama sebagai pemuasan keinginan kekanak-kanakkan. Penyebabnya
adalah paling tidak ada dua faktor yaitu :
Pertama, kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan dalam sosok bapak.
Faktor ini lebih banyak disebabkan oleh adanya pengalaman hidup yang dilalui orang-
orang beragama pada usia dini/kanak-kanak yang menganggap orang tua, terutama bapak yang
dengan penuh kasih sayang dapat menenteramkan anak yang tidak berdaya dan ketakutan, dan
pada akhirnya terciptalah surga buatan baginya. Dengan demikian agama adalah sebuah ilusi
menurut Freud.
Kedua, ritus-ritus wajib yang dijalankan secara rumit.
Tidak dapat kita pungkiri adanya sejumlah aturan-aturan di dalam agama dan upacara-
upacara keagamaan lainnya. Maka tidak heran jika Freud memandang agama adalah gejala
neurosis atau penyakit jiwa dimana ketika manusia yang pada dasarnya adalah makhluk yang
bebas lalu dengan adanya agama manusia menjadi makhluk yang terbatas dengan banyaknya
aturan yang harus ditaati di dalam agama. Baginya dengan adanya agama malah akan membatasi
manusia untuk bertindak sesuai keinginannya atau dengan kata lain terkekang oleh agama. Maka
tidak heran jika hanya orang gilalah yang mau untuk dikekang oleh aturan agama sedangkan dia
sendiri dapat memutuskan bagi dirinya untuk hidup bebas.
Agama juga digambarkan berupa kekuatan untuk membela dan bertahan atau mental
defense dalam menghadapi segala musibah seperti bencana alam yakni gempa bumi, banjir,
penyakit, dan lain sebagainya. Manusia beragama ketika dalam masalah seperti ini dipandang
oleh Freud sebagai anak-anak yang kemudian lantas mencari perlindungan kepada bapaknya.
Itulah salah satu alasan dari Freud yang memandang bahwa agama merupakan pemuasan
keinginan kekanak-kanakan.