Anda di halaman 1dari 16

BAB VIII

MENUJU KEMATANGAN PAK

A. Pendirian Asosiasi Pendidikan Agama


B. Tiga Pendidik yang Berorientasi pada Ilmu Pedagogi dan Ilmu Jiwa ( 1903 –
1940 )
C. Ringkasan
Catatan – Catatan
Daftar Pertanyaan

MENUJU KEMATANGAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

Yang Berorientasi pada Ilmu Pedagogis / Psikologis

Pembahasan dan kajian menuju kematangan pikiran dan praktik Pendidikan Agama Kristen
dengan membahas perkembangan Pendidikan Agama Kristen sebagai ilmu baru merupakan
sebuah tahapan yang menarik dan memerlukan waktu yang sangat panjang dan melelahkan.
Dalam tahap pertama ini para pekerjanya lebih mengembangkannya sesuai dengan tolok-ukur
sains, ilmu jiwa, ilmu pedagogis / psikologis dan ilmu sosial, lebih dari pada ilmu teologi
gereja.

Pada bagian pertama, akan dilaporkan Pembentukan Asosiasi Pendidican Agama


(Religious Education Assiciation) pada tahun 1903. Kedua, dari sekian banyak pemikir yang
terlibat dalam pembangunan Pendidkan Agama, misalnya, di sini kita akan membahas
tentang tiga orang besar, yaitu John Dewey, George Albert Coe dan Harison S. Ellice A.

A. Pendirian Asosiasi Pendidikan Agama

Pada periode menjelang tahun-tahun terakhir dari abad ke-19, ada sejumlah Cendekiawan
Kristen merasa prihatin dan mencoba mengungkapkan kecewaannya terhadap bentuk
penyampaian evangelikal Pendidikan Agama yang diselenggarakan di Sekolah Minggu pada
saat itu. Namun bukan hanya hal evangelikal saja yang menjadi pusat keprihatinan dan
ketidakpuasannya, melainkan juga karena adanya perasaan serta fakta penekanan yang
evangelikal itu diiringi oleh sikap tertutup yang tidak mau menerima masukan terhadap
banyak aliran intelektual yang memberikan warna khusus di bidang penelaahan Alkitah, ilmu
pendidikan, sosiologi dan ilmu jiwa yang sedang berkembang pada saat itu. Sungguhpun
demikian di bidang-bidang itu sangat banyak penemuan-penemuan yang sangat menantang
gaya lama evangelical yang sedang berjalan, namun semuanya itu tetap asing bagi para
pemimpin dan pelajar di Sekolah Minggu. Ternyata diantara orang yang menjaga supaya
gagasan baru tidak masuk kedalam sekolah gaya pelayanan evangelical di Sekolah Minggu
juga orang yang rajin menerima, bahkan dapat memanfaatkan hasil-hasil dari penemuan di
bidang teknologi yang sebenarnya mempunyai pendapat dan pemikiran yang lebih maju.
Keprihatinan dan ketidakpuasan para cendikiawan-cendikiawan tersebut itu mencapai
puncaknya pada tahun 1903 di kota Chicago tatkala sejumlah para cendikiawan akademis
tersebut mengadakan sidang raya yang bertujuan untuk memperbaiki serta menganggap
perlu dan membantu untuk mendirikan Asosiasi Pendidikan Agama. Titik berat dari
lembaga yang ada dalam pikiran beberapa pemimpin itu rangkap dua, yaitu penelitian ilmiah
di bidang pendidikan agama dan pelayanan keagamaan setempat. Para cendikiawa
akademis tersebut tidak bermaksud membuat organisası itu menyaingi pelaksanaan
evangelical di Sekolah Minggu, tetapi mereka ingin ikut mengembangkan pikiran yang akan
memperkaya Pendidıkan Agama Kristen dikalangan jemaat.

Sesuai dengan harapan itu, maka terhimpunlah lebih dan 400 peserta dan 23 negara-negara
Amerika Serikat, dua dari provinsi di Kanada dan empat dan daerah Amerika Utara,
berkumpul bersama di Chicago pada tanggal 10-12 Februan 1903 untuk mengadakan
Sidang Raya, dan ternyata minat besar terhadap sidang raya ini tampak darı para pembicara
sesuai dengan jabatan-jabatannya yang cukup mempunyai pengaruh besar dalam bidang
akademis dan semangat para peserta sidang raya tersebut. Di antara para peserta ; ada
yang memiliki jabatan sebagai rektor perguruan tinggi ternama, dosen universitas, dosen
sekolah tinggi teologi, fakultas pendidikan dan ilmu jiwa, pendeta gereja, kepala sekolah,
pemimpin perhimpunan Sekolah Minggu, pemimpin organisasi pemuda, kepala
perpustakaan, redaktur dan wartawan.

Para pakar Cendikiawan Akademis yang teribat seperti ; William Rainey Harper, Rektor
Universitas Chicago dan seorang pakar Perjanjian Lama, Prof. John Dewey, bidang filsafat
dan pendidikan, Prof George Albert Coe, pendidikan agama, Prof. Edwin D. Starbuck; ilmu
jiwa agama, Dr. Francis E. Clark, yang adalah Presiden Perhimpunan Kristen Endeavour
(semacam gerakan pemuda pada awal gerakan pembaharuan itu bergulir pada asosiasi
pendidikan baru yang diprakarsai oleh orang-orang yang tidak puas dengan ciri evangelikal
yang dangkal yang berlaku di Sekolah Minggu pada saat itu.

Bila dicermati dengan seksama ternyata para pesertanya kebanyakan orang-orang yang aktif
dalam persekutuan Kristen. Mereka bukanlah orang-orang yang anti-Injil; mereka adalah
orang-orang yang ingin melayani Tuhan tanpa mengorbankan kecerdasannya dalam
pelayanan tersebut. Keprihatinan yang sama tampak pula dalam struktur sidang raya tersebut.
Dimana setiap sidang dimulai dan ditutup dengan kebaktian, sebagai wujud keprihatinan
dikalangan mereka.

Pada Sidang Raya yang diselenggarakan di Chicago itu ada beberapa isyu tema hangat yang
dibicaran antara lain ; "Langkah Selanjutnya dalam Pendidikan Agama", "Pendidikan
Agama sebagai Bagian dari Pendidikan Umum", "Pendidikan Agama dalam Terang
Ilmu Jiwa dan Ilmu Pendidikan Modem", "Pendidikan Agama sebagaimana
Dipengaruhi oleh Penelaahan Alkitab secara Historis", "Pendidikan Agama dan
Kesusilaan melalui Rumah Tangga", "Pendidikan Agama dan Kesusilaan melalui
Sekolah Negeri", "Pengelolaan Sekolah Minggu demi Maksud Pengajaran Agama",
Kurikulum Sekolah Minggu". "Tenaga Pengajar di Sekolah Minggu" dan "Ruang
Lingkup serta Maksud Asosiasi Pendidikan Agama/Religious Ecucation Association”
ini di prakarsai para cendikiawan akademisi pada saat itu.
Dalam sidang Raya tersebut , dalam setiap tema yang dipaparkan banyak mendapat
tanggapan positif dari para pembicara maupun para peserta, misalnya salah satu pembicara “
Starbuck “ dalam ceramahnya memaparkan tentang tiga pengertian baru dalam Berpikir
Modern yang sedang bertumbuh dikalangan akademisi maupun jemaat, anatara lain ;

1). Pertumbuhan adalah hukum alam yang juga berlaku dalam hal-hal keagamaan. Tidak ada
tujuan yang lebih penting bagi pendidikan agama daripada memilih pengalaman belajar yang
menolong anak untuk bertumbuh seutuh mungkin. Bukan keprihatinan gereja yang paling
penting, melainkan kebutuhan anak. Karena kebenaran ini cenderung diabaikan, disebabkan
keangkuhan dari generasi pada sat itu serta “ Kurikulum Pendidikan Agama disusun oleh
orang dewasa yang sudah lupa bagaimana caranya isi kurikulum itu dilihat dari sudut
dan kepentingan si anak “.

2). Pengertian kedua berporos pada pentingnya setiap orang, pada pokoknya Pendidikan
Agama tidak merangkum usaha mempersiapkan kaum muda untuk kehidupan masa depan,
tetapi persoalan pendidikan itu berkaitan dengan hanya bagaimana cara memperkaya
kehidupannya pada masa kini tidak menyentuh kehidupan dimasa yang akan datang.

3). Siapapu dia setiap pribadi berharga dimata Tuhan, namun ia tidak terpanggil hidup demi
un- tuk dirinya sendiri saja, tetapi secara luas terpanggil bagi kepentingan kelompok. Oleh
sebab itu, janganlah kita senantiasa hanya menghiraukan keselamatan pribadi serta meminta-
minta berkat hanya untuk kepentingan pribadi semata: : Tugas utama di dunia ini ialah
hidup seindah dan sebaik mungkin, tetap percaya akan Allah demi berkat baru pada masa
depan; menghabiskan tenaga demi kehidupan pribadi dan sosial yang semakin benar dan
baik, karena kita percaya bahwa kecerdasan dan hati nurani yang bekerja sama dengan
Tuhan dalam gelanggang apa pun mampu mengatasi masalah dan tantangan hidup yang
kita hadapi dewasa ini.

Sikap optimis tentang kemampuan manusia yang nampak dalam kutipan yang dipaparkan
Starbuck, menggambarkan sifat dan pikiran banyak orang pada awal abad ke-20. Sains
berpotensi untuk menghasilkan masyarakat adil dan makmur yang tidak pernah dialami
manusia sebelumnya, yang hanya bersandar pada perkara keagamaan saja. Para ahli
pendidikan dan ilmu jiwa yang berperan serta dalam sidang raya itu dengan giat menawarkan
hasil-hasil penelitiannya kepada orang yang terlibat dalam pendidikan agama.

Sebagai pelayan-pelayan kebenaran, para ahli Alkitab pun ingin memperkaya pelayanan
pendidikan agama dengan hasil penelitian dalam bidangnya. Kalau pandangan tentang
Alkitab yang diajarkan guru di Sekolah Minggu tidak sesuai dengan keadaan yang
sebenarmya, maka guru itu melakukan kesalahan dan bukan kebenaran. Menelaah Alkitab
dengan teliti dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tentang kapan kitab 'tertentu
dikarang, oleh siapa, untuk maksud apa dan seterusnya’.

Sementara itu, Rhees, Rektor Universitas Rochester, negara bagian New York, melihat tiga
keuntungan praktis yang diambil dari Pendidikan Agama Kristen, dari penelaahan Alkitab
secara ilmiah.

1). Alkitab adalah buku utama bagi pendidikan agama, karena Alkitab itu menelusuri
perkembangan agama dalam bangsa tertentu, yakni Yahudi, sampai agama itu mencapai
puncak dalam diri Yesus. Dengan demikian anak didik memahami gagasan tentang Allah,
kewajiban dan maksud hidup yang memperkaya orang yang untuk hidup sepanjang abad.

2). Alkitab itu mampu membangkitkin keinginan untuk menyesuaikan diri secara pribadi
dengan kehendak Allah dalam diri kaum muda.

3). Pengertian Alkitab secara benar menolong para pelajar untuk menerima pemikiran bahwa
agama Kristen bukanlah agama yang didasarkan pada sebuah buku tertentu. Lelih cocok
untuk mengatakan bahwa agama Kristen adalah yang mempunyai sebuah buku, yang
menunjukkan bagaimana orang-orang tertentu bertumbuh dalam persekutuan dengan Allah di
bawah bimbingan pemimpin-pemimpin yang amat sensitif terhadap kehadiran Allah di
tengah-tengah kehidupan umat- Nya. Pelayanan Yesus sendiri menyokong pandangan ini,
mengingat begitu sengitnya pertentangan-Nya dengan para ahli Taurat. Bagi para ahli Taurat
ini, mempertahankan isi Taurat secara harfiah lebih penting ketimbang kemungkinan Allah
bersabda melalui inti Perjanjian Lama. Dengan kata lain, Alkitab diajarkan karena pelajaran
itu adalah kehidupan, bukan kehidupan pada masa lampau seperti yang dilihat dalam suatu
musium, melainkan kehidupan serba kaya yang berlaku dalam diri orang yang hidup pada
masa kini.

Dari semua pemamaparan yang sudah disampaikan oleh para cendikiawan-cendikiawan


akademis yang cukup berpengeruh dibidangnya, ada sebuah refleksinya atas pandangan-
pandangan tersebut yang dibawakan sebelumnya, termasuk apa yang disampaikan Rhees
diatas. Seorang pendeta gereja Presbiterian; William Merrill, dari kota Chicago,
menyatakan sejauh mana setiap pribadi itu penting dalam gaya berpikir para rohaniwan. Jadi,
bila titik berat pengajaran gereja dulu ialah pokok-pokok dogmatis yang wajib dihafalkan,
maka untuk waktu tertentu titik berat yang baru berporos pada faktor-faktor yang turut
mengembangkan seseorang agar berakhlak baik sebagai tanggapannya yang bebas terhadap
perjumpaannya dengan Allah melalui Alkitab , dan bukan yang ditentukan oleh tolok ukur
dogmatis yang diturunkan atas pengetahuannya sebagai pelajar. Tekanan yang semakin
meningkat atas watak si pelajar sendiri adalah ciri khas dari segala macam pendidikan,
termasuk pendidikan agama.

Dosen James pemah menulis. "Sejauh kita terlibat dalam hal benda ragawi, maka usaha
kita akan berkaitan dengan lambang realitas; tatkala titik berat perhatian kita
berhubungai dengan orang secara pribadi, maka kita sedang terlibat dalam kenyataan itu
sendiri, Hal ini benar, khususnya dalam hal pendidikan agama. Kita bercaksi secara
negatif terhadap ketergantungan pada organisasi-organisasi dan sistem-sistem dan
sebagai gantinya kita memeluk metode Yesus yang berporos pada pribadi itu sendiri. Bagi-
Nya, kekuatan paling utama dalam pendidikan agama bukanlah keahlian dari seorang
juru pidato yang membangkitkan semangat orang banyak dan bukan pula seorang guru
yang menyampaikan pengetahuan kepada pelajar, melainkan pada kekuatan seseorang
yang bersifat Roh yang mendorong munculnya kehidupan roh pada diri yang lain.
Memang, mesti ada pemberitaan dan pengajaran, tetapi masing-masing itu, termasuk
segala pelayanan rohani lainnya, perlu menampakkan kehadiran watak yang baik dalam
diri pelajar yang mendorong munculnya watak yang baik juga pada orang di sekitanya.
Dengan kata lain, agama pribadi membangkitkan agama pribadi dengan prakarsa pribadi
“.
Dalam sidang raya tersebut banyak para pakar lain seperti Charles H. Thurber, seorang
redaktur badan penerbit menyampaikan pandangan-pandangannya tentang ´Pentingnya
sekolah-sekolah sebagai wahana pendidikan agama dan kesusilaan “, yang juga mengambil
dalil-dalil dari pakar sebelumnya, dan untuk menyokong pendapatnya dia menyebutkan
sumbangan yang diberikan oleh pendidik besar, seperti Luther, Loyola, Comenius,
Pestalozzi dan Rousseau dan banyak lagi.

Bagaimana- kah kurikulum pendidikan di sekolah dapat mengutamakan pembentakan watak


yang baik dan penghargaan terhadap agama dalam diri kaum muda tanpa memihak pada
klaim-klaim kebenaran (truth claims) yang dikemu- kakan oleh salah satu kelompok agama?
Thurber berharap agar Asosiasi Pendidikan Agama itu menjawab pertanyaan sulit tersebut.

Sesudah para hadirin mendengar pelbagai keprihatinan yang dibawakan oleh para
penceramah, Dr. Harper menggariskan ruang lingkup yang mungkin akan tercakup dalam
pendirian organisasi baru di bidang pendidikan agama yang sedang dipertimbangkan, tanpa
menyebutkan segalanya, namun sebaiknya kita mencatat beberapa asas yang masih tetap
menyoroti kehidupan organisasi itu:

1. Asosiasi Pendidikan Agama itu tidak akan menyaingi organisasi lain di bidang
pendidikan agama;
2. la akan menjadi forum bagi pertukaran pikiran melalui sidang raya tahunan dan
melalui majalah Religious Education;
3. Ruang lingkupnya adalah seluruh bidang pendidikan agama tanpa memihak pada
hanya salah satu pandangan atau keprihatinan saja;
4. Gaya melaksanakan pekerjaannya bersifat ilmiah, dalam arti para anggota akan
mengumpulkan data, menarik kesimpulan berdasarkan fakta-fakta dan
menyampaikannya kepada rekan sekerjanya dalam bentuk yang lazim berlaku dalam
laporan ilmiah.

Setelah melewati pemaparan masalah-masalah yang sedang dihadapi, perasaan keprihatinan


serta keingginan untuk melakukan hal-hal baik maka, Sidang Raya itu Mendirikan Asosiasi
Pendidikan Agama/ Religious Education Association dengan Mengesahkan Anggaran
Dasarnya, menentukan panitia-panitia dan memilih para pemimpin. Pada akhirnya
setelah semuan terlaksana maka, Sidang Raya dari Asosiasi Pendidikan Agama baru itu
ditutup dengan doa pada tanggal 12 Februari 1903, tetapi belum menjabarkan tujuan
organisasi itu kecuali beberapa hal yang diperlukan untuk diakui sebagai badan yang
memenuhi persyaratan hukum, yakni Artikel II: "Maksud Asosiasi ini ialah memajukan
perkembangan pendidikan agama dan kesusilaan."

Tujuan dari Asosiasi Pendidikan Agama itu baru dilengkapi pada Sidang Raya yang
berlangsung pada tahun 1906, yaitu, mengilhami kekuatan-kekuatan keagamaan dalam
negeri dengan cita-cita pendidikan keagamgan; dan untuk menyadarkan masyarakat umum
akan cita-cita pendidikan agama beserta penghargaan akan kebutuhan dan kepentingannya

Dengan pendirian Asosiasi Pendidikan Agama/Religious Education Association itu, maka


para pemikir mulai mengembangkannya sebagai bidang cakup ilmiah pada perguruan tinggi,
khususnya di fakultas pendidikan dan di sekolah tinggi teologi.
Pada awalnya kebanyakan peserta adalah warga Protestan yang ingin menyesuaikan diri
dengan penemuan tentang agama yang dihasilkan oleh para ilmuwan, kehidupan dalam
kelompok dan sifat manusia, termasuk gaya berpikir dan bertindaknya. Selain itu ada juga
peserta dari kalangan pemikir lain yang tidak rela memeluk iman Kristen secara terbuka,
namun ingin turut mempertinggi akhlak dan sikap keagamaan bagi kaum muda. Dewasa ini
anggotanya lebih oikumenis, karena peserta-peserta dari Gereja Katolik Roma dan Agama
Yahudi turut ambil bagian secara aktif didalamnya.

B. Tiga Pendidik yang Berorientasi pada Ilmu Pedagogi dan Ilmu Jiwa ( 1903 –
1940 )

Tokoh-tokoh seperli John Dewey (1859-1952) dengan Pendidikan Demokratis, Progresif


dan Filsafat Rekonstruksismenya. Sehingga berakhir pada keberadaan posisi diri pada
bidang sains yang berdampak pada ketidak terlibatannya dalam urusan gereja atau agamanya.
Berbeda dengan G. Albert Coe (1862-1951) ketika Dewey diperhadapkan dengan gaya
berpikir secara ilmiah dengan kesimpulan yang mengagumkan. ia menolak iman dan
persekutuan gereja. George Albert Coe diperhadapkan pada perkara yang sama, dan ia
menarik kesimpulan yang lain, iman Kristen masih tetap berlaku. asal saja iman itu
diucapkan ulang sesuai dengan gaya berpikir ilmiah dan modern tersebut.

Sedangkan pakar yang lain, Harrison S. Elliott (1882-1951), juga sangat penting dalam
membangun arah pendidikan Kristen yang lebih modem serta manusiawi, namun tetap dalam
kerangka teologis melihat arah pengembangan Pendidikan Agama Kristen secara khusus.

Ada empat hal yang menjadi keyakinan teologisnya yang menentukan sifat pandangannya
terhadap Pendidikan Kristen. yaitu: Allah, Penyataan, Tabiat Manusia dan Dosa.
Selanjutnya dalam pembahasan lainnya , akan dilihat secara dekat kajian tiga tokoh
Pendidikan Agama Kristen seperti tersebut diatas, yang secara khusus melihat arah
Pendidikan Kristen dalam pergumulan teologis/psikologis sentrisnya.

1. John Dewey (1859-1952)

Kajian Pemikiran Pendidikan Berbasis Kajian Ilmiah

John Dewey, salah seorang tokoh besar dalam sejarah intelektual Amerika, dianggap sebagai
salah satu dari beberapa orang tokoh Amerika di abad kedua puluh yang “… Bisa diakui
dalam skala dunia sebagai juru bicara bagi manusia” (Dykhuizen, 1973, hal xv ). Lingkup
kerja Dewey meliputi filsafat, psikologi, pendidikan, politik, dan pemikiran sosial. Pada acara
di perayaan ulang tahun ke-90 itu, pada tahun 1949, Dewey menggambarkan tujuan hidup
sebagai upaya untuk mendapatkan “yang jelas dan membangun gagasan-gagasan berbeda
tentang apa masalah yang sesungguhnya mendasari kesulitan dan kejahatan yang kita alami
di dalam praktek kehidupan ini. John Dewey senantiasa menyelidiki apa permasalahan yang
terjadi di masyarakat dan berusaha untuk mencari jalan keluarnya.’ John Dewey pun dikenal
oleh karena konsep pemikirannya tentang pragmatisme, relativisme, dan active learner.
Jhon Dewey, Mempunyai latar belakang pendidikan formal bukanlah pendidik di bidang
agama, namun pandangannya mendominasi pemikiran para pendidik Amerika setengah abad
lamanya. Dewey memberi warna dan dampak yang cukup signifikan, tidak hanya terbatas
pada pendidikan umum saja, melainkan paling tidak terdapat dua angkatan pemikir
pendidikan agama yang dididik sebagai yuniornya di bawah pengaruh dan yang berusaha
menerapkan pandangannya pada bidang pendidikan agama kemutian hari.

Riwayat Hidup

Jhon Dewey lahir dan dibesarkan dalam keluarga saleh dari kelas menengah di kota
Burlington, pojok barat laut, negara bagian Vermont, Amerika Serikat. Karena cerdas, pintar
dan rajin pendidikan sekolah dasar yang membosankannya, karena berbasis hafalan, dapat dia
selesaikan usia dua belas tahun. Pada waktu itu ada dua macam kurikulum SMP/SMA.
Dewey, memilih yang berporos pada studi klasik, yakni bahasa Yunani, Latin dan Inggris,
sastra dan matematika. la menjati pencinta buku, suatu sifat yang tetap berlaku baginya
seumur hidupnya. Sebagai penganut evangelistis, ibunya melarang putra-putrinya pergi
ketempat orang biasa berjudi, menari, mabuk, dll. Pada umur sebelas tahun, disidi dalam
jemaat Kongegasi di Burlingon. Sebagai orang tua Kristen, ibunya sangat ketat
memperhatikan kehidupan rohani anak-anaknya. Sehingga secara diam-diam John yang muda
itu memberontak terhadap pengawasan yang ketat itu. Kemudian Dewey menyatakan
perasaaninya seperti dalam kalimat berikut:

“ Suatu perasaan keagamaan dinyatakan tidak sehat tatkala perasan itu ditinjau dan
diuraikan secara saksama untuk melihat sejauh ia ada, atau sejah ia baik, atau apakah ia
sedang bertumbuh. Untuk senantiasa meninjau suasana hati dan pengalaman adalah
sama parahnya dengan mencabut tunas dari tanah, untuk melihat apakah ia masih
bertumbuh atau tidak “

Tetap memelihara hubungan baik dengan gereja, kurang lebih lima belas tahun.
Keterlibatannya dalam bidang filsafat merubah hubungannya dengan lembaga agama dan
baginya keselamatan di dunia ini akan tercapai melalui pendidikan dan bukan melalui campur
tangan ilahi dari dunia yang ada di seberang sana. Tamat SMA mengikuti pendidikan di
Universitas Vermont. Selama tiga tahun pertama asik menekuni buku-buku lain ketimbang
buku-buku pelajaran wajibnya. Sehingga nilai yang ia dapat tidak setinggi bakatnya. Tetapi
akhirnya ia menemukan minatnya yang cocok, yaitu bidang studi filsafat dan ia tamat
dengan mendapat nilai "Cum Laude ". Kemudian diangkat menjadi guru SMA di kota Oil
City, negara bagian Pennsylvania. Di sana Dewey mengajar dua tahun lamanya, menulis
sebuah artikel tentang filsafat materialisme yang diterbikan dalam majalah filsafat. Setahun
kemudian artikel kedua di bidang filsafit diterbitkan oleh majalah yang sama. Kemudian
kembali lagi ke Vermont untuk mengajar pada SMA swasta. Di samping mengajar, ia
mempelajari bahasa Jerman sebagai persiapan untuk memulai studi lanjutan di Uiniver Sitas
Johns Hopkins di kota Baltimore, negara bagian Maryland dan meraih meraih gelar
Ph.D. pada bidang filsafat, pada tahun 1884 dan memulai karimya sebagai dosen pada
empat universitas, yakni Michigan, Minne Sota, Chicago dan Universitas Columbia di kota
New York. Kemampuannya mengajar sangat baik dengan penguasaan bidang pendidikannya
selama ia mengajar di Universitas Chicago dan Columbia. Waktu Dewey menjadi Dekan
Fakultas Filsafat di Universitas Chicago pada tahun 1894, ia membuat terobosan dengan
menyatukan Departemen Ilmu Jiwa dan Departemen Pedagogi dalam Fakultas Filsafat.
Dewey segera memprakarsai langkah untuk memperkuat kedua departmen itu. Agar kuliah
pedagogi dikaitkan seerat mungkin dengan pendidikan yang berlangsung dalam sekolah
biasa, maka Universitas Chicago mendirikan sekolah laboratorium setaraf sekolah dasar dan
SMP/SMA, Sebagai hasilnya maka sekolah dasanya dipuji sebagai tempat paling kreatif di
bidang pendidikan di Amerika, dan bahkan di dunia.. Teori dan prakteknya dikembangkan
berdasarkan penelaahan filsafat dan ilmu jiwa. Dewey menikah dengan Nn. Alice Chipman,
seorang mahasiswi cerdas yang pernah mengikuti kuliah Dewey di Universitas Michigan dan
kemudian melayani sebagai kepala sekolah laboratorium di Universitas Chicago, memiliki
enam anak, dua putranya meninggal ketika masih muda. 1904 ketika mengunjungi Itali
Dewey mengangkat (adopsi) seorang anak Italia. Bagi Dewey, keluarga adalah hadiah yang
turut memperingan tugasnya sebagai dosen. Prestasinya semakin baik dan pada tahun 1905,
pindah ke Universitas Columbia dan melayani di sana sampai pensiun pada tahun 1930, pada
tahun (1919-1921) kuliah di Jepang dan Cina dan Istrinya meninggal pada tahun 1927 karena
serangan jantung. Tahun 1946 Dewey berbahagia karena menikah lagi dengan seorang janda
yang bernama Roberta Grant. Meskipun ia tiga puluh tahun lebih muda ketimbang Dewey,
permikahannya bahagia. Karena sangat terkenal Tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-90,
yang dirayakan di New York, pada hari yang sama hari ulang tahunnya dirayakan juga di
Kanada, Inggris, Perancis, Belanda, Denmark, Swedia, Israel, Meksiko, Turki, Jepang dan
India. Di samping menerima surat-surat dari Presiden Austria Perdana Menteri Inggris,
Belanda, Norwegia dan Italia, ia juga dihormat oleh ratusan sarjana di Amerika dan dari luar
negeri. Di sepanjang umunya ia berusaha untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang
sebenarnya dalam masyarakat dan mencari jalan untuk mengatasinya. Bagi Dewey, makna
perayaan hari ulang tahun itu bukanlah untuk memuji sumbangannya, melainkan agar ia
bersama para hadirin mengabdikan diri pada tugas untuk memecahkan masalah yang masih
mengganggu masyarakat. Dewey meninggal pada tanggal 1 Juni, 1952 karena radang paru-
paru pada usia 92 tahun.. Meskipun Dewey sudah lama tidak terlibat dalam kehidupan
kegerejaan, namun Roberta istrinya mengadakan kebaktian pemakaman yang dipimpin oleh
pendeta jemaat di kota New York.

Jenazahnya dikremasi dan abunya ditempatkan ke dalam pot yang kemudian disimpan di
rumah Ibu Roberta. Dalam surat wasiatnya Roberta menyuruh supaya sesudah ia meninggal
pot itu diserahkan kepada Universitas Vermont. Keinginan tersebut telah terpenuhi pada
tanggal 26 Oktober 1970, tatkala pot yang memuat abu Dewey dibumikan di bawah batu
nisan yang didirikan dekat gedung kapelnya.

Pemikiran John Dewey

Konsep tentang filsafat

Dewey berpihak pada filsafat sebagai pemahaman berefleksi atas masalah yang rumit untuk
memperoleh jawaban yang turut memecahkannya dalam gelanggang pibadi dan sosial.
Dewey pun kemudian tertarik dengan filsafat pragmatisme seperti yang diajarkan oleh
Charles Sanders. Konsep pragmatisme menekankan pada “makna segala sesuatu yang
berhubungan dengan apa yang dapat dilakukan.
Konsep tentang Agama

Bagi Dewey, agama adalah pengalaman emosi yang dialami seseorang dan berhubungan
dengan rasa nyaman serta bebas dari kekhawatiran yang tidak mungkin terucapkan dalam
kata-kata secara lisan. Bagi Deway, kerajaan Allah adalah kenyataan adikodrati yang
berfaedah sebagai simbol tentang hubungan yang tertinggi yang pengembangannya
dilaksanakan melalui pendidikan. Untuk itu guru adalah orang yang memiliki peran paling
penting karena dianggap sebagai nabi yang palin gdipercaya untuk mendatangkan kerajaan
Allah yang sebenarnya.

Konsep tentang Pendidikan

Menurut Deway pendidikan adalah upaya menolong manusia agar dapat berefleksi terhadap
masalah yang timbul dalam masyarakat dan upaya memperlengkapi mereka agar
menghasilkan perubahan yang nyata dalam kehidupan mereka. Rumusan Dewey tentang
pendidikan adalah pembentukan kembali atau pengorganisasian ulang pengalaman yang
menambah maknanya dan yang menambah kemampuan si pelajar dalam memberi arah
terhadap pengaaman yang selanjutnya.

Kurikulum dan Metodologi

Berbeda dengan pemikiran pendidik lain bagi Dewey, kurikulum adalah serupa dengan
metodologi dan metodologi itu pun mencakup kurikulum. Singkatnya, pokok yang dipelajari
dan proses yang terlibat di dalamnya menyatu. Oleh karena itu Dewey menentang gaya guru-
sentris, dalam arti guru menyampaikan keterangan yang sudah jadi atau siap pakai yang perlu
"di- Isap" oleh anak. Sejauh mungkin, pelajar sendiri berhak menemukan pengetahuan,
hubungan, proses, asas-asas misalnya, yang sudah masuk ke dalam perbendaharaan
pengetahuan umat manusia, tetapi kali ini hasil prestasinya amat pribadi dan tidak lagi
sebagai wansan yang mati.

Seorang anak yang berumur tiga tahun, yang menemukan apa yang dapat dibangun melalui
penggunaan kubus kayu, ataupun anak yang berumur enam tahun, yang menemukan benda
yang dapat dibeli dengan menambah lima sen dan lima sen lagi, benar-benar adalah seorang
penemu, walaupun memang pengetahuan tersebut bukan rahasia lagi. Dengan pengalaman itu
ada tambahan pengalaman sejati bagi anak dan bukan hal yang semata-mata ditambahkan
secara mekanis saja, anak itu betul-betul diperkaya oleh pengalaman baru. Gaya bertindak
spontan vang tampak dalam kegiatan anak kecil menarik bagi peninjau simpatik, justru
karena persepsinya terhadap originalitas akali ini, sedangkan ke gembiraan yang anak-anak
sendiri alami adalah kegembiraan yang herasal dari kemampuannya berbuat sesuatu yang
cerdas, bahkan kreatif bila kara kreatif itu dapat dipakai tanpa disalahpahami.

Dalam kegiatan tersebut tidak ada seorang dewasa pun yang meny ruh anak berbuat itu Anak
itu sendiri yang memprakarsainya Sehubungan dengan sifat wajar itu, pertanyaan bagi
pendidik ialah, "Bagaimanakat saya membangun sesuatu atas minat yang wajar itu?"
Dewey menjawabnya dengan metode "memecahkan masalah", karena metode itu bertumbuh
secara wajar dari cara orang yang berpikir dan memecahkan masalah. Proses berpıkir itu
berlangsung melalui langkah-langkah:

1). Ada sesuatu yang mengganggu ketenteraman si pelajar dan ia merasa bahwa ia masuk ke
jalan buntu. Dalam sekolah biasa ia pada status bertanya sedangkan gurunya menjawab.
Tetapi dalam sekolah Dewey guru menghargai pertanyaan ini sebagai peluang untuk
menolong si anak untuk menjawab sendiri pertanyaan yang ia ajukan.

2). Anak ditolong untuk menjemihkan masalah yang ia pertanyakan itu.

3). Guru menganjurkan sumber-sumber yang mungkin menyoroti pertanyaannya itu, lalu
anak didik akan membacanya dan akan mengetahui lebih banyak lagi tentang masaiah
tersebut dari pada yang ia ketahui sebelumnya.

4). Anak didorong untuk mpertimbangkan sejauh mana keterangan-keterangan tersebut


memungkinkan menjawab pertanyaan utama yang ia ajukan. Sesudah mempertimbangnya, ia
memilih salah satu dari antara keterangan-keterangan itu untuk diuji-cobakan.

5). Anak didik mengumpulkan bahan tambahan untuk mengujinya.

6). Membandingkan hasilnya dengan jawaban sementara yang ia anjurkan semula Kalaupun
hasilnya tidak menjawab masalah utama yang diajukan tersebut, namun anak didik tidak
gagal, malahan ia telah belajar banyak, bahwa jawahannya yang semula itu tidak sesuar
dengan fakta-fakta yang ia kumpulkan. Mesti ada penelitian lebih langur. Tetapi kalau fakta-
fakta yang ia kumpulkan itu dapar menjawab masalahnya yang semula, maka ia akan
bergembira. Jawaban itu menjadi miliknya dan bukan sesuatu yang ia hafalkan dari buku
saja.

7). Kesimpulan itu cenderung menimbulkan pertanyaan lain lagi, dan proses memecahkan
masa- lah itu pun dimulai lagi dari awal.

Sumbangsih John Dewey dalam Dunia Pendidikan

Berdasarkan pengalamannya, Dewey mengembangkan ide-ide penting dari dirinya


sehubungan dengan pendidikan, ditegaskannya bahwa:

Pertama, anak-anak adalah pembelajar aktif (active learner),

Kedua, pendidikan seharusnya difokuskan kepada seluruh aspek kepribadian anak dan
memprkuat kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana ia berada
sehingga ia mampu memecahkan masalah yang dialaminya secara reflektif,

Ketiga, semua anak-anak, dari semua lapisan sosial ekonomi serta semua etnis memiliki hak
untuk mendapat pendidikan yang layak.
Kritik terhadap konsep pemikiran John Dewey

Konsep yang mengabaikan Allah

Menurut Dewey, keselamatan di dunia ini akan semakin tercapai melalui pendidikan dan
tidak lagi melalui campur tangan ilahi dari dunia yang ada di seberang sana. Ini menunjukkan
bahwa Dewey tidak mengakui keberadaan Allah dan baginya keselamtan adalah hasil dari
upaya manusia melalui pendidikan.

Konsep yang mengabaikan Firman Allah

Bagi Dewey, kebenaran berasal dari upaya manusia yang relatif, bersifat tidak tetap dan
selalu berubah-ubah. Tidak ada norma dan kaidah yang tetap. Benar atau tidaknya sesuatu
yang dianggap benar bergantung pada bermanfaat atau tidaknya bagi kehidupan manusia dan
ukuran untuk segala sesuatu yang dilakukan atau terjadi bergantung pada prakteknya.

2. George Albert Coe (1862-1951)

Apa yang dialami Dewey ketika menduduki tempat terhormat dalam perkembangan
pendidikan sebagai ilmu tersendiri, demikian pula nama George Albert Coe dikaitkan
dengan penentuan pendidikan agama sebagai ilmu yang khusus. Coe dianggap sebagai
"murid" Dewey, karena pandangan Dewey amat berpengaruh dalam teori pendidikan agama
dan minatnya terhadap pendidikan secara umum. Disis lain Coe adalah seorang yang
terlampau kreatif untuk mengikuti jejak siapapun secara membuta. Coe lahir pada tanggal
26 Maret 1862 di desa Mendon, yang letak- nya di barat laut negara bagian New York,
tempat ayahnya melayani sebagal seorang pendeta jemaat Gereja Methodist.

Untuk mempersiapkan diri bagi jenjang pendidikannya, Coe mendaftarkan dini sebagai calon
mahasiswa di Universitas Rochester, New York, dan selesai tahun 1884. Mengikuti jejak
ayahnya sebagai pendeta ia memulai studi teologi pada Fakultas Teologi Universitas Boston.
Dan setelah tamat menerima undangan untuk menjadi dosen bidang filsafat di Universitas
Southern Califomia dan mulai mengajar pada bulan September 1888. Menikah dengan Sarah
Knowland, seorang ahli musik yang mengetuai Departemen Piano dari universitas.Tahun
1890, Coe mendapat beasiswa dari Universitas Boston dan pindah ke Jerman. Kemudian
lanjut sebagai dosen ke Northwestern Sebagai seorang dosen Coe senantiasa membukan pintu
rumahnya untuk para mahasiswa terutama pada musim dingin dan pertemuan itu dinamakan
"percakapan", membicarakan dimensi sosial, persekutuan dan peluang untuk membicarakan
pokok-pokok keagamaan, filosofis atau masalah praktis dalam kehidupan mahasiswa. Dan
Coe mulai dikenal melalui kuliah dan karangan-karangannya. Pada 2 Agustus 1905, Sadie
Knowland Coe meninggal karena menderita kanker. 1902 Coe mengarang sebuah buku
dengan judul The Religion of a Mature Mind. Karena isinya dianggap terlalu liberal beral,
maka para penentang mengubah judulnya secara menyindir menjadi “ The Ireligion of an
Immature Mind" , 1909 menjadi dosen dibidang pendidikan agama pada Sekolah Teologi
Union di kota New York. 1927 dianggat menjadi dosen honorer di Universitas Northwestern
dan mendapat gelar Honoris Causa dalam bidang Hukum. Selama di Union Coe mengarang 2
buah buku “ The Psychology of Religion (1916) dan A Social Theory of Religious Education
(1917) “. Pada tahun 1922 pindah sebagai dosen ke Sekolah Guru di Universitas Columbia
(Teachers College Columbia Univer- sity). Coe meninggal dengan damai di kota Claremont,
Califormia, pada tanggal 9 Nopember 1951.

Dasar Teologi

Coe diperhadapkan dengan perkara yang sama dengan Dewey, dan ia menarik kesimpulan
yang lain, iman Kristen masih tetap berlaku, asal saja iman itu diucapkan ulang sesuai dengan
gaya berpikir ilmiah atau modem . Gereja tidak perlu khawatir menghadapi tiga tantangan
yang timbul dari kebudayaan modem secara kretif. Pertama, pertumbuhan sains, dan
penyebaran pengetahuan mengubah orang memandang dunia sekitarnya. Melihat komet atau
mengalami gempa bumi tidak dikaitkan secara otomatis dengan kekuatan gaib. Banyak
warga gereja pada jaman Coe yang berpaling dari gereja justru karena mereka tidak rela
mengorbankan kecerdasan dan menaklukkan diri pada kekuasaan gereja. Tetapi bagi Coe,
tidak perlu menolak gereja, dalam kehidupan iman ada kekuasaan yang sama empirisnya
dengan yang dialami oleh orang yang lazim berpikir secara ilmiah. Kekuasaan itulah yang
diperlihatkan oleh Yesus sendiri. Bagi-Nya, kebenaran tidak bergantung pada tradisi tertulis,
malahan pada pengalaman yang paling baik sesuai dengan yang dapat ditemukan semua
orang la menolak kekuasaan apa saja yang dibekukan dalam tulisan tertentu, diharapkan
kemerdekaan yang sama juga berlaku bagi para munid-Nya. Di sini Coe mencatat satu
paradoks. Walaupun Yesus merdeka untuk mengatakan. "Telah difirmankan Tetapi Aku
berkata kepadamu " (Mat. 5:3la), namun Dia mengajar sebagai orang yang berkuasa, sesuatu
yang membedakan-Nya dari pengajaran para ahli Taurat. Lebih penting lagi, hati para
pendengar-Nya membenarkan kebenaran pengajaran-Nya. Sebagaimana bukit-bukit abadi
tidak memerlukan dukungan apa pun, demikian pula perkataan Guru Agung itu tidak
bersandar pada sesuatu yang terjadi pada masa lampau atau pada gaya berpikir deduktif.
Kalau perintah-perintah-Nya bertentangan dengan hakikat kita sendiri, kalau dengan datang
kepada-Nya kita tidak menjumpai diri kita yang sebenarnya, maka Dia tidak berkuasa atas
diri kita.

“ Akan tetapi, sebenamya pengaruh-Nya atas orang-orang memperlihatkan kuas Nya secara
nyata. Dia berkata, "Lakukanlah ini" dan hati nurani kita berka mandang, "Lakukanlah itu!"
Dia berbicara tentang Allah sebagai Bapa kita, dan kita bergembira mendengar-Nya Dia
memberitahukan hukum kehidupan dan pertumbuhan rohani kepada kita, dan pengalaman
kita membenarkan perkatan Nya Dia mengajar tentang suatu masa depan dalam mana hal apa
saja yang hendakmya ada betul-betul ada, dan sesuatu dalam diri kita memberi tanggapan
bahwa memang. hal itu harus demikian.

Alkitab itu pun tidaklah benar hanya karena mempunya kuasa adikodrati, ia benar sejauh
kesaksiannya terbukti benar, sebagaimana dibukikan oleh hasil penelitian ilmiah atau karema
ia dibenarkan dalam pengalaman kita sehan hari. Perintah untuk mengasihi sesama manusia
itu adalah benar, karena kita mengalami bahwa mengasihi sesama itu adalah lebin baik
daripada membencinya, ataupun bertindak buruk terhadapnya. Tetapi, bila kita menemukan
perbedaan isi dalam Injil Matius dan Injil Lukas umpamanya, kita tidak perlu gelisah. Karena
perbedaan itu hanya bersifat lahiriah saja dan tidak mempengaruhi gaya hidup kita, sebagai
warga Kristen yang diajar berpikir secara ilmiah dalam kehdupan biasa, kita sudah dibiasakan
untuk menyesuaikan diri dengan kebenaran ketimbang berusaha mempertahankan apa yang
salah, hanya karena hal itu sudah lama dianggap benar Untuk mengasihi Allah, berarti
mengasihi kehenaran, entah bagaimanapun cara orang menemukannya.

Coe menemukan artı dosa dan keselamatan juga dalam kehidupan Orang tidak memerlukan
Alkitab untuk memberitahukan bahwa kebanyakan orang tidak mengasihi sesamanya dan
bahwa mereka tidak betul-betul mengasihi dirinya. Jadi, dalam urusan sehari-hari tidak ada
dasar bagi perasaan optimis yang dangkal tentang kebaikan hatı manusia. Tetapi, amanat
yang disampaikan kepada orang itu bukan amanat yang menakut-nakutinya dengan api abadi
di neraka kelak, melainkan amanat yang mengumumkan bahwa Allah tidak membalaskan
dendam. Dia bukanlah hakim, Dia ada- lah Bapa yang telah mendamaikan kita dengan-Nya.
Keselamatan takkan terjadi hanya dengan mengucapkan formula magis saja, karena hal
seperti itu menghina nama Allah, seakan-akan Allah semacam perampas yang menuntut kita
menyerahkan harta benda berupa ucapan dogmatis sendiri kepada-Nya, atau kalau tidak,
maka nyawa kita akan dikorbankan ! Yang diperlukan bukan apa yang kita anggap benar,
melainkan apa yang kita terima sebagai cita-cita dan apa yang kita laksanakan sesuai dengan
tujuan hidup yang paling dasar. Demikian dikatakan Yesus, "Bukan setiap orang yang
berseru kepada-Ku Tuhan, Tuhan!" (Mat. 7:21) tetapi sesungguhnya segala sesuatu yang
kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk
Aku" (Mat. 25 40). Allah tidak membatalkan hukum-hukum alam demi seseorang yang
sedang berdoa. Perubahan watak seseorang tidak dihadiahkan kepadanya oleh Allah,
perubahan itu harus dicapai melalui usaha orang itu sendiri. Melalui pengalaman berdoa itu si
pendoa sedang menyesuaikan maksudnya dengan maksud Allah:

Doa yang benar mencakup setiap macam perasaan, pikiran dan perbuatan yang dengannya
kita mengambil alih pandangan Allah sebagai milik pribadi kita. Kita memerlukan waktu
tertentu untuk menjemihkan pikiran sehingga bersih dari segala sesuatu yang salah dan tidak
benar, dan segala sesuatu vang tidak sesuai dengan maksud Allah "Kita membutuhkan
kesempatan untuk berhadapan muka dengan Tuhan.

Rumusan Pendidikan Agama Kristen

Coe, sama seperti banyak pemikir lain, tidak mengemukakan pandangannya sendiri tentang
pendidikan agama Kristen. Pertama, ia mengecam gereja-gereja Protestan di Amerika karena
mereka tidak kunjung mempunyai rencana yang teratur untuk mengembangkan akhlak
Kristen dalam diri orang yang pemeliharaannya dipercayakan kepadanya, entah yang muda
atau yang lebih tua . Coe mengeluh bahwa para teolog dan pejabat gereja tidak menghiraukan
pendidikan di kalangan gereja. Kelompok masıng-masing itu terlampau sibuk dengan urusan
jabatan untuk mau menyelidiki kebutuhan pendidikan tersebut. Sebetulnya, bagi mereka
pendidikan itu merupakan bidang asing, kalau tidak demikian halnya, mengapa dosen-dosen
sekolah tinggi teologi yang rajin mengajarkan isi sumber iman kepada para mahasiswa tidak
meneliti sejauh mana iman yang diajarkan itu berdampak terhadap perubahan akhlak orang
yang menerima pengajaran tersebut? Pembentukán akhlak Kristen dalam diri kaum muda
tidak mendapat perhatian khusus dalam sekolah, termasuk yang didukung oleh gereja.
Dimensi keagamaan di sıni bersifat tambahan dan bukan sebagai bagian hakiki yang
mendasari keseluruhannya. Kedua, para pemimpın gereja yang dengan cepat menentang
hasıl penemuan di bidang sains cenderung bungkam terhadap budaya industri yang sedang
berkembang, sungguhpun asas-asas yang terlibat di dalam budaya itu kebanyakan tidak
sesuai dengan iman Kristen. Ketiga, gereja tidak mempunyai pandangan kritis terhadap
pendidikan agama disekolah negeri. Keempat, guru-guru yang mengajar tidak mempunyai
metode mengajar yang modern. Kesimpulannya Coe mengecam para pemimpin gerja bahwa
mereka berpikir kalau guru pendidikan agama semata-mata hanya menyapaikan isi Iman
Kristen kepada orang lain

Asas Penuntun

Asas Penuntunya berporos pada pentingnya setiap pribadi menyoroti segala unsur dalam
pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen dimana setiap pelajar diharapkan mempunyai Jatidiri
yang merdeka , sehingga mempunyai kebebasan untuk memilih sarana dan prasarana untuk
mencapai tujuan pendidikan agamanya.

Tujuan Pendidikan Agama Kristen

Tujuan Pendidikan Agama Kristen menurut Coe : Pendidikan Agama Kristen ialah usaha
gereja melalui pendidikan untuk melibatkan orang-orang dari segala golongan umur dalam
pengalaman belajar yang menolong mereka untuk terus belajar dengan memanfactkan
pendekatan sains agar memperoleh fakta-fakta yang dapat dipercayai dalam memecahkan
masalah-masalah pribadi, masalah gereja dan masalah dalam masyarakat. Dengan
demikian, mereka sedang mempersembahkan diri sebagai persembahan yang hidup, yang
kudus dan yang berkenan kepada Allah, sebagai ibadah yang sejati ( Roma 12;1 ).

3. Harisson S. Elliot ( 1882 – 1951 )

Lahir dikeluarga kristen Methodist yang taat menjalankan iman kristianinya, kuliah di
Universitas Ohio Wesleyan, Deleware dan menyelesaikan pendidikan Teologia di sekolah
Tinggi Teologi Drew di kota Madison, New Jersey USA, Doktoral di STT Union serta Ph.D
di Universitas Yale dg disertasi Can Religious Education Be Christian.

Menikah dengan Grace Louck, suami istri aktif dikalangan pemuda dalam Dewan Nasional
Ikatan Pemuda Kristen ( YMCA ). Namanya terkenal karena sungbangsihnya pada
Pendidikan Agama di Asosiasi Pendidikan Agama/Religious Education Association dan juga
sebagai dosen di STT Union, New York. Ucapan terakhirnya didepan umum menyampaikan
keyakinannya bahwa pokok agama masih tetap salah satu bagian INTI dari Pendidikan
yang bermutu tinggi, tiga hari sebelum meninggal secara mendadak ketika menghadiri
Sidang Raya Dewan Nasional IPK di kota Cleveland, negara bagian Ohio, dianggap sebagai
kata perpisahannya.

Dasar Teologinya, dinyatakan dengan 4 tema : Allah, Penyataan, Tabiat Manusia dan
Dosa.

Allah
“ Allah “, adalah nama pengganti bagi proses-proses alami dan perasaan misteri didalam
orang terhadap seantero pengalama hidupnya didunia ini. Singkatnya, Elliott ingin
menjauhkan diri dari pandangan apa pun tentang Allah yang meremehkan usaha manusia
(seperti yang lazim terjadi dalam upacara atau kebaktian biasa) untuk memecahkan
masalahnya sendiri. Orang hanya mendoakan dan mohon pertolongan Tuhan, sehingga lupa
terhadap tanggung jawabnya untuk mencari jalan keluar, karena ia tidak memanfaatkan
sumber-sumber yang sudah tersedia baginya.

Penyataan

Elliott percaya bahwa Allah menyatakan diri dalam kesaksian pengarang-pengarang


Alkitab dan Yesus, namun ia tidak setuju dengan dalil teolog-teolog neo-ortodoks bahwa
Allah hanya menyatakan diri dalam Yesus Kristus saja. Bagi Elliott, Allah menyatakan diri
secara kontinu dalam alam dan sejarah manusia.

Tabiat Manusia

Pandanga kaum "ortodoks" tentang tabiat manusia, manusia adalah makhluk yang terjaring
dalam dosa asal, Elliott memanfaatkan hasil penemuan di bidang ilmu masyarakat, ilmu jiwa
dan antropologi untuk menganjurkan tabiat lain. Pada waktu lahir, seorang bayi tidak berdosa
dan juga tidak suci mumi, tabiatnya netral. Kepribadian dan wataknya ditentukan oleh sifat
keadaan sosialnya, yakni bahwa kepribadian manusia adalah hasil dari hubungan sosialnya
dengan lingkungan dimana dia tinggal, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
tersebut, atau sebaliknya memberontak terhadapnya.

DOSA

Secara turu temurun pandangan tradisionalterhadap dosa, dirumuskan sebagai pemberontakan


manusia terhadap kedaulatan Allah, sehingga memutuskan persekutuannya dengan Tuhan,
dan pendamaian dengan Tuhan mustahil diprakarsai dari pihak manusia. Jadi, pendamaian itu
hanya mungkin terjadi bila Allah sendiri melaksanakannya melalui pengorbanan anak-Nya
yaitu Yesus Kristus, dan Elliott melihat pandangan tersebut sebagai pokok teologi yang
menistakan tabiat Allah dan manusia. Untuk diterima kembali oleh Allah, ia perlu memarahi
diri sehingga takut memprakarsai tindakan apa saja, karena Allah mungkin memandang
tindakan tersebut sebagai pemberontakan!". Sesuai dengan pandangan tersebut, dosa
bukanlah pemberontakan terhadap Allah, melainkan ketidakrelaan manusia mengakui bahwa
hanya Tuhan yang bisa memberi pengampunan. Pada intinya Elliot, menolak bahwa dosa
adalah pemberontakan terhadap kedaulatan Allah.

RINGKASAN

1903 para pemimpin gereja mengadakan Sidang Raya, di kota Chicago untuk
mendirikan Asosiasi Pendidikan Agama/Religious Education Association, untuk
memperlancar perkembangan pendidikan aganıa sebagai ilmu dan sebagai pelayanan
gerejawi dengan cara yang lebih modern, khususnya di bidang ilmu pendidikan, ilmu jiwa
dan teo!ogi. Di antara peserta, ada tiga nama yang amat menonjol, yakni John Dewey,
George Albert Coe dan Harrison S. Elliott. Dewey dengan pikirannya mendominası di 19
bidang pendidikan, filsafat dan pendidikan agama selama tiga dasawarsa di Amerika.
Coe dan Elliott adalah dua pemikir di bidang pendidikan agama merupakan yunior Dewey, di
bawah pengaruh Dewey, Coe pun tertarik sekali akan perlunya mendidik orang yang hidup
dalam masyarakat demokrasi dan tentang keseluruhan kebenaran dan amat optimis atas tabiat
manusia; kekurangan apapun yang tampak di dalamnya cenderung dihasilkan oleh kegagalan
masyarakat dan bukan oleh dosa asal. Yesus sendiri amat penting sebagai teladan yang
menentang segala sistem tertutup untuk menolong orang mencapai semua bakatnya. Bagi
Coe, pendidikan agama perlu melibatkan para pelajar dalam proses memeriksa segala
hubungan manusia dengan Tuhan secara kritis dan sistematis. Agama Kristen perlu
membantu warga gereja mengembangkan masyarakat adil dan makmur. Masalah-masalah
tersebut dapat dipecahkan melálui metode sains dan sorotan iman Kristen. Dengan demikian
pendidikan agama tidak bersifat transmisif, karena tidak ada kebenaran abadi yang perlu
disampaikan secara mentah kepada orang lain, malahan terdapat sumber-sumber yang perlu
dipakai orang yang berpikir untuk mengatasi hambatan dari sekitarnya.

Elliott meneruskan tradisi liberal itu, karena ia pun yakin bahwa wa-laupun Alkitab dan
sejarah gereja adaláh sumber berharga dalam rangka mengajarkan iman Kristen, namun
penerusan isinya kepada setiap angkatan baru bukanlah tujuan pendidikan agama. Ia ingin
menolong orang me- manfaatkan sumber iman untuk mengatasi masalah-masalah yang
dialami orang pada masa kini.. Di situlah warga Kristen hidup, bekerja, berrnain dan
seterusnya, dan disitu pula timbul masalah, tantangan, isu dan pertanyaan yang dijawab
dalam terang iman Kristen, bahkan tempat di mana ia mewujudkan imannya. Bagi Elliott,
orang dari segala golongan umur adalah para pelajar. Di samping menyediakan pengalaman
belajar bagi pelajar dari golongan umur tertentu, sebaiknya ada kesempatan belajar bersama
bagi orang orang dari pelbagai golongan umur. Dengan demikian yang muda belajar dari
warga yang lebih berpengalaman dan yang lebih berpengalaman belajar dari pertanyaan yang
dikemukakan oleh kaum muda. Ruang lingkup kurikulum mencakup lima pokok, yakni
pengertian tentang penyusunan Alkitab, masalah dan isu yang timbul dalam masyarakat,
watak kristiani, kebaktian dan keputusan etis.

Anda mungkin juga menyukai