Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TEORI KONTRUKSI SOSIAL OLEH PETER L. BERGER

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Sosiologi Modern I

Dosen Pengampu: Dr. Muhammad Zuldin, Drs., M. Si

Disusun Oleh:

Afrizal Rahman (1198030007)

Ahda Ghassani F.R (1198030010)

Ai Sri Andini (1198030014)

Azda Puspita Rahayu (1198030042)

Kelas A Semester 4

JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Kami sampaikan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta
inayah-Nya kepada kami sehingga bisa menyelesaikan makalah pada mata kuliah Teori
Sosiologi Modern I dengan judul “Teori Kontruksi Sosial Oleh Peter L. Berger” dalam waktu
yang ditentukan. Dan shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW
beserta keluarga, sahabat-sahabatnya dan para Tabi’in.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami
manyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami manyampaikan sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan
tangan terbuka kami menerima segala saran dan krirtik dari pembaca. Akhir kata kami
berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat, menambah pengetahuan dan juga
inspirasi bagi berbagai pihak yang membaca makalah ini.

Bandung , 12 Juni 2020

Tim Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
2.1. Konsep Dasar Teori Kontruksi Sosial 3
2.2. Asumsi Pemikiran Peter L. Berger 7
2.3. Pengaruh Pemikiran Tokoh Lain Terhadap Peter L. Berger 8
2.4. Kritikan Terhadap Teori Kontruksi Sosial 9
BAB III PENUTUP 12
3.1. Simpulan 12
3.2. Saran 12
Daftar Pustaka 13

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Teori merupakan bentuk tertinggi dari pengetahuan. Karena tidak semua para
ahli pandai membuat dan menghasilkan teori-teori baru. Di sinilah mengapa
orang yang berhasil membuat teori sangat dihargai, karena teori merupakan
tujuan utama dari ilmu pengetahuan pada umumnya.
Hal paling penting yang sama-sama dimiliki oleh para teoritikus adalah bahwa
mereka tidak semata-mata melukiskan kehidupan sosial atau menceritakan
sejarah perkembangan sosial demi kehidupan sosial, atau menceritakan sejarah
perkembangan sosial itu sendriri. Mereka lebih berusaha membantu kita untuk
melihat masyarakat manusia dengan cara tertentu sehingga apa yang kita
peroleh dengan membaca karya-karya mereka tidak hanya lebih banyak
informasi mengenai kehidupan sosial, melainkan sesuatu yang jauh lebih
penting lagi, yaitu sebuah pemahaman yang lebih baik mengenai hakikat
hubungan-hubungan sosial manusia.
Secara sederhana sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu yang menggambarkan
tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan, serta berbagai
gejala sosial lainnya yang saling berhubungan. Dengan ilmu ini suatu
fenomena dapat dianalisa dengan menghadirkan faktor-faktor yang mendorong
terjadinya hubungan tersebut, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang
mendasari terjadinya proses tersebut.
Pemahaman sosiologis mengenai “kenyataan” dan “pengetahuan” kira-kira
terletak ditengah-tengah antara pemahaman orang awam dan pemahaman
filsuf. Orang awam biasanya tidak berpusing-pusing memikirkan apa yang
sudah “nyata” baginya dan mengenai apa yang ia “tahu”, kecuali jika secara
tiba-tiba saja ia berhadapan dengan semacam masalah, ia menerima begitu saja
(taken for gtanted) “kenyataan” nya dan “pengetahuan”nya.
Seorang sosiolog mempunyai kesadaran yang sistematis mengenai fakta bahwa
orang- orang awam menerima begitu saja “berbagai kenyataan” yang sangat

1
berbeda antara masyarakat yang satu dengan lainnya. Oleh logika disiplinnya
itu seorang sosiolog dipaksa untuk bertanya, setidaknya, apa perbedaan antara
kedua “kenyataan” itu mungkin dapat dipahami dalam kaitan dengan berbagai
perbedaan yang terdapat di antara kedua masyarakat.
Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa
terlepaskan dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L Berger
dan Thomas Luckmann. Peter L Berger seorang sosiolog dari New School for
Social Reserach, New York, Sementara Thomas Luckman adalah sosiolog dari
University of Frankfurt. Teori konstruksi sosial, dirumuskan kedua akademisi
ini sebagai suatu kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan.
Berdasarkan pemikiran Berger dan Luckmann ini, terlihat cukup utuh di dalam
buku mereka berjudul “the Social Construction of Reality: A Treatise in the
Sociology of Knowledge. Publikasi buku ini mendapat sambutan luar biasa dari
berbagai pihak, khususnya para ilmuan sosial, karena saat itu pemikiran
keilmuan termasuk ilmu-ilmu sosial banyak didominasi oleh kajian positivistik.
Berger dan Luckmann meyakini secara substantif bahwa realitas merupakan
hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap
dunia sosial di seklilingnya, “reality is socially constructed”.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana Konsep Dasar Teori Kontruksi Sosial?
2. Bagaimana Asumsi Pemikiran Peter L. Berger?
3. Bagaimana Pengaruh Pemikiran Tokoh Lain Terhadap Peter L.Berger?
4. Bagaimana Kritikan Terhadap Teori Kontruksi Sosial?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk Mengetahui Konsep Dasar Teori Kontruksi Sosial
2. Untuk Mengetahui Asumsi Pemikiran Peter L. Berger
3. Untuk Mengetahui Pengaruh Pemikiran Tokoh Lain Terhadap Peter
L.Berger
4. Untuk Mengetahui Kritikan Terhadap Teori Kontruksi Sosial

2
BAB II
PEMBAHASAN

1.1. Konsep Dasar Teori Kontruksi Sosial

Kontruksi Sosial atas Realitas (Social Construction of Reality) didefinisikan


sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu atau
sekelompok individu, menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang
dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Teori ini berakar pada paradigma
konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang
diciptakan oleh individu, yang merupakan manusia bebas. Individu menjadi
penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya, yang
dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol
struktur dan pranata sosialnya. Dalam proses sosial, manusia dipandang sebagai
pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.

Kontruksi sosial merupakan teori sosiologi kontemporer, dicetuskan oleh


Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Teori ini merupakan suatu kajian teoritis
dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan (penalaran teoritis yang
sistematis), bukan merupakan suatu tinjauan historis mengenai perkembangan
disiplin ilmu. Pemikiran Berger dan Luckmann dipengaruhi oleh pemikiran
sosiologi lain, seperti Schutzian tentang fenomenologi, Weberian tentang makna-
makna subjektif, Durkhemian – Parsonian tentang struktur, pemikiran Marxian
tentang dialektika, serta pemikiran Herbert Mead tentang interaksi simbolik.

Asal usul kontruksi sosial dari filsafat Kontruktivisme, yang dimulai dari
gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Dalam aliran filsasat, gagasan
konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam
tubuh manusia, dan Plato menemukan akal budi. Gagasan tersebut
semakin konkret setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi,
individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya.

3
Seorang epistemolog dari Italia bernama Giambatissta Vico, yang merupakan
pencetus gagasan-gagasan pokok Konstruktivisme, Menurutnya, hanya Tuhan
sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya Ia yang tahu bagaimana
membuatnya dan dari apa Ia membuatnya, sementara itu orang hanya dapat
mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya.

Terdapat 3 (tiga) macam Konstruktivisme, antara lain:

1. Konstruktivisme radikal

Hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita, dan bentuknya tidak
selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan
hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran.
Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologism obyektif,
namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan
selalu merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tidak dapat
ditransfer kepada individu lain yang pasif.

2. Realisme hipotesis

Pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas
dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.

3. Konstruktivisme biasa

Mengambil semua konsekuensi konstruktivisme, serta memahami pengetahuan


sebagai gambaran dari realitas itu. Pengetahuan individu dipandang sebagai
gambaran yang dibentuk dari realitas objektif dalam dirinya sendiri.

Dari ketiga macam konstruktivisme terdapat kesamaan, dimana konstruktivisme


dilihat sebagai proses kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas
yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau
orang di sekitarnya. Kemudian Individu membangun sendiri pengetahuan atas

4
realitas yang dilihatnya berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada
sebelumnya, inilah yang disebut dengan konstruksi sosial menurut Berger dan
Luckmann.

Berger dan Luckman berpendapat bahwa institusi masyarakat tercipta dan


dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia, walaupun
masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada
kenyataannya semua dibentuk dalam definisi subjektif melalui proses interaksi.
Objektivitas dapat terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh
orang lain, yang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalitas
yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang
universal, yaitu pandangan hidup menyeluruh yang memberi legitimasi dan
mengatur bentuk-bentuk sosial, serta memberi makna pada berbagai bidang
kehidupannya.

Menurut Berger & Luckman, terdapat 3 (tiga) bentuk realitas sosial, antara lain:

1. Realitas Sosial Objektif

Merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan)


gejala-gejala sosial, seperti tindakan dan tingkah laku yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari dan sering dihadapi oleh individu sebagai fakta.

2. Realitas Sosial Simbolik

Merupakan ekspresi bentuk-bentuk simbolik dari realitas objektif, yang umumnya


diketahui oleh khalayak dalam bentuk karya seni, fiksi serta berita-berita di
media.

3. Realitas Sosial Subjektif

Realitas sosial pada individu, yang berasal dari realitas sosial objektif dan realitas
sosial simbolik, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan

5
dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-
masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses
eksternalisasi atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah
struktur sosial.

Setiap peristiwa merupakan realitas sosial objektif dan merupakan fakta yang
benar-benar terjadi. Realitas sosial objektif ini diterima dan diinterpretasikan
sebagai realitas sosial subjektif dalam diri pekerja media dan individu yang
menyaksikan peristiwa tersebut. Pekerja media mengkonstruksi realitas subjektif
yang sesuai dengan seleksi dan preferensi individu menjadi realitas objektif yang
ditampilkan melalui media dengan menggunakan simbol-simbol. Tampilan
realitas di media inilah yang disebut realitas sosial simbolik dan diterima pemirsa
sebagai realitas sosial objektif karena media dianggap merefleksikan realitas
sebagaimana adanya.

Berger & Luckmann berpandangan bahwa kenyataan itu dibangun secara sosial,
dalam pengertian individu-individu dalam masyarakat yang telah membangun
masyarakat, maka pengalaman individu tidak dapat terpisahkan dengan
masyarakat. Manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang objektif melalui 3
(tiga) momen dialektis yang simultan, yaitu:

1. Eksternalisasi

Merupakan usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik
dalam kegiatan mental maupun fisik. Proses ini merupakan bentuk ekspresi diri
untuk menguatkan eksistensi individu dalam masyarakat. Pada tahap ini
masyarakat dilihat sebagai produk manusia (Society is a human product).

2. Objektivasi

Merupakan hasil yang telah dicapai (baik mental maupun fisik dari kegiatan
eksternalisasi manusia), berupa realitas objektif yang mungkin akan menghadapi
si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada diluar dan berlainan

6
dari manusia yang menghasilkannya (hadir dalam wujud yang nyata). Pada tahap
ini masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif (Society is an objective
reality) atau proses interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan
atau mengalami proses institusionalisasi.

3. Internalisasi

Merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian


rupa, sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai
macam unsur dari dunia yang telah terobjektifikasi akan ditangkap sebagai gejala
realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran.
Melalui internalisasi manusia menjadi hasil dari masyarakat (Man is a social
product). Eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi adalah dialektika yang
berjalan simultan, artinya ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga
seakan-akan hal itu berada di luar (objektif) dan kemudian terdapat proses
penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sehingga sesuatu yang berada di luar
tersebut seakan-akan berada dalam diri atau kenyataan subyektif. Pemahaman
akan realitas yang dianggap objektif pun terbentuk, melalui proses eksternalisasi
dan objektifasi, individu dibentuk sebagai produk sosial. Sehingga dapat
dikatakan, setiap individu memiliki pengetahuan dan identitas sosial sesuai
dengan peran institusional yang terbentuk atau yang diperankannya. Gagasan
Berger dan Luckman tentang konstruksi sosial, berlawanan dengan gagasan
Derrida ataupun Habermas dan Gramsci. Kajian-kajian mengenai realitas sosial
dapat dilihat dengan cara pandang Derrida dan Habermas, yaitu dekonstruksi
sosial atau Berger dan Luckmann, yaitu menekankan pada konstruksi sosial.

1.2. Asumsi Pemikiran Peter L. Berger


Jika kita telaah terdapat beberapa asumsi dasar dari Teori Konstruksi
Sosial Berger dan Luckmann. Adapun asumsi-asumsinya tersebut adalah:

a) Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan


konstruksi sosial terhadap dunai sosial di sekelilingnya

7
b) Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran
itu timbul, bersifat berkembang dan dilembagakan
c) Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus

Membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan


sebagai kualitas yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui sebagai
memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita
sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa
realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.

1.3. Pengaruh Pemikiran Tokoh Lain Terhadap Peter L. Berger


Pemikiran Berger dan Luckmann terpengaruh dari banyak pemikiran
ilmuan lain, baik yang langsung menjadi gurunya atau sekedar
terpengaruh oleh pemikiran pendahulunya. Jika dirunut, dapat kita
identifikasi bahwa Berger terpengaruh langsung oleh gurunya yang juga
tokoh fenomologi Alfred Schutz. Schutz sendiri merupakan murid dari
Edmund Husserl—pendiri aliran fenomenologi di Jerman. Atas dasar
itulah, pemikiran Berger dikatakan terpengaruh oleh pemikiran
fenomenologi.

Memang tidak dapat disangkal bahwa pemikiran yang digagas Berger dan
Luckmann merupakan derivasi perspektif fenomenologi yang telah memperoleh
lahan subur baik di dalam bidang filsafat maupun pemikiran sosial. Aliran
fenomenologi dikembangkan oleh Kant dan diteruskan oleh Hegel, Weber,
Huserl, Schutz baru ke Berger dan Luckmann (Sukidin,2002:204). Istilah
sosiologi pengetahuan yang dilekatkan pada pemikiran mereka pun sebenarnya
bukan hal yang baru ada, sebelumnya rintisan ke arah sosiologi pengetahuan telah
diperkenalkan oleh Max Scheler dan Karl Manhein.

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pemikiran Berger dan


Luckmann terpengaruh oleh pemikiran Schutzian tentang fenomenologi,
Weberian tentang “makna-makna subyeyektif”, Durkheimian-Parsonian

8
tentang “struktur” Marxian tentang “dialektika” serta Mead tentang
“interaksi simbolik”. Dalam konteks itulah, Poloma menyimpulkan
pembentukan realitas secara sosial sebagai sintesis antara strukturalisme
dan interaksionisme.

1.4. Kritikan Terhadap Teori Konstruksi Sosial

Basis sosial teori konstruksi realitas sosial adalah masyarakat transisi-modern


sekitar tahun 1960-an, dimana pada saat itu media massa belum menjadi sebuah
fenomena yang menarik untuk dibicarakan. Faktor media massa televisi dalam
konstruksi sosial ini tidak dimasukkan sebagai variabel atau fenomena yang
berpengaruh dalam konstruksi realitas sosial, tidak pernah terpikirkan oleh Berger
dan Luckmann dalam gagasan konstruksi sosialnya, karena pada saat teori itu
dibentuk, konteks sosial tidak melihat bahwa media massa akan berkembang
seperti saat ini. Meskipun sejak semula telah disadari bahwa individu juga
merupakan kekuatan konstruksi sosial media massa yang tetap saja memiliki
kemampuan mengkonstruksi realitas sosial dan keputusan masyarakat. Sehingga
teori ini menjadi kurang relevan ketika fenomena media massa menjadi sangat
substantive dalam proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.

Realitas iklan televisi membentuk pengetahuan pemirsa tentang citra sebuah


produk. Keputusan konsumen memilih atau tidak terhadap suatu produk, semata-
mata bukan karena spesifik yang telah terjadi, namun sebenarnya keputusan itu
terjadi karena peran konstruksi sosial media massa yang diskenario oleh pencipta
iklan televisi. Pada kenyataannya konstruksi sosial atas realitas berlangsung
lamban, membutuhkan waktu lama, bersifat spasial, dan berlangsung secara
hierarkis-vertikal, dimana konstruksi sosial berlangsung dari pimpinan kepada
bawahannya, pimpinan kepada massanya, guru kepada muridnya, orang tua
kepada anaknya, dan sebagainya.

Ketika masyarakat semakin modern, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas
realitas Peter L. Berger dan Luckmann ini memiliki kelemahan, dengan kata lain

9
tidak mampu menjawab perubahan zaman, karena masyarakat berubah menjadi
masyarakat modern dan postmodern. Dengan demikian hubungan sosial antara
individu dengan kelompoknya, pimpinan dengan kelompoknya, orang tua dengan
anggota keluarganya menjadi sekunder-rasional. Hubungan-hubungan sosial
primer dan semisekunder hampir tidak ada lagi dalam kehidupan masyarakat
modern dan postmodern. Dengan demikian, teori dan pendekatan konstruksi
sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann menjadi tidak bermakna lagi.

Walaupun sekarang teori ini menjadi kurang relevan karena mengabaikan media
massa yang memiliki peran semakin substantive, namun sebagai pemikiran yang
berakar pada tradisi fenomenologi, Berger dan Luckmann telah menyumbangkan
gagasan yang signifikan dalam upaya membangun teori-teori sosiologi
pengetahuan (sociology of knowledge) yang juga dapat dirujuk oleh bidang ilmu
Desain.

Kontruksi sosial memiliki arti yang luas dalam ilmu sosial. Hal ini biasanya
dihubungkan pada pengaruh sosial dalam pengalaman hidup individu. Asumsi
dasarnya pada “realitas adalah kontruksi sosial” dari Berger dan Luckmann.
Selanjutnya dikatakan bahwa kontruksi sosial memi-liki beberapa kekuatan.
Pertama, peran sentral ba-hasa memberikan mekanisme konkret, dimana bu-daya
mempengaruhi pikiran dan tingkah laku individu. Kedua, kontruksi sosial dapat
mewakili kompleksitas dalam satu budaya tunggal, hal ini tidak mengasumsikan
keseragaman. Ketiga, hal ini bersifat konsisten dengan masyarakat dan waktu.
Menurut DeLamater dan Hyde juga bahwa konstruksi sosial menyatakan tidak
ada kenyataan pokok (essences) yang benar, realitas adalah kontruksi sosial oleh
karena itu fenomena seperti ho-moseksual adalah kontruksi sosial, hasil dari suatu
budaya, bahasanya, dan juga institusi-institusi. Juga konstruksi sosial
memfokuskan bukan pada pasangan seksualitas yang menarik tapi pada va-riasi-
variasi budaya dalam mempertimbangkan apakah yang menarik itu. Kontruksi
sosial merupakan sebuah pandangan kepada kita bahwa semua nilai, ideologi, dan
institusi sosial adalah buatan manusia.

10
Secara garis besar teori konstruksi sosial Berger tidak menyediakan analisis
terperinci terhadap interpratasi manusia dan kegunaannya terhadap media massa
sebagai media terbesar yang bersifat konstruktif pada pengetahuan manusia.
Menurut Karman (2015) gagasan Peter L. Berger dikoreksi oleh Jaques Derrida
dengan gagasan dekonstruksi. Inti dari dekonstruksi terletak pada proses
dekonstruksi makna di masyarakat terhadap teks, wacana, dan pengetahuan di
masyarakat. Gagasan Derrida kemudian menghasilkan tesis-tesis keterkaitan
antara kepentingan (interest) dengan metode penafsiran (interpretation) atas
sebuah realitas sosial. Derrida menegaskan bahwa kepentingan selalu
mengarahkan manusia pada pemilihan metode penafsiran. Gagasan Derrida ini
menurut (Karman 2015) sejalan dengan pemikiran Habermas, yang lebih dahulu
mengemukakan adanya hubungan strategis antara pengetahuan manusia (baik
empiris- analitis, historis-hermeneutik, maupun kritis) dengan kepentingan
(teknis, praktis, atau yang bersifat emansipatoris), meski tak dapat disangkal
bahwa yang terjadi juga sebaliknya, yakni “pengetahuan” adalah produk
“kepentingan”.

Kritik kedua datang dari Burhan Bungin dalam bukunya yang berjudul
“Konstruksi Sosial Media Massa (2008)” (Bungin (2008). Bungin
menyebut bahwa basis teori konstruksi sosial Berger adalah masyarakat
transisi-moderen di Amerika pada tahun 1960-an, di mana media massa
belum menjadi fenomena sosial dan basis riset para akademisi. Dalam
kesempatan ini Bungin menjadi akademisi yang memasukkan media
massa sebagai variabel dalam konstruksi realitas sosial. Pada dasarnya
konstruksi sosial Berger dinilai berjalan sangat lamban dan tidak tajam
melihat konstruksi pengetahuan di masyarakat tanpa adanya variabel
media massa. Selain itu pandangan Berger dianggap tidak mampu
menjawab tantangan perkembangan jaman masyarakat moderen dan
postmodern di seluruh dunia yang dengan cepat merubah citizen menjadi
netizen karena adanya perubahan media massa.

11
BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan

Adapula beberapa simpulan dari Teori Konstruksi Sosial Oleh Peter L. Berger,
antara lain:

1. Konstruksi Sosial atas Realitas (Social Construction of Reality)


didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana
individu atau sekelompok individu, menciptakan secara terus-menerus
suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Teori ini
berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu, yang merupakan manusia
bebas.
2. Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan
konstruksi sosial terhadap dunai sosial di sekelilingnya, hubungan antara
pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul,
bersifat berkembang dan dilembagakan, kehidupan masyarakat itu
dikonstruksi secara terus menerus.
3. Pemikiran Berger dan Luckmann terpengaruh dari banyak pemikiran
ilmuan lain, baik yang langsung menjadi gurunya atau sekedar
terpengaruh oleh pemikiran pendahulunya. Berger terpengaruh langsung
oleh gurunya yang juga tokoh fenomologi Alfred Schutz. Schutz sendiri
merupakan murid dari Edmund Husserl—pendiri aliran fenomenologi di
Jerman.
4. Secara garis besar teori konstruksi sosial Berger tidak menyediakan
analisis terperinci terhadap interpratasi manusia dan kegunaannya terhadap
media massa sebagai media terbesar yang bersifat konstruktif pada
pengetahuan manusia.

3.2. Saran

12
Teori konstruksi sosial oleh Peter L. Berger adalah pengetahuan yang dapat
membantu baik sosiolog ataupun pemerintah dalam memahami masyarakat.
Adanya konstruk yang selalu ada dan berbeda-beda dapat memaksa pembuat
kebijakan untuk terus mengevalusai norma atau aturan terhadap masyarakat.

13
DAFTAR PUSTAKA

Berger P.L dan Luckmann T. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Risalah tentang
Sosiologi Pengetahuan. Penerjemah, Hasan Basari. 1990. Jakarta: LP3ES.

Poloma M.M. Sosiologi Kontemporer. 1994. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Suparno. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. 1997. Yogyakarta: Kanisius.

Burhan Bungin. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi


Komunikasi di Masyarakat. 2007. Jakarta : Kencana.

Margaret, Poloma. Sosiologi Kontemporer. 1994. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada.

River, W.L., Jenson, J.W., dan Peterson, Theodore. Media Massa dan Masyarakat
Modern, edisi kedua. 2003. Jakarta : Prenada Media.

14

Anda mungkin juga menyukai