Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ada banyak istilah yang dipakai untuk menamai hukum lokal: hukum

tradisional, hukum adat, hukum asli, hukum rakyat, dan khusus di Indonesia

hukum adat[1]. Bagaimana tempat dan bagaimana perkembangannya

hukum adat dalam masyarakat tergantung kesadaran, paradigma hukum,

politik hukum dan pemahaman para pengembannya- politisi, hakim,

pengacara, birokrat dan masyarakat itu sendiri. Hukum ada dan berlakunya

tergantung kepada dan berada dalam masyarakat.

Bagi penganut Paham Etatis, yang mengklaim negara sebagai satu-

satunya secara sentral sebagai sumber produksi hukum, maka di luar negara

tidak diakui adanya hukum. Paham Etatisme berwujud sentralisme hukum,

dipengaruhi positivisme hukum dan teori hukum murni, maka secara

struktural dan sistimatik wujud hukum adalah bersumber dan produksi dari

negara secara terpusat termasuk organ negara di bawahnya. Paham

sentralisme hukum ini menempatkan posisi hukum adat tidak memperoleh

tempat yang memadahi. Etatis hukum timbul yang didasarkan pada teori

modernitas yang memisahkan dan menarik garis tegas antara zaman

modern dan zaman pra modern. Zaman modern ditandai adanya sistem

hukum nasional, sejak timbulnya secara nasional, sebagai kesatuan yang

berlaku dalam seluruh teritorialnya.

Paham ini timbul dari warisan revolusi kaum borjuis dan hegemoni

liberal- karena kuatnya liberalisme, sehingga tumbuh apa yang disebut

1
sentralisme hukum (legal centralism), dimaknai hukum sebagai hukum

negara yang berlaku seragam untuk semua pribadi yang berada di wilayah

jurisdiksi negara tersebut. Menurut Max Weber dikutip David Trubrek dan

Satipto Rahardjo, pertumbuhan sistem hukum modern tidak dapat dilepaskan

dari kemunculan industrialisasi yang kapitalis.yang memberikan rasionalitas

dan prediktabilitas dalam kehidupan ekonomi. Hukum modern yang dipakai

di mana-mana di dunia sekarang ini pada intinya mengabdi dan melayani

masyarakat industri- kapitalis[2].

Kaedah hukum negara berada di atas kaedah hukum lain, dan

karenanya harus tunduk kepada negara beserta lembaga hukum negara.

Pemahaman ideologi sentralisme hukum, memposisikan hukum adalah

sebagai kaedah normatif yang bersifat memaksa, ekslusif, hirarkis, sistimatis,

berlaku seragam, serta dapat berlaku; pertama, dari atas ke bawah (top

downwards) di mana keberlakuannya sangat tergantung kepada penguasa

(Bodin: 1576; Hobbes: 1651; Austin: 1832) atau, kedua dari bawah ke atas

(bottom upwards) di mana hukum dipahami sebagai suatu lapisan kaedah-

kaedah normatif yang hirarkis, dari lapisan yang paling bawah dan meningkat

ke lapisan-lapisan yang lebih tinggi hingga berhenti di puncak lapisan yang

dianggap sebagai kaedah utama (Kelsen: 1949; Hart: 1961). Sistem hukum

yang dipengaruhi ideologi ini, seluruh lapisan kaedah normatif ini baru

dianggap sah keberlakuannya sebagai suatu aturan hukum jika sesuai

dengan lapisan (norma, kaedah ) yang di atasnya.

Khusus kaedah utama yang berada di puncak lapisan

disebut grundnorm, yaitu suatu kaedah dasar, nilai dasar yang sudah ada

2
dalam masyarakat, digunakan sebagai kaedah pembenar oleh negara dalam

mengukur kaedah yang berada di bawahnya. Maka hukum dan penalaran

hukum yang berlangsung adalah sebagaimana William Twining menyebutnya

sebagai proses a finite closed scheme of permissible justification. Apa yang

merupakan hukum ditentukan oleh legislatif dalam bentuk rumusan yang

abstrak untuk kemudian melalui proses stufenweise

konkretisierung (kongkritisasi secara bertingkat dari atas ke bawah, Hans

Kelsen), akhirnya hukum yang semula abstrak menjadi kongkrit[3].

Sentralisme hukum yang juga disebut hukum modern, dicirikan oleh

beberapa sarjana: misalnya oleh Marc Galanter menyebut tidak kurang dari

11 karakteristik hukum modern itu. Beberapa di antaranya adalah: (1) hukum

itu lebih bersifat teritorial daripada personal, dalam arti penerapannya tidak

terikat pada kasta, agama atau ras tertentu; (2) sistemnya diorganisir secara

hirarkis dan birokratis; (3) sistem juga rasional yang artinya, tehnik-tehniknya

dapat dipelajari dengan menggunakan logika dan bahan-bahan hukum yang

tersedia dan (4) disamping itu hukum dinilai dari sudut kegunaannya sebagai

sarana untuk menggarap masyarakat, tidak dari kualitas

formalnya; (5) hukum itu bisa diubah-ubah dan bukan merupakan sesuatu

yang keramat kaku; eksistensi hukum dikaitkan pada (kedaulatan) negara

[4].

Ideologi sentralisme hukum inilah sebagai ibu kandung positivisme

hukum yang sering disebut hukum modern, pada paham yang paling

ekstrim adalah hukum harus dibebaskan dimurnikan - dari nilai-nilai non

hukum (etika, moral, agama), sehingga hukum sebagai bebas nilai (value

3
free), yang dipositipkan dalam bentuk peraturan dan yang bersumberkan dari

negara dalam bentuk tertulis. Hukum jenis ini dewasa ini sangat dominan

dan sebagai penopang negara penganut modern-liberal, bahkan negara

ultra-modern-neoliberal, dengan didukung oleh para pengembannya

(pendidikan hukum, profesional dengan standarisasi yang ketat).

Hukum adat (customary law) adalah bagian dari hukum, ialah hukum

tidak tertulis dalam suatu masyarakat yang biasanya bermata pencaharian

pertanian di daerah pedesaan. Hukum adat terjadi dari keputusan-keputusan

orang-orang berkuasa dalam pengadilan berperspektif bahwa hukum adat[5]

adalah norma lama yang masih terdapat dimana-mana di daerah dan di

dalam masyarakat yang merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya.

Norma lama/hukum adat akan dapat diterima sepanjang ia akan dapat

meningkatkan dirinya bagi kehidupan masyarakat. Pengelolaan lingkungan

hidup tentu saja dengan memperhatikan norma lama/hukum adat yang

berkembang di dalam masyarakat sebagai kepribadian sesuai nilai-nilai

tradisional yang ada. Kita masih tetap memegang nilai tradisional, walaupun

nilai-nilai baru sebagai akibat kemajuan dan kelancaran komunikasi dan

kemudahan informasi akan sangat banyak mempengaruhi nilai tradisional.

Pelestarian norma lama bangsa adalah mempertahankan nilai-nilai

seni budaya, nilai tradisional dengan mengembangkan perwujudan yang

bersifat dinamis, luwes dan selektif, serta menyesuaikan dengan situasi dan

kondisi yang selalu berubah dan berkembang.

4
Dengan demikian hukum akan selalu terkait dengan nilai, norma dan

keorganisasian tradisional maupun yang modern serta perlindungan yang

bersifat penataan keseluruhan.

1. Masyarakat

Masyarakat (society) adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan

kebudayaan. WJS Poerwadarminta (KUBI), PN. Balai pustaka 1982 halaman

636 menyebutkan:

Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia (sehimpunan orang yang

hidup bersama dalam sesuatu tempat dengan ikatan-ikatan yang tertentu).

Masyarakat adalah sekelompok orang yang mempunyai identitas sendiri,

yang membedakan dengan kelompok lain dan hidup dan diam dalam wilayah

atau daerah tertentu secara tersendiri. Kelompok ini baik sempit maupun

luas mempunyai perasaan akan adanya persatuan di antara anggota

kelompok dan menganggap dirinya berbeda dengan kelompok lain. Mereka

memiliki norma-norma, ketentuan-ketentuan dan peraturan yang dipatuhi

bersama sebagai suatu ikatan. Perangkat dan pranata tersebut dijadikan

pedoman untuk memenuhi kebutuhan kelompok dalam arti luas. Jadi secara

luas bahwa dalam masyarakat terdapat semua bentuk pengorganisasian

yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya (masyarakat tersebut).

Dalam setiap masyarakat, jumlah kelompok dan kesatuan sosial itu

bukan hanya satu, sehingga seorang warga masyarakat bisa termasuk

dalam dan menjadi bagian dari berbagai kelompok dan kesatuan sosial yang

ada dalam masyarakat tersebut. Bisa masuk dalam kesatuan kekerabatan,

5
anggota organisasi tempat tinggal, anggota organisasi di tempat kerja,

anggota perkumpulan tertentu, dsb. Dari itu macam-macam masyarakat bisa

berdimensi sbb:

1. Masyarakat industri (Industrial society);


2. Masyarakat petani (Peasant society);
3. Masyarakat majemuk (Plural society);
4. Masyarakat tidak bertempat tinggal tetap (nomadic society);
5. Masyarakat produksi dan konsumsi sendiri (subsistens society);
6. Masyarakat modern (Modern society);
7. Masyarakat tradisional (traditional society)
8. Masyarakat konkrit (concrete society);
9. Masyarakat abstrak (abstract society);
10. Masyarakat feodal (feudal society);
11. Masyarakat irigasi (hydraulic society)
12. Masyarakat berburu dan peramu (extractive society)

Di dalam masyarakat terdapat struktur sosial yaitu pola hak dan

kewajiban para pelaku dalam suatu sistem interaksi yang terwujud dari

rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka

waktu tertentu. Sesuai dengan penggolongan dalam kebudayaan yang

bersangkutan dan yang berlaku menurut masing-masing pranata dan situasi-

situasi sosial dimana interaksi sosial itu terwujud.

B. Rumusan Masalah

Seringnya Pemerintah meratifikasi hukum barat dibandingkan menggali

hukum adat adalah wujud keprihatinan penulis, untuk itu diperlukan

penelusuran guna mencari tahu tentang:

PERBANDINGAN HUKUM ADAT yang ada di Indonesia.

6
Berdasarkan permasalahan tersebut diajukan beberapa pertanyaan berikut :

1. Bagaimana sejarah hukum adat yang berkembang di Nusantara?

2. Bagaimana azas, sifat dan corak hukum adat yang ada di Indonesia?

3. Bagaiamana perkembangan hukum adat dari masa ke masa?

4. Bagaimana peranan hukum adat di dalam hukum nasional ?

C. Tujuan penulisan

Inventarisasi data dalam rangka penelusuran hukum adat bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi sejarah hukum adat dalam rangka menambah khazanah

budaya Indonesia.
2. Diketahuinya azas, sifat dan corak hukum adat dihubungkan dengan

hukum nasional.
3. Mengidentifikasi perkembangan hukum adat dari masa ke masa.
4. Mengidentifikasi peranan hukum adat untuk dijadikan referensi di dalam

pembuatan hukum nasional.

BAB II

PERBANDINGAN HUKUM ADAT

Pemahaman mengenai hukum adat selama ini, yang terjadi, bila

meminjam istilah Spradley dan McCurdy (1975), ialah adanya sikap legal

ethnocentrism, yakni: the tendency to view the law of other cultures through

the concepts and assumptions of Western. Padahal, sikap legal

ethnocentrism itu mengundang kritik, antara lain: a) cenderung meniadakan

eksistensi dari hukum pada pelbagai masyarakat; dan b) cenderung

7
mengambil bentuk sistem hukum barat sebagai dasar dari penelaahan dan

penyusunan kebijakan[6]. Catatan penting yang dapat diberikan berkenaan

dengan Law and Development tersebut ialah:

..., hukum modern (dalam hal ini state law) itu perlu, tapi tidaklah cukup untuk

pembangunan ekonomi; adanya the rule of law cukup menolong, namun

belum mencukupi untuk melaksanakan pembangunan politik; di antara

kondisi minimum tersebut, hukum bukan hal penting yang utama. Pusat

kegawatan utama adalah pada campuran antara: sejarah negara yang unik,

aspek kultural, ekonomi, politik serta sumberdaya alam dan manusia; dan

negara berkembang akan beruntung bila mereka dapat mengembangkan

variannya sendiri mengenai isi dari the rule of law (Tamanaha 1998)[7].

Hukum adat sebagai hukum yang dibangun berdasarkan paradigma atau

nilai-nilai: harmoni, keselarasan, keutuhan menentukan corak, sifat, karakter

hukum adat.

A. Azas-azas Hukum Adat

Hukum adat yang tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran masyarakat

Indonesia, yang bersifat majemuk, namun ternyata dapat dilacak azas-

azasnya, yaitu:

1. Azas Gotong royong;


2. Azas fungsi sosial hak miliknya;
3. Azas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum;
4. Azas perwakilan dan musyawaratan dalam sistem pemerintahan

B. Sifat Hukum Adat.

8
Hukum adat berbeda dengan hukum bersumberkan Romawi atau Eropa

Kontinental lainnya. Hukum adat bersifatpragmatisme realisme artinya

mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat fungsional religius,

sehingga hukum adat mempunyai fungsi social atau keadilan social. Sifat

yang menjadi ciri daripada hukum adat sebagai 3 C adalah:

1. Commun atau komunal atau kekeluargaan (masyarakat lebih penting

daripada individu);

2. Contant atau Tunai perbuatan hukum dalam hukum adat sah bila

dilakukan secara tunai, sebagai dasar mengikatnya perbuatan hukum.

3. Congkrete atau Nyata, Riil perbuatan hukum dinyatakan sah bila

dilakukan secara kongkrit bentuk perbuatan hukumnya. 28/10/2008 klas F

Djojodigoeno menyebut hukum adat mempunyai sifat: statis, dinamis

dan plastis :

1. Statis, hukum adat selalu ada dalam amsyarakat,


2. Dinamis, karena hukum adat dapat mengikuti perkembangan

masyarakat,
3. Plastis/Fleksibel, kelenturan hukum adat sesuai kebutuhan dan

kemauan masyarakat.

Sunaryati Hartono, menyatakan: Dengan perspektif perbandingan, maka

ketiga ciri dapat ditemukan dalam hukum yang berlaku dalam masyarakat

agraris atau pra industri, tidak hanya di Asia tetapi juga di Eropa dan

Amerika. Surnarjati Hartono sesungguhnya hendak mengatakan bahwa

9
hukum adat bukan khas Indonesia, namun dapat ditemukan juga di berbagai

masyarakat lain yang masih bersifat pra industri di luar Indonesia.

C. Corak Hukum Adat

Soepomo mengatakan: Corak atau pola pola tertentu di dalam hukum

adat yang merupakan perwujudkan dari struktur kejiwaan dan cara

berfikir yang tertentu oleh karena itu unsur-unsur hukum adat adalah:

1. Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat ; artinya , menusia menurut

hukum adat , merupakan makluk dalam ikatan kemasyarakatan yang

erat , rasa kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan hukum adat;


2. Mempunyai corak magis religius, yang berhubungan dengan

pandangan hidup alam Indonesia;


3. Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba kongkrit, artinya hukum adat

sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-

hubungan hidup yang kongkret. Sistem hukum adat mempergunakan

hubungan-hubungan yang kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan

hidup.
4. Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya- hubungan-hubungan

hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu

ikatan yang dapat dilihat (atau tanda yang tampak).

Sifat dan corak hukum adat tersebut timbul dan menyatu dalam

kehidupan masyarakatnya, karena hukum hanya akan efektif dengan kultur

dan corak masyaraktnya. Oleh karena itu pola pikir dan paradigma berfikir

adat sering masih mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari

sekalipun ia sudah memasuki kehidupan dan aktifitas yang disebut modern.

10
BAB III

PERKEMBANGAN HUKUM ADAT

Hukum akan selalu menyesuaian dengan perkembangan dan

kebutuhan masyarakat yang senantiasa terus berubah. Mengenai

perkembangan baru dalam Hukum Adat, diketengahkan teori Prof Koesnoe,

yang menyatakan : bahwa perkembangan hukum adat itu mencakup :

pengertian daripada Hukum Adat, kedudukan Hukum Adat, isi dan

lingkungan kuasa atas orang

Dengan titik tolak pendapat Koesnoe dan penjabaran Abdulrahman,

maka penulis membuat tabulasi perkembangan hukum adat sebagai berikut:

A. Perkembangan Pengertian Hukum Adat

1 Perkembangan awal Adat yang mempunyai sanksi

2 Berkembang Segala keputusan-keputusan yang

11
diambil penguasa adat dalam

lingkungan masyarakat dan dalam

hubungannya dengan ikatan structural

masyarakatnya.

3 Setelah itu Hukum Adat dilihat sebagai hukum yang

lahir langsung dari pikiran dan cita-cita

serta kebutuhan rakyat Indonesia;

4 Akhirnya Hukum yang lahir dari kepribadian

bangsa Indonesia, singkatnya hukum

nasional bangsa kita atau hukum asli

Indonesia

Corak hukum adat diubah dari relegio-magis, komun, konkrit, kontan

yang bersifat tradisional-agraris, maka guna memenuhi kebutuhan dan

tuntutan perkembangan masyarakatnya, oleh Achid Masduki diharapkan

mengarah kepada dan menjadi religius-rasional, keseimbangan individu dan

masyarakat, konsensual, abstrak.

B. Perkembangan atas kedudukan Hukum Adat

1 Perkembangan awal Hukum untuk golongan tertentu;

golongan masyarakat asli, timur asing

tertentu

2 Perkembangan Hukum yang membawa bentuk

semangat kebangsaan

12
3 Perkembangan selanjutnya Hukum Nasional

4 Akhirnya Hukum Pancasila

C. Perkembangan Hukum Adat atas lingkungan kuasa atas orang

1 Perkembangan awal Diisi dalam taraf ilmu pengetahuan

sesuai dengan waktunya, dengan

ketentuan yang letaknya pada taraf

kebiasaan dari golongan suku-suku

yang ada

2 Perkembangan Ditarik kepada pokok-pokok ketentuan

yang abstrak, sehingga diversitas isinya

menjadi tampak berkurang

3 Perkembangan selanjutnya Ditarik lebih jauh lagi yakni kepada

azas-azas hukum adat.

4 Akhirnya Diarahkan kepada nilai-nilai hukum yang

hidup di dalam masyarakat. Semakin

abstrak pengisiannya, semakin lebih

luas daya mencakup lingkungan kuasa

atas orang dan ruangnya sehingga

akhirnya berlaku secara Nasional

13
Sumbangsih Hukum adat bagi pembentukan hukum nasional, adalah

dalam hal pemakaian azas-azas, pranata-pranata dan pendekatan dalam

pembentukan hukum34. Sumbangsih hukum adat misalnya dalam kontrak

bagi hasil (bidang perminyakan), bidang hukum tanah dan hukum

perumahan (khususnya rumah susun) dan azas pemisahan horizontal dapat

digunakan dalam pembentukan hukum nasional.

14
BAB IV

PERKEMBANGAN HUKUM ADAT DARI ZAMAN KE ZAMAN

Perkembangan hukum adat dapat dilacak dalam beberapa hal antara lain:

a. Hukum adat di zaman Hindu

Perkembangan hukum adat sebagai aturan rakyat di zaman Hindu

berlaku sejak zaman melayu Polinesia, zaman Hindu Sriwijaya, Mataram I,

Majapahit sampai timbulnya kerajaan-kerajaan Islam.

1) Zaman Melayu Polinesia

Menurut para ahli sejarah nenek moyang bangsa Indonesia

meninggalkan daratan asia dan memasuki kepulauan Indonesia berlaku

sejak sekitar tahun 1500 SM sampai dengan 300 SM. Kedatangan mereka di

Indonesia terjadi dalam dua gelombang, gelombang pertama disebut proto

malaio (melayu tua) dan gelombang kedua disebut deutro malaio (melayu

muda). Sebagaimana dikatakan M. Yamin kebanyakan masyarakat di

pengaruhi oleh lima jenis zat kesaktian, yaitu paduan kesaktian, bahwa

disekitar manusia itu ada yang gaib mengawasi kehidupannya; sari

kesaktian, bahwa didalam diri manusia itu ada jiwa semangat; sang hyang

kesaktian, bahwa ada tuhan yang kuasa; pengantara kesaktian, bahwa

ada manusia yang dapat berhubungan dengan yang gaib. (M. Yamin, 1960:

63-83).

15
2) Zaman Sriwijaya

Zaman hindu-buddha dimulai sejak berdirinya Negara sriwijaya yang

berpusat di Palembang. Negara sriwijaya hidup sejak abad ke-7 sampai

abad 13. Dengan masuknya pengaruh ajaran-ajaran hindu-buddha dari india

ke kepulauan Indonesia, maka di pusat-pusat pemerintahankerajaan berlaku

hukum hindu-buddha yang bercampur dengan hukum adat setempat,

sedangkan didaerah-daerah pedalaman berbagai masyarakat adat tetap

berpegang dengan hukum adat setempat yang tumbuh dan berkembang

dengan di sana-sini dipengaruhi oleh ajaran-ajaran hindu-budha.

Dalam abad ke-8 di masa kekuasaan dinasti sriwijaya di jawa di jaman

raja sanjaya kaidah-kaidah yang bersifat hukum bercampur denga uraian

tentang keadaan keagamaan, pemerintahan, perekonomian, pertanian, dan

sebagainya. di antara prasasti zaman sriwijaya dari abad ke-8 dan abad ke-

9 yang mengandung hukum dimana dipercaya oleh masyarakatnya sebagai

mengatur tentang keagamaan, perekonomian, pertambangan, kekayaan,

pertanahan, pengairan dan peradilan perkara perdata.

3) Zaman Mataram I

Sampai abad ke-10 jawa barat masih tetap berada di bawah pengaruh

kekuasaan sriwijaya, sedangkan jawa tengah dan jawa timur cenderung

untuk bersatu dan memisah dari pengaruh sriwijaya. Disekitar tahun 907

putera mahkota balitung diangkat menjadi raja mataram I (rakai Mataram I).

dalam menjalankan pemerintahan dari pusat pemerintahan di medang

(prambanan). Raja balitung didampingi Da-tso-kan-hiyung (perdana menteri)

16
yang di bantu oleh empat menteri dan membawahi 28 daerah kabupaten.

Para pejabat kehakiman bergelar samgat-i-tiruan dan samgat-mahwi.

4) Zaman Majapahit

Dari kitab puisi Negara kartagama (1365) dan kitab prosa pararaton

(1481) dapat kita ketahui betapa raja kertajaya, raja Kediri yang terakhir

dapat dijatuhkan oleh ken angrok, yang kemudian mendirikan kerajaan

singosari. Ken angrok menjadi raja singosari pertama berkududukan di

ibukota kutaraja (tumapel) dengan gelar rajasa. Selama pemerintahannya

(1222-1227) rajasa mengembangkan hukum di bidang pemerintahan dan

pertahanan. Diantara raja yang terkenal dizaman singosari ialah raja

kertanagara(1268-1292). Pada tahun 1275 ia mengirim ekspedisi militer

pamalayu ke melayu-jambi. Ketika ekspedisi ini kembali kejawa dibawa serta

dus puteri melayu ialah dara petak dan dara jingga. Pada tahun 1280 raja

cina kubilai khan menirim utusan untuk menundukkan kertanegara tidak

berhasil, kemudian pada tahun 1289 datang lagi utusan cina, bukan diterima

dengan baik, melainkan dilukai mukanya, akibatnya kubilai khan

mempersiapkan tentaranya untuk menyerang jawa.

Sejak wafatnya hayam wuruk pada tahun 1389 dan menyingkirnya

dan terus menghilangnya gajah mada, maka para raja penggantinya yang

kemudian, tidak ada lagi yang dapat mengembalikan seperti kejayaan

majapahit dimasa hayam wuruk dan gajah mada. Negara terus merosot

pamornya sampai masa raja-raja terakhir inilah timbul cikal-bakal raja-raja

17
demak dan mataram II. Menurunnya kerajaan maja pahit dikarenakan

masuknya pengaruh Islam sejak akhir abad ke-14 dan permulaan abad ke-

15 secara damai di bawah pimpinan para wali, Maulana Malik Ibrahim yang

wafatnya di Gresik tahun 1419.

b. Hukum Adat di Zaman Islam

1) Zaman Aceh Darussalam

Agama Islam memasuki kepulauan Indonesia dimulai dari daerah

aceh pada pertengahan akhir abad ke-12, dengan berdirinya kesultanan

perlak, Samudera Pasai dan aceh Darussalam. Kesultanan perlak terletak

disebelah timur Samudera Pasai, yang didirikan pedagang Arab yang kawin

dengan puteri marah perlak dan melahirkan sulta perlak yang pertama, yaitu

Sayid Abdul Aziz dengan gelar alaidin syah (1161-1186). Setelah berdirinya

kesultanan perlak selama 83 tahun, maka pada tahun 1243 kesultanan ini

digabungkan dengan kesultanan Samudera Pasai yang berdiri pada

pertengahan akhir abad ke-13.

Setelah itu, di zaman kekuasaan sultan iskandar muda (1607-1636)

daerah kekuasaan hampir meliputi daerah seluruh pulau sumatera-bengkulu,

tetapi untuk kesekian kalinya berusaha perang untuk menghalau portugis

dari bumi malaka tidak berhasil. Kemudia sultan iskandar muda wafat dalam

umur 46 tahun pada tanggal 27 desember 1636, ia digantikan sultan

iskandar tsani yang hanya memerintah selama 5 tahun (1636-

1641).kemudian iskandar tsani digantikan puteri iskandar muda yaitu

sultanah tajal alam yang memerintah selama 34 tahun (1641-1675). Patut

18
diperhatikan bahwa wafatnya iskandar tsani dikarenakan kelicikan

penjajahan belanda (VOC).

2). Zaman Demak

Termasuk dalam zaman ini ada empat kerajaan Islam di jawa yang ada

kaitannya yaitu kerajaan demak, pajang, mataram II, dan banten. Keempat

kerajaan ini dilaksanakan berdasarkan hukum Islam dan hukum adat, serta

peraturan-peraturan kerajaan masing-masing. Disekitar abd ke-15 daerah

demak masih di bawah kekuasaan majapahit. Kemudian yang memimpin

kekuasaan kerajaan pada waktu itu ialah raden patah dimana ia wafat pada

tahun 1518 dan digantikan oleh puteranya adipati unus yang menjadi bupati

di jepara. Adipati unus menjadi raja berlangsung selama 3 tahun dan

kemudian digantikan oleh pamannya pangeran trenggana yang menjadi sulta

demak selama 25 tahun.

3). Zaman Mataram II

Sultan Mataram II yang berpengaruh adalah Mas Rasrangsang yang

bergelar Panembahan Aagung Senopati Ing Alogo Ngabdurahman, yang

disingkat sultan agung, memerintah kerajaan selama 32 tahun (1613-1645).

Kemudian lambat laun yang berlaku adalah penyelesaian perkara padu dan

system peradilan setempat yang dipengaruhi oleh islam dan penyebaran

agama islam di jawa barat perubahan mana bertambah sejak sultan agung

digantikan amangkurat I (1646-1647). Karen sistemnya yang sangat lemah

seluruh daerah pesisir jawa jatuh ketangan pemberontaka, dan akhirnya

19
kedudukan amangkurat I digantikan oleh puteranya Adipati Anom sebagai

amangkurat II (1677-1703). Amengkurat II pun jatuh masa jayanya dengan

pemberontakan atas trunojoyo dan banyak kehilangan daerah kekuasaan

yang diambil oleh VOC dimana perjanjian yang telah disepakatinya.

4). Zaman Cirebon dan Banten

Fatahilllah salah seorang panglima dari demak, kemudian bersama

dengan sunan gunung jati, dapat menundukkan sunda kelapa pada tahun

1527, setelah menundukkan banten, yang ketika itu merupakan kota

pelabuhan dari pajajaran kemudian banten diserahkan oleh sunan gunung

jati kepada puteranya maulana hasanudin yang menjadi sultan banten

pertama (1522-1570). Dari hasil penelitian yang kemudian dilakukan VOC,

dapat diketahui bahwa hukum yang berlaku didaerah periangan masih

sangat dipengaruhi oleh hukum dan peradilan menurut system dari masa

pengaruh kekuasaan sulta agung mataram. System yang berlaku adalah

peradilan agama, peradilan drigama, peradilan cilaga, sedangkan hukumnya

berdasarkan hukum Islam dan hukum adat lama.

Oleh karena sifat hubungan antara pemerintah kesultanan di banten

dengan daerah lampung yang dipengaruhinya bersifat protektorat

(pelindung). Seperti halnya didaerah lampung beberapa kepala adat

ditetapkan sebagai punggawa kesultanan banten untuk mengurus kaum

kerabatnya masing-masing. Dengan demikian di lampung sampai masa

kekuasaan raden inten berakhir (1856) untuk urusan agama berlaku hukum

islam dan untuk urusan umum berlaku kitab kutara adat lampung.

20
5). Kerajaan dan Persekutuan Adat Lainnya

Masih terdapatnya beberapa kerajaan islam kecil-kecil, baik di

sumatera, Kalimantan, nusa tenggara, bali dan Maluku. Kerajaan-kerajaan

tersebut juga mempunyai aturan-aturan undang-undang rajanya masing-

masing. Begitupula halnya dengan berbagai persekutuan-persekutuan

hukum adat diberbagai pedesaan diseluruh nusantara ini, mempunyai pula

berbagai aturan-aturan adanya yang tertulis dan tidak tertulis. Sebagian

besar kitan perundangan asli tersebut kita ketahui setelah adanya penemuan

orang-orang barat dari zaman VOC dan pemerintah Hindia Belanda.

c. Hukum Adat di Zaman Penjajahan Belanda

Berawal dari zaman penjajahan, hukum adat sangat kental di dalam

diri tiap pribumi. Karena belum terbiasa dengan hukum barat yang telah

ditetapkan oleh Belanda, maka dibuatlah sistem hukum pluralisme

atau Indische Staatsregeling (IS) agar penduduk golongan eropa, timur

asing, dan pribumi dapat menyesuaikan dengan hukum masing-masing.

Dalam Indische Staatsregeling, salah satu dasar hukum yang

menjelaskan berlakunya hukum adat terdapat pada Pasal 131 ayat (2) huruf

a menjelaskan hukum yang berlaku bagi golongan eropa, bahwa untuk

hukum perdata materiil bagi golongan eropa berlaku asas konkordansi,

artinya bagi orang eropa pada asasnya hukum perdata yang berlaku di

negeri Belanda akan dipakai sebagai pedoman dengan kemungkinan

penyimpangan-penyimpangan berhubung keadaan yang istimewa, dan juga

pada Pasal 131 ayat (2) huruf b yang menjelaskan hukum yang berlaku bagi

21
golongan Indonesia asli atau pribumi dan golongan timur asing, yang pada

intinya menjelaskan bagi golongan pribumi dan timur asing berlaku hukum

adat masing-masing dengan kemungkinan penyimpangan dalam hal:

1) Kebutuhan masyarakat menghendakinya, maka akan ditundukan pada

perundang-undangan yang berlaku bagi golongan eropa.

2) Kebutuhan masyarakat menghendaki atau berdasarkan kepentingan

umum, maka pembentuk ordonansi dapat mengadakan hukum yang

berlaku bagi orang Indonesia dan timur asing atau bagian-bagian

tersendiri dari golongan itu, yang bukan hukum adat bukan pula hukum

eropa melainkan hukum yang diciptakan oleh Pembentuk UU sendiri.

Hukum perundangan yang digunakan dalam memeriksa dan mengadili

perkara ketika itu adalah aturan-aturan dalam bentuk plakat dan ketetapan-

ketetapan VOC. Jika dari peraturan-peraturan tersebut tidak cukup maka

dilihat juga hukum belanda kuno dan hukum romawi. Yang bertindak sebagai

penuntut umum dalam perkara pidana adalah adpokat piskal.dalam tahun

1651 di dalam college van schepenen ditempatkan seorang landrost yang

bertugas sebagai penuntut umum perkara pidana yang diajukan kepada

schepenbank Batavia.selain itu, menurut papakem Cirebon diatur tentang

peradilan dengan 7 orang jaksa, sehingga disebut jaksa pepitu.

Jadi pada intinya, di masa Hindia Belanda terdapat delegasi kewenangan

atau perintah untuk mengkodifikasikan hukum bagi pribumi dan timur asing.

22
d. Hukum Adat di zaman Jepang

Pada tanggal 9 Maret 1942 pemerintah hindia belanda bertekuk lutut

menyerah tanpa syarat kepada jepang. Gubernur jenderal tjarda van

starkenborgh stachouwer dibawa jepang ke Taiwan. Namun pada tanggal 14

agustus 1945 jepang terpaksa menyerah kepada sekutu akibat bom atom

yang dijatuhkan Amerika pada tanggal 6 Agustus 1945 di Hiroshima. Hal

mana berarti Indonesia diduduki jepang hanya selama tiga tahun lima bulan

lima hari. Selama pemerintahan jepang pada umumnya yang berlaku adalah

hukum militer, hukum perundangan apalagi hukum adat tidak mendapat

perhatian sama sekali. Mendekati tahun 1945 orang-orang jepang mulai

berbaik hati, terlihat bendera merah putih telah dapat berkibar di samping

bendera hinomaru. Pada tanggal 28 Mei 1945 panitia penyelidik usaha-

usaha persiapan kemerdekaan (PPPK) yang diketuai Dr. Radjiman

Wediodeningrat.

Pada masa penjajahan Jepang juga terdapat regulasi yang mengatur

tentang hukum adat di Indonesia, yaitu pada Pasal 3 UU No.1 Tahun 1942

yang menjelaskan bahwa semua badan pemerintah dan kekuasaanya,

hukum dan UU dari pemerintah yang dahulu tetap diakui sah buat sementara

waktu saja, asal tidak bertentangan dengan peraturan militer. Arti dari Pasal

tersebut adalah hukum adat yang diatur pada saat masa penjajahan Jepang

sama ketika pada masa Hindia Belanda, tetapi harus sesuai dengan

peraturan militer Jepang dan tidak boleh bertentangan. Pada hakikatnya,

dasar yuridis berlakunya hukum adat pada masa penjajahan Jepang hanya

merupakan ketentuan peralihan karena masanya yang pendek.

23
e. Hukum Adat di zaman pasca kemerdekaan

Proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 agustus 1945, adalah

berdasarkan hukum adat, sebagai kelanjutan dari keputusan kongres

pemuda Indonesia pada tahun 1928 dan perjnuangan pada pergerakan

kemerdekaan Indonesia sebelumnya. Dikatakan berdasarkan hukum adat

oleh karena kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan penjajahan di

atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan

dan peri keadilan. Demikian dinyatakan dalam alinea pertama piagam

Jakarta yang ditandatangani soekarno, hatta dan tujuh pemimpin yang

lainnya. Isi piagam tersebut kemudian menjadi pembukaan UUD 1945.

Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPPK mengadakan rapat yang

dipimpin Soekarno dan Moh. Hatta dengan ke-16 orang anggotanya, ketika

itu diumumkan berlakunya UUD 1945 dan Kommite Nasional Indonesia

Pusat (KNIP) mengadakan rapatnya yang pertama. Walaupun dalam UUD

tersebut tidak digunakan istilah Pancasila dan hukum adat, namun dari

pembukaan UUD 1945 itu dapat diketahui adanya unsur-unsur pancasila dan

hukum adat.pada tanggal 17 Maret 1947 di balai perguruan tinggi gadjah

mada djogjakarta, Prof. Mr. Dr. R. soepomo menyampaikan pidato dies

berjudul kedudukan hukum adat di kemudian hari yang isinya menguraikan

tentang hukum adat yang tidak berbeda dengan pendapat van Hollenhoven.

Berdasarkan piagam persetujuan antara delegasi republic Indonesia

dan delegasi BFO atau pertemuan untuk permusyawaratan federal di

scheveningan belanda (agustus-oktober 1949) lahirlah konstitusi RIS yang

24
dinyatakan berlaku pada tanggal 6 februari 1950. Di dalam konstitusi RIS

mengenai hukum adat antara lain,pasal 144 (1) aturan-aturan hukum adat

yang menjadi dasar hukuman. Namun ketentuan-ketentuan tersebut dapat

dikatakan tidak pernah digunakan oleh karena sejak tanggal 17 Agustus

1950 (Ln. 50-56) telah berlaku UUDS, yang mengambil alih ketentuan-

ketentuan tersebut.

Pada konstituante dalam masa UUDS 1950 tidak dapat menyelesaikan tugas

pada waktunya, maka soekarno selaku presiden RI / Panglima tertinggi

angkatan perang mengucapkan dekrit tanggal 5 juli 1959, yang menetapkan

pembubaran konstituante, UUD 1945 berlaku lagi dan tidak berlakunya lagi

UUDS. Kemudian berdasarkan ketetapan MPRS no. II/1960 maka hukum

adat menjadi landasan tata hukum nasional.

f. Hukum Adat di Zaman Orde Baru

Dasar hukum berlakunya dan diakuinya hukum adat di Indonesia juga

diatur setelah Indonesia merdeka. Contohnya pada Pasal II Aturan Peralihan

UUD 1945 yang berbunyi Segala badan negara dan peraturan yang masih

berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini menjelaskan

bahwa dalam pembentukan regulasi peraturan mengenai hukum adat yang

lebih jelas, maka dasar hukum sebelumnya yang tetap digunakan untuk

perihal berlakunya hukum adat.

Pada Pasal 104 ayat (1) UUDS 1950 pun juga terdapat penjelasan

mengenai dasar berlakunya hukum adat. Pasal tersebut menjelaskan bahwa

segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam

25
perkara hukuman menyebut aturan-aturan Undang-Undang dan aturan-

aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu. Terdapat juga pada

Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 pasca dekrit presiden 5 Juli 1959 Ranah

Undang-Undang dan Pasal 3 UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi Hukum yang

dipakai oleh kekuasaan kehakiman adalah hukum yang berdasarkan

Pancasila, yakni yang sidatnya berakar pada kepribadian bangsa dan Pasal

17 ayat (2) yang menjelaskan bahwa berlakunya hukum tertulis dan hukum

tidak tertulis.

g. Hukum Adat di Zaman Era Reformasi

Di zaman modern, Setelah amandemen kedua UUD 1945, tepatnya

pada Pasal 18B ayat (2), hukum adat dihargai dan diakui oleh negara, Pasal

tersebut berbunyi Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.. Pasal

tersebut telah membuktikan bahwa dasar yuridis berlakunya hukum adat di

Indonesia ada, dan diakui oleh pemerintah.

26
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tak hanya itu, dalam beberapa Undang-Undang juga mengatur

keberlakuan hukum adat. Contoh dalam Undang-Undang Pokok Agraria,

lebih tepatnya pada Pasal 5 yang berbunyi Hukum agraria yang berlaku

atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak

bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan

atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan

peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undangundang ini dan dengan

peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan

unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.. Dasar yuridis tersebutlah

yang dapat menjelaskan berlakunya hukum adat secara sah di Indonesia.

Hukum adat adalah hukum yang yang harus diperjuangkan karena ia

merupakan hukum tertua yang telah dimiliki Indonesia dan juga karena

Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya dengan keanekaragaman

budaya, suku, dan ras, dan dengan hukum adat, maka segala kepentingan

masyarakat adat dapat diayomi olehnya, untuk Indonesia yang lebih baik.

27
B. SARAN

Pengakuan dan penghargaan terhadap masyarakat hukum adat

tersebut menunjukkan adanya kesadaran, bahwa masih ada masyarakat

Indonesia yang menjalani kehidupan yang khas, sarat dengan nilai-nilai,

norma dan adat istiadat yang positif, tetapi dalam kondisi yang sangat

memprihatinkan. Meskipun demikian, pada era transformasi sosial budaya

yang cepat dewasa ini, mereka masih mampu mempertahankan keserasian

hubungan dengan sesama manusia, alam dan penciptanya. Semua itu

adalah bentuk kebudayaan menjadi modal sosial (social capital) dalam

pembangunan nasional apabila dapat diberdayakan secara optimal.

Sehubungan dengan itu, maka diperlukan kebijakan dan instrumen yang

mampu melindungi dan memberdayakan masyarakat hukum adat tanpa

mencabut mereka dari akar sosial budaya aslinya. Sebagaimana

dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa secara yuridis Negara dan

Pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang secara

langsung berkaitan dengan perlindungan dan pemberdayan masyarakat

hukum adat.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Keebet von Benda-Beckmann: Pluraisme Hukum, Sebuah Sketsa

Genealogis dan Perdebatan Teoritis, dalam: Pluralisme Hukum,

Sebuah Pendekatan Interdisipliner, Ford Fondation, Huma, Jakarta,

2006 hal 21

2. Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum Di Indoensia, Kompas,

2003,23,24

3. Satjipto Rahardjo: Penafsiran Hukum Yang Progresif, dalam : Anthon

Freddy Susanto,SH,MH: Semiotika Hukum, Dekontruksi Teks Menuju

Progresifitras Makna, Efika Aditama, Bandung, 3

4. Satjipto Rahardjo: Modernisasi Dan Perembangan Kesadaran Hukum

Masyarakat, Jurnal Masalah-masalah Hukum, FH Undip, No.1-6

Tahun X/ 1980, hal 18.

5. Eman Suparman, ASAL USUL SERTA LANDASAN

PENGEMBANGAN ILMU HUKUM INDONESIA (Kekuatan Moral

Hukum Progresif sebagai das Sollen), Esmi Warassih

Pujirahayu, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan Tujuan

Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan); Pidato

Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Undip, Semarang, 14

April 2001,

6. Sorjono Soekanto, Masalah Kedudukan dan Peranan Hukum Adat,

Academica, Jakarta 1979, 14.

29
7. Hukum dan Kemajemukan Budaya: Sumbangan Karangan Untuk

Menyambut Hari Ulang Tahun ke-70 Prof.Dr. T.O.

IhromiANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000

8. Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat Di

Indonesia, INIS, Jakarta, 1998, 38

9. Hilman Hadukusuma: Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar

Maju, Bandung, 2003, hal 8

10. Van Vallenhoven, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia, Jambatan,

Jakarta, 1983, hal 14, lihat juga Abdulrahman ,SH :Hukum Adat

menurut Perundang-undangan Republik Indonesia, Cendana Press,

1984, 17.

11. Abdulrahman, SH: Hukum Adat Menurut Perundang-undanga

Republik Indonesia, Cendana Press, 1984, hal 18

12. Soepomo, Kedududkan Hukum Adat di Kemudian Hari, Pustaka

Rayat, Jakarta

13. Sudjito Sastrodiharjo, Hukum adat Dan Realitas Kehidupan, dimuat

dalam : Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia,1998, 107.

14. Sunaryati Hartono: Sumbangsih Hukum Adat bagi Perkembangan

Pembantukan Hukum Nasional dalam M.Syamsudin et al Editor:

Hukum Adat dan Mordernisasi Hukum, FH-UII,1998, 170

15. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia, Sebelum Perang Dunia II,

Pradnjaparamita, Jakarta,cet 15 1997 hal 140,141

30
16. Dr. Khundzalifah Dimyati, SH, M.Hum: Teoritisasi Hukum: Studi

Tentang Perkembangan Demikian Hukum di Indonesia 1945 1990,

Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004 22.

17. Achid Masduki, Peranan Hukum Adat Dalam Mengatasi Masalah

Pemilikan pada Masyarakat Industri, dalam , Hukum Adat Dan

Modernisasi Hukum, UII, Jogyakarta, hal 226

18. Soerjono Soekanto menyebutnya sebagai hukum lalu lintas, dalam :

Soerjono Soekanto: Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum

Adat, Academica, Jakarta, 1979, hal 24.

19. I Gede A.B.Wiranata: Hukum Adat Indonesia, Perkembangan dari

Masa Ke Masa, Citra Aditya Bakti, 2005, hal 40

31
[1]Keebet von Benda-Beckmann: Pluraisme Hukum, Sebuah Sketsa

Genealogis dan Perdebatan Teoritis, dalam: Pluralisme Hukum, Sebuah

Pendekatan Interdisipliner, Ford Fondation, Huma, Jakarta, 2006 hal 21

[2]Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum Di Indoensia, Kompas,

2003,23,24

[3]Satjipto Rahardjo: Penafsiran Hukum Yang Progresif, dalam : Anthon

Freddy Susanto,SH,MH: Semiotika Hukum, Dekontruksi Teks Menuju

Progresifitras Makna, Efika Aditama, Bandung

[4]Satjipto Rahardjo: Modernisasi Dan Perkembangan Kesadaran Hukum

Masyarakat, Jurnal Masalah-masalah Hukum, FH Undip, No.1-6 Tahun X/

1980, hal 18.

[5]Esmi Warassih Pujirahayu, Pemberdayaan Masyarakat Dalam

Mewujudkan Tujuan Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan

Keadilan); Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Undip,

Semarang, 14 April 2001

[6]Sorjono Soekanto, Masalah Kedudukan dan Peranan Hukum Adat,

Academica, Jakarta 1979, 14.

[7]Dr. Eman Suparman, SH, MH, ASAL USUL SERTA

LANDASANPENGEMBANGAN ILMU HUKUM INDONESIA (Kekuatan

Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen)

32

Anda mungkin juga menyukai