PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
Kata Thalaq diambil dari kata ithlaq yang berarti melepaskan atau
menanggalkan atau secara harfiah berarti membebaskan seekor binatang. Ia
dipergunakan dalam syari’ah untuk menunjukkan cara yang sah dalam
mengakhiri sebuah pernikahan. Meskipun Islam memperkenankan perceraian
jika terdapat alasan-alasan yang kuat baginya, namun hak itu hanya dapat
dipergunakan dalam keadaan yang mendesak.
Syiqaq artinya adalah perselisihan yang terus menerus antara suami dan
isteri. Bila ini terjadi maka diadakanlah dua utusan sebagai pendamai antara
pihak suami dan isteri setelah fase-fase menasehati, memisahkan tempat tidur,
dan memukul isteri sebagai upaya mendidik menuju perdamaian rumah tangga
yang tak kunjung berhasil. Hal ini berdasarkan firman Allah Q.S. An-Nisa : 35
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. An-
Nisa : 35)
Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa bila keutuhan rumah
tangga suami isteri terancam karena pertengkaran yang tak mungkin
diatasinya maka perlu diadakan juru damai dari kedua belah pihak. Sekiranya
hal ini masih juga tidak membuahkan hasil maka persoalannya wajar ditangani
oleh hakim untuk memberi putusan setelah pihak-pihak pendamai tidak
berhasil mendamaikannya.
1) Suami yang meng-ila’ isterinya batasnya paling lama hanya empat bulan.
2) Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup sebagai
suami-isteri atau menthalaqnya.
1) Memberi makan sepuluh orang miskin menurut makan yang wajar yang
biasa kamu berikan untuk keluarga kamu, atau
2) Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
b. Cerai Gugatan
Yang dimaksud dengan “cerai gugatan”atau “cerai gugat” adalah
perceraian dengan keputusan pengadilan yang disebabkan adanya gugatan
terlebih dahulu oleh salah satu pihak kepada pengadilan. Undang-Undang
Pernikahan menyatakan bahwa gugatan perceraian diajukan kepada
Pengadilan sebagaimana disebutkan :
“Gugatan perceraian dapat dilakukan oleh seorang suami atau isteri yang
melangsungkan pernikahan menurut agama Islam dan oleh seorang suami dan
oleh seorang isteri yang melangsungkan pernikahan menurut agama dan
kepercayaannya itu selain agama Islam”[15] Secara terperinci tatacara
gugatanperceraian ini diatur dalam PP. No. 9 Tahun 1975 pasal 20 sapai
dengan pasal 36.
Berkenaan dengan perceraian yang terjadi, menurut hukum perdata
perceraian hanya dapat terjadi berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan
undang-undang. Dalam kaitannya dengan hal ini ada dua pengertian yang
perlu dipahami yaitu istilah “bubarnya pernikahan” dan istilah “percraian”.
Perceraian adalah salah satu sebab dari bubarnya pernikahan.[16]
Peratursn Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanan UU No. 1
Tahun 1974 Tentang Pernikahan, pada pasal 19 disebutkan bahwa alsan yang
dapat dipergunakan sebagai alasan percraian adalah :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain
diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah pernikahan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
KHI pada pasal 116 juga mengatur bahwa yang dapat menjadi alasan
terjadinya perceraian adalah disebabkan karena :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain
diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah pernikahan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
g. Suami melanggar ta’lik thalaq.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Berdasarkan alasan-alasan perceraian sebagaimana yang telah disebutkan
pada PP No. 9 Tahun 1975, dan juga KHI di atas, maka dapat diamati bahwa
terdapat perbedaan alasan-alasan perceraian yang diatur oleh PP No. 9 Tahun
1975 dan KHI. Perbedaan yang terjadi adalah berupa penambahan alasan
perceraian yang diatur oleh KHI, yaitu disebabkan suami melanggat ta’lik
thalaq, dan terjadinya peralihan agama/murtad.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
http://makalahhukumislamlengap.blogspot.com/2013/12/perceraian.html
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat II, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), Cet. I, hlm.
9
Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996),