Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.
Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad
Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya. Perkawinan di
dalam islam sangatlah dianjurkan, agar dorongan terhadap keinginan biologis dan
psikisnya dapat tersalurkan secara halal, dengan tujuan untuk menghindarkan diri
dari perbuatan zina. Anjuran untuk menikah ini telah diatur dalam sumber ajaran
islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Di Indonesia sendiri telah terdapat hukum nasional yang mengatur dalam
bidang hukum perkawinan yaitu UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Aturan Pelaksanaannya PP Nomor 9 Tahun 1975.
Dari latar belakang masalah tersebut, penulis mengambil judul makalah
Hukum Perkawinan Islam “ Dasar – Dasar Umum Perkawinan”.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan makalah dalam makalah ini adalah
1.2.1 Apa pengertian perkawinan ?
1.2.2 Bagaimana dasar hukum perkawinan ?
1.2.3 Bagaimana status perkawinan ?
1.2.4 Bagaimana tujuan perkawinan ?
tentang perkawinan ?
1.2.13 Bagaimana pengaruh agama terhadap perkawinan ?
1.2.14 Bagaimana kedudukan hukum perkawinan dalam Islam ?
1.2.15 Bagaimana kedudukan hukum perkawinan di Indonesia ?
1.2.16 Bagaimana positivisme hukum perkawinan Islam ?
BAB II
PERKAWINAN
2.1 Pengertian Perkawinan
Kata perkawinan menurut istilah hukum Islam sama dengan kata “ nikah “
dan kata “ zawaj “. Nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya ( haqiqat )
yakni “ dham “ yang berarti menghimpit, menindih, atau berkumpul. Nikah
mempunyai arti kiasan yakni “ wathaa” yang berarti “ setubuh “ atau “ aqad “
yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan. Dalam kehidupan sehari – hari,
nikah dalam arti kiasan lebih banyak dipakai dalam arti sebenarnya jarang sekali
dipakai saat ini.
Menurut ahli ushul, arti nikah terdapat 3 macam pendapat yakni :
2.1.1 Menurut ahli ushul golongan Hanafi, arti aslinya adalah setubuh dan arti
majazi ( metaphoric ) adalah akad yang dengannya menjadi halal
hubungan kelamin antara pria dan wanita.
2.1.2 Menurut ahli ushul golongan Syafi’i, nikah, arti aslinya adalah
akad yang
dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita,
sedangkan menurut arti majazi adalah setubuh.
2.1.3 Menurut Abdul Qasim Azzajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm, dan
sebagian
ahli ushul dari sahabat Abu Hanifah mengartikan nikah, bersyarikat
artinya antara akad dan setubuh.
Para ahli hukum memberi beragam definisi nikah. Perbedaan itu tidaklah
menunjukkan pertentangan yang tajam, namun hanya perbedaan sudut pandang.
Menurut Sayuti Thalib perbedaan itu lebih memperlihatkan keinginan para
perumus mengenai banyaknya jumlah unsur – unsur yang hendak dimasukkan
dalam perumusan di satu pihak, sedang di lain pihak dibatasi pemasukan unsur –
unsur itu dalam perumusan, pengertian perkawinan, Unsur yang lain dijelaskan
dalam tujuan bukan perumusan. Pendapat ini setidak – tidaknya dapat dapat
ditelaah dari beberapa perumusan mengenai definisi perkawinana antara lain :
2.1.1 Asaf A. A Fyzee : Marriege in Muhammad Law : is contract for the
legalization of intercourse and procreation of children. Pernikahan
Hukum Muhammad adalah kontrak untuk legalisasi hubungan seksual dan
prokreasi anak-anak.
2.1.2 Ahmad Azhar Bashir merumuskan bahwa nikah adalah melakukan suatu
akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki – laki
dan wanita untuk menghalalakna hubungan kelamin antara kedua belah pihak,
dengan dasar sukarela dan keridhaan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu
kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman
dengan cara – cara yang diridhai oleh Allah.
2.1.3 Mahmud Yunus merumuskan bahwa perkawinan adalah aqad antara
calon laki istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh
syariat. Aqad adalah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dari kabul dari
calon suami atau wakilnya.
2.1.4 Sulaiman Rasyid merumuskan bahwa perkawinan adalah akad
yang
menghalalkan pergaulan dan membatasai hak dan kewajiban serta
bertolong – tolongan antara seorang laki – laki dan seorang perempuan yang
antara keduanya bukan muhrim.
2.1.5 Abdullah Sidik merumuskan bahwa perkawinana adalah pertalian yang
sah antara seorang laki – laki dan seorang perempuan yang hidup
bersama ( bersetubuh ) dan yang tujuannya untuk membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan serta mencegah perizinan dan menjaga ketentraman jiwa
atau batin.
2.1.6 Soemiyati merumuskan bahwa nikah itu merupakan perjanjian perikatan
antara seorang laki – laki dan seorang wanita. Perjanjian disini bukan sembarang
perjanjian tapi perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki –
laki dan seorang wanita. Suci di sini dilihat dari segi keagamaannya dari suatu
perkawinan.
2.1.7 Zahry Hamid merumuskan bahwa yang dinamakan nikah menurut syara’
adalah akad ( ijab qabul ) antara wali dan mempelai laki – laki dengan ucapan
tertentu dan memenuhi rukun dan syaratnya. Dalam pengertian luas, perkawinan
adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang laki – laki dan seorang
perempuan untuk hidup berketurunan yang dilasungkan menurut ketentuan syariat
Islam.
2.1.8 UU RI NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB I
DASAR PERKAWINAN
v Pasal 1
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga )
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
v Pasal 2
(1) Perkawinanan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu.
( 2 ) Tiap – tiap perkawinan dicatatat menurut peraturan perundang –
undangan yang berlaku.
2.1.9 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia – Inpres No. 1 Tahun 1991
merumuskan bahwa perkawinan adalah pernikahan yaitu akad yang
sangat kuat atau miitsaaqan ghaliidhan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakan merupakan ibadah.
2.1.10 Abu Yahya Zakaria Al – Anshary merumuskan bahwa nikah menurut
syara’ adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan
hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata – kata yang semakna
dengannya.
2.1.11 Zakiah Daradjat merumuskan bahwa nikah adalah akad yang
mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafadzh nikah
atau tazwij atau semakna dengan keduanya.
2.1.12 Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih luas yang
juga
dikutip oleh Zakiah Daradjat, nikah merupakan akad yang memberikan faedah
hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga ( suami istri ) antara pria dan
wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi hak bagi pemiliknya serta
pemenuhan kewajiban bagi masing – masing.
2.1.13 Sayyid Sabiq merumuskan bahwa perkawinan adalah salah satu
sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan,
maupun tumbuh – tumbuhan.
2.1.14 Istilah hukum Islam merumuskan bahwa perkawinan menurut syara’
adalah akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang – senang
antara laki – laki dengan perempuan dan menghlalkan bersenang – senangnya
perempuan dengan laki – laki.
Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat nikah adalah
perjanjian antara calon suami istri untuk membolehkan bergaul sebagai suami istri
guna membentuk suatu keluarga.
Perkawinan dilaksanakan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Dengan memahami kalimat dalam
perumusan dalam pasal 2 di atas, maka perkawinan adalah ibadah. Ibadah ada
yang umum adalah segala amalan yang dizinkan oleh Allah dan ibadah yang
khusus adalah apa yang diterapkan oleh Allah akan perincian – perinciannya,
tingkat dan cara – caranya tertentu.
Perkawinan merupakan perbuatan ibadah dalam kategori ibadah umum,
dengan demikian dalam melaksanakan perkawinan harus diketahui dan
dilaksanakan aturan – aturan perkawinan dalam Hukum Islam.

2.2 Dasar Hukum Perkawinan


2.2.1 Q.S. Adz – Dzariat ayat 49
“49.`Dan segala sesuatu Kami cipatakan berpasang – pasangan agar kamu
mengingat ( kebesaran Allah ).”
2.2.2 Q.S. Yasiin ayat 36
“36. Mahasuci ( Allah ) yang telah menciptakan semuanya berpasang pasangan
baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dari diri mereka sendiri, maupun dari
apa yang mereka ketahui.”
2.2.3 Q.S. An – Nur ayat 32
“32. Dan nikahkanlah orang – orang yang masih membujang di antara kamu dan
juga orang – orang yang layak ( menikah ) dari hamba-hamba sehayamu yang laki
– laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan
kepada mereka dengan karunia – Nya. Dan Allah Mahaluas ( pemberian – Nya ),
Maha Mengetahui.”
2.2.4 ‫اا صلى ا عليه‬ ‫سلعوُدد رضي ا عنه اقاَال لااناَ ار ل‬
‫سوُلل ا ا‬ ‫اعسن اعسباد ا ا‬
‫اا سبان ام س‬

‫ج‬ ‫ اوأاسح ا‬, ‫صار‬


‫صلن لاسلفاسر ا‬ ‫ فاإ اناهل أااغ ض‬, ‫طاَاع امسنلكلم ااسلاباَاءةا فاسلياتاازاوسج‬
‫ض لاسلبا ا‬ ‫ست ا ا‬
‫ب ! امان ا س‬ ‫شار اال ا‬
‫شاباَ ا‬ ‫وسلم ) اياَ امسع ا‬
‫صسوُام ; فاإ اناهل لاهل اواجاَءء ( لمتافا ء‬
‫ق اعلاسياه‬ ‫ستااطسع فااعلاسياه اباَل ا‬
‫ اوامسن لاسم يا س‬,
Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi muda,
barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena
ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum
mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." Muttafaq Alaihi.
2.2.5 ‫س سبان اماَلادك رضي ا عنه ) أاان االنابااي صلى ا عليه‬
‫اواعسن أانا ا‬
‫صللي اوأااناَلم‬ ‫ لااكلني أااناَ أل ا‬: ‫ اواقاَال‬, ‫ اوأاسثانى اعلاسياه‬, ‫اا‬
‫ وسلم احاماد ا ا‬,
‫ق اعلاسيه‬ ‫لمتافا ء‬ ( ‫املن‬ ‫س‬‫سنااتي فالاسي ا‬‫ب اعسن ل‬ ‫ اوأاتاازاولج االنل ا‬, ‫صوُلم اوألسفاطلر‬
‫ فاامسن اراغ ا‬, ‫ساَاء‬ ‫اوأا ل‬
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda: "Tetapi aku
sholat, tidur, berpuasaberbuka, dan mengawini perempuan. Barangsiapa
membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku." Muttafaq Alaihi.
2.2.6 ‫اعان‬ ‫ اوياسناهى‬, ‫اا صلى ا عليه وسلم ياأسلملر اباَسلاباَاءاة‬ ‫ ) اكاَان ار ل‬: ‫اواعسنهل اقاَال‬
‫سوُلل ا ا‬
‫ااسلاسنبااياَاء ياسوُام ااسلقااياَاماة ( اراواهل أاسحاملد‬ ‫ تاازاولجوُا ااسلاوُلدواد ااسلاوُللوُاد إالني لماكاَثاءر بالكلم‬: ‫ اويالقوُلل‬, ‫شاديددا‬
‫التاباضتال ناسهدياَ ا‬
‫صاحاحهل ااسبلن احاباَان‬
‫ او ا‬,
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami
membujang. Beliau bersabda: "Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang,
sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi
pada hari kiamat." Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

2.3 Status Perkawinanan


Berdasar Q.S. An – Nisa’ ayat 21
“21. Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali , padahal kamu
telah bergaul satu sama lain ( sebagai suami dan istri ). Dan mereka ( istri –
istrimu ) telah mengambil pekerjaan yang kuat ( ikatan pernikahan ) dari
kamu.”

2.4 Tujuan Perkawinan


Tujuan perkawinana menurut agama Islam adalah untuk memenuhi
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera, dan
bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga.
Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya
kepenuhan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih
sayang antar anggota keluarga.
Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah
2.4.1 Menghalalkan hubungan kelamin antara seorang pria dan seorang
Wanita untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan.
2.4.2 Membentuk atau mewujudkan satu keluarga yang damai,
tentram, dan kekal dengan dasar cinta dan kasih sayang.
2.4.3 Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan
keturunan serta mempertimbangkan suku – suku bangsa
Indonesia.
Menurut Imam Al – Ghazali, dalam Ihyahnya tentang faedah
melasungkan perkawinanan, maka tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan
menjadi lima yaitu :
2.4.1 Mendapatkan dan melasungkan perkawinanan.
2.4.2 Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya.
2.4.3 Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
2.4.4 Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima
hak dan kewajiban , juga bersungguh – sungguh untuk memperoleh harta
kekayaan yang halal.
2.4.5 Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Landasan perkawinan dengan nilai – nilai roh keislaman yakni sakinah,
mawaddah, dan rahmah yang dirumuskan dalam firman Allah SWT Q.S. Ar –
Rum ayat 21 “21. Dan di antara tanda – tanda ( kebesaran – Nya ) ialah Dia
menciptakan pasangan – pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu
cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sungguh, p[ada yang demikian itu benar –benar terdapat tanda
– tanda ( kebesaran Allah ) bagi kaum yang berpikir. “
Keluarga yang dituju dengan adanya perkawinan adalah keluarga yang
:
2.4.1 Sakinah artinya tenang.
2.4.2 Mawadah artinyakeluarga yang di dalamnya terdapat rasa cinta
yang berkaitan dengan hal – hal yang bersifat jasmani.
2.4.3 Rahmah artinya keluarga yang di dalamnya terdapat rasa kasih
sayang yakni yang berkaitan dengan hal – hal yang bersifat
kerohaniaan.

2.5 Prinsip – Prinsip Perkawinan


2.5.1 Memenuhi dan melaksanakan perintah agama
Perkawinan adalah sunnah nabi. Ini berarti bahwa melaksanakan
perkawinan itu pada hakikatnya merupakan pelaksanaan dari ajaran
agama. Agama mengatur perkawinan itu memberi batasan rukun dan
syarat – syarat yang harus dipenuhi.
Apabila rukun dan syarat – syarat tidak dipenuhi, maka perkawinan itu
batal atau fasad. Demikian pula agama memberi ketentuan lain
disamping rukun dan syarat, seperti harus adanya mahar dalam
perkawinan dan juga harus adanya kemampuan.
2.5.2 Kerelaan dan Persetujuan
Pihak yang melangsungkan perkawinan itu dirumuskan dengan kata –
kata kerelaan calon istri dan suami atau persetujuan mereka. Untuk
kesempurnaan itulah perlu adanya khitbah atau peminangan yang
merupakan satu langkah sebelum mereka melakukan perkawinan
sehingga semua pihak dapat mempertimbangkan apa yang mereka
lakukan. Kerelaan dari calon suami dan wali jelas dapat di;lihat dari
tindakan dan ucapannya, sedangkan kerelaan calon istri,
mengingat
wanita mempunyai ekspresi kejiwaan yang berbeda dengan
pria, dapat
dilihat dari sikapnya, misalnya diam dan tidak memberikan
reaksi
penolakan dipandang sebagai izin kerelaan bila ia gadis.
2.5.3 Perkawinan untuk Selamanya
Tujuan perkawinan antara lain untuk dapat keturunan dan untuk
ketenangan, ketentraman, dan cinta serta rasa kasih sayang.
Kesemuanya ini dapat dicapai hanya dengan prinsip bahwa perkawinan
untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja. Itulah prinsip
perkawinan dalam Islam yang harus atas dasar kerelaan hati
dan
sebelumnya yang bersangkutan telah melihat lebih dahulu
sehingga
nantinya tidak menyesal setelah melangsungkan
perkawinan dan dengan
melihat dan mengetahui lebih dahulu akan dapat
mengekalkan
persetujuan antara suami dan istri.
2.5.4 Suami sebagai penanggung jawab umum dalam rumah tangga
Ketentuan kedududukan suami lebih tinggi dari istri bukan berarti bahwa
suami berkuasa atas istri. Kelebihan suami atas istri dalam rumah tangga,
karena suami adalah pemimpin rumah tangga. Sudah sewajarnya
pemimpin mempunyai hak dan kewajiban yang lebih dari warga yang
ada dalam rumah tangga, di samping pada umumnya laki – laki
dikaruniai jasmani lebih kuat dan lebih lincah serta lebih cenderung
banyak menggunakan fikiran daripada perasaan.

2.6 Sifat – Sifat Perkawinan


Sifatnya yakni mengangkat harkat dan derajat ( kedudukan ) kaum wanita
yakni para istri dengan adanya ungkapan jelas dalam Undang – Undang tersebut
bahwa hak dan kedudukan suami adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
istri dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

2.7 Asas – Asas Perkawinan


Asasnya bahwa dalam UUP asasnya adalah agama. Agama atau
hukum agama yang dipeluk oleh seorang yang menentukan sah atau tidaknya
perkawinan. Pasal 2ayat ( 1 ) : “ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu. “
Asas – asas perkawinan yang dominan adalah :
2.7.1 Asas Sukarela . Bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal. Untuk itu, suami istri perlu saling membantu
dan melengkapi agar masing – masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
material.
2.7.2 Assa Partisipasi Keluarga dan Dicatat. Perkawinan merupakan peristiwa
penting, maka partisipasi orang tua diperlukan terutama dalam hal
pemberian izin sebagai perwujudan pemeliharaan garis keturunan
keluarga. Dan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
agama dan kepercayaannya masing – masing , juga harus dicatat menurut
peraturan perundang – undangan yang berlaku.
2.7.3 Asas Monogami. Hanya apabila dikehedaki oleh yang bersangkutan,
karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang
suami dapat beristri lebih dari seorang. Dengan kata lain UUP
mengandung asas mempersulit poligami. Khusus bagi Pegawai Negeri
Sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983.
2.7.4 Asas Perceraian Dipersulit. Karena tujuan perkawinan adalah untuk
membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, maka
mempersulit terjadinya perceraian dikedepankan. Perceraian merupakan
perbuatan halal yang dibenci oleh Allah SWT. Dan kalaupun pintu cerai
ini bagi orang Islam dibuka itu hanaya kecil saja, karena imbas negatif
dari perceraian ini begitu banyak selain pada anak dari hasil perkawinan
juga secara umum berdampak pada masyarakat.
2.7.5 Asas Kematangan Calon Mempelai. Calon suami istri harus sudah masak
jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berpikir pada
perceraian.
2.7.6 Asas Memperbaiki Derajat Kaum Wanita. Hak dan kedudukan istri
adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami, baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.

2.8 Hukum Perkawinan


2.8.1 Sunah
Terhadap seseorang yang keadaaan hidupnya sederhana dan mempunyai
kesanggupan untuk menikah dia khawatir tidak jatuh pada perzinaan.
Jika ia mempunyai keinginan untuk menikah dengan niat memeliahar
diri atau mendapat keturunan, maka hukum menikah baginya adalah
sunah. Oleh karena hukum menikah adalah sunah, maka jika seseorang
yang berada dalam kondisi demikian melaksanakan perkawinan akan
mendapat pahala. Jika ia tidak kawin, maka tidak berdosa dan tidak
mendapat pahala.
2.8.2 Mubah ( boleh )
Imam syafi’i mengatakan bahwa hukum menikah adalah jaiz atau
mubah, atau dengan perkataan lain seseorang boleh kawin boleh tidak
atau tidak dihukum orang yang kawin dan tidak pula dihukum orang
yang tidak kawin. Mubah, bagi seseoranglaki – laki yang tidak terdesak
oleh alasan – alasan yang mewajibkan segera kawin atau karena alasan
– alasan yang mengharamkan untuk kawin.
2.8.3 Wajib
Hukum menikah menjadi wajib bagi orang yang secara jasmaniyah
sudah layak untuk menikah, secara rohaniyah sudah dewasa dan
matang serta memiliki kemampuan biaya untuk menikah dan
menghidupi keluarganya. Memilki nafsu yang besar terhadap wanita dan
tidak dapat mengendalikannya sedang dia mampu untuk menikah, maka
hukumnya adalah fardlu, karena keadaannya telah meyakinkan
bahwa tanpa menikah dia pasti akan jatuh ke perzinaan. Jika sekedar
kemungkinannya atau dikhawatirkan akan jatuh ke
perzinaan, maka
menurut pendapat golongan Hanafi hukumnya adalah
wajib, sedangkan
menurut mazhab lain, kedua macam kondisi tersebut
hukumnya adalah
wajib dan tidak ada perbedaan antara farlu dan wajib
kecuali dalam bab
haji.

2.8.4 Makruh
Hukum menikah menjadi makruh bagi orang – orang ( laki – laki ) yang
secara jasmaniyah sudah layak untuk menikah, kedewasaa
rohaniyah
sudah matang, tetapi tidak mempunyai biaya untuk
menikah dan
mengendalikan nafsunya dengann puasa. Karena secara
lahiriyah
pernikahan baginya akan membawa kesengsaraan atau
bencana, baik
bagi dirinya, istri, dan anak – anaknya.
2.8.5 Haram
Hukum menikah menjadi haram apabila laki – laki yang menikahi wanita
dengan maksud menyakiti, mempermainkan dan merampas harta wanita.
Tidak memilki pekerjaan, tidak mampu memenuhi nafkah lahir dan
batin istrinya dan nafsunya tidak mendesak. Hukum menikah ini adalah
haram dan mendapat dosa.

2.9 Undang – Undang Republik Indonesia tentang Perkawinan


2.9.1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2.9.2 Peraturan Pemerintah ( PP ) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang – Undang No. 1 Tahun 1974
2.9.3 Peraturan Menteri Agama ( PMA ) No. 3 Tahun 1975 dan No. 4 Tahun
1975 diganti dengan PMA No. 2 Tahun 1990 tentang Tata Cara
Pencatatan Perkawinan dan Perceraian
2.9.4 Peraturan Menteri Dalam Negeri ( Mendagri ) No. 221a Tahun 1875
tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian Pada Kantor Catatan
Sipil.
2.9.5 Peraturan Pemerintah ( PP ) No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil ( PNS )
2.9.6 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
2.9.7 Peraturan Pemerintah ( PP ) No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan PP
No. 10 Tahun 1983
2.9.8 Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Intruksi Penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam

2.10 Undang – Undang Peradilan Agama


UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan
dan
diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989
( Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1989 No. 49, Tambahan
Lembaran
Negara Republik Indonesia No, 3400 )
Menurut penelitian Amir Islam Luthfi, Hukum Islam
pernah
dilaksanakan secara murni di Indonesia karena pemerintah
menghendakinya. Pada zaman penjajahan Belanda embrio
Peradilan
Agama tidak bisa diabaikan, sebab sudah menyatu dengan
masyarakat
dan seca politis Belanda punya kepentingan dengan peradilan
tersebut.
Secara resmi Belanda mengakui Peradilan Agama pada tahun
1882 dengan sebutan Raad Agama, kemudian dikukuhkan menjadi
Priesterraad dengan keputusan Raja Belanda No. 24 tanggal 19 Januari
1882 dan dimuat dalam S. 1882 No. 152. Berdasarkan keputusan tersebut
dibentuklah Peradilan Agama untuk Jawa dan Madura. Melalui S. 1937
No. 638 pada tahun 1937 dibentuk Raad Agama yang mengatur
Kerapatan Qadli dan Kerapatan Qadli Besar untuk sebagian Kalimantan.
Kemudian Raad Agama untuk Luar Jawa / Madura dan sebagian luar
Kalimantan Selatan dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 45
Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama Mahkamah Syari’ah.
Usaha untuk memantapkan kedudukan Peradilan
Agama
sebenarnya sudah lama dirintis oleh Departemen Agama.
Kegiatan
penyusunan Rancangan Undang – Undang tentang
Peradilan Agama
sudah dimulai sejak tahun 1961. Namun secara kongkrit
baru
dilaksanakan pada tahun 1971 berdasarkan Intruksi
Presiden No. 15
Tahun 1970 tentang Tata Cara mempersiapkan RUU dan
RPP. Setelah
mengalami pembahasan yang panjang baru pada tanggal 29
Desember
1989 Undang – Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama
diundangkan. Adapun isinya terdiri dari 7 Bab dan terdiri
dari 108 pasal.
Secara global, isinya adalah sebagai berikut :
BAB I Ketentuan ( Pasal 1 – 5 )
BAB II Susunan Pengadilan ( Pasal 6 – 48 )
BAB III Kekuasaan Pengadilan ( Pasal 49 – 53 )
BAB IV Hukum Acara ( Pasal 54 – 91 )
BAB V Ketentuan – Ketentuan Lain ( Pasal 92 – 105 )
BAB VI Ketentuan Peralihan ( Pasal 106 )
BAB VII Ketentuan Penutup ( Pasal 107 – 108 )

2.11 Kompilasi Hukum Islam


Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan
pemahaman yang berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering terjadi
perdebatan di kalangan para ulama. Karena itu, diperlukan upaya penyeragaman
dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam.
Keinginan itulah kemudian memunculkan Kompilasi Hukum Islam
( KHI ), yang suatu saat bisa dijadikan pegangan para hakim di Lingkungan
Peradilan Agama. Sebab selama ini Peradilan Agama tidak mempunyai buku
standar yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana halnya KUHP. Pembentukan
atas SKB Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama, KHI yang dipimpin oleh
Bustanil Arifin ini bertugas melaksanakan usaha pembangunan Hukum Islam
melalui Yurisprudensi dengan jalan Kompilasi Hukum. Prioritas utama mengkaji
kitab – kitab yang dipergunakan sebagai putusan – putusan hakim agar sesuai
dengan perkembangan masyarakat Indonesia menuju Hukum Nasional.
Memang, KHI masih banyak yang pro – kontra tentang kemampuan yuridisnya.
Misalnya Prof. Dr. H. Moh. Koesnoe, S.H. menyatakan bahwa KHI tetap berada
di luar tatanan hukum positif Indonesia dan itu merupakan sekelompok ulama dan
pakar Hukum Islam atau bisa dikatakan sebagai ijama’ kalangan tersebut. Anggota
Komisi Hukum Nasional, Fajrul Falakh mengatakan bahwa KHI tidak bedanya
dengan kitab fiqh yang masih digunakan sebagai books of authority dalam
Peradilan Agama. Karena itu KHI di hadapan lembaga Yudikatif, khususnya
Peradilan tidak dapat dijadikan rujukan. Meski demikian, banyak kalangan
menyambut baik munculnya KHI tersebut.
Landasan pembentukan KHI adalah pasal 27 ayat ( 1 ) UU No. 14 Tahun
1970 yang berbunyi : Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai – nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Sedang landasan fungsional, yaitu KHI adalah fiqh Indonesia yang
disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan umat Islam Indonesia. Bukan
mazhab baru tetapi mengarah kepada penyatuan berbagai pendapat mazhab dalam
hukum Islam untuk menyatukan persepsi para hakim tentang hukum Islam. Untuk
menutu kepastian bagi umat Islam.
2.12 Epilog Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dengan amanat Presiden RI tanggal 31 Juli 1973, No. R. 02 / PU / VII /
1973 kepada Pimpinan DPR disampaikan RUU tentang Perkawinan yang terdiri
dari 15 Bab dan 73 Pasal. Bab – bab tersebut meliputi :
Dasar Perkawinan, Syarat Perkawinan, Pertunangan, Tata Cara
Perkawinan, Batalnya Perkawinan, Perjanjian Perkawinan, Hak dan Kewajiban
Suami dan Istri, Harta Benda dalam Perkawinan, Putusnya Perkawinan dan
Akibatnya, Kedudukan Anak, Hak dan Kewajiban antara Anak dan Orang Tua,
Perwalian, Ketentuan – Ketentuan Lain, Ketentuan Peralihan dan Keterangan
Penutup
Ketentuan Pemerintah tentang RUU tersebut disampaikan oleh Menteri
Kehakiman pada tanggal 30 Agustus 1973. Pemandangan Umum atas RUU
Perkawinan serta Keterangan Pemerintah diberikan oleh wakil – wakil Fraksi
pada tanggal 17 dan 18 September 1973 yaitu dari Fraksi ABRI, Fraksi Karya
Pembangunan, Fraksi PDI, dan Fraksi Persatuan Pembangunan.
Saran – saran dan usul kepada DPR banyak juga disampaikan oleh
masyarakat. Jawaban Pemerintah diberikan oleh Menteri Agama pada tanggal 27
Desember 1973, Pemerintah mengajak para anggota DPR untuk mencari jalan
keluar dan agar supaya pencegahan persoalan yang belum terdapat persamaaannya
dapat ditempuh. Jawaban tersebut adalah
Pemerintah mengajak Dewan untuk memusyawarahkan hal - hal yang
belum kita temukan kesepakatannya melalui musyawarah untuk mufakat. Apalagi
kalau hal – hal tersebut dianggap sangat erat hubungannya dengan keimanan dan
ibadah, untuk dapat dijadikan rumusan yang dimufakati. Melihat keinginan dan
kesedian para anggota Dewan untuk memusyawarahkan RUU Perkawinan ini
dengan baik, kita sama yakin, Dewan bersama – sama Pemerintah akan mampu
mengatasi segala perbedaan yang ada, dan aklan menghasilkan Undang – Undang
Perkawinan Nasional yang dicita – citakan oleh semua pihak.
Lobbying / pendekatan antara fraksi – fraksi anggota dalam DPR
dilakukan lebih intensif , terutama antara Fraksi ABRI dengan Fraksi Persatuan
Pembangunan. Di dalam DPR kemudian dibentuk sebuah Panitia Kerja yang
terdiri dari wakil – wakil fraksi untuk membicarakan secara mendalam asal usul
amandemen bersama Pemerintah ( Menteri Kehakiman dan Menteri Agama ).
Atas permintaan DPR dalam Panitia Kerja, Menteri Agama menguraikan soal –
soal agama yang berhubungan dengan perkawinan sebagai berikut.
2.12.1 Perkawinan Menurut Agama Hindhu
Perkawiwan menurut istilah Hindhu disebut wiwaha. Dalam perkawinan
itu diatur secara khusus dalam kitab undang – undang dalam agama Hindhuyang
disebut Menawa Dharma Satwa.Undang – undang itu sama dengan Weda yang
kedudukannya sebagai sumber hukum yang mengatur hubungan antara manusia.
Dalam buku – buku itu yang mencantumkan hukum – hukum perkawinan adalah
Perkawinan menurut agama Hindhu adalah sakral dan hanya sah bila
sudah dilakukan menurut agama tersebut. Perkawinan adalah untuk memenuhi
syarat sebagai sudah diterangkan dalam BAB IX, hal. 4 yaitu
Hendaknya orang tua mengawinkan anak perempuannya pada waktunya, karena
mereka yang tidak mengawinkan anak perempuannya pada waktunya, berdosalah
dia, sebab dipersalahkan sebagai pembunuh.
Tujuan perkawinan menuikut. rut agama Hindhu adalah untuk menolong
membebaskan arwah nenek moyang atau orang tuanya dari kawah neraka yang
disebut Put. Oleh karena itu anak yang dilahirkan dari keluarga disebut Putra,
yang artinya membebaskan arwah orang tua dari kawah Putih itu.
Penjelasan mengenai perkawinan menurut agama Budha diambil dari kitab
Tripittaka. Buku ini tidak mengupas perkawinan secara tegas dan isi pokok dari
buku ini adalah di sekitar masalah etika dan filsafat. Dan Budhisme di Indonesia
adalah sangat fleksibel karena selalu mengadaptir adat – adat yang hidup dalam
masyarakat.
2.12.3 Perkawinan Menurut Agama Kristen dan Katolik
Perkawinan menurut agama Kristen dan Katolik adalah secara doktriner
dan untuk ini diambil dari dua bahan yaitu Kitab Perjanjian Lama dan Kitab
Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama Perkawinan adalah gambaran dan tiruan
dari bimbingan Tuhan. Suami istri dibangkit menampakkan menghadiahkan cinta
kasih Tuhan dalam hidup cinta mereka. Dalam Perjanjian Baru Perkawinan
seorang Kristen adalah suatu ikatan cinta kasih tetap dan taat yang
menggambarkan, melahirkan dan mewujudkan cinta Kristus dengan gereja – Nya.
2.12.4 Perkawinan Menurut Agama Islam
Perkawinan adalah sunah Nabi yaitu mencontoh tindak laku Nabi
Muhammad SAW. Oleh karena itu bagi pengikut Nabi Muhammad SAW yang
baik mereka harus kawin. Selain mencontoh tindak laku Nabi Muhammad SAW,
juga perkawinan itu merupakan kehendak kemanusiaan, kebutuhan rohani dan
kebutuhan jasmani.
Perkawinan disyaratkan supaya manusia mempunyai keturunan dan
keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat, di bawah
naungan cinta kasih dan rida Illahi. Dalam hal ini menurut Menteri Agama ada
perbedaan antara agama Islam dengan agama Katolik dan Kristen yaitu masalah
cerai dan poligami. Salah satu hal yang perlu kita ketahui adalah perbandingan
antara laki – laki dan perempuan yaitu bahwa orang perempuan itu adalah sebagai
jenis manusia yang paling memerlukan pertolongan dan perlindungan. Oleh
karena itu di kala perempuan itu kawin, ada dua hal yang paling di takuti yaitu
soal cerai dan poligami.
Dalam hal ini Menteri Agama mengibaratkan sebagai sebuah pesawat
terbang yang telah mempunyai peralatan navigasi yang serba komplit dengan
krunya yang cukup. Tetapi pesawat itu tidak diperkenankan terbang kalau tidak
dilengkapi dengan pintu darurat. Jadi, di samping pintu biasa, pesawat itu harus
memiliki pintu darurat. Oleh karena itu, kalau orang hendak keluar / masuk atau
naik pesawat terbang harus melalui pintu biasa, jangan melalui pintu darurat.
Kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa, maka pintu darurat itu dibuka, dan
ke sanalah dengan segala persiapan orang baru keluar dari pesawat terbang.
Sehubungan dengan hal itu Menteri Agama menyatakan poligami dan
cerai itu bukan suatu hal yang diperintahkan saja. Adanya cerai dan poligami itu
adalah seperti halnya perlu adanya pintu darurat bagi suatu pesawat terbang untuk
memperoleh izin mengarungi dirgantara. Selanjutnya, Menteri Agama mengajak
para anggota Dewan untuk mereka – reka pintu darurat itu dalam RUU
Perkawinan ini.
2.12.5 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974
Setelah mengalami perubahan atas usul amandemen yang masuk dalam
Panitia Kerja, maka RUU yang diajukan oleh Pemerintah itu pada tanggal 22
Desember 1973 disampaikan kepada Sidang Paripurna DPR untuk disahkan
menjadi Undang – Undang. Fraksi – fraksi dalam Dewan Perwakilan Rakyat yaitu
Fraksi ABRI, Fraksi Karya Pembangunan, Fraksi Persatuan Pembangunan dan
Demokrasi Indonesia mengemukakan pendapatnya ( stemmotivering ). Demikian
pula Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Kehakiman. Akhirnya pada hari itu
juga RUU Perkawinan yang pembicaraannya memakan waktu kurang lebih tiga
bulan lamanya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan pada tanggal 2
Januari 1974 diundangkan sebagai Undang – Undang No. 1 Tahun 1974
( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No. 1 , Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No. 3019 )

2.13 Pengaruh Agama terhadap Perkawinan


Kalau ada pengaruh suatu agama pada isi dan perkembangan suatu
peraturan hukum maka adalah layak apabila pengaruh agama yang nampak pada
hukum perkawinan dan kekeluargaan, demikian Dr. Wiryono Projodikoro dalam
Hukum Perkawinan Indonesia, hal. 18. Menurut KUH Perdata ( Pasal 26 ) undang
– undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata. Wiwaha
menurut agama Hindhu adalah pranata sosial yaitu kebiasaan yang dimuliakan.
Setiap perkwinan dipandang sebagai suatu ajalan untuk melepaskan derita orang
tuanya di waktu mereka telah meninggal. Kawin juga sebagai suatu darma,
diabadikan berdasarkan Weda, merupakan salah satu sarira samskara atau
pencucian badan melalui perkawinan ( Gede Puja, M.A., Sosilogi Hindhu
Darma ). Menurut Dr. J. Verkuyl ( dalam Etika Seksuil ), nikah bukan merupakan
sakramen ( Huwalijk is green sacrament, maat wordt gerekend onder de
berkelijkeceremonien ).
Hukum perkawinan Kristen mengakui bahwa nikah itu lembaga suci yang
asalnya dari Tuhan dan ditetapkan oleh – Nya untuk kebahagiaan masyarakat.
Karena itu negara wajib menetapkan supaya dicatat dan diakui secara yuridis,
pasal 1 HOCI De wet beshouwt het huwelijk allen in des zelfs burgerlijke
betrekkingen.
Perkawinan umat Katolik oleh Kristus dinaikkan menjadi sakramen. Tak
ada perbedaan antara perjanjian dan sakramen. Perjanjian adalah sakramen dan
sakramen adalah perjanjian. Lembaga sakramen atas perkawinan adalah ajaran
gereja ( Prof. Van der Moer c.s. De Katholieke Encyclopaedie ).
Menurut Islam perkawinan adalah perikatan suci ( heilige contract ) antara
pria dan wanita sesuai dengan yang telah ditentukan oleh Allah untuk hidup
bersama, guna mencapai masyarakat yang mulia. Dalilnya Q.S. An – Nisa’ ayat 21
“21. Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali , padahal kamu
telah bergaul satu sama lain ( sebagai suami dan istri ). Dan mereka ( istri –
istrimu ) telah mengambil pekerjaan yang kuat ( ikatan pernikahan ) dari kamu.”

2.14 Kedudukan Hukum Perkawinan dalam Agama Islam


Hukum perkawinan Islam pada dasarnya tidak hanya mengatur tatacara
pelaksanaan perkawinan saja, melainkan juga segala persoalan yang erat
hubungannya dengan perkawinan, misalnya hak – hak dan kewajiban suami istri,
pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan, cara – cara untuk memutuskan
perkawinan, pemeliharaan anak, pembagian harta perkawinan dan lain – lain.
Arti penting perkawinan bagi kehidupan manusia, khususnya orang Islam
antara lain sebagai berikut.
2.14.1 Dengan melakukan perkawinan yang sah dapat terlaksana pergaulan
hidup manusia baik secara individual maupun kelompok antara pria dan
wanita secara terhormat dan halal, sesuai dengan kedudukan manusia
sebagai makhluk yang terhormat di antara makhluk – makhluk Tuhan
yang lain.
2.14.2 Dengan melaksanakan perkawinan dapat terbentuk suatu rumah tangga
dimana dalam kehidupan rumah tangga dapat terlaksana secara damai
dan tentram suami istri.
2.14.3 Dengan melaksanakan perkawinan yang sah, dapat
diharapkan
memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat
sehingga
kelangsungan hidup dalam keluarga dan keturunannya
dapat
berlangsung terus secara jelas dan bersih.
2.14.4 Dengan terjadinya perkawinan, maka timbullah sebuah keluarga yang
merupakan inti dari pada hidup bermasyarakat, sehingga yang teratdapat
diharapkan timbul suatu kehidupan masyarakat yang teratur dan berada
dan berada dalam suasana damai.
2.12.5 Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti ketentuan – ketentuan yang
telah diatur dalam al – Qur’an dan Sunnah Rasul adalah merupakan salah
satu ibadah bagi umat Islam.

2.15 Kedudukan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia


Dengan berlakunya Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, maka teori resepsi seperti yang diajarkan di Zaman Hindia Belanda
menjadi hapus dengan sendirinya. Teori resepsi adalah teori yang menyatakan
bahwa hukum Islam baru berlaku di Indonesia untuk penganut agama Islam,
apabila sesuatu hukum Islam telah menyata – nyata diresepsi oleh Hukum Adat.
Adanya pasal – pasal tertentu dalam Perkawinan ini menghilangkan keragu –
raguan untuk menerima dalil bahwa Hukum Islam telah berlangsung menjadi
sumber hukum tanpa memerlukan bantuan atau peraturan Hukum Adat.
Di samping pendapat tersebut di atas, ada juga pendapat yang
dikemukakan sebetulnya teori resepsi itu baik sebagai teori maupun sebagai
ketetapan dalam pasal 134 ayat ( 2 ) Indische Staatsregeling telah terhapus dengan
berlakunya Undang – Undang Dasar 1945.
Hal ini bisa kita lihat dalam Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat
( 2 ) yang memuat ketentuan negara menjamin kemerdekaan tiap – tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing – masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu. Dari ketentuan Pasal 29 ayat ( 2 ) tersebut di
atas, maka pemerintah berhak untuk mengatur persoalan – persoalan tertentu
berdasarkan Hukum Islam, sejauh mana peraturan – peraturan itu diperuntukkan
bagi warga negara yng beragama Islam. Jadi berlakunya Hukum Islam bagi warga
negarau belum. Indonesia yang beragama Islam tidak usah melihat apakah hukum
Islam telah menjadi hukum adat atau belum.
Mengenai berlakunya Hukum Islam di Indonesia dengan berlakunya
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaannya, apabila
ditinjau secara sepintas dapat dianggap tidak berlaku lagi, , karena dengan
berlakunya peraturan perundang – undangan tersebut di atas, maka sejak 1
Oktober 1975 hanya ada satu peraturan perkawinan yang berlaku untuk seluruh
warga negara Indonesia tanpa melihat golongannya masing – masing. Hal ini
dengan tegas disebut dalam Pasal 66 Undang – Undang Perkawinan yang
menentukan bahwa dengan berlakunya Undang – Undang ini maka ketentuan –
ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang – Undang ini, maka ketentuan –
ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk
Wetboek ), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen ( Huwelijk Ordonatie
Christen Indonesia Kristen ( Huwelijk Ordonantie Christen Indonesier Stb. 1933
November. 74 ), Peraturan Ordonantie Campuran, Gereling op Desember
Gemegde Huwelijk Stb. 1898 November. 158, dan peraturan – peraturan lain yang
mengatur tentang perwakinan sejauh telah diatur dalam Undang – Undang ini,
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Anggapan yang menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang – Undang
Perkawinan ini, hukum perkawinan Islam tidak berlaku lagi adalah tidak tepat,
sebab menurut ketentuan dalam Pasal 66 tersebut di atas yang dianggap tidak
berlaku lagi adalah tidak tepat, sebab menurut ketentuan dalam Pasal 66 tersebut
di atas yang dianggap tidak berlaku bukanlah peraturan – peraturan tersebut di
atas secara keseluruhan melainkan hanyalah hal – hal yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang – Undang Perkawinan ini, dalam
hal yang belum atau tidak diatur dalam Undang – Undang ini masih tetap berlaku.
Di samping ketentuan – ketentuan tersebut di atas tentang masih tetap
berlakunya hukum Perkawinan Islam bagi mereka yang beragama Islam, secara
tegas disebutkan dalam Pasal 2 ayat ( 1 ) Undang – Undang Perkawinan yang
menentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing – masing agamanya dan kepercayaannya. Dengan demikian maka hal –
hal yang belum diatur dan tidak bertentangan dengan Undang – Undang
Perkawinan supaya sah harus dilaksanakan menurut ketentuan hukum perkawinan
Islam.
Dengan demikian, maka Pasal 2 ayat ( 1 ) Undang – Undang Perkawinan
ini dapat dipakai sebagai dasar hukum berlakunya hukum Perkawinan Islam di
Indonesia sebagai peraturan – peraturan khusus di samping peraturan umum yang
telah diatur dalam Undang – Undang Perkawinan, untuk WNI yang beragama
Islam di Indonesia sebagai peraturan – peraturan umum yang telah diatur dalam
Umdang – Undang Perkawinan, untuk warga negara Indonesia yang beragama
Islam.

2.16 Positivisasi Hukum Perkawinan Islam


Kelahiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menurut Hazairin dan Mahadi merupakan ajal atau kematian teori receptie. Karena
Pasal 2 ayat ( 1 ) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan tegas
menyatakan bahwa "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dalam hal ini
menurut Daud Ali, bahwa sejak lahirnya undang-undang perkawinan nasional,
maka :
2.16.1 Hukum Islam menjadi sumber hukum yang langsung tanpa harus melalui hukum
adat dalam menilai apakah perkawinan sah atau tidak.
2.16.2 Hukum Islam sama kedudukannya dengan hukum adat dan
hukum Barat.
2.16.3 Negara Republik Indonesia dapat mengatur suatu masalah sesuai
dengan hukum Islam sepanjang pengaturan itu untuk memenuhi kebutuhan
hukum umat Islam.
Selanjutnya berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10
Juni 1991 diberlakukan KHI. KHI diberlakukan di lingkungan peradilan agama di
Indonesia yang berfungsi sebagai petunjuk dalam memeriksa, mengadili dan
memutuskan perkara-perkara yang berhubungan dengan keperdataan orang-
orang Islam. Kompilasi Hukum Islam tidak dihasilkan melalui proses
legislasi Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana peraturan dan perundang-
undangan lainnya yang dijadikan sebagai hukum positif, tetapi merupakan hasil
diskusi para ulama yang digagas oleh Mahkamah Agung dan Departemen
Agama yang melibatkan berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia beserta
komponen masyarakat lainnya.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang menurut Hazairin dan Mahadi merupakan ajal bagi kematian teori receptie
karena dengan berlakunya UU ini menjadikan hukum Islam secara otomatis
berlaku tanpa harus melalui hukum adat. Setelah berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini kemudian diikuti dengan
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
yang menandakan hukum Islam telah mendapat tempat tersendiri dalam Negara
Republik Indonesia, walaupun baru di bidang perkawinan, kewarisan dan per-
wakafan yang dikuatkan dengan Kompilasi Hukum Islam dengan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Jo Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 154
Tahun 1991.
Perkembangan positivisasi hukum Islam di Indonesia mengalami pasang
surut sesuai dengan kebijakan politik dan hukum yang diterapkan. Pada masa pen-
ajahan Belanda, hukum Islam diakui sebagai hukum positif dengan diterapkanya
teori receptio in complexu namun kemudian ditentang oleh teoi receptie. Pada
masa Jepang keadaan tidak banyak berubah karena singkatnya Jepang menguasai
Indonesia. Pada masa Orde Lama hukum Islam belum mengalami perbaikan,
bahkan berada pada kondisi yang suram. Pada masa Orde Baru pemerintah juga
memperketat pengawasan terhadap aktifitas gerakan politik Islam, namun
kondisinya mulai membaik dengan lahirnya Undang –Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang juga menjadi akhir dari teori resepsi. Pada masa re-
formasi, hukum Islam mulai berkembang pesat ditandai dengan banyaknya
hukum Islam menjadi hukum positif bahkan di Provinsi Aceh sekarang telah
diberlakukan syariat Islam.lo
Positivisasi hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional memiliki dua
bentuk yaitu, pertama hukum Islam tidak bisa diberlakukan dalam lingkup na-
sional karena kondisi pluralitas bangsa Indonesia, namun hukum Islam dapat
menjadi salah satu sumber nilai dalam penyusunan hukum nasional. Kedua, hukum
Islam dapat menjadi hukum positif yang berlaku bagi umat Islam melalui proses
legislasi yang sah seperti bidang muamalah atau hukum privat. Positivisasi
hukum Islam memiliki prospek yang cerah karena era reformasi yang demokratis
memiliki karakter hukum responsif, sistem hukum Barat/ Kolonial sudah tidak
berkembang, jumlah penduduk mayoritas beragama Islam, politik pemerintah
yang mendukung berkembangnya hukum Islam, dan hukum Islam menjadi salah
satu sumber bahan baku dalam pembentukan hukum nasional di samping hukum
adat dan hukum Barat / Kolonial.
Hukum perkawinan ( munakahat ) dalam Agama Islam mempunyai
kedudukan yang sangat penting, oleh karena itu peraturan tentang perkawinan
sebagaimana telah dibahas di muka diatur dan diterangkan dengan jelas dan
terperinci. Hukum perkawinan Islam pada dasarnya tidak hanya mengatur tata
cara pelaksanaan perkawinan saja melainkan juga mengatur segala persoalan
yang erat hubungannya dengan perkawinan. Misalnya: hak-hak dan kewajiban
suami- istri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan, cara-cara untuk
memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan sesudah putusnya
perkawinan dan lain-lain. Adapun arti pentingnya perkawinan bagi kehidupan
manusia pada umumnya dan khususnya bagi orang Islam adalah sebagai berikut:
2.16.1 Dengan melaksanakan perkawinan perkawinan yang sah dapat
terlaksana pergaulan hidup manusia baik secara indi idual maupun kelompok
antara pria dan wanita secara terhormat dan halal, sesuai dengan kedudukan
manusia sebagai makhluk yang terhormat di antara makhluk-makhluk Tuhan yang
lain.
2.16.2 Dengan melaksanakan perkawinan dapat terbentuk satu rumah tangga
dimana kehidupan dalam rumah tangga dapat terlaksana secara damai dan
tenteram serta kekal dengan disertai rasa kasih sayang antara suami-isteri.
2.16.3 Dengan melaksanakan perkawinan yang sah dapat diharapkan
memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga kelangsungan
hidup dalam keluarha dan keturunannya dapat berlangsung terus secara jelas dan
bersih.
2.16.4 Dengan terjadinya perkawinan maka timbullah sebuah keluarga yang
merupakan inti dari hidup bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan timbulnya
satu kehidupan masyarakat yang teratur dan berada dalam suasana damai.
2.16.5. Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti ketentuan - ketentuan yang
telah diatur dalam al-Quran dan Sunnah Rasul merupakan salah satu ibadah
bagi umat Islam."
Sebagaimana hukum perkawinan yang tertuang dalam Buku I
KUHPerdata yang mengenal asas - asas hukum perkawinan. Islam juga
mengenal adanya asas - asas dan prinsip - prinsip hukum perkawinan, yaitu seb-
agai berikut:
2.16.1 Pada dasarnya setiap perkawinan harus ada persetujuan secara suka rela
dari pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan. Caranya ialah dengan
diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah
pihak sudah setuju untuk melaksanakan perkawinan atau belum.
2.16.2 Pada dasarnya seorang pria tidak dapat mengawini setiap wanita sebab ada
ketentuan larangan - larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus
diindahkan.
2.16.3 Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan
tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan
dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
2.16.4 Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga / rumah tangga
yang tenteram, damai dan kekal untuk selama-lamanya.
2.16.5 Hak dan kewajiban suami isteri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana
tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Simpulan dalam makalah ini adalah Kata perkawinan menurut istilah
hukum Islam sama dengan kata “ nikah “ dan kata “ zawaj “. Nikah menurut
bahasa mempunyai arti sebenarnya ( haqiqat ) yakni “ dham “ yang berarti
menghimpit, menindih, atau berkumpul. Nikah mempunyai arti kiasan yakni “
wathaa” yang berarti “ setubuh “ atau “ aqad “ yang berarti mengadakan
perjanjian pernikahan. Dalam kehidupan sehari – hari, nikah dalam arti kiasan
lebih banyak dipakai dalam arti sebenarnya jarang sekali dipakai saat ini.
Menurut Mahmud Yunus merumuskan bahwa perkawinan
adalah aqad
antara calon laki istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang
diatur oleh
syariat. Aqad adalah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya
dari kabul
dari calon suami atau wakilnya.
Menurut Imam Al – Ghazali, dalam Ihyahnya tentang faedah
melasungkan perkawinanan, maka tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan
menjadi lima yaitu :
3.1.1 Mendapatkan dan melasungkan perkawinanan.
3.1.2 Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya.
3.1.3 Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
3.1.4 Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
dan kewajiban , juga bersungguh – sungguh untuk memperoleh harta kekayaan
yang halal.
3.1.5 Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tentram
atas dasar cinta dan kasih sayang.
Undang – Undang Republik Indonesia tentang Perkawinan
3.1.1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3.1.2 Peraturan Pemerintah ( PP ) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang – Undang No. 1 Tahun 1974
3.1.3 Peraturan Menteri Agama ( PMA ) No. 3 Tahun 1975 dan No. 4 Tahun
1975 diganti dengan PMA No. 2 Tahun 1990 tentang Tata Cara
Pencatatan Perkawinan dan Perceraian
3.1.4 Peraturan Menteri Dalam Negeri ( Mendagri ) No. 221a Tahun 1875
tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian Pada Kantor Catatan
Sipil.
3.1.5 Peraturan Pemerintah ( PP ) No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil ( PNS )
3.1.6 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
3.1.7 Peraturan Pemerintah ( PP ) No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan PP
No. 10 Tahun 1983
3.1.8 Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Intruksi Penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam

3.2 Saran
Saran dalam makalah ini adalah
3.2.1 Menikahlah jika sudah mampu untuk menafkahi istri dan anak.
3.2.2 Berpuasalah jika memiliki nafsu yang besar.
3.2.3 Jangan pernah melakukan zina.

Anda mungkin juga menyukai