Anda di halaman 1dari 14

Hukum Islam

PERCERAIAN
 
A.      Pendahuluan
Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada perceraian tanpa adanya
perkawinan terlebih dahulu. Perkawinan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria
dan wanita sebagai suami isteri, sedangkan perceraian merupakan akhir dari kehidupan
bersamasuami isteri tersebut.Setiap orang menghendaki agar perkawinan yang dilakukannya
tetap utuh sepanjang masa kehidupannya. Tetapi tidak sedikit pulaperkawinan yang dibina
dengan susah payah itu berakhir dengan sebuah perceraian. Tidak selalu perkawinan yang
dilaksanakan itu sesuai dengan cita-cita, walaupun sudah diusahakan semaksimal mungkin
dengan membinanya secara baik, tetapi pada akhirnya terpaksa mereka harus berpisah dan
memilih untuk membubarkan perkawinan.
Islam telah memberikan ketentuan tentang batas-batas hak dan tanggung jawab bagi
suami isteri supaya perkawinan berjalan dengan sakinah, mawaddah, dan rahmah. Bila ada di
antara suami isteri berbuat di luar hak dan kewajibannya maka Islam memberi petunjuk
bagaimana cara mengatasinya dan mengembalikannya kepada yang hak. Tetapi bila dalam suatu
rumah tangga terjadi krisis yang tidak lagi dapat diatasi, maka Islam memberikan jalan keluar
berupa perceraian. Meskipun perceraian itu merupakan perbuatan yang halal, namun Allah
sangat membenci perceraian tersebut.
Di dalam makalah ini akan dijelaskan hal-hal yang berkenaan dengan perceraian tersebut
baik itu dari sudut pandang hukum Islam (fiqih), maupun dari sisi peraturan perundang-
undangan positif yang telah berlaku sehubungan dengan persoalan ini. Hal-hal yang penulis
maksud adalah berkaitan dengan perceraian sebagai bentuk putusnya perkawinan,
pengembangan dari makna putusnya perkawinan tersebut, serta kewenangan lembaga peradilan
terhadap putusnya perkawinan itu.
Namun perlu penulis jelaskan bahwa di dalam memaparkan sebab-sebab putusnya
perkawinan dilihat dari aspek hukum Islam (Fiqih Munakahat), penulis tidak menjelaskan hal
tersebut secara rinci dan mendasar sebagaimana yang terdapat pada kajian Fiqih Munakahat, hal
ini disebabkan karena pemaparan tentang sebab-sebab putusnya perkawinan menurut Hukum
Islam tersebut adalah bertujuan untuk memberikan perbandingan terhadap sebab-sebab putusnya
perkawinan sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan hukum positif
yang telah berlaku, sehingga dengan demikian penulis hanya menjelaskannya secara umum saja.

B.       Pengembangan Makna Putusnya Perkawinan


1.      Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Islam
Menurut hukum Islam, perkawinan itu dapat putus karena beberapa sebab, antara lain
karena adanya thalaq dari suami, karena adanya putusan hakim, dan karena putus dengan
sendirinya (karena kematian). Di dalam makalah ini, putusnya perkawinan karena kematian tidak
akan penulis uraikan lebih lanjut karena putusnya perkawinan disebabkan kematian dapat
dimaklumi karena merupakan kehendak Allah SWT.
Adapun yang menyebabkan putusnya perkawinan sebagaimana yang penulis sebutkan di
atas adalah sebagai berikut:
a.    Putusnya Perkawinan Karena Thalaq.
Kata Thalaq diambil dari kata ithlaq yang berarti melepaskan atau menanggalkan[1] atau
secara harfiah berarti membebaskan seekor binatang. Ia dipergunakan dalam syari’ah untuk
menunjukkan cara yang sah dalam mengakhiri sebuah perkawinan. Meskipun Islam
memperkenankan perceraian jika terdapat alasan-alasan yang kuat baginya, namun hak itu hanya
dapat dipergunakan dalam keadaan yang mendesak.

Menurut Muhammad Ismail al-Kahlani, Thalaq adalah:


‫ حل الو ثاقمشتق من االطالق وهو االرسالوالترك‬: ‫الطالق‬
“Thalaq menurut bahasa yaitu membuka ikatan, yang diambil dari kata ithlaq yaitu
melepaskan, menanggalkan”
Sedangkan menurut Wahbah Zuhaily, Thalaq ialah :
‫الطالق لغة حل القيد واالطالق‬
“Thalaq menurut bahasa ialah membuka ikatan atau melepaskan”.
Sementara itu Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa thalaq itu dapat dipahami sebagai
berikut :
“Thalaq menurut istilah syarak ialah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya
hubungan perkawinan”
Maksudnya ialah bahwa ikatan perkawinan itu akan putus dan berakhirnya hubungan
suami isteri dalam rumah tangga apabila suami menjatuhkan thalaq kepada isterinya.
Memperhatikan beberapa pengertian Thalaq  di atas baik secara bahasa maupun istilah
dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan thalaq adalah melepaskan atau
mengakhiri ikatan perkawinan antara suami dan isteri dengan ucapan atau dengan tata cara yang
ditetapkan.
Setelah ikatan perkawinan itu diangkat atau dilepaskan maka isteri tidak halal lagi bagi
suaminya. Hal ini terjadi bila suami melaksanakan thalaq ba’in. Tapi apabila suami
melaksanakan thalaq raj’i maka hak thalaq berkurang bagi suami, yang pada awalnya suami
memiliki hak menjatuhkan thalaq tiga kali, maka sekarang menjadi dua dan menjadi satu.
Dengan kata lain thalaqraj’i adalah mengurangi pelepasan ikatan perkawinan.
Islam menentukan bahwa thalaq merupakan hak sepenuhnya yang berada ditangan
suami.Dengan demikian menurut pandangan fikih klasik, suami boleh
menjatuhkan thalaq kepada isterinya kapan saja dan dimana saja. Hal ini sesuai denagan Hadits
Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-'Arba'ah kecuali al-Nasa'isebagai berikut:
‫ال ثالث‬R‫لم ق‬R‫ه وس‬R‫لى هللا علي‬R‫ول هللا ص‬R‫ه أن رس‬R‫ي هللا عن‬R‫عن أبي هريرة رض‬
‫ائي‬RR‫ة إال النس‬RR‫ة (رواه األربع‬RR‫اح والطالق والرجع‬RR‫د النك‬RR‫زلهن ج‬RR‫د وه‬RR‫جدهن ج‬
)‫وصححه الحاكم‬
"Dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Ada tiga perkara sungguh-
sungguh dalam tiga perkara itu menjadi sungguh-singguh dan main-main menjadi sungguh-
sungguh, yaitu nikah, thalaq, dan rujuk " (diriwayatkan oleh al-Arba'ah kecuali al-Nasa'I dan di-
shahih-kan oleh Hakim).
Hal-hal yang menyebabkan suami mempunyai wewenang dalam
menjatuhkan thalaq kepada isterinya adalah karena suami diberi beban membayar mahar dan
menyelenggarakan nafkah isteri dan anak-anaknya. Demikian pula suami diwajibkan menjamin
nafkah bekas isterinya selama ia menjalani masa 'iddah. Disamping itu suami pada umumnya
tidak mudah terpengaruh oleh emosi terhadap masalah yang dihadapinya dan senantiasa
mempertimbangkan segala persoalan melalui pikirannya.Berbeda dengan wanita yang sangat
mudah dipengaruhi emosi dalam menghadapi berbagai kemelut, termasuk kemelut Rumah
Tangga. Oleh karena itu jika hak thalaq diberikan kepada isteri maka keutuhan rumah tangga
akan sering goyah. Disebabkan karena masalah kecil saja dapat  menyebabkan isteri
menjatuhkan thalaq-nya, sesuai dengan tuntutan emosi mereka.
b.    Putunya perkawinan karena Khulu’
Khulu’ berasal dari kata “khulu’ al-tsaub” yang berarti melepaskan atau mengganti
pakaian pada badan, karena seorang wanita adalah pakaian bagi laki-laki, dan juga
sebaliknya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 187.
Sama dengan hak yang diberikan bagi suami untuk menceraikan isterinya, maka si isteri
juga dapat menuntut cerai jika ada cukup alasan baginya. Jika suami berlaku kejam, maka isteri
dapat meminta cerai (khulu’) dan tidak dipaksa menerima perlakuan yang sekiranya tidak patut
baginya.
Khulu’ adalah salah satu bentuk perceraian dalam Islam yang berarti menghilangkan atau
mengurungkan akad nikah dengan kesediaan isteri membayar uang ‘iwadhatau uang pengganti
kepada suami dengan menggunakan pernyataan cerai atau khulu’. Bila terjadi cerai dengan
cara khulu’ maka suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada isterinya. Dari tinjauan
sighat, khulu’ mengandung pengertian “penggantungan” dan ganti rugi oleh pihak isteri.
Perceraian akan terjadi bila isteri telah membayar sejumlah yang disyaratkan suami.[9]
Perceraian yang disebabkan khulu’ adalah merupakan thalaq ba’in. Maka bila suami
telah melakukan khulu’terhadap isteri, suami tidak berhak untuk ruju’ kembali kepada isteri
sekalipun isteri rela menerima kembali uang iwadh  yang telah dibayarkannya. Jika isteri bersedia
kembali bekas suaminya tersebut ruju’ kepadanya, maka suami harus melakukan akad nikah
kembali dengan melengkapi rukun dan syaratnya.
c.    Putusnya perkawinan karena Fasakh
Fasakh menurut bahasa berarti memisahkan atau memutuskan. Adapun
pengertian fasakhmenurut istilah adalah memutuskan akan nikah karena ada sebab yang nyata
dan jelas yang menghalangi kelestarian hubungan suami isteri.[10]Thalaq adalah hak
suami, khulu’ merupakan hak isteri, sementara fasakh merupakan hak bagi keduanya. Bila
sebab fasakhada pada isteri, maka hak fasakh ada pada suami, dan begitu juga sebaliknya.
Perceraian dalam bentuk fasakh termasuk perceraian dalam proses peradilan. Hakimlah
yang memberikan keputusan tentang berlangsungnya perkawinan, atau terjadinya perceraian
karena itu pihak penggugat dalam perkara fasakh haruslah mempunyai alat-alat bukti yng
lengkap, sehingga dengan alat bukti tersebut dapat menimbulkan keyakinan bagi hakim yang
menyidangkan perkara tersebut.
Fasakh biasanya timbul apabila pihak suami atau isteri merasa dirugikan oleh
pasangannya itu, merasa tidak memperoleh hak-hak sesuai yang ditentukan agama sebagai
seorang suami atau isteri. Akibatnya salah seorang dari keduanya tidak lagi sanggup melanjutkan
perkawinan karena keharmonisan rumah tangga tidak lagi ada dan tidak mungkin untuk
mewujudkan perdamaian sehingga fasakh ini perlu ditempuh.
Pada dasarnya fasakh adalah hak bagi suami dan juga isteri, namun dalam praktek sehari-
hari hak fasakh ini lebih banyak dimanfaatkan oleh isteri. Barangkali karena suami lebih banyak
menggunakan hak thalaq yang ditentukan agama.
d.   Putusnya perkawinan karena Li’an
Li’an secara etimologi berarti laknat atau kutukan. Sementara secara terminologi adalah
sumpah yang diucapkan oleh suami ketika menuduh isterinya berzina dengan empat kali sumpah
dan menyatakan bahwa dia adalah termasuk orang yang benar dalam tuduhan, dan pada sumpah
kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima laknat/kutukan Allah jika ia dusta dalam
tuduhannya. Bila suami melakukan li’an kepada isterinya, sedangkan isterinya tidak menerima,
maka isteri boleh melakukan sumpah li’an juga terhadap suaminya.
Sehingga dengan demikian dipahami bahwa suami isteri saling menyatakan bersedia
dilaknati oleh Allah setelah masing-masing suami isteri mengucapkan persaksian empat kali oleh
diri sendiri yang dikuatkan dengan sumpah masing-masingnya, karena salah satu pihak
bersikeras menuduh pihak yang lain melakukan zina, atau suami tidak mengakui anak yang
dikandung/dilahirkan oleh isterinya sebagai anaknya sendiri, dan pihak isteri bersikeras pula
menolak tuduhan suami sedang mereka tidak memiliki alat bukti yang diajukan kepada hakim.
e.    Putusnya perkawinan karena Syiqaq
Syiqaq artinya adalah perselisihan yang terus menerus antara suami dan isteri. Bila ini
terjadi maka diadakanlah dua utusan sebagai pendamai antara pihak suami dan isteri setelah fase-
fase menasehati, memisahkan tempat tidur, dan memukul isteri sebagai upaya mendidik menuju
perdamaian rumah tangga yang tak kunjung berhasil. Hal ini berdasarkan firman Allah Q.S. An-
Nisa : 35
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang
hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri
itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”  (Q.S. An-Nisa : 35)

Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa bila keutuhan rumah tangga suami
isteri terancam karena pertengkaran yang tak mungkin diatasinya maka perlu diadakan juru
damai dari kedua belah pihak. Sekiranya hal ini masih juga tidak membuahkan hasil maka
persoalannya wajar ditangani oleh hakim untuk memberi putusan setelah pihak-pihak pendamai
tidak berhasil mendamaikannya.
f.     Putusnya perkawinan karena Ila’
Ila’ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa
Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni
suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu
isteri tidak di-thalaq ataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut,
yang menderita adalah pihak isteri karena keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan.
Berdasarkan Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat diperoleh ketentuan bahwa:
1)      Suami yang meng-ila’ isterinya batasnya paling lama hanya empat bulan.
2)      Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup sebagai suami-isteri atau
menthalaqnya.
Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan dengan isterinya, hendaklah ia
menebus sumpahnya dengan denda atau kafarah. Kafarah sumpah ila’ sama dengan kafarah
umum yang terlanggar dalam hukum Islam. Denda sumpah umum ini diatur dalam Al-Quran
surat Al-Maidah ayat 89, berupa salah satu dari empat kesempatan yang diatur secara berurutan,
yaitu:
1)   Memberi makan sepuluh orang miskin menurut makan yang wajar yang biasa kamu berikan
untuk keluarga kamu, atau
2)   Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
3)   Memerdekakan seorang budak, atau kamu tidak sanggup juga maka
4)   Hendaklah kamu berpuasa tiga hari.

g.    Putusnya perkawinan karena Zihar


Salah satu perceraian antara suami isteri yang merupakan wewenang hakim untuk
menetapkan putusnya yakni bila suami menyatakan kepada isterinya bahwa isterinya itu
disamakan dengan ibunya sendiri. Zhihar adalah salah satu bentuk perceraian di zaman
jahiliyyah, bila suami tidak menyukai isterinya lagi dan juga tidak menginginkan isterinya itu
kawin dengan laki-laki lain sekiranya isterinya telah diceraikannya. Dengan datangnya aturan
Islam zhihar itu tidak lagi dibenarkan, karena menzhihar isteri dengan menyamakannya dengan
ibu berarti mengucapkan perkataan dusta dan mungkar. Suami yang terlanjur menzhihar isterinya
agar menarik kembali zhihar-nya dengan diwajibkan membayar kafarat(denda) dengan
memerdekakan seorang budak sebelum melakukan hubungan suami isteri. Jika suami tidak
mampu memerdekakan budak hendaklah ia berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika juga tidak
mampu maka hendaklah ia memberi makan 60 orang miskin. Hal ini berdasarkan firman Allah
SWT
Q.S Al-Mujadalah ayat : 3 dan 4 :
3. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa
yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
4. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya)
memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat
pedih.(Q.S. Al-Mujadalah : 3-4)

Sekiranya suami tidak ingin kembali lagi kepada isterinya, agar isterinya tidak terkatung-
katung maka suami diberi waktu 4 (empat) bulan untuk menentukan apakah ia akan kembali
kepada isterinya dengan membayar kafarat ataukah akan menceraikan isterinya, maka dalam hal
ini isteri berhak mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan. Dengan demikian hakim dapat
mengabulkan gugatan isteri  bila terbukti kebenarannya.
2.      Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
Berlakunya Undang-Undang Perkawinan secara efektif yaitu
UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 tanggal 1 Oktober 1975 memberikan arti bahwa
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu berlaku sebagai hukum positif untuk
perkawinan beserta segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, termasuk perceraian
atau putusnya perkawinan. Oleh karena itu, “bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk
kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian pula bagi orang Kristen, Hindu,
maupun Budha”.[11]
Khusus tentang putusnya perkawinan, Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan
bahwa “Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian, b. Perceraian, dan c. Atas Keputusan
Pengadilan. Sementara pada pasal 39 disebutkan bahwa : “1. Perceraian hanya dapat dilakukan
di depan sidang Pengadilan setelan Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak. 2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan. Bahwa
di antara suami isteri tersebut tidak dapat hidup rukun sebagai suami isteri. 3. Tatacara
Perceraian di depan Sidang Pengadilan diatur dalam perundang-undangan tersndiri”.
Selanjutnya untuk membedakan perceraian yang tercantum pada huruf b pasal 38 UU No.
1 Tahun 1974 dengan perceraian atas putusan Pengadilan sebagaimana yang terdapat pada poin
c, dijelaskan oleh Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yakni sebagai berikut :
“Peraturan Pemerintah ini menggunakan istilah “cerai Thalaq” untuk membedakan
pengertian percerain yang dimaksudkan  oleh pasal 38 huruf b dengan pengertian perceraian atas
keputusan Pengadilan yang dimaksud pasal tersebut huruf c. Untuk yang terakhir ini digunakan
istilah “cerai gugatan”, dengan penjelasan Peraturan Pemerintah tersebut dapat dimaklumi bahwa
perceraian yang disebutkan pada huruf b pasal 38 UU Perkawinan adalah “cerai thalaq”, yakni
perceraian yang dilakukan atas kehendak suami terhadap isterinya. Untuk mendapatkan bukti
otentik perceraian thalaq tersebut perlu diajukan ke Pengadilan sekaligus untuk mengetahui
alasan-alasan yang memungkinkan untuk itu. Sedangkan perceraian atas keputusan Pengadilan
sebagaimana huruf c pasal 38 tersebut maksudnya adalah cerai gugatan, yakni pengadilan
menjatuhkan keputusan cerai terhadap suami isteri yang telah melaksanakan perkawinannya atas
atau berdasarkan gugatan salah satu pihak (suami-isteri).
Selanjutnya dari segi pelaksanaannya untuk masing-masing cerai tersebut sesuai dengan
ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut :
a.       Cerai Thalaq
Ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam, yang sampai sekarang masih belum dapat
diterima oleh sebahagian umat Islam di Indonesia, adalah ketentuan yang terdapat pada pasal
115, yaitu: "Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak".
Hal itu disebabkan karena dalam formulasi fiqih yang menjadi rujukan mayoritas umat
Islam di Indonesia, tidak ada pengaturan seperti itu.Bahkan thalaq dengan sindiran saja di luar
Pengadilan Agama juga dianggap telah jatuh.
Selanjutnya, dalam peraturan perundang-undangan juga diatur mengenai tata cara
menjatuhkan thalaq. Jika dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan baik
mengenai hukum formil maupun materil, antara lain undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan, Undang-undang No. 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama, dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam, maka tata cara menjatuhkan thalaq tersebut adalah sebagai berikut:
Suami yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama
dalam hal ini Pengadilan Agama di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia
bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada
Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Hal ini dijelaskan pada Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 14, undang-undang N0.7 Tahun 1989 pasal 66 dan pasal 129
Kompilasi Hukum Islam. Selanjutnya Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat itu
dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil suami isteri tersebut untuk
diadakan pemeriksaan seperlunya. Dan secara praktis pihak suami disebut pemohon dan pihak
isteri disebut termohon. Ketentuan terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal
15, undang-undang nomor 7 tahun 1989 pasal 68 dan pasal 131 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam.
Namun demikian pihak tersebut disebut pemohon dan termohon, substansinya sama dengan
perkara Contentius dan bukan perkara Volunter, sehingga pihak isteri (termohon) tetap dianggap
lawan perkara bagi pihak suami (pemohon).
Dalam setiap kesempatan sebelum terjadinya thalaq, pengadilan harus selalu berusah
untuk mendamaikan suami isteri dan berusaha agar maksud mengadakan perceraian tidak jadi
terlaksana. Dalam usaha mendamaikan tersebut pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang
yang di pandang perlu ada suatu badan penasehat, seperti BP4 (Badan Penasehat Perkawinan,
Perselisihan, dan Perceraian) atau badan lain untuk memberi nasehat kepada suami isteri
tersebut. Hal ini diatur dalam pasal 82 ayat 1 undang-undang nomor 7 tahun 1989.Apabila
pengadilan telah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan
telah cukup alasan seperti tersebut di atas maka pengadilan menjatuhkan putusan yang isinya
mengabulkan permohonan pemohon.Yaitu memberi izin kepada pemohon untuk
mengikrarkan thalaq terhadap pemohon (di muka sidang) dan terhadap putusan ini pihak isteri
boleh mengajukan banding dalam tenggang waktu 14 hari.
Apabila setelah tenggang waktu 14 hari itu termohon tersebut tidak mengajukan banding
maka putusan tersebut dinyatakan inkracht (mempunyai kekuatan hukum tetap).Setelah itu
pengadilan menentukan hari sidang guna menyaksikan ikrar thalaq dengan memanggil para
pihak (suami isteri atau wakilnya untuk hadir dimuka persidangan).Pada saat sidang inilah suami
atau wakilnya diperbolehkan untuk mengikrarkan thalaq terhadap isterinya. Sesaat setelah
ikrar thalaq diucapkan atau dibacakan, pengadilan menjatuhkan penetapannya yang isinya
bahwa perkawinan putus karena perceraian (thalaq) dan terhadap penetapan ini isteri tidak
berhak lagi mengajukan banding atau kasasi (pasal 70 jo pasal 71 Undang-undang nomor 7 tahun
1989). Jika isteri telah mendapat panggilan secara sah dan patut, tetapi tidak datang menghadap
sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan
ikrar thalaq tanpa hadirnya isteri atau wakilnya (Pasal 70 ayat 5 undang-undang nomor 7 tahun
1989).
Apabila suami tidak mengucapkan ikrar thalaq dalam tempo 6 Bulan terhitung sejak
putusan pengadilan agama tentang izin ikrar baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka
gugur kekuatan penetapan untuk mengikrarkan thalaqnya dan ikatan perkawinan tetap utuh,
suami tidak dapat mengajukan perceraian lagi dengan alasan yang sama (pasal 70 ayat 6 UU No.
7 tahun 1989 dan pasal 131 ayat 4 KHI). Namun jika hal ini terlaksana, maka pengadilan
membuat surat keterangan tentang adanya thalaq tersebut. Surat keterangan itu dibuat rangkap
lima. Helai pertama disimpan di pengadilan, helai kedua dan ketiga masing-masing dikirim
kepada PPN setempat dan PPN tempat pernikahan dahulu untuk diadakan pencatatan
perceraian.Sedang helai keempat dan kelima diberikan kepada suami isteri (pasal 70 ayat 6 UU
No. 7 tahun 1989).
b.      Cerai Gugatan
Yang dimaksud dengan “cerai gugatan”atau “cerai gugat” adalah perceraian dengan
keputusan pengadilan yang disebabkan adanya gugatan terlebih dahulu oleh salah satu pihak
kepada pengadilan. Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan sebagaimana disebutkan :
“Gugatan perceraian dapat dilakukan oleh seorang suami atau isteri yang melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami dan oleh seorang isteri yang
melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama
Islam”[15] Secara terperinci tatacara gugatanperceraian ini diatur dalam PP. No. 9 Tahun 1975
pasal 20 sapai dengan pasal 36.
Berkenaan dengan perceraian yang terjadi, menurut hukum perdata perceraian hanya
dapat terjadi berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan undang-undang. Dalam kaitannya
dengan hal ini ada dua pengertian yang perlu dipahami yaitu istilah “bubarnya perkawinan” dan
istilah “percraian”. Perceraian adalah salah satu sebab dari bubarnya perkawinan.
Peratursn Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanan UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, pada pasal 19 disebutkan bahwa alsan yang dapat dipergunakan sebagai
alasan percraian adalah :
1.      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan.
2.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan
tanpa alasan yang sah karena hal lain diluar kemampuannya.
3.      Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung.
4.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
5.      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai suami/isteri.
6.      Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

KHI pada pasal 116 juga mengatur bahwa yang dapat menjadi alasan terjadinya
perceraian adalah disebabkan karena :
1.      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan.
2.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan
tanpa alasan yang sah karena hal lain diluar kemampuannya.
3.      Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung.
4.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
5.      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai suami/isteri.
6.      Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7.      Suami melanggar ta’lik thalaq.
8.      Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah
tangga.

Berdasarkan alasan-alasan perceraian sebagaimana yang telah disebutkan pada PP No. 9


Tahun 1975, dan juga KHI di atas, maka dapat diamati bahwa terdapat perbedaan alasan-alasan
perceraian yang diatur oleh PP No. 9 Tahun 1975 dan KHI. Perbedaan yang terjadi adalah
berupa penambahan alasan perceraian yang diatur oleh KHI, yaitu disebabkan suami melanggat
ta’lik thalaq, dan terjadinya peralihan agama/murtad.

C.    Kewenangan Lembaga Peradilan dalam Putusnya Perkawinan


Kekuasan Kehakiman (Judicial Power) yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA)
dilakukan dan dilaksanakan oleh empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Keempat lingkungan peradilan
yang berada dibawah MA ini merupakan penyelenggara kekuasaan di bidang yudikatif. Oleh
karena itu secara konstitusional bertindak menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan (state court).
Masing-masing lingkungan peradilan terebut memiliki wewenang mengadili perkara dan
meliputi badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Peradilan Agama,
Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha negaramerupakan peradilan khusus, yang berwenang
mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Sedangkan Peradilan
Umum merupakan peradilan yang berwenang mengadili perkara-perkara perdata dan perkara-
perkara pidana bagi rakyat pada umumnya.
Kewenangan masing-masing lingkungan peradilan di antaranya : Paradilan
Umum,  sebagaimana yang digariskan pasal 50 dan pasal 51 UU No. 2 Tahun 1986 jo. UU. No. 8
Tahun 2004 jo. UU. No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum hanya berwenang mengadili
perkara pidana dan perdata (perdata umum dan khusus). Sehingga Peradilan Negeri sebagai
bagian dari Peradilan Umum sebagaimana yang telah disebutkan pada pasal 50 dan 51 UU No. 2
Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum memiliki kewenangan di antaranya yaitu di bidang
perdata umum. Kewenangan yang dimilikinya itu berlaku bagi rakyat pada umumnya. Salah satu
di antara sengketa perdata umum yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri adalah sengketa
di bidang perceraian bagi rakyat yang bukan beragama Islam. Terjadinya sengketa perceraian di
kalangan rakyat yang bukan beragama Islam menjadi kewenangan Pengadilan Negeri dalam
memeriksanya.
Sementara Peradilan Agama, sebagai salah satu lembaga Peradilan Khusus merupakan
lembaga yang memiliki tugas dan fungsi dalam menyelesaikan sengketa yang muncul di
kalangan orang-orang yang beragama Islam. Dalam pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3
Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwa Peradilan
Agama memiliki wewenang terhadap persoalan yang menyangkut dengan perkawinan,
kewarisan, wakaf, shadaqah, wasiat, hibah, dan sengketa di bidang Ekonomi Syari’ah.
Kekuasaan Pengadilan itu diatur dalam Bab III pasal 49 sampai dengan pasal 53 UU No.
7 Tahun 1989, dan di dalam ketentuan pasal 49 dinyatakan :
(1)   Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang a. Perkawinan; b.
Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;, c. Wakaf dan
shadaqah.
(2)   Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur
dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.
(3)   Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan mengenai
harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian
harta peninggalan tersebut.

Salah satu cakupan kekuasaan absolut Pengadilan Agama adalah bidang perkawinan.
Kekuasaan badan peradilan di bidang tersebut semakin bertambah, terutama sejak berlakunya
UU No. 1 Tahun 1974. Menurut penjelasan pasal 49 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989, yang
dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, antara lain adalah :

(1)        Izin beristeri lebih dari satu orang;


(2)        Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam hal orang tua
atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
(3)        Dispensasi kawin;
(4)        Pencegahan perkawinan;
(5)        Penolakan perkawinan oleh PPN;
(6)        Pembatalan perkawinan;
(7)        Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
(8)        Perceraian karena thalaq;
(9)        Gugatan perceraian;
(10)    Penyelesaian harta bersama;
(11)    Mengenai penguasaan anak;
(12)    Ibu dapat memikul biaya pemeliharan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya
bertanggung jawab tidak memenuhinya;
(13)    Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau
penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
(14)    Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
(15)    Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
(16)    Pencabutan kekuasaan wali;
(17)    Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
(18)    Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 tahun yang ditinggal
kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;
(19)    Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas
harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya;
(20)    Penetapan asal usul seorang anak;
(21)    Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
(22)    Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain;
Dari 22 perkara tersebut, terdapat enam perkara yang relatif cukup besar diterima dan
diselesaikan oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama, dua perkara perkawinan dan
empat perkara perceraian. Perkara perceraian tersebut meliputi penetapan izin ikrar thalaq, ta’lik
thalaq, fasakh, dan perceraian.

D.    Perceraian di Beberapa Negara Muslim


1.    Perceraian di Negara Turki
Aturan hukum yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian mulai dirintis tahun
1915. Materi perubahan pada tahun tersebut adalah kewenangan (hak) untuk menuntut cerai
yang menurut mazhab Hanafi hanya menjadi otoritas suami. Seorang isteri yang ditinggal pergi
oleh suaminya selama bertahun-tahun atau suaminya mengidap penyakit jiwa ataupun cacat
badan tidak dapat dijadikan dasar bagi isteri untuk meminta cerai dari suaminya.
Ketentuan tentang perceraian diatur pada Pasal 129 – 138 Hukum Perdata Turki tahun
1926. Suami atau isteri yang terikat dalam sebuah ikatan perkawinan dapat mengajukan
perceraian kepada pengadilan dengan alasan-alasan yang telah ditentukan sebagai berikut
a.    Salah satu pihak berbuat zina.
b.    Salah satu pihak melakukan percobaan pembunuhan atau penganiayaan berat terhadap pihak
lainnya.
c.    Salah satu pihak melakukan kejahatan atau perbuatan tidak terpuji yang mengakibatkan
penderitaan yang berat dalam kehidupan rumah tangga.
d.   Salah satu pihak meninggalkan tempat kediaman bersama (rumah) tiga bulan atau lebih dengan
sengaja dan tanpa alasan yang jelas yang mengakibatkan kerugian di pihak lain.
e.    Salah satu pihak menderita penyakit jiwa sekurang-kurangnya 3 tahun atau lebih yang
mengganggu kehidupan rumah tangga dan dibuktikan dengan surat keterangan ahli medis
(dokter).
f.     Terjadi ketegangan antara suami isteri secara serius yang mengakibatkan penderitaan.

Pengadilan Turki dapat memberikan dekrit perceraian kepada pasangan suami istri,
apabila mereka mintakan. Ada enam 6 syarat yang dapat membolehkan suami istri menuntut
pengadilan mengeluarkan dekrit perceraian, yaitu
a.    Salah satu pihak telah memutuskan
b.    Salah satu pihak telah menyebabkan luka bagi yang lain
c.    Salah satu pihak telah melakukan tindak kriminal yang membuat hubungan perkawinan tidak
bisa di tolerir untuk dilanjutkan
d.   Salah satu pihak telah pindah rumah dengan cara tidak etis tanpa sebab yang jelas selama 3 bulan
e.    Salah satu pihak menderita penyakit mental yang dinyatakan dengan keterangan dokter dalam
periode 3 bulan
f.     Hubungan suami istri sedemikian tegang sehingga hubungan perkawinan tidak bias ditolelir.

2.    Perceraian di Negara Iran


Hukum perlindungan keluarga tahun 1967 telah melakukan reformasi hukum yang
bersifat administratif dan substantif sekaligus, yaitu dengan menghapus wewenang suami
mengikrarkan talak secara sepihak. Menurut pasal 8 UU tersebut, setiap perceraian, apapun
bentuknya, harus didahului dengan permohonan pada pengadilan agar mengeluarkan sertifikat
“tidak dapat rukun kembali”. Pengadilan baru mengeluarkan serifikat tersebut setelah berupaya
maksimal tetapi tidak berhasil mendamaikan.
Pengadilan dapat mengeluarkan sertifikat “tidak dapat rukun kembali” atau
keputusan fasakh  pada kasus karena lasan-alasan sebagai berikut:[22]
a.    Salah satu pasangan menderita sakit gila yang permanen atau berulang-ulang.
b.    Suami menderita impotensi, atau dikebiri, atau alat fitalnya diamputasi.
c.    Isteri tidak dapat melahirkan, menderita cacat seksual, lepra, atau kedua matanya buta.
d.   Suami atau isteri dipenjara selama lima tahun.
e.    Suami dan isteri mempunyai kebiasaan yang membahayakan pihak lainyang diduga akan terus
berlangsung dalam kehidupan rumah tangga.
f.     Seorang pria, tanpa persetujuan isteri pertama, kawin dengan wanita lain.
g.    Salah satu pihak mengkhianati pihak lain.
h.    Kesepakatan suami isteri untuk bercerai.
i.      Adanya perjanjian dalam akad perkawinan yang memberikan kewenangan pada pihak isteri
untuk menceraikan diri dalam kondisi tertentu
j.      Suami atau isteri dihukum, berdasarkan keputusan hukum yang tetap, karena melakukan
perbuatan yang dapat dipandang mencoreng kehormatan keluarga.

3.    Perceraian di Negara Mesir


Pada umumnya muslim Mesir menganut madzhab Syafii dan Hanafi. Maka tidak
mengherankan apabila ketentuan-ketentuan yang digunakan dalam hukum keluarga di Mesir
banyak mengambil dari kedua madzhab ini, khususnya sebelum terjadi
pembaruan. Dibandingkan Indonesia, Mesir lebih awal melakukan pembaruan Perundang-
Undangan Perkawinan. Mesir juga lebih sering dalam melakukan pembaruan ini. Namun
demikian bukan berarti perundang-undangan Mesir lebih lengkap dan lebih menjamin keadilan
semua pihak. Dalam Undang-undang No. 25 tahun 1929 alasan untuk menuntut talak diperluas.
Dalam Undang-undang ini ditetapkan dua hal yang dapat dijadikan Pengadilan untuk
menetapkan talak yaitu:
a. Apabila suami tidak mampu untuk memberikan nafkah;
b. Apabila suami mempunyai penyakit menular atau membahayakan;
c. Apabila ada perlakuan yang semena-mena dari suami;
d. Apabila suami pergi meninggalkan istri dalam waktu yang cukup lama.
Mesir lebih awal melakukan reformasi di bidang hukum keluarga, khususnya mengenai
cerai dan talak. Sama dengan Indonesia, tujuan pembaruan hukum keluarga di Mesir juga untuk
meningkatkan status wanita. Dengan adanya pembaruan perundang-undangan cerai dan talak ini
maka suami tidak dapat menjatuhkan talak secara semena-mena terhadap istri. Karena suami
harus dapat mengajukan bukti-bukti dan saksi tentang alasan permohonan talaknya. Selain itu
talak harus melalui proses sertifikasi. Berkaitan dengan gugat cerai, istri juga diberi hak yang
lebih luas, yaitu dapat mengajukan gugatan khulu. Begitu juga apabila suami pergi meninggalkan
istri tanpa alasan yang jelas, suami mengidap penyakit atau tidak mampu memberikan nafkah
maka ia dapat mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. UU Mesir No. 25 tahu 1920 mengenal
dua reformasi dalam talak atau cerai, yaitu: Hak pengadilan untuk menjatuhkan talak dengan
alasan gagal memberikan nafkah, dan Talak jatuh karena alasan adanya penyakit yang
membahayakan.Sementara UU No. 25 tahun 1929 mempunyai reformasi hukum lain, bahwa
pengadilan berhak menjatuhkan talak karena: perlakuan yang tidak baik dari suami dan pergi
dalam waktu yang lama. Jadi UU tahu 1920 memberdayakan pengadilan dan memperluas difinisi
penyakit membahayakan dalam perceraian.

4.    Perceraian di Negara Malaysia


Adapun alasan perceraian dalam perundang-undangan Keluarga Muslim di negara
Malaysia sama dengan alasan-alasan terjadinya fasakh. Dalam undang-undang perak dan pahang,
ada lima alasan, yaitu:
a.    Suami impoten atau mati pucuk.
b.    Suami gila, mengidap penyakit kusta, atau vertiligo, atau mengidap penyakit kelamin yang bisa
berjangkit, selama isteri tidak rela dengan kondisi tersebut
c.    Izin atau persetujuan perkawinan dari isteri (mempelai putri) diberikan secara tidak sah, baik
karena paksaan kelupaan, ketidak sempurnaan akal atau alasan-alasan lain yang sesuai dengan
syariat.
d.   Pada waktu perkawinan suami sakit syaraf yang tidak pantas kawin.
e.    atau alasan-alasan lain yang sah untuk fasakh menurut syariah.

Adapun sebab-sebab terjadinya perceraian dalam Undang-undang Muslim Malaysia


mayoritas menetapkan empat sebab dengan proses masing-masing, yakni:
a.    perceraian dengan talak atau perintah mentalak;
b.    tebus talak.
c.    Syiqaq.
d.   Hanya Undang-undang serawak yang mencantumkan sebab lian.

Proses atau langkah-langkah perceraian dengan talak, secra umum adalah sebagai
berikut: pertama, mengajukan permohonan perceraian ke pengadilan, yang disertai dengan
alasan. Kedua, pemeriksaan yang meliputi pemanggilan oleh pihak-pihak oleh pengadilan dan
mengusahakan pengadilan. Ketiga, putusan.
Proses perceraian dengan taklik talak adalah isteri melapor tentang terjadinya
pelanggaran taklik talak. Kalau pihak pengadilan mempertimbangkan benar terjadi, maka
diadakan sidang perceraian yang kemudian direkam untuk dicatatkan. Sedangkan proses
perceraian karena ada masalah di anatara para pihak (syiqaq), pada dasarnya mempunyai proses
yang sama dengan proses perceraian talak yang tidak disetujui salah satu pihak dan proses tebus
talak, yakni didahului dengan pengangkatan juru damai sampai putusan cerai, kalau tidak bisa
didamaikan. Bahkan Kelantan membuat proses yang sama antara talak dan syiqaq. Karena itu
secara prinsip, dalam proses perceraian dengan talak, taklik talak, dan percekcokkan, antara
suami isteri mempunyai hak yang sama, dan pada akhirnya untuk dapat bercerai harus dengan
persetujuan bersama atau keputusan Pengadilan Agama.
Hal-hal lain yang penting dicatat tentang proses perceraian adalah pertama, ikrar talak
(perceraian) harus di depan pengadilan. Kedua, perceraian harus didaftarkan, dan perceraian
yang diakui hanyalah perkawinan yang sudah didaftarkan. Tentang perceraian sebab li’an tidak
ada penjelasan lebih rinci. Hanya disebutkan agar Pengadilan merekam perceraian
dengan li’an. Sebagai tambahan, semua undang-undang di Malaysia mencantumkan murtad
sebagai alasan perceraian. Tetapi tidak dengan sendirinya terjadi perceraian, melainkan dengan
putusan hakim.

E.     Penutup
1.    Kesimpulan
Adapun yang menjadi penyebab putusnya perkawinan menurut hukum Islam adalah
disebabkan karena kematian, karena adanya thalaq dari suami, karena adanya putusan hakim,
dan putus dengan sendirinya. Dalam hal ini kematian merupakan bentuk putusnya perkawinan
dengan sendirinya. Secara keseluruhan penyebab putusnya perkawinan adalah disebabkan
karena Thalaq, Khulu’, Fasakh, Syiqaq, Ila’, Zhihar, dan li’an.
Sementara menurut peraturan perundang-undangan posotif, yaitu UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975, dan juga KHI, putusnya perkawinan tersebut dapat
disebabkan karena Kematian, Perceraian, dan atas Keputusan Hakim. Perceraian yang dimaksud
adalah berupa cerai thalaq, sementara yang disebabkan atas Keputusan Hakim disebut dengan
cerai gugatan. Di samping itu KHI juga menambahkan bahwa pelanggaran ta’lik thalaq dan
murtad juga merupakan penyebab putusnya perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai