PERCERAIAN
A. Pendahuluan
Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada perceraian tanpa adanya
perkawinan terlebih dahulu. Perkawinan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria
dan wanita sebagai suami isteri, sedangkan perceraian merupakan akhir dari kehidupan
bersamasuami isteri tersebut.Setiap orang menghendaki agar perkawinan yang dilakukannya
tetap utuh sepanjang masa kehidupannya. Tetapi tidak sedikit pulaperkawinan yang dibina
dengan susah payah itu berakhir dengan sebuah perceraian. Tidak selalu perkawinan yang
dilaksanakan itu sesuai dengan cita-cita, walaupun sudah diusahakan semaksimal mungkin
dengan membinanya secara baik, tetapi pada akhirnya terpaksa mereka harus berpisah dan
memilih untuk membubarkan perkawinan.
Islam telah memberikan ketentuan tentang batas-batas hak dan tanggung jawab bagi
suami isteri supaya perkawinan berjalan dengan sakinah, mawaddah, dan rahmah. Bila ada di
antara suami isteri berbuat di luar hak dan kewajibannya maka Islam memberi petunjuk
bagaimana cara mengatasinya dan mengembalikannya kepada yang hak. Tetapi bila dalam suatu
rumah tangga terjadi krisis yang tidak lagi dapat diatasi, maka Islam memberikan jalan keluar
berupa perceraian. Meskipun perceraian itu merupakan perbuatan yang halal, namun Allah
sangat membenci perceraian tersebut.
Di dalam makalah ini akan dijelaskan hal-hal yang berkenaan dengan perceraian tersebut
baik itu dari sudut pandang hukum Islam (fiqih), maupun dari sisi peraturan perundang-
undangan positif yang telah berlaku sehubungan dengan persoalan ini. Hal-hal yang penulis
maksud adalah berkaitan dengan perceraian sebagai bentuk putusnya perkawinan,
pengembangan dari makna putusnya perkawinan tersebut, serta kewenangan lembaga peradilan
terhadap putusnya perkawinan itu.
Namun perlu penulis jelaskan bahwa di dalam memaparkan sebab-sebab putusnya
perkawinan dilihat dari aspek hukum Islam (Fiqih Munakahat), penulis tidak menjelaskan hal
tersebut secara rinci dan mendasar sebagaimana yang terdapat pada kajian Fiqih Munakahat, hal
ini disebabkan karena pemaparan tentang sebab-sebab putusnya perkawinan menurut Hukum
Islam tersebut adalah bertujuan untuk memberikan perbandingan terhadap sebab-sebab putusnya
perkawinan sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan hukum positif
yang telah berlaku, sehingga dengan demikian penulis hanya menjelaskannya secara umum saja.
Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa bila keutuhan rumah tangga suami
isteri terancam karena pertengkaran yang tak mungkin diatasinya maka perlu diadakan juru
damai dari kedua belah pihak. Sekiranya hal ini masih juga tidak membuahkan hasil maka
persoalannya wajar ditangani oleh hakim untuk memberi putusan setelah pihak-pihak pendamai
tidak berhasil mendamaikannya.
f. Putusnya perkawinan karena Ila’
Ila’ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa
Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni
suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu
isteri tidak di-thalaq ataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut,
yang menderita adalah pihak isteri karena keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan.
Berdasarkan Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat diperoleh ketentuan bahwa:
1) Suami yang meng-ila’ isterinya batasnya paling lama hanya empat bulan.
2) Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup sebagai suami-isteri atau
menthalaqnya.
Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan dengan isterinya, hendaklah ia
menebus sumpahnya dengan denda atau kafarah. Kafarah sumpah ila’ sama dengan kafarah
umum yang terlanggar dalam hukum Islam. Denda sumpah umum ini diatur dalam Al-Quran
surat Al-Maidah ayat 89, berupa salah satu dari empat kesempatan yang diatur secara berurutan,
yaitu:
1) Memberi makan sepuluh orang miskin menurut makan yang wajar yang biasa kamu berikan
untuk keluarga kamu, atau
2) Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
3) Memerdekakan seorang budak, atau kamu tidak sanggup juga maka
4) Hendaklah kamu berpuasa tiga hari.
Sekiranya suami tidak ingin kembali lagi kepada isterinya, agar isterinya tidak terkatung-
katung maka suami diberi waktu 4 (empat) bulan untuk menentukan apakah ia akan kembali
kepada isterinya dengan membayar kafarat ataukah akan menceraikan isterinya, maka dalam hal
ini isteri berhak mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan. Dengan demikian hakim dapat
mengabulkan gugatan isteri bila terbukti kebenarannya.
2. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
Berlakunya Undang-Undang Perkawinan secara efektif yaitu
UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 tanggal 1 Oktober 1975 memberikan arti bahwa
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu berlaku sebagai hukum positif untuk
perkawinan beserta segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, termasuk perceraian
atau putusnya perkawinan. Oleh karena itu, “bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk
kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian pula bagi orang Kristen, Hindu,
maupun Budha”.[11]
Khusus tentang putusnya perkawinan, Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan
bahwa “Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian, b. Perceraian, dan c. Atas Keputusan
Pengadilan. Sementara pada pasal 39 disebutkan bahwa : “1. Perceraian hanya dapat dilakukan
di depan sidang Pengadilan setelan Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak. 2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan. Bahwa
di antara suami isteri tersebut tidak dapat hidup rukun sebagai suami isteri. 3. Tatacara
Perceraian di depan Sidang Pengadilan diatur dalam perundang-undangan tersndiri”.
Selanjutnya untuk membedakan perceraian yang tercantum pada huruf b pasal 38 UU No.
1 Tahun 1974 dengan perceraian atas putusan Pengadilan sebagaimana yang terdapat pada poin
c, dijelaskan oleh Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yakni sebagai berikut :
“Peraturan Pemerintah ini menggunakan istilah “cerai Thalaq” untuk membedakan
pengertian percerain yang dimaksudkan oleh pasal 38 huruf b dengan pengertian perceraian atas
keputusan Pengadilan yang dimaksud pasal tersebut huruf c. Untuk yang terakhir ini digunakan
istilah “cerai gugatan”, dengan penjelasan Peraturan Pemerintah tersebut dapat dimaklumi bahwa
perceraian yang disebutkan pada huruf b pasal 38 UU Perkawinan adalah “cerai thalaq”, yakni
perceraian yang dilakukan atas kehendak suami terhadap isterinya. Untuk mendapatkan bukti
otentik perceraian thalaq tersebut perlu diajukan ke Pengadilan sekaligus untuk mengetahui
alasan-alasan yang memungkinkan untuk itu. Sedangkan perceraian atas keputusan Pengadilan
sebagaimana huruf c pasal 38 tersebut maksudnya adalah cerai gugatan, yakni pengadilan
menjatuhkan keputusan cerai terhadap suami isteri yang telah melaksanakan perkawinannya atas
atau berdasarkan gugatan salah satu pihak (suami-isteri).
Selanjutnya dari segi pelaksanaannya untuk masing-masing cerai tersebut sesuai dengan
ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut :
a. Cerai Thalaq
Ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam, yang sampai sekarang masih belum dapat
diterima oleh sebahagian umat Islam di Indonesia, adalah ketentuan yang terdapat pada pasal
115, yaitu: "Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak".
Hal itu disebabkan karena dalam formulasi fiqih yang menjadi rujukan mayoritas umat
Islam di Indonesia, tidak ada pengaturan seperti itu.Bahkan thalaq dengan sindiran saja di luar
Pengadilan Agama juga dianggap telah jatuh.
Selanjutnya, dalam peraturan perundang-undangan juga diatur mengenai tata cara
menjatuhkan thalaq. Jika dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan baik
mengenai hukum formil maupun materil, antara lain undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan, Undang-undang No. 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama, dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam, maka tata cara menjatuhkan thalaq tersebut adalah sebagai berikut:
Suami yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama
dalam hal ini Pengadilan Agama di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia
bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada
Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Hal ini dijelaskan pada Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 14, undang-undang N0.7 Tahun 1989 pasal 66 dan pasal 129
Kompilasi Hukum Islam. Selanjutnya Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat itu
dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil suami isteri tersebut untuk
diadakan pemeriksaan seperlunya. Dan secara praktis pihak suami disebut pemohon dan pihak
isteri disebut termohon. Ketentuan terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal
15, undang-undang nomor 7 tahun 1989 pasal 68 dan pasal 131 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam.
Namun demikian pihak tersebut disebut pemohon dan termohon, substansinya sama dengan
perkara Contentius dan bukan perkara Volunter, sehingga pihak isteri (termohon) tetap dianggap
lawan perkara bagi pihak suami (pemohon).
Dalam setiap kesempatan sebelum terjadinya thalaq, pengadilan harus selalu berusah
untuk mendamaikan suami isteri dan berusaha agar maksud mengadakan perceraian tidak jadi
terlaksana. Dalam usaha mendamaikan tersebut pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang
yang di pandang perlu ada suatu badan penasehat, seperti BP4 (Badan Penasehat Perkawinan,
Perselisihan, dan Perceraian) atau badan lain untuk memberi nasehat kepada suami isteri
tersebut. Hal ini diatur dalam pasal 82 ayat 1 undang-undang nomor 7 tahun 1989.Apabila
pengadilan telah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan
telah cukup alasan seperti tersebut di atas maka pengadilan menjatuhkan putusan yang isinya
mengabulkan permohonan pemohon.Yaitu memberi izin kepada pemohon untuk
mengikrarkan thalaq terhadap pemohon (di muka sidang) dan terhadap putusan ini pihak isteri
boleh mengajukan banding dalam tenggang waktu 14 hari.
Apabila setelah tenggang waktu 14 hari itu termohon tersebut tidak mengajukan banding
maka putusan tersebut dinyatakan inkracht (mempunyai kekuatan hukum tetap).Setelah itu
pengadilan menentukan hari sidang guna menyaksikan ikrar thalaq dengan memanggil para
pihak (suami isteri atau wakilnya untuk hadir dimuka persidangan).Pada saat sidang inilah suami
atau wakilnya diperbolehkan untuk mengikrarkan thalaq terhadap isterinya. Sesaat setelah
ikrar thalaq diucapkan atau dibacakan, pengadilan menjatuhkan penetapannya yang isinya
bahwa perkawinan putus karena perceraian (thalaq) dan terhadap penetapan ini isteri tidak
berhak lagi mengajukan banding atau kasasi (pasal 70 jo pasal 71 Undang-undang nomor 7 tahun
1989). Jika isteri telah mendapat panggilan secara sah dan patut, tetapi tidak datang menghadap
sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan
ikrar thalaq tanpa hadirnya isteri atau wakilnya (Pasal 70 ayat 5 undang-undang nomor 7 tahun
1989).
Apabila suami tidak mengucapkan ikrar thalaq dalam tempo 6 Bulan terhitung sejak
putusan pengadilan agama tentang izin ikrar baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka
gugur kekuatan penetapan untuk mengikrarkan thalaqnya dan ikatan perkawinan tetap utuh,
suami tidak dapat mengajukan perceraian lagi dengan alasan yang sama (pasal 70 ayat 6 UU No.
7 tahun 1989 dan pasal 131 ayat 4 KHI). Namun jika hal ini terlaksana, maka pengadilan
membuat surat keterangan tentang adanya thalaq tersebut. Surat keterangan itu dibuat rangkap
lima. Helai pertama disimpan di pengadilan, helai kedua dan ketiga masing-masing dikirim
kepada PPN setempat dan PPN tempat pernikahan dahulu untuk diadakan pencatatan
perceraian.Sedang helai keempat dan kelima diberikan kepada suami isteri (pasal 70 ayat 6 UU
No. 7 tahun 1989).
b. Cerai Gugatan
Yang dimaksud dengan “cerai gugatan”atau “cerai gugat” adalah perceraian dengan
keputusan pengadilan yang disebabkan adanya gugatan terlebih dahulu oleh salah satu pihak
kepada pengadilan. Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan sebagaimana disebutkan :
“Gugatan perceraian dapat dilakukan oleh seorang suami atau isteri yang melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami dan oleh seorang isteri yang
melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama
Islam”[15] Secara terperinci tatacara gugatanperceraian ini diatur dalam PP. No. 9 Tahun 1975
pasal 20 sapai dengan pasal 36.
Berkenaan dengan perceraian yang terjadi, menurut hukum perdata perceraian hanya
dapat terjadi berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan undang-undang. Dalam kaitannya
dengan hal ini ada dua pengertian yang perlu dipahami yaitu istilah “bubarnya perkawinan” dan
istilah “percraian”. Perceraian adalah salah satu sebab dari bubarnya perkawinan.
Peratursn Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanan UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, pada pasal 19 disebutkan bahwa alsan yang dapat dipergunakan sebagai
alasan percraian adalah :
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan
tanpa alasan yang sah karena hal lain diluar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai suami/isteri.
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
KHI pada pasal 116 juga mengatur bahwa yang dapat menjadi alasan terjadinya
perceraian adalah disebabkan karena :
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan
tanpa alasan yang sah karena hal lain diluar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai suami/isteri.
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7. Suami melanggar ta’lik thalaq.
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah
tangga.
Salah satu cakupan kekuasaan absolut Pengadilan Agama adalah bidang perkawinan.
Kekuasaan badan peradilan di bidang tersebut semakin bertambah, terutama sejak berlakunya
UU No. 1 Tahun 1974. Menurut penjelasan pasal 49 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989, yang
dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, antara lain adalah :
Pengadilan Turki dapat memberikan dekrit perceraian kepada pasangan suami istri,
apabila mereka mintakan. Ada enam 6 syarat yang dapat membolehkan suami istri menuntut
pengadilan mengeluarkan dekrit perceraian, yaitu
a. Salah satu pihak telah memutuskan
b. Salah satu pihak telah menyebabkan luka bagi yang lain
c. Salah satu pihak telah melakukan tindak kriminal yang membuat hubungan perkawinan tidak
bisa di tolerir untuk dilanjutkan
d. Salah satu pihak telah pindah rumah dengan cara tidak etis tanpa sebab yang jelas selama 3 bulan
e. Salah satu pihak menderita penyakit mental yang dinyatakan dengan keterangan dokter dalam
periode 3 bulan
f. Hubungan suami istri sedemikian tegang sehingga hubungan perkawinan tidak bias ditolelir.
Proses atau langkah-langkah perceraian dengan talak, secra umum adalah sebagai
berikut: pertama, mengajukan permohonan perceraian ke pengadilan, yang disertai dengan
alasan. Kedua, pemeriksaan yang meliputi pemanggilan oleh pihak-pihak oleh pengadilan dan
mengusahakan pengadilan. Ketiga, putusan.
Proses perceraian dengan taklik talak adalah isteri melapor tentang terjadinya
pelanggaran taklik talak. Kalau pihak pengadilan mempertimbangkan benar terjadi, maka
diadakan sidang perceraian yang kemudian direkam untuk dicatatkan. Sedangkan proses
perceraian karena ada masalah di anatara para pihak (syiqaq), pada dasarnya mempunyai proses
yang sama dengan proses perceraian talak yang tidak disetujui salah satu pihak dan proses tebus
talak, yakni didahului dengan pengangkatan juru damai sampai putusan cerai, kalau tidak bisa
didamaikan. Bahkan Kelantan membuat proses yang sama antara talak dan syiqaq. Karena itu
secara prinsip, dalam proses perceraian dengan talak, taklik talak, dan percekcokkan, antara
suami isteri mempunyai hak yang sama, dan pada akhirnya untuk dapat bercerai harus dengan
persetujuan bersama atau keputusan Pengadilan Agama.
Hal-hal lain yang penting dicatat tentang proses perceraian adalah pertama, ikrar talak
(perceraian) harus di depan pengadilan. Kedua, perceraian harus didaftarkan, dan perceraian
yang diakui hanyalah perkawinan yang sudah didaftarkan. Tentang perceraian sebab li’an tidak
ada penjelasan lebih rinci. Hanya disebutkan agar Pengadilan merekam perceraian
dengan li’an. Sebagai tambahan, semua undang-undang di Malaysia mencantumkan murtad
sebagai alasan perceraian. Tetapi tidak dengan sendirinya terjadi perceraian, melainkan dengan
putusan hakim.
E. Penutup
1. Kesimpulan
Adapun yang menjadi penyebab putusnya perkawinan menurut hukum Islam adalah
disebabkan karena kematian, karena adanya thalaq dari suami, karena adanya putusan hakim,
dan putus dengan sendirinya. Dalam hal ini kematian merupakan bentuk putusnya perkawinan
dengan sendirinya. Secara keseluruhan penyebab putusnya perkawinan adalah disebabkan
karena Thalaq, Khulu’, Fasakh, Syiqaq, Ila’, Zhihar, dan li’an.
Sementara menurut peraturan perundang-undangan posotif, yaitu UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975, dan juga KHI, putusnya perkawinan tersebut dapat
disebabkan karena Kematian, Perceraian, dan atas Keputusan Hakim. Perceraian yang dimaksud
adalah berupa cerai thalaq, sementara yang disebabkan atas Keputusan Hakim disebut dengan
cerai gugatan. Di samping itu KHI juga menambahkan bahwa pelanggaran ta’lik thalaq dan
murtad juga merupakan penyebab putusnya perkawinan.