Halaman judul
………………………………………………………………………………………………. i
BAB I PENDAHULUAN
1.Latar
belakang………………………………………………………………………………………
……
2.Rumusan masalah
……………………………………………………………………………………….. 3
3.Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
Quran……………. 4
Quran……………. 5
……………………. 6
1
Bab I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tanpa adanya perkawinan terlebih dahulu. Perkawinan merupakan awal dari hidup
Bersama antara hidup seorang pria dengan wanita yang diatur dalam hukum
Perceraian merupakan akhir dari kehidupan bersama suami istri tersebut. Setiap
Sepanjang masa kehidupannya, tetapi tidak sedikit perkawinan yang dibina dengan
Perceraian atau talak dalam hukum Islam pada prinsipnya boleh tapi dibenci
Oleh Allah, namun perceraian merupakan solusi terakhir yang boleh ditempuh
Antara kedua belah pihak, karena ikatan perkawinan adalah ikatan yang paling
Suci dan kokoh.1 Sejalan juga dengan prinsip perkawinan bahwa perceraian harus
Di persulit, ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa
Talak atau perceraian adalah perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah
A. RUMUSAN MASALAH
B. TUJUAN
2
Bab II
PEMBAHASAN
dalam undang-undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, dalam Pasal 38. Di dalam Pasal
38 ini menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena tiga sebab sebagai berikut:
(Pertama) karena kematian ( Kedua) karena Perceraian, dan ( Ketiga) karena Keputusan
Pengadilan
Kendatipun pada pasal ini disebutkan tiga hal atau tiga sebab, tetapi kalau kita
mencoba mencermati dan menafsirkan rumusan Pasal 38 dalam undang-undang ini, maka
dapat dipahami dengan jelas bahwa bubarnya suatu ikatan perkawinan antara suami isteri
tampaknya sangat berkaitan dengan motif-motifnya, yakni kehendak atau keinginan untuk
bercerai. Dipandang dari segi motif atau kehendak tersebut, terjadinya perceraian antara
Pertama, putusnya perkawinan karena meninggalnya salah seorang suami atau isteri,
Seperti diketahui dengan masalah ini, manakala salah seorang dari suami atau isteri
meninggal dunia, maka dengan sendirinya hubungan perkawinan antara suami atau isteri
berakhir. Dalam literatur–literatur tentang hukum Islam disebut bahwa putusnya suatu
perkawinan disebabkan kematian ini disebut dengan cerai mati ( Yunus 1956, hlm: 111).
Kedua, putusnya perkawinan atas kehendak pihak suami dengan alasan alasan
tertentu yang dibenarkan oleh hukum, dan kehendaknya tersebut dinyatakan dalam bentuk
3
ucapan atau tulisan yang mengandung makna putusnya hubungan perkawinan antara suami
isteri. Dengan ungkapan lain, bahwa berakhirnya suatu perkawinan bermula dari kehendak
suami. Putusnya hubungan perkawinan semacam ini disebut dengan cerai Thalak .Mengenai
konsep thalak menurut hukum Islam dan perundang-undangan ini, lebih lanjut akan
dengan pembayaran uang iwadl (Ganti rugi) Artinya dalam hal ini kehendak berpisa itu
berasal dari isteri, sedangkan suami sebenarnya tidak menghendaki bubarnya suatu
yang disampaikan atau yang datangnya dari kemauan si isteri kepada suami, dengan
pembayaran uang iwadl ( ganti rugi) itu, dan diterima oleh suami dengan dilanjutkan dengan
seperti ini disebut dengan Khulu’. Mengenai konsep khulu, menurut hukum Islam ini juga
Keempat Putusnya perkawinan atas kehendak bersama antara suami dan isteri,
Perceraian seperti ini biasanya terjadi bukan karena percekcokan antara kedua bela pihak
melainkan biasanya karena belum mempunyai keturunan, tidak jarang terjadi peristiwa
seperti ini, setelah mereka memutuskan untuk bercerai, dengan melalui proses hukum,
kemudian setelah habis masa iddah, masing-masing menikah lagi dengan orang lain. Dan
keduanya mendapat keturunan. Perkawinan seperti ini sejodoh tetapi tidak senasib
Berakhirnya ikatan perkawinan seperti ini disebut Fasakh (perceraian atas dasar cacat atau
4
Islam dapat merusak atau membatalkan perkawinan, atas permintaan salah satu pihak oleh
Hakim Pengadilan Agama. Tuntutan pemutusan perkawinan ini disebut fasakh, karena salah
satu pihak menemui kekurangan yang terdapat pada pihak lain. Perlu dikemukakan bahwa
sesungguhnya kalau dilihat dari segi syarat dan rukun perkawinan yang sudah berlangsung itu
dianggap syah, dengan segala akibat hukumnya. Tetapi karena dikemudian hari ada hal-hal
hubungan suami isteri tersebut. Dalam hal ini bubarnya hubungan perkawinan dimulai sejak
Seperti dikemukakan bahwa terjadinya faskh ialah dengan cara salah satu pihak mengajukan
Adapun dasar dari putusnya hubungan perkawinan dalam bentuk fasakh adalah hadits Nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah yang berbunyi sebagai berikut:”
Rasul membolehkan seorang wanita yang sesudah ia kawin baru mengenal bahwa ia tidak
sekufu ( sederajat atau sepadan ) untuk itu boleh memilih tetap atau diteruskannya hubungan
perkawinannya itu atau ia ingin untuk di fasakh kan wanita itu memilih meneruskan
Biasanya alasan menuntut fasakh di Pengadilan adalah isteri. Adapun alasan boleh
3. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan hubungan kelamin
4. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada isteri
5. Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami.
5
6. Suami pergi tanpa diketahui tempat tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak
diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama (Sumiyati 1982 hlm: 114)
Disamping itu, dalam kesempatan ini perlu dikemukakan bahwa terdapat pula
beberapa yang menyebabkan hubungan suami isteri (sexual inticource) tidak dapat dilakukan,
sekalipun hubungan perkawinan itu secara hukum syara’ tidak putus ( Syarifuddin t,t hlm:
124-125) Artinya hukum Islam mengharamkan terjadinya hubungan badan antara suami
isteri. Hal-hal tersebut adalah sebagai isterinya seperti zhihar, li’an illa’.
1. Suami tidak boleh menggauli isterinya karena ia telah menyamakan isteri dengan ibunya.
Ia dapat meneruskan hubungan suami isteri bila suami telah membayar kifarat atau
denda. Terhentinya hubungan perkawinan seperti itu disebut zhihar. Zhihar adalah
persedur thalak, yang hampir sama dengan illa’. Zhihar dimaksud ialah seorang suami
yang bersumpah bahwa isterinya baginya sama dengan punggung ibunya. Dengan
Zhihar adalah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang arab artinya suatu
keadaan dimana seorang suami bersumpah bagi isterinya itu sama dengan punggung
ibunya. Sumpah ini artinya tidak akan mencampuri isterinya lagi. Sumpah seperti ini
termasuk hal yang mungkar, yang tidak disenangi Allah dan sekaligus merupakan
perkataan yang dusta dan paksa. Akibat dari sumpah itu terputus ikatan antara suami
isteri. Kalau hendak menyambung kembali hubungan keduanya, maka wajib suami
membayar kifarat terlebih dahulu. Bentuk kifaratnya adalah melakukan salah satu
perbuatan dibawah ini dengan berturutturut urutannya menurut kesanggupan suami yang
bersangkutan (1) memerdekakan seorang budak (2) puasa dua bulan berturut-turut (3)
6
2. Suami tidak boleh menggauli isterinya, karena ia telah bersumpah untuk tidak menggauli
isterinya dalam masa tertentu sebelum ia membayar kifarat atas sumpahnya itu, namun
perkawinan itu tetap utuh. Terhentinya hubungan seperti ini disebut illa’.
Illa’ ialah sumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa arab
jahiliyah perkataan illa’ ini mempunyai pengertian khusus dalam perkawinan mereka.
Arti illa’ menurut mereka ialah : Suami bersumpah tidak mencampuri isteri nya dalam
waktu tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak dithalak atau dicerai. Sehingga kalau
keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri, karena
keadaannya terkatung-katung tidak berketentuan. Maka setelah datang hukum Islam illa’
itu diatur sedemikian rupa sehingga tidak merugikan pihak isteri. Ketentuan ini tercantum
Artinya;
Ayat ini menjelaskan bahwa seorang suami yang meng illa’ isterinya yakni
bersumpah tidak akan mencampuri isterinya, diberi kesempatan empat bulan untuk suami
kembali bergaul dengan isterinya, maka Allah akan mengampuni dan akan
memperkenankannya.
7
Artinya
Dan jika mereka berazam ( berketetapan) hati untuk thalak maka sesungguhnya
Ayat ini memberikan pengertian bahwa kalau sudah terjadi illa’ dan suami
berkehendak untuk menjatuhkan thalak, maka dapat dibenarkan oleh hukum Islam.
3. Suami tidak boleh menggauli isterinya karena ia telah menyatakan sumpahnya atas
kebenaran tuduhannya terhadap isterinya yang berbuat zina, sampai sesuai proses lian dan
perceraian dimuka hakim. Terhentinya perkawinan ini disebut lian. Arti dasar li’an ialah
laknat dan dalam istilah hukum Islam li’an diartikan oleh para ulama’ dengan sumpah
yang didalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Allah, apabila mengucap
sumpah tersebut dusta. Dalam hukum perkawinan sumpah li’an ini sesungguhnya dapat
a. Suami menuduh isterinya berbuat zina, harus mengajukan saksi-saksi yang cukup,
b. Kalau suami menuduh isterinya berbuat zina, harus mengajukan saksi, sumpah
tidak terkena hukuman menuduh zina, ia harus mengucap sumpah lima kali,
empat kali menyatakan sumpahnya benar dan sumpah yang kelima kali,
c. Untuk membebaskan dari tuduhan, si isteri juga harus bersumpah lima kali, empat
8
d. Akibat dari sumpah ini isteri telah bebas dari tuduhan dan ancaman hukuman ,
Diatas telah dikemukakan, bahwa dari aspek motif atau kehendak, ada beberapa bentuk dari
putusnya perkawinan antara suami dan isteri, yaitu putusnya hubungan perkawinan karena
kematian; putusnya hubungan perkawinan karena keinginan dari pihak suami yang disebut
cerai thalak, sedangkan putusnya hubungan perkawinan karena keinginan isteri dikenal
dengan khuluk; dan putusnya hubungan perkawinan karena kehendak Pengadilan disebut
dengan fasakh. Dalam sub bahasan ini pembicaraan akan difokuskan kepada putusnya
perkawinan dalam katagori thalak dan katagori khulu’ yang disebut dengan perceraian.
B. Pengertian Perceraian
Dalam kehidupan sehari-hari , berkenaan dengan persoalan keluarga, kita sering mendengar
istilah perceraian. Istilah ini tampaknya ditujukan untuk penyebutan suatu kasus atau
peristiwa berpisahnya antara seorang laki-laki dan perempuan yang sebelumnya ada ikatan
perkawinan antara suami isteri. Kata perceraian secara kebahasaan, berasal dari kata cerai,
perpisahan antara suami isteri, atau hancurnya ikatan perkawinan, sehingga ikatan suami
isteri menjadi bubar, atau putusnya hubungan suami isteri dalam membina rumah tangga.
Perceraian itu adalah suatu tindakan yang dibolehkan tetapi sangat dibenci Allah. Sebab itu
terjadinya perceraian antara suami isteri haruslah cukup alasan, dimana antara suami isteri
tersebut memang tidak akan dapat lagi hidup rukun dan damai. Islam sesungguhnya sangat
9
tidak menganjurkan suatu perceraian, kecuali memang ada hal-hal yang mendesak, sehingga
kalau tidak terjadi perceraian maka kemodhoratan akan dialami oleh kedua belah pihak atau
perselisihan antara suami isteri (syqoq) maka tidak secara otomatis dapat dilakukan
perceraian. Syiqoq berarti perselisihan atau menurut istilah fiqh berarti perselisihan antara
suami isteri yang diselesaikan dua orang hakam, seorang dari pihak suami dan satu orang dari
pihak isteri. Pengangkatan Hakam kalau terjadi syiqoq atau perselisihan, ketentuannya
Artinya:
keduanya , maka kirimlah seorang juru damai dari pihak keluarga laki-laki dan
Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa seandainya terjadi perselisihan antara suami
isteri, maka hendaklah memanfaatkan pihak mediator atau penengah untuk menyelesaikan
persoalan yang menyebabkan terjadinya perselisihan tersebut. Pihak mediator yang disebut
hakam tersebut ada dari pihak keluarga laki-laki ada dari pihak keluarga perempuan, atau dari
10
orang yang dianggap mampu menyelesaikan persengketaan tersebut. Dalam hal ini bila
memang ada niat baik untuk perbaikan maka Allah akan memberikan petunjuk kepada
Pengankatan hakam dimaksud dalam ayat tersebut diatas, yaitu bertugas untuk
mendamaikan suami isteri, dan pengangkatan hakam hanya dalam keadaan benar-benar
diperlukan. Dan jika sudah sekuat tenaga berusaha mendamaikan suami tersebut tidak
berhasil, maka hakam boleh mengambil keputusan menceraikan suami isteri tersebut.
menceraikan suami isteri atau berusaha mendamaikan tanpa meminta persetujuan terlebih
dahulu kepada suami atau isteri. Dengan memberikan kekuasaan penuh kepada hakam yang
Menurut Syeh Abdul Aziz Al-Khuli tugas dan syarat orang yang boleh diangkat
menjadi hakam adalah sebagai berikut: Pertama berlaku adil antara yang bersengketa. Kedua
dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan kedua suami isteri tersebut Ketiga dua orang
hakam itu disenangi oleh kedua bela pihak, Keempat hendaklah berpihak kepada yang
Dari syarat-syarat itu tersebut kita dapat memahami bahwa hakam itu benar-benar untuk
mencari kemaslahatan, bukan untuk memecahkan kerukunan rumah tangga mereka. Berarti
perceraian itu baru boleh terjadi, jika memang benar-benar sudah dalam keadaan darurat, atau
memang hukum telah mempunyai kepentingan, maksudnya untuk mengambil maslahat yang
lebih besar, ketimbang mereka masih dalam ikatan perkawinan tetapi terus-menerus terjadi
perselisihan.
11
Dalam hal ini Mushthafa dibul Bigha, di dalam bukunya : At-Tadhib fi Adillah Matn Al-
Ghayah wa-at Taqrib ( 1978:164) bahwa si isteri dikembalikan pada orang tuanya
(diceraikan ) karena lima hal, Yaitu gila, berpenyakit lepra, belang, kemaluannya buntung
perceraian tersebut telah terujud dalam undang-undang atau aturan yang berlaku di Indonesia,
maka dalam memproses pengajuan perkara perceraian. Pengadilan Agama terlebih dahulu
karena gugat maupun karena thalak. Segala bentuk perceraian yang diajukan kepada suami
atau isteri. Sedangkan pengertian khusus yang dimaksud dengan thalak adalah putusnya
ikatan perkawinan antara suami dan isteri karena kehendak suami. Atau perceraian yang
dijatuhkan oleh suami kepada isterinya. Dengan ungkapan lain, Istilah perceraian lebih umum
dipergunakan untuk menyatakan putusnya hubungan ikatan tali prkawinan antara suami
isteri, tetapi dalam perakteknya, untuk melaksanakan perceraian itu ada ketentuan, bahwa
Selanjutnya dalam fikih Islam dirumuskan bahwa dilihat dari segi keadaan isteri
ketika thalak diucapkan suami, maka thalak itu ada dua macam, yaitu:
Pertama thalak yang dijatuhkan suami dimana isteri waktu itu dalam keadaan haid dan
dalam masa itu belum pernah dicampuri oleh suaminya. Thalak semacam ini disebut thalak
sunni, atau pelaksanaannya telah menurut hukum syara’ dan tidak ada pengaruh dalam iddah.
Kedua thalak yang dijatuhkan oleh suami yang mana waktu itu si isteri sedang dalam
keadaan haid atau dalam masa suci, namun dalam masa itu sudah dicampuri oleh suaminya.
Thalak seperti ini disebut thalak bid’iy. Artinya thalak semacam itu menyimpang dari sunnah
12
Nabi. Hukumnya haram, alasan dengan cara ini perhitungan iddah isteri memanjang, karena
a. Salah satu berbuat zina atau pemabuk, pemadat, pejudi dan lain sebagainya
yangsulit disembuhkan
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 ( dua ) tahun berturut-
turuttanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
rumahtangga.
Perlu dikemukakan dalam kita-kitab fiqh klasik, seperti diungkapkan oleh (M. Atho
Mudzar 2003 hlm :212) bahwa thalak dapat terjadi dengan pernyataan sepihak dari pihak
suami. Baik secara lisan maupun secara tertulis secara bersungguh-sungguh atau
bersendagurau, sekalipun dalam bersendagurau itu harus disertai dengan niat untuk
13
menthalak dari pihak suami. Pendapat-para ahli hukum Islam yang tertuang dalam kitabkitab
fiqh klasik tersebut tampaknya jelas menempatkan kaum perempuan sebagai pihak yang
inferior atau umat kelas dua yang dihadapkan pada kaum laki-laki. Kaum laki-laki dianggap
Tetapi dewasa ini di negeri Muslim, ketentuan dalam fikih-fikih klasik tersebut telah
Indonesia umpamanya masalah thalak atau perceraian telah diatur dalam undang-undang
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Pada Pasal 39 ayat (1) undang–undang tersebut
menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua bela pihak
dalam menghadapi sengketa keluarga, Pasal 39 ayat (1) ini tentunya bertujuan untuk
mempersulit dan mengurangi terjadinya perceraian, selain itu juga perceraian tidak
didominasi oleh hak suami, namun telah terlihat keseimbangan, sesuai dengan aturan
perundang-undangan. Sedangkan dalam fikih-fikih klasik, bahwah perceraian itu sudah jatuh
apabila telah diucapkan oleh suami, baik secara kinayah (bersendagurau), kinayah ini
sifatnya tidak tegas hanya dengan kata-kata yang halus dan bisa salah tafsiran bagi yang
mendengarkan kata-kata tersebut. Sebagaimana contoh tikar sudah ku gulung, tali telah
kuputus. Tetapi kalau sareh itu sifatnya sangat tegas dan sareh, tidak ada kata lain kecuali
14