Anda di halaman 1dari 14

DAFTAR ISI

Halaman judul

………………………………………………………………………………………………. i

BAB I PENDAHULUAN

1.Latar
belakang………………………………………………………………………………………
……

2.Rumusan masalah

……………………………………………………………………………………….. 3

3.Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

1.Perkembangan ilmu biologi ditinjau dari pengetahuan barat dan al-

Quran……………. 4

2.Perkembangan ilmu fisika ditinjau dari pengetahuan barat dan al-

Quran……………. 5

3.Perkembangan ilmu kimia ditinjau dari pengetahuan barat dan al-quran

……………………. 6

1
Bab I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada perceraian

Tanpa adanya perkawinan terlebih dahulu. Perkawinan merupakan awal dari hidup

Bersama antara hidup seorang pria dengan wanita yang diatur dalam hukum

Agama serta peraturan perundang-undangan dalam suatu negara, sedangkan

Perceraian merupakan akhir dari kehidupan bersama suami istri tersebut. Setiap

Orang menghendaki agar perkawinan yang dilaksanakannya itu tetap utuh

Sepanjang masa kehidupannya, tetapi tidak sedikit perkawinan yang dibina dengan

Susah payah itu harus berakhir dengan suatu perceraian.

Perceraian atau talak dalam hukum Islam pada prinsipnya boleh tapi dibenci

Oleh Allah, namun perceraian merupakan solusi terakhir yang boleh ditempuh

Manakala kehidupan rumah tangga tidak bisa dipertahankan lagi. Islam

Menunjukkan agar sebelum terjadi perceraian, ditempuh usaha-usaha perdamaian

Antara kedua belah pihak, karena ikatan perkawinan adalah ikatan yang paling

Suci dan kokoh.1 Sejalan juga dengan prinsip perkawinan bahwa perceraian harus

Di persulit, ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa

Talak atau perceraian adalah perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah

A. RUMUSAN MASALAH

B. TUJUAN

2
Bab II

PEMBAHASAN

A. Bentuk-bentuk Putusnya Hubungan Perkawinan

Mengenai bentuk-bentuk putusnya hubungan perkawinan ini, sesungguhnya telah disinggung

dalam undang-undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, dalam Pasal 38. Di dalam Pasal

38 ini menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena tiga sebab sebagai berikut:

(Pertama) karena kematian ( Kedua) karena Perceraian, dan ( Ketiga) karena Keputusan

Pengadilan

Kendatipun pada pasal ini disebutkan tiga hal atau tiga sebab, tetapi kalau kita

mencoba mencermati dan menafsirkan rumusan Pasal 38 dalam undang-undang ini, maka

dapat dipahami dengan jelas bahwa bubarnya suatu ikatan perkawinan antara suami isteri

tampaknya sangat berkaitan dengan motif-motifnya, yakni kehendak atau keinginan untuk

bercerai. Dipandang dari segi motif atau kehendak tersebut, terjadinya perceraian antara

suami isteri ini dikarenakan empat sebab.

Keempat bentuk penyebab putusnya perkawinan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, putusnya perkawinan karena meninggalnya salah seorang suami atau isteri,

Seperti diketahui dengan masalah ini, manakala salah seorang dari suami atau isteri

meninggal dunia, maka dengan sendirinya hubungan perkawinan antara suami atau isteri

berakhir. Dalam literatur–literatur tentang hukum Islam disebut bahwa putusnya suatu

perkawinan disebabkan kematian ini disebut dengan cerai mati ( Yunus 1956, hlm: 111).

Kedua, putusnya perkawinan atas kehendak pihak suami dengan alasan alasan

tertentu yang dibenarkan oleh hukum, dan kehendaknya tersebut dinyatakan dalam bentuk

3
ucapan atau tulisan yang mengandung makna putusnya hubungan perkawinan antara suami

isteri. Dengan ungkapan lain, bahwa berakhirnya suatu perkawinan bermula dari kehendak

suami. Putusnya hubungan perkawinan semacam ini disebut dengan cerai Thalak .Mengenai

konsep thalak menurut hukum Islam dan perundang-undangan ini, lebih lanjut akan

dikemukakan secara rinci dalam uraian mendatang.

Ketiga Putusnya perkawinan atas kehendak isteri dengan alasan-alasan tertentu

dengan pembayaran uang iwadl (Ganti rugi) Artinya dalam hal ini kehendak berpisa itu

berasal dari isteri, sedangkan suami sebenarnya tidak menghendaki bubarnya suatu

perkawinan. Dengan ungkapan lain, keinginan untuk memutuskan hubungan perkawinan

yang disampaikan atau yang datangnya dari kemauan si isteri kepada suami, dengan

pembayaran uang iwadl ( ganti rugi) itu, dan diterima oleh suami dengan dilanjutkan dengan

ucapannya untuk memutuskan perkawinan tersebut didepan Pengadilan Agama yang,

menyebabkan putusnya hubungan perkawinan. Dalam kitab–kitab fiqh, putusnya perkawinan

seperti ini disebut dengan Khulu’. Mengenai konsep khulu, menurut hukum Islam ini juga

akan diuraikan lebih rinci dalam uraian mendatang.

Keempat Putusnya perkawinan atas kehendak bersama antara suami dan isteri,

Perceraian seperti ini biasanya terjadi bukan karena percekcokan antara kedua bela pihak

melainkan biasanya karena belum mempunyai keturunan, tidak jarang terjadi peristiwa

seperti ini, setelah mereka memutuskan untuk bercerai, dengan melalui proses hukum,

kemudian setelah habis masa iddah, masing-masing menikah lagi dengan orang lain. Dan

keduanya mendapat keturunan. Perkawinan seperti ini sejodoh tetapi tidak senasib

Kelima Putusnya perkawinan atas keputusan hakim sebagai pihak ketiga.

Berakhirnya ikatan perkawinan seperti ini disebut Fasakh (perceraian atas dasar cacat atau

rusaknya perkawinan). Fasakh ini dalam aturan hukum

4
Islam dapat merusak atau membatalkan perkawinan, atas permintaan salah satu pihak oleh

Hakim Pengadilan Agama. Tuntutan pemutusan perkawinan ini disebut fasakh, karena salah

satu pihak menemui kekurangan yang terdapat pada pihak lain. Perlu dikemukakan bahwa

sesungguhnya kalau dilihat dari segi syarat dan rukun perkawinan yang sudah berlangsung itu

dianggap syah, dengan segala akibat hukumnya. Tetapi karena dikemudian hari ada hal-hal

yang menyenbabkan perkawinan harus dibubarkan, maka hakim dapat memutuskan

hubungan suami isteri tersebut. Dalam hal ini bubarnya hubungan perkawinan dimulai sejak

difasakhkannya perkawinan tersebut.

Seperti dikemukakan bahwa terjadinya faskh ialah dengan cara salah satu pihak mengajukan

permintaan pemutusan hubungan perkawinan itu kepada Pengadilan Agama.

Adapun dasar dari putusnya hubungan perkawinan dalam bentuk fasakh adalah hadits Nabi

Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah yang berbunyi sebagai berikut:”

Rasul membolehkan seorang wanita yang sesudah ia kawin baru mengenal bahwa ia tidak

sekufu ( sederajat atau sepadan ) untuk itu boleh memilih tetap atau diteruskannya hubungan

perkawinannya itu atau ia ingin untuk di fasakh kan wanita itu memilih meneruskan

hubungan perkawinan itu dengan yang lebih rendah derajatnya”

Biasanya alasan menuntut fasakh di Pengadilan adalah isteri. Adapun alasan boleh

seseorang isteri menuntut fasakh di Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:

1. Suami sakit gila

2. Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan sembuh,

3. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan hubungan kelamin

4. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada isteri

5. Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami.

5
6. Suami pergi tanpa diketahui tempat tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak
diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama (Sumiyati 1982 hlm: 114)
Disamping itu, dalam kesempatan ini perlu dikemukakan bahwa terdapat pula

beberapa yang menyebabkan hubungan suami isteri (sexual inticource) tidak dapat dilakukan,

sekalipun hubungan perkawinan itu secara hukum syara’ tidak putus ( Syarifuddin t,t hlm:

124-125) Artinya hukum Islam mengharamkan terjadinya hubungan badan antara suami

isteri. Hal-hal tersebut adalah sebagai isterinya seperti zhihar, li’an illa’.

1. Suami tidak boleh menggauli isterinya karena ia telah menyamakan isteri dengan ibunya.

Ia dapat meneruskan hubungan suami isteri bila suami telah membayar kifarat atau

denda. Terhentinya hubungan perkawinan seperti itu disebut zhihar. Zhihar adalah

persedur thalak, yang hampir sama dengan illa’. Zhihar dimaksud ialah seorang suami

yang bersumpah bahwa isterinya baginya sama dengan punggung ibunya. Dengan

bersumpah demikian berarti suaminya telah menceraikan isterinya.

Zhihar adalah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang arab artinya suatu

keadaan dimana seorang suami bersumpah bagi isterinya itu sama dengan punggung

ibunya. Sumpah ini artinya tidak akan mencampuri isterinya lagi. Sumpah seperti ini

termasuk hal yang mungkar, yang tidak disenangi Allah dan sekaligus merupakan

perkataan yang dusta dan paksa. Akibat dari sumpah itu terputus ikatan antara suami

isteri. Kalau hendak menyambung kembali hubungan keduanya, maka wajib suami

membayar kifarat terlebih dahulu. Bentuk kifaratnya adalah melakukan salah satu

perbuatan dibawah ini dengan berturutturut urutannya menurut kesanggupan suami yang

bersangkutan (1) memerdekakan seorang budak (2) puasa dua bulan berturut-turut (3)

memberi makan 60 0rang miskin.

6
2. Suami tidak boleh menggauli isterinya, karena ia telah bersumpah untuk tidak menggauli

isterinya dalam masa tertentu sebelum ia membayar kifarat atas sumpahnya itu, namun

perkawinan itu tetap utuh. Terhentinya hubungan seperti ini disebut illa’.

Illa’ ialah sumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa arab

jahiliyah perkataan illa’ ini mempunyai pengertian khusus dalam perkawinan mereka.

Arti illa’ menurut mereka ialah : Suami bersumpah tidak mencampuri isteri nya dalam

waktu tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak dithalak atau dicerai. Sehingga kalau

keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri, karena

keadaannya terkatung-katung tidak berketentuan. Maka setelah datang hukum Islam illa’

itu diatur sedemikian rupa sehingga tidak merugikan pihak isteri. Ketentuan ini tercantum

dalam al-qur’an Al-Baqarah 226-227.

Artinya;

Kepada orang-orang yang meng-illa’ isterinya diberi tangguh empat bulan

lamanya. Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya) maka sesungguhnya

Allah maha pengampun lagi maha penyayang ( Al- Baqarah 226)

Ayat ini menjelaskan bahwa seorang suami yang meng illa’ isterinya yakni

bersumpah tidak akan mencampuri isterinya, diberi kesempatan empat bulan untuk suami

kembali bergaul dengan isterinya, maka Allah akan mengampuni dan akan

memperkenankannya.

7
Artinya
Dan jika mereka berazam ( berketetapan) hati untuk thalak maka sesungguhnya

Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.( Al-qur’an Baqarah 227)

Ayat ini memberikan pengertian bahwa kalau sudah terjadi illa’ dan suami

berkehendak untuk menjatuhkan thalak, maka dapat dibenarkan oleh hukum Islam.

3. Suami tidak boleh menggauli isterinya karena ia telah menyatakan sumpahnya atas

kebenaran tuduhannya terhadap isterinya yang berbuat zina, sampai sesuai proses lian dan

perceraian dimuka hakim. Terhentinya perkawinan ini disebut lian. Arti dasar li’an ialah

laknat dan dalam istilah hukum Islam li’an diartikan oleh para ulama’ dengan sumpah

yang didalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Allah, apabila mengucap

sumpah tersebut dusta. Dalam hukum perkawinan sumpah li’an ini sesungguhnya dapat

berakibat kepada putusnya perkawinan suami isteri untuk selamanya, manakalah

memenuhi kreteria-kereteria dalam proses perceraian akibat li’an tersebut.

Kreteria-kreteria proses perceraian akibat li’an adalah sebagai berikut :

a. Suami menuduh isterinya berbuat zina, harus mengajukan saksi-saksi yang cukup,

yang turut menyaksikan perbuatan penyelewengan tersebut.

b. Kalau suami menuduh isterinya berbuat zina, harus mengajukan saksi, sumpah

tidak terkena hukuman menuduh zina, ia harus mengucap sumpah lima kali,

empat kali menyatakan sumpahnya benar dan sumpah yang kelima kali,

menyatakan ia bersedia menerima laknat Allah apabila tuduhannya tidak benar.

c. Untuk membebaskan dari tuduhan, si isteri juga harus bersumpah lima kali, empat

kali menyatakan tidak bersalah dan kelima kalinya menyatakan bersedia

menerima laknat dari Allah apabila ia bersalah.

8
d. Akibat dari sumpah ini isteri telah bebas dari tuduhan dan ancaman hukuman ,

namun hubungan perkawinan tetap menjadi putus untuk selamanya.

Diatas telah dikemukakan, bahwa dari aspek motif atau kehendak, ada beberapa bentuk dari

putusnya perkawinan antara suami dan isteri, yaitu putusnya hubungan perkawinan karena

kematian; putusnya hubungan perkawinan karena keinginan dari pihak suami yang disebut

cerai thalak, sedangkan putusnya hubungan perkawinan karena keinginan isteri dikenal

dengan khuluk; dan putusnya hubungan perkawinan karena kehendak Pengadilan disebut

dengan fasakh. Dalam sub bahasan ini pembicaraan akan difokuskan kepada putusnya

perkawinan dalam katagori thalak dan katagori khulu’ yang disebut dengan perceraian.

B. Pengertian Perceraian

Dalam kehidupan sehari-hari , berkenaan dengan persoalan keluarga, kita sering mendengar

istilah perceraian. Istilah ini tampaknya ditujukan untuk penyebutan suatu kasus atau

peristiwa berpisahnya antara seorang laki-laki dan perempuan yang sebelumnya ada ikatan

perkawinan antara suami isteri. Kata perceraian secara kebahasaan, berasal dari kata cerai,

yang artinya pisah, bubar, atau porak parik.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan perceraian disini, adalah terjadinya

perpisahan antara suami isteri, atau hancurnya ikatan perkawinan, sehingga ikatan suami

isteri menjadi bubar, atau putusnya hubungan suami isteri dalam membina rumah tangga.

C. Alasan-alasan atau Penyebab Terjadinya Perceraian

Perceraian itu adalah suatu tindakan yang dibolehkan tetapi sangat dibenci Allah. Sebab itu

terjadinya perceraian antara suami isteri haruslah cukup alasan, dimana antara suami isteri

tersebut memang tidak akan dapat lagi hidup rukun dan damai. Islam sesungguhnya sangat

9
tidak menganjurkan suatu perceraian, kecuali memang ada hal-hal yang mendesak, sehingga

kalau tidak terjadi perceraian maka kemodhoratan akan dialami oleh kedua belah pihak atau

salah satu pihak, baik suami atau isteri.

Sedemikian ketatnya ajaran Islam tentang percearaian, maka kalaupun terjadi

perselisihan antara suami isteri (syqoq) maka tidak secara otomatis dapat dilakukan

perceraian. Syiqoq berarti perselisihan atau menurut istilah fiqh berarti perselisihan antara

suami isteri yang diselesaikan dua orang hakam, seorang dari pihak suami dan satu orang dari

pihak isteri. Pengangkatan Hakam kalau terjadi syiqoq atau perselisihan, ketentuannya

terdapat dalam Al-qur’an surat An-Nisa’ ayat 35

Artinya:

”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan atau perselisihan antara

keduanya , maka kirimlah seorang juru damai dari pihak keluarga laki-laki dan

keluarga perempuan, jika juru damai itu berkehendak mengadakan perbaikan,

niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu.

Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal” ( An-Nisa’ : 35)

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa seandainya terjadi perselisihan antara suami

isteri, maka hendaklah memanfaatkan pihak mediator atau penengah untuk menyelesaikan

persoalan yang menyebabkan terjadinya perselisihan tersebut. Pihak mediator yang disebut

hakam tersebut ada dari pihak keluarga laki-laki ada dari pihak keluarga perempuan, atau dari

10
orang yang dianggap mampu menyelesaikan persengketaan tersebut. Dalam hal ini bila

memang ada niat baik untuk perbaikan maka Allah akan memberikan petunjuk kepada

pasangan suami isteri tersebut.

Pengankatan hakam dimaksud dalam ayat tersebut diatas, yaitu bertugas untuk

mendamaikan suami isteri, dan pengangkatan hakam hanya dalam keadaan benar-benar

diperlukan. Dan jika sudah sekuat tenaga berusaha mendamaikan suami tersebut tidak

berhasil, maka hakam boleh mengambil keputusan menceraikan suami isteri tersebut.

Hakam berarti hakim, sebagaimana hakim boleh memberikan keputusan untuk

menceraikan suami isteri atau berusaha mendamaikan tanpa meminta persetujuan terlebih

dahulu kepada suami atau isteri. Dengan memberikan kekuasaan penuh kepada hakam yang

diangkatnya untuk mengambil keputusan mana yang maslahat antara melangsungkan

hubungan perkawinan atau menceraikan suami isteri itu.

Menurut Syeh Abdul Aziz Al-Khuli tugas dan syarat orang yang boleh diangkat

menjadi hakam adalah sebagai berikut: Pertama berlaku adil antara yang bersengketa. Kedua

dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan kedua suami isteri tersebut Ketiga dua orang

hakam itu disenangi oleh kedua bela pihak, Keempat hendaklah berpihak kepada yang

teraniaya, maksudnya menegakkan kebenaran.

Dari syarat-syarat itu tersebut kita dapat memahami bahwa hakam itu benar-benar untuk

mencari kemaslahatan, bukan untuk memecahkan kerukunan rumah tangga mereka. Berarti

perceraian itu baru boleh terjadi, jika memang benar-benar sudah dalam keadaan darurat, atau

memang hukum telah mempunyai kepentingan, maksudnya untuk mengambil maslahat yang

lebih besar, ketimbang mereka masih dalam ikatan perkawinan tetapi terus-menerus terjadi

perselisihan.

11
Dalam hal ini Mushthafa dibul Bigha, di dalam bukunya : At-Tadhib fi Adillah Matn Al-

Ghayah wa-at Taqrib ( 1978:164) bahwa si isteri dikembalikan pada orang tuanya

(diceraikan ) karena lima hal, Yaitu gila, berpenyakit lepra, belang, kemaluannya buntung

atau kemaluannya lumpuh.

Perinsip-perinsip yang telah digariskan hukum Islam yang memperketat terjadinya

perceraian tersebut telah terujud dalam undang-undang atau aturan yang berlaku di Indonesia,

maka dalam memproses pengajuan perkara perceraian. Pengadilan Agama terlebih dahulu

memeriksa alasan-alasan penyebab mereka mengajukan permohonan perceraian. Baik cerai

karena gugat maupun karena thalak. Segala bentuk perceraian yang diajukan kepada suami

atau isteri. Sedangkan pengertian khusus yang dimaksud dengan thalak adalah putusnya

ikatan perkawinan antara suami dan isteri karena kehendak suami. Atau perceraian yang

dijatuhkan oleh suami kepada isterinya. Dengan ungkapan lain, Istilah perceraian lebih umum

dipergunakan untuk menyatakan putusnya hubungan ikatan tali prkawinan antara suami

isteri, tetapi dalam perakteknya, untuk melaksanakan perceraian itu ada ketentuan, bahwa

thalak hak suami untuk menjatuhkannya.

Selanjutnya dalam fikih Islam dirumuskan bahwa dilihat dari segi keadaan isteri

ketika thalak diucapkan suami, maka thalak itu ada dua macam, yaitu:

Pertama thalak yang dijatuhkan suami dimana isteri waktu itu dalam keadaan haid dan

dalam masa itu belum pernah dicampuri oleh suaminya. Thalak semacam ini disebut thalak

sunni, atau pelaksanaannya telah menurut hukum syara’ dan tidak ada pengaruh dalam iddah.

Kedua thalak yang dijatuhkan oleh suami yang mana waktu itu si isteri sedang dalam

keadaan haid atau dalam masa suci, namun dalam masa itu sudah dicampuri oleh suaminya.

Thalak seperti ini disebut thalak bid’iy. Artinya thalak semacam itu menyimpang dari sunnah

12
Nabi. Hukumnya haram, alasan dengan cara ini perhitungan iddah isteri memanjang, karena

setelah terjatuh thalak belum langsung hitung iddahnya.

Adapun alasan-alasan yang bisa dijadikan motif kebolehan terjadinya

perceraian adalah sebagai berikut:

a. Salah satu berbuat zina atau pemabuk, pemadat, pejudi dan lain sebagainya

yangsulit disembuhkan

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 ( dua ) tahun berturut-

turuttanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar

kemampuannya

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

lainyang lebih berat setelah perkawinan berlangsung

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

yangmembahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapatmenjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.

f. Antara suami isteri terjadi terus-menerus perselisihan pertengkaran dan tidak

adaharapan untuk hidup rukun lagi dalam runmah tangga.

g. Suami melanggar talik talak

h. Peralihan Agama atau murtat yang mengakibatkan tidak rukun dalam

rumahtangga.

Perlu dikemukakan dalam kita-kitab fiqh klasik, seperti diungkapkan oleh (M. Atho

Mudzar 2003 hlm :212) bahwa thalak dapat terjadi dengan pernyataan sepihak dari pihak

suami. Baik secara lisan maupun secara tertulis secara bersungguh-sungguh atau

bersendagurau, sekalipun dalam bersendagurau itu harus disertai dengan niat untuk

13
menthalak dari pihak suami. Pendapat-para ahli hukum Islam yang tertuang dalam kitabkitab

fiqh klasik tersebut tampaknya jelas menempatkan kaum perempuan sebagai pihak yang

inferior atau umat kelas dua yang dihadapkan pada kaum laki-laki. Kaum laki-laki dianggap

selalu mempunyai derajat lebih tinggi dari kaum perempuan.

Tetapi dewasa ini di negeri Muslim, ketentuan dalam fikih-fikih klasik tersebut telah

begeser oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perkawinan. Di

Indonesia umpamanya masalah thalak atau perceraian telah diatur dalam undang-undang

nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Pada Pasal 39 ayat (1) undang–undang tersebut

menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua bela pihak

dalam menghadapi sengketa keluarga, Pasal 39 ayat (1) ini tentunya bertujuan untuk

mempersulit dan mengurangi terjadinya perceraian, selain itu juga perceraian tidak

didominasi oleh hak suami, namun telah terlihat keseimbangan, sesuai dengan aturan

perundang-undangan. Sedangkan dalam fikih-fikih klasik, bahwah perceraian itu sudah jatuh

apabila telah diucapkan oleh suami, baik secara kinayah (bersendagurau), kinayah ini

sifatnya tidak tegas hanya dengan kata-kata yang halus dan bisa salah tafsiran bagi yang

mendengarkan kata-kata tersebut. Sebagaimana contoh tikar sudah ku gulung, tali telah

kuputus. Tetapi kalau sareh itu sifatnya sangat tegas dan sareh, tidak ada kata lain kecuali

artinya menthalak isteri sebagaimana contoh engkau ku thalak satu.

14

Anda mungkin juga menyukai