Anda di halaman 1dari 9

KEDUDUKAN TAKLIK TALAK DALAM PERNIKAHAN

MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


H.RIDWAN

Abstrak

Taklik talak adalah talak yang jatuhnya digantungkan pada suatu perkara atau alasan-
alasan tertentu yang telah disepakati . Perjanjian taklik talak mempunyai perbedaan dengan
perjanjian pada umumnya dalam hal tertutupnya kemungkinan kedua belah pihak untuk
membubarkan kesepakatan tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 46 ayat (3) KHI
yang menyatakan bahwa perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan
pada setiap perkawinan . Akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat
dicabut kembali . Sejalan dengan isi sighat taklik talak tersebut, maka taklik talak dalam
perundang-undangan Perkawinan Indonesia pun masuk pada pasal perjanjian perkawinan .
Implikasi hukum yang dapat ditimbulkan adalah apabila suami melanggar ikrar taklik talak,
maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran, dan pelanggaran tersebut dapat dijadikan
alasan oleh istri untuk mengajukan tuntutan perceraian kepada pengadilan agama.
Kata kunci: taklik talak, perjanjian, perkawinan

Latar Belakang
Ikatan perkawinan merupakan unsur pokok dalam pembentukan keluarga yang
harmonis dan penuh rasa cinta kasih, oleh karena itu dalam pelaksanaan perkawinan
memerlukan norma hukum yang mengaturnya . Penerapan norma hukum dalam pelaksanaan
perkawinan terutama diperlukan dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab
masing masing anggota keluarga, guna membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.
Menurut Kompilasi Hukum islam (1991) perkawinan (pernikahan) adalah suatu akad
yaitu akad yang menghalalkan pergaulan (hubungan suami isteri) dan membatasi hak dan
kewajiban serta tolong menolong antara lakilaki dan seorang perempuan yang dua-duanya
bukan muhrim, artinya apabila seorang pria dan seorang perempuan bersepakat diantara
mereka untuk membentuk suatu rumah tangga, maka hendaknya kedua calon suami isteri
tersebut terlebih dahulu melakukan akad nikah.
Manurut Bakri A . Rahman dan Ahmad Sukardja (1981) memberikan pendapat bahwa
pandangan masyarakat, perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai
dasar kehidupan masyarakat dan negara . Guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagian
masyarakat, perlu adanya landasan yang kokoh dan kuat sebagai titik tolak pada masyarakat
yang adil dan makmur, hal ini dituangkan dalam suatu Undang-undang Perkawinan yang
berlaku bagi semua warga negara di wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai wujud kehadiran untuk mengatur tentang perkawinan yang tertuang dalam
Undang-undang No 1 tahun 1974 dan telah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9
tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dan peraturan-peraturan lainnya tentang perkawinan.
Menurut Slamet Abidin dan Aminuddin (1999) Tujuan perkawinan selain membentuk
keluarga bahagia, juga bertujuan lain yaitu bersifat kekal . Di Dalam sebuah perkawinan perlu
ditanamkan bahwa perkawinan itu berlangsung untuk waktu seumur hidup dan selama-
lamanya kecuali dipisahkan karena kematian . Tujuan perkawinan menurut Islam adalah
menuruti perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan
mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.
Fenomena di dalam masyarakat kadang berbicara lain, perkawinan yang diharapkan
sakinah, mawadah, warohmah ternyata karena satu dan lain hal harus kandas di tengah jalan .
Kondisi rumah tangga mengalami perselisihan, pertengkaran serta suami istri sudah tidak
dapat lagi didamaikan maka Islam memberi solusi dengan perceraian atau talak . Perceraian
atau talak merupakan solusi terakhir untuk mengakhiri pertentangan dan pergolakan antara
suami istri serta menjadi jalan keluar yang layak untuk keduanya . Kendati dibolehkan Allah
membenci perceraian atau talak.
Pada Pasal 38 Undang-undang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat putus
karena tiga hal, yaitu karena kematian, karena perceraian dan atas putusan pengadilan. Di
Indonesia ada suatu pranata hukum yang unik dalam perkawinan tentang taklil talak yang
dibacakan oleh mempelai pria pada saat akad nikah. Hal ini beralasan bahwa seorang suami
mempunai hak talak sedangkan istri tidak. Talak adalah hak suami, karena dialah yang
berminat melangsungkan perkawinan, dialah yang berkewajiban memberi nafkah, dia pula
yang wajib membayar mas kawin, mut’ah, serta nafkah dan iddah. Dengan adanya talik talak
(janji yang digantungkan) maka seorang suami akan berhati-hati dalam mentalak istrinya,
karena istri juga bisa menggugat suaminya akibat melanggar talik talak.
Meskipun istri tidak mempunyai hak talak, akan tetapi ia dapat mengajukan gugatan
perceraian terhadap suaminya . Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 114 KHI, yang
selengkapnya berbunyi “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi
karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian” . Dengan adanya hak untuk mengajukan
gugatan itu apabila seorang istri ingin bercerai dengan suaminya, tentu saja didasarkan pada
alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum, maka ia dapat mengajukan perceraian ke
Pengadilan Agama . Oleh karena itu dalam perceraian, hak antara seorang suami dan istri
adalah seimbang, Abdul Rachmad Budiono (2003).
Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak ditemukan
pasal yang secara khusus menyebutkan serta mengatur tentang taklik talak dalam kapasitasnya
baik sebagai perjanjian perkawinan maupun sebagai alasan perceraian . Pasal 29 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 ini hanya menyebutkan dibolehkannya bagi kedua mempelai
untuk mengadakan perjanjian tertulis sebelum melangsungkan perkawinan. Dalam
penjelasannya pada Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditekankan bahwa
perjanjian perkawinan yang dimaksud tidak termasuk taklik talak di dalamnya. Tatapi talik
talak tersebut hanya didasarkan Maklumat Kementerian Agama Nomor 3 Tahun 1953,
Kementerian Agama menganjurkan kepada pejabat daerah agar dalam pernikahan itu
dibacakan taklik talak . Sighat taklik dirumuskan sedemikian rupa untuk melindungi istri dari
sikap kesewenang-wenangan suami, jika istri tidak rela atas perlakuan suami maka istri dapat
mengajukan gugatan perceraian berdasarkan terwujudnya syarat taklik talak yang disebutkan
dalam sighat taklik.
Di masyarakat eksistensi taklik talak ternyata banyak melahirkan kontoversi, baik di
kalangan fuqaha maupun para pengamat Hukum Islam . Permasalahan ini perlu dan relevan
untuk dibahas agar penerapannya benar-benar sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan benar-benar dapat memenuhi serta memberikan kepastian hukum bagi pencari keadilan .
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka pokok permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah:
1 Apakah taklik talak dalam suatu perkawinan Islam dapat dikategorikan sebagai
perjanjian?
2 Apa implikasi hukum terhadap pelanggaran taklik talak bagi suatu perkawinan?
Pembahasan
A. Pengertian Taklik Talak
Kata Taklik talak berasal dari dua kata yaitu taklik dan talak, dari segi bahasa taklik
berasal dari kata (‫ )علق‬yang mempunyai arti “menggantungkan”. Sedangkan kata talak
berasal dari kata bahasa arab yaitu (‫ )طلق‬yang artinya melepaskan atau meninggalkan,
Mahmud Yunus (1990 : 227).
Muhammad Jawad Mughniyah (2001 : 37) Berkaitan dengan waktu yang akan datang
atau waktu tertentu, maksudnya talak itu akan jatuh apabila syaratnya telah dilanggar.
Imam madzhab sendiri mempunyai pendapat yang berlainan. Abu Hanifah dan Imam
Malik berpendapat bahwa perempuan tertalak seketika itu juga, tetapi Imam Syafi‟i dan
Ahmad mengatakan belum berlaku sebelum waktu itu tiba, adapun Ibnu Hazm baik
sekarang atau yang akan datang talak semacam itu tidak jatuh. Selanjutnya taklik talak
diartikan suatu talak yang digantungkan jatuhnya pada suatu hal yang telah diperjanjikan
itu dan jika hal atau syarat yang telah diperjanjikan itu dilanggar oleh suami, maka
terbukalah kesempatan mengambil inisiatif untuk talaq oleh istri, kalau ia menghendaki
demikian itu. Tetapi berkaitan dengan waktu yang akan datang atau waktu tertentu,
maksudnya talak itu akan jatuh apabila syaratnya telah dilanggar. Imam madzhab sendiri
mempunyai pendapat yang berlainan. Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa
perempuan tertalak seketika itu juga, tetapi Imam Syafi‟i dan Ahmad mengatakan belum
berlaku sebelum waktu itu tiba, adapun Ibnu Hazm baik sekarang atau yang akan datang
talak semacam itu tidak jatuh.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa taklik talak adalah
suatu talak yang digantungkan pada suatu yang mungkin terjadi yang telah disebutkan
dalam suatu perjanjian, setelah akad nikah.

B. Kedudukan Taklik Talak Dalam Pernikahan Menurut Perspektif Hukum Islam


Berdasarkan Pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum Islam dinyatakan perjanjian
perkawinan adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah
yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu
keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang . Rumusan definisi
perjanjian perkawinan yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam lebih bersifat
universal-konsepsional yang berarti tidak mencampur-adukkan antara kebijakan yang
sifatnya temporal dengan konsep dasar perjanjian perkawinan yang sifatnya permanen dan
universal.
Perjanjian Perkawinan dalam KHI terdapat dalam BAB VII yang di dalamnya
mengatur taklik talak sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 45 dan Pasal 46 yang
berbunyi: “Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:
(1) Taklik Talak . (2) Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam .
Adapun mengenai penjelasannya adalah kata perjanjian berasal dari kata janji yang berarti
perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat . Janji juga dapat
diartikan persetujuan antara dua pihak (masing-masing menyatakan kesediaan dan
kesanggupan untuk berbuat sesuatu). Dan perjanjian bisa juga diartikan sebagai
persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masingmasing
berjanji menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu . Perjanjian taklik talak adalah
perjanjian yang diucapkan oleh suami setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta
nikah berupa talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi
di masa yang akan datang.
Sedangkan dalam Pasal 46 KHI berbunyi: (1) Isi taklik talak tidak boleh
bertentangan dengan Hukum Islam . (2) Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik
talak betul-betul terjadi dikemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh . Supaya talak
sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke pengadilan agama . (3)
Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan,
akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Dari ketentuan perjanjian perkawinan yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 45 ayat (2) bahwa perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam
terdapat kaitannya dengan perjanjian yang ada dalam Pasal 1320 KUHPerdata
mengemukakan bahwa undang-undang telah menentukan 4 (empat) persyaratan yang
harus dipenuhi agar suatu perikatan atau perjanjian dianggap sah yaitu: a . Kesepakatan
mereka yang mengikat diri . b . Kecakapan untuk membuat suatu perikatan . c . Suatu hal
tertentu . d . Suatu sebab yang halal .
Oleh karena itu , perjanjian perkawinan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam,
walau dengan teks yang berbeda mempunyai unsur-unsur yang sama dengan perjanjian
dalam KUHPerdata . Namun demikian, dalam perjanjian taklik talak mempunyai
perbedaan dengan perjanjian pada umumnya dalam hal tertutupnya kemungkinan kedua
belah pihak untuk membubarkan kesepakatan tersebut sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 46 ayat (3) KHI yang menyatakan bahwa perjanjian taklik talak bukan suatu
perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan . akan tetapi sekali taklik talak
sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Untuk mengukur apakah taklik talak sebuah perjanjian atau bukan, kita harus
melihat Pasal 1320 KUH Perdata yang memuat syarat sahnya perjanjian yaitu (1) Sepakat
meraka yang mengikatkan dirinya, (2) Cakap mereka yang mengikatkan diri, (3) Suatu hal
tertentu, dan (4) Suatu sebab atau kausa yang halal . Syarat-syarat sahnya perjanjian
sebagaimana tersebut di atas dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu kategori. Syarat
subjektif dan kategori syarat objektif . Syarat subjektif, yaitu syarat sepakat mereka yang
mengikatkan diri dan syarat kecakapan untuk membuat perjanjian . Apabila syarat
subjektif tidak dapat dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan (Vernieitigbaar). Syarat
objektif, yaitu syarat suatu hal tertentu dan syarat suatu sebab yang halal . Apabila dalam
perjanjian syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian adalah batal demi hukum,
Purwahid Patrik (1990 : 65).

C. Implikasi Hukum Terhadap Pelanggaran Taklik Talak Dalam Suatu Perkawinan


1. Pelaksanaan Sighat Taklik Talak Dalam Perkawinan
Dalam pelaksanaan akad nikah sering kita lihat bahwa setelah prosesi ijab dan
qobul biasanya dilanjutkan dengan pembacaan Sighat Taklik. Hal itu dilakukan bukan
semata untuk sekedar melengkapi administrasi pernikahan tetapi sesungguhnya sighat
taklik itu muncul karena ada kesenjangan yang terjadi bahwa laki-laki memiliki hak
talak sedangkan wanita tidak. Disaat itu laki-laki memiliki kekuasaan penuh untuk
mengawini dan menalak wanita dengan sesuka hati. Untuk mengantisipasi dari
kesewenang-wenagan bagi laki dan menjaga kehormatan wanita maka lahirlah sighat
taklik Berdasarkan Maklumat Kementerian Agama Nomor 3 Tahun 1953 Tentang
Sighat Taklik.
Menurut Mahmoud Syaltout dalam buku Perbandingan Mazhab menjelaskan
bahwa para ahli Hukum Islam berpendapat bahwa perjanjian taklik talak adalah jalan
terbaik dalam melindungi kaum wanita dari perbuatan tidak baik dari pihak suami .
Sekiranya seorang suami telah mengadakan perjanjian taklik talak, ketika akad nikah
dilaksanakan dan bentuk perjanjian itu telah disepakati bersama, maka perjanjian taklik
talak itu dianggap sah untuk semua bentuk taklik . Apabila suami melanggar perjanjian
yang telah disepakati itu maka isteri dapat meminta cerai kepada hakim yang telah
ditunjuk oleh pihak yang berwenang, Murtadha Muthahhari (1997:197).
Dari isi taklik talak dapat diketahui bahwasanya apabila suami nantinya
melanggar isi taklik talak, maka ini bisa dijadikan sebagai alasan istri untuk menggugat
cerai suaminya . Perjanjian semacam ini menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan menurut Kompilasi Hukum Islam, boleh dilaksanakan.
Isi perjanjian tersebut pada dasarnya tidak bertentangan dengan hukum positif dan
Hukum Islam . Sekilas kita melihat bahwa ikrar taklik talak ini sebagai bentuk
kesungguhan mempelai pria kepada mempelai wanita bahwa ia akan selalu mencintai
istrinya dan berjanji akan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami dengan
baik . Hal ini juga memberikan perlindungan hukum bagi wanita karena mendapat
jaminan dari suaminya.
2. Pelanggaran Taklik Talak Sebagai Alasan Perceraian
Pembahasan pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian telah dibahas
para ulama fiqih dalam berbagai kitab fiqih. Dalam pembahasan mengenai hal ini
mereka ikhtilaf . Ada yang membolehkan dan ada pula yang menolaknya, ada yang pro
dan ada pula yang kontra . Perbedaan tersebut sampai sekarang mewarnai
perkembangan Hukum Islam.
Di antara yang membolehkan pun terdapat dua pendapat . Ada yang
membolehkan secara mutlak dan ada yang membolehkan dengan syarat-syarat tertentu .
Perbedaan faham di antara mereka yang membolehkan, pada dasarnya terletak pada
bentuk sifat dan sighat taklik talak yang bersangkutan . Yang membolehkan secara
mutlak, mereka membolehkan semua bentuk sighat taklik, baik yang bersifat syarthi
maupun qasami, yang bersifat umum maupun yang dikaitkan dengan sesuatu . Sedang
yang membolehkan ialah sighat taklik yang bersifat syarthi, dan sesuai dengan maksud
tujuan hukum syar’i, Mahmoud Syaltut (1978:218-219).
Ulama berbeda pendapat tentang jatuh atau tidaknya talak dengan dua
formulasi di atas . Jumhur Ulama berpendapat bahwa dua bentuk taklik yang dikaitkan
dengan talak/ janji, apabila yang ditaklikkan terjadi maka talaknya jatuh . Sedangkan
Ibn Hazm dan Ibn Oayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa taklik yang di dalamnya
terkandung maksud sumpah (qasam) tidak berakibat jatuhnya talak, akan tetapi wajib
membayar kifarat sumpah dan taklik yang di dalamnya terkandung syarat yang
dimaksudkan untuk menjatuhkan talak ketika terjadinya sesuatu yang disyaratkan,
maka talak tersebut jatuh, Zakiyuddin Sya’ban (1967:442)
Fakta yuridis mengenai alasan perceraian sebagaimana yang tersebut dalam
Pasal 39 Ayat (2) UU Perkawinan beserta penjelasannya, maupun dalam Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, tidak disinggung mengenai taklik talak
sebagai alasan perceraian . Pembuat undang-undang menganggap bahwa perceraian
berdasarkan penjelasan Pasal 39 Ayat (2) Undang-undang Perkawinan jo . Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 telah cukup memadai, sesuai dengan jiwa
undang-undang tersebut yang antara lain menganut asas mempersukar terjadinya
perceraian . Sehingga tidak perlu lagi ditambah atau diperluas .
Keberadaan taklik talak apabila ditinjau dari hukum perjanjian, merupakan
sebuah perjanjian yang apabila dilanggar menimbulkan konsekuensi yuridis yaitu
suami telah melakukan perbuatan ingkar janji atau wanprestasi, sehingga menurut
penulis si istri dapat menggugat si suami ke pengadilan negeri untuk menuntut hak-
haknya yang telah dilanggar oleh suami tersebut sesuai bunyi dari taklik talak yang ada.
Hal ini berdasarkan argumentasi bahwa taklik talak itu adalah sebuah perjanjian yang
telah disepakati bersama baik oleh suami ataupun oleh istri .
D. Simpulan
Taklik talak adalah perjanjian yang digantungkan dalam suatu pernikahan yang
berlaku di Indonesia, hal ini lahir karena adanya kesewenag-wenangan dari para suami
menjatuhkan talak kepada istrinya. Untuk mengantisipasi dari kesewenang-wenangan
bagi laki dan menjaga kehormatan wanita maka lahirlah sighat taklik Berdasarkan
Maklumat Kementerian Agama Nomor 3 Tahun 1953 Tentang Sighat Taklik. Hal ini
senada dengan kaidah fiqh : bahwa kemadharatan harus dicegah
sedapat mungkin.
Implikasi hukum yang dapat ditimbulkan adalah apabila suami melanggar ikrar
taklik talak tersebut, maka itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran, dan
pelanggaran tersebut dapat dijadikan alasan oleh istri untuk mengajukan tuntutan
perceraian kepada pengadilan agama . Apabila memperhatikan bentuk taklik talak di
atas dapat dipahami bahwa maksud yang dikandungnya amat baik dan positif kepastian
hukumnya, yaitu melindungi istri dari kesewenang-wenangan suami dalam memenuhi
kewajibannya yang merupakan hak-hak istri yang harus diterimanya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rachmad Budiono, Peradilan Agama dan Hukum Islam di Indonesia, Bayumedia
Publishing, Malang . 2003

Bakri A . Rahman dan Ahmad Sukardja, , Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam,
Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata/ BW, Hidakarya Agung, Jakarta .
1981

Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab Indonesia, Penerbit Hidakarya Agung , Jakarta, 1990

Muhammad Jawad Mughniyah, , al-fiqh ala al-Madzahib al-khamsah, Terjemahann Masykur


A.B., Afif Muhammad dan Idrus Al-Kaff, Fiqih Lima Madzhab, Lentera, Jakarta, .
2001

Murtadha Muthahhari, The Rights of Women in Islam, Terjemahan M . Hashem, 1991

Mahmoud Syaltut, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqh, Terjemahan Ismuha, Bulan
Bintang, Jakarta . Penerbit Pustaka, Bandung. 1978

Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung . 1999

Slamet Abidin dan Aminuddin, , Fiqih Munakahat 1, Pustaka Setia, Bandung . 1999

Zakiyuddin Sya’ban, al-Ahkam al-Syar’iyah li af-Ahwal al-Syakhsiyah, al-Nahdah al-


Arabiyah, Mesir . 1967

Kitab Undang-undang Hukum Perdata . Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama . Undang-undang Nomor 3


Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.

Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undangundang Nomor 1


Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Anda mungkin juga menyukai