PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian perkawinan?
2. Apa syarat dan momentum sahnya perkawinan?
3. Apa tujuan perkawinan?
4. Bagaimana pencegahan dan pembatalan perkawinan?
5. Apa larangan perkawinan?
6. Apa perjanjian perkawinan?
7. Apa akibat perkawinan?
8. Bagaimana putusnya perkawinan?
9. Apa akibat putusnya perkawinan?
C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian perkawinan
2. Mengetahui syarat dan momentum sahnya perkawinan
1
3. Mengetahui tujuan perkawinan
4. Mengetahui pencegahan dan pembatalan perkawinan
5. Mengetahui larangan perkawinan
6. Mengetahui perjanjian perkawinan
7. Mengetahui apa akibat perkawinan
8. Mengetahui putusnya perkawinan
9. Mengetahui akibat putusnya perkawinan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan
Selanjutnya, dalam hidup bersamam ikatan bathin ini tercermin dari adanya
kerukunan suami istri yang bersangkutan.Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan bathin
merupakan dasar utama dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan
kekal.2
1
Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2002)
2
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 1976)
3
bahagia dan kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk
sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk
seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputus begitu saja. Karena itu,
tidak diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk sementara waktu
saja seperti kawin kontrak.Pemutusan perkawinan dengan perceraian hanya
diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa.3
UU No.1 tahun 1974 dan hukum islam memandang bahwa perkawinan itu tidak
hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan
sosial.aspek agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan aspek
formal adalah menyangkut aspek administrative, yaitu pencatatan di KUA dan catatan
sipil.4
3
Riduan Syahrani, Seluk beluk Asas-asas hukum perdata, (Banjarmasin; PT. Alumni, 2006)
4Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta; Sinar Grafika,
2002)
4
Dr. Anwar Haryono SH, dalam bukunya Hukum Islam juga mengatakan: pernikahan
adalah suatu petjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk
membentuk keluarga bahagia.
Syarat intern yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan melaksanakan
perkawinan. Syarat-syarat intern meliputi:
2) Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun;
5) Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu (iddah).
Bagi wanita yangputus perkawinannya karena perceraian, masa iddahnya 90
hari dan karena kematian 130 hari.
5
Syarat ekstern yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam
pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat itu meliputi:
Syarat materiil yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam
melangsungkan perkawinan. Syarat materiil ini dibagi dua macam yaitu:
6
d. Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus
mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan terdahulu
dibubarkan (Pasal 34 KUH Perdata);
e. Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anak-
anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 34 sampai
dengan pasal 49 KUH Perdata).
5
Sudikno Mertokusumo, Loc. Cit.
7
tersebut adalah untuk memberitahukan kepada siapa saja yang berkepentingan
untuk mencegah maksud dari perkawinan tersebut jika ada Undang-Undang
yang dilanggar atau alasan-alasan tertentu. Pengumuman tersebut
dilaksanakan setelah Pegawai Pencatat meneliti syarat-syarat dan surat-surat
kelengkapan yang harus dipenuhi calon mempelai.
C. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Untuk itu suami istri saling membantu dan
melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu
dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.
Perkawinan dianjurkan dan diatur dalam islam karena ia memiliki tujuan yang
mulia. Secara umum, perkawinan antara pria dan wanita dimaksudkan sebagai upaya
memelihara kehormatan diri agar mereka tidak terjerumus ke dalam perbuatan
terlarang, memelihara kelangsungan kehidupan manusia/ keturunan yang sehat
mendirikan kehidupan rumah tangga yang dipenuhi kasih sayang antar suami dan istri
serta saling membantu antar keduanya untuk kemaslahatan bersama.6
6
Muhammad Hussein, Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender), Yogyakarta :
LKiS, 2007, hlm. 101.
8
2. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan
kasih sayangnya.
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menjalankan
kewajiban dan menerima hak, juga bersungguh-sungguh untuk
memperoleh harta kekayaan yang kekal.
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram
atas dasar cinta dan kasih saying.7
7
Muhammad Abi Hamid bin Muhammad al Ghazaly, Ihya Ulumuddin, Beirut : Dar al Fikr, hlm. 27-36.
8
Komariah, Hukum Perdata, Op. Cit.
9
2) Pasal 59 sampai dengan pasal 70 KUH Perdata;
b. Saudara;
c. Wali nikah;
d. Wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang
bersangkutan;
e. Ayah kandung;
f. Suami atau istri yang masih terkait dalam perkawinan dengan salah
seorang calon istri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawina;
10
3) Apabila hakim telah menerima permohonan itu, maka dalam waktu yang
tidak terlalu lama pengadilan memutuskan permohonan percegahan tersebut.
Putusan itu berisi menolak atau menerima permohonan pencegahan tersebut.
Pembatalan perkawinan juga diatur dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal 76 Inpres
Nomor 1 Tahun 1991. Di dalam ketentuan itu disebutkan bahwa pembatalan
perkawinan dibedakan menjadi dua macam, yaitu : (1) Perkawinan batal, dan (2)
Perkawinan yang dapat dibatalkan. Perkawinan batal adalah suatu perkawinan yang
dari sejak semula dianggap tidak ada. Perkawinan batal apabila:
2) Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak
olehnya, kecuali bekas istrinya tersebut pernak menikah dengan pria lain yang
kemudian bercerai lagi bada al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa
iddahnya;
11
seorang dengan saudara nenek berhubungan semenda yaitu mertua,
anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri;
d. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari
istri atau istri-istrinya.
Perkawinan yang dapat dibatalkan adalah suatu perkawinan yang telah berlangsung
antara calon pasangan suami-istri, namun salah satu pihak dapat meminta kepada
pengadilan supaya perkawinan itu dibatalkan. Suatu perkawinan dapat dibatalkan
apabila:
9
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit.
12
berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Batalnya perkawina tidak akan
memutuskan hunungan hukum antara anak denga orang tuanya.[14]
E. Larangan Perkawinan
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri;
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan,
dan bibi/paman susuan;
5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
istri, dalam halseseorang suami beristri lebih dari seorang;
8) Antara suami-istri yang telah cerai, kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai untuk keduakalinya, mereka tidak boleh melangsungkan perkawinan
lagi, sepanjang hukum masing-masingagamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain.
13
Di dalam KUH Perdata juga diatur tentang larangan perkawinan antara calon
pasangan suami istri.Larangan untuk kawin diatur didalam Pasal 30 sampai dengan
Pasal 33 KUH Perdata. Ada tiga larangan untuk melangsungkan perkawinan, yaitu:
Di dalam KUH Perdata tidak mengenal larangan kawin bagi orang sesusuan maupun
karena agama. Karena dalam konsep KUH Perdata, perkawinan itu hanya dipandang
dari hubungan keperdataan saja dan tidak mempunyai hubungan dengan agama,
maupun konsep lainnya.
F. Perjanjian Kawin
Perjanjian kawin diatur dalam pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 139 sampai
dengan pasal 154 KUH Perdata.Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh
calon pasangan suami-istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk
mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian kawin
dilakukan sebelum atau pada saat akan dilangsungkan perkawinan. Perjanjian kawin
itu harus dibuatkan dalam bentuk akta notaries. Tujuannya adalah:
1. Keabsahan perkawinan
14
5. Mencegah adanya penyelundupan hukum
Perjanjian kawin juga diatur dalam pasal 45 sampai dengan pasal 51 Inpres
Nomor 1 Tahun 1991. Hal-hal yang diatur dalam ketentuan tersebut adalah seperti
berikut:
2) Bentuk perjanjian kawin adalah dalam bentuk talik talak dan perjanjian
lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Biasanya bentuk perjanjian
lain ini adalah tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah mengenai
kedudukan harta dalam perkawinan.
G. Akibat Perkawinan
15
1. Adanya hubungan suami-istri
2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupanrumah tangga dan pergaulan hidup masyarakat (pasal 31 ayat (1)
UU Nomor 1 Tahun 1974)
4. Suami istri wajib mempunyai tempat kediaman yang tetap (Pasal 32 ayat (1)
UU Nomor 1 Tahun1974)
16
7. Istri wajib mengatur utusan rumah tangga sebaik-baiknya (Pasal 34 ayat (2)
UU Nomor 1 Tahun1974).
4) Suami harus mengurus harta seperti bapak rumah tangga yang baik;
Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak diatur dalam Pasal 45 sampai
dengan Pasal 49 UU Nomor 1 Tahun 1974. Hak dan kewajiban orang tua dan anak
adalah sebagai berikut:
2. Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik
(Pasal 46 ayat (1)UU Nomor 1 Tahun 1974)
3. Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua
(Pasal 46 ayat (2) UUNomor 1 Tahun 1974)
17
5. Orang tua mewakili anak dibawah umur dan belum pernah kawin mengenai
segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan (Pasal 47 ayat (2) UU
Nomor 1 Tahun 1974)
Harta benda dalam perkawinan diatur dalam pasal 35 sampai dengan pasal 37 UU
Nomor 1 Tahun 1974.Didalam ketentuan itu dibedakan antara harta bersama dan
harta bawaan.Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan,
sedangkan yang diartikan dengan harta bawaan masing-masing suami-istri adalah
harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.
H. Putusnya Perkawinan
18
1) Kematian salah satu pihak;
Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah
satu pihak dalam perkawinan. Putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi
karena dua hal, yaitu:
a. Talak, atau
Talak adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan.Gugatan perceraian adalah perceraian yang disebabkan
adanya gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak, khususnya istri ke pengadilan.
1. Talak rajI, yaitu talak satu dan kedua, dimana suami berhak rujuk selama
istri dalam masa iddah;
2. Talak bain shughraa, adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad
nikah baru dengan bekassuaminya meskipun dalam iddah;
3. Talak bain khubraa, yaitu talak yang terjadi untuk kedua kalinya, talak ini
tidak dapat dirujuk dantidak dapat dinikahkan lagi, kecuali pernikahan itu
dilakukan setelah bekas istri menikah denganorang lain kemudian terjadi
perceraian bada al dukhul dan habis masa iddahnya;
19
4. Talak suny adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan
terhadap istri yang sedang sucidan tidak dicampuri dalam waktu suci itu;
5. Talak badI adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada
waktu istri dalam keadaansuci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut
(Pasal 118 sampai dengan pasal 122 InpresNomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam).
Meskipun anak-anak itu ikut bersama ibunya, tetapi ayahnya bertanggung jawab
sepenuhnya atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya.Kecuali
bilamana ayah dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,
pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut (Pasal 4 ayat 2).
Pengadilan dapat juga mewajibkan bekas suami untuk memberi biaya penghidupan
dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya (Pasal 41 ayat 3).
20
pengaturannya kepada masing-masing yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-
hukum lainnya.
21
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.(UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1).
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Putusnya perkawinan adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan
suami-istri, yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti kematian, perceraian, dan atas
putusan pengadilan.
22
DAFTAR PUSTAKA
Riduan Syahrani, Seluk beluk Asas-asas hukum perdata, (Banjarmasin; PT. Alumni,
2006)
23