Anda di halaman 1dari 5

HUKUM KELUARGA

Hk. PERKAWINAN

Hukum Perkawinan terdiri dari :


- Hukum Perkawinan
- Hukum Kekayaan dalam perkawinan
Hukum Perkawinan adalah keseluruhan peraturan – peraturan yang berhubungan dengan
suatu perkawinan.
Hukum kekayaan dalam perkawinan adalah keseluruhan peraturan – peraturan yang
berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri di dalam perkawinan.

Mengenai hukum perkawinan di Indonesia untuk seluruh warga negara Indonesia sekarang
ini berlaku UU. No. 1 th 1974 tentang perkawinan, tepatnya pada tanggal 2 januari 1974.
Dengan keluarnya Undang-Undang tentang perkawinan ini berarti telah ada unifikasi dalam
hukum keluarga.
Dalam Pasal 66 UU.No. 1 / 1974 disebutkan bahwa :
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungandengan perkawinan
berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka yang berlakunya Undang-Undang ini,
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUH Pdt (BW), Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen ( HOCI Stb 1933 no. 74 ), Peaturan Perkawinan Campuran ( GHR
Stb 1898 no. 158 ) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan
sejauh ini diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku “

Sebagai pelaksanaan dari UU.No. 1/1974 ini, keluar PP No. 9 th 1975 tentang pelaksanaan
UU.No. 1 / 1974, yang mulai berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975.
Pasal 47 PP No. 9 th 1975 : Dengan berlakunya Undang-Undang ini, maka ketentuan-
ketentuan peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur di dalam PP ini
dinyatakan tidak berlaku.

Hal-hal yang diatur dalam UU.No. 1 /1974 :


Bab I : Dasar Perkawinan ( Pasal 1 s/d 5 )
Bab II : Syarat-syarat Perkawinan ( Pasal 6 s/d 12 )
Bab III : Pencegahan Perkawinan ( Pasal 13 s/d 21 )
Bab IV : Batalnya Perkawinan ( Pasal 22 s/d 28 )
Bab V : Perjanjian Perkawinan ( Pasal 29 )
Bab VI : Hak dan Kewajiban suami istri ( Pasal 30 s/d 34 )
Bab VII : Harta Beda dalam Perkawinan ( Pasal 35 s/d 37 )
Bab VIII : Putusnya Perkawinan serta akibatnya ( Pasal 38 s/d 41 )
Bab IX : Kedudukan Anak ( Pasal 42 s/d 44 )
Bab X : Hak dan Kewajiban antara orang tua dan anak ( Pasal 45 s/d 49 )
Bab XI : Perwalian ( Pasal 50 s/d 54 )
Bab XII : Ketentuan-ketentuan lain
Bagian 1 : Pembuktian asal usul anak ( Pasal 55 )
Bagian 2 : Perkawinan diluar Indonesia ( Pasal 56 )
Bagian 3 : Perkawinan campuran ( Pasal 57 s/d 62 )
Bagian 4 : Pengadilan ( Pasal 63 )
Bab XIII : Ketentuan Peralihan ( Pasal 64 s/d 65 )
Bab XIV : Ketentuan Penutup ( Pasal 66 s/d 67 )

Hal-hal yang diatur dalam PP No. 9 th 1975 :


1. Pencatatan Perkawinan ( Pasal 2 s/d 9 )
2. Tata cara Perkawinan ( Pasal 10 s/d 11 )
3. Akta Perkawinan ( Pasal 12 s/d 13 )
4. Tata cara Perceraian ( Pasal 14 s/d 36 )
5. Pembatalan Perkawinan ( Pasal 37 s/d 38 )
6. Waktu tunggu ( Pasal 39 )
7. Beristeri lebih dari seorang ( Pasal 40 s/d 44 )
8. Ketentuan Pidana ( Pasal 45 )
9. Penutup ( Pasal 46 s/d 49 )

PENGERTIAN PERKAWINAN

KUH Perdata ( BW )

Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk
waktu yang lama atau untuk hidup bersama-sama.

UU.No. 1 thn 1974 (Pasal 1 ) :

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang wanita sebagai suami
isteridengan tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Azas – Azas dalam UU.No. 1 Tahun 1974 :


A. Tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, saling membantu
dan melengkapi, dapat mengembangkan kepribadiannya, mencapai kesejahteraan
spiritual dan materil.

B. Sahya perkawinan
Pasal 2 (1) UU.No. 1 th 1974 :
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.

Pasal 2 (2) :
Tiap-tiap perkawinan dapat dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

C. Berazas Monogami ( Pasal 3 ayat 1 UU No. 1 /1974 )


Bila agamanya membolehkan untuk berpoligami, dapat saja dilakukan dengan memenuhi
berbagai persyaratan tertentu seta diputuskan oleh pengadilan .
Pasal 3 ayat 2, Pasal 4 & 5 UU.No. 1 / 1974.
Pasal 4 ayat 2 UU.No. 1 /1974 :
Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang, apabila :
1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5 (1) UU.No. 1 /1974.
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan dalam hal akan beristeri lebih
dari seorang . Seorang suami harus memenuhi syarat-syarat sbb :
1. Adanya persetujuan dari istri / istri-isteri.
2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istei-
isteri dan anak-anak mereka.
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
Khusus untuk PNS terdapat peraturan , yaitu PP No. 10 th 1983 yang mengatur tentang
Perkawinan Perceraian PNS.
Prinsip-prinsip dalam PP 10 / 1983 :
 PNS Monogami, kecuali ada hal-hal istimewa dan memenuhi syarat untuk poligami
dan mendapat ijin pejabat.
 PNS tidak dapat atau dipersukar untuk cerai, kecuali ada hal-hal istimewa dan
memenuhi syarat untuk cerai , ada ijin dari pejabat.
 PNS dilarang hidup bersama tanpa nikah.
 PNS wanita tidak boleh menjadi isteri ke 2, 3 atau 4 PNS.
 Menjadi isteri ke 2, 3, 4 bukan PNS harus ijin pejabat.
PNS dapat beristeri lebih dari satu, bila :
a. memenuhi syarat-syarat.
b. Ada ijin tertulis pejabat.

Syarat-syarat agar PNS boleh beristeri lebih dari satu :


1. Syarat Alternatif :
 Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri ( jasmani / rohani ).
 Isteri mendapat cacat badan / penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
 Isteri tidak dapat melahirkan keturunan selama 10 tahun.
2. Syarat Kumulatif :
 Ada persetujuan ikhlas isteri
 Penghasilan cukup untuk menjamin isteri-isteri , dibuktikan dengan pajak
penghasilan.
 Ada jaminan berlaku adil.
Pejabat memberi ijin bila :
 memenuhi salah satu syarat alternatif dan semua syarat kumulatif.
 Tidak bertentangan dengan agama PNS yang bersangkutan.
 Tidak akan mengganggu tugas kedinasan PNS.
 Alasan yang dikemukakan tidak bertentangan dengan akal sehat.
PNS wanita akan menjadi isteri ke 2 /3 / 4 bukan PNS, bila :
1. memenuhi syarat :
 Tidak bertentangan dengan agamanya atau agama calon suami.
 Ada persetujuan ikhlas tertulis dari isteri atau isteri-isteri calon suami.
 Calon suami mempunyai penghasilan cukup membiayai isteri-isteri , dibuktikan
dengan pajak penghasilan.
 Ada jaminan tertulis calon suami berlaku adil
 Tidak mengganggu tugas PNS.
2. Ada ijin tertulis pejabat
Pejabat sebelum memberi ijin harus memberi nasihat dan memeriksa.

D. Menganut prinsip bahwa calon suami / isteri harus telah masak jiwa raganya ,tidak
berakhir dengan perceraian dan keturunan yang baik dan sehat.
E. Sesuai dengan tujuan perkawinan , yaitu mencapai keluarga bahagia kekal dan
sejahtera, maka dianut prinsip mempersulit terjadinya perceraian, untuk adanya
perceraian harus ada alasan-alasan tetap tertentu, dan dilakukan di depan sidang
pengadilan.
F. Hak dan kedudukan suami isteri seimbang dalam kehidupan rumah tangga maupun
dalam pergaulan masyarakat, sehingga segala sesuatu dirundingkan dan diputuskan
bersama.

Anda mungkin juga menyukai