Anda di halaman 1dari 13

HUKUM KELUARGA (11)

Oleh: Dr. Teddy Prima Anggriawan, S.H., S.Sos., M.Kn., M.H., CLA.
MATERI BAHASAN
“Sifat Hukum Perkawinan”
1. Membentuk Keluarga yang Bahagia dan Kekal
2. Keabsahan Perkawinan Didasarkan Pada Hukum Agama dan Kepercayaan bagi Pihak
3. Monogami
4. Calon Suami dan Calon Istri Telah Matang Jiwa Raganya

5. Mempersulit Terjadinya Perceraian


6. Keseimbangan Hak dan Kewajiban antara Suami dan Istri
7. Pencatatan Perkawinan
1. MEMBENTUK KELUARGA YANG BAHAGIA
DAN KEKAL

• Setiap perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Artinya,
perkawinan hendak seumur hidup. Hanya dengan perkawinan kekal saja dapat membentuk keluarga
yang bahagia dan sejahtera.
• Prinsip perkawinan kekal ini termuat dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyatakan:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.”
2. KEABSAHAN PERKAWINAN DIDASARKAN PADA
HUKUM AGAMA DAN KEPERCAYAAN BAGI PIHAK

• Sifat perkawinan ini termuat dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang berbunyi:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.”
• Penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama. Hal ini berarti juga
bahwa hukum agama jika menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut
hukum negara.
2. KEABSAHAN PERKAWINAN DIDASARKAN PADA
HUKUM AGAMA DAN KEPERCAYAAN BAGI PIHAK
(LANJUTAN)

Perkawinan beda agama?


• Dalam perkawinan beda agama, yang menjadi boleh atau tidaknya tergantung pada ketentuan agamanya.
• Namun pengaturannya masih memiliki kekurangan, salah satunya ialah belum tegasnya mengenai
perkawinan beda agama yang berlaku dalam Undang-Undang saat ini.
2. KEABSAHAN PERKAWINAN DIDASARKAN PADA
HUKUM AGAMA DAN KEPERCAYAAN BAGI PIHAK
(LANJUTAN)
• Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan telah
membuka peluang dan sangat memungkinkan pasangan beda agama dapat dicatatkan perkawinannya asal
melalui penetapan pengadilan.
• Sedangkan penetapan perkawinan beda agama yang jelas bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang
Perkawinan yang secara tersirat mengatur bahwa perkawinan beda agama adalah tidak sah di mata agama
dan negara.
• Dampak terhadap pertentangan yuridis ini adalah timbulnya peluang ketimpangan bagi hakim dalam
menetapkan permohonan perkawinan beda agama. Peraturan terkait perkawinan beda agama sendiri telah
terjadi suatu konflik hukum dan hal ini menyebabkan Undang-Undang atau peraturan tidak jelas dan
menyebabkan terjadinya kekosongan norma hukum.
3. MONOGAMI

• Laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri begitupun sebaliknya dalam waktu tertentuk.
• Monogami (UU Perkawinan) bersifat terbuka atau tidak mutlak lain halnya yang diatur dalam kitab
UU Hukum Perdata, bahwa monogami bersifat mutlak.
• Para ahli hukum berusaha meyakinkan bahwa monogami lebih membahagiakan daripada poligami.
Alasan yang diberikan tidak hanyadari sudut pandang doktriner, melainkan juga dari sudut pandang
finansial, psikologis dan sosiologis.
• Walaupun demikian, tetap membuka kemungkinan bagi pria untuk mempunyai istri lebih dari 1
(poligami), asalkan ada alasan yang sungguh-sungguh memadai. Kemungkinan itu diberikan bila
hal tersebut merupakan jalan keluar terbaik atas masalah-masalah berat yang muncul.
3. MONOGAMI (LANJUTAN)

Syarat poligami:
• Syarat kumulatif (Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) –
Kesemua syarat wajib dipenuhi.
1. Istrinya yang telah menyetujui
2. Suami yang pasti memiliki kemampuan untuk menjamin kehidupan semua istri sekaligus
anaknya nanti
3. Suami yang terjamin dapat bersikap adil terhadap semua istri sekaligus anaknya nanti.
• Syarat alternatif (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Hanya salah
1 syarat saja yang perlu dipenuhi.
1. Kewajiban istri yang tak bisa dijalankan.
2. Istri yang tubuhnya cacat atau terjangkit penyakit yang tak dapat disembuhkan.
3. Kemandulan istri.
4. CALON SUAMI DAN CALON ISTRI
TELAH MATANG JIWA RAGANYA

• Calon suami dan calon istri telah matang jiwa raganya, agar mewujudkan tujuan perkawinan
secara baik-baik dan mendapat keturunan yang baik sehat, sehingga tidak berpikir kepada
perceraian.
• Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suamiistri yang masih dibawah
umur.
• Untuk mengerem laju kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara
calon suami-istri yang masih dibawah umur, sebab batas umur yang lebih rendah bagi seorang
wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan batas umur yang lebih tinggi.
5. MEMPERSULIT TERJADINYA PERCERAIAN

• Perkawinan bersifat tak terceraikan. Hal itu perlu demi kesejahteraan anak-anak mereka dan demi
kesejahteraan seluruh masyarakat. Maka konflik suami-istri harus diselesaikan dengan cara yang
baik, yang mendamaikan mereka satu sama lain.
• Perceraian hanya dapat dilakukan bila ada alasan-alasan tertentu dan harus dilakukan di depan
sidang pengadilan setelah hakim atau juru pendamai tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak. (Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
• Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat
hidup rukun sebagai suami istri. ((Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan).
6. KESEIMBANGAN HAK DAN KEWAJIBAN
ANTARA SUAMI DAN ISTRI

• Suami istri dapat melakukan perbuatan hukum dalam kerangka hubungan hukum tertentu.
• Suami berkedudukan sebagai kepala keluarga dan istri berkedudukan sebagai ibu rumah tangga.
• Dalam memutuskan sesuatu, maka dirundingkan secara bersama-sama antara suami-istri.
• Kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban suami istri diatur di dalam Bab VI Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
7. PENCATATAN PERKAWINAN

• Pencatatan perkawinan mempermudah mengetahui manusia yang sudah menikah atau melakukan
ikatan perkawinan.
• Tiap-tiap perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu akan dianggap mempunyai kekuatan hukum bilamana dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
• Perkawinan yang tidak dicatat tidak mempunyai kekuatan hukum menurut Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
• Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang berbunyi:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai