Anda di halaman 1dari 14

Nama : Siti Chodijah

NIM : 043615738
Mata Kuliah : HKUM4202 Hukum Perdata

1. Jelaskan mengapa dalam masyarakat masih marak terjadinya perkawinan di bawah


umur, padahal UU tentang Perkawinan telah mengatur mengenai syarat perkawinan!
Jawab :

Keluarga merupakan unit masyarakat terkecil yang terdiri atas ayah, ibu dan anak. Keluarga
terbentuk dari ikatan cinta kasih antara seorang pria dewasa dan wanita dewasa yang
diresmikan dengan perkawinan, sesuai dengan perkawinan agama dan hukum yang berlaku.
Menurut undang-undang No 1 Tahun 1974 untuk membentuk suatu keluarga harus
dipersiapkan dengan matang diantaranya pasangan yang akan membentuk keluarga harus
sudah dewasa, baik secara biologis maupun pedagogis atau bertanggung jawab. Bagi pria
harus sudah siap untuk memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga, sehingga
berkewajiban memberi nafkah kepada anggota keluarga. Bagi seorang wanita ia harus sudah
siap menjadi ibu rumah tangga yang bertugas mengendalikan rumah tangga, melahirkan,
mendidik, dan mengasuh anak-anak. Tetapi apa yang diidam-idamkan dan ideal, apa yang
seharusnya dalam kenyataan tidak sesuai harapan dan berjalan sebagaimana mestinya.

Dalam undang-undang perkawinan N0. Tahun 1974 disebutkan bahwa:


BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh
satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau
keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama
mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3)
dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah
lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain.

Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada
Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak
wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut
dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan
dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6
ayat (6).

Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- undang ini adalah sebagai
berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami
isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan material.
b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.itu; dan disamping
itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat
keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami
dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih
dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya
dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh
Pengadilan.
d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa
raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik
dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami isteri yang masih
dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk
kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-
undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19
(sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan
sejahtera, maka undang- undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya
perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang
Pengadilan.
f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian
segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.

Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menggelar sidang gugatan judicial review tentang
batasan usia menikah. Saat ini, MK juga menerima gugatan yang sama. Gugatan pemohon
terkait Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan. Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP)
mengajukan gugatan karena menilai batas usia minimal perempuan menikah dalam UU
Perkawinan rentan terhadap kesehatan reproduksi dan tingkat kemiskinan. YKP
berpandangan organ reproduksi perempuan usia tersebut belum siap. Hal itu lalu dikaitkan
dengan angka kematian ibu melahirkan yang sangat tinggi. YKP menjadikan Pasal 28B ayat
(2) UUD 1945 sebagai batu ujinya, "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi."
Majelis Hakim MK menolak gugatan tersebut. Majelis beralasan penetapan usia perkawinan
dalam UU Perkawinan merupakan pilihan kebijakan open legal policy pembentuk undang-
undang, sehingga batasan umur tersebut bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas
norma, melainkan lebih merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang.
Selanjutnya, menurut Majelis, penetapan usia perkawinan dalam UU Perkawinan telah sesuai
dengan nilai-nilai agama. Sesuai hukum agama, memang tidak ditentukan sampai pada batas
minimal berapa sesorang diizinkan melakukan perkawinan. Dalam hukum agama misalnya
Islam, hanya diatur dalam soal baligh, di mana seorang mulai dibebani atau ditaklif dengan
beberapa hukum syara'.

Dalam ilmu hukum, terdapat asas lex specialist derogat legi generali, yaitu adanya aturan
khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum. Dalam perkawinan di Indonesia, maka
yang menjadi aturan khususnya adalah UU Perkawinan. Sehingga ketika dihadapkan dengan
aturan yang bersifat umum, maka kedudukan UU Perkawinan lebih kuat untuk dijadikan
dasar hukum dalam pelaksanaan perkawinan. Apalagi dalam aturan yang bersifat umum
tersebut tidak ada satu pasal pun yang secara tegas melarang perkawinan anak.

Secara lebih detil berikut faktor-faktor terjadinya pernikahan dini yaitu:


● Faktor ekonomi
Kesulitan ekonomi menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya pernikahan dini,
keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi akan cenderung menikahkan anaknya
pada usia muda untuk melakukan pernikahan dini. Pernikahan ini diharapkan menjadi
solusi bagi kesulitan ekonomi keluarga, dengan menikah diharapkan akan mengurangi
beban ekonomi keluarga, sehingga akan sedikit dapat mengatasi kesulitan ekonomi.
Disamping itu, masalah ekonomi yang rendah dan kemiskinan menyebabkan orang
tua tidak mampu mencukupi kebutuhan anaknya dan tidak mampu membiayai sekolah
sehingga mereka memutuskan untuk menikahkan anaknya dengan harapan sudah
lepas tanggung jawab untuk membiayai kehidupan anaknya ataupun dengan harapan
anaknya bisa memperoleh penghidupan yang lebih baik
● Orang tua
Pada sisi lain, terjadinya pernikahan dini juga dapat disebabkan karena pengaruh
bahkan paksaan orang tua. Ada beberapa alasan orang tua menikahkan anaknya secara
dini, karena khawatir anaknya terjerumus dengan pergaulan bebas dan berakibat
negatif, ingin melanggengkan hubungan dengan relasinya dengan cara menjodohkan
anaknya dengan relasi atau anaknya relasinya, menjodohkan anaknya dengan anaknya
saudara dengan alasan agar harta yang dimiliki tidak jatuh ke orang lain, tetapi tetep
dipegang oleh keluarga.
● Kecelakaan (marride by accident)
Terjadinya hamil di luar nikah, karena anak-anak melakukan hubungan yang
melanggar norma, mamaksa mereka untuk melakukan pernikahan dini, guna
memperjelas status anak yang dikandung. Pernikahan ini memaksa mereka menikah
dan bertanggung jawab untuk berperan sebagai suami istri serta menjadi ayah dan ibu,
sehingga hal ini nantinya akan berdampak pada penuaan dini, karena mereka belum
siap lahir dan batin. Disamping itu, dengan kehamilan diluar nikah dan ketakutan
orang tua akan terjadinya hamil di luar nikah mendorong anaknya untuk menikah
diusia yang masih belia.
● Melanggengkan hubungan
Pernikahan dini dalam hal ini sengaja dilakukan dan sudah disiapkan semuanya,
karena dilakukan dalam rangka melanggengkan hubungan yang terjalin antara
keduanya. Hal ini menyebabkan mereka menikah di usia belia (pernikahan dini), agar
status hubungan mereka ada kepastian. Selain itu, pernikahan ini dilakukan dalam
rangka menghindari dari perbuatan yang tidak sesuai dengan norma agama dan
masyarakat. Dengan pernikahan ini diharapkan akan membawa dampak positif bagi
keduanya.
● Karena tradisi dikeluarga (kebiasaan nikah usia dini pada keluarga dikarenakan agar
tidak dikatakan perawan tua).
Pada beberapa keluarga tertentu, dapat dilihat ada yang memiliki tradisi atau
kebiasaan menikahkan anaknya pada usia muda, dan hal ini berlangsung terus
menerus, sehingga anak-anak yang ada pada keluarga tersebut secara otomatis akan
mengikuti tradisi tersebut. Pada keluarga yang menganut kebiasaan ini, biasanya
didasarkan pada pengetahuan dan informasi yang diperoleh bahwa dalam Islam tidak
ada batasan usia untuk menikah, yang penting adalah sudah mumayyis ( baligh) dan
berakal, sehingga sudah selayaknya dinikahkan.
● Karena kebiasaan dan adat istiadat setempat.
Adat istiadat yang diyakini masyarakat tertentu semakin menambah persentase
pernikahan dini di Indonesia. Misalnya keyakinan bahwa tidak boleh menolak
pinangan seseorang pada putrinya walaupun masih dibawah usia 18 tahun terkadang
dianggap menyepelekan dan menghina menyebabkan orang tua menikahkan putrinya.

Hal menarik dari persentase pernikahan dini di Indonesia adalah terjadinya perbandingan
yang cukup signifikan antara di pedesaan dan perkotaan. Berdasarkan Analisis survei
penduduk antar sensus (SUPAS) 2005 dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) didapatkan angka pernikahan di perkotaan lebih rendah dibanding di pedesaan,
untuk kelompok umur 15-19 tahun perbedaannya cukup tinggi yaitu 5,28% di perkotaan dan
11,88% di pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa wanita usia muda di perdesaan lebih
banyak yang melakukan perkawinan pada usia muda.

2. Jelaskan akibat hukum pengangkatan anak!


Jawab :

Kamus umum Bahasa Indonesia mengartikan anak angkat sebagai anak orang lain yang
diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri. Pasal 1 butir 2
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak
menyebutkan bahwa Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan,
seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkat.

Selain itu dijelaskan pula bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan. Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan pengertian anak
angkat dengan menyebutkan anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan,dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang
tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan
Dalam praktiknya pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia mempunyai
beberapa macam tujuan dan motivasi. Tujuannya adalah antara lain untuk meneruskan
keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Alasan dan tujuan
melakukan pengangkatan anak bermacam-macam, terutama yang terpenting adalah:
1. Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya mampu
memeliharanya/kemanusiaan.
2. Tidak mempunyai anak, dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan memeliharanya
kelak kemudian di hari tua.
3. Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak di rumah, maka akan dapat mempunyai
anak sendiri.
4. Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada.
5. Untuk menambah/mendapatkan tenaga kerja.
6. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan/kebahagiaan keluarga

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Bugerlijk Weetboek (BW) yang
berlaku di Indonesia tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah
adopsi atau pengangkatan anak diluar kawin yaitu yang terdapat dalam Bab XII bagian ke III
Pasal 280 sampai dengan Pasal 290 KUH Perdata. Namun ketentuan ini bisa dikatakan tidak
ada hubungannya dengan adopsi, karena pada asasnya KUHPerdata tidak mengenal adopsi.
Diberlakukannya KUHPerdata bagi golongan Tionghoa, khususnya bagi hukum keluarga
sudah tentu menimbulkan dilema bagi masyarakat Tionghoa. Hal tersebut berkenaan dengan
tidak diaturnya lembaga adopsi berdasarkan hukum keluarga Tionghoa sebelum berlakunya
KUHPerdata sangat kental dengan tradisi adopsi, terutama bagi keluarga yang tidak
mempunyai anak atau keturunan laki-laki demi meneruskan eksistensi marga keluarga dan
pemujaan atau pemeliharaan abu leluhur.

Berkenaan dengan permasalahan tersebut, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1917
mengeluarkan Staatblaad No.129 yang didalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 memberi
pengaturan tentang adopsi bagi masyarakat golongan Tionghoa di Indonesia. Namun
sehubungan dengan berkembangnya kebutuhan adopsi dikalangan masyarakat Tionghoa
dewasa ini, berlakunya Staatblaad tahun 1917 No.129 yang hanya mengatur pengangkatan
anak laki-laki. Pasal 5 Staatsblad Tahun 1917 Nomor 129 menyebutkan bahwa bila seorang
laki-laki kawin atau pernah kawin, tidak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam garis
laki-laki baik karena hubungan darah maupun karena pengangkatan, dapat mengangkat
seseorang sebagai anak laki-lakinya. Hal ini berkaitan dengan adat masyarakat Tionghoa
dimana anak laki-laki adalah penerus keturunan dari orang tua angkatnya. Sedangkan
pengangkatan anak perempuan tidak diperbolehkan dan batal demi hukum (Pasal 15
Staatsblad).

Akan tetapi sejalan dengan kebutuhan masyarakat baik masyarakat Tionghoa, staatsblad
tersebut telah mengalami perubahan dan perkembangan sejak tahun 1963 dengan di
keluarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta nomor 588/1963 G yang sering disebut sebagai
yurisprudensi untuk pengangkatan anak perempuan. Hal tersebut didasarkan atas
pertimbangan bahwa tujuan dari pengangkatan anak bukan hanya untuk meneruskan
keturunan, tetapi juga untuk kepentingan si anak. Dengan demikian berdasarkan
yurisprudensi Mahkamah Agung, pengangkatan anak terhadap anak perempuan
diperbolehkan dengan syarat sepanjang diakui oleh hukum adat yang berlaku bagi WNI
keturunan Tionghoa.

Pasal 7 Staatsblad Tahun 1917 Nomor 129 disebutkan bahwa orang yang di angkat harus
berusia paling sedikit delapan belas tahun lebih muda dari laki-laki, dan paling sedikit lima
belas tahun lebih muda dari wanita yang bersuami atau janda, yang melakukan adopsi. Dari
ketentuan tersebut, batasan usia hanya disebutkan selisih antara orang yang mengangkat
dengan anak yang diangkat dan tidak ada batasan apakah yang diangkat itu harus anak dari
keluarga dekat atau luar keluarga atau juga orang asing. Hanya ditekankan, bahwa manakala
yang diangkat adalah orang yang sedarah, baik keluarga yang sah maupun keluarga luar
kawin maka keluarga tadi karena angkatanya pada moyang kedua belah pihak bersama
haruslah memperoleh derajat keturunan yang sama pula dengan derajat keturunannya, karena
kelahiran sebelum ia diangkat.

Pengangkatan anak dalam Hukum Barat (Perdata) hanya terjadi dengan akta Notaris, tata cara
pembuatannya adalah sebagai berikut :
1. Para pihak datang menghadap Notaris.
2. Boleh dikuasakan, tetapi untuk itu harus didasarkan surat kuasa khusus yang dibubuhi
materai.
3. Pada akta dituangkan pernyataan persetujuan bersama antara orang tua kandung dengan
orang tua angkat.
4. Akta tersebut disebut ‘akta adopsi’.
Akibat hukum dari pengangkatan anak tersebut, bahwa status anak yang bersangkutan
berubah menjadi seperti seorang anak yang sah dan hubungan keperdataan dengan
orang tua kandungnya menjadi putus sama sekali. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 12
ayat (1) jo.Pasal 14 Staatsblad Tahun 1917 Nomor 129. Dengan demikian anak yang
diangkat bersama-sama dengan anak kandung berhak mewaris. Jika pada saat
pengangkatan anak yang dilakukan suami-isteri dan mereka tidak mempunyai anak
yang sah, namun setelah pengangkatan anak kemudian dilahirkan anak-anak yang sah
sebagai keturunan dari perkawinan mereka, maka demi hukum anak angkat dan anak
kandung tersebut menjadi ahli waris golongan pertama.

Di dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007: Pengangkatan anak bertujuan untuk
kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan
perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, secara tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak, motivasi
pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan
dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Praktik pengangkatan anak dengan motivasi komersial perdagangan, komersial untuk


pancingan dan kemudian setelah pasangan tersebut memperoleh anak dari rahimnya sendiri
atau anak kandung, si anak angkat yang hanya sebagai pancingan tersebut disia-siakan atau
diterlantarkan, hal tersebut sangat bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada anak.
Oleh karena itu pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat untuk memberikan
pertolongan dan perlindungan sehingga masa depan anak angkat akan lebih baik dan lebih
maslahat. Ketentuan ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya
memang sangat tergantung dari orang tuanya.

Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak terbitan Departemen Sosial Republik


Indonesia, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan
Sosial Anak, Pengangkatan anak (adopsi) Indonesia yang dilakukan oleh Warga Negara
Indonesia (WNI) terdiri dari beberapa jenis :
1. Pengangkatan Anak antar warga negara Indonesia (Domestic Adoption);
2. Pengangkatan Anak secara langsung (Private Adoption);
3. Pengangkatan Anak oleh Orang Tua Tunggal (Single Parent);
4. Pengangkatan Anak menurut Hukum Adat.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23


Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, memberikan definisi atas anak angkat dan anak
asuh.
Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk diberikan bimbingan,
pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan karena orang tuanya atau salah satu
orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar (Pasal 1 angka 10
UU Perlindungan Anak). Secara sederhana, terhadap anak asuh, yang dialihkan adalah
kewajiban pengasuhan. Ibarat tanaman, hanya menyirami dan memberi pupuk saja.
Seseorang, lembaga atau orang tua asuh sebagai pihak yang memastikan terpenuhinya hakhak
anak: hak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Tidak ada hak untuk mengambil anak ini dari kekuasaan orang tuanya, yang
beralih hanya kekuasaan untuk mengasuh. Ketika orang tua kandung atau bahkan anak itu
sendiri telah mampu berdiri di kakinya sendiri, maka selesailah kewajiban pengasuhan itu.
Tidak ada kewajiban lainnya baik ketika pengasuh masih hidup ataupun setelah meninggal
dunia, demikian juga sebaliknya.

Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang
tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan, dan
membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan
putusan atau penetapan pengadilan (Pasal 1 angka 9 UU Perlindungan Anak). Ketika
pengadilan menyatakan sah sebagai anak angkat, maka saat itulah beralih seluruh hak
kekuasaan orang tua kandung menjadi hak kekuasaan orang tua angkat. Seperti mencabut
sebatang pohon beserta akar terkecilnya untuk kemudian memindahkan dan menanam
kembali pohon ini ketempat yang benar-benar baru, yaitu lingkungan kehidupan orang tua
angkat. Mencabut dan memindahkan, sungguh berbeda dengan hanya menyiraminya saja.
Ada tanggung jawab yang harus ditunaikan ketika orang tua atau anak angkat meninggal
dunia. Lalu bagaimana prosedur pengangkatan anak sesuai dengan aturan hukum negara,
sehingga ia yang dilisankan sebagai anak angkat ini, paripurna pemenuhan hak-haknya.
Tata cara adopsi anak telah diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak ) dengan peraturan pelaksana berupa Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (PP Adopsi) dan
dijelaskan lebih rinci dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 110 Tahun 2009 (PERMEN)
tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.

3. Jelaskan arti pentingnya pembedaan benda bergerak dan benda tidak bergerak !
Jawab :

Hukum Benda adalah Peraturan –peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau barang-
barang (zaken) dan Hak Kebendaan (zakelijk recht). Pengertian benda dapat dibedakan
menjadi pengertian dalam arti sempit dan dalam arti luas. Pengertian ialah benda dalam arti
sempit ialah setiap barang yang dapat diihat saja (berwujud). Sedangkan pengertian benda
dalam arti luas disebut dalam Pasal 509 KUHPerdata yaitu benda ialah tiap barang-barang
dan hak-hak yamg dapat dikuasai dengan hak milik atau denga kata lain benda dalam konteks
hukum perdata adalah segala sesuatu yang dapat diberikan / diletakkan suatu Hak diatasnya,
utamanya yang berupa hak milik. Dengan demikian, yang dapat memiliki sesuatu hak
tersebut adalah Subyek Hukum, sedangkan sesuatu yang dibebani hak itu adalah Obyek
Hukum.

Benda yang dalam hukum perdata diatur dalam Buku II BW, pengaturan tentang hukum
benda dalam Buku II BWI ini mempergunakan system tertutup, artinya orang tidak
diperbolehkan mengadakan hak hak kebendaan selain dari yang telah diatur dalam undang
undang ini. Selain itu, hukum benda bersifat memaksa (dwingend recht), artinya harus
dipatuhi,tidak boleh disimpangi, termasuk membuat peraturan baru yang menyimpang dari
yang telah ditetapkan . Lebih lanjut dalam hukum perdata, yang namanya benda itu bukanlah
segala sesuatu yang berwujud atau dapat diraba oleh pancaindera saja, melainkan termasuk
juga pengertian benda yang tidak berwujud, seperti misalnya kekayaan seseorang. Istilah
benda yang dipakai untuk pengertian kekayaan, termasuk didalamnya tagihan / piutang, atau
hak hak lainnya, misalnya bunga atas deposito . Meskipun pengertian zaak dalam BWI tidak
hanya meliputi benda berwujud saja, namun sebagian besar dari materi Buku II tentang
Benda mengatur tentang benda yang berwujud. Selain itu, istilah zaak didalam BWI tidak
selalu berarti benda, tetapi bisa berarti yang lain, seperti : “perbuatan hukum “ (Ps.1792 BW),
atau “kepentingan” (Ps.1354 BW), dan juga berarti “kenyataan hukum” (Ps.1263 BW).

Pada masa kini, selain diatur di Buku II BWI, hukum benda juga diatur dalam:
● Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960, dimana diatur hak-hak kebendaan
yang berkaitan dengan bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya.
● Undang-Undang Merek No.21 Tahun 1961, yang mengatur tentang hak atas
penggunaan merek perusahaan dan merek perniagaan .
● Undang-Undang Hak Cipta No.6 Tahun 1982, yang mengatur tentang hak cipta
sebagai benda tak berwujud, yang dapat dijadikan obyek hak milik .
● Undang-Undang tentang Hak Tanggungan tahun 1996, yang mengatur tentang hak
atas tanah dan bangunan diatasnya sebagai pengganti hipotik dan crediet verband .

Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak


Benda bergerak adalah benda yang menurut sifatnya dapat dipindahkan (Ps.509 BWI). Benda
bergerak karena ketentuan undang undang adalah hak hak yang melekat pada benda bergerak
(Ps.511 BWI), misalnya hak memungut hasil atas benda bergerak, hak memakai atas benda
bergerak, saham saham perusahaan. Benda tidak bergerak adalah benda yang menurut
sifatnya tidak dapat dipindah-pindahkan, seperti tanah dan segala bangunan yang berdiri
melekat diatasnya.

Benda tidak bergerak karena tujuannya adalah benda yang dilekatkan pada benda tidak
bergerak sebagai benda pokoknya, untuk tujuan tertentu, seperti mesin mesin yang dipasang
pada pabrik. Tujuannya adalah untuk dipakai secara tetap dan tidak untuk dipindah-pindah
(Ps.507 BWI). Benda tidak bergerak karena undang undang adalah hak hak yang melekat
pada benda tidak bergerak tersebut, seperti hipotik, crediet verband, hak pakai atas benda
tidak bergerak, hak memungut hasil atas benda tidak bergerak (Ps.508 BWI).

Arti penting pembedaan benda sebagai bergerak dan tidak bergerak terletak pada :
● penguasaannya (bezit), dimana terhadap benda bergerak maka orang yang menguasai
benda tersebut dianggap sebagai pemiliknya (Ps.1977 BWI); azas ini tidak berlaku
bagi benda tidak bergerak.
● penyerahannya (levering), yaitu terhadap benda bergerak harus dilakukan secara
nyata, sedangkan pada benda tidak bergerak dilakukan dengan balik nama ;
● kadaluwarsa (verjaaring), yaitu pada benda bergerak tidak dikenal daluwarsa,
sedangkan pada benda tidak bergerak terdapat kadaluwarsa :dalam hal ada alas hak,
daluwarsanya 20 tahun; dalam hal tidak ada alas hak, daluwarsanya 30 tahun
● pembebanannya (bezwaring), dimana untuk benda bergerak dengan gadai, sedangkan
untuk benda tidak bergerak dengan hipotik.
● dalam hal pensitaan (beslag), dimana revindicatoir beslah (penyitaan untuk menuntut
kembali barangnya), hanya dapat dilakukan terhadap barang barang bergerak .
Penyitaan untuk melaksanakan putusan pengadilan (executoir beslah) harus dilakukan
terlebih dahulu terhadap barang barang bergerak, dan apabila masih belum mencukupi
untuk pelunasan hutang tergugat, baru dilakukan executoir terhadap barang tidak
bergerak.
● Benda dipakai habis dan benda tidak dipakai habis

Pembedaan ini penting artinya dalam hal pembatalan perjanjian. Pada perjanjian yang
obyeknya adalah benda yang dipakai habis, pembatalannya sulit untuk mengembalikan
seperti keadaan benda itu semula, oleh karena itu harus diganti dengan benda lain yang
sama / sejenis serta senilai. Pada perjanjian yang obyeknya adalah benda yang tidak dipakai
habis tidaklah terlalu sulit bila perjanjian dibatalkan, karena bendanya masih tetap ada,dan
dapat diserahkan kembali.

Sumber Referensi :
BMP HKUM4202 Hukum Perdata
Hasbullah, Frieda Husni. 2005. Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak Yang Memberi
Kenikmatan. Ind-Hil-Co.
Subekti. 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Intermasa.
https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/405/285
https://kemenag.go.id/opini/mengurai-problematika-hukum-perkawinan-di-bawah-umur-di-
indonesia-ora7t4
https://mkn.usu.ac.id/images/29.pdf
https://ninyasminelisasih.com/2011/08/14/teorihukumbenda/#:~:text=Arti%20penting
%20pembedaan%20benda%20sebagai,berlaku%20bagi%20benda%20tidak%20bergerak.

Anda mungkin juga menyukai