Anda di halaman 1dari 71

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar-Belakang Masalah

Perkawinan merupakan masalah penting dalam kehidupan manusia, karena

disamping perkawinan sebagai membentuk keluarga, perkawinan juga merupakan

kodrati manusia untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Sebenarnya perkawinan

tidak hanya mengandung unsur hubungan manusia dengan manusia lainnya, yaitu

hubungan keperdataan, tetapi perkawinan juga memuat unsur sakralitas yaitu

hubungan manusia dengan Tuhannya.

Dalam Islam, perkawinan tidak hanya menyatukan dua manusia, namun

juga mengikatkan tali perjanjian yang suci atas nama Allah SWT, bahwa kedua

mempelai berniat membangun rumah tangga yang Sakinah, tentram dan dipenuhi

dengan rasa cinta dan kasih-sayang. Untuk menegakkan cita-cita kehidupan keluarga

tersebut perkawinan tidak hanya cukup bersandar pada ajaran-ajaran Allah dalam Al-

Quran dan As-Sunnah yang bersifat global, tetapi perkawinan berkaitan pula dengan

hukum suatu negara. Perkawinan baru dinyatakan sah jika menurut Hukum Allah dan

hukum negara telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Perkawinan adalah akad

yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-

laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.

Perkawinan merupakan suatu hal yang dilakukan dengan serius

mengakibatkan seseorang terkait seumur hidup dengan pasangannya. Maka dari itu

perkawinan sangat membutuhkan persiapan yang matang, yaitu kematangan fisik dan

mental. Besarnya tanggung-jawab yang timbul dari perkawinan maka perlu kesiapan

1
secara mental, fiisk, sosial, dan ekonomi yang matang. Salah-satu faktor utama

kesiapan perkawinan adalah usia.

Karena perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang telah sama-sama

dewasa akan membawa dampak yang baik bagi perkembangan rumah tangga, dengan

adanya kedewasaan dari kedua belah pihak baik secara fisik maupun mental, akan

membawa rumah tangga tentram dan damai. Hal tersebut dapat mewujudkan

perkawinan yang baik tanpa diakhiri dengan perceraian. Yang tidak kalah penting

adalah mental yang matang merupakan kekuatan yang besar dalam memperoleh

kebahagiaan dalam rumah tangga. Kesiapan dan kematangan fisik dan mental

merupakan salah satu bekal dalam berumah tangga guna untuk menciptakan

kebahagiaan yang kekal dan sejahtera.

Dalam arti kata, kedua calon pengantin haruslah sudah siap dalam

menyambut dan melaksanakan pernikahan, kesiapan untuk kawin atau menikah

merupakan persepsi terhadap kemampuan individu untuk dapat menampilkan dirinya

di dalam peran-peran perkawinan, Kesiapan menikah dapat dipandang sebagai aspek

dari proses pemilihan pasangan atau proses perkembangan hubungan. Selain itu

kesiapan menikah dianggap sebagai evaluasi subjektif dari diri sendiri untuk dapat

mengambil tanggung-jawab dan menjawab tantangan dalam perkawinan.

Dalam Hukum Islam tidak mengatur secara mutlak tentang batas umur

perkawinan. Tidak ada ketentuannya dalam agama tentang batas umur minimal dan

maksimal untuk melangsungkan perkawinan sehingga dapat memberikan

kelonggaran bagi manusia untuk mengaturnya. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa

orang yang akan melangsungkan perkawinan haruslah orang yang siap dan mampu.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS an-Nuur ayat 24:32”

2
“Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-

orang yang layak (mampu) dari hamba-hamba, sahayamu yang laki-laki

dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah

akan mampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas

(pemberian-Nya) lagi maha mengetahui. (QS. An-Nuur:32)

Jika dipahami kata “layak“ adalah makna dari mampu secara mental dan

spiritual untuk membina rumah-tangga (Soedarso, Hukum Perkawinan Nasional

2010, 290). Namun secara hukum positif Indonesia memberikan batasan tentang usia

yang dibenarkan atau diakui negara untuk bisa melangsung perkawinan.

Peraturan batas usia perkawinana di Indonesia telah diperbaharui di dalam

Undang-undang nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Perubahan tersebut ada pada pasal 7 ayat

(1) Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan Undang-Undang

Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan

perempuan mencapai umur sembilan belas (19) tahun. Namun pada pasal 7 ayat (2)

menyatakan dalam hal terjadi penyimpangan orang-tua pihak pria dan/atau orang-

tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat

mendesak disertai dengan bukti-bukti pendukung yang cukup (UU No 19 tahun

2019).

Maka berlandaskan Undang-Undang diatas maka bisa diambil kesimpulan

bahwa perkawinan di bawah umur merupakan perkawinan yang dilangsungkan oleh

dua orang (laki-laki dan perempuan) yang belum mencapai usia dewasa atau bisa

juga diartikan dengan perkawinan yang dilangsungkan dibawah syarat batas usia

minimal perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang perkawinan.

3
Perkawinan dini atau perkawinan di bawah umur menurut WHO yaitu

perkawinan di saat usia remaja, antara umur 12 hingga 24 tahun sedangkan menurut

Departemen Kesehatan, usia remaja adalah 10 hingga 19 tahun, sedangkan menurut

perlindungan Hak Reproduksi usia remaja adalah 10 hingga 21 tahun.

Namun kenyataan, pernikahan oleh anak-anak dibawah umur yang

ditetapkan undang-undang di atas sangat banyak terjadi pada masyarakat Indonesia

dengan berbagai alasan.

Indonesia termasuk negara dengan tingkat perkawinan dibawah umur yang

tinggi. Faktor-faktor banyaknya perkawinan dibawah umur ini disebabkan

diantaranya:

a. Ekonomi

Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis

kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya

dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.

b. Pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan

masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya

yang masih dibawah umur.

c. Faktor orang tua

Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan

laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.

d. Media massa

Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian

permisif terhadap seks.

4
e. Faktor adat

Perkawinan dibawah umur terjadi karena orang tuanya takut anaknya

dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.

f. Pandangan terhadap konsep cinta

Menyalahartikan atau kebingungan dalam mengartikan konsep cinta dan

tingkah laku seksual sehingga remaja awal cenderung berfikir seks adalah

cara untuk mendapatkan pasangan, Seks sering dijadikan sarana untuk

berkomunikasi dengan pasangan.

Untuk wilayah, pedesaan memiliki potensi yang besar untuk perkawinan

dibawah umur. Karena adanya kesenjanagan ekonomi yang lebih rendah. Di desa

banyak orang tua yang menikahnya anaknya dibawah umur karena tidak sanggup

lagi membiayai anaknya disebabkan miskin, selain itu juga salah-satu dari mempelai

sudah mempunyai pekerjaan dan dianggap mampu membiayai kehidupan

keluarganya walaupun ia masih berada dibawah umur.

Selain itu di pedesaan juga niatan untuk melanjutkan Pendidikan yang lebih

tinggi kurang, sehingga mereka lebih memilih untuk melakukan perkawinan daripada

melanjutkan sekolah. Kondisi lain di pedesaan yang membuat perkawinan di bawah

umur tinggi adalah faktor budaya yang masih dijunjung masyarakat yaitu perempuan

tidak boleh terlalu tua untuk menikah, dianggap tidak laku dan memalukan bagi

keluarga. Semakin cepat seorang perempuan menikah dianggap lebih baik.

Namun di perkotaan walaupun tidak setinggi di pedesaan, tingkat

perkawinan dibawah umur juga memprihatinkan. Namun alasannya adalah faktor

pergaulan bebas, di kota umumnya anak-anak remaja lebih terbuka dengan informasi

tekhnologi, lebih dekat dengan dunia hiburan dan fasilitas untuk hiburan. Ditambah

dengan kondisi sebagian besar orang tua demi gengsi dan pergaulan membiarkan

5
anaknya menjalani kehidupan sesuka hati mereka, dan ini malah banyak

menimbulkan anak mengalami kecelakaan sebelum pernikahan seperti hamil diluar

pernikahan, diperkosa dan sebagainya yang mengharuskan anak tersebut dinikahkan

walaupun masih dibawah umur. Kondisi ini untuk menjaga nama baik keluarga dan

menjaga malu keluarga.

Padahal selain sudah diatur oleh undang-undang, dari segi kesehatan dan

sosial pernikahan di bawah umur juga sangat rentan dengan pertengkaran dan

perpisahan karena belum matangnya mereka secara emosional dalam menghadapi

masalah-masalah yang akan timbul dalam pernikahan.

Dampak secara global dari perkawinan anak dibawah umur diantaranyas

adanya komplikasi pada saat hamil dan melahirkan anak. Bayi yang lahir dari ibu

dibawah usia 20 tahun hampir 2 kali lebih mungkin meninggal selama 28 hari

pertama dibandingkan bayi yang lahir pada ibu berusia 20-29 tahun. Anak

perempuan yang menikah muda lebih rentan terhadap kekerasan rumah tangga.

Akibat lain yang timbul dari perkawinan anak adalah sisi Pendidikan, yang

menyebabkan anak putus sekolah. Perempuan yang menikah sebelum 18 tahun

paling banyak hanya menyelesaikan Pendidikan SMP/sederajat. Dari sisi Kesehatan

akan meningkat angka kematian ibu atau AKI, peluang terjadinya kehamilan dengan

resiko tinggi, kontraksi rahim tidak optimal, kanker servik. Lahir premature, peluang

tertular PMS, meningkatnya angka kematian bayi.

Sementara itu (Abror, Dispensasi Perkawinan dibawah Umur, 2019,7)

mengatakan dari sisi ekonomi, pernikahan dibawah umur ini menyebabkan semakin

banyaknya pekerja anak dengan upah rendah sehingga menyebabkan kemiskinan.

Perempuan yang menikah sebelum umur 18 tahun hampir dua kali lipat bekerja

dibidang pertanian, buruh kasar dan sebagainya dibandingkan dengan perempuan

6
yang menikah diatas 18 tahun. Dari segi sosial, pernikahan dibawah umur ini akan

meningkatkan kasus kekerasan dalam rumah tangga, pola asuh yang salah kepada

anak, Kesehatan mental dan identitas anak.

Selain itu perkawinan dibawah umur dengan kondisi calon mempelai secara

psikologis dan sosial belum matang, biasanya akan menimbulkan gejala-gejala

psikologis dan sosial yang kurang baik. Misal, apabila terjadi pertengkaran di antara

keduanya, maka mereka tidak mampu menahan diri dari emosi, yang pada akhirnya

mereka tidak mampu menjaga kelangsungan rumah tangga, yang berujung pada

perceraian, sehingga harus ada pertimbangan khusus untuk itu daripada nantinya

akan menjadi kemudharatan atau kerusakan

Namun walaupun begitu pernikahan dibawah umur ini masih sangat

banyak dilakukan. Pernikahan dibawah umur ini bisa digolongan menjadi dua,

pertama perkawinan dengan pasangan yang sudah dewasa dengan anak dibawah

umur, dan yang kedua perkawinan pasangan yang sama-sama masih dibawah umur.

Ini adalah kasus yang berbeda. Menikahi anak dibawah umur oleh orang dewasa

cenderung dianggap tindakan eksploitasi terhadap anak dan dianggap bisa merusak

cara berfikir dan masa depan anak. Sedangkan pernikahan anak sesama dibawah

umur cendrung karena pergaulan anak dan opini yang berkembang ditengah

masyarakat, tentu ini akan lebih membahayakan masa depan anak tersebut.

Di Indonesia berdasarkan pasal 7 ayat (2) pernikahan dibawah umur ini

dibenarkan dengan adanya persyaratan, salah satunya dispensasi perkawinan.

Dispensasi kawin merupakan suatu kelonggaran yang diberikan pengadilan kepada

calon pasangan yang belum mencapai batas usia perkawinan.

Marwan (2009,174) mengatakan, dispensasi diartikan suatu pengecualian

terhadap ketentuan-ketentuan peraturan-peraturan hukum ataupun Undang-Undang

7
yang seharusnya berlaku secara formil. Suatu keputusan yang memperkenangkan

dilakukannya suatu perbuatan yang pada umumnya dilarang oleh pembuat peraturan-

peraturan.

Dispensasi dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan (1) pengecualian

dari aturan karena adanya pertimbangan yang khusus; pembebasan dari suatu

kewajiban atau larangan: ia mendapat-bebas membayar uang kuliah karena orang

tuanya tidak mampu; (2) Hukum pengecualian tindakan berdasarkan hukum yang

menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak berlaku untuk suatu

hal yang khusus (dalam hukum administrasi negara).

Dispensasi dalam perkawinan adalah pemberian hak kepada seseorang

untuk menikah meskipun usianya belum mencapai 19 tahun. Prinsipnnya seorang

laki-laki dan seorang perempuan diizinkan untuk menikah jika mereka sudah berusia

19 tahun atau lebih. Dan jika keaadan menghendaki, perwakinan dapat

dilangsungkan meskipun salah-satunya dari pasangan itu atau keduanya belum

mencapai usia yang dimaksud.

Artinya para pihak yang ingin melakukan perkawinan ini dapat

mengesampingkan syarat minimal usia perkawinan. Menurut undang-undang

perkawinan yang baru, penyimpangan ini hanya dapat dilakukan melalui pengajuan

permohonan dispensasi oleh orang-tua salah satu atau kedua belah calon pengantin.

Bagi yang beragama Islam yang beragama Islam permohonan diajukan ke

Pengadilan agama, dan bagi pemeluk agama lain, diajukan ke Pengadilan negeri.

Dispensasi perkawinan merupakan salah-satu kewenangan obsolut yang

diberikan oleh undang undang kepada Pengadilan Agama untuk memeriksa,

memutuskan dan menyelesaikan perkara permohonan izin menikah bagi orang-oang

8
yang memiliki halangan untuk menikah. Kewenangan ini tercantum pada pasal 49

Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang menyatakan:

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam dibidang: a). Perkawinan, b)waris, c)wasiat, d)Hibah,

e)waqaf, f)zakat, g)infaq, h)shadaqoh dan ekonomi syariah. (Rofiq, Hukum

Perdata Islam di Indonesia, 2013,59)

Dalam pasal 7 ayat (2) tersebut disebutkan bahwa pasangan dibawah umur

ketika ingin mendaftarkan perkawinan ke kantor urusan agama (KUA) harus

melampirkan dispensasi dari pengadilan agama. Agar pernikahan itu dapat sah secara

agama dan negara. Jika perkawinan ini tidak melampirkan dispensasi nikah maka

pernikahan ini tidak dapat dicatat sesuai dengan peraturan Menteri Agama pasal 8

bab IV no 11 tahun 2007 tentang pencatatan nikah.

Untuk pengabulan dispenasi kawin ini, Ketua Mahkamah Agung Republik

Indonesia menetapkan Peraturan Mahkamah Agung RI nomor 5 tahun 2019 tentang

pedoman mengadili Dispensasi kawin. Peraturan Mahkamah Agung ini ditetapkan

pada tanggal 20 November 2019 dan diundangkan pada tanggal 21 November 2019

untuk diketahui dan diberlaakukan bagi segenap masyarakat Indonesia.

Dalam Peraturan Mahkamah Agung nomor 5 tahun 2019 ini menyebutkan,

tujuan ditetapkannya pedoman permohonan dispensasi kawin adalah untuk:

1. Menerapkan asas sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 yaitu, asas

kepentingan terbaik bagi anak, asas hak hidup dan tumbuh kembang anak,

asas penghargaan atas pendapat anak, asas penghargaan harkat dan martabat

manusia, asas non diskriminasi, keseteraan gender, asas persamaan di depan

hukum, asas keadilan, asas kemanfaatan dan asas kepastian hukum;

9
2. Menjamin pelaksanaan sistem peradilan yang melindungi hak anak;

3. Meningkatkan tanggung jawab orang tua dalam rangka pencegahan

perkawinan anak;

4. Mengidentifikasi ada atau tidaknya paksaan yang melatarbelakangi

pengajuan permohonan dispensasi kawin, dan

5. Mewujudkan standarisasi proses mengadili permohonan dispensasi kawin di

pengadilan (Hamidi, Dispensasi Kawin Menurut Perma Nomor 5 tahun

2019, 2019).

Dalam artian, hukum di Indonesia walaupaun memberatkan orang tua

dengan adanya prosedur mendapatkan dispensasi dari Pengadilan Agama dengan

persyaratan yang cukup ketat, namun ujung-ujungnya hukum positif Indonesia

mengizinkan adanya pernikahan dibawah umur ini. Undang-undang perkawinan

yang ini sepertinya menegaskan bahwa pemberian dispensasi oleh Pengadilan

berdasarkan pada semangat untuk mencegah perkawinan anak, pertimbangan

moral, adat, agama, dan budaya, aspek, psikologis, aspek Kesehatan dan aspek lain

yang timbul dari keadaan yang ada.

Akan tetapi pasal undang-undang perkawinan ini bertolak belakang dengan

undang-undang perlindungan anak, terkait dengan batas usia perkawinan untuk

perempuan yang dirasa melanggar kan konstitusioanalnya serta dikatakan

diskriminatif sebab dengan pembedaan batas usia minimum perkawinan yang

termuat didalamnya telah menyebabkan perempuan menjadi diperlakukan beda

dengan laki-laki. Selain itu undang-undang perkawinan ini harusnya tidak lepas

dari undang-undang perlindungan anak.

Namun kenyataannya, penulis menemukan banyak sekali perkawinan

dibawah umur ini terjadi dengan mudah, seakan-akan dispensasi kawin yang

10
disyaratkan peraturan ini hanyalah sebuah persyaratan yang fomal saja bukan

mempunyai nilai yang menghalangi dan memberatkan bagi pasangan dibawah

umur, atau setidaknya mencegah perkawinan itu terjadi. Sehingga tujuan awal agar

pernikahan dibawah umur tidak terjadi yang diharapkan dengan adanya aturan ini

malah tidak tercapai sama sekali. Tidak ada kekhawatiran apalagi rasa berat untuk

mendapatkan dispensasi kawin, malah dianggap persyaratan biasa.

Bahkan muncul wacana di masyarakat, perkawinan dibawah umur itu

gampang, dan mendapatkan dispensasi kawin itu juga sangat gampang. Terutama

bagi orang-tua yang anaknya sudah terjebak dalam pergaulan bebas sehingga

mengharuskan mereka menikah daripada keluarga besarnya mendapatkan malu.

Mereka melihat dispensasi kawin ini sebagai suatu solusi yang cepat dan tepat.

Begitu juga bagi anak anak, mereka tidak takut berhubungan terlalu jauh dengan

pasangannya karena mereka yakin seberat-berat resiko yang mereka hadapi adalah

menikah, dan usia mereka tidak menjadi masalah, karena ada dispensasi kawin

yang akan membantu mendapatkan izin untuk melaksanakan perkawinan.

Berdasarkan temuan kondisi di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji

tentang aturan dispensasi pernikahan anak dibawah umur, yang komperatifkan

antara undang-undang nomor 16 tahun 2019 dan uu nomor 1 tahun 1974 tentang

perkawinan, dengan judul: Studi Komperatif Undang-Undang Nomor 16 tahun

2019 dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Dispensasi

Perkawinan Anak di Bawah Umur.

11
1.2. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas, maka penulis menemukan beberapa identifikasi

masalah, yaitu:

1. Masih minimnya pengetahuan orang tua dan anak anak tentang bahaya

dan resiko pernikahan dibawah umur.

2. Masih banyaknya masyarakat yang menganggap remeh adanya aturan

tentang mendapatkan dispensasi kawin bagi anak dibawah umur.

3. Masih tingginya angka perkawinan dibawah umur disebabkan orang-

tuanya malu dan menjaga nama baik keluarga akibat pergaulan bebas

anaknya, sehingga menganggap dispensasi kawin adalah jalan yang

mudah untuk menutupi malu keluarga mereka.

4. Masih minimnya pengetahuan anak anak tentang dispensasi kawin,

malah menjadikan ini sebagai jalan membenarkan perbuatan mereka

dalam pergaulan bebas.

5. Masih minimnya upaya orang-tua dan masyarakat dalam mencegah

perkawinan dibawah umur ini.

1.3. Batasan Masalah

Karena permasalahan dalam tema ini sangat luas, maka penulis membatasi

hanya pada: Bagaimana aturan perkawinan anak dibawah umur menurut Undang-

undang nomor 16 tahun 2019 dan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang

perkawinan dan bagaimana mendapatkan dispensasi kawin untuk perkawinan

dibawah umur ini.

12
1.4. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana aturan perkawinan anak dibawah umur menurut Undang-undang

nomor 16 tahun 2019 dan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang

perkawinan?

2. Bagaimana mendapatkan dispensasi perkawinan terhadap pernikahan anak

dibawah umur

3. Faktor apa saja yang menyebabkan pernikahan dibawah umur, dan upaya

apa yang bisa dilakukan mengurangi pernikahan dibawah umur tersebut?

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.5.1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman

tentang Dispensasi kawin yang dimaksud dalam Undang-undang nomor 16

tahun 2019 tentang perkawinan dan Undang-undang nomor 1 tahun 1974

tentang perkawinan.

1.5.2. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Secara Teoritis

Untuk memberikan pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan

ilmu hukum khususnya Undang-undang nomor 16 tahun 2019 tentang

perkawinan dan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang

perkawinan.

13
2. Manfaat secara Praktisi Ilmu

a. Untuk Peneliti

Memberikan pengetahuan bagi penulis sebagai mahasiswa hukum

keluarga tentang dispensasi perkawinan anak di bawah umur dan bisa

menerapkan dalam upaya pembinaan kepada masyarakat.

b. Untuk Pengambil Kebijakan

Untuk bisa menjadi evaluasi atau pertimbangan dalam upaya membuat

aturan tentang pernikahan anak dibawah umur, meningkatkan upaya

pencegahan pernikahan dibawah umur dan dalam memberikan

dispensasi perkawinan di bawah umur.

c. Untuk Masyarakat

Menjadi pengetahuan dan pembelajaran bagi masyarakat untuk

menjaga keluarga mereka terutama anak-anak untuk bisa mencegah

terjadinya pernikahan dibawah umur, dan jika ada pernikahan

bagaimana mereka bisa mendapatkan dispensasi perkawinan tersebut.

d. Untuk Perguruan Tinggi

Sebagai hasil kajian dari pemikiran mahasiswa yang sudah menuntut

ilmu diperguruan tersebut, dan sumbangsih ilmu pengetahuan bagi

dunia hukum, salah satunya dalam bidang dispensasi perkawinan bagi

anak dibawah umur.

14
1.6. Sistimatika Penulisan

Adapun sistimatika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I: PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian serta sistematika penulisan

Bab II: TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan kajian teoritis yang terkait dengan masalah Dispensasi

pernikahan kanak di bawah umur yang meliputi : kajian toeritis tentang

Undang-undang nomor 19 tahun 2019 tentang perkawinan dan undang-

undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Bab III : METODE PENELITIAN

Bab ini membahas tentang, jenis dan sumber data, populasi dan teknik

analisa data dan analisa data yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi Analisa data tentang dispensasi pernikahan anak dibawah

umur yang dikaitkan dengan teori-teori, yang nantinya akan dilengkapi

dengan data dari penelitian sejenis yang pernah dilakukan penulis lain.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan analisa tentang

dispensasi perkawinan anak dibawah umur, serta saran dan usulan penulis

tentang masalah ini.

15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Penelitian sebelumnya

Penelitian dengan tema Perkawinan di bawah umur dan dispensasi kawin ini

sudah banyak yang melakukannya, berikut beberapa penelitian dengan teman sejenis:

1. Musyahwir Tahir, 2017, Tinjauan Hukum Dispensasi Pernikahan Anak

Dibawah Umur (Analisa Penetapan Perkara Nomor 73/pdt.P/2016/PA sgm di

Pengadilan Agama Sungguminasa Kabupaten Gowa. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui faktok-faktor apa saja yang melatar-belakangangi pengajuan

permohonan dispensasi nikah untuk dibawah umur, dan untuk mengetahui

pertimbangan hakim di Pengadilan agama terkait penetapam dispensasi nikah

dibawah umur tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan library

research atau penyelidikan melalui perpustakaan dengan menganalisa data

primer dan sekunder secara mendalam, lalu diuraikann dengan diskriptif. Hasil

penelitian ini adalah ada dua faktor yang menyebabkan pernikahan dibawah

umur dan meminta dispensasi nikah, yaitu faktor internal diri anak yang

bersangkutan dan faktor eksternal yang bersumber dari orang tua. Sedangkan

pertimbangan hakim di Pengadulan Negeri Sungguminasa kabupaten Gowa

adalah adanya bukti-bukti yang diajukan sudah lengkap, tidak adanya halangan

pernikahan baik karena nasab maupun halangan perkawinan lainnya, eratnya

hubungan keduanya yang dikhawatirkan akan melanggar syariat Islam dan

perundang-undangan.

2. Rahma Shafira Yuniarta, 2021, Dispensasi Nikah Pasca Undang-undang

Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan dan Implikasinya Terhadap

16
Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Depok. Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisa praktik dispensasi nikah pasca Undang-undang Undang-undang

Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 1 tahun

1974 tentang perkawinan, dan implikasinya terhadap perceraian di Pengadilan

Agama Depok. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa praktik perkawinan di

bawah umur di Pengadilan Agama Depok dengan terjadinya perubahan batas

usia melalui Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tidak memiliki dampak

yang siginifikan terhadap penurunan pengajuan dispensasi nikah di Pengadilan

tersebut, dan ternyata juga tidak efektif dalam menurunkan angka perceraian.

3. Muhammad Azhar Basid, 2019, Tinjauan Yuridis Dispensasi Perkawinan Anak

Dibawah Umur (Studi Kasus Penetapan Nomor 16/Pdt.P/2016/PA.ska.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis parameter pertimbangan Hakim

Pengadilan Agama Surakarta dalam pemberian Dispensasi Kawin serta untuk

mengetahui pengaturan Hukum Islam di Masyarakat menurut Para Ulama,

Undang-undang perkawinan dan kompilasi Hukum Islam. Penelitian ini

dilakukan dengan metode pendekatan normatif impiris dianalisis dengan

menggunakan metode analisis kualitatif yang bersifat deskriptif analitis. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa Hakim dalam mempertimbangkan

penetapannya harus sesuai dengan dalil-dalil dan bukti-bukti hukum yang

dimohonkan, serta mempertimbangkan nilai sosial dari segi kemaslahatan

dinilai sebagai solusi terbaik dianggap memberikan kebijakan yang dapat

menyelesaikan masalah umat.

4. Saffira Wahyu Septiana, 2020, Implementasi Batas Usia Minimal Perkawinan

Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Penelitian ini

17
bertujuan untuk mengetahui apakah regulasi Undang-undang Nomor 16 Tahun

2019 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan mengenai batas minimal usia perkawinan sudah diterapkan dan

dapat diterima secara efektif dalam masyarakat. Penelitian ini juga termasuk

jenis penelitian hukum normative empiris dan menggunakan Teknik analisa

kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan, penerapan Undang-undang Nomor

16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan belum efektif dilaksanakan oleh KUA, karena masih

banyaknya pernikahan yang terjadi dibawah ketentuan undang-undang.

5. Nurmilah Sari, 2011, Dispensasi Nikah Dibawah Umur (studi kasus di

Pengadilan Tangerang tahun 2009-2010). Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui batasan minimal usia menikah menurut hukum positif, mengetahui

faktak hukum tentang perkawinan di bawah umur yang terjadi diluar

pengadilan agama, Untuk mengetahui pertimbangan para ahli hukum di

Pengadilan Agama tentang permohonan dispensasi kawin di bawah umur.

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yuridis normatif, dengan

menggunakan analisa diskriftif. Hasil penelitian adalah: pada dasarnya tidak

ada batasan usia dalam perkawinan menurut hukum positif, aturan hukum

positif memberikan sepenuhnya untuk mengabulkan maupun menolak kepada

pejabat yang berwenang yaitu hakim. Selain itu masih banyak pernikahan

dibawah umur di luar Pengadilan Agama dan disahkan oleh kantor Urusan

Agama. Sedangkan pertimbangan paraHakim dalam menetapkan permohonan

adalah adalah faktor kejiwaan atau sosiologi si anak.

18
2.2. Undang-Undang 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan

Keluarga merupakan Lembaga sosial yang palimg erat diterpa berbagai

masalah apalagi dalam dunia modern dengan arus globalisasi. Dalam globalisasi

kehidupan masyarakat cenderung materialistis, indiviualistis, control sosial semakin

lemah, hubungan suami istri semakin merenggang, hubungan anak dan orang tua

semakin bergeser, dan kesakralan keluarga semakin menipis. Untuk memelihara da

melindungi serta meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut

maka disusunlah undang-undang yang mengatur tentang perkawinan dan keluarga.

Di Indonesia perundang-undang yang mengatur tentang perkawinan adalah

Undang-undang Nomor 1 tahun 194 tentang perkawinan dan Undang-undang nomor

16 tahun 2019 Tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 1 tahun 194 tentang

perkawinan.

Lahirnya Undang-undang Nomor 1 tahun 194 tentang perkawinan sudah

melalui proses yang panjang dari masa ke masa sebelum kemerdekaan hingga

kemerdekaan. Sehingga konsep undang-udang tidak terlepas dari campur tangan

banyak pihak. Sebelum lahirnya undang-undang ini, Hukum di Indonesia telah

muncul undang-undang lain, tetapi kehadirannya mengalami pro dan kontra dari

berbagai kalangan sehingga perlu adanya berbagai perbaikan. Dari ini lahirlah

Undang-undang Nomor 1 tahun 194 tentang perkawinan.

Lahirnya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang

berlaku bagi semua warga negara Indonesua sejak tanggal 02 Januari 1974 untuk

sebagian besar telah memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia. Tuntutan ini sudah

dikumandangkan sejak kongres Perempuan Indonesia pertama. Masalah-masalah

yang menjadi pusat perhatian pergerakan Wanita waktu itu adalah: masalah

perkawinan, masalah poligami, masalah talak yang dianggap sewenang-wenang.

19
Setelah Indonesia merdeka langkah-langkah perbaikan diadakan oleh pemerintah

antara lain dengan mengeluarkan Undang-undang tentang pencatatan Nikah talak dan

rujuk tahun mengenai wali hakim dan tata cara pemeriksa perkara fasid, nikah dan

rujuk di Pengadilan agama. Namun dengan demikian, perbaikan yang dituntut

belumlah dipenuhi karena undang-undang dan peraturan itu hanyalah mengenai

formil belaka, tidak mengenai hukum materilnya yakni undang-undang yang

mengatur perkawinan itu sendiri.

Ira Fauzi (2004:3) menjelaskan bahwa pada tahun 1950 pemerintah

Republik Indonesia telah berusaha memenuhi dengan membentuk panitia yang

membuat Rancangan Undang-undang Perkawinan kemudian dibahas dalam Sidang

DPRD pada tahun 1958/1959, akan tetapi tidak berhasil terwujud dalam undang-

undang. Antara tahun 1967 sampai 1979 DPR RI juga telah membahasnya tetapi

nasibnya sama dengan Rancangan Undang-undang sebelumnya.

Pada tahun 1973, pemerintah kembali mengajukan Rancangan Undang-

undang tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan setelah mendapat tanggapan

pro dan kontra akhinrya dicapai satu consensus yang membawa pengaruh pada

sidang-sidang selanjutnya sehingga tercapai kata mufakat diantara anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, dan akhirnya consensus yang membawa pengaruh pada sidang-

siang selanjutnya sehingga tercapai kata mufakat diantara anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat,

pemerintah memberlakukan/mengeluarkan Undang-undang Perkawinan tanggal 02

Januari 1974 dalam lembar negara yang kebetulan sama nomornya yaitu nomor 1

tahun 1974.

Pada tanggal 01 Januari tahun 1975, setelah satu tahun tiga bulan Undang-

undang Perkawinan diberlakukan, lahir Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975

20
yang membuat peraturan pelaksanaan Undang-undang Perkawinan tersebut, dan

dengan demikian, mulai 01 Oktober 1975 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 telah

dapat berjalan secara efektif.

Ada beberapa poin penting yang menjadi perhatian dalam Undang-undang

nomor 1 tahun 1974 ini (2016:6), yang juga menjadi persoalan yang masih pro dan

kontra bagi perempuan dan masyarakat Indonesia. Beberapa hal yang menjadi

perhatian ini adalah: tentang Poligami, Perceraian, Kedudukan Istri.

Poligami dalam Hukum Perkawinan Islam menempatkan perempuan pada

posisi yang terbaik dibandingkan dengan sistim-sistem hukum yang pernah ada.

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa perkawinan yang ideal adalah perkawinan

yang monogami. Kebolehan perkawinan poligami merupakan “pintu darurat” bagi

suami yang ‘daruri”. Oleh karena itu para ulama menyetujui penetapan syarat-syarat

berat bagi laki-laki dalam berpoligami.

Perkawinan poligami yang tidak mengikuti prosedur dan tidak memenuhi

syarat maka akan ditindak sebagai tindak pidana kejahatan dengan ancaman

hukuman paling lama 5 tahun (pasal 279 KUHperdata), bahkan dalam kondisi

apapun orang-orang yang pernah tunduk kepada hukum perkawinan yang menganut

monogami mutlak, setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974

tentang Perkawinan tidak boleh mengambil istri kedua dan seterusnya.

Dalam hal poligami ini pada dasarnya hukum Islam di Indonesia tidak

dibolehkan namun dengan keterkecualian. Pemerintah melalui Undang-undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan telah berupaya memberatkan poligami

dengan berbagai syarat agar suami tidak beristri lebih dari satu. Persyaratan tersebut

diharapkan dapat meminimilasi poligami dalam masyarakat.

21
Lahirnya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

merupakan hukum nasional. Pada pasal 66 undang-undang tersebut menyatakan

bahwa ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam KUH Per, HOCI, peraturan

perkawinan Campuran dan peraturan-peraturan lainnya yang mengatur tentang

perkawinan sejauh yang telah diatur dalam undang-undang ini dinyatakan tidak

berlaku. Dengan demikian berdasarkan pasal 66 tersebut.

Tentang Perceraian, merupakan salah satu ancaman dan gangguan terhadap

kebahagiaan keluarga, perceraian dipandang sebagai bentuk kegagalan berkeluarga.

Salah-satu asas dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

adalah mempersulit perceraian. Upaya mempersulit perceraian dalam Undang-

undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah dengan menetapkan syarat

perceraian dengan dasar alasan-alasan tertentu dan diucapkan di depan sidang

pengadilan.

Alasan dan prosedur ini dituangkan dalam pasal 39-40 Undang-undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah nomor 9

tahun 1975 yaitu salah satu pihak atau kedua-duanya zina, pemabuk yang sukar

disembuhkan, salah-satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun tanpa izin,

salah satu pihak mendapat hukuman 5 tahun atau lebih, salah satu pihak melakukan

kekejaman atau penganiayaanyang berbahaya, salah-satu pihak mendapat cacat

badan sehingga tidak dapat melakukan fungsinya sebagai suami istri, atau terus

menerus menjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup

rukun lagi dalam rumah-tangga.

Masalah perceraian dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan dijelaskan hak dan kedudukan antara suami dan istri memiliki kesamaan

dan keseimbangan, yakni istri bisa mengajukan cerai gugat, meskipun hak cerai atau

22
yang biasa disebut cerai talak adalah hak suami, namu istri dapat mengajukan cerai

di Pengadilan.

Kebersamaan hak laki-laki dan perempuan di Indonesia sudah jauh lebih

baik dibandingkan dengan perempuan di negara lain. Dalam Undang-undang Nomor

1 tahun 1974 tentang Perkawinan emansipasi perempuan dituangkan dalam rumusan

asas persamaan hak dan kedudukan suami dan istri dalam keluarga dan kehidupan

masyarakat (M Zahid, 2003:36-38). Kedudukan hak dan kedudukan suami dan istri

antara suami dan istri dalam kehidupan keluarga dan kehidupan masyarakat

merypakan asas perkawinan yang diharapkan terwujud dalam setiap keluarga

melalui pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

tersebut.

Keseimbangan hak dan kedudukan ini dapat dilihat melalui pelaksanan

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tentang kesepakatan pihak

calon pengantin laki-laki dan pengantin perempuan untuk melangsungkan

perkawinan. Kewenangan istri untuk berbuat hukum, seorang istri menurut pasal 38

ayat (2) menyebutkan bahwa seorang istri berhak mengelola harta pribadinya sendiri,

istri juga bersama-sama dengan suami berwenang mengelola harta bersama mereka.

Kedudukan Istri menurut menurut undang-undang perkawinan ini jauh lebih kuat

dibandingkan dengan kedudukan istri menurut pasal 142 KUH perdata. Namun

demikian kemajuan prinsip ini belum dikembabgkan sampai ke bidang-bidang

lainnya seperti hukum bisnis dan sejenisnya.

Pertumbuhan jumlah cerai yang diprakarsai istri (gugat cera) dibandingkan

dengan jumlah talak cerai oleh suami merupakan indikator yang kuat bahwa terjadi

kecendrungan semakin seimbangnya hak dan kedudukan istri dari suami, baik dalam

rumah tangga maupun dalam masyarakat. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974

23
tentang Perkawinan justru memberikan keseimbangan hak dan kedudukan antara

suami dan istri dalam kehidupan keluarga dan kehidupan masyarakat dibandingkan

hukum yang sebelumnya.

Untuk anak, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

menyebutkan dalam 16 pasal yang membahas khusus tentang anak, namun juga ada

pasal-pasal lain yang bahasan utamanya bukan tentang anak namun ada beberapa

ayat yang mengaitkan anak di dalamnya, seperti pasal tentang perkawinan, syaratt

perkawinan, perceraian yang membahas tentang hak pengasuhan anak.

Pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

yang khusus membahas tentang anak ini mengambil tema: kedudukan anak, hak dan

kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian dan pembuktian asal-usul anak.

2.3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan

Saat ini, selain Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

perundangan yang mengatur perkawinan di Indonesia adalah Undang-undang Nomor

16 tahun 2019. Undang Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perkawinan

merupakan perubahan dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan. Undang-undang ini memiliki latar belakang dengan dikeluarkannya

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 22/PUU-XV/2017 oleh Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia.

Salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi menurut Mansur (2019:010

dalam putusan tersebut adalah ketika pembedaan perlakuan antara pria dan wanita itu

berdampak pada atau menghalangi pemenuhan hak-hak daar atau hak-hak

konsititusional warga negara, baik yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak sipil

dan politik maupun hak-hak ekonomi, pendidikan, sosial dan kebudayaan yang

24
seharusnya tidak boleh dibedakan semata-mata berdasarkan jenis kelamin, maka

pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi.

Dalam pertimbangan yang sama juga disebutkan pengaturan batas usia

minimak perkawinan yang berbeda antara pria dan anita tidak saja menimbulkan

diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga

sebagaimana dijamin dalam pasal 28B ayat (1) Undang-undang Dasar Tahun 1945,

melainkan juga telah menimbulkan diskriminasi terhada[ perlindungan dan

pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam pasal 28 B ayat (2) Undang-

undang Dasar Tahun 1945. Dalam hal ini ketika usia minimal perkawinan bagi

wanita lebih rendah dibandingkan pria, maka secara umum wanita dapat lebih cepat

untuk membentuk keluarga.

Karena itulah, dalam amar putusannya Mahkamah Konsitusi memerintahkan

kepada pembentuk Undang-undang untuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)

tahun melakukan perubaha terhadap Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan, sehingga lahirlah Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 tentang

perubahan atas Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perubahan norma dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan ini menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan, perbaikan

norma menjangkau dengan menaikkan batas minimal umur perkawainan bagi wanita.

Batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal

umur perkawinan bagi pria, yaitu (19) sembilanbelas tahun. Batas usia dimaksud

dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat

mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan

mendapatkan keturunan yang sehat dan berkualitas.

25
Diharapkan dengan kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari 16

(enambelas) tahun bagi wanita untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang

lebih rendah dan menurunkan resiko kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat

terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak

termasuk pendampingan orang tua serta memberikan akses anak terhadap Pendidikan

setinggi mungkin.

Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-

undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan oleh Presiden Joko

Widodo pada tanggal 14 Oktober 2019 di Jakarta. Undang-undang Nomor 16 tahun

2019 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan mulai berlaku setelah diundangkan oleh Plt Menkumham Tjahjo Kumolo

pada tanggal 15 Oktober 2019 di Jakarta.

Selanjutnya Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diundangkan dan

ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2019 nompr 186.

Penjelasan atas Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diundangkan dan dan

ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2019 nomor 6401.

Dalam lembaran awalnya disebutkan pertimbangan dalam Undang-undang

Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 1 tahun 1974

tentang Perkawinan adalah:

a. Bahwa negara menjamin hak warga negara untuk membentuk keluarga dan

melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Menjamin hak anak

atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas

26
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan

dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

b. Bahwa perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi

tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar

anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil

anak, hak kesehatan, hak pendidikan dan hak sosial anak.

c. Bahwa sebagai pelaksanaan atas Putusan Mahkamah Konstitusi nomor

22/PUU-XV/2017 perlu melaksanakan perubahan atas ketentuan pasal 7

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf

a,b,dan c, perlu dibentuk Undang-undang perubahan atas Undang-undang

nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Dasar hukum Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah: Pasal 5 ayat (1),

pasal 20 dan pasal 28B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

1945 dan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran

Negara Republik Indonesia tahun 1974 nomor 1, tambahan Lembaran negara

Republik Indonesia nomor 3019).

Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-

undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dalam ketentuan umunya

dijelaskan perubahan umum Undang-undang perubahan Undang-undang perkawinan

adalah:

Dalam ketentuan pasal 28B Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945 dicantumkan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga

dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah serta negara menjamin hak

27
anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

menyatakan perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria mencapaai umur 19

(Sembilan belas) tahun, dan pihak wanita mencapai umur 16 (enambelas) tahun,

ketentuan tersebut memungkinkan terjadinya perkawinan dalam usia anak pada

Wanita dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang Perubahan atas Undang-undang

Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, didefenisikan bahwa anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih

dalam kandungan.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang telah mengeluarkan

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 22/PUU-XV/2017 yang salah satu

pertimbangan dalam putusan tersebut yaitu: namun takkala pembedaan perlakuan

antara pria dan wanita itu berdampak pada atau menghalangi pemenuhan hak-hak

daar atau hak-hak konsititusional warga negara, baik yang termasuk ke dalam

kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, pendidikan, sosial

dan kebudayaan yang seharusnya tidak boleh dibedakan semata-mata berdasarkan

jenis kelamin, maka pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi.

Dalam pertimbangan yang sama juga disebutkan pengaturan batas usia

minimal perkawinan yang berbeda anyata pria dan wanita tidak saja menimbulkan

diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga

sebagaimana yang dijamin dalam pasal 28 B ayat (1) Undang-undang Dasar

Republik Indonesia tahun 1945, melainkan juga telah menimbulkan diskriminasi

terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam pasal

pasal 28 B ayat (2) Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.

28
Dalam hal ini, ketika usia minimal perkawinan bagi wanita lebih rendah

dibandingkan pria, maka secara umum wanita dapat lebih cepat untuk membentuk

keluarga. Oleh karena hal tersebut, dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi

memerintahkan kepada pembentuk undang-undang dalam jangka waktu paling lama

3 (tiga) tahun melakukan perubahan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan.

Perubahan norma dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan ini menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan, perbaikan

norma menjangkau dengan menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi wanita.

Dalam hal batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas

minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilanbelas) tahun. Batas usia

dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan

secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan

berkualitas.

Diharapkan juga kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari 16 (enambelas)

tahun bagi wanita untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah

dan menurunkan resiko kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat terpenuhinya

hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk

pendampingan orang tua serta memberikan akses anak terhadap Pendidikan setinggi

mungkin.

Maka dari ketentuan umum diatas dapat dilihat juga dalam pasal yang

mengalami perubahan pada Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 ini dari Undang-

undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Pasal pasal yang mengalami

perubahan mendasar adalah

29
Pasal 1

Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1974 nomor 1, tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia nomor 3019) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan pasal 7 diubah hingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7

(1) Perkawinan hanya akan diizinkan apabila pria dan wanita sudah

mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun.

(2) Dalam hal penyimpanan terhadap ketentuan umur sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau pihak wanita

dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama dengan alasan

sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup

(3) Pemberian dispensasi oleh Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) wajib mendengarkan penddapat kedua belah calon

pengantin yang akan melangsungkan perkawinan.

(4) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seseorang atau kedua orang

tua calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) dan

ayat (4) berlaku juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (6)

2. Diantara pasal 65 dan 66 disisipkan 1 (satu) pasal yakni pasal 65A yang

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 65 A

Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, permohonan perkawinan yang

telah didaftarkan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang

30
Perkawinan, tetap dilanjutkan prosesnya sesuai dengan Undang-undang Nomor

1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.

2.4. Dispensasi Kawin

2.4.1. Perkawinan

Perkawinan merupakan pintu bagi bertemuanya dua hati dalam naungan

pergaulan hidup yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, yang

didalamnya terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh

masing-masing pihak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, bahagia,

harmpnis dan mendapatkan keturunan (Bahktiar, 2004:5)

Perkawinan itu merupakan ikatan yang kuat yang didasari oleh perasaan

cinta yang sangat mendalam dari masing-masing pihak untuk hidup bergaul

guna memelihara kelansungan hidup manusia di bumi. Perkawinan merupakan

suatu persatuan. Persatuan diciptakan oleh cinta dan dukungan yang diberikan

oleh seorang pria pada istrinya dan wanita pada suaminya.

Menurut Kartono, pengertian perkawinan merupakan suatu institusi soal

yan diakui setiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna perkawinan

berbeda-beda, akan tetapi praktek-prakteknya dihampir semua kebudayaan

cenderung sama, perkawinan menunjukkan pada suatu peristiwa saat sepasang

calon suami istri dipertemukan secara formal di hadapan ketua agama, para

saksi dan sejumlah hadirin untuk kemudian disahkan secara resmi dengan

upacara dan ritual-ritual tertentu.

Menurut Saxton dalam (Sanjaya, 2017:6)), Perkawinan memiliki dua

makna yaitu:

31
a. Sebagai suatu institusi sosial, suatu solusi kolektif terhadap

kebutuhan sosial. Eksistensi dari perkawinan itu memberikan fungsi

poko untuk kelangsungan hidup suatu kelompok dalam hal ini

masyarakat.

b. Makna individual perkawinan sebagai bentuk legitimasi (pengesahan)

terhadap peran sebagai individual, tetapi yang terutama, perkawinan

dipandang sebagai sumber kepuasan personal.

Dalam kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada pasal2

dinyatakan: bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah akad yang sangat

kuat atau mitsaqan, untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakan

merupakan ibadah.

Menurut Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan pasal 1 ayat (2) perkawinan di defenisikan sebagai ikatan lahir

batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga, rumah tangga yang Bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa adalah karena Negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila

pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka disini tampak penegasan

bahwa perkawinan mempunyai hubungan erat sekali dengan agama,

kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani

tetapi juga memiliki unsur batin/rohani.

Sedangkan secara eksplisit peristiwa hukum dapat berakibat diatur oleh

hukum atau peristiwa yang diberi akibat hukum. Sahnya perkawinan diatur

dalam Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

pasal 2 yang menyatakan:

32
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaannya tersebut.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut aturan perundang-undangan

yang berlaku.

Penasiran dalam penjelasan Undang-undang Perkawinan nomor 1

tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 adalah bahwa perkawinan harus

dilakukan menurut agama dan kepercayaan, dalam arti pelaksanaannya selalu

dikaitkan dengan ajaran-ajaran. Perkawinan sebagai perbuatan hukum dinilai

sebagai pencatatan perkawinan sesuai dengan perbuatan agama ditandai

dengan dilaksanakan perkawinan sesuai ketentuan agama.

Perkawinan sebagai perbuatan hukum dinilai sebagai pencatatan

perkawinan sesuai dengan perbuatan agama ditandai dengan dilaksanakan

perkawinan sesuai ketentuan agama. Tujuan perkawinan dalam Islam selain

memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk

membentu keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam

menjadikan hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar terciptanya

ketenangan dalam ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman

dalam keluarga dan masyarakat.

Berbicara mengenai tujuan memang merupakan hal yang tidak mudah,

karena masing-masing individu akan mempunyau tujuan yang mungkin

berbeda satu sama lain. Pada dasarnya seluruh tujuan dari perkawinan di atas

muara pada satu tujuan untuk membina rasa cinta dan kasih-sayang antara

pasangan suami istri sehingga terwujud dalam ketentraman di dalam keluarga.

Menurut Bahtiar (2004:7) membagi lima tujuan perkawinan yang paling

pokok, yaitu:

33
a. Memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan

mendirikan rumah-tangga yang damai dan teratur.

b. Mengatur potensi kelamin

c. Menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama

d. Menimbulkan rasa cinta antara suami istri

e. Membersihkan keturunan yang hanya bisa diperoleh dengan jalan

pernikahan.

Perkawinan merupakan kebutuhan fitri manusia yang memberikan

banyak hasil yang penting, diantaranya:

1. Pembentukkan sebuah keluarga yang di dalamnya seseorang dapat

menemukan kedamaian fikiran. Perkawinan merupakan perlindungan

bagi seseorang dalam kehidupan, dengan menemukan pasangan maka

mereka bisa berbagi kebahagiaan dan penderitaan.

2. Setiap orang harus mempunyai pasangan untuk memenuhi kebutuhan

seksualnya dalam lingkungan yang aman dan tenang. Orang harus

menikmati kepuasan seksual dengan cara yang benar dan wajar.

3. Reproduksi atau sebagai wadah untuk melangsungkan keturunan,

anak-anak adalah hasil perkawinan dan merupakan faktor penting

dalam memantapkan pondasi keluarga dan juga merupakan sumber

kebahagiaan sejati bagi orang tua mereka.

Untuk bisa mencapai tujuan pernikahan yang mulia ini maka calon

pasangan suami istri hendaklah mereka yang sudah siap untuk menikah, atau

mempunyai kesiapan untuk melakukan perkawinan. Kesiapan kawin ini

merupakan persepsi terhadap kemampuan individu untuk dapat menampilkan

dirinya dalam peran-peran pernikahan. Kesiapan kawin dapat dipandang

34
sebagai aspek dalam proses pemiihanan pasangan atau proses perkembangan

hubungan (Sanjaya, 2017:3).

Kesiapan menikah/kawinmerupakan keadaan siap atau bersedia dalam

berhubungan dengan seorang pria atau Wanita, siap menerima tanggung-jawab

sebagai suami atau istri, siap terlibat dalam hubungan seksual, siap dalam

mengatur keluarga dan mengasuh anak.

Untuk membangun keluarga yang harmonis, ada banyak faktor-faktor

yang perlu dipertimbangkan dan dipersiapkan. Pasangan suami istri harus

mempunyai bekal yang cukup dalam menghadapi berbagai permasalahan yang

munkin terjadi dalam pernikahan. Kesiapan dalam sebuah pernikahan baik dari

segi kehidupan sosial, ekonomi, fisiologis, maupun psikologis. Kesiapan sosial

ekonomi berkaitan dengan bagaimana individu berani membentuk keluarga

melalui perkawinan dengan segala tanggung jawabnya dalam menghidupi dan

menjadi penyangga keluarga.

Persiapan sebuah perkawinan akan berlangsung baik jika masing-

masing pasangan diberi waktu untuk mempersiapkan segala hal, meliputi

persiapan sebelum maupuan sesudah perkawinan. Persiapan rencana yang

tergesa-gesa akan mengarah pada persiapan perkawinan yang buruk dan

memberikan dampak yang buruk pada awal-awal kehidupan perkawinan.

Bakhtiar menyatakan, seseorang dinyatakan siap untuk

melangsungkan perkawinan apabila memenuhi kriteria, diantaranya:

1. Memiliki kemampuan mengendalikan perasaan diri sendiri.

2. Memiliki kemampuan untuk berhubungan baik dengan orang banyak

3. Bersedia dan mampu menjadi pasangan dalam hubungan seksual.

4. Bersedia untuk membina hubungan seksual yang intim

35
5. Memiliki kelembutan dan kasih-sayang kepada orang lain

6. Sensitif terhadap kebutuhan dan perkembangan orang lain.

7. Dapat berkomunikasi mengenai pemikiran, perasaan dan harapan

8. Bersedia berbagi rencana dengan orang lain

9. Bersedia menerima keterbatasan orang lain

10. Realistis terhadap karakteristik orang lain

11. Memiliki kapasitas yang baik dalam menghadapi masalah-masalah

yang berhubungan dengan ekonomi

12. Bersedia menjadi suami atau istri yang bertanggung-jawab

Maka kesiapan kawin ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu kesiapan

pribadi (personal) dan kesiapan situasi. Yang dapat dirincikan sebagai berikut:

1. Kesiapan pribadi

Terdiri dari:

a. Kematangan emosi

b. Kesiapan usia

c. Kematangan sosial

d. Kesehatan emosional

e. Kesiapan peran

2. Kesiapan situasi

Terdiri dari:

a. Kesiapan finasial

b. Kesiapan waktu.

36
2.4.2. Batas Usia Perkawinan.

Dalam perkawinan, usia dan kedewasaan memang menjadi hal yang

harus diperhatikan bagi para pria dan wanita yang ingin melangsungkan

pernikahan. Karena kualitas akan dan mental merupakan hal penting dalam

mengontrol diri sendiri maupun pasangan dan lingkungan sekitarnya.

Kedewasaan dalam bidang fisik-biologis, sosial ekonomi, emosi, dan

tanggung-jawab, serta keyakinan agama.

Kesiapan usia berarti melihat usia yang cukup untuk menikah,

menjadi pribadi dewasa yang secara emosi membutuhkan waktu, sehingga usia

merupakan hal yang berkaitan dengan kedewasaan, semakin tua usia seseorang

maka semakin dewasa pemikirannya. Sebaliknya semakin mudia usia

seseorang maka semakin sulit untuk mengatasi emosi-emosinya. Semakin

muda usia pada saat menikah, maka semakin tinggi tingkat angka perceraian.

(Soemiyati, 2004:112)

Dalam Hukum Islam sendiri tidak mengatur secara mutlak tentang

batas umur perkawinan. Tidak ada ketentuannya dalam agama tentang batas

umur minimal dan maksimal untuk melangsungkan perkawinan sehingga dapat

memberikan kelonggaran bagi manusia untuk mengaturnya. Al-Qur’an

mengisyaratkan bahwa orang yang akan melangsungkan perkawinan haruslah

orang yang siap dan mampu. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS an-

Nuur ayat 24:32”

“Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-

orang yang layak (mampu) dari hamba-hamba, sahayamu yang laki-laki

dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah

37
akan mampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas

(pemberian-Nya) lagi maha mengetahui. (QS. An-Nuur:32)

Jika dipahami kata “layak“adalah makna dari mampu secara mental

dan spiritual untuk membina rumah-tangga (Soedarso, 2010, 290). Menurut

Imam Syafi’i apabila seoang anak telah mencapai usia 15 tahun ia telah

dinamakan baligh. Menurut Imam Hanafi dapat dikatakan baligh bagi seorang

laki-laki apabila sudah ihtilam, yaitu bermimpi nikmat sehingga mengeluarkan

mani dan bagi seorang wanita jika sudah mengeluarkan darah haid. Terkadang

umur 12 tahun sudah mengalami mimpi basah bagi laki-laki dan umur 9 tahun

sudah mengalami haid bagi wanita (M Jawad, 2011:22).

Secara umum, makna cukup umur dimaksud dalam perkawinan adalah

sudah timbulnya keinginan untuk berumah-tangga, siap menjadi suami dan

memimpin keluarga. Hal ini tidak bisa berjalan semputna, jika pria tersebut

belum mampu mengurus harta kekayaan. Berdasarkan ketentuan umum

tersebut, para Fuqoha dan ahli undang-undang sepakat menetapkan, seseorang

diminta pertanggung-jawaban atas perbuatannya dan mempunyai kebebasan

menentukan hidupnya setelah cukup umur (baligh).

Namun secara hukum positif Indonesia memberikan batasan tentang

usia yang dibenarkan atau diakui negara untuk bisa melangsung perkawinan.

Pada Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 7 ayat (1)

telah ditentukan batas umur untuk melangsungkan perkawinan seorang laki-

laki dan Wanita, bagi laki-laki telah berumur 19 (Sembilan belas) dan bagi

wanita telah berumur 16 (enambelas) tahun. Hal ini dimaksudkan bahwa calon

suami istri harus telah matang jasmani dan rohani untuk melangsungkan

38
perkawinan, agar dapat memenuhi tujuan luhur perkawinan dan mendapatkan

keturunan yang baik dan sehat.

Penentuan ini juga dipertegas lagi dalam kompilasi Hukum Islam,

yang tertera dalam pasal 15 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa:

a. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya

boleh dilakukan calon mempelai yang sudah mencapai umur yang

ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang

perkawinan, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun

dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

b. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus

mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4)

dan (5) menurut Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang

perkawinan.

Dari penjelasan tampak sekali bahwa undang-undang perkawinan di

Indonesia tidak konsisten, disatu sisi, pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa untuk

melangsungkan perkawainan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun

harus mendapatkan izin kedua orang-tua. Disisi lain pasal 7 ayat (1)

menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai

umur 19 tahun dan pihak wanita 16 tahun. bedanya jika kurang dari 21 tahun,

yang diperlukan izin orang tua, dan jika kurang dari 19 tahun dan 6 tahun perlu

izin pengadilan. Ini dikuatkan pasal 15 ayat (2) kompilasi hukum Islam, namun

menurut ketentuan dalam pasal 2 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang

perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya, juga menmenjadi

sebuah legalitas menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya,

39
juga menjadi sebuah legalitas bagi seseorang yang ingin melakuan perkawinan

di usia dini.

2.4.3. Dispensasi kawin

Undang-undang perkawinan di Indonesia memberikan peluang

terjadinya perkawinan dibawah umur, karena adanya proses dispensasi kawin

yang diajukan melalui pengadilan, selanjutnya diizinkan atau tidaknya setelah

dnyatakan alasan kepada Pengadilan tergantung pada pertimbangan Hakim

yang memeriksa serta memutus di Pengadilan. Berdasarkan pasal 7 ayat (2)

pernikahan dibawah umur ini dibenarkan dengan adanya persyaratan, salah

satunya dispensasi perkawinan. Dispensasi kawin merupakan suatu

kelonggaran yang diberikan pengadilan kepada calon pasangan yang belum

mencapai batas usia perkawinan.

Dispensasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai:

pengecualian dari aturan karena adanya pertimbangan yang khusus,

pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan. Berarti Hukum pengeucualian

tindakan berdasarkan hukum yang menyatakan bahwa suatu peraturan

perundang-undangan tidak berlaku untuk suatu hal yang khusus (dalam

admimnistrasi negara). Marwan dalam (Marwan. 2009:174) mengatakan,

dispenasi diartikan sebagai suatu pengecualian terhadap ketentuan-ketentuan

peraturan-peraturan hukum ataupun undnag-undang yang seharusnya berlaku

secara formil. Suatu keputusan yang memperkenankan diberlakukannya suatu

perbuatan yang pada umumnya dilarang oleh pembuat peraturan-peraturan.

Dispensasi kawin adalag pemberian keringanan untuk seseorang yang

ingin menikah namun belum mencapai syarat usia perkawinan yang dalam hal

ini ada di dalam undang-undang. Warga negara yang beragama Islam yang

40
ingin menikah namun masih dibawah umur harus mendapatkan dispensasi

kawin dari Pengadilan Agama. Dispensasi kawin dari Pengadilan Agama

adalah putusan yang berupa penetapan dispensasi untuk calon mempelai yang

belum mencapai usia 19 tahun baik bagi pria maupun Wanita untuk

melangsungkan perkawinan.

Menurut Tri Wajadi (2008:37) dispensasi dalam perkawinan dibawah

umur merupakan pemberian kelonggaran untuk melaksanakan perkawinan

walaupun tidak sesuai dengan aturan yang ada. Dispensasi perkawinan

merupakan salah-satu kewenangan obsolut yang diberikan oleh undang undang

kepada Pengadilan Agama untuk memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan

perkara permohonan izin menikah bagi orang-oang yang memiliki halangan

untuk menikah. Kewenangan ini tercantum pada pasal 49 Undang-undang

nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang menyatakan:

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam dibidang: a). Perkawinan, b)waris, c)wasiat, d)Hibah,

e)waqaf, f)zakat, g)infaq, h)shadaqoh dan ekonomi syariah. (Rofiq,

Hukum Perdata Islam di Indonesia, 2013,59)

Dalam pasal 7 ayat (2) tersebut disebutkan bahwa pasangan dibawah

umur ketika ingin mendaftarkan perkawinan ke kantor urusan agama (KUA)

harus melampirkan dispensasi dari pengadilan agama. Agar pernikahan itu

dapat sah secara agama dan negara. Jika perkawinan ini tidak melampirkan

dispensasi nikah maka pernikahan ini tidak dapat dicatat sesuai dengan

peraturan Menteri Agama pasal 8 bab IV no 11 tahun 2007 tentang pencatatan

nikah.

41
Perkawinan hanya dapat diizinkan bagi mereka yang telah memenuhi

persyaratan usia, namun dalam keadaan tertentu Pengadilan dapat memberikan

dispensasi kawin sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang mengadili pemberian

dispensasi bagi anak yang belum cukup usia untuk nikah secara jelas dan tegas

belum ada pengaturanya, maka Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan

yang dijadikan pedoman bagi Hakim Pengadilan Agana dalam mengadili

perkara permohonan dispensasi kawin bagi umat Islam yang belum cukup usia

kawin, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5

tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Disppensasi Kawin.

Dalam Peraturan Mahkamah Agung nomor 5 tahun 2019 ini

menyebutkan, tujuan ditetapkannya pedoman permohonan dispensasi kawin

adalah untuk:

1. Menerapkan asas sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 yaitu, asas

kepentingan terbaik bagi anak, asas hak hidup dan tumbuh kembang

anak, asas penghargaan atas pendapat anak, asas penghargaan harkat

dan martabat manusia, asas non diskriminasi, keseteraan gender, asas

persamaan di depan hukum, asas keadilan, asas kemanfaatan dan asas

kepastian hukum;

2. Menjamin pelaksanaan sistem peradilan yang melindungi hak anak;

3. Meningkatkan tanggung jawab orang tua dalam rangka pencegahan

perkawinan anak;

4. Mengidentifikasi ada atau tidaknya paksaan yang melatarbelakangi

pengajuan permohonan dispensasi kawin, dan

42
5. Mewujudkan standarisasi proses mengadili permohonan dispensasi

kawin di pengadilan (Hamidi 2019: 209).

Dalam artian, hukum di Indonesia walaupaun memberatkan orang tua

dengan adanya prosedur mendapatkan dispensasi dari Pengadilan Agama

dengan persyaratan yang cukup ketat, namun ujung-ujungnya hukum positif

Indonesia mengizinkan adanya pernikahan dibawah umur ini. Undang-undang

perkawinan yang ini sepertinya menegaskan bahwa pemberian dispensasi oleh

Pengadilan berdasarkan pada semangat untuk mencegah perkawinan anak,

pertimbangan moral, adat, agama, dan budaya, aspek, psikologis, aspek

Kesehatan dan aspek lain yang timbul dari keadaan yang ada.

Di dalam Peraturan Mahkamah Agung tersebut Hakim yang mengadili

permohonan Dispenasi Kawin adalah:

1. Hakim yang sudah memiliki Surat Keputusan Ketua Mahkamah

Agung sebagai Hakim Anak, mengikuti pelatihan dan/atau

bimbingan teknis tentang perempuan berhadapan dengan hukum atau

sertifikat Sistim Peradilan Pidana Anak. Atau berpengalaman

mengadili permohonan Dispensasi kawin.

2. Jika tidak ada Hakim sebagaimana tersebut di atas, maka setiap

Hakim dapat mengadili permohonan Dispensasi kawin

43
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan Yuridis normatif,

adalah pendekatan masalah dengan melihat, menelaah dan menginterprestasikan hal-

hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi,

peraturan perundang-undangan, pandangan, doktrin hukum dan sistim hukum yang

berkaitan. Jenis pendekatan ini menekankan pada diperolehnya keterangan berupa

naskah hukum yang berkaitan dengan objek yang diteliti.

Dalam penelitian ini adalah meneliti dispensasi kawin anak dibawah umur

ditinjau dari Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-

undang nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan Undang-undang nomor 1 tahun

1974 tentang Perkawinan.

Adapun beberapa sumber yang digunakan antara lain: buku-buku, teks,

jurnal ilmiah, referensi statistic, hasil-hasil penelitian dalam bentuk skripsi,

jurnal,artikel internt dan sumber-sumber lain yang relevan.

3.2. Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang diberikan dalam

tahap peneitian mahasiswa Fakultas Hukum Institut Agama Islam Edi Haryono

Madani, yaitu selama bulan September hingga Desember 2022.

3.3. Jenis Data


Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan analisa dan

pemikiran, maka diperlukan data-data dan sumber-sumber yang dianggap relevan

dengan tema penelitian ini, sumber tersebut terdiri dari:

44
1. Data Primer.
Yang meliputi aturan dan perundangan yang berkaitan dengan tema

penelitian, terdiri dari: Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan, Undang-undang nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi

Hukum Islam.

2. Data sekunder.
Terdiri dari: buku-buku, teks, jurnal ilmiah, referensi statistic, hasil-hasil

penelitian dalam bentuk skripsi, jurnal,artikel internt dan sumber-sumber

lain yang relevan dengan penelitian ini.

3.4. Prosedur Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini, penulis melakukan pengumpulan data -data baik

melalui perundangan-undangan maupun sumber lainnya dari berbagai sumber

tertulis, seperti buku, skripsi, jurnal, artikel ilmiah, maupun dari media lain, seperti

website dan internet. Semua bahan ini mengkaitkan tentang dispensasi kawin dalam

perkawinan dibawah umur menurut Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan, Undang-undang nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan Undang-

undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

3.5. Analisa Data


Dalam penelitian ini data yang diperoleh kemudian dikumpulkan

selanjutnya peneliti melakukan kajian kepustakaan untuk memahami sumber-

sumber tersebut, selanjutnya peneliti melakukan analisa secara mendalam, dengan

memahami kerkaitan antara satu sumber dengan sumber lainnya.

45
Selanjutnya data tersebut diulas dan disimpulkan secara diskriptif melalui

rangkaian kalimat dan kata-kata yang mengambarkan apa hasil dari analisa

tersebut. Analisa itu menggambarkan bagaimanakah sebenarnya dispensasi kawin

pada perkawinan anak dibawah umur ditinjau dari Undang-undang nomor 1 tahun

1974 tentang Perkawinan, Undang-undang nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,

3.6. Tahap-tahap Penelitian


Dalam penelitian ini tahapan yang penulis lakukan adalah :

a. Tahap persiapan, dalam tahapan ini peneliti melakukan menentukan objek

penelitian, persiapan mengumpulkan data, membuat list data yang

dibutuhkan.

b. Tahap pengumpulan data penelitian, dalam tahapan ini peneliti melakukan

pengumpulan data dokumentasi dan data kepustakaan

c. Tahap analisa penelitian, dalam tahapan ini peneliti melakukan analisas data

terhadap data dan sumber dari kepustakaan yang dilakukan, untuk

mendapatkan data yang mendukung dan relevan terhadap tema penelitian.

d. Tahap menarik kesimpulan dan menyusun saran, dalam tahap ini penulis

melakukan penarikan kesimpulan dari data yang diperoleh selama penelitian

untuk menjawab persoalan-persoalan yang diteliti, kemudian peneliti

menuliskan diskripsi terhadap kesimpulan dan seluruh hasil penelitian.

kemudian peneliti mengajukan saran bagi penelitian selanjutnya.

46
BAB IV
P E M B A H A SA N

4.1. Perkawinan Anak Dibawah Umur Menurut Undang-Undang 1 tahun 1974 dan

Undang-undang Nomor 19 tahun 2019 Tentang Perkawinan

Perkawinan dibawah umur merupakan perkawinan yang dilangsungkan oleh

laki-laki dan wanita yang belum mencapai usia dewasa atau bisa juga diartikan

dengan perkawinan yang dilangsungkan dibawah syarat baats usia minimal

perkawinan sebagaimana diatur dalam undang-undang perkawinan.

Perkawinan dibawah umur menurut pandangan Undang-undang Nomor 1

tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan dalam pasal 7 ayat (1) telah ditentukan

batas umur untuk melangsungkan perkawinan seorang laki-laki dan Wanita, bagi

laki-laki telah berumur 19 (Sembilan belas) dan bagi wanita telah berumur 16

(enambelas) tahun. Dari pasal ini sebenarnya sudah ada penegasan, bahwa untuk bisa

melangsungkan perkawinan maka setidaknya calon pengantin laki-laki berumur 19

tahun dan calon pengantin perempuan berumur 16 tahun.

Sebelumnya dalam Pasal 6 ayat (2) disebutkan bahwa untuk melangsungkan

perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun maka harus

mendapatkan izin dari kedua orang tua. Sebenarnya dari dua ayat pada pasal 6 dan 7

ini sudah secara tegas dinyatakan batas minimal sebuah perkawinan yaitu hanya bisa

bagi mereka yang berumur 16 tahun bagi Wanita dan 19 tahun bagi pria, sedangkan

diatas itu saja yaitu sebelum umur 21 tahun, maka perkawinanya harus seizin orang

tuanya. Apalagi kalau pernikahan tersebut dibawah umur 16 dan 19 tahun.

47
Secara rinci, pasal 6 dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang

Perkawinan adalah:

Pasal 6

(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon

mempelai.

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapau

umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua

orang-tua.

(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meningga; dunia

atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka

izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua

yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan

kehendaknya.

(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam

keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, makai zin

diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang

mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas

selama mereka masih hidup dan dalam keadaaan dapat menyatakan

kehendaknya.

(5) Dalam hal perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut

dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih

diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan

dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan

melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat

48
memberikan izin setelah lebih dahulu mendegar orang-orang tersebut

dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu

dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7

(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16

(enambelas) tahun.

(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat diminta

dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk kedua

orang tua pihak pria maupun pihak Wanita

(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua

orang tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) undang-undang ini,

berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal

ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6)

Dari penjelasan dua pasal ini sudah dapat dipahami adanya adanya batasan

usia dalam melangsungkan perkawinan. Kalau dirincikan maka aturan tentang

perkawinan dibawah umur dalam dua pasal ini adalah:

a. Perkawinan hanya bisa dilaksankan kalau sudah ada persetujuan dari kedua

calon mempelai.

b. Batas usia umur minimal baru bisa melaksanakan perkawinan adalah umur

19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16

(enambelas) tahun.

49
c. Kalau perkawinan dilaksanakan sebelum umur 21 (duapuluh satu) tahun

maka harus mendapatkan izin dari kedua orang tua.

d. Jika perkawinan itu dibawah umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak

wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun maka harus diminta

dispensasi kepada Pengadilan.

e. Ketentuan ini hanya berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Sementara itu menurut pandangan Undang-undang Nomor 16 tahun 2019

Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, batas

usia sudah lebih ditingkatkan. Ini dapat dilihat dalam pasal berikut:

Pasal 1

Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1974 nomor 1, tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3019) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan pasal 7 diubah hingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7

1) Perkawinan hanya akan diizinkan apabila pria dan wanita sudah

mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun.

2) Dalam hal penyimpanan terhadap ketentuan umur sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau pihak wanita

dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama dengan alasan

sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup

3) Pemberian dispensasi oleh Pengadilan Agama sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah

calon pengantin yang akan melangsungkan perkawinan.

50
4) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seseorang atau kedua orang

tua calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3)

dan ayat (4) berlaku juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (6)

2. Diantara pasal 65 dan 66 disisipkan 1 (satu) pasal yakni pasal 65A yang

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 65 A

Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, permohonan perkawinan yang

telah didaftarkan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang

Perkawinan, tetap dilanjutkan prosesnya sesuai dengan Undang-undang Nomor

1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Dari pasal pada Undang-undang nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan

atas Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan sudah ada

peningkatan tentang batas usia minimal untuk melangsungkan perkawinan, selain itu

juga dibuka pula celah untuk melanggarnya dengan tetap bisa melakukan perkawinan

dibawah umur dengan cara mendapatkan dispensasi kawin. Kalau dirincikan maka

aturan tentang perkawinan dibawah umur Undang-undang nomor 16 tahun 2019

tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan:

a. Umur minimal untuk bisa melangsungkan perkawinan adalah apabila

pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun

b. Apabila ingin menikah dibawah usia minimal tersebut maka orang tua

pihak pria dan/atau pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada

Pengadilan Agama dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti

pendukung yang cukup

51
c. Pemberian dispensasi oleh Pengadilan Agama) wajib mendengarkan

pendapat kedua belah calon pengantin yang akan melangsungkan

perkawinan

4.2 Tata Cara Mendapatkan Dispensasi Kawin

Peraturan batas usia perkawinana di Indonesia telah diperbaharui di dalam

Undang-undang nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Perubahan tersebut ada pada pasal 7 ayat

(1) Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan Undang-Undang

Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan

perempuan mencapai umur sembilan belas (19) tahun.

Permohonan dispesnasi kawain dapat diajukan oleh orang tua atau walinya

yang anaknya masih dibawah batas umur tersebut kepada Ketua Pengadilan Agama

yang mewilayahi tempat tinggal pemohon. Pihak yang mengajukan permohonan

dispensasi kawin harus memperhatikan urutan orang yang boleh mengajukan

permohonan. Untuk permohonan dispensasi kawin dari pihak Wanita yang

mengajukan adalah Bapak, jika tidak ada bapak maka diajukan ibu, selanjutnya

Kakek, selanjutnya nenek dan sampai pada orang yang menjadi walinya saat ini,

sedangkan permohonan dispensasi kawin dari pihak pria boleh siapa saja, boleh

bapak atau ibu atau walinya.

Dalih Efendi (2021:5) menjelaskan, syarat-syarat yang harus dipenuhi saat

mengajukan dispensasi kawin adalah:

1. Surat permohonan

2. Fotocopy KTP orangtua /wali yang bersangkutan.

3. Fotocopy kartu keluarga pemohon

52
4. Fotocopy akte kelhairan anak /KTP anak

5. Fotocopy KTP/akte lahir calon suami /istri

6. Fotocopy ijazah Pendidikan terakhir anak dan/atau surat keterangan

yang masih sekolah dari sekolah anak.

7. Fotocopy surat penolakan dari Kantor Urusan Agama kecamatan

8. Membayar biaya panjar perkara, pemohon yang tidak mampu dapat

mengajukan permohonan dispensasi kawin secara cuma-cuma.

Dalam Permohonan dispensasi kawin diajukan kepada Pengadilan Agama,

Majlis Hakim hanya dapat menjatuhkan penetapan atas perkara permohonan

dispenasi kawin apabila:

a. Telah terpenuhinya rukun sah perkawinan

b. Karena adanya tujuan untuk kemaslahatan umat

c. Setelah mendengar keterangan kedua orang tua dari kedua belah pihak dan

kedua mempelai.

d. Adanya Surat pernyataan dari anak yang dimohonkan dispensasi kawinnya

bahwa ia sanggup untuk memenuhi segala kewajiban yang timbul dari

ikatan pernikahan tersebut.

e. Surat pernyataan penghasilan dari anak yang dimohonkan dispensasi

perkawinannya dan diketahui oleh pejabat yang berwenang.

f. Permohonan dispenasi kawin ini harus dibuktikan dengan sesuai dengan

ketentuan hukum acara perdata yang berlaku

g. Rekomendasi medis/surat pertimbangan secara media seperti hasil

pemeriksaan dokter sepsialis kebidanan dan psikologi

h. Ada dua orang saksi dari pihak keluarga atau orang terdekat

53
Maka dalam pelaksanaan mendapatkan dispensasi kawin ini, ornag tua akan

melalui tahapan:

1. Pengadilan Agama akan menerima setiap permohonan yang diajukan

orang tua baik secara lisan maupun tulisan.

2. Pengadilan Agama akan memberikan penjelasan mengenai kebijakan

dan prosedur pada masyarakat yang mengajukan permohonan.

3. Pengadilan Agama akan memberikan tanda terima jika permohonan

diajukan secara tertulis

4. Pengadilan Agama hanya akan menindak-lanjuti permohonan yang

mencantumkan identitas.

5. Masyrakat yang mengajukan sedapat mungkinan mencantumkan

identitas dan menyertai dengan dokumen penguat lainnya

6. Setiap data dan identitas yang diberikan akan dirahasiakan

7. Pemohon akan mendapatkan surat kuasa untuk membayar

8. Pemohon membayar uang perkara

9. Perkara disidangkan

10. Jalannya persidangan

11. Penetapan Hakim

Mahkamah Agung sangat konsen terhadap implementasi Undang-undang

Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974

tentang perkawinan. Perubahan tersebut khusus menyangkut usia perkawinan. Ketika

usia calon pengantin belum mencapai usia tersebut maka petugas pencatat nikah baru

bisa melakukan pencatatan perkawinan tersebut setelah ada keputusan pemberian

dispensasi kawin oleh Pengadilan Agama.

54
Mahkamah Agung berpandangan bahwa anak merupakan Amanah dan

karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia

seutuhnya serta memiliki hak yang sama untuk tumbuh kembang. Semua tindakan

mengenai anak yang dilakukan oleh Lembaga-lembaga kesejahteraan sosial, negara

dan swasta termasuk Pengadilan, dilaksanakan demi kepentingan yang terbaik demi

anak.

Dalam pelaksanaan sidang Dispensasi kawin, maka Hakim dan pemohon

akan melalui tahapan-tahapan:

- Pada hari sidang pertama, pemohon wajib menghadirkan.

a. Anak yang diminta permohonan dispensasi kawin

b. Calon suami/istri

c. Orang tua/walu calon suami atau istri

Apabila pemohon tidak hadir, Hakim menunda persidangan dan memanggil

kembali Pemohon secara sah dan patut. Namun jika pada hari sidang kedua

pemohon tidak hadir, maka permohonan dispensasi kawin dinyatakan gugur.

- Apabila sidang hari pertama dan hari sidang kedua, pemohon tidak dapat

menghadirkan pihak-pihak tersebut diatas, maka Hakim menunda persidangan

dan memerintahkan Pemohon untuk menghadirkan pihak-pihak tersebut.

Kehadiran pihak-pihak tersebut tidak harus pada hari sidang yang sama, akan

tetapi jika dalam hari sidang ketiga, pemohon tidak dapat menghadikran pihak-

pihak tersebut, maka dispensasi kawin dinyatakan Tidak dapat diterima.

- Hakim dalam menggunakan bahasa metode yang mudah dimengerti anak, juga

Hakim dan Panitera Pengganti dalam memeriksa anak tidak memakai atribut

persidangan (seperti baju Toga Hakim dan Jas Panitera Pengganti)

55
- Dalam Persidangan, Hakim harus memberikan nasihat kepada pemohon, Anak

calon suami/istri dan orang tua/wali calon suami /istri. Nasehat disampaikan

untuk memastikan pemohon, anak dan calon suami/istri dan orangtua/wali

calon suami/istri agar memahami resiko perkawinan, terkait dengan:

1. Kemungkinan berhentinya Pendidikan bagi Anak.

2. Keberlanjutan anak dalam menempuh wajib belajar 12 tahun

3. Belum siapnya organ produksi anak

4. Dampak sosial, ekonomi dan psikologis bagi anak

5. Potensi perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga.

- Nasehat yang disampaikan oleh Hakim dipertimbangkan dalam penetapan dan

apabila Hakim tidak memberikan nasehat mengakibatkan penetapan batal

demi hukum.

- Penetapan juga batal demi hukum apabila Hakim dalam penetapan tidak

mendengarkan dan mempertimbangkan keterangan:

1. Anak yang dimintakan dispensasi kawin

2. Calon suami/istri yang dimintakan dispensasi kawin

3. Orang tua/wali anak yang dimohonkan dispensasi kwain

4. Orang tua/wali Calon suami/istri

- Dalam pemeriksaan persidangan, Peraturan Mahkamah Agung ini

menegaskan bagi Hakim yang menangani perkawa dispensasi kawin harus

terlebih dahulu mengidentifikasi:

1. Anak yang diajukan dalam permohonan mengetahui dan menyetujui

rencana perkawinan.

56
2. Kondisi psikologis, kesehatan dan kesiapan anak untuk

melangsungkan perkawinan dan membangun kehidupan rumah

tangga

3. Paksaan psikis, fisik, sesksual dan ekonomi terhadap anak dan/atau

keluarga untuk kawin atau mengawinkan anak.

- Selain itu dalam pemeriksaan, Hakim memperhatikan kepentingan terbaik

anak dengan:

1. Mempelajari secara cermat dan teliti permohonan pemohon

2. Memeriksa kedudukan hukum pemohon

3. Menggali latar belakang dan alasan perkawinan anak

4. Menggali informasi terkait dengan pemahaman dan persetujuan anak

untuk dikawinkan

5. Memperhatikan perbedaan usia antara anak dan calon suami/istri

6. Mendengar keterangan pemohon anak/ calon sumia/istri dan orang

tua/wali calon suami/istri

7. Memperhatikan kondisi psikologis, sosiologis, budaya, Pendidikan,

Kesehatan, ekonomi anak dan orang tua, berdasarkan rekomendasi

dari psikolog, dokter/bidan, pekerja sosial professional, tenaga

kesejahteraan, pusat pelayanan terpadu perlindungan perempuan dan

anak (P2TP2A) atau komisi Perlindungan Anak/daerah

(KPAI/KPAID)

8. Memperhatikan ada atau tidaknya unsur paksaan psikis, fisik,

seksual dan/atau ekonomi

9. Memastikan komitmen orang tua untuk ikut bertanggung-jawab

terkait masalah ekonomi, sosial, kesehatan dan Pendidikan anak.

57
- Oleh Karenanya dalam memeriksakan anak dimohonkan dispensasi kawin

hakim dapat:

1. Mendengar keterangan anak tanpa hadir orang tua

2. Mendengar keterangan anak melalui pemeriksaan komunikasi audo

visual jarak jau di Pengadilan setempat atau di tempat lain

3. Menyarankan agar anak didampingi pendamping

4. Meminta rekomendasi dari dari psikolog, dokter/bidan, pekerja

sosial professional, tenaga kesejahteraan, pusat pelayanan terpadu

perlindungan perempuan dan anak (P2TP2A) atau komisi

Perlindungan Anak/daerah (KPAI/KPAID)

5. Menghadirkan penerjemah/orang yang bisa berkomunikasi dengan

anak dalam hal dibutuhkan.

- Hakim dalam menetapkan dispensasi kawin mempertimbangkan:

1. Perlindungan dan kepentingan terbaik anak dalam peraturan

perundang-undangan dan hukum tidak tertulis dalam bentuk nilai-

nilai hukum, kearifan lokal dan dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat.

2. Konvensi dan/atau perjanjian internasional terkait perlindungan

anak.

- Terhadap penetapan dispenasi kawin hanya dapat diajukan upaya hukum

kasasi.

58
4.3. Faktor-faktor Penyebab Pernikahan dan Upaya Pencegahan Perkawinan di

Bawah Umur

4.3.1. Faktor-Faktor Penyebab Perkawinan Dibawah Umur

Indonesia termasuk negara dengan tingkat perkawinan dibawah

umur yang tinggi. Faktor-faktor banyaknya perkawinan dibawah umur ini

disebabkan diantaranya:

a. Ekonomi

Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di

garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak

wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.

b. Pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak

dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan

anaknya yang masih dibawah umur.

c. Faktor orang tua

Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran

dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan

anaknya.

d. Media massa

Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja

modern kian permisif terhadap seks.

e. Faktor adat

Perkawinan dibawah umur terjadi karena orang tuanya takut anaknya

dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.

59
f. Pandangan terhadap konsep cinta

Menyalahartikan atau kebingungan dalam mengartikan konsep cinta

dan tingkah laku seksual sehingga remaja awal cenderung berfikir

seks adalah cara untuk mendapatkan pasangan, Seks sering dijadikan

sarana untuk berkomunikasi dengan pasangan.

Selain itu, menurut Ahkmad Jayadiningrat (2010:56) faktor-faktor

banyaknya perkawinan dibawah umur ini disebabkan diantaranya:

1. Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga

2. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu

muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.

3. Sifat kolot masyarakat yang tidak mau menyimpang dari adatnya

4. Kebanyakan orang desa mengatakan mereka mengawinkan anaknya

begitu muda karena kebiasaan saja.

Sementara itu, menurut Coki Siadari (2015:3) penyebab terjadinya

perkawinan dibawah umur tersebut disebabkan:

1. Kemauan sendiri

Salah satu alasan pernikahan karena kemauan mereka sendiri, pada

zaman dahulu pasangan yang menikah berdasarkan keinginan orang tua

atau hubungan kekerabatan yang akrab, ini sering kali terjadi karena

keterbatasan komunikasi antar remaja saat itu yang belum secanggih

sekarang, atau karena adanya larangan keluar rumah bgai anak gadis

jaman dahulu untuk keluar rumah sehinnga sulit menemui pemuda

pilihannya. Sekarang anak anak remaja bisa berkomunkasi dengan siapa

saja dan kapan saja sehingga mereka menemukan dengan cepat pasangan

60
yang mereka inginkan, dan membuat trend menikah mudah juga

meningkat.

2. Kesulitan EkonomI

Faktor sulitnya kehidupan memaksa orang tua yang ekonominya pas-

pasan untuk menikahkan anaknya dengan orang yang ekonominya lebih

mapan, keputusan ini kadang kala datang dari anak yang ingin membantu

perekonomian keluarganya, karena dengan cepat menikah maka ia akan

mengurangi beban keluarganya bahkan bisa membantu ekonomi orang

tua melalui ekonomi pasangannya.

3. Pendidikan

Rendahnya Pendidikan anak dan Pendidikan orang tua memberikan efek

yang sama, anak yang memiliki pendidika rendah atau putus sekolah,

sehingga waktu yang seharusnya sekolah diisi dengan bersama yang lain

dan ujungnya menikah, selain putus merasa bahwa setelah putus sekolah

maka yang tidak ada yang bisa mereka lakukan sebaiknya menikah.

Sementara itu pandangan orang tua bahwa anak anak gadis tidak perlu

mendapatkan Pendidikan yang tinggi, karena setinggi appaun ia akanlah

tetap menjadi ibu rumah tangga.

4. Hamil diluar Nikah

Hamil diluar nikah merupakan faktor yang sudah umum ditemukan

sebagai alasan orang tua menikahkan anaknya di usia muda, karena

merasa malu memiliki keluarga yang hamil sebelum pernikahan, maka

dipaksakan terjadinya pernikahan dini.

61
5. Budaya

Adan pandangan dalam budaya masyarakat bahwa mereka akan bangga

jika anaknya menikah disaat muda dan mereka merasa cemas jika

anaknya belum dilamar padahal sudah mulai remaja.

Perkawinan dibawah umur ini memberikan lebih banyak dampak

negatif daripada positifnya, apalagi dalam bidang Kesehatan yaitu tentang

kehamilan yang terjadi di usia muda. Dampak perkawinan dibawah umur

diantaranya:

a. Masalah Kesehatan Reproduksi.

Anak yang menikah kelak akan menjadi orang tua, maka sebaiknya

anak tersebut mempunyai kesehatan reproduksi yang sehat sehingga

dapat menurunkan generasi penerus yang sehat. Ini perlu mendapat

perhatian khusus dari semua pihak yang terkait dengan perkawinan

dibawah umur ini, karena belum siapnya alat reproduksi untuk

menerima kehamilan akhirnya menimbulkan berbagai bentuk

komplikasi. Selain itu kematian maternal pada wanita hamil dan

melahirkan pada usia dibawah 20 tahun ternyata 2 sampai 5 kali lipat

dari kematian pada usia 20-29 tahun.

b. Masalah Psikologis.

Umumnya para pasangan dibawah umur atau pasangan muda

psikologisnya belum matang, sehingga masih labil dalam menghadapi

masalah yang timbul dalam perkawinan. Dampak yang terjadi seperti

perceraian, karena kawin cerai biasanya terjadi pada pasangan yang

usianya pada waktu kawin relative muda. Tetapi untuk remaja yang

hamil di luar nikah menghadapi masalah psikologi seperti rasa takut,

62
kecewa, menyesal, rendah diri dan lainnya, terlebih lagi masyarakat

belum dapat menerima anak yang orang tuanya belum jelas.

Masalah kekerasan dalam rumah tangga juga sangat sering terjadi,

karena emosi yang belum stabil apabila terjadi pertengkaran maka

diakhirnya dengan kekerasan, banyak kasus yang menunjukkan

kekerasan dalam rumah tangga yang pasangannya masih sangat relatif

muda.

c. Masalah sosial ekonomi

Makin bertambahnya usia seseorang, kemungkinan untuk kematangan

dalam bidang sosial ekonomi juga semakin nyata. Pada umumnya

dengan bertambahnya usia akan makin kuatlah dorongan mencari

nafkah sebagai penompang keluarga. Ketergantungan sosial ekonomi

pada keluarga menimbulkan stress.

4.3.2. Upaya Mencegah Perkawinan Dibawah Umur

Perkawinan di bawah umur yang semakin marak di Indonesia harus

segera dicarikan solusinya, dengan melakukan tindakan pencegahan dari dini

juga dan dilakukan secara bersama sama, mulai dari anak itu sendiri, orang

tua, sekolah dan pemerintah, sehingga dengan upaya yang menyeluruh akan

memberikan hasil yang maksimal pula. Ada beberapa upaya yang bisa

dilakukan dalam mencegah perkawinan di bawah umur ini, seperti:

1. Meningkatkan perhatian kedua orang tua terhadap anak.

Saat ini hubungan antara orang tua dan anak mulai berkurang karena

keduanya sibuk bekerja dari pagi hingga sore, sehingga sedikit sekali

waktu yang bisa digunakan untuk berkomunikasi dengan anak.

63
Orang tua diharapkan khususnya yang bekerja agar bisa menyisihkan

waktunya dalam membina anak-anaknya, minimal pada waktu

makan makam bersama dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk

berkomunikasi antara keluarga.

2. Menanamkan pengetahuan agama dan moral kepada anak.

Penegakan norma agama dan norma sosial lainnya juga harus

diupayakan agar para remaja ini tidak terjerumus dalam pergaulan

bebas atau melakukan hubungan seksual sebelum pernikahan.

Menanamkan nilai-nilai agama kepada anak yang dimulai sejak dini

sampai akil balig akan sangat besar pengaruhnya bagi anak saat

mereka mulai remaja dan menuju dewasa. Menanamkan nilai agama

kepada anak diyakini banyak pihak sebagai solusi yang paling tepat

dalam mencegah perkawinan dibawah umur yang disebabkan oleh

kehamilan di luar nikah.

3. Memberikan Pendidikan seksual pada anak dan remaja.

Pemberian pendidikan seksual ini dapat dilakukan melalui:

a. Penyampaian materi Pendidikan seksual dapat dilakukan di rumah

maupun di sekolah. Disini peranan orang tua dan masyarakat sangat

menentukan, terutama untuk dapat memberikan informasi yang

dibutuhkan remaja mengenai kesehatan reproduksinya dan juga apa

saja yang harus dilakukan untuk menjaga reproduksinya. Sebelum

usia 10 tahun Pendidikan seksual bisa diberikan secara bergantian,

tetapi ibu umumnya lebih berperan, menjelang akil baligh, sudah

terjadi proses penyadaran arti jenis kelamin dan biasanya muncul

rasa malu, sebaiknya ibu memberikan penjelasan kepada anak

64
perempuan dan ayah kepada anak laki-laki. Selain itu Pendidikan

seks di sekolah hendaknya tidak terpisah dari Pendidikan pada

umumnya dan bersifat terpadu. Bisa dimasukkan pada pelajaran

biologi, Kesehatan, moral dan etika secara bertahap dan terus-

menerus. Sekolah juga bisa melakukan penyuluhan tentang

seksualitas ini dengan bekerja sama dengan pihak yang lain.

b. Menunda hubungan seks bagi remaja yang terlibat pacarana. Remaja

juga harus dituntut untuk mengisi kegiatan sehari-harinya dengan

kegiatan bermanfaat seperti olahraga, kesenian dan juga belajar.

Selama pacarana remaja harus dihindarkan untuk bercumbu secara

berlebihan, karena hal itu juga akan memancing mereka untuk

melakukan tindakan yang lebih jauh lagi dan akhirnya melakukan

hubungan seksual.

4. Menyediakan Pendidikan formal yang memadai.

Ketika anak perempuan dan laki-laki mendapatkan askses

Pendidikan formal yang memadai, maka perkawinan dibawah umur

dapat dicegah, setidaknya minial anak-anak akan dapat

menyelesaikan Pendidikan tingkat SMA sebelum menikah.

Meningkatkan tingkat Pendidikan yang dilalui anak dapat mencegah

perkawinan dibawah umur.

Mendapatkan akses ke Pendidikan formal membuat anak memiliki

kesempatan lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil. Hal

tersebut pada akhirnya dapat lebih memudahkan untuk mencari

pekerjaan sebagai persiapan untuk menghidupi keluarga. Untuk itu

dapat dilakukan dengan menyiapkan, melatih dan mendukung anak-

65
anak terutama anak perempuan untuk mendaftar sekolah. Selain itu

pemberian uang tunai, beasiswa, subsidi, seragam dan suplai lainnya

agar anak-anak terutama anak perempuan bersedia menjalani proses

belajar.

5. Mendorong terciptanya kesetaraan gender.

Anak perempuan lebih rentan mengalami pernikahan dibawah umur

lantaran persepsi dan ekspektasi masyarakat terhadap peran domestik

atau rumah tangga. Keluarga dan masyarakat cenderung

menganggap anak perempuan lebih siap untuk menikah ketika sudah

bisa menjalankan pekerjaan rumah tangga. Sebaliknya laki-laki

justru lebih dibebaskan untuk menikah dan menjadikan kemandirian

secara ekonomi sebagai kesiapan. Padahal, mau laki-laki atau wanita

memiliki hak yang sama untuk menentukan pilihannya dalam

menikah. Selain itu, perempuan juga memiliki hak untuk terus

berkarya tanpa harus ditakuti dengan stigma perawan tua.

6. Pendekatan dengan budaya.

Perkawinan dibawah umur juga disebabkan oleh adat dan budaya

setempat, mengingat masih banyaknya aturan-aturan dalam budaya

tertentu di Indonesia yang melazimkan terjadinya pernikahann dini

pada masyarakat setempat. Sehingga dengan memanfaatkan budaya

kolektif yang ada di masyarakat diharapkan penanganan yang akan

diberikan untuk mencegah perkawinan dibawah umur dapat lebih

efektif. Pendekatan budaya ini bisa melalui Kerjasama dengan

tokoh-tokoh adat atau tokoh budaya sehingga dapat lebih diterima.

7. Memaksimalkan Keterlibatan masyarakat.

66
Memberdayakan masyarakat agar lebih paham bahaya perkawinan

dibawah umur adalah komponen yang paling efektif untuk mencegah

terjadinya perkawinan dibawah penumur. Masyarakat dengan

pemahaman mereka yang mendukung tindakan pencegahan

perkawinan dibawah umur ini akan menimbulkan gerakan secara

massif dalam mencegah perkawinan tersebut.

8. Peran pemerintah yang serius dan konsisten.

Peran pemerintah dalam mencegah perkawinan dibawah umur ini

adalah dengan membuat atau menerbitkan regulasi berupa undang-

undang dan peraturan yang mendukung pencegahan atau

penghentian perkawinan dibawah umur. Tidak hanya dengan

menerbitkan aturan dan perundangan saja namun juga memberikan

kepastian bahwa undang-undang dan peraturan tersebut benar-benar

bisa dilaksanakan, maka perlu adanya sanksi yang diterapkan

pemerintah bagi mereka yang tidak mematuhi atau tidak

melaksanakan aturan tersebut. Saat ini masih jarang peraturan dibuat

lengkap dengan saksi yang mengatur jika mereka melanggar aturan

tersebut.

67
BAB II
PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Dari penjelasan dan pembahasan dari bab-bab yang ada sebelumnya,

maka peneliti menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Perkawinan dibawah umur diatur Undang-undang Nomor 1 tahun 1974

Tentang Perkawinan diatur dalam pasal 6 dan 7 yang terdiri dari:

a. Perkawinan hanya bisa dilaksankan kalau sudah ada persetujuan

dari kedua calon mempelai.

b. Batas usia umur minimal baru bisa melaksanakan perkawinan

adalah umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah

mencapai umur 16 (enambelas) tahun.

c. Kalau perkawinan dilaksanakan sebelum umur 21 (duapuluh

satu) tahun maka harus mendapatkan izin dari kedua orang tua.

d. Jika perkawinan itu dibawah umur 19 (sembilan belas) tahun

dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun

maka harus diminta dispensasi kepada Pengadilan.

e. Ketentuan ini hanya berlaku sepanjang hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak

menentukan lain

2. Perkawinan dibawah umur diatur menurut pandangan Undang-undang

Nomor 16 tahun 2019 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 1

tahun 1974 Tentang Perkawinan, adalah:

68
a. Umur minimal untuk bisa melangsungkan perkawinan adalah

apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (Sembilan

belas) tahun

b. Apabila ingin menikah dibawah usia minimal tersebut maka

orang tua pihak pria dan/atau pihak wanita dapat meminta

dispensasi kepada Pengadilan Agama dengan alasan sangat

mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup

c. Pemberian dispensasi oleh Pengadilan Agama) wajib

mendengarkan pendapat kedua belah calon pengantin yang akan

melangsungkan perkawinan

3. Tata cara untuk mendapatkan dispensasi kawin bagi anak dibawah

umur adalah:

a. Orang tua salah satu dari calon pengantin mengajukan permonan

tertulis kepada hakim di Pengadilan Agama.

b. Orang tua sebagai pemohon melengkap syarat administrasi dan

memberikan bukti-bukti pendukung untuk permohonan tersebut.

c. Pengadilan agama menerima pendaftaran, memberikan

penjelasan dan aturan dan menunjuk Hakim dalam sidang

dispensasi kawin proses mendapatkan dispensasi kawin.

d. Hakim melaksanakan sidang pertama, sidang kedua dan ketiga,

dan akhirnya menetapkan putusan menerima atau menolak

permohonan dispensasi kawin

69
4. Faktor-faktor penyebab pernikahan dibawah umur adalah sebagai

berikut:

a. Faktor ekonomi

b. Faktor Pendidikan

c. Faktor Orang-tua

d. Faktor media massa

e. Faktor adat.

f. Faktor pandangan terhadap Konsep cinta

5. Dampak dari pernikahan dibawah umur, adalah sebagai berikut:

a. Masalah Kesehatan Reproduksi.

b. Masalah Psikologis.

c. Masalah sosial ekonomi

6. Upaya pencegahan Pernikahan dibawah umur yang dapat dilakukan

adalah sebagai berikut:

a. Meningkatkan perhatian kedua orang tua terhadap anak

b. Menanamkan pengetahuan agama dan moral kepada anak

c. Memberikan Pendidikan seksual pada anak dan remaja

d. Menyediakan Pendidikan formal yang memadai

e. Mendorong terciptanya kesetaraan gender

f. Pendekatan dengan budaya.

g. Memaksimalkan Keterlibatan masyarakat

h. Peran pemerintah yang serius dan konsisten

70
5.2 Saran

Dan dari kesimpulan ini penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Perkawinan dibawah umur bisa dicegah kalau semua unsur saling

terlibat penuh, untuk itu itu penulis menyarankan agar semua pihak

memberikan dukungan agar tidak terjadinya perkawinan dibawah umur

ini.

2. Dispsasi kawin yang diberikan pemerintah hendaknya jangan

dipandang sebagai upaya untuk mempermudah perkawinan dibawah

umur, namun adalah upaya untuk mencegah bahkan mempersulit

perkawinan dibawah umur tersebut.

3. Hendaknya pencegahan dari rumah sendiri dan lingkungan sendiri lebih

banyak dilakukan oleh orang tua.

4. Pemerintah harus lebih sering melakukan sosialisasi tentang

pencegahan perkawinan dibawah umur ini dan pemerintah hendaknya

juga mengawasi agar pelaksanaan dua undang-undang tentang

perkawinan ini benar-benar dilaksanakan secara tepat dan efektif.

71

Anda mungkin juga menyukai