Jawaban :
Perkawinan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan manusia,
terutama dalam pergaulan hidup masyarakat, Sebab perkawinan bagi seseorang atau
kalangan masyarakat merupakan hal yang sakral karena di dalam perkawinan itu
dimaksudkan untuk membina hubungan yang harmonis antara suami istri, namun
kenyataannya membuktikan, bahwa untuk memelihara keharmonisan dan kelestarian
bersama suami istri bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan bahkan dalam hal
kasih sayang pun sulit untuk diwujudkan dikarenakan faktor-faktor psikologis, biologis,
ekonomis dan perbedaan kecenderungan pandangan hidup tersebut. Oleh karena itu,
untuk mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak
yang akan melakukan perkawinan telah masak jiwa raganya agar perkawinan tersebut
dapat dipertahankan, sehingga dengan demikian perlu adanya kesiapan-kesiapan dari
kedua belah pihak baik mental maupun materiil. Artinya secara fisik laki-laki dan
perempuan sudah sampai batas umur atau baligh.
Akan tetapi faktor lain yang sangat penting yaitu kematangan dalam berfikir dan
kemandirian dalam hidup (sudah bisa memberi nafkah kepada istri dan anaknya).
Sementara itu, sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia itu sendiri, muncul
permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, yaitu sering terjadi perkawinan yang
dilakukan oleh seseorang yang belum cukup umur untuk melakukan perkawinan.
Dengan demikian maka kesiapan atau kematangan psikologi sangat menentukan
tingkat keberhasilan dari rumah tangga yang ingin dibentuk. Perkawinan di bawah umur
ditinjau dari hukum Islam hanya diperbolehkan setelah baligh antara kedua calon suami
istri, dengan syarat-syarat perkawinan. Salah satu syarat sah perkawinan adalah telah
mencapai usia baligh harus memiliki kemampuan fisik dan mental, sebagaimana secara
tegas dalam ketentuan pasal 7 (1) UU No. 1 tahun 1974, adalah konsep pemikiran
hukum Islam tentang usia perkawinan yang berbunyi :
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak
wanita sudah mencapai 16 tahun. ”Dan selanjutnya dalam kompilasi hukum Islam pasal
15 ayat (1) bahwa batas usia perkawinan sama seperti pasal 7 UU No. 1 Tahun
1974,namun dengan tambahan alasan didasarkan kepada pertimbangan
kemasalahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Sedangkan perkawinan
dibawa umur ditinjau dari hukum adat tidak menentukan batasan usia atau umur tetentu
bagi orang yang akan melaksanakan perkawinan. Betapa berat dan berbelit-belitnya
persyaratan perkawinan dimaksud, menjadi salah satu faktor pendorong seseorang
melakukan perkawinan dibawah umur mengakibatkan juga perkawinan di bawah umur
dengan suatu harapan bahwa yang penting dapat tercapai tujuan perkawinan. Pada
prinsipnya tujuan perkawinan bukan sekedar pemenuhan kebutuhan biologis,
melainkan berorientasi pada terwujudnya keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974).
Sedangkan Tujuan perkawinan menurut hukum adat adalah merupakan suatu nilai
hidup untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan
keluarga yang bersangkutan. Disamping itu ada kalanya suatu perkawinan merupakan
merupakan sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah jauh atau
retak, ia merupakan sarana pendekatan dan perdamaian antar kerabat dan begitu pula
dengan perkawinan itu bersangkut paut dengan masalah kedudukan, harta kekayaan
dan masalah pewarisan.
Mengenai fungsi dan tujuan perkawinan dalam Islam, dapat diperinci sebagai berikut :
Merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan biologis dan seksual yang sah dan
benar.
Suatu mekanisme untuk mengurangi ketegangan.
Cara untuk memperoleh keturunan yang sah.
Menduduki fungsi sosial.
Mendekatkan hubungan antara keluarga dan solidaritas kelompok.
Merupakan perbuatan menuju ketaqwaan.
Merupakan suatu bentuk ibadah, yakni pengabdian kepada Allah dan mengikuti
Rasulullah SWA.
Perkawinan di bawah umur biasanya dilaksanakan karena salah satu atau kedua
mempelai belum cukup umur (usia minimal yang di syaratkan), yakni calon mempelai
pria belum berusia 19 tahun dan calon mempelai wanita belum berusia 16 tahun. Ada
sebagian masyarakat mensiasati perkawinan di bawah umur dengan meminta
dispensasi kepada Pengadilan Agama setempat sesuai dengan Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Dan yang kedua dengan melakukan pemalsuan
umur yang dilakukan oleh kedua orang tua mereka sendiri. Alasan orang tua yang tidak
meminta dispensasi di Pengadilan Agama karena mereka takut bila tidak diberikan ijin
oleh Aparat Desa tidak akan menerima atau menolak terjadinya perkawinan di bawah
umur. Disamping itu pelaksanaan perkawinan di bawah umur tersebut adalah karena
pada umumnya masyarakat tidak mengetahui secara pasti tentang aturan-aturan batas
usia perkawinan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 oleh pihak yang berwewenang sehingga masyarakat menganggap bahwa
perkawinan yang mereka lakukan bukanlah termasuk perkawinan di bawah umur, akan
tetapi merupakan perkawinan normal yang dibolehkan dan tidak bertentangan dengan
Islam. Dan pada umumnya masyarakat menganggap bahwa pendidikan anaknya hanya
cukup maksimal tingkat Sekolah Dasar (SD). Dan ada dua penyebab factor itu terjadi,
yaitu :
Dan kebanyakan perkawinan di bawah umur dilakukan oleh kaum wanita daripada
laki-laki. Hal ini dikarenakan pada umumnya masyarakat menganggap bahwa
perempuan hanya sebagai pelayan seorang laki-laki setelah menikah walaupun
pendidikan tinggi namun pada akhirnya ia akan kembali ke dapur dan tinggal di
rumah, agar terhindar dari fitnah. Dan posisi wanita dalam sebuah rumah tangga
harus berbakti dan patuh pada laki-laki.
Perkawinan di bawah umur menurut pasal 7 ayat (2) dan pasal 9 UU. Nomor 1 tahun
1974, berlaku syarat tambahan yakni harus terlebih dahulu memperoleh dispensasi dari
Pengadilan (Agama) atau pejabat lain berwewenang. Betapa berat dan berbelit-belitnya
persyaratan perkawinan dimaksud, menjadi salah satu faktor pendorong seseorang
melakukan perkawinan di bawah umur mengakibatkan juga perkawinan di bawah umur
dengan suatu harapan bahwa yang penting dapat tercapai tujuan perkawinan Pada
prinsipnya tujuan perkawinan bukan sekedar pemenuhan kebutuhan biologis,
melainkan berorientasi pada terwujudnya keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Pasal 1 UU. Nomor l Tahun 1974),
Jadi Kesimpulannya, Faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan di bawah umur
biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor sehingga menyebabkan terjadinya
perkawinan di bawah umur, yaitu; karena dijodohkan oleh kedua orang tua, faktor adat
dan budaya, faktor ekonomi, faktor agama, faktor pendidikan, dan karena faktor
kemauan anak sendiri. Disamping itu factor perkawinan di bawah umur lainnya adalah
karena pada umumnya masyarakat tidak mengetahui secara pasti tentang aturan-
aturan batas usia perkawinan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974 oleh pihak yang berwewenang sehingga masyarakat menganggap
bahwa perkawinan yang mereka lakukan bukanlah termasuk perkawinan di bawah
umur
Referensi :
http://repositori.uinalauddin.ac.id/8157/1/NURHIDAYAT%20AKBAR.pdf
•Fatawie Yusuf, 2013. Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama dan Negara.
Dalam hukum positif, pengangkatan anak juga telah diatur dalam perundang-undangan
sejak pada masa penjajahan. Pada saat ini belum ada undang-undang khusus yang
mengatur pengangkatan anak, namun pengangkatan anak telah diatur dalam berbagai
peraturan.
Untuk itu diperlukan berbagai dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun
perangkat hukum yang lebih memadai dalam upaya melaksanakan pembinaan dan
memberikan perlindungan terhadap anak. Pelaksanaan pengangkatan anak yang
terjadi dalam masyarakat memiliki karakteristik dan akibat hukum yang berbeda-beda,
antar daerah satu dengan yang lainnya tidak ada kesamaan. Disamping itu negara
telah menerbitkan aturan yang mengatur pengangkatan anak sebagai upaya
memberikan perlindungan bagi anak. Berdasarkan hal tersebut, perlu pengkajian lebih
mendalam terkait dengan motif dan akibat hukum pengangkatan anak dalam Hukum
Adat dan Hukum Positif di Indonesia.
Di Indonesia pada umumnya orang lebih suka mengambil anak dari kalangan keluarga
sendiri, sering tanpa surat adopsi yang semestinya. Kemudian berkembang dimana
orang tidak membatasi dari anak kalangan sendiri saja tapi juga pada anak-anak orang
lain yang terdapat pada panti-panti asuhan, tempat-tempat penampungan bayi terlantar
dan sebagainya, walaupun orang masih bersikap sangat selektif (Zaini 2006:7–8).
Motivasi adopsi di Indonesia ditinjau dari segi Hukum Adat yaitu (Zaini 2006:15):
Pengangkatan anak dalam hukum positif merupakan bagian dari negara dalam rangka
memberikan perlindungan terhadap anak. Hal ini secara jelas disebutkan dalam
konsideran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak bahwa
anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat
harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Bahwa anak adalah tunas, potensi,
dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan
negara pada masa depan.
Pengangkatan anak dalam hukum positif Indonesia dapat dilakukan sebagai upaya
melaksanakan perlindungan bagi anak. Perlindungan Anak dalam Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pada Pasal 1 angka 9 disebutkan bahwa Anak Angkat adalah Anak yang haknya
dialihkan dari lingkungan kekuasaan Keluarga Orang Tua, Wali yang sah, atau orang
lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan Anak
tersebut ke dalam lingkungan Keluarga Orang Tua angkatnya berdasarkan putusan
atau penetapan pengadilan.
Pengangkatan anak dapat menimbulkan akibat hukum antara anak angkat dan orang
tua angkat. Dalam hukum adat terdapat perbedaan akibat hukum dari pengangkatan
anak seperti terkait warisan, penggunaan nama, kedudukan dalam keluarga dan
lainnya. Seorang anak angkat mempunyai hak-hak yuridis dalam rangka hukum waris,
yaitu menerima hak-hak dan kewajiban sebagai ahli waris baik material (rumah, sawah,
kebun, dan lainlain) maupun immaterial seperti gelar adat, kedudukan adat, dan
martabat keturunan.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak telah mengatur dalam Pasal 39
terkait hal-hal pokok dalam pengangkatan anak diantaranya yaitu tidak boleh
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya,
wajib dicatatkan dalam akta kelahiran dengan tidak menghilangkan identitas awal anak
dan kesamaan agama calon orang tua angkat dan calon anak angkat.
Ketentuan pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang
diangkat dan orang tua kandungnya memiliki akibat hukum yang sangat besar
diantaranya adalah penggunaan nama, proses pewarisan, kedudukan anak angkat dan
lainnya.
Hal pokok ini sangat berbeda dengan pengangkatan anak yang dilakukan
menurut hukum adat yang sebagiannya adalah memutuskan hubungan darah
anak angkat dengan orang tua kandungnya. Terlebih lagi dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 ditentukan bahwa pengangkatan anak wajib dicatatkan
dalam akta kelahiran dengan tidak menghilangkan identitas awal anak dan
kesamaan agama antara calon anak angkat dengan orang tua angkat.
Referensi :
•Modul Hukum Perdata, Modul 5 hal 5.11
•Pratiwi, Ika Putri. n.d. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Tidak Melalui Penetapan
Pengadilan. Rais, Muhammad. n.d. “Kedudukan Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum
Islam, Hukum Adat
3. Jelaskan arti pentingnya pembedaan benda bergerak dan benda tidak bergerak !
Jawaban :
Berdasarkan Pasal 504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), benda
dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak. Mengenai
benda tidak bergerak, diatur dalam Pasal 506 – Pasal 508 KUHPer. Sedangkan untuk
benda bergerak, diatur dalam Pasal 509 – Pasal 518 KUHPer. Benda bergerak adalah
benda yang menurut sifatnya dapat dipindahkan. Benda bergerak karena ketentuan
undang undang adalah hak hak yang melekat
pada benda bergerak, misalnya hak memungut hasil atas benda bergerak, hak
memakai atas benda bergerak, saham saham perusahaan.
Benda tidak bergerak adalah benda yang menurut sifatnya tidak dapat dipindah-
pindahkan, seperti tanah dan segala bangunan yang berdiri melekat diatasnya. Benda
tidak bergerak karena tujuannya adalah benda yang dilekatkan pada benda tidak
bergerak sebagai benda pokoknya, untuk tujuan tertentu, seperti mesin mesin yang
dipasang pada pabrik.
Tujuannya adalah untuk dipakai secara tetap dan tidak untuk dipindah-pindah. Benda
tidak bergerak karena undang undang adalah hak hak yang melekat pada benda tidak
bergerak tersebut, seperti hipotik, crediet verband, hak pakai atas benda tidak bergerak,
hak memungut hasil atas benda tidak bergerak. Menurut Ny. Frieda Husni Hasbullah,
S.H., M.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak Yang
Memberi Kenikmatan (hal. 43-44), mengatakan bahwa untuk kebendaan tidak bergerak
dapat dibagi dalam tiga golongan:
1. Benda tidak bergerak karena sifatnya (Pasal 506 KUHPer) misalnya tanah dan
segala sesuatu yang melekat atau didirikan di atasnya, atau pohon-pohon dan
tanaman-tanaman yang akarnya menancap dalam tanah atau buah-buahan di
pohon yang belum dipetik, demikian juga barangbarang tambang.
2. Benda tidak bergerak karena peruntukannya atau tujuan pemakaiannya (Pasal
507 KUHPer) misalnya pabrik dan barang-barang yang dihasilkannya,
penggilingan-penggilingan, dan sebagainya. Juga perumahan beserta benda-
benda yang dilekatkan pada papan atau dinding seperti cermin, lukisan,
perhiasan, dan lain-lain; kemudian yang berkaitan dengan kepemilikan tanah
seperti rabuk, madu di pohon dan ikan dalam kolam, dan sebagainya; serta
bahan bangunan yang berasal dari reruntuhan gedung yang akan dipakai lagi
untuk membangun gedung tersebut, dan lain-lain.
Di samping itu, menurut ketentuan Pasal 314 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang,
kapal-kapal berukuran berat kotor 20 m3 ke atas dapat dibukukan dalam suatu register
kapal sehingga termasuk kategori benda-benda tidak bergerak. Frieda Husni Hasbullah
(Ibid, hal. 44-45) menerangkan bahwa untuk kebendaan bergerak dapat dibagi dalam
dua golongan: 1. Benda bergerak karena sifatnya yaitu benda-benda yang dapat
berpindah atau dapat dipindahkan misalnya ayam, kambing, buku, pensil, meja, kursi,
dan lain-lain (Pasal 509 KUHPer).
Referensi :
Muhammad, “Hukum Perdata Indonesia” , PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000
F.X. Suhardana , “Hukum Perdata I, Buku Panduan Mahasiswa”,
P.T.Prenhallindo, Jakarta. 2001
R. Subekti, SH, “Pokok-Pokok Hukum Perdata” , P.T. Internusa, Jakarta, 2001
R. Subekti, SH, Prof. , “Perbandingan Hukum Perdata” , Pradnya Paramita,
Jakarta, 2001
Ridwan Syahrani, “Seluk Beluk Hukum dan Azas-Azas Hukum Perdata” ,
Penerbit Alumni, Bandung, 2000.