Anda di halaman 1dari 7

Jawablah pertanyaan berikut disertai analisis:

1. Berikan dasar hukum perkawinan usia anak? Dan apa saja prosedur pemberian izin
perkawinan tersebut? Analisis!

2. Hak hak anak apa saja yang diabaikan atau dilanggar akibat perkawinan usia anak tersebut?
Jelaskan! Hukum positif mana saja yang dilanggar? analisis!

3. Apakah perkawinan usia anak tersebut menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga? Jika iya,
bentuk kekerasan apa yang banyak terjadi? Bagaimana penanggulangannya? Analisis!

Jabawan :

1. Kajian Hukum terhadap Pernikahan Anak di Bawah Umur menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan
seorang wanita yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan hukum, baik hukum Islâm maupun
hukum positif (negara). Pengaturan hukum tentang perkawinan telah berlaku sama terhadap
semua warga negaraoleh karena itu, setiap warga negara harus patuh terhadap hukum yang
berlaku, termasuk terhadap undang-undang perkawinan yang menjadi landasan untuk
menciptakan kepastian hukum, baik dari sudut hukum keluarga,harta, bendadan akibat hukum
suatu perkawinan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengatur lebih detai
mengenai Perkawinan, salah satunya mengenai batasan umur atau usia seseorang untuk menikah.
Akan tetapi, dalam keadaan tertentu, perkawinan tersebut dapat diizinkan dengan berbagai
persyaratan serta prosedur tertentu. Pengaturan batasan umur seseorang dapat dilihat pada Pasal
7 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi:

“Perkawinan akan diizinkan apabila pihak dari suami sudah mencapai umur 19 tahun, serta
pihak dari perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.”

Tujuan ketentuan ini adalah untuk menjaga kesehatan suami istri serta keturunan dari mereka.
Kesehatan yang dimaksud adalah kesehatan fisik serta kesehatan mental yang erat kaitannya
dengan kematangan seseorang sebelum melakukan perkawinan.

Berdasarkan ketentuan pasal di atas, yang dimaksud dengan perkawinan dibawah umur adalah,
perkawinan yang dilakukan sebelum pihak pria mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun, serta
pihak perempuan belum mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Dibawah batas minimal usia
tersebut maka harus mengajukan dispensasi nikah.
Pasal 7 ayat (2) jo. Pasal 1 huruf b UU Perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa pengajuan
dispensasi itu harus diajukan ke Pengadilan sesuai dengan wilayah tempat tinggal Pemohon.
Maka, dalam hal ini kedua orang tua dari pihak laki-laki atau kedua orang tua dari pihak
perempuan harus mengajukan “Dispensasi Nikah” ke Pengadilan, bagi yang beragama Islam
(muslim) mengajukan ke Pengadilan Agama (PA), dan bagi yang bergama non muslim
mengajukan ke Pengadilan Negeri (PN) untuk melaksanaan perkawinan dibawah umur.

Syarat Pengajuan Dispensasi Nikah Ke Pengadilan

Persyaratan yang disiapakan untuk mengajukan dispensasi kawin, yaitu :

 Surat penolakan dari Kantor Urusan Agama (KUA). Surat ini menjelaskan bahwa tidak dapat
dilangsungkannya perkawinan bagi anak yang belum mencapai batas minimal usia
pernikahan, yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun;
 Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang mengajukan permohonan (Kedua Orang Tua);
 Fotocopy Akta Nikah Pemohon;
 Fotocopy Kartu Keluarga (KK);
 Akta Kelahiran anak.

LANGKAH PENGAJUAN DISPENSASI NIKAH

Apabila persyaratan dokumen di atas telah dilengkapi, hal yang harus dilakukan adalah
mendatangi Pengadilan Agama / Negeri untuk mendaftarkan sesuai dengan tempat Pemohon.
Misalkan domisili anda berada di Kota Yogyakarta, maka permohonan harus diajukan dan
daftarkan di Pengadilan Agama / Pengadilan Negeri Yogyakarta. Kemudian,  membuat Surat
Permohonan Dispensasi Nikah. Surat Permohonan tersebut dapat di buat dengan cara :

1. Sendiri

Setelah mendapat Surat Permohonan Dispensasi  Nikah, anda dapat mendaftarkan permohonan
dispensasi anda ke pengadilan, setelah itu bayarlah panjar biaya perkara sesuai dengan yang
tertera pada saat pendaftaran. Setalah anda melewati tahap ini, anda tinggal menunggu surat
panggilan sidang dari pengadilan, biasanya surat panggilan tersebut sekurang-kurangnya 3
minggu setelah pendaftaran akan sampai pada alamat yang dituju. Datanglah pada persidangan
sesuai dengan tanggal yang ditetapkan pada surat panggilan. Setelah itu ikuti semua intruksi dari
hakim sampai persidangan selesai.

2. Diwakilkan oleh kuasa hukum / pengacara / advokat / Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

2. Hak-hak yang diabaikan atau dilanggar antaralain seperti pertama Dampak pendidikan,
bahwa seseorang yang melakukan perkawinan terutama pada usia yang masih di bawah
umur,. keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi atau menempuh jenjang pendidikan
yang lebih tinggi tidak akan tercapai atau tidak akan terwujud. Hal tersebut dapat terjadi
karena motivasi belajar yang dimiliki seseorang tersebut akan mulai mengendur karena
banyaknya tugas yang harus mereka lakukan setelah menikah. Dengan kata lain, perkawinan
di bawah umur merupakan faktor menghambat terjadinya proses pendidikan dan
pembelajaran. Kedua Dampak pysikologis, ditinjau dari sisi sosial perkawinan di bawah
umur dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih
labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat perkawinan dibawah
umur dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Secara psikis
anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan
trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung
dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas
putusan hidupnya. Oleh karenanya, dalam hukum perdata telah diatur bahwa pernikahan
seseorang harus diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Memang
perkawinan dibawah umur dipandang oleh sebagian orang lebih banyak memberikan
dampak negative Ketiga Dampak biologis, di mana Anak secara biologis alat reproduksinya
masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan
seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika
dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan
membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Keempat Dampak
kesehatan, perempuan yang menikah di usia dini kurang dari 15 tahun memiliki banyak
resiko, sekalipun ia sudah mengalami menstruasi atau haid. Ada dua dampak medis yang
ditimbulkan oleh pernikahan usia dini ini, yakni dampak pada kandungan dan kebidanannya.
Penyakit kandungan yang banyak diderita wanita yang menikah usia dini, antara lain infeksi
pada kandungan dan kanker mulut rahim. Hal ini terjadi karena terjadinya masa peralihan sel
anak-anak ke sel dewasa yang terlalu cepat. Padahal, pada umumnya pertumbuhan sel yang
tumbuh pada anak-anak baru akan berakhir pada usia 19 tahun. Kelima Dampak sosial,
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang
bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap
pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun
termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin).
Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan
melahirkan kekerasan terhadap perempuan.
Dan terakhir Dampak terhadap Hukum, terjadinya pelanggaran terhadap Undangundang
yang telah ditetapkan di negara Republik Indonesia ini seperti: a. Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 6
ayat (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapat izin kedua orang tua. b. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak, menumbuh kembangkan anak
sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan; mencegah terjadinya perkawinan pada
usia anak-anak.
3. Iya, KDRT pada pasangan muda
Tren menikah di usia muda (biasanya di usia masih sekolah atau kuliah) di kalangan kelas
menengah urban di Indonesia adalah salah satu faktor yang mendorong tingginya angka
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pada laporan catatan tahunan Komnas Perempuan
(Catahu) 2016, KDRT masih mendominasi kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak
11.207 kasus, dengan 60 persen korbannya adalah istri. Menurut Catahu 2016, kelompok usia
yang banyak menjadi korban adalah 13-18 tahun dengan jumlah korban tercatat 1.494 orang dan
pelaku 514 kasus. Dalam kelompok usia 19-24 tahun, jumlah korban mencapai 700 dan pelaku
654 orang, sebuah kelompok usia dewasa muda dengan hubungan dalam masa pacaran atau masa
awal pernikahan. 

Tentunya jumlah ini adalah puncak gunung es karena korban sebagian besar masih tidak ingin
melaporkan kasusnya, berpikir bahwa hal itu adalah privasi, aib dan sebagainya. Selain itu,
mereka masih belum terjangkau layanan dan pasangan muda ini tidak tahu mengenai organisasi-
organisasi yang menangani kasus ini. Staf Komnas Perempuan Mia Olivia mengatakan,
jangankan melapor, perempuan-perempuan muda ini sering kali tidak tahu kalau mereka sudah
mengalami KDRT. Mereka pikir KDRT hanyalah sebatas kekerasan fisik, padahal ada berbagai
macam kekerasan dalam wilayah domestik, mulai dari fisik, psikis, ekonomi dan seksual. 
Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan ini, tren KDRT  memperlihatkan bahwa
semakin banyak korban yang berusia muda dan ada ketimpangan gender dalam suatu  hubungan
suami istri.

Menurut psikolog Kristi Poerwandari, hal ini dikarenakan si individu belum memahami dirinya
sendiri, apalagi ketika korban dalam usia dimana mereka seharusnya mengeksplorasi diri
sendiri.  “Mereka perlu paham apa yang membuat mereka nyaman dan enggak nyaman. Paham
apa yang mereka inginkan. Ada juga yang enggak tahu, nah ini yang perlu kita bantu sadarkan,
karena yang akan menjalani hidupnya ya dirinya sendiri,” ujarnya. Kristi menambahkan bahwa
salah satu cara agar mereka sadar dengan apa yang diinginkan oleh mereka adalah mencari
orang-orang yang tidak akan menghakimi mereka untuk menjadi diri mereka sendiri. “Ketika
mereka di dalam hubungan itu dan merasa bukan diri mereka sendiri, itu sudah termasuk dalam
kekerasan,” ujarnya.

Cara mengatasinya yaitu

Melakukan Konseling Pernikahan Sejak Masa Puber


Koordinator komunikasi dan advokasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI),
Frenia Nababan menjelaskan, ada banyak aspek yang perlu dipersiapkan sebelum seseorang
memutuskan untuk menikah. Persiapan itu meliputi dimensi masa depan, kesehatan, pendidikan,
dan kesejahteraan, ujarnya.

“Dalam perencanaan keluarga itu harus dipikirkan masa depannya ingin seperti apa. Mereka
harus sama-sama sehat untuk melahirkan anak yang sehat juga. Lalu juga dipikirkan kesehatan
anaknya seperti imunisasi dan lain sebagainya. Kemudian apakah kesejahteraan mereka cukup
dan tidak, belum lagi soal pendidikan, dari pendidikan mereka sendiri dan anak mereka,”
katanya. 
Dimensi-dimensi ini sangat penting dipersiapkan bagi pasangan yang ingin menikah, agar ke
depannya mereka dapat melahirkan anak-anak yang berkualitas, tambah Frenia.

Sebelum menikah, calon-calon pasangan suami istri ini seharusnya diberikan sebuah konseling
pranikah. Namun beberapa pasangan muda yang ditanyai mengenai hal ini mengatakan mereka
tidak mendapatkannya. Jika pun ada, hanya bersifat nasihat-nasihat dalam satu hari itu saja.

“Iya aku waktu itu dapat dari KUA (Kantor Urusan Agama) cuma satu  hari aja, isinya tentang
tanggung jawab suami itu apa, tanggung jawab istri itu  apa,” kata Tari.

Menurut Frenia, pelajaran mengenai pernikahan seharusnya sudah dipersiapkan sejak remaja
beranjak puber.

“Konseling pranikah itu untuk mereka yang memang sudah ingin menikah. Nah, sebelum mereka
memutuskan untuk menikah kan mereka harus tahu konsekuensi dari menikah. Jadi memang
seharusnya disiapkan dari mereka puber, disesuaikan dengan perkembangan reproduksi dan
psikologis mereka,” katanya.

Married by Accident (MBA) atau kehamilan yang tidak diinginkan adalah penyebab sebagian
besar pasangan-pasangan muda ini memutuskan untuk menikah. Jika kedua pasangan tersebut
sudah di atas 17 tahun, mereka dapat menikah secara resmi di KUA. Jika tidak, ada dua cara
yang dapat membantu pasangan ini, yaitu menikah siri atau memanipulasi data umur mereka.

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dan UNICEF, yang bekerja sama dalam kajian perkawinan
usia anak, menunjukkan temuan terbaru lembaga Plan Internasional bahwa sejumlah pegawai
pemerintahan daerah yang memberikan dispensasi-dispensasi. Salah satunya dengan mengubah
usia anak dalam proses pencatatan perkawinan padahal batas minimum seseorang untuk dapat
menikah menurut Undang-undang Perkawinan adalah 16 untuk perempuan dan 19 tahun untuk
laki-laki.

Keputusan untuk menikah karena kasus kehamilan yang tidak dinginkan ini, terjadi pada Iswari.
Ketika teman-temannya tengah sibuk bekerja atau kuliah, Iswari yang baru berusia 19 tahun saat
itu harus memutuskan untuk menikah dengan pasangannya karena ia sudah terlanjur hamil.

“Bukan karena cinta, tapi aku memang terpaksa karena aku nggak mau anakku nanti lahir nggak
punya bapak,” ujarnya dalam obrolan lewat telepon. Iswari kini berusia 21 tahun dan hanya
hidup bersama anaknya yang baru berusia satu tahun.

Suami Iswari meninggalkan mereka begitu saja karena masalah keuangan yang melanda
pernikahan yang baru beberapa bulan itu. Sebelumnya, suaminya juga sudah mengabaikan
kewajibannya untuk mengurus anak mereka. Bahkan ketika anak mereka sakit, Iswari harus
menahan malu untuk meminjam uang pada temannya.

Kehamilan yang tidak diinginkan memang sebagian besar berujung pada pernikahan dini yang
benar-benar tanpa persiapan. Frenia mengatakan ini terjadi karena edukasi kesehatan reproduksi
yang diberikan di sekolah masih kurang menjelaskan secara komprehensif  mengenai masalah
kesehatan reproduksi. Karena tidak dipersiapkan dan dijalankan terpaksa atas nama ‘tanggung
jawab’, ujung-ujungnya adalah kekerasan dalam rumah tangga dengan berbagai bentuk, ujarnya.

Mencari pertolongan
Jika kamu sudah menikah lalu menyadari berada dalam hubungan yang tidak sehat bahkan sudah
dilukai secara fisik oleh pasanganmu, kamu perlu tahu bahwa kamu tidak sendiri dalam
menghadapi masalah ini. Cari orang yang dapat kamu mintai tolong, atau tempat yang dituju,
ujar Frenia.

Simpan barang-barang berharga seperti KTP, ijazah, buku tabungan, dan uang dalam satu tempat
yang aman, agar ketika dalam situasi genting saat pasanganmu melakukan kekerasan kamu bisa
menyelamatkan hal-hal itu. Bahkan kamu perlu menyiapkan satu tas berisi  keperluanmu  seperti
pakaian dan handuk, saat kamu memutuskan untuk keluar dari rumah. Kamu juga perlu
menyimpan nomor-nomor penting  yang dapat dihubungi ketika kamu dalam situasi seperti ini,
seperti nomor telepon teman, keluarga, pihak kepolisian, atau lembaga pemerhati  isu kekerasan
terhadap perempuan.

Mia Olivia dari Komnas Perempuan mengatakan, korban kekerasan rumah tangga juga dapat
menghubungi  Komnas Perempuan terlebih dahulu dan setelah itu lembaga itu dapat
mengarahkan bantuan apa yang memang diperlukan oleh orang tersebut.

“Apakah mereka perlu bantuan hukum, atau konseling ke psikolog, malah kadang mereka yang
telepon itu hanya sekadar ingin  bercerita saja. Tentu ketika mereka bercerita kami mencatat
bagaimana kronologinya dan lain sebagainya untuk setelah itu kami masukkan ke catatan
tahunan,” ujarnya.

Mutiara Malika Proehuman adalah salah satu penyintas yang kini juga menjadi pendamping para
penyintas KDRT.

“Aku tahu rasanya nggak punya rumah, aku tahu rasanya enggak tahu mau ke mana,” ujarnya. Ia
membuat Whatsapp Group untuk mereka saling bercerita, dan jika ada penyintas yang
membutuhkan tindakan khusus, Mutiara akan merekomendasikan ke seorang psikolog.

Dalam menangani dampingannya, Mutiara lebih fokus untuk membuat para penyintas ini dapat
berdaya dan tidak bergantung padanya.

“Bagaimana pun supaya mereka berdaya, jadi kuncinya sebenarnya pemberdayaan.”

Ia juga mengatakan bahwa kelompok pendukung yang ideal tetap dari pihak keluarga dan
sahabat sebagai fungsi penguatan, dan hal yang sama juga disampaikan  oleh Kristi.

“Kadang kalau bercerita ke psikolog enggak terlalu nyaman. Dan mungkin kita lebih ke arah
melatih konselor sebaya, jadi tidak melulu harus ke ahli. Intinya kan mereka butuh tempat untuk
didengarkan tanpa dihakimi. Nah, ketika konselor sebaya ini melihat permasalahan yang
dihadapi  rumit atau sulit baru dioper ke  ahli,” ujarnya.
Sumber :

https://media.neliti.com/media/publications/240416-kajian-hukum-terhadap-perkawinan-anak-di-
e5ca613d.pdf

https://lbh-ri.com/the-law-of-love-dispensasi-nikah-bagi-perkawinan-di-bawah-umur-dalam-
memori-ii/

https://magdalene.co/story/ada-kdrt-di-pernikahan-muda

https://www.jawapos.com/nasional/22/02/2021/pernikahan-anak-usia-dini-berikan-sejumlah-
dampak-negatif/

Anda mungkin juga menyukai