GLOBALISASI
A. Pendahuluan
Pernikahan merupakan sebuah ikatan sah lahir dan batin antara laki-laki dan
perempuan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan psikis maupun biologis serta
peranan tanggung jawab dari kedua belah pihak yang menikah. Dalam UU No. 1
Tahun 1974 Pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan/pernikahan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidak sembarang pernikahan dapat dilakukan, namun
terdapat beberapa aturan dan undang-undang yang mengatur tentang pernikahan baik
secara formal maupun non formal yang mengikat dengan berbagai ketentuan
persyaratan untuk dilakukannya pernikahan.
Sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pernikahan di Indonesia diatur
dalam UU No.1 Tahun 1974 pasal 7 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa
pernikahan akan diizinkan apabila pihak laki-laki telah mencapai umur 19 tahun,
sedangkan perempuan berumur minimal 16 tahun. Namun hal ini sedikit menuai
kontroversi, sebab dalam undang-undang perlindungan anak batas usia anak ialah
sejak dalam kandungan hingga berumur 18 tahun, sehingga terdapat selisih antara
batas minimum usia untuk menikah pada UU No. 1 Tahun 1974 dengan UU No. 35
Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Oleh sebab itu dalam menanggapi selisih ini
maka pemerintah mengambil kebijakan bagi perkawinan di bawah usia 21 tahun harus
disertai dengan bukti ijin orang tua.
Namun dalam praktiknya, Indonesia sebagai negara berkembang yang masih
kental akan adat istiadat dan kebudayaan yang mengatur hak asasi manusia, seperti
diberlakukannya pernikahan dini. Pernikahan dini seringkali masih banyak dilegalkan
oleh hukum adat atau keadaan yang memaksa sehingga masalah sosial ini masih lazim
terjadi dan berlaku turun temurun. Beberapa pernikahan adat di Indonesia yang masih
banyak terjadi di era modern ini seperti nikah gantung, dimana orang tua yang
memiliki anak usia 7 hingga 9 tahun yang dipaksa untuk dinikahkan dengan jodoh
pilihan orang tuanya akan tetapi anak yang telah dinikahkan ini tidak langsung hidup
bersama namun menunggu hingga dewasa.
Pernikahan dini melanggar hak anak, terutama anak perempuan sebagai pihak
yang paling rentan menjadi korban dalam kasus pernikahan dini. Plan Indonesia
sebagai organisasi kemanusiaan yang fokus pada perlindungan dan pemberdayaan
anak menyampaikan hasil penelitian mengenai pernikahan dini di delapan kabupaten
menemukan sebanyak 33,5 persen anak usia 13 sampai 18 tahun pernah menikah, dan
rata - rata mereka menikah pada usia 15 sampai 16 tahun selama bulan Januari - April
2011 yang menjadi gambaran kasus pernikahan dini secara umum di Tanah Air
(kompas, 2011).
Secara biologis pada masa remaja terjadi proses awal kematangan organ
reproduksi manusia, dampaknya apabila di usia remaja ini terjadi kehamilan maka
akan banyak resiko kesehatan yang akan dihadapi seperti abortus, anemia, kurang
gizi, preeklamsi dan eklamsi. Sedangkan pada saat persalinan dapat menimbulkan,
persalinan lama, ketuban pecah dini, ketidakseimbangan kepala bayi dengan lebar
panggul, persalinan premature, berat badan bayi lahir rendah dan perdarahan yang
dapat mengancam keselamatan jiwa ibu maupun bayinya (Manuaba,2009).
Dari segi psikologis, wajar bila banyak yang merasa khawatir bahwa
pernikahan dini akan menghambat studi dan rentan konflik yang berujung perceraian,
karena kekurangsiapan mental kedua pasangan yang belum dewasa. Kecemasan
dalam menghadapi masalah – masalah yang timbul dalam keluarga membuat
pasangan remaja mudah mengalami goncangan jiwa yang dapat mengakibatkan stress
dan depresi, bila keadaan ini tidak mendapatkan perhatian dan penanganan dengan
baik akan terjadi goncangan jiwa yang lebih berat lagi bahkan bisa menjadi gila
(Dariyo,1999).
Berbagai faktor yang memicu terjadinya pernikahan dini diantaranya berbagai
hal umum yang dapat menjadi tradisi untuk dilakukannya praktik pernikahan dini,
seperti perjodohan, ekonomi yang lemah, serta kemajuan teknologi informasi.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tidak lepas dari dampak
globalisasi, saat ini perkembangan teknologi informasi dapat dijangkau oleh seluruh
usia baik dari kalangan bawah hingga kalangan atas. Kurangnya kontrol terhadap
penggunaan teknologi informasi pada era kini sering menimbulkan berbagai efek
negatif yang merugikan baik diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Globalisasi
membuat terjadinya perubahan budaya, pandangan, dan gaya hidup (life style). Peran
orang tua menjadi dominan untuk membentengi anak dari paparan dampak buruk
globalisasi.
Faktor perubahan zaman yang terjadi ikut mempengaruhi hukum dan
perkembangannya di masyarakat, sebagaimana dalam batasan umur kebolehan
menikah, Islam tidak secara terperinci akan diharuskan adanya batasan umur untuk
menikah, sehingga berdampak pada aturan hukum yang belaku pada undang-undang 1
tahun 1097. Pengkajian secara mendalam dengan mengacu pada dampak dari
pernikahan di usia dini sangat membantu akan problematika pernikahan di usia dini.
Akses-akses internet yang mudah dijangkau, serta gaya hidup berpacaran
dikalangan anak remaja tanpa diimbangi dengan pengatahuan seputar kesehatan
reproduksi dan dampak pergaluan bebas. Karena penanganan yang belum tepat oleh
para pihak terkait, pentingnya klasifikasi sasaran penanganan, pendekatan penanganan
dan media penanganan sangatlah penting terlebih kepada anak-anak remaja
khususnya bisa lebih diarahkan pada hal positif dengan kesadaran pada dirinya.
Perkawinan usia anak tidak hanya mendasari, akan tetapi juga mendorong
ketidaksetaraan gender dalam masyarakat. Perkawinan usia anak dapat menimbulkan
siklus kemiskinan yang berkelanjutan, peningkatan buta huruf, kesehatan yang buruk
kepada generasi yang akan datang, dan merampas produktivitas masyarakat yang
lebih luas baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Meski kasus pernikahan
dini menjadi masalah besar yang dihadapi bangsa ini saat ini, bukan berarti tidak ada
solusi untuk mengatasinya. Menurut penulis, setelah meneliti pernikahan dini, ada
beberapa solusi untuk mengatasi pernikahan dini, antara lain:
1. Sebaiknya pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, sewajarnya
melakukan perbaikan terhadap undang-undang yang ada, pemerintah harus
ikut serta dalam revisi Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974.
Undang-undang ini sudah usang dan bertentangan dengan komitmen Indonesia
untuk menghapus pernikahan dini pada tahun 2030.
2. Masyarakat perlu memahami dampak negatif pernikahan dini. Masyarakat
perlu memahami bahwa pernikahan dini hanya menghancurkan semua impian
para penjahat, terutama perempuan. Dalam peran orang tua harus disadari
bahwa pendidikan begitu penting untuk menggapai masa depan, jika masalah
tidak cukup atau tidak ada dana untuk sekolah, negara belum mendukung
pendidikan dengan kuat melalui beasiswa atau bantuan sekolah, misalnya
Bantuan Fungsional Sekolah (BOS), belum lagi fasilitas sekolah yang
disediakan pemerintah. Usia bukanlah faktor dalam belajar, namun yakinlah
bahwa ketika seorang remaja "dipaksa" menikah dan memiliki anak, fokusnya
beralih ke keluarga dan pengasuhan anak. Wanita masa kini dapat
berpartisipasi dalam semua aspek kehidupan.
3. Penyuluhan bahaya negatif pernikahan di bawah umur dengan memberikan
tindakan preventif dan kuratif untuk meminimalisir angka pernikahan dini di
Indonesia.
4. Kerasnya hukum yang berlaku, hal ini erat kaitannya dengan aparat penegak
hukum, setiap penegak hukum atau orang tua yang terlibat dalam pernikahan
dini harus ditindak tegas.
Peran orang tua sangat penting bagi psikologi anaknya. Mengingat keluarga
merupakan tempat pertama tumbuh kembang anak sejak lahir hingga dewasa, maka
pola asuh anak harus disebarluaskan pada setiap keluarga. Untuk membantu
tercapainya tujuan terbentuknya keluarga Sakinah, Mawaddah, dan Warahmah maka
anggota keluarga khususnya orang tua harus melakukan beberapa hal, yaitu:
Email : 20206004@std.umk.ac.id
Email : 202060039@std.umk.ac.id
Email : 202060162@std.umk.ac.id