Anda di halaman 1dari 10

IMPLEMENTASI PSIKOLOGIS PADA PERNIKAHAN DINI DI ERA

GLOBALISASI

Avicenna Noviandra Pratama1, Tamara Tiastika2, M. Arif Rahman Hakim3

Fakultas Psikologi, Universitas Muria Kudus, Indonesia

Email; 202060004@std.umk.ac.id1, 202060039@std.umk.ac.id2, 202060162@std.uml.ac.id3

A. Pendahuluan
Pernikahan merupakan sebuah ikatan sah lahir dan batin antara laki-laki dan
perempuan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan psikis maupun biologis serta
peranan tanggung jawab dari kedua belah pihak yang menikah. Dalam UU No. 1
Tahun 1974 Pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan/pernikahan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidak sembarang pernikahan dapat dilakukan, namun
terdapat beberapa aturan dan undang-undang yang mengatur tentang pernikahan baik
secara formal maupun non formal yang mengikat dengan berbagai ketentuan
persyaratan untuk dilakukannya pernikahan.
Sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pernikahan di Indonesia diatur
dalam UU No.1 Tahun 1974 pasal 7 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa
pernikahan akan diizinkan apabila pihak laki-laki telah mencapai umur 19 tahun,
sedangkan perempuan berumur minimal 16 tahun. Namun hal ini sedikit menuai
kontroversi, sebab dalam undang-undang perlindungan anak batas usia anak ialah
sejak dalam kandungan hingga berumur 18 tahun, sehingga terdapat selisih antara
batas minimum usia untuk menikah pada UU No. 1 Tahun 1974 dengan UU No. 35
Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Oleh sebab itu dalam menanggapi selisih ini
maka pemerintah mengambil kebijakan bagi perkawinan di bawah usia 21 tahun harus
disertai dengan bukti ijin orang tua.
Namun dalam praktiknya, Indonesia sebagai negara berkembang yang masih
kental akan adat istiadat dan kebudayaan yang mengatur hak asasi manusia, seperti
diberlakukannya pernikahan dini. Pernikahan dini seringkali masih banyak dilegalkan
oleh hukum adat atau keadaan yang memaksa sehingga masalah sosial ini masih lazim
terjadi dan berlaku turun temurun. Beberapa pernikahan adat di Indonesia yang masih
banyak terjadi di era modern ini seperti nikah gantung, dimana orang tua yang
memiliki anak usia 7 hingga 9 tahun yang dipaksa untuk dinikahkan dengan jodoh
pilihan orang tuanya akan tetapi anak yang telah dinikahkan ini tidak langsung hidup
bersama namun menunggu hingga dewasa.
Pernikahan dini melanggar hak anak, terutama anak perempuan sebagai pihak
yang paling rentan menjadi korban dalam kasus pernikahan dini. Plan Indonesia
sebagai organisasi kemanusiaan yang fokus pada perlindungan dan pemberdayaan
anak menyampaikan hasil penelitian mengenai pernikahan dini di delapan kabupaten
menemukan sebanyak 33,5 persen anak usia 13 sampai 18 tahun pernah menikah, dan
rata - rata mereka menikah pada usia 15 sampai 16 tahun selama bulan Januari - April
2011 yang menjadi gambaran kasus pernikahan dini secara umum di Tanah Air
(kompas, 2011).
Secara biologis pada masa remaja terjadi proses awal kematangan organ
reproduksi manusia, dampaknya apabila di usia remaja ini terjadi kehamilan maka
akan banyak resiko kesehatan yang akan dihadapi seperti abortus, anemia, kurang
gizi, preeklamsi dan eklamsi. Sedangkan pada saat persalinan dapat menimbulkan,
persalinan lama, ketuban pecah dini, ketidakseimbangan kepala bayi dengan lebar
panggul, persalinan premature, berat badan bayi lahir rendah dan perdarahan yang
dapat mengancam keselamatan jiwa ibu maupun bayinya (Manuaba,2009).
Dari segi psikologis, wajar bila banyak yang merasa khawatir bahwa
pernikahan dini akan menghambat studi dan rentan konflik yang berujung perceraian,
karena kekurangsiapan mental kedua pasangan yang belum dewasa. Kecemasan
dalam menghadapi masalah – masalah yang timbul dalam keluarga membuat
pasangan remaja mudah mengalami goncangan jiwa yang dapat mengakibatkan stress
dan depresi, bila keadaan ini tidak mendapatkan perhatian dan penanganan dengan
baik akan terjadi goncangan jiwa yang lebih berat lagi bahkan bisa menjadi gila
(Dariyo,1999).
Berbagai faktor yang memicu terjadinya pernikahan dini diantaranya berbagai
hal umum yang dapat menjadi tradisi untuk dilakukannya praktik pernikahan dini,
seperti perjodohan, ekonomi yang lemah, serta kemajuan teknologi informasi.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tidak lepas dari dampak
globalisasi, saat ini perkembangan teknologi informasi dapat dijangkau oleh seluruh
usia baik dari kalangan bawah hingga kalangan atas. Kurangnya kontrol terhadap
penggunaan teknologi informasi pada era kini sering menimbulkan berbagai efek
negatif yang merugikan baik diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Globalisasi
membuat terjadinya perubahan budaya, pandangan, dan gaya hidup (life style). Peran
orang tua menjadi dominan untuk membentengi anak dari paparan dampak buruk
globalisasi.
Faktor perubahan zaman yang terjadi ikut mempengaruhi hukum dan
perkembangannya di masyarakat, sebagaimana dalam batasan umur kebolehan
menikah, Islam tidak secara terperinci akan diharuskan adanya batasan umur untuk
menikah, sehingga berdampak pada aturan hukum yang belaku pada undang-undang 1
tahun 1097. Pengkajian secara mendalam dengan mengacu pada dampak dari
pernikahan di usia dini sangat membantu akan problematika pernikahan di usia dini.
Akses-akses internet yang mudah dijangkau, serta gaya hidup berpacaran
dikalangan anak remaja tanpa diimbangi dengan pengatahuan seputar kesehatan
reproduksi dan dampak pergaluan bebas. Karena penanganan yang belum tepat oleh
para pihak terkait, pentingnya klasifikasi sasaran penanganan, pendekatan penanganan
dan media penanganan sangatlah penting terlebih kepada anak-anak remaja
khususnya bisa lebih diarahkan pada hal positif dengan kesadaran pada dirinya.

B. Problematika antara Pernikahan Dini di Era Globalisasi


Pernikahan dini akan menimbulkan berbagai persoalan dalam rumah tangga
seperti pertengkaran, percekcokan, bentrokan antara suami istri yang dapat
mengakibatkan perceraian. Menurut Soegeng Prodjodarminto (2000) masalah
perceraian umumnya disebabkan karena belum stabilnya emosi mereka. Melihat
fenomena pernikahan dini yang sangat rentan dengan perceraian. Problematika
pernikahan usia dini di era globalisasi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kesehatan dan Kematian Ibu dan Anak: Pernikahan usia dini dapat berdampak
negatif terhadap kesehatan dan kematian ibu dan anak. Anak yang dilahirkan dari
ibu yang masih terlalu muda berisiko lebih besar mengalami kematian saat lahir
atau memiliki masalah kesehatan lainnya. Selain itu, ibu yang masih terlalu muda
juga lebih rentan mengalami komplikasi saat melahirkan.
2. Pendidikan: Pernikahan usia dini juga berdampak negatif terhadap pendidikan
pasangan yang menikah. Ketika menikah di usia yang masih terlalu muda,
pasangan seringkali harus meninggalkan sekolah atau berhenti mengejar cita-cita
mereka, sehingga mereka tidak dapat mengembangkan keterampilan dan
pengetahuan mereka.
3. Kemiskinan: Pernikahan usia dini seringkali terjadi pada keluarga yang kurang
mampu secara finansial. Hal ini dapat berdampak pada kemiskinan pasangan yang
menikah dan anak-anak mereka. Pasangan muda yang masih memerlukan banyak
bantuan dari orang tua dan tidak dapat mandiri secara finansial akan mengalami
kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
4. Kekerasan dalam Rumah Tangga: Pernikahan usia dini juga meningkatkan
risiko kekerasan dalam rumah tangga. Pasangan yang masih terlalu muda
seringkali belum matang secara emosional dan psikologis, sehingga mereka tidak
dapat mengelola konflik secara sehat dan dewasa.
5. Tidak adanya Kebebasan: Pernikahan usia dini juga dapat menyebabkan
hilangnya kebebasan individu. Pasangan yang masih terlalu muda mungkin belum
siap untuk memikul tanggung jawab sehari-hari dalam rumah tangga dan keluarga,
dan mereka tidak dapat mengejar impian dan cita-cita mereka karena harus
memprioritaskan keluarga dan tanggung jawab rumah tangga.
Permasalahan pernikahan dini juga berpengaruh terhadap anak-anak. menurut
para ahli psikologi, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini
disebabkan ketidak matangan emosi, gejolak darah muda dan cara berpikir yang
belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai
banyak dampak negatif.Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan di
atas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita (Shappiro F, 2000).
Permasalahan dalam pernikahan dini juga berpengaruh terhadap keluarga.
Lebih jauh lagi, dapat dibayangkan betapa sulitnya kehidupan berumah tangga yang
belum dewasa itu bila rumah tangga mereka digoncang oleh perbedaan pendapat dan
kesalah pahaman dengan keluarga pasangan masing - masing ataupun orang tua.
(Hamid, Fatkhuri 2011).
pernikahan dini memiliki kaitan yang erat dengan adanya tindak kekerasan
oleh pasangan intim (intimate partner violence) di beberapa negara, seperti di India
(Pearson & Speizer, 2011) dan Vietnam (Fisher dkk, 2014). Pernikahan dini berisiko
tertular infeksi, kanker serviks, kehamilan yang tidak diinginkan, keguguran,
kematian ketika melahirkan, dan malnutrisi pada anak (Strat, Dubertret, & Foll,
2017).
pada era globalisasi saat ini, gaya hidup dan teknologi semakin berkembang
pesat, dimana kedua komponen tersebut sangat berpengaruh dalam pengambilan
keputusan diusia muda, dengan semakin pesatnya perkembangan gaya hidup dan
teknologi membuat banyak remaja yang mengikuti mode masa kini, yang tentu saja
mode yang mereka ikuti adalah mode dari orang barat. Sehingga dalam hal ini
seorang remaja harus dapat memiih dan memilah mana yang baik dan tidak bagi
kelangsungan dan kehidupan mereka di masa depan, agar tidak terjebak kedalam hal-
hal yang memberikan pengaruh negatif.
Pernikahan usia dini menjadi masalah yang semakin kompleks dan
membutuhkan pendekatan holistik. Perlu ada upaya yang lebih besar dari pemerintah,
keluarga, komunitas, dan lembaga masyarakat untuk mengatasi pernikahan usia dini
dan mendorong masyarakat untuk mengubah perilaku dan pandangan mereka tentang
pernikahan pada usia muda (Diniyati, 2017).

C. Solusi Mencegah Pernikahan Dini Di Era Globalisasi

Mencermati permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya, yang menitik


beratkan pada penelitian dan pengetahuan bahwa pernikahan dini merupakan solusi
atau pembahasan untuk menghindari perzinahan. Diketahui jika pernikahan dini
dilakukan untuk menghindari zina, hal ini tidak baik dari segi medis karena akan
berdampak buruk bagi ibu atau anak yang dilahirkan nantinya. Selain itu dari segi
sosiologis, kemungkinan perceraian lebih tinggi ketika pernikahan dini, karena usia
suami istri yang belum matang dan menimbulkan perasaan labil dalam diri mereka
(Rusdi 2016). Aspek pernikahan dini agar terhindar dari zina bukanlah solusi yang
baik, banyak yang bisa dilakukan untuk menghindari zina, misalnya melalui
pendidikan, baik di lingkungan terkecil yaitu keluarga, maupun di lingkungan yang
lebih besar, seperti sekolah.

Perkawinan usia anak tidak hanya mendasari, akan tetapi juga mendorong
ketidaksetaraan gender dalam masyarakat. Perkawinan usia anak dapat menimbulkan
siklus kemiskinan yang berkelanjutan, peningkatan buta huruf, kesehatan yang buruk
kepada generasi yang akan datang, dan merampas produktivitas masyarakat yang
lebih luas baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Meski kasus pernikahan
dini menjadi masalah besar yang dihadapi bangsa ini saat ini, bukan berarti tidak ada
solusi untuk mengatasinya. Menurut penulis, setelah meneliti pernikahan dini, ada
beberapa solusi untuk mengatasi pernikahan dini, antara lain: 
1. Sebaiknya pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, sewajarnya
melakukan perbaikan terhadap undang-undang yang ada, pemerintah harus
ikut serta dalam revisi Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974.
Undang-undang ini sudah usang dan bertentangan dengan komitmen Indonesia
untuk menghapus pernikahan dini pada tahun 2030.
2. Masyarakat perlu memahami dampak negatif pernikahan dini. Masyarakat
perlu memahami bahwa pernikahan dini hanya menghancurkan semua impian
para penjahat, terutama perempuan. Dalam peran orang tua harus disadari
bahwa pendidikan begitu penting untuk menggapai masa depan, jika masalah
tidak cukup atau tidak ada dana untuk sekolah, negara belum mendukung
pendidikan dengan kuat melalui beasiswa atau bantuan sekolah, misalnya
Bantuan Fungsional Sekolah (BOS), belum lagi fasilitas sekolah yang
disediakan pemerintah. Usia bukanlah faktor dalam belajar, namun yakinlah
bahwa ketika seorang remaja "dipaksa" menikah dan memiliki anak, fokusnya
beralih ke keluarga dan pengasuhan anak. Wanita masa kini dapat
berpartisipasi dalam semua aspek kehidupan.
3. Penyuluhan bahaya negatif pernikahan di bawah umur dengan memberikan
tindakan preventif dan kuratif untuk meminimalisir angka pernikahan dini di
Indonesia.
4. Kerasnya hukum yang berlaku, hal ini erat kaitannya dengan aparat penegak
hukum, setiap penegak hukum atau orang tua yang terlibat dalam pernikahan
dini harus ditindak tegas.  

Peran orang tua sangat penting bagi psikologi anaknya. Mengingat keluarga
merupakan tempat pertama tumbuh kembang anak sejak lahir hingga dewasa, maka
pola asuh anak harus disebarluaskan pada setiap keluarga. Untuk membantu
tercapainya tujuan terbentuknya keluarga Sakinah, Mawaddah, dan Warahmah maka
anggota keluarga khususnya orang tua harus melakukan beberapa hal, yaitu:

1. Vocation guidence, Pemahaman anak tentang pentingnya kemauan untuk


hidup dan aktivitas produktif. Menjalani hidup memang tidak semudah
membalikkan telapak tangan, untuk menjalani hidup ini diperlukan
pengendalian diri yang kuat.
2. Penyaluran bakat dan minat, Beri anak waktu untuk kegiatan produktif (bisnis,
dll). Diharapkan pemikiran anak beralih ke hal-hal negatif dan menggantinya
dengan hal-hal positif.
3. Psikologie consul, Selalu pantau arah gerak psikologis anak sesuai dengan
perkembangan motoriknya. Anak akan memberontak jika diberi batasan yang
tegas. Oleh karena itu tugas orang tua hanyalah menyampaikan pemahaman
untuk selalu mengikuti rel yang telah ditentukan, baik secara agama maupun
dalam perlombaan-perlombaan lainnya.
4. Preventif education, Membatasi kegiatan anak, seperti B. Bermain, bergaul
dan bersosialisasi dengan orang lain.
5. Intelectual aprouch (Heru, 2000, hlm. 43) Kepemimpinan ilmiah yang
kompeten dalam setiap gerakan. Cara yang paling efektif saat ini adalah
dengan menyekolahkan anak ke pesantren dan memperoleh ilmu agama dan
umum.  
D. Kesimpulan

Mencermati permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya, yang menitik


beratkan pada penelitian dan pengetahuan bahwa pernikahan dini merupakan solusi
atau pembahasan untuk menghindari perzinahan. Diketahui jika pernikahan dini
dilakukan untuk menghindari zina, hal ini tidak baik dari segi medis karena akan
berdampak buruk bagi ibu atau anak yang dilahirkan nantinya. Selain itu dari segi
sosiologis, kemungkinan perceraian lebih tinggi ketika pernikahan dini, karena usia
suami istri yang belum matang dan menimbulkan perasaan labil dalam diri
mereka . Aspek pernikahan dini agar terhindar dari zina bukanlah solusi yang
baik, banyak yang bisa dilakukan untuk menghindari zina, misalnya melalui
pendidikan, baik di lingkungan terkecil yaitu keluarga, maupun di lingkungan yang
lebih besar, seperti sekolah.

Perkawinan usia anak dapat menimbulkan siklus kemiskinan yang


berkelanjutan, peningkatan buta huruf, kesehatan yang buruk kepada generasi yang
akan datang, dan merampas produktivitas masyarakat yang lebih luas baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Meski kasus pernikahan dini menjadi masalah
besar yang dihadapi bangsa ini saat ini, bukan berarti tidak ada solusi untuk
mengatasinya. Dalam peran orang tua harus disadari bahwa pendidikan begitu penting
untuk menggapai masa depan, jika masalah tidak cukup atau tidak ada dana untuk
sekolah, negara belum mendukung pendidikan dengan kuat melalui beasiswa atau
bantuan sekolah, misalnya Bantuan Fungsional Sekolah , belum lagi fasilitas sekolah
yang disediakan pemerintah. Kerasnya hukum yang berlaku, hal ini erat kaitannya
dengan aparat penegak hukum, setiap penegak hukum atau orang tua yang terlibat
dalam pernikahan dini harus ditindak tegas.

Kecemasan dalam menghadapi masalah – masalah yang timbul dalam


keluarga membuat pasangan remaja mudah mengalami goncangan jiwa yang dapat
mengakibatkan stress dan depresi, bila keadaan ini tidak mendapatkan perhatian dan
penanganan dengan baik akan terjadi goncangan jiwa yang lebih berat lagi bahkan
bisa menjadi gila (Dariyo,1999).
E. Daftar Pustaka
Sriharyati, T. 2012. Faktor-Faktor Penyebab Perkawinan di Bawah Umur di
Desa Blandongan Kecamatan Banjarharjo Kabupaten Brebes. Skripsi Ilmiah.
Fakultas ilmu sosial: Universitas Negeri Yogyakarta. Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 Tentang Perkawinan.
Astuty, S. Y. (2013). Faktor - Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Usia
Muda Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten
Deli Serdang. Jurnal FISIP, 2, 1–10. https://doi.org/10.1017/
CBO9781107415324.004
Bastomi, H. (2016). Pernikahan Dini Dan Dampaknya (Tinjauan Batas Umur
Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Hukum Perkawinan Indonesia). Jurnal
Pemikiran Dan Penelitian Sosial Keagamaan, 7, 354–384
Munawwaroh, S. (2018). Studi Terhadap Pernikahan Usia Dini di Kecamatan
Seberang Ulu I Kota Palembang Ditinjau dari Hukum Islam.
Nazilatur Rohmah. (2013). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Usia
Perkawinan Pertama Wanita Di Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik. 234.
Singgih, D. G., & Gunarsa, Y. S. D. (2008). Psikologi Perkembangan Anak
dan Remaja. Stang, E. M. (2015).
faktor-Faktor yang berhubungan dengan pernikahan dini di kelurahan Pangli
kecamatan Sesean Kabupaten Toraja Utara. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia,
7(1), 270– 280. Retrieved from http://journal.unhas.ac.id/
index.php/JMKMI/article/view/1071
Tampubolon, E. P. L. (2021). Permasalahan Perkawinan Dini di
Indonesia. Jurnal Indonesia Sosial Sains, 2(05), 738-746.
Suprima, S. (2022). Pernikahan Dini Dalam Upaya Menjauhi Zina: Solusi atau
Kontroversi?. AL-MANHAJ: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, 4(2), 381-390.
Khoiri, A. (2018). Pernikahan Dini Dalam Tinjauan Undang-Undang Dan
Psikologi. Akademika, 12(01).
Identitas Penulis

Avicenna Noviandra Pratama adalah salah satu


Mahasiswa Fakultas Psikologi yang berkuliah di
Universitas Muria Kudus pada Tahun 2020 dengan
NIM : 202060004 .

Email : 20206004@std.umk.ac.id

Tamara Tiastika adalah salah satu Mahasiswa Fakultas


Psikologi yang berkuliah di Universitas Muria Kudus
pada Tahun 2020 dengan NIM : 202060039

Email : 202060039@std.umk.ac.id

Muhammad Arif Rahman Hakim adalah salah satu


Mahasiswa Fakultas Psikologi yang berkuliah di
Universitas Muria Kudus pada Tahun 2020 dengan
NIM : 202060162

Email : 202060162@std.umk.ac.id

Anda mungkin juga menyukai