Anda di halaman 1dari 7

Dampak Pernikahan Dini Terhadap Kesehatan Mental dan Sosial

Remaja

Angastifa Pinakesti
1401619009
Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
PPKN B 2019
Universitas Negeri Jakarta

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Pasal 1) Perkawinan itu


ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun banyak
sekali fenomena pernikahan dini yang terjadi pada saat ini. Seperti kita ketahui
dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang beisi
bahwa perkawinan diizinkan jika mempelai pria berusia 19 tahun dan
mempelai wanita berusia 16 tahun.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa pernikahan dini ialah suatu perbuatan
perkawinan atau ikatan(akad) sebelum pada waktu yang ditentukan. Di
Indonesia sendiri, pengimplementasian dari pernikahan dini pun sudah marak
ditemui. Perkawinan seakan menjadi suatu perbuatan biasa yang disepelekan
dan bukan merupakan momok menakutkan bagi remaja apabila telah
mendapat resikonya. Selain harus cukup umur, pernikahan sendiri pun harus
serta mendapat izin dari orang tua atau wali nikah hal ini sesuai dengan
Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 yang berisi bahwa calon
pengantin yang belum genap berusia 21 tahun, harus mendapatkan izin dari
kedua orang tuanya.

1
2. PEMBAHASAN

2.1. Analisis
Berdasarkan data dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan anak (KPPPA) menyebutkan bahwa satu dari enam anak
perempuan di Indonesia menikah sebelum umur 18 tahun. KPPA sendiri
mencatat setiap tahun ada 340.000 anak yang menikah sebelum genap berusia
18 tahun di Indonesia. Kasus pernikahan dini yang terjadi di Indonesia
meningkat tiap tahunnya. Menikah di usia dini merupakan sebuah realita yang
harus dihadapi terutama di Indonesia, karena Indonesia sendiri merupakan
negara berkembang.

Analisis survei penduduk dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana


Nasional (BKKBN) pada tahun 2005 didapatkan angka pernikahan di
pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan, untuk remaja usia
15-19 tahun perbedaannya cukup tinggi yaitu 11,88% di pedesaan dan 5,28%
di perkotaa. Apa penyebab dari terjadinya pernikahan anak ? Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
pernikahan dini yaitu faktor kemiskinan, pendidikan, adat dan budaya dan
masih banyak yang lainnya. Secara hukum perkawinan anak telah diatur oleh
Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang
undang tersebut memperbolehkan anak perempuan berusia 16 tahun untuk
menikah, seperti disebutkan dalam pasal 7 ayat 1, “Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 (sembilan belas) tahun, dan pihak
wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun.” Sementara Pasal 26 UU R.I
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa orang
tua diwajibkan melindungi anak dari perkawinan dini. Peran sera orang tua
sangat penting dalam menjaga pergaulan remaja supaya terhindar dari
pernikahan dini. Menurut Sadik setiap tahunnya, dari 175 juta kehamilan yang
terjadi di dunia terdapat sekitar 75 juta perempuan yang mengalami KTD.
World Health Organization (WHO) memperkirakan dari 200 juta kehamilan
per tahun, sekitar 38% (75 juta) merupakan kehamilan tidak diinginkan. Dari
data survei demografi dan kesehatan Indonesia tahun 2012 didapatkan bahwa
7% Kelahiran diharapkan kemudian dan 7% kelahiran tidak diinginkan sama
sekali.

Dampak pernikahan dini bagi remaja menurut hasil dari Studi Field dkk
(2004) di Bangladesh mengungkapkan beberapa akibat pernikahan anak yaitu
drop out sekolah yang tinggi, subordinasi dalam keluarga, resiko KDRT
(Kekerasan Dalam Rumah Tangga), kurangnya kontrol terhadap kesehatan
reproduksi, dan peluang terjadinya kematian ibu tinggi. Di beberapa daerah di
Indonesia banyak sekali ditemukan kasus kematian remaja pasca melahirkan,
ditinjau dari segi medis penyebabnya adalah organ reproduksi dari remaja
belum siap. Selain itu mereka juga kurang memahami akan perbuatan seks nya
sehingga banyak perempuan yang ditemukan mengidap HIV/AIDS karena
sering berganti ganti pasangan.
Menikah di usia dini juga beresiko sangat besar terhadap kesehatan mental.
Perkawinan yang masih muda juga banyak mengandung masalah yang tidak
diharapkan dikarenakan segi psikologisnya belum matang khususnya bagi
perempuan. (Walgito,2000:20). Ketika remaja belum siap untuk hamil dan
akan menjadi seorang ibu maka remaja akan nekat melakukan perbuatan
aborsi. Remaja yang hamil terlalu dini akan sangat rentan mengalami anemia
pada saat mengandung dan seusai melahirkan. Maka inilah yang menjadi
faktor tertinggi penyebab kematian ibu dan anak. Selain itu juga remaja akan
mengalami gangguan mental seperti stress bahkan gangguan jiwa lainnya
dikarenakan ia akan merasa ketakutan apabila melihat anak yang menjadi hasil
dari perbuatan seks bebasnya itu. Rasa minder yang melanda membuat remaja
merasa malu bila bertemu orang orang sekitar sehingga remaja cenderung
menyendiri dan mengurung dirinya dirumah. Selain itu interaksi kepada teman
sebayanya pun akan berkurang, mereka akan merasa canggung dan enggan
bergaul dengan teman sebaya. Mereka merasa dalam keadaan yang tidak
menentu/ tidak baik dalam status sosial. Seperti kita ketahui bahwa
lingkungan merupakan elemen yang paling penting dan memiliki peran
khusus dalam keberlangsungan hidup di bumi.[ CITATION Nad19 \l 1057 ]

2.2. Sintesis

Menurut Zakiah Darajat (1990:23) Remaja adalah suatu masa peralihan


dari masa anak-anak dan ke arah dewasa. Dalam masa masa ini anak akan
mengalami masa dimana ia akan bertumbuh dan masa ketika ia
berkembang, baik itu secara fisik maupun perkembangan pada psikisnya.
Remaja bukanlah anak-anak baik bentuk fisik yang telah berkembang
maupun cara berfikirnya, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah
matang dalam segi tindakan maupun fikiran. Fase remaja merupakan fase
yang sangat potensial dilihat dari perkembangannya baik itu dalam segi
kognitif, emosi ataupun fisik (Mons dkk;1989). Banyak remaja yang ingin
melakukan hubungan seks pra nikah. Mereka awalnya ingin mencoba coba
karena adanya dorongan dari teman sebayanya. Masa remaja memang
merupakan fase dimana seseorang mencari jati dirinya dan ingin mencoba
sesuatu yang baru, maka dari itu banyak sekali remaja di Indonesia yang
terjebak seks bebas sebelum adanya ikatan pernikahan. Salah satu akibat
dari dilakukannya seks bebas bagi remaja adalah Kehamilan Tidak
Diinginkan (KTD).
Faktor terbesar dari Kehamilan Tidak Diinginkan ini adalah kurangnya
pemahaman tentang kesehatan reproduksi dan kurangnya keterbukaan
terkait informasi informasi mengenai organ reproduksi sehingga membuat
remaja tidak mengetahui apa resiko yang terjadi setelah melakukan
perbuatan seks[ CITATION Apr18 \l 1057 ]. Maka tidak heran bahwa remaja
rentan akan masalah pernikahan dini dan berbuat tindakan aborsi. Dalam
KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) dijelaskan bahwa aborsi
adalah pengeluaran hasil konsepsi pada setiap stadium perkembangannya
sebelum masa kehamilan yang lengkap tercapai (38-40). Dampak dari
pernikahan dini tersebut antara lain berpengaruh terhadap kesehatan
mental. Menurut Dr. Jalaludin dalam bukunya yang berjudul “Psikologi
Agama” dijelaskan bahwa kesehatan mental merupakan suatu kondisi
batin yang senantiasa berada dalam keadaan nyaman, aman dan tenang dan
senantiasa untuk mencari ketenangan batin yang dilakukan dengan
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Maksud dari terganggunya
kesehatan mental disini adalah bahwa remaja yang melakukan pernikahan
dini akan cenderung lebih senang menyendiri, stress bahkan gangguan
kejiwaan.

Dampak dalam aspek sosial adalah rentannya perceraian dan


perselingkuhan bagi pasangan yang terbilang sangat dini. Mereka belum
siap mental dalam menjalani rumah tangga yang akhirnya terjadi KDRT
(Kekerasan Dalam Rumah Tangga)[ CITATION Ren14 \l 1057 ]. Anak hasil
dari hubungan perkawinan di luar nikah juga sangat berpotensi akan
ketelantaran. Hal tersebut terjadi karena sang ibu belum memiliki
pengalaman dan kesiapan sehingga belum bisa mengurus anak dengan
baik. Selain anak yang terlantar, dampak sosial lainnya adalah akan terjadi
kemsikinan. Ketika sang orang tua masih terlalu dini atau remaja, mereka
tentunya masih mengenyam bangku pendidikan dan tentunya belum
bekerja dan memiliki penghasilan yang tetap untuk memenuhi kebutuhan
anaknya. Terjadinya kasus inses dan kekerasan seksual pada anak juga
merupakan dampak yang paling mencolok. Karena maraknya kekerasan
seksual pada anak, pernikahan dini pun dapat diperkirakan semakin
meningkat.

2.3. Solusi
Orang tua memiliki kewajiban ekstra dalam mengawasi pergaulan anak
remaja supaya terhindar dari seks bebas dan pernikahan dini sebagaimana
dijealaskan dalam Pasal 26 UU R.I Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa orang tua diwajibkan melindungi anak
dari perkawinan dini[ CITATION Ren14 \l 1057 ]. Selain orang tua, pemerintah
pun ikut andil dalam memberikan perannya yaitu dengan cara memberikan
pelayanan ramah tamah sejak SMP agar terhindar dari Kehamilan Tidak
Diinginkan (KTD). Selain itu juga perlu diperkenalkan dan diajarkan
pengetahuan maupun informasi tentang reproduksi sejak dini supaya remaja
tidak salah dalam mengambil keputusan akan seks bebas yang memicu
terjadinya pernikahan dini dan supaya mengetahui dampak dari perbuatan
tersebut. Pemahaman agama dan iman yang kuat harus ditanamnkan dalam
diri sejak dini supaya tidak terjerumus dari hal hal yang tidak diinginkan.

3. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pernikahan dini terutama di Indonesia terjadi karena beberapa faktor yaitu
kemiskinan, pendidikan, adat dan budaya, serta ekonomi. Kurangnya
pemahaman akan reproduksi membuat remaja semakin penasaran akan
hubungan seksual. Maka dari itu perlu sekali pengetahuan ataupun informasi
tentang reproduksi sejak dini. Dampak yang didapat dari hasil perkawinan
remaja yaitu diantaranya adalah dari segi kesehatan mental dan sosial remaja.
Dalam segi kesehatan mental, remaja akan mengalami stress, mengurung diri
bahkan gangguan kejiwaannya terganggu, organ reproduksinya pun dirasa
belum siap untuk bisa hamil. Remaja akan enggan bersosialisasi baik itu
sesama masyarakat maupun teman sebayanya karena merasa dikucilkan dan
merasa canggung untuk berbaur terhadap lingkungan. Dan dalam aspek sosial
akan terjadinya kesenjangan ekonomi karena remaja masih mengenyam
pendidikan dan belum memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya,
dan dari situlah muncul kemiskinan. Maka dari itu peran serta orang tua pun
wajib dilaksanakan guna mengawasi anaknya dalam hal pergaulan bebas yang
merupakan awal dari munculnya pernikahan dini.
DAFTAR PUSTAKA

Aprianti, Z. S. (2018). Fenomena Pernikahan Dini Membuat Orang Tua dan


Remaja Tidak Takut Mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan . 61-73.

Djamilah, R. K. (2014). Dampak Perkawinan Anak di Indonesia. 1-16.

Mubasyaroh. (2016). ANALISIS FAKTOR PENYEBAB PERNIKAHAN DINI


DAN DAMPAKNYA BAGI PELAKUNYA. 386-411.

Nadiroh Nadiroh, U. H. (2019). Behavioral Geography: an Ecoliteracy


Perspective and Critical Thinking Skills in Men and Women. 114-122.

Refqi Alfina, Z. A. (2016). IMPLIKASI PSIKOLOGIS PERNIKAHAN USIA


DINI STUDI KASUS DI KELURAHAN KARANG TARUNA
KECAMATAN PELAIHARI KABUPATEN TANAH LAUT . 1021-
1032.

Salmah, S. (2016). Pernikahan Dini Ditinjau Dari Sudut Pandang Sosial Dan
Pendidikan . 35-39.

Anda mungkin juga menyukai