Anda di halaman 1dari 17

PERNIKAHAN USIA DINI

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Fiqh Kontemporer

Dosen Pengampu
Dr. H. Mukti Ali Bisri, M.Ag

Oleh:
Maulidatul Khoiriyah (200501027)

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PESANTREN KH ABDUL CHALIM
MOJOKERTO, 2021

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan usia dini telah banyak berkurang di berbagai belahan negara dalam
tigapuluh tahun terakhir, namun pada kenyataannya masih banyak terjadi di negara
berkembang terutama di pelosok terpencil. Pernikahan usia dini terjadi baik di daerah
pedesaan maupun perkotaan di Indonesia serta meliputi berbagai strata ekonomi dengan
beragam latarbelakang.1 Berdasarkan Survei Data Kependudukan Indonesia (SDKI)
2007, di beberapa daerah didapatkan bahwa sepertiga dari jumlah pernikahan terdata
dilakukan oleh pasangan usia di bawah 16 tahun. Jumlah kasus pernikahan dini di
Indonesia mencapai 50 juta penduduk dengan rata-rata usia perkawinan 19,1 tahun. Di
Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Jambi, dan Jawa Barat, angka kejadian pernikahan dini
berturut-turut 39,4%, 35,5%, 30,6%, dan 36%. Bahkan di sejumlah pedesaan,
pernikahan seringkali dilakukan segera setelah anak perempuan mendapat haid pertama.2
Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus dihadapi
sebagian anak di seluruh dunia, terutama negara berkembang. Meskipun Deklarasi Hak
Asasi Manusia di tahun 1954 secara eksplisit menentang pernikahan anak usia dini,
namun ironisnya, praktek pernikahan usia dini masih berlangsung di berbagai belahan
dunia dan hal ini merefleksikan perlindungan hak asasi kelompok usia muda yang
terabaikan.3 Implementasi Undang-Undangpun seringkali tidak efektif dan terpatahkan
oleh adat istiadat serta tradisi yang mengatur norma sosial suatu kelompok masyarakat.4
Suatu studi literasi UNICEF menemukan bahwa interaksi berbagai faktor
menyebabkan anak berisiko menghadapi pernikahan di usia dini. Diketahui secara luas
bahwa pernikahan anak berkaitan dengan tradisi dan budaya, sehingga sulit untuk
mengubah.5 Alasan ekonomi, harapan mencapai keamanan sosial dan finansial setelah
1
Pambudy MN. Perkawinan anak melanggar undang-undang perkawinan. Diakses 25 Maret 2021.
http://cetak.kompas.com/read.
2
Palu B. Menyelamatkan generasi muda. Diakses tanggal 25 Maret 2021. www.bappenas.go.id.
3
IHEU. UN publishes IHEU statement: child marriage is child abuse. Diakses 25 Maret 2021.
www.iheu.org.
4
UNICEF. Child protection information sheet: child marriage. Diakses 25 Maret 2021].
www.unicef.org.. Lihat juga, UNPFA. Child marriage fact sheet. www.unpfa.org.
5
UNICEF. Early marriage: child spouses. Innocenti;7:2-29.

2
menikah menyebabkan banyak orangtua mendorong anaknya untuk menikah di usia
muda. Komunitas internasional menyadari pula bahwa masalah pernikahan anak
merupakan masalah yang sangat serius. Implikasi secara umum bahwa kaum wanita dan
anak yang akan menanggung risiko dalam berbagai aspek, berkaitan dengan pernikahan
yang tidak diinginkan, hubungan seksual yang dipaksakan, kehamilan di usia yang
sangat muda, selain juga meningkatnya risiko penularan infeksi HIV, penyakit menular
seksual lainnya, dan kanker leher rahim. Konsekuensi yang luas dalam berbagai aspek
kehidupan tentunya merupakan hambatan dalam mencapai kesiapan hidup di era
modern.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pernikahan dini?
2. Berapa batas usia pernikahan menurut agama dan perundang-undangan?
3. Apa hukum pernikahan usia dini?
4. Bagaimana pernikahan Dini Perspektif Psikologi?
5. Bagaimana pernikahan Dini Perspektif Kesehatan Alat Reproduksi?
6. Bagaimana Solusi mengatasi pernikahan dini?
C. Tujuan
1. Untuk mengetaui Pengertian
2. Untuk mengetahui Batas usia pernikahan menurut agama dan perundang-undangan
3. Untuk menganalisis Hukum pernikahan usia dini
4. Untuk menganalisis Pernikahan Dini Perspektif Psikologi
5. Untuk menganalisis Pernikahan Dini Perspektif Kesehatan Alat Reproduksi
6. Untuk memperoleh Solusi dalam mengatasi pernikahan dini

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pernikahan Dini


Menurut WHO, pernikahan dini atau disebut juga early married adalah pernikahan
yang dilakukan oleh pasangan atau salah satu pasangan masih dikategorikan anak-anak
atau remaja yang berusia dibawah usia 19 tahun. Menurut United Nations Children’s
Fund (UNICEF) menyatakan bahwa pernikahan usia dini adalah pernikahan yang
dilaksanakan secara resmi atau tidak resmi yang dilakukan sebelum usia 18 tahun. Ini
artinya, pernikahan apabila dilakukan padahal masih di bawah umur tersebut, maka
dinamakan pernikahan dini.
Pengertian secara umum, pernikahan dini yaitu merupakan ritual agung untuk
mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga. Remaja
itu sendiri adalah anak yang ada pada masa peralihan antara masa anak-anak ke
dewasa, dimana anak-anak mengalami perubahan-perubahan cepat disegala bidang.
Mereka bukan lagi anak-anak, baik bentuk badan, sikap,dan cara berfikir serta
bertindak, namun bukan pula orang dewasa yang telah matang.
Menurut Kementerian Kesehatan RI, pernikahan adalah akad atau janji nikah yang
diucapkan atas nama Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan awal dari kesepakatan
bagi calon pengantin untuk saling memberi ketenangan (sakinah) dengan
mengembangkan hubungan atas dasar saling cinta dan kasih (mawaddah wa rahmah).
Pernikahan adalah awal terbentuknya sebuah keluarga.6
Secara umum, pernikahan anak lebih sering dijumpai di kalangan keluarga miskin,
meskipun terjadi pula di kalangan keluarga ekonomi atas. Di banyak negara,
pernikahan anak seringkali terkait dengan kemiskinan. Negara dengan kasus
pernikahan anak, pada umumnya mempunyai produk domestik bruto yang rendah.
Pernikahan anak membuat keluarga, masyarakat, bahkan negara mengalami kesulitan
untuk melepaskan diri dari jerat kemiskinan dan hal ini tentunya menyebabkan kualitas
kesehatan dan kesejahteraan yang rendah baik anak maupun keluarga dan
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta, Kencana, 2006), 66.

4
lingkungannya. Walaupun tidak dapat digeneralisir alasan pernikahan dini tersebut
murni karena faktor ekonomi, karena dalam suatu kepercayaan pernikahan dini
dilakukan guna menjaga diri dari kemaksiatan atau pergaulan bebas.
Semakin muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan yang
dicapai oleh sang anak. Pernikahan anak seringkali menyebabkan anak tidak lagi
bersekolah, karena kini ia mempunyai tanggungjawab baru, yaitu sebagai istri dan
calon ibu, atau kepala keluarga dan calon ayah, yang diharapkan berperan lebih banyak
mengurus rumah tangga maupun menjadi tulang punggung keluarga dan keharusan
mencari nafkah. Pola lainnya yaitu karena biaya pendidikan yang tak terjangkau, anak
berhenti sekolah dan kemudian dinikahkan untuk mengalihkan beban tanggungjawab
orangtua menghidupi anak tersebut kepada pasangannya.
Dari berbagai penelitian didapatkan bahwa terdapat korelasi antara tingkat
pendidikan dan usia saat menikah, semakin tinggi usia anak saat menikah maka
pendidikan anak relatif lebih tinggi dan demikian pula sebaliknya. Pernikahan di usia
dini menurut penelitian UNICEF tahun 2006 tampaknya berhubungan pula dengan
derajat pendidikan yang rendah. Menunda usia pernikahan merupakan salah satu cara
agar anak dapat mengenyam pendidikan lebih tinggi. Meskipun tidak menutup
kemungkinan pada pada kenyataannya, terdapat pelajar usia dewasa dan telah menikah
lantas melanjutkan pendidikan jenjang yang lebih tinggi.
Ketidaksetaraan jender merupakan konsekuensi dalam pernikahan anak. Mempelai
anak memiliki kapasitas yang terbatas untuk menyuarakan pendapat, menegosiasikan
keinginan berhubungan seksual, memakai alat kontrasepsi, dan mengandung anak.
Demikian pula dengan aspek domestik lainnya. Dominasi pasangan seringkali
menyebabkan anak rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam
rumah tangga tertinggi terjadi di India, terutama pada perempuan berusia 18 tahun.
Perempuan yang menikah di usia yang lebih muda seringkali mengalami kekerasan.
Anak yang menghadapi kekerasan dalam rumah tangga cenderung tidak melakukan
perlawanan, sebagai akibatnya merekapun tidak mendapat pemenuhan rasa aman baik
di bidang sosial maupun finansial. Selain itu, pernikahan dengan pasangan terpaut jauh

5
usianya meningkatkan risiko keluarga menjadi tidak lengkap akibat perceraian, atau
menjanda karena pasangan meninggal dunia.
B. Batas usia pernikahan menurut perundang-undangan dan Agama
1. Perspektif Undang-Undang
Anak adalah seseorang yang terbentuk sejak masa konsepsi sampai akhir masa
remaja. Definisi umur anak dalam Undang-undang (UU) Pemilu No.10 tahun 2008
(pasal 19, ayat1) hingga berusia 17 tahun. Sedangkan UU Perkawinan No.1 Tahun
1974 menjelaskan batas usia minimal menikah bagi perempuan 16 tahun dan lelaki 19
tahun. Definisi anak berdasarkan UU No. 23 tahun 2002, adalah seseorang yang belum
berusia 18 tahun, termasuk dalam anak yang masih berada dalam kandungan.
Pernikahan anak didefinisikan sebagai pernikahan yang terjadi sebelum anak mencapai
usia 18 tahun, sebelum anak matang secara fisik, fisiologis, dan psikologis untuk
bertanggungjawab terhadap pernikahan dan anak yang dihasilkan dari pernikahan
tersebut.7
Adapun yang terbaru menindaklanjuti Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan tersebut kemudian telah ditetapkan usia minimal diperbolehkannya
perempuan menikah yang semula dari 16 tahun menjadi 19 tahun, sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 16 Tahun 2019. Dengan demikian, usia kawin
perempuan dan laki-laki sama, yaitu 19 tahun. Namun, UU perkawinan tetap mengatur
izin pernikahan di bawah usia 19 tahun. Syaratnya, kedua orang tua calon mempelai
meminta dispensasi ke pengadilan agama bagi calon mempelai beragama Islam.
Dispensasi yang dimaksud adalah,8 terdapat alasan logis pernikahan harus dilakukan di
bawah usian 19 tahun.9
2. Perspektif Agama
Sedangkan secara agama tepatnya Al-Qur’an dan Hadits tidak ada keterangan
yang jelas tentang batasan umur menikah. Kedua sumber tersebut hanya menegaskan
bahwa seseorang yang akan melangsungkan pernikahan haruslah merupakan orang
7
BKKBN; Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi, Pendewasaan Usia
Perkawinan dan Hak-hak Reproduksi bagi Remaja Indonesia Perempuan, (Jakarta: 2010), 19
8
Wisono Mulyadi, Anjar Sri Ciptorukmi Nugraheni, “Akibat Hukum Penetapan Dispensasi
Perkawinan Anak di Bawah Umur (Studi Kasus di Pengadilan Agama Pacitan), Privat L
9
Undang-Undang Republik Indonesia, Pasal 7 ayat (1) No. 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan.

6
yang sudah layak dan dewasa sehingga biasa mengatur dan menjalani kehidupan
rumah tangganya dengan baik. Dan dengan kedewasaan itu pulalah pasangan suami
istri akan mampu menunaikan hak dan kewajibannya secara timbal balik. 10
Sebagaimana dalam Surat Al-Nisa’ ayat 6 dijelaskan:
       
       
          
       
       
Artinya:. dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta),
Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta
anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu)
mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan
Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut.
kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai
Pengawas (atas persaksian itu).11
Ayat tersebut menegaskan bahwa seseorang diperkenankan menikah ketika telah
cukup umur unuk menikah. Dalam bahasa lain pernikahan diperbolehkan terjadi saat
seseorang telah balig ataupun dewasa.
Fakta sejarah menginformasikan bahwa Nabi Muhammad menikahi Siti Aisyah
ketika usia Aisyah masih belia. Hadits Nabi dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhori, Muslim, Abu Daud dan Al-Nasa’i yang artinya: “Nabi mengawiniku saat
usiaku masih 6 (enam) tahun dan hidup bersama pada usiaku 9 tahun.”12 Bahkan
praktik ini dilakukan para sahabat Nabi, contohnya anak perempuan Sahabat Ali bin

10
Jasser Auda, Maqasid al-Shari‘ah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach (London &
Washington: The International Institute of Islamic Thought, 2008), 2
11
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya (Surabaya, Surya Cipta Aksara, 1993), 115-
116.
12
Ahmad Mudjab Mahalli and Ahmad Rodli Hasbullah, Hadits-+DGLWV_ 0XWWDIDT_ µ$ODLK
(Jakarta: Kencana, 2004), 34.

7
Abi Thalib yakni Ummi Kultsum yang masih sangat muda dinikahkan dengan sahabat
Umar Bin Khattab.13
Begitu pula dalam kitab Fiqh Mazahib Al-Arba’ah tidak ada penjelasan rinci
mengenai batasan usia seseorang diperbolehkan menikah. Ketika membahas
persyaratan calon suami dan istri saat akan menikah, ulama empat madzhab atau para
pengikutnya (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) tersebut tidak
memberi batasan konkrit secara Islam:
a. Menurut Hanafiyah, syarat kedua calon mempelai adalah berakal, balig dan
merdeka alias bukan budak,
b. Menurut Malikiah, syarat pernikahan adalah tidak ada larangan yang
menghalangi pernikahan, pihak perempuan bukanlah istri orang lain, istri tidak
dalam masa iddah, calon suami istri bukanlah satu mahram,
c. Menurut Syafi’iyah, syarat calon suami adalah bukan mahram dari calon istri,
bukan paksaan. Untuk calon istri, adalah bukan mahram calon suami, tidak ada
penghalang untuk menikah,
d. Menurut Hanabilah, syarat pernikahan adalah harus ada kerelaan dan tidak
boleh dalam keadaan terpaksa.14
Menurut Wahbah Zuhaili pakar Fiqh dari Damaskus, syarat kedua calon mempelai
yang menikah terdiri dari 3 (tiga) perkara, yaitu 1) Berakal, 2) Baligh dan merdeka,
dan 3) Perempuan yang akan dinikahi harus ditentukan secarah utuh. Selain itu yang
harus dipenuhi agar dapat melangsungkan pernikahan adalah mukallaf (orang yang
dibebankan padanya kewajiban hukum syari’ah) dan istita’ab (mampu melaksanakan
hukum syari’ah).15
C. Hukum pernikahan usia dini
Konvensi Hak Anak (KHA) berlaku sebagai hukum internasional dan KHA
diratifikasi melalui Keppres No.36 tahun 1990, untuk selanjutnya disahkan sebagai
undang-undang Perlindungan Anak (UU PA) No.23 tahun 2002. Pengesahan UU

13
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan (Yogyakarta: LKIS, 2007), hlm. 92.
14
Abdurrahman al-Jaziriy, Kitab al- Fiqh Ala Madzahib al-Arba’ah, Jilid 4 (Beirut: Darul Fikr, t.t),
13-22.
15
Wahbah Zuhailiy, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 9 (tk: tp, tt), 84.

8
tersebut bertujuan untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak. Dalam UU
PA dinyatakan dengan jelas bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin
kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak
yang merupakan hak asasi manusia.16
Konvensi Hak Anak telah menjadi bagian dari sistem hukum nasional, sehingga
sebagai konsekuensinya kita wajib mengakui dan memenuhi hak anak sebagaimana
dirumuskan dalam KHA. Salah satu prinsip dalam KHA yaitu “kepentingan yang
terbaik bagi anak”. Maksud dari prinsip “kepentingan yang terbaik bagi anak” adalah
dalam semua tindakan yang berkaitan dengan anak yang dilakukan oleh pemerintah,
masyarakat, badan legislatif dan yudikatif, kepentingan yang terbaik bagi anak harus
menjadi pertimbangan utama. Dalam UU PA pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa
“perlindungan anak” adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.17
Dalam deklarasi hak asasi manusia, dikatakan bahwa pernikahan harus dilakukan
atas persetujuan penuh kedua pasangan. Namun kenyataan yang dihadapi dalam
pernikahan usia dini ini, persetujuan menikah seringkali merupakan akumulasi dari
paksaan atau tekanan orangtua/wali anak, sehingga anak setuju untuk menikah
seringkali merupakan rasa bakti dan hormat pada orangtua. Orangtua beranggapan
menikahkan anak mereka berarti suatu bentuk perlindungan terhadap sang anak,
namun hal ini justru menyebabkan hilangnya kesempatan anak untuk berkembang,
tumbuh sehat, dan kehilangan kebebasan dalam memilih. Pernyataan senada juga
dikeluarkan oleh International Humanist and Ethical Union, bahwa pernikahan anak
merupakan bentuk perlakuan salah pada anak (child abuse). Dalam hal ini, mengingat
berbagai konsekuensi yang dihadapi anak terkait dengan pernikahan dini sebagaimana
telah dibahas, maka pernikahan anak tentunya menyebabkan tidak terpenuhinya prinsip

16
Ade Maman Suherman and J. Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan Dan
KewebanganBertindak Berdasarkan Batas Usia) (Jakarta: NLRP, 2010), 9±10.
17
Yusuf Hanafi, Kontroversi Perkawinan Anak Di Bawah Umur Perspektif Fikih Islam, HAM
Internasional, Dan UU Nasional (Bandung: Mandar Maju, 2011), 27.

9
“yang terbaik untuk anak”, sehingga hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi
anak.18
Dalam UU Perlindungan Anak dengan jelas disebutkan pula mengenai kewajiban
orangtua dan masyarakat untuk melindungi anak, serta kewajiban orangtua untuk
mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (pasal 26). Sangsi pidana 19
berupa hukuman kurung penjara dan denda diatur dalam pasal 77-90 bila didapatkan
pelanggaran terhadap pasal-pasal perlindungan anak.
D. Pernikahan Dini Perspektif Psikologi
Komplikasi psikososial akibat pernikahan dan kehamilan di usia dini didukung
oleh suatu penelitian yang menunjukkan bahwa keluaran negatif sosial jangka panjang
yang tak terhindarkan, ibu yang mengandung di usia dini akan mengalami trauma
berkepanjangan, selain juga mengalami krisis percaya diri. Anak juga secara
psikologis20 belum siap untuk bertanggungjawab dan berperan sebagai istri, partner
seks, ibu, sehingga jelas bahwa pernikahan anak menyebabkan imbas negatif terhadap
kesejahteraan psikologis serta perkembangan kepribadian mereka.
Saat anak yang masih bertumbuh mengalami proses kehamilan, terjadi persaingan
nutrisi dengan janin yang dikandungnya, sehingga berat badan ibu hamil seringkali
sulit naik, dapat disertai dengan anemia karena defisiensi nutrisi, serta berisiko
melahirkan bayi dengan berat lahir rendah. Didapatkan bahwa sekitar 14% bayi yang
lahir dari ibu berusia remaja di bawah 17 tahun adalah prematur. Anatomi panggul
yang masih dalam pertumbuhan berisiko untuk terjadinya persalinan lama sehingga
meningkatkan angka kematian bayi dan kematian neonatus. Depresi pada saat
berlangsungnya kehamilan berisiko terhadap kejadian keguguran, berat badan lahir
rendah dan lainnya. Depresi juga berhubungan dengan peningkatan tekanan darah,
sehingga meningkatkan risiko terjadinya eklamsi yang membahayakan janin maupun
ibu yang mengandungnya.

18
Andi Syamsu Alam, Usia Ideal Memasuki Dunia Perkawiann Sebuah Ikhtiar Mewujudkan
Keluarga Sakinah (Jakarta: Kencana Mas, 2005), 42-43.
19
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-
Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007), 67.
20
Andi Mapreane, Psikologi Remaja (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), 36-40.

10
Asuhan antenatal yang baik sebenarnya dapat mengurangi terjadinya komplikasi
kehamilan dan persalinan. Namun sayangnya karena keterbatasan finansial,
keterbatasan mobilitas dan berpendapat, maka para istri berusia muda ini seringkali
tidak mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkannya,
E. Pernikahan Dini Perspektif Kesehatan Alat Reproduksi
Penting untuk diketahui bahwa kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun
meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada anak. Kehamilan
di usia yang sangat muda ini ternyata berkorelasi dengan angka kematian dan kesakitan
ibu. Disebutkan bahwa anak perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat
meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun,
sementara risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun. Angka
kematian ibu usia di bawah 16 tahun di Kamerun, Etiopia, dan Nigeria, bahkan lebih
tinggi hingga enam kali lipat.21
Anatomi tubuh anak belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan,
sehingga dapat terjadi komplikasi berupa obstructed labour serta obstetric fistula. Data
dari UNPFA tahun 2003, memperlihatkan 15%-30% di antara persalinan di usia dini
disertai dengan komplikasi kronik, yaitu obstetric fistula. Fistula merupakan kerusakan
pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina.
Wanita berusia kurang dari 20 tahun sangat rentan mengalami obstetric fistula.
Obstetric fistula ini dapat terjadi pula akibat hubungan seksual di usia dini. Pernikahan
anak berhubungan erat dengan fertilitas yang tinggi, kehamilan dengan jarak yang
singkat, juga terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan.22
Mudanya usia saat melakukan hubungan seksual pertamakali juga meningkatkan
risiko penyakit menular seksual dan penularan infeksi HIV. Banyak remaja yang
menikah dini berhenti sekolah saat mereka terikat dalam lembaga pernikahan, mereka
seringkali tidak memahami dasar kesehatan reproduksi, termasuk di dalamnya risiko
terkena infeksi HIV. Infeksi HIV terbesar didapatkan sebagai penularan langsung dari

21
Mahato, Santosh K. “Causes and Consequences of Child Marriage: A Perspective”, International
Journal of Scientific & Engineering Research, Vol. 7 No. 7, Juli 2016, hlm. 698.
22
Eka Yuli Handayani, “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pernikahan Usia Dini Pada
Remaja Putri di Kecamatan Tambusai Utara Kabupaten Rokan Hulu”, Jurnal Maternity

11
partner seks yang telah terinfeksi sebelumnya. Lebih jauh lagi, perbedaan usia yang
terlampau jauh menyebabkan anak hampir tidak mungkin meminta hubungan seks
yang aman akibat dominasi pasangan. Pernikahan usia muda juga merupakan faktor
risiko untuk terjadinya karsinoma serviks. Keterbatasan gerak sebagai istri dan
kurangnya dukungan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karena terbentur kondisi
ijin suami, keterbatasan ekonomi, maka penghalang ini tentunya berkontribusi terhadap
meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas pada remaja yang hamil.23
Terkait dengan kesehatan reproduksi dan pernikahan dini, maka dokter anak
berperan serta dalam memberikan penyuluhan pada remaja dan orangtua mengenai
pentingnya mencegah terjadinya pernikahan di usia dini serta membantu orangtua
untuk dapat memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak sesuai tahapan
usianya. Dokter anak juga berperan membantu remaja untuk mendapatkan informasi
dan pelayanan kesehatan reproduksi juga alat kontrasepsi, menilai kemampuan
orangtua berusia remaja dalam mengasuh anak untuk mencegah terjadinya
penelantaran atau perlakuan salah pada anak, serta berpartisipasi dalam masyarakat
untuk mencegah terjadinya pernikahan di usia dini.24
F. Solusi Pernikahan Dini
Tidak ada yang salah dalam pernikahan dini sebab sejatinya pernikahan itu adalah
ibadah, yang perlu diingat adalah kesiapan dari calon pengantin (suami-istri) sehingga
hasil yang dicapai untuk generasi Indonesia lebih baik serta untuk peradaban dapat
dicapai karena generasi muda itu adalah penggerak ekonomi bangsa.25
Apabila diperhatikan dengan seksama, ternyata pernikahan memang tidak hanya
persoalan ibadah namun dapat pula dipicu persoalan ekonomi, harga diri, adat istiadat
dan kesiapan mental, modal dan moral (tanggungjawab).
Sebagai hamba Allah SWT yang baik semestinya manusia menjauhi maksiat yang
menjurus kepada zina. Sehingga anjuran Al-Qur’an hendaknya manusia menundukkan
23
Djamilah, Reni Kartikawati. “Dampak Perkawinan Anak di Indonesia”, Jurnal Studi Pemuda, Vol.
3, No. 1, Mei 2014, hlm. 2, online pada https://journal.ugm.ac.id/jurnalpemuda/article/viewFile/32033/19357
24
Sarwono, Sarlito W, Psikologi Remaja,(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013) hlm. 14.
25
Sakdiyah, Halimatus dan Kustiawati Ningsih. “Mencegah pernikahan dini untuk membentuk
generasi berkualitas (Preventing early-age marriage to establish qualified generation)”, Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Vol. 26, No.1, 2013, hlm. 36, online pada http://journal.unair.ac.id/download-
fullpapers-mkp9b9d8e2432full.pdf

12
pandangan terhadap lawan jenis apabila dikhawatirkan hal tersebut dapat memicu
syahwat yang tidak halal, sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-Nur ayat 30
sebagaimana berikut:
        
        
Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".26
Menahan pandangan (menundukkan pandangan) dapat dianalogikakan seperti
menyibukkan diri dengan hal-hal positif seperti bekerja serta menimba ilmu ataupun
melanjutkan studi lebih tinggi (S1, S2, dan S3). Akan tetapi apabila secara mental dan
moral (tanggungjawab) telah siap maka sangat dianjurkan menikah. Adapun modal
(biaya menikah dan biaya kehidupan sehari-hari) atas izin Allah SWT akan ada saja
rizki dari Sang Maha Pengasih. Dikarenakan syarat pernikahan dalam Islam yang
pertama adalah baligh.
Sedangkan ketika manusia itu posisinya sebagai warga negara yang baik
seharusnya mematuhi hukum perundang-undangan Republik Indonesia yang telah
mengatur bahwa usia pernikahan bagi calon istri maupun suami minimal 19 tahun.
Adapun usian minimal 19 tahun tersebut pastinya telah melalui perhitungan matematis
saintifik terkait kesiapan perspektif ilmu kesehatan alat reproduksi serta pertimbangan
yang panjang terkait kajian psikologi, sosiologi dan ekonomi.
.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Secara umum, pernikahan dini yaitu merupakan ritual agung untuk mengikat dua
insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga. Remaja itu sendiri
adalah anak yang ada pada masa peralihan antara masa anak-anak ke dewasa, dimana
anak-anak mengalami perubahan-perubahan cepat disegala bidang. Mereka bukan

26
Al-Qur’an Surat Al-Nur, Ayat 30.

13
lagi anak-anak, baik bentuk badan, sikap,dan cara berfikir serta bertindak, namun
bukan pula orang dewasa yang telah matang.
2. Secara undang-undang pernikahan diperkenankan apabila calon suam-istri minimal
usia 19 tahun, apabila menikah di bawah usia tersebut maka disebut pernikahan dini
yang dilarang oleh Undang-Undang. Namun, apabila tetap akan menikah dibawah
usia 19 tahun pada kasus tertentu diperkenankan oleh pengadilan agama dengan
syarat kedua wali calon mempelai laki-laki dan perempuan mengajukan dispensasi
usia pernikahan. Adapun secara agama, batasan usia pernikahan tidak diatur secara
terperinci baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Nisa’
ayat 6 dijelaskan yang pada intinya diperkenankan menikah apabila telah cukup umur
(balig) hal ini sesuai dengan pendapat pengikut para ualam madzhab yang disebut
Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah yang menjadikan balig sebagai
syarat yang pertama dalam pernikahan. Sedangkan dalam Hadits dalam shahih
Bukhori dikabarkan Siti Aisyah dinikahi oleh Nabi Muhammad SAW pada usia 6
tahun dan berkumpul dengan Nabi pada usia 9 tahun.
3. Dalam UU Perlindungan Anak dengan jelas disebutkan pula mengenai kewajiban
orangtua dan masyarakat untuk melindungi anak, serta kewajiban orangtua untuk
mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (pasal 26). Sangsi pidana
berupa hukuman kurung penjara dan denda diatur dalam pasal 77-90 bila didapatkan
pelanggaran terhadap pasal-pasal perlindungan anak.
4. Pernikahan dini perspektif Psikologi, anak secara psikologis belum siap untuk
bertanggungjawab dan berperan sebagai istri, partner seks, ibu, atau menjadi suami
dan ayah sehingga jelas bahwa pernikahan anak menyebabkan imbas negatif terhadap
kesejahteraan psikologis serta perkembangan kepribadian mereka.
5. Pernikahan dini perspektif keamanan alat reproduksi, disebutkan bahwa anak
perempuan yang menikah usia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat
hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara risiko ini
meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun.
6. Solusi terbaik dalam menghadapi pernikahan dini adalah, hendaknya manusia
menyakini pernikahan adalah solusi terbaik dalam memenuhi kebutuhan biologisnya.

14
Di samping itu, tujuan mulia dari pernikahan itu adalah ibadah kepada Allah SWT.
Namun sejatinya pernikahan yang dilandasi dengan niatan ibadah, mencegah diri dari
maksiat, menyalurkan kebutuhan biologis secara halal tentunya haruslah pula
berdasarkan kesipan mental, modal, dan moral (tanggungjawab) sehingga pernikahan
akan lebih menguntungkan, namun apabila belum ada jaminan kesiapan mental,
modal dan moral (tanggungjawab) maka manusia tersebut hendaknya menundukkan
pandangannya dengan jalan puasa ataupun mengalihkan perhatiannya untuk hal-hal
positif semisal bekerja dan menuntut ilmu.

15
DAFTAR PUSTAKA

Alam, Andi Syamsu, Usia Ideal Memasuki Dunia Perkawiann Sebuah Ikhtiar Mewujudkan
Keluarga Sakinah Jakarta: Kencana Mas, 2005
al-Jaziriy, Abdurrahman, Kitab al- Fiqh Ala Madzahib al-Arba’ah, Jilid 4 Beirut: Darul
Fikr, t.t
Al-Qur’an Surat Al-Nur, Ayat 30.
Auda, Jasser, Maqasid al-Shari‘ah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach
London & Washington: The International Institute of Islamic Thought, 2008
BKKBN; Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi, Pendewasaan Usia
Perkawinan dan Hak-hak Reproduksi bagi Remaja Indonesia Perempuan, Jakarta:
2010
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya Surabaya, Surya Cipta Aksara,
1993
Djamilah, Reni Kartikawati. “Dampak Perkawinan Anak di Indonesia”, Jurnal Studi
Pemuda, Vol. 3, No. 1, Mei 2014, hlm. 2, online pada
https://journal.ugm.ac.id/jurnalpemuda/article/viewFile/32033/19357
Hanafi, Yusuf, Kontroversi Perkawinan Anak Di Bawah Umur Perspektif Fikih Islam,
HAM Internasional, Dan UU Nasional Bandung: Mandar Maju, 2011
Handayani, Eka Yuli, “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pernikahan Usia Dini
Pada Remaja Putri di Kecamatan Tambusai Utara Kabupaten Rokan Hulu”, Jurnal
Maternity
IHEU. UN publishes IHEU statement: child marriage is child abuse. Diakses 25 Maret
2021. www.iheu.org.
Mahalli, Ahmad Mudjab and Ahmad Rodli Hasbullah, Hadits-+DGLWV_ 0XWWDIDT_
µ$ODLK (Jakarta: Kencana, 2004
Mahato, Santosh K. “Causes and Consequences of Child Marriage: A Perspective”,
International Journal of Scientific & Engineering Research, Vol. 7 No. 7, Juli 2016
Mapreane, Andi, Psikologi Remaja Surabaya: Usaha Nasional, 1982
Muhammad, Husein, Fiqh Perempuan Yogyakarta: LKIS, 2007
Mulyadi, Wisono, Anjar Sri Ciptorukmi Nugraheni, “Akibat Hukum Penetapan Dispensasi
Perkawinan Anak di Bawah Umur, Studi Kasus di Pengadilan Agama Pacitan
Palu B. Menyelamatkan generasi muda. Diakses tanggal 25 Maret 2021.
www.bappenas.go.id.
Pambudy MN. Perkawinan anak melanggar undang-undang perkawinan. Diakses 25 Maret
2021. http://cetak.kompas.com/read.
Sakdiyah, Halimatus dan Kustiawati Ningsih. “Mencegah pernikahan dini untuk
membentuk generasi berkualitas (Preventing early-age marriage to establish qualified
generation)”, Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Vol. 26, No.1, 2013, , online
pada http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-mkp9b9d8e2432full.pdf
Sarwono, Sarlito W, Psikologi Remaja,Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013
Suherman, Ade Maman and J. Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur
(Kecakapan Dan KewebanganBertindak Berdasarkan Batas Usia) Jakarta: NLRP,
2010

16
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan Jakarta: Kencana, 2007
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Jakarta, Kencana, 2006
Undang-Undang Republik Indonesia, Pasal 7 ayat (1) No. 16 Tahun 2019 Tentang
Perkawinan.
UNICEF. Child protection information sheet: child marriage. Diakses 25 Maret 2021.
www.unicef.org.
UNICEF. Early marriage: child spouses. Innocenti;7:2-29.
UNPFA. Child marriage fact sheet. www.unpfa.org.
Zuhailiy, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 9 tk: tp, tt

17

Anda mungkin juga menyukai