(KHI)
SKRIPSI
Disusun Oleh:
Adi Riana
NIM : S.317181
NIRM : 2054010117004
FAKULTAS SYARIAH
Nomor :1
Kepada Yth.
Assalamu’alaikum wr.wb
Fakultas : syariah
1. Out Line
2. Isi BAB I (pendahuluan)
3. Daftar pustaka
Demikian surat ini saya sampaikan, atas persetujuannya saya ucapkan terima
kasih
Wassalamu’alaikum wr.wb
Hormat saya
Adi riana
S.317181
OUT LINE
HALAMAN SAMPUL...............................................................................................................
HALAMAN JUDUL...................................................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN.....................................................................................................
HALAMAN PERNYATAAN.....................................................................................................
ABSTRAK .............................................................................................................................
KATA PENGANTAR.................................................................................................................
DAFTAR ILUSTRASI...............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................
A. PERNIKAHAN
1. Pengertian nikah......................................................................................
2. Syarat dan Rukun nikah..........................................................................
3. Hukum Nikah.........................................................................................
4. Tujuan perkawinan..................................................................................
5. Dasar-dasar hukum perkawinan..............................................................
6. Pengertian pernikahan dini......................................................................
B. KOMPILASI HUKUM ISLAM................................................................
1. Pengertian dan asal usul KHI.................................................................
2. Pernikahan dini menurut kompilasi hukum islam .................................
3. Pernikan dini menurut para ulama.........................................................
BAB III PERNIKAHAN DINI DITINJAU DARI HUKUM ISLAM.........................
BAB V PENUTUP..........................................................................................................
A. Kesimpulan...................................................................................................
B. Saran..............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Ibadah dalam arti khusus yaitu ibadah yang macam dan cara
melaksanakannya telah ditentukan oleh syari’at (ketentuan dari Allah dan
Rasulullah), bersifat mutlak manusia tidak ada wewenang, merubah, menambah,
mengurangi atau membuat cara sendiri dalam beribadah. Dikenal dengan ibadah
mahdah.
Ibadah dalam arti umum atau ibadah ghoiru mahdah yaitu menjalani
kehidupan untuk memperoleh keridaan Allah SWT dengan mentaati syari’at-Nya.
Bentuk dan macam ibadah ini tidak ditentukan secara terperinci, karena itu apa
saja kegiatan seorang muslim dapat bernilai ibadah asalkan kegiatan tersebut
1
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1988, h. 104
bukan perbuatan yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya (syari’at) serta diniatkan
untuk mencari ridha Allah.
Muhammad idris, ramulya, hukum pernikahan islam, suatu analisis dari undang-
2
undang no 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum islam, (jakarta: bumi aksara, cet ke 2, 1999) h. 2
Indonesia, nampak dirasakan pentingnya pembatasan umur, ini untuk mencegah
praktek pernikahan terlampau muda yang sering menimbulkan akibat negatif.
Pasal 7 ayat (1) undang-undang pernikahan menetapkan bahwa pria harus
mencapai umur 19 (sembilan belas ) tahun dan pihak wanita harus mencapai 16
(enam belas) tahun. Begitu juga diatur dalam kompilasi hukum islam dalam pasal
15 ayat (1) yaitu bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,
pernikahan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur
yang ditetapkan dalam pasal 7 undang-undang no.1 tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya 19 (sembilan belas) tahun dan calon istri sekurang-kurangnya
16 (enam belas) tahun.3
3
Hilman hadikusuma, hukum perkawinan indonesia (bandung: bandar maju, 1990), h.
6
Idris ramulyo tinjauan beberapa pasal UU No 1 Tahun 1974 dari segi hukum
4
Pernikahan usia dini bukan hal yang baru di Indonesia. Pernikahan dini
merupakan permasalahan sosial yang terjadi pada remaja, korban paling banyak
dari pernikahan dini adalah remaja perempuan. Secara umum kasus pernikahan
usia dini banyak terjadi di Pedesaan dari pada di perkotaan, dan sering terjadi
padda keluarga miskin, berpendidikan rendah dan dropout dari sekolah
(Ariviaetal, 2016).
Jadi artinya kasus pernikahan usia dini dapat terjadi dimana saja dan
kapan saja, untuk itu orang tua dan masyarakat harus membantu anak menikah
pada usia yang tepat.
Pada dasarnya dalam pandangan psikologis usia remaja adalah awal dari
fase perkembangan sosial. Bahkan terkadang perkembangan sosial remaja lebih
mementingkan kehidupan sosialnya diluar daripada ikatan sosialnya dalam
keluarga. Perkembangan sosial remaja pada fase ini merupakan titik balik pusat
perhatian lingkungan sosialnya sebagai perhatian utama.
E. Sistematika Penulisan
BAB II
KAJIAN TEORI
A. PERNIKAHAN.
5
AL-qur’an dan terjemah
sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana
untuk membina keluarga yang islami.
1. Pengertian perkawinan
6
Sunan Abi Daud, Dar Al-Fikr, Juz 2, Hlm, 219, Bab; An-Nahy ‘An Al-Tazjij Man
Lam Yulad Min Al-Nisa’, No Hadist; 2050
bersetubuh, berkumpul dan akad.7 Dalam kamus bahasa Indonesia ada dua kata
yang menyangkut masalah ini, yaitu kawin dan nikah. Kawin adalah membentuk
keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri, menikah. 8 Perkawinan
mengandung arti perihal (urusan dan sebagainya) kawin; pernikahan; pertemuan
hewan jantan dan betina secara seksual;9
7
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqhal-Islami Wa Addilatuhu, Juz VII (Damsyik, Darl Fikr
1989)H. 29
8
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3, Cet.1
(Jakarta: Balai Pustaka 2001)H. 518
9
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3, Cet.1
(Jakarta: Balai Pustaka 2001)H. 519
10
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3, Cet.1
(Jakarta: Balai Pustaka 2001)H. 782
11
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3, Cet.1 (Jakarta: Balai
Pustaka 2001)H. 782
12
Golongan Hanafiah mendefinisikan nikah itu adalah akad yang memfaedahkan
memiliki, bersenang-senang, dengan sengaja, golongan As-Syafiiyah nikah adalah akad yang
mengandung ketentuan hukum kebolehan watha’ dengan lafadz nikah atau tajwiz atau yang
semakna dengan keduanya. Golongan Malikiyah nikah adalah akad yang mengandung ketentuan
hukum semata-mata membolehkan watha’, bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada
diri seorang wanita yang akan nikah deengannya, dan golongan Hanabilah nikah adalah akad yang
menggunakan lafadz nikah atau tajwiz guna membolehkan manfaat bersenang-senang dengan
wanita.
13
Djaaman Nur, Fiqh Munakahat, Cet.1 (Semarang: Toha Putra, 1993)H.1
bersetubuh., kebalikan dari madzhab Hanafi.14Dari perbedaan definisi ini
mengakibatkan perbedaan pula hukum nikah tentang menikahi anak yang bukan
dari akibat perkawinan yang sah.
14
Peunoh Daly, Hukum Perkawainan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1988), Hal. 105
15
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Juz VII, (Damsyiq: Dar Al-
Fikr, 1989), Hal. 39
16
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis Dari Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Hal. 2.
17
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961), Hal.
61.
yaitu suami dan isteri, maupun orang lain yaitu masyarakat luas. Sedangkan
ikatan batin adalah ikatan yang tidak kelihatan secara langsung, merupakan
ikatan psikologis yang mengikat suami dan isteri yaitu perasaan cinta dan tanpa
paksaan.
a. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri.
b. Ikatan lahir batin ditunjukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia, kekal dan sejahtera.
c. Ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan
ketuhanan yang maha esa.
Perkawinan juga harus dilihat dari beberapa segi antara lain:
1) Perkawinan dilihat dari segi hukum.
Rukun merupakan sebagian dari hakikat pernikahan itu sendiri dan jika
tidak dipenuhi maka pernikahan tidak akan terjadi.
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang
lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 11
Pasal 12
3. Hukum Perkawinan
Menikah hukum asalnya adalah sunnah (mandub) menrut imam syafi’I
dan hanafi sedangkan golongan zahiri menyatakan bahwa hukum asal nikah
adalah wajib. Firman Allah SWT
Namun hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi hukum lain,
misalnya wajib atau haram, tergantung orang keadaan orang yang melaksanakan
hukum nikah. Jika seseorang tidak dapat menjaga kesucian dan akhlaknya kecuali
dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Sebab menjaga kesucian
dan akhlak adalah wajib atas setiap muslim, dan jika ini tidak dapat terwujud
kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya sesuai kaidah
syara ma la yatimmul wajibu illa bihi fahua wajib ( ( مااليتم وجب ال به فهووجبjika
kewajiban tidak sempura kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib juga
hukumnya.18 Dapat juga pernikahan menjadi haram jika menjadi perantaraan
kepada yang haram. Seperti pernikahan untuk menyakiti istri, atau pernikahan
yang akan membahayakan agama isteri/suami.
18
Taqiyudin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur (TP. T-TP) H. 86
a. Wajib, bagi laki-laki yang ingin sekali menggauli wanita dan kurang
mampu mengendalikan dirinya kejurang kejahatan dan mampu
membiayai nafkah keluarga.
b. Sunat, bagi laki-laki untuk memperoleh keturunan dan memelihara diri
dari berbuat zina dan ia mampu.
c. Mubah, apabila seseorang berkeyakinan mampu menjaga diri dan
seandainya menikah tidak akan mengabaikan kewajibannya sebagai
suami atau isteri.
d. Makruh, laki-laki yang jika menikah akan menimbulkan kemusykilan
bagi isteri dan keturunannya.
e. Haram, bagi laki-laki yang tidak mampu serta diduga berat akan
berbuat dzalim kepada isterinya..
4. Tujuan Perkawinan
Tanpa adanya kesatuan tujuan antara suami dan istri dalam keluarga dan
kesadaran bahwa tujuan itu harus dicapai bersama-sama. Maka dapat dibayangkan
19
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan Pasal 1
bahwa keluarga itu akan mudah mengalami hambatan-hambatan yang merupakan
sumber permasalahan yang besar dalam keluarga, akhirnya dapay menuju
keretakan keluarga yang berakhir lebih jauh sampai kepada perceraian. Tujuan
adalah merupakan titik tuju bersama yang akan diusahakan untuk dicapai secara
bersama-sama.
َ ِق لَ ُك ْم ِّم ْن اَ ْنفُ ِس ُك ْم اَ ْز َواجًا لِّتَ ْس ُكنُ ْٓوا اِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّو َرحْ َمةً ۗاِ َّن فِ ْي ٰذل
ك َ ََو ِم ْن ٰا ٰيتِ ٖ ٓه اَ ْن خَ ل
َت لِّقَوْ ٍم يَّتَفَ َّكرُوْ نٍ اَل ٰ ٰي
ِ ْصنُ لِ ْلفَر
ج َو َم ْن َل ْم َ ْص ِر َوأَح
َ َب َم ِن ا ْستَطَا َع ِم ْن ُك ُم ْالبَا َءةَ فَ ْليَتَ َز َّوجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِ ْلب
ِ يَا َم ْع َش َر ال َّشبَا
يَ ْستَ ِط ْع فَ َعلَ ْي ِه بِالصَّوْ ِم فَإِنَّهُ لَهُ ِو َجاء
Jika perspektif yang pertama diatas dilihat berdasarkan batasan usia fisik
atau dalam bahasa psikologi disebut dengan chronological Age (CA). sementara
batasan yang kedua diperhatikan berdasarkan MA atau Mental Age artinya usia
mental atau psikis (yang berkisar antara usia 18-40 tahun, seiring perkembangan
dan perubahan-perubahan fisik dan psikologis) berdasarkan usia psikis yang
ditentukan melalui tugas-tugas perkembangan masa dewasa awal atau dewasa
dini, maka ia sudah siap untuk melaksanakan pernikahan, meski ia belum berusia
20 dan 25 tahun. Dengan demikian pernikahan yang terjadi dibawah usia
perkembangan tersebut dapat dianggap sebagai pernikahan dini. Dimana salah
satu tugas perkembangan dari dewasa awal adalah mengenal lawan jenis secara
lebih serius dan siap memasuki jenjang pernikahan.
Hal ini berarti antara anak dan kedua orang tua bersama-sama untuk
menipu masyarakat dengan cara melangsungkan pernikahan yang mulia dengan
maksud untuk menutupi aib yang telah dilakukan oleh anaknya. Dan mereka
berharap agar masyarakat untuk mencium “bau busuk” yang telah dilakukan oleh
anaknya bahkan sebaliknya memberikan ucapan selamat dan ikut juga
berbahagia.20
Secara ekonomi berarti sudah mampu mencari atau memberi nafkah dan
sudah mampu membayar mahar, sedangkan secara psikis adalah kedua belah
pihak sudah masak jiwa raganya. Perkawinan dapat dikatakan ideal jika sudah
mempunyai tiga unsur di atas (kemampuan biologis, ekonomis dan psikis), karena
ketiga kemampuan tersebut telah ada pada seseorang ketika sudah berumur 19
tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
20
Abu Al Ghifari, Pernikahan Dini Dilemma Generasi Extravaganza (Bandung:
Mujahid Pres, 2002)H, 20
B. KOMPILASI HUKUM ISLAM
1. Pengertian Dan Asal Usul Kompilasi Hukum Islam (KHI)
23
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta:CV Akademik
Presindo 2001),H. 14
pengantin pria belum berusia 19 tahun atau wanita 16 tahun disebut
perkawinan dibawah umur atau belum dewasa.
Dalam fiqh atau hukum islam tidak ada batasan minimal usia
perkawinan untuk dijadikan sebagai syarat melaksanakan perkawinan. Jumhur
atau mayoritas ulama mengatakan bahwa wali atau orang tua boleh
menikahkan anak perempuannya dalam usia berapapun. Dalam sejarahnya,
Rasulullah SAW sendiri menikahi Siti Aisyah pada saat berumur 6 tahun dan
tinggal bersama pada umur 9 tahun.
Banyak anak yang melakukan pernikahan pada usia dini adalah atas
kehendaknya sendiri tanpa ada campur tangan dari orang tua, kenyataan itu
disebabkan karena pengaruh lingkungan yang sangat rendah dengan kejiwaan
anak. Sehingga anak tidak mampu menghindarinya. Kenyataan ini
membuktikan bahwa pada umumnya masyarakat sebelum melakukan
pernikahan mereka terlebih dahulu bertunangan. Dan bagi anak yang belum
bertunangan merasa terkucilkan dan kurang dihargai oleh masyarakat. Karena
tidak seperti yang lainnya. Disini peran orang tua hanya bersikap pasif,
mereka hanya mengikuti apa yang telah menjadi pilihan anaknya.
e. Faktor ekonomi
f. Faktor Agama.
a. Manfaat/dampak positif
1) Dukungan emosional: dengan dukungan emosional maka dapat
melatih kecerdasan emosional dan spiritual dalam diri setiap pasangan
(ESQ)
2) Dukungan keuangan: dengan menikah di usia dini dapat meringankan
beban ekonomi menjadi lebih hemat.
3) Kebebasan yang lebih: dengan berada jauh dari rumah maka
menjadikan mereka bebas melakukan hal sesuai keputusannya untuk
menjalani hidup mereka secara finansial dan emosional.
4) Belajar memikul tanggung jawab diusia dini: banyak pemuda yang
waktu masa sebelum nikah tanggung jawabnya masih kecil
dikarenakan ada orang tua mereka, disini mereka harus dapat mengatur
urusan mereka tanpa bergantung kepada orang tua.
5) Terbebas dari perbuatan maksiat seperti zina dan lain-lain.
b. Mudharat/dampak negatif
Dari segi psikologi: menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial
pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini
disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara fikir
yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya lebih
mempunyai dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir
pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A.
24
Jamal Ma’mur Asmani Dan Umdatul Baroroh Fiqh Pernikahan (Studi Pernikahan
Dini Dalam Dalam Pandangan Ulama) (Yogyakarta: Aswaja Presindo 2019),H. 25
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad idris, ramulya, hukum pernikahan islam, suatu analisis dari undang-
undang no 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum islam, (jakarta: bumi aksara, cet ke
2, 1999)
Hilman hadikusuma, hukum perkawinan indonesia (bandung: bandar maju, 1990).
Jalaludin rakhmat dan muhtar gandaatmaja, keluarga muslim dalam masyarakat
modern, (bandung: remaja rosdakarya offset, 1993)
Jamal ma’mur asnawi, dan Umdatul Baroroh, Fiqh pernikahan studi pernikahan
usia dini dalam pandangan ulama