Anda di halaman 1dari 40

PERNIKAHAN DINI DITINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM

(KHI)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh


Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Disusun Oleh:

Adi Riana

NIM : S.317181

NIRM : 2054010117004

PROGRAM STUDI AHWALU SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT PEMBINA ROHANI ISLAM JAKARTA (IPRIJA)

JAKARTA 2021 / 1442 H


PERNIKAHAN DINI DITINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM
DAN HUKUM PERDATA

Nomor :1

Lampiran : 1 (satu) berkas

Hal : Pengajuan Judul Skripsi

Kepada Yth.

Dekan Fakultas Syariah

Institut Pembina Rohani Islam Jakarta (IPRIJA)

Assalamu’alaikum wr.wb

Saya yang bertanda tangan dibawah ini

Nama : Adi Riana

NIM/NIRM : S.317181/ 2054010117004

Fakultas : syariah

Bermaksud mengajukan judul skripsi:

PERNIKAHAN DINI DITINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM


DAN HUKUM PERDATA.

Sebagai bahan saya lampirkan :

1. Out Line
2. Isi BAB I (pendahuluan)
3. Daftar pustaka

Demikian surat ini saya sampaikan, atas persetujuannya saya ucapkan terima
kasih

Wassalamu’alaikum wr.wb

Jakarta, 23 maret 2021

Hormat saya

Adi riana

S.317181
OUT LINE

HALAMAN SAMPUL...............................................................................................................

HALAMAN JUDUL...................................................................................................................

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................................................

HALAMAN PENGESAHAN.....................................................................................................

HALAMAN PERNYATAAN.....................................................................................................

ABSTRAK .............................................................................................................................

KATA PENGANTAR.................................................................................................................

DAFTAR ISI .............................................................................................................................

DAFTAR ILUSTRASI...............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................

A. Latar belakang masalah.................................................................................


B. Pembatasan dan perumusan masalah............................................................
C. Tujuan dan manfaat penelitian......................................................................
D. Sistematika penulisan....................................................................................

BAB II KAJIAN TEORI...............................................................................................

A. PERNIKAHAN
1. Pengertian nikah......................................................................................
2. Syarat dan Rukun nikah..........................................................................
3. Hukum Nikah.........................................................................................
4. Tujuan perkawinan..................................................................................
5. Dasar-dasar hukum perkawinan..............................................................
6. Pengertian pernikahan dini......................................................................
B. KOMPILASI HUKUM ISLAM................................................................
1. Pengertian dan asal usul KHI.................................................................
2. Pernikahan dini menurut kompilasi hukum islam .................................
3. Pernikan dini menurut para ulama.........................................................
BAB III PERNIKAHAN DINI DITINJAU DARI HUKUM ISLAM.........................

A. Usia pernikahan menurut islam.....................................................................


1. Baligh......................................................................................................
2. Hukum pernikahan yang belum baligh...................................................
B. Faktor-faktor yang mendorong seseorang melakukan
pernikahan dini..............................................................................................
C. Manfaat dan mudharat pernikahan dini.........................................................
D. Paradoks pernikahan dini dalam membangun keluarga ideal.......................

BAB IV HASIL PENELITIAN......................................................................................

A. Meminimalisir terjadinya perzinahan...........................................................


B. Menatap masa depan yang lebih mudah.......................................................
C. Meningkatkan kualitas ibadah.......................................................................

BAB V PENUTUP..........................................................................................................

A. Kesimpulan...................................................................................................
B. Saran..............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang


sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan menurut ilmu fiqih, di sebut
dengan istilah nikah yang mengandung dua arti, yaitu (1) arti menurut bahasa
adalah berkumpul atau besetubuh, dan (2) arti menurut hukum adalah akad atau
perjanjian dengan lafal tertentu antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan untuk hidup bersama sebagai suami isteri.1

Perkawinan dalam Islam bukan semata-mata hubungan atau kontrak


keperdataan biasa, tetapi mempunyai nilai ibadah, sebagaimana dalam KHI
ditegaskan bahwa perkawinan merupakan akad yang sangat kuat untuk menaati
perintah Allah dan pelaksanaannya merupakan ibadah sesuai dengna pasal 2
Kompilasi Hukum Islam.

Ibadah sendiri merupakan pengindonesiaan dari al-ibadah, yang artinya


pengabdian, ketaatan, menghinakan atau merendahkan diri dan do’a. ibadah
merupakan satu bagian dari syarat Islam, ibadah merupakan tugas hidup manusia
di dunia, karena itu manusia yang beribadah kepada allah disebut Abdullah atau
hamba. Bahwa pada hakikatnya ibadah mencakup seluruh aspek kehidupan
manusia, sehingga ibadah bisa dibagi menjadi ibadah dalam arti khusus dan
ibadah dalam arti umum.

Ibadah dalam arti khusus yaitu ibadah yang macam dan cara
melaksanakannya telah ditentukan oleh syari’at (ketentuan dari Allah dan
Rasulullah), bersifat mutlak manusia tidak ada wewenang, merubah, menambah,
mengurangi atau membuat cara sendiri dalam beribadah. Dikenal dengan ibadah
mahdah.

Ibadah dalam arti umum atau ibadah ghoiru mahdah yaitu menjalani
kehidupan untuk memperoleh keridaan Allah SWT dengan mentaati syari’at-Nya.
Bentuk dan macam ibadah ini tidak ditentukan secara terperinci, karena itu apa
saja kegiatan seorang muslim dapat bernilai ibadah asalkan kegiatan tersebut

1
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1988, h. 104
bukan perbuatan yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya (syari’at) serta diniatkan
untuk mencari ridha Allah.

Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua


makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.
Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk
beranak pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-
masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan
tujuan perkawinan.

Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup


bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarkhi tanpa aturan. Demi
menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum
sesuai dengan martabatnya sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan
diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhai.

Manusia dalam proses perkembangannya membutuhkan pasangan hidup


yang dapat memberikan keturunan untuk meneruskan jenisnya. Perkawinan
sebagai jalan yang bisa ditempuh oleh manusia untuk membentuk suatu keluarga
atau rumah tangga bahagia yang berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini
dimaksudkan bahwa perkawinan itu dilaksanakan sekali seumur hidup dan tidak
berakhir begitu saja.2

Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan


perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup, baik secara
psikologis, sosial, maupun sosial biologis. Seseorang melangsungkan perkawinan
maka dengan sendirinya semua kebutuhan biologisnya akan terpenuhi.

Kematangan emosi merupakan aspek yang sangat penting untuk


menjaga kelangsungan perkawinan. Keberhasilan suatu rumah tangga banyak
ditentukan oleh kematangan emosi baik suami maupun istri. Dengan
dilangsungkannya suatu perkawinan maka status sosialnya diakui dalam
kehidupan bermasyarakat dan sah secara hukum.

Pembentukan keluarga yang bahagia, seseorang yang menikah dituntut


adanya sikap dewasa dari masing-masing suami istri. Oleh karena itu persyaratan
bagi suatu pernikahan yang bertujuan mewujudkan keluarga bahagia, sejahtera
dan kekal adalah usia yang cukup dewasa pula. Dalam hukum pernikahan di

Muhammad idris, ramulya, hukum pernikahan islam, suatu analisis dari undang-
2

undang no 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum islam, (jakarta: bumi aksara, cet ke 2, 1999) h. 2
Indonesia, nampak dirasakan pentingnya pembatasan umur, ini untuk mencegah
praktek pernikahan terlampau muda yang sering menimbulkan akibat negatif.
Pasal 7 ayat (1) undang-undang pernikahan menetapkan bahwa pria harus
mencapai umur 19 (sembilan belas ) tahun dan pihak wanita harus mencapai 16
(enam belas) tahun. Begitu juga diatur dalam kompilasi hukum islam dalam pasal
15 ayat (1) yaitu bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,
pernikahan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur
yang ditetapkan dalam pasal 7 undang-undang no.1 tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya 19 (sembilan belas) tahun dan calon istri sekurang-kurangnya
16 (enam belas) tahun.3

Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menganut prinsip


bahwa calon suami dan isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan pernikahan, agar dapat mewujudkan tujuan pernikahan secara
baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan
sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami dan isteri
yang masih dibawah umur4

Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa batas


perkawinan itu adalah usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.
Syarat-Syarat Perkawinan dalam UU No. 1 tahun 1974 tercantum dalam pasal 6
yang berbunyi:

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.


2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud
ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari
orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

3
Hilman hadikusuma, hukum perkawinan indonesia (bandung: bandar maju, 1990), h.
6
Idris ramulyo tinjauan beberapa pasal UU No 1 Tahun 1974 dari segi hukum
4

perkawinan islam (PT ICH) h.56


4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali,
orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam
keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka
tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum
tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan
orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-
orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Sedangkan dalam pasal 7 dalam UU No. 1 tahun 1974 tercantum pasal


berbunyi:

1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19


(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun.
2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang
tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga
dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak
mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6)

Kalau diperhatikan tentang pelaksanaan pernikahan yang terjadi di


masyarakat maka kadang-kadang ditemui pasangan pengantin yang masih relatif
muda. Masalah usia nikah ini merupakan salah satu faktor yang penting dalam
persiapan pernikahan. Karena usia seseorang akan menjadi ukuran apakah ia
sudah cukup dewasa dalam bersikap dan berbuat atau belum. Kematangan atau
kedewasaan usia kawin, baik persiapan fisik dan mental seperti yang disebutkan
dalam undang-undang pernikahan No 1 tahun 1974. Mengenai pernikahan bahwa
calon suami istri harus telah masuk jiwa raganya.

Pernikahan usia dini bukan hal yang baru di Indonesia. Pernikahan dini
merupakan permasalahan sosial yang terjadi pada remaja, korban paling banyak
dari pernikahan dini adalah remaja perempuan. Secara umum kasus pernikahan
usia dini banyak terjadi di Pedesaan dari pada di perkotaan, dan sering terjadi
padda keluarga miskin, berpendidikan rendah dan dropout dari sekolah
(Ariviaetal, 2016).

Mulai dekade 1990an menurut united nations children fund (UNICEF)


pernikahan usia dini mulai bergeser ke daerah perkotaan, hal ini ditandai dengan
peningkatan kasus pernikahan usia dini di perkotaan 2% pada tahun 2015
mencapai 37% pada tahun 2016 (Ariviaetal.2016).

Jadi artinya kasus pernikahan usia dini dapat terjadi dimana saja dan
kapan saja, untuk itu orang tua dan masyarakat harus membantu anak menikah
pada usia yang tepat.

Pada dasarnya dalam pandangan psikologis usia remaja adalah awal dari
fase perkembangan sosial. Bahkan terkadang perkembangan sosial remaja lebih
mementingkan kehidupan sosialnya diluar daripada ikatan sosialnya dalam
keluarga. Perkembangan sosial remaja pada fase ini merupakan titik balik pusat
perhatian lingkungan sosialnya sebagai perhatian utama.

Dari segi kesehatan dipahami bahwa perkawinan di bawah umur sangat


berisiko tinggi dan rawan terjangkit gangguan pada alat reproduksi di kemudian
hari (misalnya: risiko terkena penyakit kanker leher rahim). Perspektif lain, dalam
Undang-Undang perlindungan anak, bahwa gadis yang nikah dibawah batas usia
yang ditetapkan rentan menjadi korban dari “perdagangan anak” (trafiking) dan
eksploitasi ekonomi, sehingga pernikahan usia dini dapat merugikan anak yang
pada waktunya hanya menutut ilmu dan bermain. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana pasal 288 dinyatakan “barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh
degan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa
yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan
mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat
bulan”

Berdasarkan latar belakang itu penulis mengangkat judul skripsi yaitu


“Pernikahan Dini Ditinjau Dari Kompilasi Hukum Islam (KHI)”

B. Pembatasan Masalah Dan Rumusan Masalah


1. Pembatasan Masalah
a. Pernikahan dini menurut hukum islam
2. Rumusan Masalah
Dari permasalahan yang diteliti, dapat dibuat pertanyaan sebagai berikut:
b. Bagaimana pandangan hukum islam terkait dengan pernikahan dini?
c. Apa faktor yang mendorong para remaja untuk melakukan pernikahan
dini?
d. Bagaimana manfaat/mudorotnya melaksanakan pernikahan dini?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Dalam berlangsungnya penelitian yang hendak dilaksanakan, perlu penulis


tentukan tujuan dan manfaat penelitian guna memfokuskan penulis pada
materi yang dibutuhkan.
1. Mengetahui pandangan hukum islam terhadap pernikahan dini
2. Untuk mengetahui factor yang mendorong para remaja untuk
melakukan pernikahan dini
3. Untuk mengetahui manfaat dan mudorot melakukan pernikahan dini

a) Manfaat bagi penulis


penelitian ini akan bermanfaat bagi penulis untuk menambah wawasan dan
mendorong lahirnya para peneliti selanjutnya dalam menentukan masalah
yang sama.

b) Manfaat bagi lembaga kampus


Sebagai mahasiswa kampus institut pembina rohani islam jakarta (IPRIJA)
penelitian ini diharapkan bisa membuktikan hasil pemikiran penulis atas
terselesaikannya pembelajaran dalam kegiatan perkuliahan dan bisa
menyumbangkan pemikiran dalam rangka pengetahuan pendidikan.
D. Metode Pembahasan
Materi dalam penelitian ini dikumpulkan melalui penelitian pustaka (library
risearch). Materi dikumpulkan dengan menggunakan teknik pustaka, yaitu
membaca materi yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
Sedangkan teknik penulisan skripsi ini menggunakan tehnik yang berpedoman
pada buku pedoman penulisan skripsi, institut pembina rohani islam jakarta
(IPRIJA)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan adalah susunan atau urutan pembahasan di dalam


skripsi yang terdiri dari lima formalitas yang diantaranya sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, batasan


masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian
serta sistematika penulisan.

Bab II Landasan Teori yang didalamnya berisi tentang pandangan


hukum islam dan hukum perdata terkait dengan pernikahan
dini, faktor dan dampak bagi anak yang melakukan pernikahan
dini serta manfaat dan mudorot dari pernikahan dini

Bab III Metodologi Penelitian menguraikan tentang apa yang


digunakan dalam penelitian ini. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan cara tidak
terjun kelapangan dalam pencarian sumber datanya.
Bab IV hasil penelitian dan pembahasan menguraikan tentang hasil
dari penelitian dan pembahasan.
Bab V Dalam bab ini memuat kesimpulan dan saran.

BAB II
KAJIAN TEORI
A. PERNIKAHAN.

Allah swt memerintahkan manusia menghadapkan diri ke agama fitrah


agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan
diatas fitrahnya. Pernikahan yang dalam perkataan lain disebut juga dengan
perkawinan merupakan fitrah kemanusiaan, maka dari itu islam menganjurkan
untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniah (naluri kemanusiaan).
Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia
akan mencari jalan-jalan syaitan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam.
Firman Allah SWT.

‫ق هّٰللا ِ ٰۗذلِكَ ال ِّديْنُ ْالقَيِّ ۙ ُم‬ ۗ


ِ ‫اس َعلَ ْيهَا اَل تَ ْب ِد ْي َل لِخ َْل‬
‫ك لل ِّد ْين حن ْيفً ۗا ف ْ هّٰللا‬
َ َّ‫ط َرتَ ِ الَّتِ ْي فَطَ َر الن‬ ِ ِ َ ِ ِ َ َ‫فَاَقِ ْم َوجْ ه‬
ِ َّ‫َو ٰل ِك َّن اَ ْكثَ َر الن‬
َ‫اس اَل يَ ْعلَ ُموْ ۙن‬

Artinya : “maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama


(Allah); tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui5 (Qs- Ar-rum : 30)

Islam menganjurkan pernikahan, islam telah menjadikan ikatan


perkawinan yang sah berdasarkan al-qur’an dan as-sunnah sebagai satu-satunnya

5
AL-qur’an dan terjemah
sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana
untuk membina keluarga yang islami.

Islam tidak menyukai membujang, rasulullah SAW menganjurkan untuk


menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin
malik r.a berkata : “Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk menikah dan
melarang kami membujang dengan larangan yang keras” Dan beliau bersabda :

‫الولُوْ ُد فَاِن ِّي َم َكاثِ ُر بِ ُك ُم األ ْنبِيَا يـَوْ َم القِيَا َمة‬


َ ‫تـ َ َز َوجُوا ال َو ُدوْ ُد‬

Artinya: “nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena


aku akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para nabi kelak dihari
kiamat” (hadist riwayat ahmad dan di shahihkan oleh ibnu hiban).6

1. Pengertian perkawinan

Ketertarikan manusia kepada lawan jenisnya merupakan sebuah naluri.


Naluri itu bersumber dari ketetapan Allah yang telah menciptakan makluknya
berpasangan (laki-laki dan perempuan). Meskipun naluri adalah fitrah, ia tetap
akan menjadi madharat jika tidak disalurkan dengan tepat. Oleh karenanya, Islam
mensyariatkan suatu hubungan yang sah bernama perkawinan/pernikahan.

Perkawinan adalah merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari


didengar atau dibaca dimedia masa. Namun jika ditanyakan apa yang dimaksud
dengan istilah tersebut, maka orang akan berfikir terlebih dahulu untuk
mendapatkan formulasi,walaupun sebenarnya apa yang dimaksud dengan istilah
itu ada dalam dalam pikiran dengan jelas. Sebelum memasuki masalah ini lebih
dalam kiranya harus dipahami terlebih dahulu tentang pengertian perkawinan.

Perkawinan menurut bahasa arab berasal dari kata (‫ )اﻟﻨﻜﺎح‬al-nikah yang


bermakna al-wathi dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut al-
dammu waal-jammu atau ibarat an ‘an alwathi wa al-‘aqd yang bermakna

6
Sunan Abi Daud, Dar Al-Fikr, Juz 2, Hlm, 219, Bab; An-Nahy ‘An Al-Tazjij Man
Lam Yulad Min Al-Nisa’, No Hadist; 2050
bersetubuh, berkumpul dan akad.7 Dalam kamus bahasa Indonesia ada dua kata
yang menyangkut masalah ini, yaitu kawin dan nikah. Kawin adalah membentuk
keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri, menikah. 8 Perkawinan
mengandung arti perihal (urusan dan sebagainya) kawin; pernikahan; pertemuan
hewan jantan dan betina secara seksual;9

Pernikahan yang berasal dari kata nikah mengandung arti ikatan


(akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan agama. 10
Sedangkan pernikahan mengandung arti hal (perbuatan) nikah;upacara nikah.11
Definisi perkawinan menurut bahasa bersenggama atau bercampur dalam
pengertian majaz orang menyebut nikah sebagai akad, sebab akad adalah sebab
bolehnya bersenggama atau bersetubuh. 12

Ulama berbeda pendapat tentang perkawinan antara lain: pertama,


menyatakan bahwa nikah arti hakikatnya adalah watha’ (bersenggama). Kedua,
menyatakan bahwa makna hakikat dari nikah adalah akad, sedangkan arti majaz
nya adalah watha’. Ketiga, menyatakan bahwa hakikat dari nikah adalah
musytarak atau gabungan dari pengertian akad dan watha’.13

Menurut madzhab Hanafi makna nikah ialah bersetubuh dalam makna


hakikat, sedangkan untuk makna majazi ialah akad. Sedangkan menurut madzha
Syafi’I nikah secara hakikat adalah akad sedangkan makna majazi adalah

7
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqhal-Islami Wa Addilatuhu, Juz VII (Damsyik, Darl Fikr
1989)H. 29
8
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3, Cet.1
(Jakarta: Balai Pustaka 2001)H. 518
9
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3, Cet.1
(Jakarta: Balai Pustaka 2001)H. 519
10
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3, Cet.1
(Jakarta: Balai Pustaka 2001)H. 782
11
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3, Cet.1 (Jakarta: Balai
Pustaka 2001)H. 782
12
Golongan Hanafiah mendefinisikan nikah itu adalah akad yang memfaedahkan
memiliki, bersenang-senang, dengan sengaja, golongan As-Syafiiyah nikah adalah akad yang
mengandung ketentuan hukum kebolehan watha’ dengan lafadz nikah atau tajwiz atau yang
semakna dengan keduanya. Golongan Malikiyah nikah adalah akad yang mengandung ketentuan
hukum semata-mata membolehkan watha’, bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada
diri seorang wanita yang akan nikah deengannya, dan golongan Hanabilah nikah adalah akad yang
menggunakan lafadz nikah atau tajwiz guna membolehkan manfaat bersenang-senang dengan
wanita.
13
Djaaman Nur, Fiqh Munakahat, Cet.1 (Semarang: Toha Putra, 1993)H.1
bersetubuh., kebalikan dari madzhab Hanafi.14Dari perbedaan definisi ini
mengakibatkan perbedaan pula hukum nikah tentang menikahi anak yang bukan
dari akibat perkawinan yang sah.

Dalam bukunya Wahbah az-zuhaily menndefinisikan perkawinan


adalah “akad yang telah ditetapkan oleh syar’I agar seorang laki-laki dafat
mengambil manfaat untuk melakukan istimta’ dengan seorang wanita atau
sebaliknya. 15

Menurut sayuti thalib, definisi perkawinan adalah suatu perjanjian yang


suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun
menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia.16 Hazairin menyatakan
bahwa inti dari sebuah perkawinan adalah hubungan seksual, menurutnya tidak
ada nikah (perkawinan) bila tidak ada hubungan seksual.17

Kompilasi hukum islam memberikan definisi tentang perkawinan


sebagaimana yang tercantum dalam pasal 2, yaitu: “perkawinan menurut hukum
islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan
untuk mentaati perinath Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Dalam Undang-undang perkawinan no 1 tahun 1974 diberi definisi


perkawinan dengan, perkawinan adalah “ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.

Ikatan lahir bathin yang dimaksud dalam pasal tersebut mempunyai


pengertian yang berbeda yakni, ikatan lahir dan ikatan batin. Ikatan lahir adalah
merupakan ikatan yang kelihatan, ikatan formal sesuai dengan peraturan-
peraturan yang ada. Ikatan formal ini adalah nyata, baik yang mengikat dirinya,

14
Peunoh Daly, Hukum Perkawainan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1988), Hal. 105
15
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Juz VII, (Damsyiq: Dar Al-
Fikr, 1989), Hal. 39
16
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis Dari Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Hal. 2.
17
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961), Hal.
61.
yaitu suami dan isteri, maupun orang lain yaitu masyarakat luas. Sedangkan
ikatan batin adalah ikatan yang tidak kelihatan secara langsung, merupakan
ikatan psikologis yang mengikat suami dan isteri yaitu perasaan cinta dan tanpa
paksaan.

Berdasarkan definisi yang tercantum dalam Undang-Undang


perkawinan No 1 tahun 1974, masih dapat diperinci dengan tiga bagian yaitu:

a. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri.
b. Ikatan lahir batin ditunjukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia, kekal dan sejahtera.
c. Ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan
ketuhanan yang maha esa.
Perkawinan juga harus dilihat dari beberapa segi antara lain:
1) Perkawinan dilihat dari segi hukum.

Dipandang dari segi hukum perkawinan itu merupakan suatu


perjanjian. Oleh Q.S an-nisa : 21. Dinyatakan “perkawinan adalah perjanjian
yang sangat kuat”. Disebut dengan kata-kata mitsaaqan ghalidzan juga dapat
dikatakan bahwa perkawinan itu sebuah perjanjian dengan alasan:

a. Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur lebih dahulu yaitu


dengan akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu.
b. Cara menguraikan dan memutuskan ikatan perkawinan juga telah
diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talak, kemungkinan
fasakh, syiqaq, dan sebagainya.
2) Perkawinan dari segi sosial
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui oleh suatu penilaian umum, ialah
bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai
kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang belum nikah.
3) Perkawinan dari segi agama.
Dalam agama perkawinan dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara
pasangan suami isteri atau saling meminta menjadi pasangan hidup dengan
mempergunakan nama Allah .
Menurut pendapat penulis pengertian perkawinan yang diberikan para
pakar menunjukan ada dua sisi penting dari perkawinan, yang pertama
perkawinan adalah pengesahan hubungan seksual, dan yang kedua
perkawinan adalah sebuah perjanjian atau ikatan lahir bathin.

2. Rukun dan Syarat Nikah

Rukun merupakan sebagian dari hakikat pernikahan itu sendiri dan jika
tidak dipenuhi maka pernikahan tidak akan terjadi.

Rukun pernikahan antara lain:

a. Adanya kedua mempelai


b. Adanya wali dari dari pihak calon mempelai wanita
c. Adanya dua orang saksi
d. Adanya shigot akad nikah atau ijab qobul
e. Mahar atau maskawin

Sejalan dengan asas dan prinsip perkawinan tersebut, Undang-undang


No 1 tahun 1974 tentang perkawinan meletakan syarat-syarat yang ketat bagi
pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Syarat – syarat perkawinan tersebut
tercantum dalam pasal 6 hingga pasal 12.

Pasal 6

1. Perkawinan harus didassarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.


2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal
ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang
mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali,
orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam
kedaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam
pasal (2), (3) dan (4) pasal ini atau salah seorang atau lebih diantara mereka
tidak menyatakan pendapatnya maka pengadilan dalam daerah hukum
tempat tinggal orang yang akan melangsungkan pernikawinan atas
permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah mendengar
terlebih dahulu orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal
ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7

1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19


(Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas ) tahun.
2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang kedua orang tua
tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) undang-undang ini, berlaku juga
dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak
mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

Pasal 8

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas.


2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya.
3. Berhubungan semanda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak
tiri.
4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan.
5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau sebagai
kemenakan dari istri, dalam hal suami beristeri lebih dari seorang.
6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku dilarang kawin.

Pasal 9

Seorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain tidak


dapat kawin lagi, kecuali dalam hal tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4
undang-undang ini.

Pasal 10

Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang
lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 11

a. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu


tunggu.
b. Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur
dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.

Pasal 12

Tatacara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan tersendiri.

3. Hukum Perkawinan
Menikah hukum asalnya adalah sunnah (mandub) menrut imam syafi’I
dan hanafi sedangkan golongan zahiri menyatakan bahwa hukum asal nikah
adalah wajib. Firman Allah SWT

َ ‫اب لَـ ُكمۡ ِّمنَ النِّ َسٓا ِء َم ۡث ٰنى َوثُ ٰل‬


‫ث َو ُر ٰب َ‌ع ۚ‌ فَا ِ ۡن ِخ ۡفتُمۡ اَاَّل ت َۡع ِدلُ ۡوا فَ َوا ِح َدةً اَ ۡو َما َملَـ َك ۡت‬ َ َ‫فَا ْن ِكح ُۡوا َما ط‬
‫اَ ۡي َمانُ ُكمۡ‌ ؕ ٰذ لِكَ اَ ۡد ٰنٓى اَاَّل تَع ُۡولُ ۡو‬

“Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau


empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berbuat adil, maka kawinilah satu
orang saja atau budak-budak yang kamu miliki”. (QS. An-Nisa : 3)

Perintah menikah pada ayat diatas merupakan tunututan untuk


melakukan nikah (thalab al-ilmi). Namun tuntutan tersebut tidak bersifat
pasti/keharusan (ghairujazim) Karena adanya kebolehan memilih antara kawin
dan pemilikan budak (milku al-yamin) maka tuntutan tersebut merupakan tuntutan
yang tidak mengandung keharusan, atau berhukum sunnah tidak wajib.

Namun hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi hukum lain,
misalnya wajib atau haram, tergantung orang keadaan orang yang melaksanakan
hukum nikah. Jika seseorang tidak dapat menjaga kesucian dan akhlaknya kecuali
dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Sebab menjaga kesucian
dan akhlak adalah wajib atas setiap muslim, dan jika ini tidak dapat terwujud
kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya sesuai kaidah
syara ma la yatimmul wajibu illa bihi fahua wajib ( ( ‫ مااليتم وجب ال به فهووجب‬jika
kewajiban tidak sempura kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib juga
hukumnya.18 Dapat juga pernikahan menjadi haram jika menjadi perantaraan
kepada yang haram. Seperti pernikahan untuk menyakiti istri, atau pernikahan
yang akan membahayakan agama isteri/suami.

Faktor lain juga mempengaruhi hukum nikah bagi seseorang adalah


kemampuannya melaksanakan kewajiban suami atau isteri serta kesanggupannya
memelihara diri agar tidak jatuh ke jurang kejahatan. Dengan memperhatikan itu
para ulama beberapa macam menyebut hukum nikah sebagai berikut;

18
Taqiyudin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur (TP. T-TP) H. 86
a. Wajib, bagi laki-laki yang ingin sekali menggauli wanita dan kurang
mampu mengendalikan dirinya kejurang kejahatan dan mampu
membiayai nafkah keluarga.
b. Sunat, bagi laki-laki untuk memperoleh keturunan dan memelihara diri
dari berbuat zina dan ia mampu.
c. Mubah, apabila seseorang berkeyakinan mampu menjaga diri dan
seandainya menikah tidak akan mengabaikan kewajibannya sebagai
suami atau isteri.
d. Makruh, laki-laki yang jika menikah akan menimbulkan kemusykilan
bagi isteri dan keturunannya.
e. Haram, bagi laki-laki yang tidak mampu serta diduga berat akan
berbuat dzalim kepada isterinya..
4. Tujuan Perkawinan

Perkawinan merupakan salah satu aktivitas individu. Aktivitas individu,


umumnya akan terkait pada suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu yang
bersangkutan, demikian juga dengan perkawinan. Perkawinan merupakan
aktivitas dari suatu pasangan, maka sudah selayaknya mereka pun mempunyai
tujuan tertentu. Tetapi karena perkawinan itu terdiri dari dua individu, maka ada
kemungkinan bahwa tujuan mereka tidak sama. Bila hal tersebut terjadi maka
tujuan perkawinan itu harus dibulatkan agar terdapat suatu kesatuan dalam
pencapaian tujuan tersebut. Apakah sebenarnya tujuan perkawinan?.

Perkawinan mempunyai tujuan antara lain membentuk keluarga (rumah


tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 19
Dengan demikian, maka sebenarnya tidak perlu diragukan lagi, apakah
sebenarnya yang ingin dicapai dalam perkawinan itu. Namun karena keluarga atau
rumah tangga itu berasal dari dua individu yang berbeda, maka dari dua individu
itu mungkin terdapat tujuan yang berbeda, untuk itu perlu penyatuan tujuan
perkawinan demi tercapainya keluarga yang sakinah.

Tanpa adanya kesatuan tujuan antara suami dan istri dalam keluarga dan
kesadaran bahwa tujuan itu harus dicapai bersama-sama. Maka dapat dibayangkan
19
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan Pasal 1
bahwa keluarga itu akan mudah mengalami hambatan-hambatan yang merupakan
sumber permasalahan yang besar dalam keluarga, akhirnya dapay menuju
keretakan keluarga yang berakhir lebih jauh sampai kepada perceraian. Tujuan
adalah merupakan titik tuju bersama yang akan diusahakan untuk dicapai secara
bersama-sama.

Tujuan perkawinan akan terkait pada frame of reference dari individu


yang bersangkutan. Dengan demikian maka timbul pertanyaan bagaimana
keluarga bahagia itu?. Walaupun kebahagiaan itu relative dan subyektif, tetapi
adanya ukuran atau patokan umum yang dapat digunakan untuk menyatakan
bahwa keluarga itu merupakan keluarga yang bahagia atau walfare.

Keluarga merupakan keluarga bahagia bila dalam keluarga itu tidak


terjadi kegoncangan-kegoncangan atau pertengkaran-pertengkaran, sehingga
keluarga itu berjalan dengan baik tanpa goncangan atau pertengkaran yang berarti
(free from quarelling).

Tujuan perkawinan yang lain selain membentuk keluarga bahagia, juga


bertujuan lain yaitu bersifat kekal. Dalam perkawinan perlu ditanamkan bahwa
perkawinan itu berlangsung untuk waktu seumur hidup dan selama-lamanya
kecuali dipisahkan dengan kematian.

Tujuan perkawinan menurut islam adalah menuruti perintah Allah untuk


memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah
tangga yang damai dan teratur. Hal ini senada dengan firman Allah Q.s ar-Rum
ayat 21 yang berbunyi.

َ ِ‫ق لَ ُك ْم ِّم ْن اَ ْنفُ ِس ُك ْم اَ ْز َواجًا لِّتَ ْس ُكنُ ْٓوا اِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّو َرحْ َمةً ۗاِ َّن فِ ْي ٰذل‬
‫ك‬ َ َ‫َو ِم ْن ٰا ٰيتِ ٖ ٓه اَ ْن خَ ل‬
َ‫ت لِّقَوْ ٍم يَّتَفَ َّكرُوْ ن‬ٍ ‫اَل ٰ ٰي‬

Artinya: “ Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya, Dia (Allah)


menciptakan isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-nya diantara kamu rasa kasih sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kamu
berfikir”
Tujuan kedua dari pernikahan menurut islam adalah menenangkan
pandangan mata dan menjaga kehormatan diri, sebagaimana dinyatakan dalam
hadist Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang berbunyi

ِ ْ‫صنُ لِ ْلفَر‬
‫ج َو َم ْن َل ْم‬ َ ْ‫ص ِر َوأَح‬
َ َ‫ب َم ِن ا ْستَطَا َع ِم ْن ُك ُم ْالبَا َءةَ فَ ْليَتَ َز َّوجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِ ْلب‬
ِ ‫يَا َم ْع َش َر ال َّشبَا‬
‫يَ ْستَ ِط ْع فَ َعلَ ْي ِه بِالصَّوْ ِم فَإِنَّهُ لَهُ ِو َجاء‬

Artinya: “hai sekalian pemuda, barangsiapa diantara kamu yang telah


sanggup kawin, maka hendaklah kawin. Maka sesungguhnya kawin itu
menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memelihara
faraj. Dan barangsiapa yang tidak sanggup hendaklah berpuasa. Karena puasa
itu adalah perisai baginya”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

5. Pengertian Pernikahan Dini

Pernikahan diusia dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh seseorang


laki-laki dan seorang wanita yang mana umur keduanya masih dibawah batas
minimum yang diatur oleh undang-undang. Dan kedua calon mempelai tersebut
belum siap secara lahir maupun batin. Serta kedua calon mempelai belum
mempunyai mental yang matang dan juga ada kemungkinan belum siap dalam hal
materi.

Dan berdasarkan pendapat sarlito wirawan sarwono bahwa batas usia


dewasa bagi laki-laki 25 tahun dan bagi perempuan 20 tahun, karena kedewasaan
seseorang tersebut ditentukan secara pasti baik oleh hukum positif maupun hukum
islam. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa batasan usia dikatakan dibawah
umur ketika seseorang kurang dari 25 tahun bagi laki-laki dan kurang dari 20
tahun bagi perempuan. Sedangkan kata dibawah umur mempunyai arti bahwa
belum cukup umur untuk menikah.

Setidaknya terdapat dua perspektif untuk menentukan batasan dari


pernikahan dini. Pertama diperhatikan dari sisi umum, artinya pernikahan dini
adalah pernikahan dibawah usia yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan
pernikahan. Dalam batasan usia pernikahan yang normal berdasarkan kriteria
pernikahan sehat yang dibuat Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) atau yang umum dikenal dengan Keluarga Berencana (KB) adalah usia
25 tahun untuk laki-laki dan 20 tahun untuk perempuan. Dengan demikian
pernikahan yang terjadi dibawah usia tersebut dapat dianggap sebagai pernikahan
dini.

Jika perspektif yang pertama diatas dilihat berdasarkan batasan usia fisik
atau dalam bahasa psikologi disebut dengan chronological Age (CA). sementara
batasan yang kedua diperhatikan berdasarkan MA atau Mental Age artinya usia
mental atau psikis (yang berkisar antara usia 18-40 tahun, seiring perkembangan
dan perubahan-perubahan fisik dan psikologis) berdasarkan usia psikis yang
ditentukan melalui tugas-tugas perkembangan masa dewasa awal atau dewasa
dini, maka ia sudah siap untuk melaksanakan pernikahan, meski ia belum berusia
20 dan 25 tahun. Dengan demikian pernikahan yang terjadi dibawah usia
perkembangan tersebut dapat dianggap sebagai pernikahan dini. Dimana salah
satu tugas perkembangan dari dewasa awal adalah mengenal lawan jenis secara
lebih serius dan siap memasuki jenjang pernikahan.

Dari segi psikologi, sosiologi maupun hukum islam pernikahan dibawah


umur terbagi menjadi dua kategori, pertama pernikahan dibawah umur asli yaitu
pernikahan dibawah umur yang benar murni dilaksanakan oleh kedua belah pihak
untuk menghindarkan diri dari dosa tanpa adanya maksud semata-mata hanya
untuk menutupi perbuatan zina yang telah dilakukan oleh kedua mempelai.

Kedua, pernikahan dibawah umur palsu yaitu pernikahan dibawah umur


yang pada hakikatnya dilakukan sebagai kamuflase dari kebejatan prilaku dari
kedua mempelai, pernikahan ini hanya untuk menutupi prilaku zina yang telah
dilakukan oleh kedua mempelai.

Hal ini berarti antara anak dan kedua orang tua bersama-sama untuk
menipu masyarakat dengan cara melangsungkan pernikahan yang mulia dengan
maksud untuk menutupi aib yang telah dilakukan oleh anaknya. Dan mereka
berharap agar masyarakat untuk mencium “bau busuk” yang telah dilakukan oleh
anaknya bahkan sebaliknya memberikan ucapan selamat dan ikut juga
berbahagia.20

Dalam islam batasan usia pernikahan disebut dengan baligh yang


diterapkan oleh ulama fiqh. Batas usia yang menjadikan seseorang siap secara
biologis untuk melaksanakan perkawinan, bagi laki-laki yang sudah bermimpi
keluar mani dan perempuan yang sudah haid. Yang demikian dipandang telah siap
nikah secara biologis. Akan tetapi dalam perkembangan yang terjadi kemampuan
secara biologis tidaklah cukup untuk melaksanakan perkawinan tanpa mempunyai
kemampuan secara ekonomi dan psikis.

Secara ekonomi berarti sudah mampu mencari atau memberi nafkah dan
sudah mampu membayar mahar, sedangkan secara psikis adalah kedua belah
pihak sudah masak jiwa raganya. Perkawinan dapat dikatakan ideal jika sudah
mempunyai tiga unsur di atas (kemampuan biologis, ekonomis dan psikis), karena
ketiga kemampuan tersebut telah ada pada seseorang ketika sudah berumur 19
tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.

Pernikahan bukanlah sebagai alasan untuk memenuhi kebutuhan


biologis saja yang bersifat seksual akan tatapi pernikahan merupakan suatu
ibadah yang mulia yang diridhai oleh Allah SWT dan Rasulnya. Maka pernikahan
tersebut akan terwujud jika diantara kedua belah pihak sudah memiliki tiga
kemampuan seperti yang disebutkan diatas, dengan kemampuan tersebut maka
akan terciptanya hubungan saling tolong menolong dalam memenuhi hak dan
kewajiban masing-masing, saling nasehat menasehati dan saling melengkapi
kekurangan masing-masing yang dicerminkan dalam bentuk sikap dan tindakan
yang bersumber dari jiwa yang matang sehingga keluarga yang ditingggalkannya
akan melahirkan keindahan keluarga dunia yang kekal dan abadi.

20
Abu Al Ghifari, Pernikahan Dini Dilemma Generasi Extravaganza (Bandung:
Mujahid Pres, 2002)H, 20
B. KOMPILASI HUKUM ISLAM
1. Pengertian Dan Asal Usul Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Untuk mendaatkan gambaran tentang kompilasi hukum islam ini


perlu terlebih dahulu dijelaskan pengertian kompilasi dan asal usulnya,
penjelasan ini diperlukan mengingat kenyataan menunjukan bahwa masih
banyak kalangan yang memahami secara betul pengertian kompilasi itu. Hal
ini disebabkan karena istilah tersebut kurang populer digunakan, kendati
dikalangan pengkajian hukum sekalipun.

Istilah kompilasi berasal dari bahasa latin compilare yang


mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama, seperti menngumpulkan
peraturan-peraturan yang tersebar berserakan dimana-mana. Dalam bahasa
ingggris ditulis “compilatie” (himpunan undang-undang)21.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kompilasi berarti kumpulan


yang tersusun secara teratur (tentang daftar informasi, karangan dan
22
sebagainya). konsep memberi pengertian kompilasi dalam dua bentuk.
Pertama sebagai hasil pertama mengumpulkan berbagai pendapat dalam satu
bidang tertentu. Kedua kompilasi diartikan dalam wujudnya sebagai suatu
benda seperti berupa suatu buku yang berisi kumulan pendapat-pendapat yang
ada mengenai suatu bidang persoalan tertentu. Bustanul Arifin menyebut
kompilasi hukum islam sebagai (fiqih dalam bahasa undang-undang atau
dalam bahasa rumpun melayu disebut pengkanunan hukum syara).

Kebutuhan akan adanya kompilasi hukum islam bagi pengadilan


agama sudah lama menjadi catatan dalam sejarah Departemen Agama.
Keluarnya Surat Edaran Kepala Biro Pengadilan Agama No. B /1/735
Tanggal 18 Februari 1958 tentang pelaksanaan peraturan pemerintah nomor
21
Jhon M Echols Dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia An English –
Indonesia Dictionary (Jakarta: PT Gramedia 2000) H 1332
22
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka 2002)H. 284
45 tahun 1957 yang mengatur tentang pembentukan pengadilan agam/
mahkamah syar’iyah diluar pulau jawa dan Madura menunjukan salahsatu
bukti tentang hal tersebut. Dari sudut lingkup makna the ideal law, kehadiran
kompilasi hukum islam merupakan rangkaian sejarah hukum nasional yang
mengungkapkan ragam makna kehidupan masyarakat Indonesia.

Kalau dilihat dari proses pembentukannya yang menghimpun bahan-


bahan hukum dari berbagai kitab fiqih yang mu’tamad (dapat dipertanggung
jawabkan dan diakui ulama) yang biasa dipakai sebagai rujukan para hakim
dalam memutus perkara, maka kompilasi hukum islam dapat diartikan
sebagai rangkuman berbagai hal mengenai hukum islam. Kompilasi hukum
islam diolah, dikembangkan serta disusun secara sistematis dengan
brpedoman pada rumusan kalimat atau pasal-pasal yang lazim digunakan
dalam peraturan perundang-undangan.

2. Sejarah kompilasi hukum islam (KHI)

Berbicara sejarah KHI tidak terlepas dari pengadilan agama, karena


pengadilan agama merupakan lembaga sosial yang berwenang memeriksa,
mengadili dan memutuskan perkara yang diajukan oleh orang yang merasa
dirugikan haknya oleh orang lain kepadanya ( pasal 49 UU No.7 tahun 1949
tentang peradilan agama). Sebelum terbentuknya kompilasi hukum Indonesia
terjadi perubahan penting dan mendasar yang telah terjadi dalam lingkungan
pengadilan agama dengan disahkannya RUU-PA menjadi UU No 7 tahun
1989, diajukan oleh menteri agama Munawir Sjadzali ke sidang DPR, diantara
isinya sebagai berikut:

a. Pengadilan agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya


benar-benar telah sejajar dan sederajat dengan Peradilan Umum,
Peradilan Militer Dan Peradilan Tata Usaha Negara.
b. Nama, susunan, wewenang (kekuasaan) dan hukum acaranya telah
sama dan seragam diseluruh Indonesia. Terciptanya unifikasi
hukum secara peradilan agama akan memudahkan terwujudnya
ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam
lingkungan peradilan agama.
c. Perlindungan kepada wanita telah ditingkatkan dengan jalan antara
lain, memberikan hak yang sama kepada istri dalam peroses dan
membela kepentingannya di muka peradilan agama.
d. Lebih memantapkan upaya penggalian berbagai asas dan kaidah
hukum islam sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan dan
pembinaan hukum nasional melalui yurisprudensi.
e. Terlaksanya kententuan-ketentuan dalam undang-undang pokok
kekuasaan kehakiman (1970)
f. Terselenggaranya pembangunan hukum nasional berwawasan
nusantara yang sekaligus berwawasan Bhineka Tunggal Ika dalam
bentuk undang-undang peradilan agama.

Namun keberhasilan umat islam Indonesia (menteri agama,


ulama) dalam menggolkan RUU-PA menjadi undang-undang peradilan
agama No 7 tahun 1989, tidaklah berarti persoalan yang berkaitan
dengan implementasi hukum islam di Indonesia menjadi selesai.
Ternyata muncul persoalan krusial yang berkenaan dengan tidak adanya
keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap
persoalan-persoalan yang mereka hadapi.

Hal ini disebabkan tidak tersedianya kitab materi hukum islam


yang sama. Secara material memang sudah ditetapkan 13 kitab yang
dijadikan rujukan dalam memutuskan perkara yang kesemuanya
bermadzhab syafi’I. akan tetapi tetap saja menimbulkan persoalan yaitu
tidak adanya keseragaman keputusan hakim. Berangkat dari realitas ini
keinginan untuk menyusun “kitab hukum islam” dalam membentuk
kompilasi dirasakan semakin mendesak. Penyusunan kompilasi ini
bukan saja didasarkan pada kebutuhan adanya keseragaman referensi
keputusan PA di Indonesia, tetapi juga disadarkan pada keharusan
terpenuhinya perangkat-perangkat sebuah peradilan yaitu kitab materi
hukum islam yang digunakan dilembaga peradilan tersebut.
KHI merupakan salah satu hukum materil yang dipergunakan di
peradilan agama. KHI muncul keika beraneka ragam putusan pengadilan
agama, antara peradilan agama yang satu dengan pengadilan agama yang
lain berbeda, bahkan tidak jarang pula dalam kasusu yang sama putusan
juga berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kitab rujukan
yang dipergunakan oleh hakim agama dalam mengadili perkara tersebut
yang masih mentah dalam kitab kuning. Memang benar kita pernah
mendengar istilah different djude deffereent statement (lain hakim lain
putusannya) namun perbedaannya sangat mutlak terjadi dan jauh sekali
perbedaannya antara satu putusan peradilan agama dengan putusan
peradilan agama yang lain. Oleh karena itu berdasarkan surat edaran biro
peradilan agama no 45/1957 tentang pembentukan pengadilan agama
untuk menggunakan 13 kitab kuning sebagai pedoman dalam
pengambilan keputusan, kitab-kitab tersebut antara lain:

1) Al-bajuri : syaikh Ibrahim bin Muhammad asy-syafi’I al-bajuri


2) Fathul mu’in : zainudin ahmad bin Muhammad bin abdul aziz al-
malibari
3) Syarqawi ‘alat tahrir : al-‘alamah bin hijazi bin Ibrahim syarqawi
4) Qalyubi/almahalli : al-imam syihabudin abu al-‘abbas ahmad bin
salamah al-qalyubi al-mishri
5) Fathul wahhab dengan syarahnya : Zakariyya al-anshori
6) Tuffah : syaikhul islam abu yahya zakariyya al-anshori
7) Targhibul mustaghfirin : Abdullah bin as’ad bin ali bin sulaiman
bin falah al-yamani al-yafi’I al-maliki
8) Qawanin syar’iyyah lisayyid bin yahya : ibnu juzai al-kalbi
9) Qawanin syar’iyyah sadaqah dachlan : zakariyya ibn ahmad al-
anshori
10) Al-fiqhu ‘ala mazhabi ar-ba’ah : abd al-hamid al-hakim
11) Syamsuri fil-fara’idh
12) Bughyatul musytarsidin : daud fatani
13) Mugni al-muhtaj: syam al-din al-ramli.
Pencetus ulama dalam dalam proyek pembentukan KHI diketahui oleh
Bustanul arifin dengan beberapa alasan, anntara lain sebagai berikut.

a. Harus ada ketentuan hukum yang tegas, agar tercapainya


keadilan dalam masyarakat dan tidak melukai keadilan bagi
orang pencari keadilan.
b. Untuk menyeragamkan hukum islam yang masih bersimpang
siur dalam kitab-kitab kuning.
c. Karena melihat Negara lain yang sudah mengkodifikasi kitab
undang-undang hukum islam.

Untuk menjalankan proyek KHI dibentuklah tim pelaksana proyek


tersebut yang diketahui oleh Bustanul Arifin berdasarkan surat
keputusan bersama (SKB) ketua MA RI dan menteri Agama RI No
7/KMA/1985 tahun 1985 (25 maret 1985). Dengan kerja keras Busatnul
Arifin untuk membentuk KHI maka keluarlah intruksi presiden No 1
tahun 1991 kepada Menteri Agama RI untuk menyebarluaskan KHI
yang terdiri dari tiga buku yaitu:

a. Buku I tentang perkawinan, terdiri dari 170 pasal.


b. Buku II tentang kewarisan, terdiri dari 44 pasal, dan
c. Buku III tentang perwakafan, terdiri dari 15 passal.

3. Pernikahan Dini Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam kompilasi hukum islam pasal 15 yang berbunyi “untuk


kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan
ketika calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapakan dalam
pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No 1 tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 (Sembilan belas)tahun dan calon istri
sekurang-kurangnya 16 (enam belas) tahun.23 Secara eksplisit ketentuan
tersebut ditegaskan bahwa setiap perkawinan yang dilakukan oleh calon

23
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta:CV Akademik
Presindo 2001),H. 14
pengantin pria belum berusia 19 tahun atau wanita 16 tahun disebut
perkawinan dibawah umur atau belum dewasa.

Dalam fiqh atau hukum islam tidak ada batasan minimal usia
perkawinan untuk dijadikan sebagai syarat melaksanakan perkawinan. Jumhur
atau mayoritas ulama mengatakan bahwa wali atau orang tua boleh
menikahkan anak perempuannya dalam usia berapapun. Dalam sejarahnya,
Rasulullah SAW sendiri menikahi Siti Aisyah pada saat berumur 6 tahun dan
tinggal bersama pada umur 9 tahun.

Namun karena pertimbangan maslahat, beberapa ulama


memakruhkan perkawinan usia belum dewasa. Makruh artinya boleh
dilakukan namun lebih baik ditinggalkan. Anak perempuan yang belum
dewasa secara fisik maupun biologis belum siap memikul tugas sebagai istri
dan ibu rumah tangga meskipun dia sudah aqil baligh atau sudah masa haid.

Perkawinan seharusnya mendatangkan keberkahan atau kebaikan


karena telah menyempurnakan setengah agama, namun berbeda halnya jika
yang melaksanakan perkawinan anak yang masih kecil atau yang belum siap
dinilai tidak maslahat bahkan bias menimbulkan mafsadah.

4. Pernikahan Dini Menurut Para Ulama


BAB III
PERNIKAHAN DINI
1. Faktor-Faktor Yang Mendorong Seseorang Melakukan Pernikahan Dini

Seperti yang sudah diuraikan di atas, maka secara eksplisit faktor-faktor


yang mendorong seseorang melakukan pernikahan dini tersebut antara lain:

a. Faktor pernikahan atas kehendak orang tua.


Didalam masyarakat pada umumnya tidak menganggap penting
masalah usia anak yang dinikahkan, karena mereka berfikir tidak akan
mempengaruhi terhadap kehidupan rumah tangga mereka nantinya. Usia
seseorang tidaklah suatu jaminan untuk mencapai suatu kebahagiaan, yang
penting anak itu sudah aqil (baligh). Aqil (baligh) bagi masyarakat desa
ditandai dengan haid bagi perempuan berapapun usianya, sedangkan bagi
laki-laki apabila suaranya sudah berubah dan sudah mimpi basah.
Jika orang tua sudah melihat tanda-tanda tersebut pada anaknya,
maka orang tua segera mencari jodoh untuk anaknya, lebih-lebih orang tua
dari pihak perempuan. Sehingga bagi orang tua perempuan tidak mungkin
untuk menolak lamaran seseorang yang dating untuk meminang anaknya
meskipun anak tersebut masih kecil. Karena dalam perjodohan ini orang tua
berperan lebih aktif, sehingga memberi kesan seakan-akan mencarikan jodoh
untuk anaknya adalah merupakan tugas dan tanggung jawab yang sangat
penting bagi orang tua. Sehingga banyak kasus bila anak tersebut sudah
dewasa, maka mereka akan menentukan sikap dan pilihannya sendiri dengan
cara memberontak dan lari.
Akan tetapi orang tua dengan berbagai cara mempertahankan ikatan
pertunangan yang sudah lama mereka bina selama bertahun-tahun untuk
sampai kepelaminan. Dan para orang tua yang egois dalam mempertahankan
pertunangan itu mengambil jalan dengan mengklaim anaknya sebagai anak
yang tidak berbakti kepada orang tua dan durhaka. Sehingga anak dengan
terpaksa menerima perjodohan tersebut, dan anak tersebut akhirnya putus
sekolah karena orang tua segera mengawinkannya untuk menjaga segala
kemungkinan yang terjadi.
b. Kemauan anak

Banyak anak yang melakukan pernikahan pada usia dini adalah atas
kehendaknya sendiri tanpa ada campur tangan dari orang tua, kenyataan itu
disebabkan karena pengaruh lingkungan yang sangat rendah dengan kejiwaan
anak. Sehingga anak tidak mampu menghindarinya. Kenyataan ini
membuktikan bahwa pada umumnya masyarakat sebelum melakukan
pernikahan mereka terlebih dahulu bertunangan. Dan bagi anak yang belum
bertunangan merasa terkucilkan dan kurang dihargai oleh masyarakat. Karena
tidak seperti yang lainnya. Disini peran orang tua hanya bersikap pasif,
mereka hanya mengikuti apa yang telah menjadi pilihan anaknya.

c. Pengaruh Adat Dan Budaya


Pernikahan usia dini telah menjadi tradisi turun temurun pada suatu
wilayah dan sudah menjadi kebanggaan orang tua jika anak-anaknya cepat
mendapatkan jodoh, agar dapat dihargai oleh masyarakat. Suatu kebiasaan
yang sudah sejak jaman dahulu dan dipandang kolot pada zaman modern.
Masih tumbuh dan berkembang dimasyarakat, contohnya aggapan bahwa
anak yang sudah baligh yang belum menikah atau belum mendapatkan
jodohnya, dianggap tidak laku atau dianggap sebagai perawan tua. Karena
anggapan itulah yang sudah mengakar dalam masyarakat. Dan dikarenakan
malu pada masyarakat jika mempunyai anak yang lama mendapatkan
jodohnya. Sehingga untuk menutupi rasa malu itu maka orang tua menempuh
dua jalan. Pertama menggunakan hak ijbarnya, kedua dengan cara
memotivasi kepada anaknya untuk segera mencari jodohnya agar anaknya
segera menikah.

d. Pengaruh rendahnya pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu pisau bedah yang cukup ampuh


dan kuat dalam merubah suatu sistem adat dan kebudayaan yang sudah
mengakar di masyarakat. Hal ini terkait dengan banyaknya perkawinan usia
dini yang terjadi, salah satu faktornya adalah rendahnya tingkat pendidikan.
Dan kenyataan inilah yang banyak terjadi sehingga melakukan pernikahan
usia dini karena rendahnya tingkat pendidikan bila dilihat pada perkembangan
zaman pada saat ini.

e. Faktor ekonomi

Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang menjadikan


manusia bahagia, walaupun bukan jalan satu-satunya. Tetapi ekonomi dapat
menentukan kedudukan dan kebahagiaan di dunia. Jika dikaitkan dengan
praktek pernikahan usia dini, didapati bahwa faktor ekonomi merupakan
alasan pokok bagi orang tua menikahkan anaknya. Tujuan dari orang tua
untuk segera menikahkan anaknya agar mereka bebas dari tanggung
jawabnya sebagai orang tua, karena pada kenyataannya mereka sudah
berumah tangga perekonomiannya masih tergantung pada orang tuanya.
Tetapi ada juga sebagian orang tua menikahkan anaknya dengan tujuan agar
anaknya dapat berfikir secara dewasa. Dewasa disini artinya agar ia bias
berfikir tentang tanggung jawab dan tidak selalu menggantungkan hidupnya
kepada orang tua. Walaupun demikian tidak sesuai dengan kenyataan yang
ada. Ada juga yang beranggapan bahwa dengan cepatnya menikahkan
anaknya, juga dapat menambah keluarga maka rizki juga bertambah.

f. Faktor Agama.

Faktor agama merupakan salah satu penyebab dari pernikahan usia


dini, karena mereka hanya tahu sebatasnya saja, tanpa harus mengkaji lebih
dalam agama tersebut. Dari keterbatsan itulah orang tua menikahkan anaknya
yang masih berusia dini, karena mereka takut anak-anaknya akan terjerumus
dalam perbuatan maksiat tanpa mereka memikirkan akibat setelah pernikahan
tersebut. Melihat perkembangan zaman dan semakin canggihnya teknologi
sehingga masyarakat desa pun sudah tidak asing lagi dengan acara-acara
televisi yang disiarkan, yang hal ini dapat merusak fikiran anak muda.
Terbukti di masyarakat desa banyak anak-anak yang terjerumus kedalamnya.
Mulai berhubungan dengan obat-obat terlarang seperti narkoba, minuman
keras dan semacamnya, sehingga orang tua khawatir merusak agama dan
akhlak anak-anak, maka mereka mengambil jalan pintas untuk segera
mencarikan jodoh anaknya dan segera menikahkannya agar mereka tidak
terjerumus dan dapat berfikir secara dewasa juga bertanggung jawab dalam
rumah tangga.

2. Manfaat Dan Madharat Pernikahan Dini

Pernikahan dini tidak melulu dipandang jelek, pernikahan dini juga


memiliki sisi positif diantaranya

a. Manfaat/dampak positif
1) Dukungan emosional: dengan dukungan emosional maka dapat
melatih kecerdasan emosional dan spiritual dalam diri setiap pasangan
(ESQ)
2) Dukungan keuangan: dengan menikah di usia dini dapat meringankan
beban ekonomi menjadi lebih hemat.
3) Kebebasan yang lebih: dengan berada jauh dari rumah maka
menjadikan mereka bebas melakukan hal sesuai keputusannya untuk
menjalani hidup mereka secara finansial dan emosional.
4) Belajar memikul tanggung jawab diusia dini: banyak pemuda yang
waktu masa sebelum nikah tanggung jawabnya masih kecil
dikarenakan ada orang tua mereka, disini mereka harus dapat mengatur
urusan mereka tanpa bergantung kepada orang tua.
5) Terbebas dari perbuatan maksiat seperti zina dan lain-lain.
b. Mudharat/dampak negatif

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa seseorang yang


melakukan pernikahan terutama pada usia yang masih muda, tentu akan
membawa dampak terutama dalam dunia pendidikan. dapat diaambil
contoh, jika seseorang yang melangsungkan pernikahan keetika baru lulus
SMP atau SMA, tentu keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi atau
menempuh pendidikan yang lebih tinggi tidak akan tercapai. Hal tersebut
dapat terjadi karena motivasi belajar yang dimiliki seseorang tersebut akan
mulai mengendur karena banyaknya tugas yang harus mereka lakukan
setelah menikah. Dengan kata lain, pernikahan dini dapat menghambat
terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran.

Selain itu belum lagi masalah ketenaga kerjaan, seperti realita


yang ada di masyarakat. Seseorang yang mempunyai pendidikan rendah
hanya dapat bekerja sebagai buruh saja, dengan demikian dia tidak dapat
mengeksplor kemampuan yang dimilikinya.

Dari segi kesehatan: dokter spesialis kebidanan dan kandungan


mengatakan perempuan yang menikah di usia dini di bawah 15 tahun
memiliki banyak resiko meskipun ia sudah mengalami menstruasi atau
haid. Dampak medis yang ditimbulkan oleh pernikahan usia dini ini, yakni
dampak pada kandungannya, penyakit kandungan yang banyak diderita
wanita yang menikah usia dini, antara lain infeksi pada kandungan dan
kanker mulut rahim. Hal ini terjadi karena terjadinya peralihan sel anak-
anak ke sel dewasa yang terlalu cepat. Padahal, pada umumnya
pertumbuhan sel yang tumbuh pada anak-anak baru akan berakhir pada usia
19 tahun.

Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan, rata-rata


penderita infeksi kandungan dan kanker mulut rahim adalah wanita yang
menikah pada usia dini atau dibawah usia 19 atau 16 tahun. Untuk resiko
kebidanan, wanita yang hamil dibawah usia 19 tahun dapat beresiko pada
kematia, selain kehamilan diusia 35 tahun keatas. Resiko lain, selanjutnya
hamil di usia muda juga rentan terjadinya pendarahan, keguguran, hamil
anggur dan hamil prematur di masa kehamilan. Selain itu, resiko meninggal
dunia akibat keracunan kehamilan juga banyak terjadi pada wanita yang
melahirkan di usia dini. Salah satunya penyebab keracunan kehamilan ini
adalah tekanan darah tinggi atau hipertensi.

Dengan demikian, dilihat dari segi medis pernikahan dini akan


banyak membawa kerugian. Maka itu, orang tua wajib berfikir masak-
masak jika ingin menikahkan anaknya yang masih dibawah umur. Bahkan
pernikahan dini bisa dikategorikan sebagai bentuk kekerasan psikis dan
seks bagi anak, kemudian dapat mengalami trauma.

Dari segi psikologi: menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial
pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini
disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara fikir
yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya lebih
mempunyai dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir
pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

3. Paradoks Pernikahan Dini Dalam Membangun Keluarga Ideal

melihat kasus pernikahan dini di masyarakat sangat memprihatinkan


karena rata-rata dilakukan dalam keadaan yang tidak baik, yaitu didahului oleh
faktor yang bertentangan dengan ajaran agama dan budaya luhur bangsa, yaitu
perzinahan dan kehamilan. Ketika pernikahan dalam kondisi seperti ini
dipaksakan, biasanya banyak yang berakhir dengan perceraian, diwarnai
kekerasan dalam rumah tangga, dan tidak sedikit yang berujung kepada kematian
ibu saat melahirkan.

Disinilah pentingnya pemikiran yang matang dan kontekstual yang


melihat seluruh aspek kehidupan, sehingga sebuah pemikiran mampu menjadi
solusi problem sosial actual yang terjadi. Para ulama sebagai pemimpin kultural
umat mempunyai pengaruh besar terhadap paradigma dan perbuatan umat,
sehingga pandangan para ulama sangat penting digali dan dirumuskan sebagai
rujukan umat dalam mengambil keputusan dalam hidup yang berpengaruh besar
dalam perjalanan kehidupan didunia dan di akhirat.

Jika Al-Qur’an menekankan pentingnya membangun keluarga ideal,


yaitu terciptanya sakinah, mawaddah warahmah, maka pernikahan dini dalam
prakteknya banyak menjauhkan realisasi pernikahan ideal yang dicita-citakan al-
qur’an. Disinilah ada paradoks jika ada pandangan yang membolehkan pernikahan
dini dalam kondisi yang belum siap secara fisik dan mental. Disinilah urgensi
mengkaji paradigma ulama dalam melihat masalah krusial ini. Ulama adalah
panutan umat, sehingga pemikiran mereka menjadi panutan umat. Jika ulama
berpadangan moderat progresif, maka umat akan mengikutinya.jika sebalinya,
ulama berpandangan tekstual dan tidak kontekstual, maka umat akan
mengikutinya.24

BAB IV
HASIL PENELITIAN
A.

24
Jamal Ma’mur Asmani Dan Umdatul Baroroh Fiqh Pernikahan (Studi Pernikahan
Dini Dalam Dalam Pandangan Ulama) (Yogyakarta: Aswaja Presindo 2019),H. 25
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad idris, ramulya, hukum pernikahan islam, suatu analisis dari undang-
undang no 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum islam, (jakarta: bumi aksara, cet ke
2, 1999)
Hilman hadikusuma, hukum perkawinan indonesia (bandung: bandar maju, 1990).
Jalaludin rakhmat dan muhtar gandaatmaja, keluarga muslim dalam masyarakat
modern, (bandung: remaja rosdakarya offset, 1993)

Jamal ma’mur asnawi, dan Umdatul Baroroh, Fiqh pernikahan studi pernikahan
usia dini dalam pandangan ulama

Anda mungkin juga menyukai