Anda di halaman 1dari 15

LINGKUNGAN BERLAKUNYA TINDAK PIDANA ISLAM

Dosen Pembimbing : Askana Fikriana, S.H.,M.H

Di Susun Oleh :

Sri Wahyuni (182219490)

Muhammad Rizal (182219475)

Muhammad Zulfikri (182219472)

Oce Agus Sandra (182219480)

PRODI SIYASAH SYAR’IYYAH

JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI BENGKALIS

2021/2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Lingkungan berlakunya tindak pidana islam” mata kuliah fikih jinayah tepat pada waktunya.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal mungkin. Terlepas dari semua itu, Kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata kami berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat.

Bagansiapiapi,16 September 2021


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang.

Pada saat banyak kalangan para ahli membicarakan soal legalitas dalam hukum islam kita
telah mengetahui bahwa prinsip tersebut diambil dari aturan pokok pada syariat Islam yaitu “
sebelum adanya nas , maka perbuatan orang-orang yang berakal tidak mempunyai hukum “
dan “ pada dasarnya semua barang dan perbuatan adalah boleh” jadi selama belum ada nas
yang melarang sesuatu barang atau sesuatu perbuatan maka tidak adanya tuntutan terhadap
perbuatannya. Pada dasarnya syariat islam bukan lah syari’at regional (kedaerahan = setempat )
melainkan syari’at Islam adalah syari’at internasional, bukan untuk sesuatu golongan atau
bangsa, benua saja melainkan syari’at islam itu ditujukan kepada orang – orang muslim kepada
penduduk negeri- negeri muslim atau bukan muslim, kepada penduduk negeri - negeri islam
atau bukan negeri Islam

Akan tetapi karena tidak semua orang percaya kepada syari’at Islam, sedanag syari’at islam
ini tidak dipaksakan kepada mereka maka syari’at islam hanya dapat diterapkan dinegeri negeri
yang berada di tangan kaum muslimin. Dengan demikian maka berlakunya syari’at islam
berhubungan erat dengan kekuasaan dan kekuatan kaum muslimin. Semakin luas daerah yang
dikuasai oleh mereka , semakin luas pula daerah berlakunya syari’at itu, begitupun sebaliknya.
Jadi keadaanlah yang menyebabkan Syari’at Islam bersifat regional, meskipun pada dasarnya
bersifat internasional. Dengan kata lain menurut sifat dasar dan tinjauannya ilmiah, Syari’at
Islam bersifat internasional tetapi menurut penerapannya dan realitasnya praktisnya bersifat
regional.

B. Rumusan masalah.

1. Apa pengertian hukum pidana islam?

2. Seperti apa Lingkungan berlakunya aturan pidana?


3. Kapankah Hukum Islam Mulai Berlaku?

BAB 11

PEMBAHASAN

A. Hukum Pidana Islam

Hukum pidana Islam merupakan bagian dari hukum Islam yang membahas ketentuan
tentang perbuatan-perbuatan manusia yang tidak boleh dilakukan (terlarang) dan yang harus
dilakukan, ancaman sanksinya, dan pertanggungjawabannya. Seperti halnya pembahasan
dalam hukum pidana pada umumnya, hukum pidana Islam juga membahas masalah-masalah
dasar seperti tujuan, hakikat, dan logika pemidanaan. Pembahasan hukum pidana Islam dalam
fiqh disebut fiqh jinayah. Fiqh jinayah adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan
dengan masalah perbuatan yang dilarang yang disebut jarimah atau jinayah, dan
sanksi/pidananya yang disebut uqubah yang diambil dari dalil-dalil terperinci. Objek
pembahasan fiqh jinayah (hukum pidana Islam) secara garis besar ada 3 (tiga); jarimah atau
jinayah (tindak pidana), uqubah (pidana) dan pertanggungjawaban pidana yaitu syarat
dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan pidana. Penyebutan tindak pidana di
kalangan fuqaha terkadang digunakan istilah jarimah dan terkadang jinayah. Baik jarimah
maupun jinayah adalah suatu kata dalam bahasa Arab yang berarti setiap kelakuan buruk
yang dilakukan oleh seseorang. Kata lainnya yang bermakna kelakuan buruk adalah ma’siyah,
namun kata ini tidak digunakan untuk menyebut tindak pidana dalam pembahasan hukum
pidana Islam.

Dengan mengkesampingkan perbedaan pemakaian kata jarimah atau jinayah,


keduanya merupakan nama bagi perbuatan yang dilakukan oleh seseorang menyangkut suatu
kejahatan. Kata jarimah maknanya sinonim dengan kata jinayah. Namun yang lebih tepat
untuk menunjuk suatu perbuatan sebagai kejahatan dan mengancamnya dengan pidana,
istilahnya adalah jarimah. Sedangkan jinayah hanya menunjuk pada perbuatan yang dilarang
saja. Ada pula ulama yang menggunakan istilah jarimah dikhususkan bagi perbuatan yang
diancam dengan pidana had dan ta’zir. jarimah atau jinayah dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan dengan kejahatan, berbuat dosa, berbuat jahat, tindak pidana atau delik.
Menurut hukum pidana Islam, jarimah atau jinayah adalah larangan-larangan hukum yang
diberikan oleh Allah Swt., yang pelanggarannya membawa hukuman yang telah ditentukan-
Nya.6 Pengertian jarimah atau jinayah sebenarnya tidak berbeda dengan pengertian tindak
pidana (peristiwa pidana, delik) pada hukumhukum positif. Perbedaannya hanyalah terletak
pada sumber acuan, sejarah terbentuknya, hubungannya dengan moral, logika, dan tujuan
hukum yang ingin dicapai.

Suatu tindakan dianggap tindak pidana (jarimah atau jinayah) atau tidak dalam hukum
pidana Islam apabila tindakan itu mempunyai unsur-unsur:

1. Nas yang melarang perbuatan dan mengancamkan pidana terhadapnya. Unsur ini disebut
unsur formal (rukun syar’i).

2. Adanya tingkah laku yang membentuk tindak pidana, baik berupa perbuatan-perbuatan
nyata ataupun sikap tidak berbuat. Unsur ini disebut unsur materil (rukun maddi).

3. Pelaku tindak adalah orang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban
terhadap tindak yang diperbuatnya. Unsur ini disebut unsur moral (rukun adabi).

Ketiga unsur tersebut harus terdapat pada suatu perbuatan untuk digolongkan kepada
tindak pidana. Selain ketiga unsur umum tersebut, juga terdapat unsur-unsur khusus untuk
dapat dikenakan pidana, seperti unsur “pengambilan dengan diamdiam” bagi tindak pidana
pencurian. Perbedaan antara unsurunsur umum dengan unsur-unsur khusus ialah kalau unsur-
unsur umum satu macamnya pada semua tindak pidana, maka unsurunsur khusus dapat
berbeda-beda bilangan dan macamnya menurut perbedaan tindak pidana. Namun demikian, di
kalangan fuqaha pembicaraan tentang unsur umum dan unsur khusus dipersatukan, yaitu
ketika membicarakan satu-persatu tindak pidana.

Perbuatan-perbuatan yang termasuk tindak pidana menurut hukum pidana Islam dapat
berbeda penggolongannya. Dilihat dari segi berat-ringannya hukuman, tindak pidana dibagi
menjadi tiga, yaitu tindak pidana yang diancam hukuman had (jarimah hudud), tindak pidana
yang diancam hukuman qişâş-diyat (jarimah qişâş-diyat) dan tindak pidana yang diancam
hukuman ta’zir (jarimah ta’zir).

1. Tindak pidana hudud ialah tindak pidana yang diancamkan pidana had, yaitu pidana yang
telah ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak Allah Swt. Pidana tersebut tidak
mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, karena sudah ditetapkan oleh Allah Swt.
Maksud hak Allah Swt. adalah bahwa pidana tersebut tidak bisa dihapuskan baik oleh
perseorangan (korban) ataupun oleh masyarakat yang diwakili negara. Sanksi pidana yang
termasuk hak Allah Swt. ialah setiap sanksi yang dikehendaki oleh kepentingan umum
(masyarakat), seperti untuk memelihara ketentraman dan keamanan masyarakat, dan
manfaat penjatuhan pidana tersebut akan dirasakan oleh keseluruhan masyarakat. Tindak
pidana hudud ada tujuh, yaitu al-zinâ(zina) al-qazaf (menuduh orang lain berbuat zina), al-
syurb (minum minuman keras), alsariqah (mencuri), al-hirâbah (merampok, mengganggu
keamanan), al-riddah (pemberontakan).

2. Tindak pidana qişâş-diyat ialah perbuatan-perbuatan yang diancam pidana qişâş atau
pidana diyat. Qişâş dan diyat ialah pidana yang telah ditentukan batasannya, dan tidak
mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan. Korban atau
ahli warisnya diberi wewenang untuk memaafkan pelaku, dan apabila dimaafkan, maka pidana
tersebut menjadi hapus.11Tindak pidana qişâşdiyatyaitu tindak pidana pembunuhan dan
pelukaan terhadap manusia.

3. Tindak pidana ta’zir ialah perbuatan yang diancam dengan pidana ta’zir. Pengertian ta’zir
ialah memberi pengajaran (alta’dib). Istilah tersebut mempunyai pengertian tersendiri, bahwa
“syara’ tidak menentukan macam-macamnya pidana untuk tiap-tiap jarimah ta’zir, tetapi
hanya menyebutkan sekumpulan pidana, dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-
beratnya”. Hakim dalam hal ini diberi kebebasan untuk memilih pidana yang sesuai dengan
macam tindak pidana ta’zir serta keadaan pelakunya. Pidana untuk tindak pidana ta’zir tidak
mempunyai batasan tertentu, dapat seringan-ringannya hingga seberat-beratnya. Macam
tindak pidana ta’zir juga tidak ditentukan banyaknya karena terus mengalami variasi baik
bentuk maupun modus operandinya seiring dengan perkembangan zaman. Syara’ hanya
menentukan secara garis besar dan yang sudah berlaku secara umum saja.

Sedangkan ditinjau berdasarkan karakter khusus tindak pidana, dapat dibagi menjadi
tindak pidana masyarakat (jaraim aljamaah), tindak pidana perseorangan (jaraim al-afrad),
tindak pidana biasa (jaraim ‘adiyah) dan tindak pidana politik (jaraim siyasah).

1. Tindak pidana masyarakat Tindak pidana masyarakat merupakan suatu tindak pidana yang
sanksi pidananya dijatuhkan demi menjaga kepentingan (kemaslahatan) masyarakat baik
mengenai individu, masyarakat maupun mengancam keamanan masyarakat. Para ulama
sepakat bahwa penjatuhan sanksi atas tindak pidana jenis ini menjadi hak Allah Swt. Terhadap
sanksi tersebut tidak ada pengampunan, peringanan, atau penundaan eksekusinya dari
perseorangan. Tindak pidana hudud masuk dalam kategori ini.

2. Tindak pidana perseorangan Tindak pidana perseorangan merupakan tindak pidana yang sanksi
pidananya dijatuhkan untuk memelihara kemaslahatan individu. Tindak pidana qişâş dan diyat
termasuk tindak pidana perseorangan. Meskipun tindak pidana ini juga bisa menyentuh kemaslahatan
masyarakat, namun lebih menguatkan hak individu (perseorangan) daripada hak masyarakat. Korban
tindak pidana qişâş-diyat diberi hak memberikan pengampunan pidana qişâş dan diyat sebagai
pidana pokok. Apabila ancaman pidana terhadap pelaku dihapuskan dengan dimaafkan, hakim masih
berhak menjatuhkan pidana ta’zir sebagai bentuk pemeliharaan terhadap kepentingan masyarakat
yang tidak bersentuhan secara langsung.

3. Tindak pidana biasa dan tindak pidana politik Hukum pidana Islam membedakan antara tindak pidana
biasa dengan tindak pidana politik atau tindak pidana pemberontakan (bughat). Pemisahan ini
dimaksudkan untuk menjaga kemaslahatan dan keamanan masyarakat serta memelihara sistem dan
eksistensi mereka. Tidak semua tindak pidana yang diperbuat untuk tujuan politik disebut tindak pidana
politik, tergantung karaktersitiknya dan kondisi politiknya. Tindak pidana politik tidak terjadi dalam
kondisi dan situasi-situasi biasa, sebab semua tindak pidana yang terjadi dalam situasi dan kondisi biasa
termasuk tindak pidana biasa. Tindak pidana politik baru terjadi dalam keadaan pemberontakan dan
peperangan. Kriterianya adalah; pemberontakan dimaksudkan untuk menurunkan kepala
negara/pemerintah, memiliki alasan-alasan (takwil) pemberontakkan versi mereka, memiliki
persenjataan, dan terjadi peperangan.

B. Lingkungan Berlakunya Aturan – Aturan Hukum Pidana Islam.

Pada dasarnya syari’at islam bukan syari’at regional dan kedaerahan , melainkan syari’at
yang bersifat universal dan internasional syari’at Islam berlaku untuk seluruh dunia dan umat
manusia baik mereka muslim atau non muslim sebagaimana firman Allah dalam surat Al
Ambiya’ ayat 107

َ‫ك اِاَّل َرحْ َمةً لِّ ْل ٰعلَ ِم ْين‬


َ ‫َو َمٓا اَرْ َس ْل ٰن‬

Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.(Al
Ambiya’ 107)

Akan tetapi tidak semua orang percaya kepada syari’at islam, sedangkan syari’at ini tidak
mungkin dipaksakan maka dalam realitasnya syari’at islam hanya dapat diterapkan di negri-
negeri yang berada dalam kekuasaan kaum muslimin saja, Dalam hubungan dengan lingkungan
berlakunya peraturan pidana Islam secara teoritis para fukaha yaitu Negara Islam dan Negara
bukan Islam

Yang termasuk negeri Islam adalah negera – negara dimana hukum Islam tampak
didalamnya karena penguasanya adalah penguasa Islam dan penduduknya yang beragama
Islam dan menjalankan hukum-hukum Islam atau negeri – negeri yang dikuasai oleh kaum
muslimin meskipun kebanyakan pendudukknya tidak memeluk agama Islam.

Penduduk negeri Islam dibagi menjadi dua:

Pertama : pemeluk – pemeluk agama islam adalah semua orang yang percaya kepada agama
islam . kedua : orang kafir dzimmi yaitu mereka yang tidak memeluk agama Islam tetapi mereka
tunduk terhadap kepada Hukum Islam dan menetap dinegara islam.

Kedua : Penduduk bukan islam negeri – negeri yang tidak termasuk dalam kekuasaan kaum
muslimin atau negeri – negeri dimana hukum islam itu tidak tampakbaik negeri itu dikuaszai
oleh stu pemerintah atau bukan, baik penduduknya tetap terdiri dari kaum muslimin atau pun
bukan.

Baik penduduk muslim maupun non muslim dijamin keselamatan jiwa dan raganya
(ma’shum ad dami walmaal), sebab jaminan keselamatan bisa diperoleh dengan dua jalan yaitu
keimanan dan kedamaian. Artinya keimanan adalah mempercacayai Islam . sedangkan
kedamaian adalah dengan mengguanakan suatu janji keselamatan yang diberikan kepada
penduduk zimmi berdasarkan perjanjian tertentu[7].Mengenai pelaksanaan aturan hukum
pidana Islam dalam kaitanya dengan pembagian Negara tersebut , para fuqaha berbeda
pendapat dalam perinciannya walaupun pada prinsipnya ada kesepakatan diantara mereka.

Menurut Abu Hanifah Hukum pidana Islam diterapkan atas jarimah – jarimah yang
terjadi dinegeri negeri Islam.baik dilakukan penduduk muslim ataupun penduduk dzimmi.
Sedangkan untuk penduduk musta’man yakni penduduk darul harb atau penduduk
pendatang,yang tinggal untuk sementara waktu dinegara islam untuk keperluan tertentu.
Mereka hanya dikenakan hukuman apabila melakukan jarimah yang menyinggung hak manusia
(individu).sedangkan untuk jarimah-jarimah yang menyinggung hak Allah mereka tidak
dikenakan hukuman. Untuk jarimah yang dilkukan diluar Negara islam, tidak diterapkan hukum
pidana islam, baik tindak pidana itu dilakukan penduduk muslim atau dzimmi yang berasal dari
negri Islam yang sedang berada didarul harb kemudian kembali kenegara Islam maupun oleh
penduduk daru harb yang kemudian pindah ke negeri Islam.

Alasan abu hanifah adalah penerapan syari’at Islam tidak hanya didasrkan kepada ketundukan
mereka terhadap hukum islam semata – mata melainkan dikaitkan dengan kewajiban imam
atau penguasa untuk menerapkanya. Di darul harb islam tidak mempunyai kekuasaan sehingga
hukum pidana islam tidak dapat diberlakukan.

Menurut Imam Abu Yusuf hukum piadan islam diterapkan atas jarimah jarimah yang
terjadi dinegeri islam, baik dilakukan penduduk muslim atau non muslim maupun musta’man.
Alasanya adalah bahawa terhadap penduduk muslim itu berlakunya hukum pidana karena
keislamannya dan terhadap penduduk dzimmi karena adanya perjanjian untuk tunduk dan
patuh kepada peraturan islam. Sedangkan berlakunya hukum pidana Islam untuk Musta’man
adalah karena janji keamanan yang member hak kepadanya untuk tinggal sementara di negeri
Islam, dfiperoleh berdasarkan kesanggupan tersebut maka kedudukan musta’man sama dengan
dzimmi.

Jumhur ulama’ pada perinsipnya sama dengan Abu Yusuf yaitu bahwa hukum pidana
islam diterapkan berdasarkan jarimah yang dilakukan dinegeri Islam baik orang muslim, zimmi
ataupun musta’man. Hanya perbedaanya dalam jarimah yang dilakukan diluar Negara islam
alsanya adalah bahwa jarimah yang dilakukan dinegeri islam dan didarul harb tidak ada
perbedaannya , selama islam melarang jarimah tersebut . jadi selama syari’at Islam melarang
perbuatan tersebut maka dimanapun orang itu berada dia tetap terikat dengan syri’at Islam
dan apabila larangan itu dilanggar maka ia harus dituntut dan dijatuhi hukuman.

Dalam hal ini di Indonesia diatur dalam KUHP pasal 2 sampai 9 . pasal 2 antara lain
berbunyi: ketentuan pidana dalam perundang – undangan Republik Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang dalam daerah Republik Indonesia melakukan suatu tindak pidana .

C. Masa Berlakunya Aturan- Aturan Hukum Pidana Islam.

Setiap peraturan atau perundang – undangan mesti ada masa berlakunya, yakni sejak
kapan hukum itu berlaku. Demikian pula halnya peraturan dalam hukum pidana islam. Dalam
hukum positif, ketentuan tentang masa berlakunya peraturan pidana ini dapat kita lihat dalam
pasal 1 ayat (1) kitab Undang – Undang hukum pidana Indonesia pasal tersebut berbunyi: “tiada
suatu perbuatan dapat dipidana melainkan atas ketentuan pidana dalam perundang undangan
telah ada sebelum perbuatan itu ada” Menurut pasal ini, suatu perbuatan dapat terpidana
apabila sebelumnya ada ketentuannya pidana dalam undang undang. Perbuatan yang terjadi
sebelum dikeluarkannya undang undang tersebut tidak dapat dituntut dan pelakunya tidak
dapat dikenakan hukuman. Dengan kata lain, suatu peraturan pidana dalam hukum positif
mulai berlaku sejak dikeluarkan atau ditetapkannya dan tidak berlaku terhadap peristiwa yang
terjadi sebelum peraturan itu dikeluarkan atau ditetapkan. Dengan demikian peraturan pidana
dalam hukum positif tidak berlaku surut.
Menurut hukum pidana Islam ketentuan tentang masa berlakunya peraturan pidana ini,
pada perinsipnya sama dengan hukum positif. Seperti halnya hukum positif, peraturan dalam
hukum pidana islam berlaku sejak ditetapkan dan tidak berlaku terhadap peristiwa yang terjadi
sebelum peraturan itu diundangkan. Dengan demikian peraturan pidana dalam hukum Islam
juga tidak berlaku surut. Prinsip-prinsip “ tidak berlaku surut” kita dapati dalam syari’at apabila
kita mau meneliti ayat ayat yang berisi tentang aturan-aturan pidana dan riwayat-riwayat
tentang turunya. Semua ayat yang melarang perbuatan maksiat diturunkan sesudah agama
islam tersiar akan tetapi tidak ada jarimah yang terjadi sebelum turunnya ayat-ayat itu di jatuhi
hukuman selain jarimah Qoadzaf dan hirobah[2]

Ketentuan tidak berlaku surutnya peraturan pidana ini dalam surat An Nisa’ Ayat 22

‫َواَل تَ ْن ِكحُوْ ا َما نَ َك َح ٰابَ ۤاُؤ ُك ْم ِّمنَ النِّ َس ۤا ِء اِاَّل َما قَ ْد َسلَفَ ۗ اِنَّهٗ َكانَ فَا ِح َشةً َّو َم ْقتً ۗا َو َس ۤا َء َسبِ ْياًل‬

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada
masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-
buruk jalan (yang ditempuh).(An Nisa’ 22)

Dalam ayat ini Allah Swt melarang untuk mengawini bekas istri ayah (Ibu tiri). Setelah
turunnya ayat ini apabila terjadi perbuatan yang semacam itu maka pelaku dapat dijatuhi
hukuman. Bagaimana perbuatan yang terjadi sebelum turunnya ayat ini apakah termasuk
jarimah yang harus dikenakan hukuman atau tidak? Lafadz menunjukkan perbuatan mengawini
bekas Ibu tiri ayah sebelum turunnya ayat ini yang memang banyak dilakukan oleh orang- orang
Arab sebelum Islam. Tidak dianggap jarimah dan dengan demikian tidak dikenakan hukuman.
Dengan demikian, ayat ini tidak berlaku surut. Hanya saja perlu diingat bahwa perbuatan
tersebut mempunyai dua segi.

1. segi pidana yaitu bahwa perkawinan semacam itu merupakan jarimah terhadap tindak
pidana ini, dan ayat tersebut tidak berlaku surut sebagimana telah dijelaskan diatas.

2. dari segi perdata yakni perkawinan tersebut merupakan salah satu akad. Sebagai akibat dari
turunya ayat ini maka perkawinan yang haram itu adalah yang dilakukan dimasa yang lalu harus
diputuskan.. dengan demikian dalam segi perdata ayat tersebut mempunyai kekuatan berlaku
surut.

D. Pengucualian Dari Perinsip Tiada Berlaku Surut.

Ada beberapa pengecualian prinsip “ tidak berlakuny surut” yaitu pada jarimah-jarimah yang
sangat berbahaya dan pada saat yang berbeda menguntungkan tersangka. Jarimah sangat
berbahaya adalh termasuk pengecualian dari prinsip “tidak berlaku surut” dimana ini berlaku
bagi jarimah – jarimah tertentu yaitu Qadzaf dan Hirobah ( pembegalan dan ganguan
keamanan) dikenakan hukuman atas peristiwa peristiwa yang telah terjadi sebelum turunya
ayat yang melarangnya.

· Qadzaf

Dalam surat An Nur allah berfirman :

ٰۤ ُ ۚ
‫ول ِٕىكَ هُ ُم‬ ‫ت ثُ َّم لَ ْم يَْأتُوْ ا بِاَرْ بَ َع ِة ُشهَد َۤا َء فَاجْ لِ ُدوْ هُ ْم ثَمٰ نِ ْينَ َج ْل َدةً َّواَل تَ ْقبَلُوْ ا لَهُ ْم َشهَا َدةً اَبَدًا َوا‬ َ ْ‫َوالَّ ِذ ْينَ يَرْ ُموْ نَ ْال ُمح‬
ِ ‫ص ٰن‬
َ‫ۙ ال ٰف ِسقُوْ ن‬
ْ

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan
mereka Itulah orang-orang yang fasik.(An Nur 4)

Menurut sebagian fuqoha nas tersebut turun sebelum terjadi peristiawa kedustaan (fitnah)
terhadap diri a’isyah ra istri nabi Saw dimana ia dituduh telah berbuat serong . setelah fitnah itu
terjadi dan ternyata tidak berbuat salah , maka para penuduh dikenakan hukuman berdasakan
nas tersebut . kalau pendapat itu benar maka nas tersebut tiadak mempunyai kekuatan
hukum .

Menurut fuqoha lainnya dan pendapat mereka lebih kuat, nas tersebut diturunkan sesudah
peristiwa kedustaan tersebut jadi berdasarkan pendapat terakhir ini nas berlaku surut sebab
suatu hal yang jelas ialah bahwa rasulullah telah menjatuhkan hukuman had atas para penuduh
(pembuat pembuat jarimah qhodzaf)
· Hirabah

Para fuqoha juga berebda pendapat tentang sebab- sebab turunya nas yang melarang dan
menghukum jarimah hirabah (pembegalan / penggarongan) dalam firman Allah dalam surat al
midah ayat 33

‫صلَّب ُْٓوا اَوْ تُقَطَّ َع اَ ْي ِد ْي ِه ْم َواَرْ ُجلُهُ ْم‬ ‫انَّما ج ٰۤزُؤا الَّذ ْينَ يُحاربُوْ نَ هّٰللا‬
َ ُ‫ض فَ َسادًا اَ ْن يُّقَتَّلُ ْٓوا اَوْ ي‬ ِ ْ‫َ َو َرسُوْ لَهٗ َويَ ْس َعوْ نَ فِى ااْل َر‬ ِ َ ِ َ َ ِ
ِ ‫ي فِى ال ُّد ْنيَا َولَهُ ْم فِى ااْل ٰ ِخ َر ِة َع َذابٌ ع‬
‫َظ ْي ٌم‬ ٌ ‫ك لَهُ ْم ِخ ْز‬ َ ِ‫ض ٰذل‬
ِ ۗ ْ‫ف اَوْ يُ ْنفَوْ ا ِمنَ ااْل َر‬
ٍ ‫ِّم ْن ِخاَل‬

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan
membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, (Al Midah 33)

Menurut riwayat yang kuat dan yang difahami oleh kalangan fuqoha ayat tersebut turun
berdasarkan dengan peristiwa orang orang dari “Urainah” yang tidak kerasan tinggal
dimadinah. Kemudian rosulullah mengirim unta – unta kepada mereka untuk minum air susu
dan air kencing nya untu obat. Kemudian pergilah mereka akan tetapi setelah datang waktu
pagi mereka membunuh pengembalanya dan membawa lari unta unta tersebut.maka
rosulullah menyuruh mengejar mereka, dan mereka ditangkap kemudian turunlah nas tersebut
dan mereka dikenakan hukuman.

Kalau kita memegangi riwayat tersebut maka kita dapat mengatakan bahwa nas tersebut
diatas berisi suatu hukuman atas perbuatan yang terjadi sebelum turunnya ayat.dan oleh
karena itu nas tersebut mempunyai kekuatan berlaku surut.sudah barang tentu kepentingan
umumlah yang menghendaki adanya kekuatan berlaku surut. Karena perilaku orang urainah
sangat keji yang kalau tidak diambil tindakan tegas terhadapnya maka penghinaan terhadap
kaum muslimin dan sistem masyrakat baru berdsarkan islam akan menjadi jadi, dan kerusuhan
– kerusuhan serta gangguan keamanan dan ketentraman akan menjadi semakin luas. Akan
tetapi hukuman tegas sebagaiman yang dikehendaki adanya kekuatan berlaku surut
sebagaimana dikehendaki oleh jarimah qhodzaf.
Alasan pemakaian nas lebih menguntungkan bagi pembuat bahwa tujuan menjatuhkan
hukuman adalah memberantas perbutan jarimah dan melindungi masyrakat dari keburukan-
keburukannya.jadi penjatuhan hukuman merupakan kebutuhan sosial yang diperlukan oleh
kepentingan masyarakat dan setiap kebutuhan diukur dengan dengan kepentingan masyarakat
yang dikehendaki. Pemeliharaan kepentinagan masyarakat tidak terletak pada penjatuhan
hukuman yang berat , dan suatu keadilan pula yang dipertimbangkan penjatuhan hukuman
yang dijatuhkan tidak melebihi dari keperluan masyarakat. Selama hukum dijatuhkan untuk
melindunginya.

BAB III
KESIMPULAN

1. Hukum pidana Islam ketentuan tentang masa berlakunya peraturan pidana ini, pada
perinsipnya sama dengan hukum positif. Seperti halnya hukum positif, peraturan dalam hukum
pidana islam berlaku sejak ditetapkan dan tidak berlaku terhadap peristiwa yang terjadi
sebelum peraturan itu diundangkan. Dengan demikian peraturan pidana dalam hukum Islam
juga tidak berlaku surut

2. Namun dalam hukum pidana islam ada pengecualian yaitu terkait dengan jarimah qodzaf
dan hirabah .dalam hal ini hukuman pada tindak pidana atau delik tiada berlaku surut.karena ini
merupakan tindak pidana yang sngat membahayakan bagi kelangsungan kehidupan maanusia.

3. Menurut Imam Abu Yusuf hukum piadan islam diterapkan atas jarimah jarimah yang terjadi
dinegeri islam, baik dilakukan penduduk muslim atau non muslim maupun musta’man.
Alasanya adalah bahawa terhadap penduduk muslim itu berlakunya hukum pidana karena
keislamannya dan terhadap penduduk dzimmi karena adanya perjanjian untuk tunduk dan
patuh kepada peraturan islam. Sedangkan berlakunya hukum pidana Islam untuk Musta’man
adalah karena janji keamanan yang member hak kepadanya untuk tinggal sementara di negeri
Islam, dfiperoleh berdasarkan kesanggupan tersebut maka kedudukan musta’man sama dengan
dzimmi.

Penutup

Demikianlah makalah ini kami paparkan. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Kami sadar
masih bayak kekurangan dalam makalah ini saran dan kritik yang konstuktif kami harapkan
guna memperbaiki makalah kami selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai