Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Cirebon pada awalnya adalah sebuah daerah yang bernama Tegal Alang-Alang yang kemudian
disebut Lemah Wungkuk dan setelah dibangun oleh Raden Walangsungsang diubah namanya
menjadi Caruban. Nama Caruban sendiri terbentuk karena diwilayah Cirebon dihuni oleh
beragam masyarakat dan sebutan lain Cirebon adalah Caruban Larang. Pada perkembangannya
Caruban berubah menjadi Cirebon karena kebiasaan masyarakatnya sebagai nelayan yang
membuat terasi udang dan petis, masakan berbahan dasar air rebusan udang/cai-rebon. Tahun
1389 M, Cirebon disebut “Caruban Larang”, terdiri atas Caruban pantai/ pesisir dan Caruban
Girang. Letak Cirebon yang berada dipesisir Pantai Utara Jawa yang merupakan jalur strategis
perdagangan lokal maupun internasional membuat Cirebon cepat berkembang menjadi tempat
persinggahan para pedagang dari luar negeri. Para pedagang yang singgah di pelabuhan
Cirebon umunya adalah pedagang Islam yang berasal dari China, Arab, dan Gujarat yang
kemudian banyak diantara mereka yang menetap di Cirebon.

Sejak abad ke 15 M Cirebon sudah banyak didatangi pedagang Islam yang kemudian menetap.
Oleh karena itu menurut Tome Pires, seorang pedagang Portugis yang pernah mengadakan
pelayaran disepanjang pantai Utara Jawa pada tahun 1531, kerajaanPajajaran melarang orang-
orang muslim terlalu banyak masuk ke dalam. Kerajaan Pajajaran adalah kerajaan yang bercorak
Hindu-Budha yang menguasai wilayah Sunda termasuk hingga kewilayah Cirebon.

Kerajaan Sunda Pajajaran sendiri pada saat itu di pimpin oleh raja yang bergelar Sri Paduka
(Baduga) Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.Karena Prabu
Siliwangi penganut ajaran Sang Hyang/Hindu-Budha, maka masuknya agama Islam dibatasi
agar tidak mengancam kekuasaannya. Akan tetapi, penyebaran Islam di Cirebon menjadi
berkembang pesat setelah Pangeran Cakrabuana menjadi Kuwu di Cirebon.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana sejararah Kerajaan Cirebon?

2.      Bagaimana perkembangan awal Kerajaan Cirebon?

3.      Bagaimana masa kesultanan Kerajaan Cirebon?

4.      Bagaimana Terpecahnya Kesultanan Kerajaan Cirebon?

5.      Bagaimna Penyabaran Islam di Kerajaan Cirebon?

6.      Apa penyebab Kerajaan Cirebon di sebutbandar daggang?

1
7.       Bagaimna runtuhnya Kerajaan Cirebon?

8.      Apa saja penigalan Kerajaan Cirebon?

C.Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui lebih dalam mengenai sejarah kerajaan Cirebon.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A.    Sejarah Kerajaan Cirebon

Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada
naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang
dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang
ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para
pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian
yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.

Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan,
maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai
serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang)
dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang
kemudian menjadi Cirebon.

Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon
kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara
Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan
bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama
Islam di Jawa Barat.

B.     Perkembangan awal Kerajaan Cirebon

1.      Ki Gedeng Tapa

Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang
saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan
membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun
Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai
menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.

2.      Ki Gedeng Alang-Alang

Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki
Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden
Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang,
yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat,
Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai
kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

3
C.    Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)

1.      Pangeran Cakrabuana

Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu
Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama
kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia
mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden
Sangara.

Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan
Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh
Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah
Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh
adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai
Cantring Manikmayang.

Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal,
Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana
Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai
pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana.
Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman,
tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif
menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.

2.      Sunan Gunung Jati (1479-1568)

Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari
hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568)
yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif
Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai
Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid
Jaman Khalifatur Rasulullah.

Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri
dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa
Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.

3.      Fatahillah (1568-1570)

Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton
yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh

4
Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara
resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya
berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan
Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di
Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

4.      Panembahan Ratu I (1570-1649)

Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan
jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon
atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan
memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.

5.      Panembahan Ratu II (1649-1677)

Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan
Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena
ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah
meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya
almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan
Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.

Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan,
yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon
dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya).
Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri,
karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama
keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di
Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.

Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan


Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di
Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi
makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.

D.    Terpecahnya Kesultanan Cirebon

Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Pangeran


Wangsakerta yang bertanggung jawab atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tidak
berada di tempat,khawatir atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk
meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam
Perang Pagarage), beliau mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk

5
memperbaiki hubungan diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo
yang disupport oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil diselamatkan.
Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan lain dari bantuannya pada
kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua Pangeran yang ia selamatkan sebagai
Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan
Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun lebih
hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar Cirebon tidak
beraliansi lagi dengan Mataram.

1.      Perpecahan I (1677)

Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan
tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan
Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan
terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya.
Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:

·         Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil
Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)

·         Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi
Muhammad Badrudin (1677-1723)

·         Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul


Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).

Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini
dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di
ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan
keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya
Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri
sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi
kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi
keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari
permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain
yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.

2.      Perpecahan II (1807)

Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan
Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu

6
Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama
Kesultanan Kacirebonan.

Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan
keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang
mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan
pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan
gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu
KesultananKacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman
V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin
(1803-1811).

E.     Penyebaran Islam di Kerajaan Cirebon

Kerajaan Cirebon merupakan bagian dari administratif Jawa Barat. Cirebon sendiri mempunyai
arti seperti di daerah-daerah lainnya. Cirebon berasal dari bahasa sunda “ci” yang berarti air,
sedangkan “rebon” berarti udang. Cirebon mempunyai ati sungai udang atau kota udang.
Cirebon didirikan pada 1 Sura 1445 M, oleh Pangeran Cakrabuana. Pada tahun 1479 M
Pangeran Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon yang bertempat di kraton Pakungwati Cirebon
menyerahkan kekuasaannya pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah seorang
menantu Pangeran Cakrabuana dari ibu Ratu Mas Rara sasantang. Sejak inilah Cirebon menjadi
negara merdeka dan bercorak Islam.

Sebelum berdirinya kekuasaan politik Islam di bawah kekuasaan Sunan Gunung Jati wilayah
Cirebon dibagi menjadi dua daerah, pesisir dan pedalaman. Daerah pesisir dipimpin oleh Ki
Gendeng Jumajan Jati, sedangkan wilayah pedalaman dipimpin oleh Ki Gendeng Kasmaya.
Keduanya adalah saudara Prabu Anggalarung dari Galuh. Sunan Gunung Jati kemudian menikah
dengan Ratu Mas Pakungwati dari Cirebon pada tahun 1479 dan pada tahun itu juga di bangun
Istana Pakungwati atau keraton Kasepuhan.

Putra Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Pasarean pada tahun 1528 diangkut sebagai pemangku
kekuasaan di Cirebon. Sebelum sempat menggantikan ayahnya, Pangeran Pasarean wafat pada
tahun 1552. Sunan Gunung Jati kemudian mengangkat Aria Kemuning menjadi sultan Cirebon.
Aria Kemuning adalah anak angkat dari Sunan Gunung Jati. Aria Kemuning atau julukannya
Dipati Carbon 1 menjabat sebagai sultan Cirebon kurang lebih 12 tahun, yaitu sejak 1553-1565.

1.      Berkembangnya Ajaran Islam di Kerajaan Cirebon

a.       Perkembangan Islam pada Masa Syekh Idlofi Mahdi

Menurut Tome Pires, seorang musyafir dari negeri Portugis pendapat Islam masuk pada
Kerajaan Cirebon pada tahun 1470-1475. pada tahun 1420 M, datang serombongan pedagang

7
dari Baghdad yang dipimpin oleh Syekh Idlofi Mahdi, ia tinggal di dalam perkampunganMuara
Jati dengan alasan untuk memperlancar barang dagangannya. Syekh Idlofi Mahdi memulai
kegiatannya selain berdagang dia juga berdakwah dengan mengajak penduduk serta teman-
temannya untuk mengenal serta memahami ajaran Islam. Pusat penyebarannya brada di Gunung
Jati. Syekh Idlofi Mahdi menyebarkan agama Islam dengan cara bijaksana dan penuh hikmah.

Sebelum masuknya Islam ke pulau jawa pada umumnya dan kerajaan Cirebon khususnya, situasi
masyarakat di pengaruhi sistem kasta pada ajaran agama Hindu kehidupan masyarakatnya jadi
bertingkat-tingkat. Mereka yang mempunyai kasta lebih tinggi tidak dapat bergaul dengan
dengan kasta yang lebih rendah atau pergaulan diantara mereka dibatasi. Setelah ajaran Islam
disebarkan oleh  Syekh Idlofi Mahdi, susunan masyarakat berdasarkan kasta ini mulai terkikis
dan dimulailah kehidupan masyarakat tanpa adanya perbedaan kasta

b.      Perkembangan Islam pada masa Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.

Menurut semua sejarah lokal dari Cirebon termasuk cerita Purwaka Caruban Nagari, masuknya
Islam di Cirebon pada abad 15 yaitu pada tahun 1470. disebarkan oleh Sunan Gunung Jati atau
Syarif Hidayatullah. Penyebaran agama Islam itu dimulai ketika Syarif Hidayatullah berusia 27
tahun yaitu dengan menjadi mubaliqh Cirebon. Di tahun 1479 Syarif Hidayatullah menikah
dengan Nyi Ratu Pakungwati, putre dari pangeran Cakrabuana. Pengganti pangeran Cakrabuana
sebagai penguasa Cirebon di berikan pada Syarif Hidayatullah. Pada tahun pengangkatannya
Syarif Hidayatullah mengembangkan daerah penyebarannya di wilayah Pajajaran.

Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke daerah Serang yang


sebagian rakyatnya sudah mendengar tentang Islam dari pedagang-pedagang dari Arab dan
Gujarat yang berlabuh di pelabuhan Banten. Syarif Hidayatullah mendapat sambutan hangat dari
adipati Banten. Daerah-daerah yang telah diislamkan antara lain : Kuningan, Sindangkasih,
Telaga, Luragung, Ukur, Cibalagung, Kluntung, Bantar, Indralaya, Batulayang, dan
Timbangaten. Di wilayah Pejajaran Agama Islam berkembang pesat di negeri Caruban yang
dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Demak kemudian menjalin persahabatan dengan Syarif
Hidayatullah. Setelah mengenal Syarif Hidayatullah Raden Patah bersama-sama para mubaliqh
yang sudah bergelar sunan menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai Panata Gama Rasul di tanah
Pasundan. Panata Gama Rasul artinya orang yang ditetapkan sebagai pemimpin penyiaran Agam
Nabi Muhamad di tanah Jawa. Kemudian atas kesepakatan para sunan Syarif Hidayatullah di
beri gelar Sunan Gunung Jati dan menjadi Sunan paling terakhir yaitu sunan ke-9 dari sunan 9
sunan lainnya. Kerajaan-kerajaan yang berhasil ditakhlukkan Sunan Gunung Jati diantaranya:

·         Talaga, sebuah kerajaan yang beragam Hindu yang terletak di sebelah barat daya Cirebon
di bawah kekuasaan Prabu Kacukumun.

8
·         Rajagaluh, bekas pusat kerajaan Pajajaran yang beragam Hindu yang diperintah Prabu
Cakraningrat. Prabu Cakraningrat tidak senang dengan kemajuan Cirebon dan persebaran agama
Islam di Cirebon di tangan Sunan Gunung Jati. Akibatnya timbulah perang antara Cirebon
dengan Rajagaluh, kemenangan berada di tangan Cirebon. Berakhirnya kekuasaan Rajagaluh
sekaligus merupakan berakhirnya kekuasaan kerajaan Hindu di daerah Jawa Barat sebelah
Timur.

·         Pada tahun 1498 para Walisongo yang diprakarsai oleh Sunan Gunung Jati membangun
Masjid Agung Cirebon. Pembangunannya dipimpin oleh Sunan Kalijaga denganseorang arsitek
Raden Sepat ( dari Majapahit bersama 200 orang pembantunya dari Demak ). Masjid ini juga
disebut Sang Cipta Rasa karena terlahir dari rasa dan kepercayaan penduduk. Pada masa itu juga
disebut dengan Masjid Pekungwati karena dulu masjid itu terletak dalam komplek keraton
Pekungwati dan sekarang dalam komplek kasepuhan. Menurut cerita masjid itu dibangun dalam
waktu semalam dan besok pada waktu subuh digunakan untuk Sholat Subuh. Pada tahun 1568
Sunan Gunung Jati meninggal pada usia yang sangat lanjut yaitu 120 tahun, dia dimakamkan di
pertamanan Gunung Jati

F.     Cirebon Sebagai Bandar Dagang

            Letak Cirebon yang strategis yaitu di daerah pesisir pantai Utara pulau Jawa. Cirebon
sebagai pusat pelabuhan berfungsi sebagai sumber pendapatan ekonomi dan sebagai keluar –
masuknya barang-barang kebutuhan pada masyarakat pedesaan, dengan luar daerah, maupun
dari negeri lain. Perdagangan ini melalui 2 jalur yaitu jalur darat dan jalur laut. Jalur darat
biasanya dengan alat transportasi darat seperti dengan berkuda atau mengendarai gajah. Jalurnya
dari Banyumas menuju Tegal kemudian menuju Periangan. 3 wilayah pedalaman diandalkan
sebagai penghasil bahan-bahan pertanian seperti sayur mayur, buah-buahan, padi. Sedangkan
barang dagangan yang dibawa dari luar daerah yaitu : logam, besi, emas, perak, sutera, dan
keramik. Barang-barang tersebut biasanya berasal dari Cina.

Dalam transaksi perekonomian dan perdagangan Cina mempunyai peranan yang sangat besar
karena barang-barang kebutuhan masyarakat dibawa oleh pedagang-pedagang dari Cina. Mereka
memakai sistem barter yang dimaksud barter disini yaitu barter uang dengan mempergunakan
mata uang. Perdagangan Ccirebon mengalami kemunduran karena adanya monopoli
perdagangan dari kompeni Belanda pada 30 April 1632.

G.    Pelapisan Sosial Kerajaan Cirebon

Masyarakat Cirebon dibedakan berdasarkan kedudukan dan digolongkan menjadi 4 lapisan


sosial :

a.       Golongan Raja yang terdiri dari raja beserta keluarganya. Raja ditempatkan pada lapisan
paling tinggi. Para raja atau sultan Cirebon merupakan golongan ningrat yang tinggal di

9
lingkungan kerajaan atau istana. Raja menjalankan berbagai kebijaksanaan dan perintahnya.
Hubungan antara raja, bangsawan, dan masyarakat sangat dibatasi.

b.      Golongan Elite terdiri dari para bangsawan, priyayi, tentara, golongan Islam, dan
pedagang-pedagang kaya. Patih menempati lapisan yang paling penting karena baik raja maupun
pejabat-pejabat penting lainnya merasa tunduk dan patuh kepada keamanan sang patih

c.       Golongan non Elite. Golongan ini terdiri dari lapisan masyarakat kecil yang pada
umumnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani, psdagang, tukang, nelayan, dan
golongan masyarakat bawah. Golongan petani dan pedagang merupakan tulang punggung bagi
perekonomian kerajaan. Prajurit mempunyai tugas cukup berat yaitu ikut dalam peperangan.

d.      Golongan Budak. Golongan ini terdiri dari buruh, para budak, dan pekerja kasar. Mereka
adalah orang-orang yang bekerja berat secara fisik menjual tenaga badaniyah atau mengerjakan
pekerjaan kasar. Golongan ini tidak hanya laki-laki saja tetapi juga wanita kadang anak-anak di
bawah umur. Walaupun budak menempati posisi paling bawah tetapi mereka dibutuhkan oleh
raja untuk melayani kepentingan-kepentingannya.         

H.    Runtunya kerajaan cirebon

Kerajaan Cirebon terbagi menjadi 3 kesultanan yaitu, Keraton Kasepuhan dipegang oleh Sultan
Sepuh, Keraton Kanoman dipegang oleh Sultan Anom, Keraton Karicebonan dipegang oleh
Panembahan Karicebonan. Mereka hanya mengurusi kerajaan masing-masing. Mengakibatkan
kerajaan Cirebon perlahan-lahan mulai hancur.

Setelah Sultan Panembahan Gerilya wafat pada tahun 1702, terjadi perebutan kekuasaan diantara
kedua putranya, yaitu antara Pangeran Marta Wijaya dan Pangeran Wangsakerta. Di samping itu
adanya campur tangan VOC yang mengadu domba mereka membuat persaudaraan mereka
menjadi permusuhan.

Islam masuk ke Cirebon pada abad 15, ajaran Islam ini dibawa Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati) dan Syekh Idlofi Mahdi. Mereka menyebarkan agama Islam dengan berdakwah
dan mendirikan pondok pesantren. Sunan Gunung Jati, mempunyai daerah penyebaran paling
luas. Pada tahun 1498 Sunan Gunung Jati membangun Masjid Agung Cirebon dan dibantu oleh
kedelapan para wali. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati wafat dan beliau dimakamkan di
pertamanan Gunung Jati.

Cirebon menjadi pusat perdagangan karena letaknya di daerah pesisir utara pulau Jawa.
Perdagangan ini melalui 2 jalur yaitu jalur darat dan jalur laut. Pedagang dari luar negara yang
mendukung perekonomian di Cirebon adalah Cina dengan barang dagangannya yaitu  sutra dan
keramik. Masyarakat Cirebon dibedakan berdasarkan status sosialnya yang dibedakan menjadi 4

10
golongan, yaitu golongan Raja, golongan Elite, golongan Nonelite, dan golongan Budak.
Mereka mempunyai kedudukan didalam lingkungan kerajaan.

            Cirebon mulai mengalami kehancuran ketika Cirebon dibagi menjadi 3 Kesultanan,


Yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Kerato Kacirebonan. Sehingga kerajaan
Cirebon menjadi terpecah-pecah. Disamping itu adanya perebutan kekuasaan sepeninggal
Panembahan Gerilya pada tahun 1702. Adanya  campur tangan VOC dalam kerajaan yang
mengadu domba mereka juga menjadi penyebab hancurnya kerejaan Cirebon.

I.       Peningalan Kerajaan Cirebon

Kesultanan Cirebon adalah salah satu kesultanan Islam yang berdiri sejak abad ke 15 M di Jawa
Barat. Kesultanan Cirebon adalah pangkalan penting bagi jalur perdagangan, pelayaran, dan
penyebaran Islam di Jawa selain Demak. Kesultanan ini pada masa silam sempat mengalami
masa kejayaan di masa kepemimpinan Fatahillah sebelum akhirnya terpecah pada tahun
1677.             Pada artikel berikut, kita akan membahas beberapa peninggalan Kerajaan Cirebon
tersebut untuk mengenali sejarah kesultanan ini di masa silam.

1.      Peninggalan Berupa Keraton Peninggalan Kerajaan Cirebon Keraton  

Kesultanan Cirebon meninggalkan beberapa keraton yang antara lain keraton Kasepuhan
Cirebon, Keraton Kanomanan, dan Keraton Kacirebonan.

a.       Keraton Kasepuhan Cirebon kini terletak di Kec. Lemah Wungkuk, Kotamadya Cirebon.
Ia merupakan pusat pemerintahan dari kesultanan Cirebon pada masa silam. Di keraton ini akan
dapat kita jumpai bangunan-bangunan dengan gaya arsitekturnya yang unik, kereta Singa
Barong, benda-benda kuno dan naskah kuno.

b.      Keraton Kanoman adalah keraton yang didirikan oleh Sultan Anom I pada tahun 1678.
Letaknya berada di 300 meter sebelah utara keraton Kasepuhan. Keraton ini telah berdiri sejak
wafatnya Panembahan Girilaya.

c.       Keraton Kacirebonan adalah keraton terkecil yang dimiliki kesultanan Cirebon. Letaknya
berada di 1 km barat daya Keraton Kasepuhan. Di dalamnya juga terdapat berbagai benda-benda
bersejarah peninggalan kerajaan Cirebon seperti keris, wayang, gamelan, dan perlengkapan
perang.

2.      Peninggalan Berupa Masjid Selain mewarisi peninggalan sejarah berupa keraton, Kerajaan
Cirebon juga meninggalkan beberapa bangunan masjid. Adanya bangunan-bangunan masjid
kuno tersebut tentu bisa menjadi bukti bahwa syiar Islam pada masa itu memang telah
berkembang dengan sangat pesat. Adapun beberapa masjid peninggalan kerajaan Cirebon
tersebut antara lain

11
a.       Masjid Sang Cipta Rasa adalah masjid yang dibangun Wali Songo pada tahun 1498 di
kompleks keraton Kasepuhan. Berdasarkan cerita rakyat, masjid ini didirikan hanya dalam
waktu 1 malam saja. Subuh keesokan harinya masjid yang hingga kini masih berdiri kokoh
tersebut telah digunakan untuk sholat berjamaah.

b.      Masjid Jami Pakuncen berada di Tegal Arum, Kab. Tegal - Jawa Tengah. Masjid ini
didirikan oleh Sunan Amangkurat I sebagai tempat penting untuk keperluan syiar Islam di tanah
Cirebon pada masa itu.

3.      Peninggalan Berupa Makam Pemakaman muslim kuno yang kini masih terpelihara juga
merupakan peninggalan yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan Islam di
Kesultanan Cirebon. Di antara makam tersebut misalnya makam Sunan Gunung Jati dan makam
para penguasa kerajaan lainnya. Peninggalan Kerajaan Cirebon Keraton Kompleks pemakaman
peninggalan Kerajaan Cirebon terletak di Keraton Cirebon, 6 km dari pusat Kota Cirebon, Jawa
Barat. Di hari Jumat, kompleks pemakaman ini sangat ramai karena banyak orang dari berbagai
daerah datang untuk berziarah dan mengalap berkah. Selain makam Sunan Gunung Jati,
dikompleks ini juga terdapat makam Fatahillah, panglima perang Batavia. Adapun di dalam
kompleks tersebut, ada banyak benda-benda bersejarah seperti perkakas, piring, dan logam-
logam kuno yang berasal dari masa kekuasaan Dinasti Ming, China.

4.      Peninggalan Berupa Benda Pusaka Kesultanan Cirebon juga meninggalkan beberapa benda
pusaka dan yang paling terkenal adalah pusaka yang berwujud kereta, misalnya kereta Singa
barong atau kereta Paksi Naga Liman. Kereta ini adalah kereta kuno yang berasal dari tahun
1549 buatan cucu Sunan Gunung Jati yang bernama Panembahan Losari. Peninggalan Kerajaan
Cirebon Keraton Kereta ini memiliki bentuk yang sangat unik dan penuh filosofi. Pada kereta ini
terukir pahatan belalai gajah, kepala naga, dan buroq. Gajah melambangkan persahabatan
Cirebon dan India, naga melambangkan persahabatan Cirebon dan China, sedangkan buroq
melambangkan persahabatan Cirebon dan Mesir. Perlu diketahui bahwa keunikan kereta ini juga
terletak pada bagian sayapnya yang dapat otomatos mengepak ketika kereta tengah berjalan.

BAB III

12
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Cirebon pada awalnya adalah sebuah daerah yang bernama Tegal Alang-Alang yang
kemudian disebut Lemah Wungkuk dan setelah dibangun oleh Raden Walangsungsang diubah
namanya menjadi Caruban. Nama Caruban sendiri terbentuk karena diwilayah Cirebon dihuni
oleh beragam masyarakat dan sebutan lain Cirebon adalah Caruban Larang. Kerajaan Cirebon
merupakan bagian dari administratif Jawa Barat. Cirebon sendiri mempunyai arti seperti di
daerah-daerah lainnya. Cirebon berasal dari bahasa sunda “ci” yang berarti air, sedangkan
“rebon” berarti udang. Cirebon mempunyai ati sungai udang atau kota udang. Cirebon didirikan
pada 1 Sura 1445 M, oleh Pangeran Cakrabuana. Pada tahun 1479 M Pangeran Cakrabuana
sebagai penguasa Cirebon yang bertempat di kraton Pakungwati Cirebon menyerahkan
kekuasaannya pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah seorang menantu Pangeran
Cakrabuana dari ibu Ratu Mas Rara sasantang. Sejak inilah Cirebon menjadi negara merdeka
dan bercorak Islam. Kerajaan Cirebon terbagi menjadi 3 kesultanan yaitu, Keraton Kasepuhan
dipegang oleh Sultan Sepuh, Keraton Kanoman dipegang oleh Sultan Anom, Keraton
Karicebonan dipegang oleh Panembahan Karicebonan. Mereka hanya mengurusi kerajaan
masing-masing. Mengakibatkan kerajaan Cirebon perlahan-lahan mulai hancur.

B.     Saran

Saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan makalah ini. Bagi
para pembaca dan teman-teman lainnya, jika ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui
lebih jauh maka kami mengharapkan dengan rendah hati agar membaca buku-buku ilmiah. 

DAFTAR PUSTAKA

13
http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/12/8-peninggalan-kerajaan-cirebon-sejarah.html

http://kansasunsilk.blogspot.co.id/2014/04/kerajaan-cirebon-islam.html

http://padepokansutajayabantargebang.blogspot.co.id/2013/04/peninggalan-masa-kejayaan-
islam-di.html

https://www.google.com/search?q=wilayah+kekuasaan+di+cirebon&client=firefox-
a&rls=org.mozilla:en-US:

14

Anda mungkin juga menyukai