Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

ASAS-ASAH HUKUM PIDANA ISLAM

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Hukum Islam

Dosen Pengampu: Hakam solahudin. S. Ag., MH.

Disusun Oleh :

1. Mochammad Robby Ridwan: 19107710024


2. Rizki Adinda Wijaya : 19107710028
3. Arma Agustian : 19107710032
4. Bayu Widodo : 19107710040

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM BALITAR BLITAR
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana Islam ini tepat pada
waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas perkulia
han Hukum Perjanjian Islam tentang Bab Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Selain itu, makalah in
i juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Akad Musyarakah bagi para pembaca dan ju
ga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Hakam Sholahudin, S.Ag, M.H selaku dos
en di bidang studi Hukum Perjanjian Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat men
ambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian p
engetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena i
tu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Blitar, 23 Agustus 2021

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum Pidana Islam adalah terminologi yang dipergunakan terhadap Jinayah dalam Islam. Is
tilah hukum berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata hakama, yahkumu, hukmun, artinya me
ncegah atau menolak, yaitu mencegah ketidakadilan, mencegah kedhaliman, mencegah peng
aniayaan, dan menolak bentuk kemafsadatan. Jinayah adalah masdar (kata asal) dari kata kerj
a (fi’il madhi) janaa yang mengandung arti suatu kerja yang diperuntukkan bagi satuan laki-l
aki yang telah berbuat dosa atau salah.

Menurut istilah, Jinayah adalah semua perbuatan yang diharamkan, yaitu perbuatan yang dib
eri peringatan dan dilarang oleh syara’ karena akan mendatangkan kemudharatan pada agama,
jiwa, akal, harta dan kehormatan. Abdurrahman Al-Jaziry menegaskan bahwa Hukum Jinaya
h atau yang disebut dengan istilah hudud syariyyah adalah penghalang atau pencegah segala
kejahatan yang menyebabkan hudud itu dilaksanakan.

Hukum Pidana Islam, yang dikenal dengan istilah Fiqih Jinayat, didalamnya terhimpun pemb
ahasan semua jenis pelanggaran atau kejahatan manusia dengan berbagai sasaran badan, jiwa,
harta benda, kehormatan, nama baik, negara, tatanan hidup, dan lingkungan hidup. Menurut
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Jinyah adalah ilmu tentang hukum syara’, yang berkaitan deng
an perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya, yang diambil dari dalil-dalil yang ter
perinci. Menurut Asadulloh, Hukum Pidana Islam merupakan suatu hukum yang merupakan
bagian dari Sistem Hukum Islam, yang mengatur perbuatan pidana dan pidananya berdasarka
n Al-Qur-an dan As-Sunnah.

Hukum Pidana Islam juga mengandung asas-asas yang mendasarinya, salah satunya adalah a
sas legalitas. Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip, sedan
gkan kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda) yang berarti undang-undan
g, atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Dengan demikian legalitas adalah “keabsahan sesuatu menurut undang undang”

Adapun istilah legalitas dalam syari’at Islam tidak ditentukan secara jelas sebagaimana yang
terdapat dalam kitab undang-undang hukum positif. Kendati demikian, bukan berarti syari’at
Islam tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak yang menyatakan hukum pidana Islam tidak
mengenal asas legalitas, hanyalah mereka yang tidak meneliti secara detail berbagai ayat yan
g secara substansional menunjukkan adanya asas legalitas.10Asas legalitas dalam Islam buka
n berdasarkan pada akal manusia, tetapi dari ketentuan Tuhan. Sedangkan asas legalitas secar
a jelas dianut dalam hukum Islam.

1.2 Rumusalan Masalah

1.Asas Asas Legalitas


2. Asas Amar Mahruf Nahi Mungkar
3. Asas Teritorial
4.Asas Material
5.Moralitas

BAB II

PEMBAHASAN
ASAS-ASAS HUKUM PIDANA ISLAM

1. Asas Legalitas
Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip, sedangkan kata
legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda) yang berarti undang-undang, atau
dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang. De
ngan demikian legalitas adalah “keabsahan sesuatu menurut undang undang. Adapun istil
ah legalitas dalam syari’at Islam tidak ditentukan secara jelas sebagaimana yang terdapat
dalam kitab undang-undang hukum positif. Kendati demikian, bukan berarti syari’at Isla
m tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak yang menyatakan hukum pidana Islam tidak
mengenal asas legalitas, hanyalah mereka yang tidak meneliti secara detail berbagai ayat
yang secara substansional menunjukkan adanya asas legalitas.

Asas legalitas dipopulerkan melalui ungkapan dalam bahasa latin: Nullum Deliktum Null
a Poena Sine Pravia Lege Poenali (tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terl
ebih dahulu). Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan m
emberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari p
enyalahgunaan kekuasaan atau keseweenang-wenangan hakim, menjamin keamanan indi
vidu dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi peringata
n sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan illegal dan hukumanya. Asas legalitas dalam I
slam bukan berdasarkan pada akal manusia, tetapi dari ketentuan Tuhan. Sedangkan asas
legalitas secara jelas dianut dalam hukum Islam. Terbukti adanya beberapa ayat yang me
nunjukkan asas legalitas tersebut. Allah tidak akan menjatuhkan hukuman pada manusia
dan tidak akan meminta pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasan dan pe
mberitahuan dari Rasul-Nya. Demikian juga kewajiban yang harus diemban oleh umat m
anusia adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, yaitu taklif yang
sanggup di kerjakan.

Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan-kejahatan hudud. Pelanggaran
nya dihukum dengan sanksi hukum yang pasti. Prinsip tersebut juga diterapkan bagi keja
hatan qishash dan diyat dengan diletakanya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai. Jadi,
tidak diragukan bahwa prinsip ini berlaku sepenuhnya bagi kedua katagori diatas. Menur
ut Nagaty Sanad, asas legalitas dalam Islam yang berlaku bagi kejahatan ta’zir adalah yan
g paling fleksibel, dibandingkan dengan kedua katagori sebelumnya. Untuk menerapkan
asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam terdapat keseimbangan. Hukum Islam menj
alankan asas legalitas, tetapi juga melindungi kepentingan masyarakat. Ia menyeimbangk
an hak-hak individu, keluarga, dan masyarakat melalui katagorisasi kejahatan dan sanksin
ya. Berdasarkan Asas legalitas dan kaidah “tidak ada hukuman bagi perbuatan mukallaf s
ebelum adanya ketentuan nas34, maka perbuatan mukalaf tidak bisa dikenai tuntutan atau
pertanggung jawaban pidana. Dengan demikian nas-nas dalam syari’at Islam belum berla
ku sebelum diundangkan dan diketahui oleh orang banyak. Ketentuan ini memberi penger
tian hukum pidana Islam baru berlaku setelah adanya nas yang mengundangkan. Hukum
pidana Islam tidak mengenal sistem berlaku surut yang dalam perkembangannya melahir
kan kaidah Hukum pidana Islam pada prinsipnya tidak berlaku surut, namun dalam prakti
knya ada beberapa jarimah yang diterapkan berlaku surut artinya perbuatan itu dianggap j
arimah walaupun belum ada nas yang melarangnya. Alasan diterapakan pengecualiaan be
rlaku surut, karena pada jarimah-jarimah yang berat dan sangat berbahaya apabila tidak d
iterapkan maka akan menimbulkan kekacauan dan kehebohan dikalangan umat muslim. J
arimah-jarimah yang diberlakukan surut yaitu :

a. Jarimah Qadzaf (menuduh Zina) dalam surat An-Nur: 4


b. Jarimah Hirabah dalm surat Al-Maidah: 33
Artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Ra
sul-Nya dan membuat keru-sakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, a
tau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (te
mpat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia,
dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.

2. Asas Amar Makruf Nahi Munkar


Menurut bahasa, amar makruf nahi munkar adalah menyuruh kepada kebaikan, mencegah
dari kejahatan. Amr: menyuruh, ma’rûf: kebaikan, nahyi: mencegah, munkar: kejahatan.
Abul A’la al-Maududi menjelaskan bahwa tujuan utama dari syariat ialah membangun ke
hidupan manusia di atas dasar ma’rifat (kebaikan-kebaikan) dan membersihkannya dari h
al-hal yang maksiat dan kejahatan- kejahatan.

Menurut Maududi pengertian ma’ruf dan munkar sebagai Istilah ma’rûfât (jamak dari m
a’rûf) menunjukkan semua kebaikan dan sifat-sifat yang baik sepanjang masa diterima ol
eh hati nurani manusia sebagai suatu yang baik. Istilah munkarât (jamak dari munkar) me
nunjukkan semua dosa dan kejahatan sepanjang masa telah dikutuk oleh watak manusia s
ebagai suatu hal yang jahat.

Dalam filsafat hukum Islam dikenal istilah amar makruf sebagai fungsi social engineerin
g, sedang nahi munkar sebagai social control dalam kehidupan penegakan hukum. Berdas
ar prinsip inilah di dalam hukum Islam dikenal adanya istilah perintah dan larangan. Isla
m memberikan kebebasan bagi setiap penganutnya baik kebebasan individu maupun kole
ktif, kebebasan berpikir, kebebasan berserikat, kebebasan menyampaikan pendapat, kebe
basan beragama, kebebasan berpolitik, dan lain sebagainya.

Kebebasan individual berupa penentuan sikap atas berbuat sesuatu atau tidak. Namun de
mikian, Islam tetap memberikan batasan nilai. Artinya, kebebasan yang diberikan oleh Isl
am tidaklah bebas value (nilai) atau liberal apalagi sekuler. Setiap individu berhak menen
tukan sendiri sikapnya, namun kebebasan atau kemerdekaan seseorang tersebut tetaplah d
ibatasi oleh kebebasan dan kemerdekaan orang lain.

3. Asas teritorial

Pada dasarnya syariat Islam bukan syariat regional atau kedaerahan melainkan syariat ya
ng bersifat universal dan internasional. Dalam hubungan dengan lingkungan berlakunya p
eraturan pidana Islam, secara toritis para fuqaha membagi dunia ini kepada dua bagian:

1. Negeri Islam
2. Negeri bukan Islam Kelompok negeri Islam adalah negeri negeri dimana hukum Islam
nampak di dalamnya, karena penguasanya adalah penguasa Islam. Juga termasuk dalam k
elompok ini, negeri dimana penduduknya yang beragama dapat menjalankan hukum-huk
um Islam. Penduduk negeri Islam dibagi menjadi dua bagian yaitu sbb :

1. Penduduk muslim, yaitu penduduk yang memeluk dan percaya kepada agama Islam.
2. Penduduk bukan muslim, yaitu mereka yang tinggal di negeri Islam tetapi masih tetap
dalam agama asal mereka. mereka ini terdiri dari dua bagian:

a. kafir zimmi, yaitu mereka yang tidak memeluk agama Islam dan tinggal di negara Isla
m, tetapi mereka tunduk kepada hukum dan peraturan Islam berdasarkan perjanjian y
ang berlaku.
b. kafir mu’ahad atau musta’man, yaitu mereka yang bukan penduduk negeri Islam, teta
pi tinggal di negeri Islam untuk sementara karena suatu keperluan dan mereka tetap d
alam agama asal asal mereka. Mereka tunduk kepada hukum dan peraturan Islam ber
daasarkan perjanjian keaman.

Menurut konsepsi hukum Islam Asas teritorial yaitu hukum pidana Islam hanya berla
ku di wilayah di mana hukum Islam diberlakukan. Abu Hanifah berpendapat bahwa
Hukum Islam diterapkan atas jarimah (tindak pidana) yang dilakukan di dar as-salam,
yaitu tempat-tempat yang masuk dalam kekuasaan pemerintahan Islam tanpa melihat
jenis jarimah maupun pelaku, muslim maupun non-muslim. Aturan-aturan pidana Isla
m hanya berlaku secara penuh untuk wilayah-wilayah negeri muslim.

4. Asas Material
Asas material hukum pidana Islam menyatakan bahwa tindak pidana ialah segala yang dil
arang oleh hukum, baik dalam bentuk tindakan yang dilarang maupun tidak melakukan ti
ndakan yang diperintahkan, yang diancam hukum (had atau ta’zir). Berdasarkan atas asas
material ini, sanksi hukum pidana Islam mengenal dua macam: hudud dan ta’zir. Hudud a
dalah sanksi hukum yang kadarnya telah ditetapkan secara jelas berdasarkan teks atau nas
h, baik al-Qur’an maupun hadits. Sementara ta’zir adalah sanksi hukum yang ketetapanny
a tidak ditentukan, atau tidak jelas ketentuannya, baik dalam al-Qur’an maupun hadits.

Asas material pun mengenal asas pemaafan dan asas taubat. Asas pemaafan dan taubat m
enyatakan bahwa orang yang melakukan tindak pidana, baik atas jiwa, anggota badan ma
upun harta, dapat dimaafkan oleh pihak yang dirugikan apabila yang bersangkutan bertob
at. Bentuk tobat dapat mengambil bentuk pembayaran denda yang disebut diyat, kafarat,
atau bentuk lain, yakni langsung bertaubat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, lahirlah k
aidah yang menyatakan bahwa: “Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak
berdosa.

5. Asas Moralitas
Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam :
(1) Asas Adamul Uzri yang menyatakan bahwa seseorang tidak diterima pernyataannya b
ahwa ia tidak tahu hukum.
(2) Asas Rufiul Qalam yang menyatakan bahwa sanksi atas suatu tin-dak pidana dapat di
hapuskan karena alasan-alasan tertentu, yaitu karena pelakunya di bawah umur, orang ya
ng tertidur dan orang gila.
(3) Asas al-Khath wa Nis-yan yang secara harfiah berarti kesalahan dan kelupaan. Asas i
ni menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut pertanggungan jawab atas tindakan
pidananya jika ia dalam melakukan tindakannya itu karena kesalahan atau karena kelupaa
n. Asas ini didasarkan atas surat al-Baqarah: 286.
(4) Asas Suquth al-‘Uqubah yang secara harfiah berarti gugurnya hukuman. Asas ini men
yatakan bahwa sanksi hukum dapat gugur karena dua hal : pertama, karena si pelaku dala
m melaksanakan tindakannya melaksanakan tuga; kedua, karena terpaksa. Pelaksanaan tu
gas dimaksud adalah seperti : petugas eksekusi qishash (algojo), dokter yang melakukan
operasi atau pembedahan. Keadaan terpaksa yang dapat menghapuskan sanksi hukum sep
erti : membunuh orang dengan alasan membela diri, dan sebagainya.

BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip, sedangkan kata
legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda) yang berarti undang-undang, atau
dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang. De
ngan demikian legalitas adalah “keabsahan sesuatu menurut undang undang. Adapun istil
ah legalitas dalam syari’at Islam tidak ditentukan secara jelas sebagaimana yang terdapat
dalam kitab undang-undang hukum positif. Kendati demikian, bukan berarti syari’at Isla
m tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak yang menyatakan hukum pidana Islam tidak
mengenal asas legalitas, hanyalah mereka yang tidak meneliti secara detail berbagai ayat
yang secara substansional menunjukkan adanya asas legalitas.

Menurut bahasa, amar makruf nahi munkar adalah menyuruh kepada kebaikan, mencegah
dari kejahatan. Amr: menyuruh, ma’rûf: kebaikan, nahyi: mencegah, munkar: kejahatan.
Abul A’la al-Maududi menjelaskan bahwa tujuan utama dari syariat ialah membangun ke
hidupan manusia di atas dasar ma’rifat (kebaikan-kebaikan) dan membersihkannya dari h
al-hal yang maksiat dan kejahatan- kejahatan.

Menurut konsepsi hukum Islam Asas teritorial yaitu hukum pidana Islam hanya berlaku d
i wilayah di mana hukum Islam diberlakukan. Abu Hanifah berpendapat bahwa Hukum I
slam diterapkan atas jarimah (tindak pidana) yang dilakukan di dar as-salam, yaitu tempa
t-tempat yang masuk dalam kekuasaan pemerintahan Islam tanpa melihat jenis jarimah m
aupun pelaku, muslim maupun non-muslim. Aturan-aturan pidana Islam hanya berlaku se
cara penuh untuk wilayah-wilayah negeri muslim.

Asas material hukum pidana Islam menyatakan bahwa tindak pidana ialah segala yang dil
arang oleh hukum, baik dalam bentuk tindakan yang dilarang maupun tidak melakukan ti
ndakan yang diperintahkan, yang diancam hukum (had atau ta’zir). Berdasarkan atas asas
material ini, sanksi hukum pidana Islam mengenal dua macam: hudud dan ta’zir. Hudud a
dalah sanksi hukum yang kadarnya telah ditetapkan secara jelas berdasarkan teks atau nas
h, baik al-Qur’an maupun hadits. Sementara ta’zir adalah sanksi hukum yang ketetapanny
a tidak ditentukan, atau tidak jelas ketentuannya, baik dalam al-Qur’an maupun hadits.

Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam :


(1) Asas Adamul Uzri yang menyatakan bahwa seseorang tidak diterima pernyataannya b
ahwa ia tidak tahu hukum.
(2) Asas Rufiul Qalam yang menyatakan bahwa sanksi atas suatu tin-dak pidana dapat di
hapuskan karena alasan-alasan tertentu, yaitu karena pelakunya di bawah umur, orang ya
ng tertidur dan orang gila.
(3) Asas al-Khath wa Nis-yan yang secara harfiah berarti kesalahan dan kelupaan. Asas i
ni menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut pertanggungan jawab atas tindakan
pidananya jika ia dalam melakukan tindakannya itu karena kesalahan atau karena kelupaa
n. Asas ini didasarkan atas surat al-Baqarah: 286.
(4) Asas Suquth al-‘Uqubah yang secara harfiah berarti gugurnya hukuman. Asas ini men
yatakan bahwa sanksi hukum dapat gugur karena dua hal : pertama, karena si pelaku dala
m melaksanakan tindakannya melaksanakan tuga; kedua, karena terpaksa. Pelaksanaan tu
gas dimaksud adalah seperti : petugas eksekusi qishash (algojo), dokter yang melakukan
operasi atau pembedahan. Keadaan terpaksa yang dapat menghapuskan sanksi hukum sep
erti : membunuh orang dengan alasan membela diri, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai