Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
FAKULTAS HUKUM
MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah dan karunia-
Nya kepada para penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Penulisan makalah yang berjudul ”ASAS ASAS DALAM HUKUM
ISLAM ” diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah “Hukum
Islam”. Penulis menyadari memiliki keterbatasan pengetahuan dan wawasan dalam
menyusun kalimat,atau tata bahasa,dan ejaan yang dipakai dalam menyelesaikan
makalah ini. Penulis juga menyadari baik isi maupun penyajian makalah ini belum
sempurna. Namun berkat kerjasama dan usaha penulis akhirnya makalah ini bisa
diselesaikan dengan tepat waktu.
PENDAHULUUAN
A. Latar Belakang
Asas hukum merupakan daar dasar
umum yang terkandung dalam peraturan hukum, dan dasar-dasar
umum tersebut merupakan sesuatu yang mengandung nilai-nilai
etis, serta jiwa dari norma hukum, norma hukum penjabaran secara
konkret dari asas hukum. Asas hukum bukan merupakan hukum
konkret, melainkan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau
merupakan latar belakang peraturan konkret yang terdapat di dalam
dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan hakim. Ringkasnya, asas hukum
merupakan latar belakang dari terbentuknya suatu hukum konkret.
Asas berasal dari bahasa Arab (Asasun) yang artinya dasar, basis, pondasi.
Agama Islam adalah tergolong dalam salah satu dari agama-agama yang disebut
"agama samawiyah" (heavenly religion; revealed religion), yaitu agama yang
diturunkan oleh Allah kepada manusia melalui para Nabi dan Rasul-RasulNya.
Asas hukum Islam berasal dari sumber hukum Islam terutama Al-Quran dan
Al-Hadist yang selanjutnya dikembangkan oleh akal manusia yang memenuhi
syarat untuk berijtihad. Terdapat banyak asas-asas hukum, baik yang berlaku
umum, maupun asas yang ada pada masing-masing bidang.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang menjadi asas asas dalam hukum islam?
C. Tujuan penelitian
Dengan adanya makalah ini, maka yang menjadi tujuan penelitiannya adalah :
1. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi sumber - sumber hukum Islam
2. Untuk mengetahui serta menerapkan segala perintah maupun larangan yang
terkandung di dalam sumber - sumber hukum Islam
D.Manfaat penelitian
1. Diharapkan dapat menjadi inspirasi dan pertimbangan bagi para mahasiswa
cendikia muslim dalam membangun dan merekontruksi hukum Islam kontemporer
di Indonesia
2. Diharapkan memberikan kontribusi dalam memperkaya khasanah keilmuan
komonitas pemerhati hukum sekaligus menjadi salah satu informasi atau bahan
pertimbangan para peneliti berikutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ASAS
Secara etimologi, kata asas berasal dari bahasa Arab, asasun yang berarti “dasar, basis,
dan pondasi”. Secara terminologis asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan
berpikir atau berpendapat. Istilah lain Yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah
prinsip yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan
sebagainya (Yulianti, 2008). Apabila dihubungkan dengan sistem berpikir, yang dimaksud
dengan asas adalah landasan berpikir yang sangat mendasar. Asas diperoleh melalui
konstruksi yuridis yaitu dengan menganalisa data yang sifatnya nyata untuk kemudian
mengambil sifat-sifatnya yang umum atau abstrak. Apabila asas dihubungkan dengan hukum,
maka yang dimaksud dengan asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagaitumpuan
berpikir dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Asas
berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala masalah yang berkenaan dengan
hukum ( Ali,2013). Asas hukum tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suatu
peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan akan melahirkan peraturan selanjutnya.
Asas pula yang membuat hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang dan ia juga
menunjukkan bahwa hukum itu bukan sekedar kumpulan peraturan belaka, karena asas
mengandung nilai- nilai dan tuntunan-tuntunan etis (Shomad, 2012).Asas merupakan prinsip-
prinsip atau dasar-dasar atau landasan pembuatan suatu peraturan, kebijakan dan keputusan
mengenai aktifi tas hidup manusia (Luthan, 2009). Asas hukum Islam merupakan dasar atau
pondasi bagi kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir, terutama dalam
penegakan dan pelaksanaan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. Asas hukum Islam
merupakan landasan di atas mana dibangun tertib hukum.
B. ASAS-ASAS UMUM
Asas- asas hukum Islam yang bersifat umum terdapat dalam semua bidang hukum Islam
ada tiga macam, yaitu:
1. Asas Keadilan
Asas keadilan merupakan asas yang sangat penting dalam hukum Islam. Demikian
pentingnya sehingga ia dapat disebut sebagai asas semua asas hukum Islam. Asas keadilan
mendasari proses dan sasaran hukum Islam ( Ali, 2013). Keadilan merupakan nilai paling
asasi dalam ajaran Hukum Islam. Menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman
merupakan salah satu tujuan diturunkannya wahyu. Keadilan diletakkan sederajat dengan
kebajikan dan ketakwaan (Aravik, 2016). Keadilan dalam hukum Islam bukan mendasarkan
semata-mata pada prinsip- prinsip yang dikembangkan oleh manusia. Nilai- nilai keadilan
bersumber dari prinsip- prinsip yang sangat kuat dan hakiki yaitu berasal dari Allah Swt.
Keadilan dalam hukum Islam bersumber pada Allah Swt. karena itu adalah sifat-Nya, dan
dilakukan kepada sesama manusia Keadilan merupakan norma utama dalam seluruh aspek
dunia manusia. Hal ini dapat ditangkap dalam pesan al-Qur’an yang menjadikan adil sebagai
tujuan agama. Tuntutan-tuntutan yang dibebankan al-Qur’an terhadap individu-individu
untuk menegakkan keadilan sangat luar biasa dan mentransendenkan semua ikatan sosial.
Meskipun keadilan merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan demi diri sendiri, lebih
penting lagi, harus ditegakkan dengan memperhatikan hak-hak orang lain apakah risikonya
bagi seseorang atau komunitasnya.
Asas kepastian hukum merupakan asas yang menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan
yang dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan yang ada dan berlaku pada
perbuatan itu. Asas ini berdasarkan Q.S. al-Isra’ [17] ayat (15):“Barangsiapa yang berbuat
sesuai dengan hidayah ( Allah Swt.), maka Sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan)
dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian)
dirinya sendiri dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami
tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang rasul”.Disebutkah pula dalam Q.S. al-
Maidah [5] ayat (95):“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang
buruan, ketika kamu sedang ihram. barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan
sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan
yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang
dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-
orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia
merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu dan
barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha
Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa”.Asas kepastian hukum sangat dekat
dengan asas legalitas. Artinya, untuk menertibkan sesuatu, harus jelas aturannya dan
diketahui oleh masyarakat. Apabila di dalam hukum itu ada larangan, maka yang dilarang itu
sudah jelas. Demikian pula apabila ada sanksi atas larangan tersebut sudah dicantumkan
secara tegas.
3. Asas Kemanfaatan
Asas kemanfaatan merupakan asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum.
Pelaksanaan asas keadilan dan kepastian hukum, seyogyanya dipertimbangkan asas
kemanfaatannya, baik bagi yang bersangkutan sendiri, maupun kepentingan masyarakat.
Kemanfaatan hukum berkorelasi dengan tujuan pemidanaan terutama sebagai prevensi
khusus agar terdakwa tidak mengulangi kembali melakukan perbuatan melawan hukum, dan
prevensi umum setiap orang berhati-hati untuk tidak melanggar hukum karena akan
dikenakan sanksinya. Putusan hakim harus memberi manfaat bagi dunia peradilan,
masyarakat umum dan perkembangan ilmu pengetahuan. Penerapan ancaman pidana mati
terhadap seseorang yang melakukan pembunuhan misalnya, dapat dipertimbangan
kemanfaatan penjatuhan pidana itu bagi diri terdakwa sendiri dan bagi masyarakat. Apabila
pidana mati yang akan dijatuhkan itu lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat, pidana
itulah yang dijatuhkan. Apabila tidak menjatuhkan pidana mati lebih bermanfaat bagi
terdakwa sendiri dan keluarga atau saksi korban, ancaman pidana mati dapat diganti dengan
pidana denda yang dibayarkan kepada keluarga terbunuh. Asas ini berdasarkan Q.S. al-
Baqarah [2] ayat (178).Asas kemanfaatan menunjukkan bahwa hukum pidana dalam Islam
sangat memperhatikan kepentingan korban (victim oriented). Pidana qishash tidak dijatuhkan
apabila keluarga korban memaafk an kepada pelaku. Pertimbangan kemanfaatan dengan
memberikan hak kepada keluarga korban diharapkan dapat menghilangkan dendam secara
turun temurun. Keluarga korban yang ditinggalkan ada jaminan peroleh manfaat dari diyat
sebagai ganti qishas. Asas kemanfaatan juga dapat meminimalisir mubazir, yaitu
menjatuhkan pidana yang tidak ada manfaatnya. Mubazir termasuk sesuatu dilarangkan
dalam al-Qur’an seperti disebutkan dalam Q.S. al-Israa’ [17] ayat (26) – (27):“….. dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-
pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya”.
Surat al-Isra’: 15: Artinya: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah),
maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa
yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang
berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan mengazab sebelum kami
mengutus seorang rasul”.Ayat ini menjadi landasan hukum asas legalitas sebagai asas hukum
pidana. Yang dimaksud dengan asas legalitas yaitu asas yang menyatakan bahwa tidak ada
pelanggaran maupun hukuman sebelum terdapat peraturan yang mengatur sebelumnya. Hal
ini sesuai dengan kalimat terakhir firman Allah di atas, bahwa Allah tidak akan mengazab
umat manusia sebelum Dia mengutus seorang Rasul (yang menyampaikan ketentuan dari
Allah).
Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain banyak disebutkan dalam
beberapa ayat al-Quran. Di antaranya 6:164, 35:18, 39:7, 53:38, 74: 38. Dalam surat al-
Muddatssir: 38 dinyatakan bahwa setiap diri bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri
(Kullu nafsin bimâ kasabat rahînah). Hal ini memiliki arti bahwa masing-masing jiwa harus
bertanggung jawab atas dirinya dan tidak dapat dibebani oleh beban orang lain.Surat al-
An’âm: 164: Artinya: “Katakanlah: ‘Apakah aku mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia
adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan
kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan
diberitakannya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.”Asas pertanggungjawaban pidana
bersifat individual, sehingga tidak bisa kesalahan seseorang dipindahkan kepada orang lain,
atau bahkan dimintakan untuk mengganti. Siapa pun yang berani berbuat, maka ia sendirilah
yang harus berani bertanggung jawab.
Seseorang yang dituduh melakukan kejahatan, harus dianggap tidak bersalah sampai
hakim dengan bukti-bukti meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahan orang
tersebut. Asas ini juga didasarkan pada al-Quran yang menjadi landasan dari asas
legalitas dan asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain.
D. ASAS-ASAS HUKUM PERDATA DALAM HUKUM ISLAM
1. Asas Kebolehan atau Mubah
Asas ini mengandung arti bahwa mencegah atau menghindari kerusakan lebih
diutamakan daripada mendatangkan keuntungan. Apalagi transaksi (hubungan
muamalah) yang dilakukan sampai melanggar aturan agama, semisal perdagangan
narkotika, prostitusi, dsb. Bentuk hubungan perdata yang mendatangkan kerugian
(mudharat) harus dihindari, sedangkan hubungan perdata yang mendatangkan
kemanfaat baik bagi diri sendiri ataupun masyarakat luas harus dikembangkan.
Hubungan perdata harus senantiasa dilandasi dengan asas kekeluargaan. Karena asas
ini melahirkan konsekuensi sebuah hubungan yang saling menghormati, kasih-
mengasihi, serta tolong-menolong dalam mencapai tujuan bersama. Asas ini dibangun
berdasar pada firman Allah surat al-Mâidah: 5: Artinya: “Pada hari ini dihalalkan
bagimu yang baik-baik. Makanan sembelihan orang-orang ahli kitab itu halal bagimu,
dan makanan kamu halal pula bagi mereka. Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu,
bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gunak gundik. Barangsiapa
yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah
amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang yang merugi.”
Asas adil mengharuskan kepada setiap pihak pelaku hubungan perdata untuk
senantiasa berlaku adil baik dalam pembagian hak maupun kewajiban. Asas ini juga
memiliki arti dalam hubungan perdata tidak boleh mengandung unsur penipuan,
penindasan, atau merugikan salah satu pihak.
6. Asas Mendahulukan Kewajiban dari Hak
Untuk menghindari terjadinya wanprestasi atau kerugian bagi salah satu pihak, maka
asas mendahulukan kewajiban daripada hak harus dilakukan. Islam mengajarkan
bahwa seseorang akan mendapatkan hak (imbalan) setelah dia menunaikan
kewajibannya terlebih dahulu.
Islam tidak membenarkan tindakan yang dapat merusak diri sendiri dan merugikan
orang lain dalam suatu hubungan perdata. Semisal memusnahkan barang demi
mencapai kemantapan harga dan keseimbangan pasar. Surat alBaqarah: 195: Artinya:
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
8. Asas Kemampuan Berbuat atau Bertindak
Mukallaf yakni orang yang sudah akil baligh, mampu memikul beban kewajiban dan
hak, serta sehat jasmani dan rohaninya.
Asas ini mengajarkan sebuah pedoman bahwa suatu hubungan perdata hendaknya
dituangkan dalam sebuah perjanjian tertulis di hadapan saksi, atau dilakukan secara
lisan namun harus disaksikan oleh saksi-saksi yang memenuhi kualifikasi sebagai
seorang saksi.
C. Asas Keadilan
Artinya adalah setiap bangsa memiliki hak yang sama dan negara tersebut
bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.
D. Asas Musyawarah
E. Asas Kebebasan
Asas ini memberi kewenangan kepada para pihak yang terlibat kerjasama untuk
melakukan apapun, asal tidak merugikan pihak lainya.
Asas ini menghendaki agar manusia atau satu bangsa tidak merendahkan bangsa yang
lain. seluruh manusia adalah makhluk terhormat secara fitrah, dan hal ini harus
menjadi landasan
G. Asas Toleransi
Yaitu toleransi atau saling menghargai segala perbedaan yang dimiliki setiap orang
atau bangsa. Perbedaan adalah hal-hal dasar yang sering terjadi dan itu bukanlah suatu
masalah besar untuk melakukan kerjasama.
H. Asas Kerjasama
Dalam asas ini dijelaskan bahwa setiap pihak yang terlibat dalam kerjasama harus
benar-benar berkontribusi secara fisik, baik biaya, tenaga dan manfaat. setiap biaya
dan tenaga yang dikeluarkan oleh satu pihak harus dibalas oleh negara mitranya juga
Asas persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis asas kesukarelaan.
Tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan.Pasal 16-17 KHI:
a. Perkawinan atas persetujuan calon mempelai.
b. Dapat berupa: pernyataan tegas dan nyata. dgn tulisan, lisan atau isyarat yg
mudah dimengerti atau diam.
c. Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan
lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
Bila tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak
dapat dilangsungkan.
3. Asas kebebasan
Merupakan asas kekeluargaan atau kebersamaan yang sederajat hak dan kewajiban
Suami Isteri: (Pasal 77 KHI)
Suami-isteri dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat (sifat
asal, pembawaan). (Q.S. an-Nisa (4) : 43 dan al-Baqarah (2) ayat 187.
Kemitraan menyebabkan kedudukan suami-isteri dalam beberapa hal sama, dan dalam
hal yang lain berbeda. Suami menjadi kepala keluarga, istri menjadi kepala dan
penanggung jawab pengaturan rumah tangga. (Pasal 79 KHI).
5. Asas untuk selama lamanya
Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan suatu keluarga dalam rumah tangga
yang ma’ruf (baik), sakinah (tentram), mawaddah (saling mencintai), dan rahmah
(saling mengasihi).Q.S An Nisa:1Pasal 3 KHI: Perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
8. Asas menolak mudharat dan mengambil manfaat
Tujuan perkawinan adalah mencegah melakukan perbuatan yang keji dan munkar.
Ada pencegahan perkawinan (Pasal 60-69 KHI) dan pembatalan perkawinan (Pasal
70-76 KHI)
Asas hukum warisan Islam dalam teks Al-Qur„an dan As-Sunnah tidak dijumpai,
dan asas tersebut merupakan hasil ijtihad para mujtahid.atau ahli hukum Islam.
Dengan demikian kemungkinan asas hukum warisan Islam itu beragam. Menurut
Amir Syarifuddin asas hukum warisan Islam lima macam, yaitu (1) asas ijbari, (2)
asas bilateral, (3) asas individual, (4) asas keadilan berimbang, dan (5) asas warisan
semata akibat kematian.
1. Asas Ijbari
Kata ijbari secara etimologi mengandung arti paksaan, artinya melakukan sesuatu
diluar kehendaknya sendiri.hukum warisan Islam berasaskan ijbari, maka pelaksanaan
pembagian harta warisan itu mengandung arti paksaan tidak kehendak pewaris
sebagaimana hukum warisan perdata barat.
Kemudian Amir Syarifuddin mengandung beberpa segi
pengertian asas ijbari itu
Pertama, segi peralihan harta, artinya dengan meninggal dunianya seseorang dengan
sedirinya harta warisannya beralih kepada orang lain dalam hal ini ahli warisnya.
Menurut asas ini, pewaris dan ahli waris tidak diperbolehkan merencanakan peralihan
harta warisan pewaris; Kedua, segi jumlah harta artinya jumlah atau bagian ahli waris
dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia (pewaris) itu sudah ditentukan
oleh ketentuan ketentuan Allah SWT, dan Sunnah Rasulullah SAW. Sehingga pewaris
dan ahli waris tidak diperbolehkan menentukan jumlah bagian-bagiannya.
Ketiga, segi kepada siapa harta itu beralih, artinya orang-orang (ahli waris) yang
menerima peralihan harta peninggalan pewaris itu sudah ditetapkan oleh Al-Qur„an
dan As-Sunnah Rasulullah SAW, sehingga pewaris maupun ahli waris tidak
diperbolehkan merubahnya. Kecuali ketentuan-ketentuan Al-Qur„an dan As-Sunah
Nabi Muhammad SAW yang bersifat dhonni, artinya nash-nash Al-Qur„an dan As-
Sunah yang belum jelas, seperti pengembangan ahli waris dari anak berlembang ke
cucu terus ke bawah.
2. Asas Induvidual
Maksud dari pada asas ini adalah harta warisan dari pewaris yang telah diterima
oleh ahli warisnya, dapat dimiliki secara individu perorangan. Jadi bagian-bagian
setiap ahli waris tidak terikat dengan ahli waris lainnya, tidak seperti dalam hukum
Adat ada bagian yang sifatnya tidak dapat dimiliki secara perorangan, tetapi dimiliki
secara kelompok.
3. Asas Bilateral
Asas bilateral artinya ahli waris menerima harta warisan dari garis keturunan atau
kerabat dari pihak laki-laki dan pihak perempuan, demikian sebaliknya peralihan
harta peninggalan dari pihak garis keturunan pewaris laki-laki maupun perempuan.
4. Asas Keadilan Berimbang
Dari pihak laki-laki dan pihak perempuan menerima harta warisan secara
berimbang artinya dari garis keturunan pihak laki-laki dan darl garis keturunan pihak
perempuan menerima harta warisan sesuai dengan keseimbangan tanggung jawab
dalam kehidupan rumah tangga. Antara laki-laki dengan perempuan keduanya
mempunyai hak menerima harta warisan dari pewaris, namun tanggung jawab antara
laki-laki dengan perempuan berbeda, laki-laki (public family) sebagai kepala rumah
tangga bertanggung jawab nafkah keluarganya, sedangkan perempuan sebagai ibu
rumah tangga (domistic family), yang mengatur rumah tangga. Dengan demikian
sangat wajar kalau Al-Qur„an menetapkan laki-laki mendapat dua bagian sedangkan
perempuan satu bagian.
5. Asas Warisan Semata Kematian
Hukum warisan Islam hanya mengenal satu bentuk warisan karena adanya kematian,
seperti dalam hukum warisan perdata barat (BW), dengan istilah ―ab intestato”,
namun dalam hukum warisan BW, selain ab intestato juga karena adanya” wasiat‖
yang disebut ―testament termasuk sebagai bagian dari hukum warisan.Lain halnya
dangan hukum Islam wasiat suatu lembaga hukum tersendiri, bukan sebagai bagian
hukum warisan.
Menurut Amir Syarifuddin, asas ini ada hubungannya sangat erat dengan asas
ijbari,23 disebabkan meskipun seorang ada kebebasan atas hartanya, tetapi setelah
meninggal dunia kebebasan itu tidak ada lagi. Hal ini juga difahami bahwa harta
dalam Islam mempunyai sifat amanah (titipan), artinya manusia berhak mengatur,
tetapi harus sesuai dengan ketetapan-ketetapan Allah SWT, sehingga apabila seorang
telah meninggal dunia tidak mempunyai hak lagi untuk mengaturnya, dan kembali
kepada-Nya. Selain kelima asas tersebut “asas ta‟ awun” atau “tolong-menolong”
juga merupakan asas hukum warisan Islam.hukum asas ini akan dijelaskan dalam sub
bab as-shulh.24 Ta„awun atau tolong-menolong diantara para ahli waris, sudah
menjadikan kewajiban diantara ahli waris, bagi ahli waris yang mampu berkewajiban
meringankan beban atau penderitaan ahli waris yang tidak mampu, dengan
menyerahkan atau menggugurkan. Dasar hak harta warisannya, dan atau rela
menerima harta warisan yang tidak sesuai dengan hak yang harus diterimanya.
Dengan demikian salah satu ahli waris, dapat meringankan beban penderitaan,
kesukaran ahli waris yang lain, apalagi para ahli waris itu dalam satu kekerabatan
(hubungan darah).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Asas keadilan
2. Asas keastian hukum
3. Asas kemanfaataan