Anda di halaman 1dari 6

HUKUM KETENAGAKERJAAN DAN PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Dosen Pengasuh :

Dr.Dayat Libong. SH.,MH

Disusun Oleh :

Nama:Elsita Lumban Gaol

Npm:21600179

Group:C’21

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

GRUP C

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN

2022
PERBEDAAN ATURAN YANG PADA UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN
DAN UU CIPTA KERJA

1. Waktu Istirahat dan Cuti


1) Istirahat Mingguan
Dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan disebutkan: "Istirahat mingguan 1
(satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2(dua) hari untuk 5
(lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu."

Sementara dalam RUU Cipta Kerja, Pasal 79 ayat (2) huruf b tersebut mengalami
perubahan di mana aturan 5 hari kerja itu dihapus, sehingga berbunyi: istirahat mingguan
1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu.

2) Istirahat Panjang
Dalam Pasal 79 Ayat (2) huruf d UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pekerja berhak
atas istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh
dan kedelapan masing masing satu bulan jika telah bekerja selama 6 tahun secara terus-
menerus pada perusahaan yang sama.

Ketentuannya: pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2
tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun. Namun
dalam RUU Cipta Kerja regulasi terkait hak cuti panjang tersebut tak diatur melainkan
menyerahkan aturan itu kepada perusahaan atau diatur melalui perjanjian kerja sama
yang disepakati.

3) Cuti hamil-melahirkan 
Pasal 82 UUK mengatur mekanisme cuti hamil-melahirkan bagi pekerja perempuan. Di
dalamnya juga termasuk cuti untuk istirahat bagi pekerja/buruh perempuan yang
mengalami keguguran. Sedangkan
Uu Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status penghapusan
dalam pasal tersebut.

4) Cuti Menjalankan Ibadah Keagamaan


Pasal 80 UUK menyatakan:
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk
melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.sedangkan
UU Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status penghapusan
dalam pasal tersebut.
2. Upah
1) Upah satuan hasil dan waktu
Undang-undang Ketenagakerjaan tidak mengatur upah satuan hasil dan waktu.
Sementara, dalam RUU Ciptaker, upah satuan hasil dan waktu diatur dalam Pasal 88 B.
Dalam ayat (2) pasal 88 B tersebut juga dijelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut
mengenai upah satuan hasil dan waktu diatur dalam peraturan pemerintah (pp).

2) Upah Minimum Sektoral dan Upah Minimum Kabupaten/Kota


Dalam UU Ketenagakerjaan, upah minimum ditetapkan di tingkat provinsi,
kabupaten/kotamadya, dan sektoral diatur lewat Pasal 89 dan diarahkan pada pencapaian
kelayakan hidup.

Dalam pasal tersebut, upah minimum provinsi ditetapkan Gubernur dengan


memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
Sedangkan penghitungan komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan
hidup layak diatur dengan Keputusan Menteri.

Namun, Omnibus Law Ciptaker menghapus pasal tersebut dan menggantinya menjadi
Pasal 88 C. Dalam pasal pengganti tersebut upah sektoral dihapuskan sedangkan
penetapan upah minimum provinsi diatur dan ditetapkan gubernur berdasarkan kondisi
ekonomi dan ketenagakerjaan dengan syarat tertentu.

Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan yang diatur dalam Pasal 88 C didasarkan pada data
yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik. Sementara, syarat
tertentu yang dimaksud meliputi pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi pada
kabupaten/kota yang bersangkutan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan upah minimum tersebut diatur dalam
peraturan pemerintah. Yang tak berubah adalah upah minimum kabupaten/kota tetap
harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi.

Di samping itu, Omnibus Law Ciptaker juga mencantumkan pasal baru, yakni Pasal 90 B
yang mengecualikan ketentuan upah minimum untuk UMKM. Upah pekerja UMKM
diatur berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan pemberian kerja sedangkan tata cara
lebih lanjut pengaturan upah pekerja untuk UMKM diatur lebih lanjut lewat pp.

3. Uang Penggantian Hak


Dalam UU Ketenagakerjaan, Uang Penggantian Hak diatur dalam pasal 156 ayat (4).
Dalam RUU Ciptaker, ketentuan uang penggantian hak yang wajib dibayarkan pengusaha
sebagai pesangon karyawan di-PHK berkurang.

Dalam UU Ketenagakerjaan, uang penggantian hak terdiri dari uang pengganti cuti
tahunan yang belum diambil dan belum gugur; uang pengganti biaya atau ongkos pulang
untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana diterima bekerja; dan uang
penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan yang ditetapkan 15 persen dari
uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
Namun dalam Pasal 156 ayat (4) bagian Ketenagakerjaan Omnibus Law Cipta Kerja,
hanya ada dua jenis uang penggantian hak yang diwajibkan kepada pengusaha, yakni
uang pengganti cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur serta biaya atau
ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana mereka diterima
bekerja.

Di luar itu uang penggantian hak yang wajib diberikan kepada buruh masuk ke dalam
kategori "hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.

4. Jaminan Sosial
1) Jaminan Pensiun
UU Ketenagakerjaan Pasal 167 ayat (5) menyatakan bahwa pengusaha yang tak
mengikutsertakan pekerja yang terkena PHK karena usia pensiun pada program pensiun
wajib memberikan uang pesangon sebesar 2 kali, uang penghargaan masa kerja 1 kali dan
uang penggantian hak. Jika hal tersebut tak dilakukan, maka pengusaha dapat terkena
sanksi pidana.

Namun RUU Ciptaker menghapus ketentuan sanksi pidana bagi perusahaan tersebut,
yakni pasal 184 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan "Barang siapa melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun."
2) Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Dalam Omnibus Law Ciptaker, pemerintah menambahkan program jaminan sosial baru
yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan, yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan
berdasarkan prinsip asuransi sosial. Hal ini tercantum dalam Pasal 82 RUU Cipta Kerja.

2) Jaminan Kehilangan Pekerjaan


Tidak diatur dalam UUK sebelumnya akan tetapi
Dalam UU Ketenaga Kerjaan Menambahkan program jaminan sosial baru yaitu Jaminan
Kehilangan Pekerjaan, yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan prinsip
asuransi sosial

5. Pemutusan Hubungan Kerja


Dalam UU Ketenagakerjaan perusahaan boleh melakukan PHK dengan 9 alasan yang
meliputi: perusahaan bangkrut, perusahaan tutup karena merugi, perubahan status
perusahaan, pekerja melanggar perjanjian kerja, pekerja melakukan kesalahan berat,
pekerja memasuki usia pensiun, pekerja mengundurkan diri, pekerja meninggal dunia,
serta pekerja mangkir.
Dalam Omnibus Law Ciptaker, pemerintah menambah poin alasan perusahaan boleh
melakukan PHK dalam Pasal 154 A.

Beberapa alasan tersebut di antaranya: perusahaan melakukan efisiensi; perusahaan


melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan; dan perusahaan
dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

Kemudian, perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja; pekerja


mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat
melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan; pekerja buruh memasuki usia
pensiun; dan pekerja meninggal.

6. Status Kerja
Pasal 56 UU Ketenagakerjaan mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
terhadap pekerja maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali
dalam waktu 1 tahun. Sementara dalam Omnibus Law Ciptaker, ketentuan Pasal 59 itu
dihapus.

Dengan penghapusan pasal ini, tidak ada batasan aturan seseorang pekerja bisa dikontrak.
Akibatnya bisa saja pekerja tersebut menjadi pekerja kontrak seumur hidup.

7. Jam Kerja
Dalam UU Ketenagakerjaan, waktu kerja lembur paling banyak hanya 3 jam per hari dan
14 jam per minggu. Sedangkan dalam Omnibus Law Cipta Kerja waktu kerja lembur
dipsserpanjang menjadi maksimal 4 jam per hari dan 18 jam per minggu.

8. Tenaga Kerja Asing


Pasal 81 poin 4 hingga 11 UU Ciptaker mengubah dan menghapus sejumlah aturan
tentang pekerja asing dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Contohnya, dalam UU Ciptaker pemerintah menghapuskan kewajiban izin tertulis bagi
pengusaha yang ingin mempekerjakan TKA. Sebagai gantinya, pengusaha hanya
diwajibkan memiliki rencana penggunaan TKA.

Anda mungkin juga menyukai