Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

DAMPAK OMNIBUS LAW CIPTA KERJA


Diajukan untuk melengkapi tugas ilmu negara

DOSEN PEMBIMBING
ROSNELLY, SH. MH

DISUSUN OLEH:
1. ANDRY ATMAJA 210611000038
2. CUT RIZKINA AULIA 210611000071
3. M SINGGIT SUHARTO 210611000075

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AMIR HAMZAH MEDAN
2021/2022
1. Mengenal Omnibus law
Pada tanggal 20 Oktober 2019, dalam pidato pertamanya setelah dilantik menjadi
presiden untuk kedua kalinya, presiden Ir. Joko Widodo menyinggung suatu konsep hukum baru
yang disebut omnibus law. Omnibus law sendiri memiliki arti yaitu konsep atau metode
pembuatan regulasi(peraturan yang dibuat untuk mengendalikan suatu kelompok) yang
menghimpun sejumlah aturan dimana subtansinya berbeda-beda menjadi satu aturan dalam satu
wadah hukum.
Pada 16 Desember 2019, satgas omnibus law dibentuk dan diketuai oleh Kadin Rosan
dan menteri koordinator bidang perekonomian Airlangga Hartato sebagai pengarah. Ada dua
omnibus law yang diajukan pemerintah, yaitu cipta kerja dan perpajakan.

2. Omnibus law cipta kerjakerja


Pada tanggal 5 Oktober 2020 UU Omnibus law cipta kerja disahkan. Yang terdiri dari 11
pembahasan sebagai berikut:
1. Penyederhanaan perizinan berusaha
2. Persyaratan investasi
3. Ketenagakerjaan
4. Kemudahan dan perlindungan UMKM
5. Kemudahan berusaha
6. Dukungan dan riset inovasi
7. Administrasi pemerintahan
8. Pengenaan sanksi
9. Pengadaan lahan
10. Investasi dan proyek pemerintahan
11. Kawasan ekonomi
Dari 11 pokok pembahasan undang undang cipta kerja diatas yang banyak menyita
perhatian masyarakat adalah UU ketenagakerjaan, hal ini dikarenakan adanya perubahan dan
penghapusan terhadap beberapa pasal yang ada dalam UU 13/2003 sebelumnya. Berikut poin-
poin perubahan pada UU Omnibus Law Cipta Kerja dibanding UU Ketenagakerjaan 13/2003:
a. Jam Kerja/Hari Libur
1. Jam Kerja
Waktu kerja lembur menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. Pada UU
sebelumnya, disebutkan waktu kerja lembur paling banyak hanya 3 jam per hari dan 14 jam per
minggu, artinya pada UU yang baru ini jam kerjanya bertambah.
2. Hari Libur Mingguan
Hari libur bekerja atau istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja, artinya dalam
seminggu hari kerja sebanyak 6 hari itu liburnya 1 hari. Ini berbeda dengan UU 13/2003 yang
mencantumkan bahwa istirahat mingguan ada 2 pilihan, yakni istirahat mingguan 1 hari untuk 6
hari kerja dalam satu minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam satu minggu.
3. Istirahat Panjang
Tidak ada kewajiban bagi perusahaan atas pemberian istirahat panjang, jadi hak cuti
panjang selama 2 bulan bagi pekerja yang sudah bekerja selama 6 tahun secara terus menerus,
sedangkan pada UU sebelumnya itu diserahkan sebagai kewenangan perusahaan.
b. Status Pekerja/Karyawan
Pasal mengenai PKWT yang ada di UU Ketenagakerjaan dihapus. Tidak ada ketentuan
yang mengatur tentang syarat Pekerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerja kontra, artinya tidak
ada batasan pekerja bisa dikontrak. Di pasal sebelumnya yaitu UU 13/2003 Pasal 59, yang
mengatur perjanjian PKWT terhadap pekerja maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu boleh
diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun.
c. Upah
Aturan mengenai pengupahan diubah menjadi 7 kebijakan, diantaranya:
1. Upah minimum
2. Struktur dan skala upah
3. Upah kerja lembur
4. Upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu
5. Bentuk dan cara pembayaran upah
6. Hal-hal lain yang dapat diperhitungkan dengan upah
7. Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya
Sebelumnya dalam Pasal 88 ayat (3) UU Ketenagakerjaan disebutkan ada 11 kebijakan
pengupahan, artinya upah yang diatur dalam UU baru ini lebih sedikit. Karna 4 ketentuan terkait
pengupahan pada UU 13/2003 yang dihapus dalam UU Cipta Kerja ini adalah:
1. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya
2. Upah untuk pembayaran pesangon
3. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan
4. Denda dan potongan upah

d. Pesangon
Berikut beberapa poin mengenai pesangon dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja
dibanding UU Ketenagakerjaan, didalam UU omnibus law cipta kerja :
1. Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena surat peringatan
2. Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena peleburan, pergantian
status kepemilikan perusahaan
3. Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi 2
tahun dan pailit.
4. Tidak ada uang santunan berupa pesangon bagi ahli waris atau keluarga jika
pekerja/buruh meninggal
5. Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena akan memasuki usia
pensiun.
Sedangkan aturan mengenai uang pesangon dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 sebagai
berikut:
1. Pesangon harus diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena melakukan
pelanggaran
2. Pesangon harus diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena perubahan status atau
penggabungan perusahaan maupun perubahan kepemilikan perusahaan.
3. Pesangon diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi
4. Pemberian uang santunan pada ahli waris atau keluarga pekerja jika pekerja/buruh
meninggal dunia.
5. Pesangon diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena memasuki usia pensiun.
e. Jaminan Sosial
1. Jaminan Pensiun
Tidak ada sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh
dalam program jaminan pensiun. Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan diatur bagi
perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun akan
dikenakan sanksi pidana.
2. Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Adanya pengaturan program jaminan sosial baru, yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan,
yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan prinsip asuransi sosial. Jaminan
kehilangan pekerjaan ini sebelumnya tidak diatur dalam UU 13/2003.
f. PHK
Perbedaan ketentuan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diatur dalam
UU Omnibus Law Cipta Kerja 2020 dibanding UU Ketenagakerjaan ini, Dalam UU 13/2003,
ada 9 alasan perusahaan boleh melakukan PHK, diantaranya:
1. Perusahaan bangkrut
2. Perusahaan tutup karena merugi
3. Perubahan status perusahaan
4. Pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja
5. Pekerja/buruh melakukan kesalahan berat
6. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun
7. Pekerja/buruh mengundurkan diri
8. Pekerja/buruh meninggal dunia
9. Pekerja/buruh mangkir
Sementara itu, pada UU Omnibus Law Cipta Kerja ini bertambah 5 poin lagi, yaitu :
1. Perusahaan melakukan efisiensi.
2. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan
perusahaan.
3. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang.
4. Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh.
5. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan
tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.

3. Dampak Bagi Masyarakat


a. Pekerja terancam tidak menerima pesangon.
UU Cipta kerja menghapus setidaknya 5 pasal mengenai pemberian pesangon. Imbasnya,
pekerja terancam tidak menerima pesangon ketika mengundurkan diri, mengalami Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK), atau meninggal dunia.
b. TKA lebih mudah masuk RI
UU Cipta kerja mempermudah masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) ke Indonesia. Hal
ini dilakukan melalui Pasal 81 poin 4 hingga 11 UU Cipta kerja yang mengubah dan menghapus
sejumlah aturan tentang pekerja asing dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
c. Batasan maksimum 3 tahun untuk karyawan kontrak dihapus
Pemerintah mengubah dan menghapus sejumlah pasal dalam terkait ketentuan Perjanjian
Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) melalui UU Cipta kerja. Salah satu poin yang menuai
kontroversi adalah pemerintah menghilangkan batasan maksimal karyawan kontrak selama 3
tahun dalam UU Cipta kerja.
d. Jam lembur tambah dan cuti panjang hilang
Dalam UU Cipta kerja tepatnya Pasal 81 poin 22 mengubah pasal UU 78 UU
Ketenagakerjaan tentang waktu kerja lembur. Mulanya, UU 78 UU Ketenagakerjaan
menyebutkan jika waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari
dan 14 jam dalam seminggu.Namun dalam UU Cipta kerja, waktu lembur bertambah menjadi
paling lama 4 jam dalam sehari dan 18 dalam seminggu.
e. Tak ada lagi UMK
UU Cipta kerja menghapus upah berdasarkan provinsi atau kota/kabupaten (UMK) dan
upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kota/kabupaten yang tertera dalam
Pasal 89 UU Ketenagakerjaan. Sebagai gantinya, UU Cipta kerja menyatakan jika gubernur
dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu yang tertera dalam
pasal selipan 88C UU Cipta kerja.

4. Kesimpulan

Kendala yang dihadapi dalam pembentukan uu omnibus law cipta kerja adalah masih
belum pahamnya anggota DPR dalam menyusun uu omnibus sehingga perlu adanya perhatian
khusus dari para anggota DPR. Dengan banyaknya dampak negatif bagi masyarakat membuat
mahkamah konstitusi (MK) memutuskan anggota DPR untuk merevisi ulang dalam jangka
waktu 2 tahun, apabila dalam jangka waktu 2 tahun tidak dapat dilakukan perbaikan maka UU
cipta kerja otomatis dinyatakan inkonstitusional (tidak berdasarkan konstitusi atau UUD)
bersyarat secara permanen,artinya ditolak.

Anda mungkin juga menyukai