Anda di halaman 1dari 83

Puji syukur kehadiran Tuhan YME, berkat rahmat dan karunianya lah kita

semua masih diberikan perlindungan dan nikmat kesehatan untuk tetap


terus berkarya.
Umat manusia selalu jadi pelaku serta saksi perubahan yang terjadi
mulai dari perang, bencana alam, wabah penyakit, dan kini harus
berjuang ditengah pandemi untuk dapat hidup berdampingan dengan
virus Covid – 19.
Disetiap perubahan selalu ada sisi positif yang dapat diambil dari hal –
hal buruk yang menimpa umat manusia untuk tetap terus bertahan
hingga akhir zaman.
Bagi kami team Dunia HR, pandemi ini membuat kami kreatif serta
produktif dalam beraktivitas selama menjalani pembatasan pembatasan
berkegiatan
Membuat portal tentang HR yang berisi informasi, mengelola sosial
media, pelatihan serta webinar dan yang paling utama membuat artikel
– artikel tentang dunia sumber daya manusia di Indonesia.
Tak kurang dari 100-an artikel telah kami publikasikan mulai dari 01 Mei
2020 hingga hari ini dengan tujuan sebagai bahan praktis pengalaman –
pengalaman untuk insan sumber daya manusia di Indonesia.
Semoga E-Book yang kami buat dapat bermanfaat.

Salam,
Redaksi DuniaHR.com
Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat
Setelah UU Cipta Kerja Disahkan
Sebagaimana kita ketahui bahwa UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah
disahkan sebagai Undang-Undang sejak tanggal 2 November 2020. Walau dalam proses
pengesahannya UU Omnibus Law ini menjadi topik panas pada beberapa waktu lalu karena
ada pihak yang memandang dari positifnya (pro) dan tentunya ada pihak lain yang
memandang dari sisi negatifnya (kontra). Sebelum kita membahas lebih lanjut, yang perlu
diingat dalam membaca UU Cipta Kerja ini adalah bahwa pengaturan dalam Peraturan
Perundangan yang tidak dihapus, ditambahkan, diubah oleh UU Cipta Kerja ini tetap
berlaku.

Terlepas dari kedua pandangan tersebut, mari kita sandingkan ketentuan waktu kerja dan
waktu istirahat antara undang-undang pendahulunya yaitu UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menjadi salah
satu poin yang mengalami perubahan tersebut. Adapun perbedaannya adalah

Waktu Kerja

Waktu kerja yang diatur dalam Pasal 77 UU Cipta Kerja mempertegas waktu kerja yang
diatur dalam UU pendahulunya yaitu:

• 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam)
hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
• 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima)
hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
• Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi
sektor usaha atau pekerjaan tertentu yang akan diatur lebih lanjut di Peraturan
Pemerintah.

Bahwa selain waktu kerja yang mengalami perubahan, pengaturan kelebihan jam kerja pun
turut serta diubah menjadi paling lama 4 (empat) jam per hari dan 18 (delapan belas) jam
per minggu (vide Pasal 78 UU Cipta Kerja), dimana pada UU sebelumnya adalah paling
lama 3 (tiga) jam per hari dan 14 (empat belas) jam per minggu.

Waktu Istirahat

Waktu istirahat dalam UU Cipta Kerja ini juga mempertegas apa yang telah diatur
sebelumnya pada UU No. 13 Tahun 2003, dimana waktu istirahat wajib diberikan oleh
Pengusaha kepada Pekerja paling sedikit 30 (tiga puluh) menit setelah 4 (empat) jam bekerja
dan libur 1 (satu) hari setelah 6 (enam) hari kerja dalam seminggu (vide Pasal 79 ayat 2 UU
Cipta Kerja). Ketentuan waktu istirahat pada UU Cipta Kerja yang mengalami perubahan
pengaturan adalah tentang istirahat panjang.

1
Pada UU Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003), pengaturan istirahat panjang ini
diberikan kepada pekerja yang telah 6 (enam) tahun bekerja secara terus menerus dan
diberikan sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan yang pelaksanaannya dapat dilakukan 1 (satu)
bulan pertama pada tahun ketujuh dan 1 (satu) bulan kedua pada tahun kedelapan.
Ketentuan istirahat panjang ini meniadakan istirahat tahunan pekerja dalam 2 (dua) tahun
berjalan.

Sementara pada UU Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020), pengaturan istirahat panjang
diubah menjadi perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dalam
pelaksanaanya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. (vide Pasal 79 ayat 5 dan 6 UU
Cipta Kerja)

Demikian Pengaturan Ketentuan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat setelah berlakunya UU
No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Salam,

Redaksi DuniaHR.Com

2
Usia Pensiun Karyawan Swasta di
Indonesia
Batas Usia Pensiun pada tanggal 1 Januari 2019 berubah menjadi 57 tahun dan terus
bertambah 1 tahun setiap rentang tiga tahun hingga mencapai batas 65 tahun (vide Pasal 15
ayat 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2015 tentang Jaminan Pensiun).

Sementara itu UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur kapan
saatnya pensiun dan berapa Batas Usia Pensiun (BUP) untuk pekerja sektor swasta. Dalam
pasal 167 ayat 1 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa salah satu alasan pemutusan
hubungan kerja (PHK) adalah karena pekerja telah memasuki usia pensiun. Akan tetapi tidak
diatur secara jelas dan tegas pada usia berapa batas usia pensiun berlaku. Ketentuan
mengenai batas usia pensiun ditetapkan dalam Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan
(PP)/ Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Peraturan Perundangan yang berkaitan dengan
masa pensiun menurut Pasal 154 huruf c UU Ketenagakerjaan.

Pengaturan Usia Pensiun dalam PP No. 45 Tahun 2015 tentang Program Jaminan Pensiun,
menimbulkan perdebatan mengenai penetapan batas usia pensiun bagi pekerja di Sektor
swasta di Indonesia.

Lantas ketentuan mana yang tepat untuk kita jadikan acuan batas usia pensiun bagi kita
karyawan swasta? beberapa orang berpendapat bahwa usia pensiun mengacu kepada
ketentuan usia pensiun BPJS Ketenagakerjaan dan ada juga yang berpendapat bahwa usia
pensiun bebas diatur oleh Perusahaan sesuai UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.

Sebelum kepada kesimpulan, mari kita lihat satu persatu mana yang dapat menjadi acuan:

• Pasal 154 huruf c Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan

“Pekerja mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja (PK),
peraturan perusahaan (PP), perjanjian kerja bersama (PKB), atau peraturan
perundangundangan”

UU No.13 Tahun 2003 (Ketenagakerjaan) tidak secara tegas mengatur batas usia pensiun,
UU No.13 Tahun 2003 (Ketenagakerjaan) memberikan kebebasan kepada pengusaha dan
pekerja untuk menyepakati usia pensiun melalui Perjanjian Kerja / Peraturan Perusahaan /
Perjanjian Kerja Bersama; dan juga menyebutkan usia pensiun bisa diatur oleh peraturan
perundang undangan.

3
• Pasal 15 Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2015 Tentang Jaminan Pensiun

1. Untuk pertama kali Usia Pensiun ditetapkan 56 (lima puluh enam) tahun;
2. Mulai 1 Januari 2019, Usia Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
57 (lima puluh tujuh) tahun;
3. Usia Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya bertambah 1 (satu)
tahun untuk setiap 3 (tiga) tahun berikutnya sampai mencapai Usia Pensiun 65
(enam puluh lima) tahun.

• Perbandingan UU 13/2003 dengan PP 45/2015

Kedua aturan ini sama sama mengatur mengenai usia pensiun, namun ternyata, kedua
aturan ini tidak ada keterkaitan secara langsung.

UU 13/2003 dengan PP 45/2015 tidak memiliki keterkaitan hirarki perundang- undangan


terlihat dari poin menimbang dan mengingat PP 45/2015, disitu tidak ada menyebutkan UU
13/2003 tentang ketenagakerjaan sama sekali, namun dari UU 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), sehingga kedua aturan ini tidak ada hubungan
secara langsung.

Batas usia pensiun dalam PP No.45 tahun 2015 adalah batas ketentuan kapan seorang
peserta bisa menerimamanfaat pensiun dari program BPJS, artinya jikalau pengaturan
dalam PP / PKB mengatur bahwa usia pensiun orang, katakanlah usia 55 tahun, sementara
manfaat pensiun yg diatur dalam PP.45 tahun 2015 usia pensiun di usia 57, maka:

1. Karyawan tersebut akan berhenti hubungan kerjanya karena pensiun di usia 55


tahun.
2. Karyawan tersebut baru dapat menerima atau mengklaim manfaat BPJS di usia 57
tahun.

Perlu adanya pengaturan mengenai Batas Usia Pensiun Karyawan Swasta dalam UU di
Indonesia, karena kalau batas usia pensiun dikembalikan lagi kepada ketentuan dalam
Peraturan Perusahaan (PP) maka bisa saja perusahaan akan menetapkan batas usia
pensiun karyawannya selama mungkin, hal tersebut bisa saja dilakukan oleh perusahaan
untuk mengakali ketentuan pensiun di perusahan tersebut sehingga karyawan berhenti
bekerja (mengundurkan diri) sebelum masuk batas usia pensiun, yang berakibat karyawan
yang berhenti bekerja tidak mendapatkan hak berupa uang pesangon, uang penghargaan
masa kerja dan uang penggantian hak. Karyawan tsb hanya berhak atas uang pisah sesuai
ketentuan dalam Peraturan Perusahaan (PP) / Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Contoh Kasus:

Ingin dapat tetap bekerja, tentu menjadi impian dan keinginan setiap orang dimana
keterbatasan pisik dan pikiran akibat usia yang semakin lanjut, menjadi batas seseorang
untuk dapat mampu atau tidak melanjutkan hubungan kerja. Terkadang, baik pengusaha
maupun pekerja, diantara keduanya berkehendak memutuskan hubungan kerja dengan
alasan Pekerja telah memasuki usia pensiun.Terhadap alasan pemutusan hubungan kerja

4
yang demikian, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya
mengatur besaran uang kompensasi pesangon, tanpa mengatur batasan usia pensiun.
Namun disisi lain, pada prakteknya, batas usia pensiun seringkali merujuk pada peraturan-
peraturan tentang jaminan sosial tenaga kerja.

Sartono Budi Santoso yang tetap hendak dipekerjakan oleh PT. Sandratex dalam usia 63
tahun. Akhirnya harus menempuh upaya hukum untuk dapat diputuskan hubungan kerjanya
dengan kualifikasi pensiun, sesuai dengan Pasal 167 UU Ketenagakerjaan. Terhitung sejak
akhir Juli 2017, Sartono meminta agar diperkenankan tidak lagi bekerja karena telah bekerja
selama 43 tahun. Keinginan Sartono tidak berbalas dari PT. Sandratex. Sebab, Perusahaan
dengan dalih ingin tetap mempekerjakan, tidak menyetujui permohonan pemutusan
hubungan kerja dengan Sartono karena Pensiun.

Penyelesaian melalui mediasi-pun digelar di Dinas Ketenagakerjaan Kota Tangerang,


namun tidak mencapai mufakat, lalu meski Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada
Pengadilan Negeri Serang menjatuhkan vonis pada 18 April 2018, yang mengabulkan
permintaan Sartono dengan menghukum Perusahaan membayar uang kompensasi
pesangon pensiun senilai Rp.105,3 juta, tetapi Perusahaan mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung (MA). Melalui Ketua Majelis Hakim Agung Muhammad Yunus Wahab,
permintaan pemutusan hubungan kerja Sartono dianggap wajar karena usianya sudah 63
tahun. Yunus merujuk pada Pasal 6 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
Per02/Men/1995. Dalam ketentuan tersebut, batas usia pensiun normal ditetapkan 55 tahun,
tetapi apabila Perusahaan masih tetap mempekerjakan Pekerja, maka batas usia pensiun
maksimum ditetapkan 60 tahun.“Bahwa Judex Facti telah tepat menyatakan termohon
Kasasi diputus hubungan kerja karena pensiun sesuai ketentuan Pasal 167 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena saat mengajukan pensiun tanggal
28 Juli 2017 telah mencapai usia 63 tahun dengan masa kerja 43 tahun”, ujar Yunus
membacakan pertimbangan hukum dalam Putusan Kasasi Nomor 936 K/Pdt.Sus-PHI/2018,
Senin (8/10/2018) lalu. Atas pertimbangan tersebut, MA menolak kasasi yang diajukan oleh
PT. Sandratex. Sebab, lanjut Yunus, tidak dasar hukum yang tepat bagi Perusahaan untuk
menunda pelaksanaan pensiun yang diajukan oleh Sartono, karena dirinya secara materiil
telah berusia 63 tahun.

Kesimpulan

• Batasan Usia Pensiun karyawan tidak wajib mengacu ke PP 45/2015;


• Batasan Usia Pensiun dapat diatur sendiri dalam PK / PP / PKB.

Salam,

Redaksi DuniaHR.Com

5
Selayang Pandang Peraturan
Pemerintah No.35 Tahun 2021
Rasanya tahun 2021 ini layak disematkan sebagai tahunnya HR, bagaimanapun juga
turunnya Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 membuat kita semua dipaksa
mengosongkan sejenak apa yang ada dalam pemikiran kita tentang pemahaman terhadap
UU terdahulu, memilah pasal per pasal kemudian mencoba merangkainya sehingga
mendapatkan pemahaman yang utuh dari kolaborasi pasal yang ada di UU No. 13 tahun
2003 dan UU Cipta Kerja beserta PP turunannya.

Apa saja yang menjadi titik perhatian dalam peraturan pemerintah yang baru disahkan
tersebut, berikut kami coba rangkai dalam selayang pandang Peraturan Pemerintah No. 35
Tahun 2021:

Jenis Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Perubahan mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) dalam UU Cipta Kerja
merupakan salah satu aspek yang diatur lebih lanjut dalam PP No.35/2021 ini. Dalam UU
Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, hanya dikatakan bahwa berdasarkan jenis/sifatnya
PKWT didasarkan pada dua hal, yaitu jangka waktu dan selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Kini ketentuan tersebut diperjelas lagi oleh Pasal 5 PP No. 35/2021 sebagai berikut:

Berdasarkan jangka waktu

• Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama
(maksimal lima tahun);
• pekerjaan yang bersifat musiman (yang pelaksanaanya hanya dapat dilakukan pada
musim/cuaca tertentu, atau yang pelaksanaanya tergantung pada kondisi tertentu
guna memenuhi pesanan/target); atau
• pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau

Berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu

• Pekerjaan yang sekali selesai; atau


• pekerjaan yang sementara
• Pekerjaan lainnya yang kegiatannya bersifat tidak tetap:
• Pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan, serta
upah pekerja/buruh dibayar berdasarkan

Mengenai ketentuan PKWT berdasarkan jangka waktu, sebelumnya oleh UU


Ketenagakerjaan diatur bahwa jangka waktu PKWT berserta perpanjangannya maksimal
hanya 3 (tiga) tahun, kini oleh Pasal 8 PP No. 35/2021 jangka waktu PKWT tersebut diubah

6
menjadi maksimal 5 (lima) tahun yang dihitung sejak terjadinya hubungan kerja berdasarkan
PKWT.

Sementara terkait PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan menurut Pasal 9 PP No.
35/2021 harus disepakati oleh para pihak di dalam perjanjiannya mengenai ruang lingkup
serta batasan untuk menentukan kapan suatu pekerjaan yang dimaksud dinyatakan selesai.

Mengenai PKWT dengan jenis pekerjaan lainnya yang kegiatanya bersifat tidak tetap dalam
Pasal 10 PP No. 35/2021 ini dijelaskan bahwa PKWT tersebut dapat dilakukan dengan
perjanjian kerja harian yang memuat ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua
puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan.

Pemberian Kompensasi Berakhirnya PKWT

Ketentuan pemberian kompensasi atau uang kompensasi dalam UU Cipta Kerja telah
memberikan ketentuan tambahan terkait kompensasi dengan menyelipkan Pasal 61A di
antara Pasal 61 dan 62 UU Ketenagakerjaan. Pasal 61A UU Cipta Kerja pada intinya
menjelaskan bahwa pemberian kompensasi diberikan sesuai dengan masa kerja
pekerja/buruh. Terkait tata cara pemberian kompensasi diatur dalam PP No. 35/2021.

Berdasarkan ketentuan pada Pasal 15 PP No. 35/2021, pengusaha diwajibkan memberikan


kompensasi kepada pekerja/buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan PKWT, namun
pemberian kompensasi tersebut tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang hubungan
kerjanya berdasarkan PKWT.

Pemberian kompensasi dilaksanakan pada saat berakhirnya PKWT dengan catatan


diberikan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja paling sedikit 1 (satu)
bulan secara terus menerus.

Namun, apabila PKWT diperpanjang maka pemberian kompensasi dilaksanakan pada akhir
PKWT sebelum diperpanjang, dan terhadap pemberian kompensasi berikutnya
dilaksanakan setelah berakhirnya jangka waktu PKWT setelah diperpanjang.

Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (5), jika PKWT berakhir karena selesainya
suatu pekerjaan lebih cepat daripada jangka waktu PKWT, maka pemberian kompensasi
dihitung dengan mengacu dari waktu mulai hingga waktu selesainya pekerjaan.

Besaran pemberian kompensasi sebagaimana telah dijelaskan di atas berdasarkan


ketentuan pada Pasal 16 PP No.35/2021, sebagai berikut:

• PKWT selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus, diberikan sebesar 1
(bulan) Upah;
• PKWT selama 1 (satu) bulan atau lebih namun kurang dari 12 (dua belas) bulan
dihitung secara proporsional dengan perhitungan (masa kerja)/12 x 1 (satu) bulan
Upah; dan
• PKWT selama lebih dari 12 (dua belas) bulan, dihitung secara proporsional dengan
perhitungan yang sama sebagaimana dimaksud pada poin

7
Upah yang digunakan dalam perhitungan pemberian kompensasi terdiri atas upah pokok dan
tunjangan tetap. Adapun perhitungan pemberian kompensasi bagi pekerja/buruh pada
Usaha Mikro dan Kecil (“UMK”), yaitu diberikan berdasarkan kesepakatan antara
pengusaha dan pekerja/buruh.

Alih Daya

Ketentuan mengenai outsourcing atau yang dikenal dengan istilah “Penyedia jasa/buruh”
dalam UU Ketenagakerjaan dan “Alih daya” dalam UU Cipta kerja, kini diatur lebih lanjut oleh
PP No.35/2021.

Sebelumnya dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta kerja tidak jelaskan mengenai


definisi dari Perusahaan penyedia jasa/buruh maupun perusahaan alih daya, namun kini
terdapat definisi pada Pasal 1 angka 14 PP No. 35/2021 yang mengatakan bahwa
Perusahaan alih daya merupakan badan usaha berbentuk badan hukum yang memenuhi
syarat untuk melaksanakan pekerjaan tertentu berdasarkan perjanjian yang disepakati
dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

Lebih lanjut, Pasal 20 PP No. 35/2021 mengatakan bahwa perusahaan alih daya berbentuk
badan hukum tersebut juga diwajibkan untuk memenuhi perizinan berusaha yang syarat dan
tata cara perolehan perizinannya dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria perizinan berusaha yang telah
ditetapkan pemerintah pusat.

Dalam Pasal 18 PP No. 35/2021 ditegaskan bahwa pekerja/buruh memiliki hubungan kerja
dengan perusahaan alih daya yang didasarkan pada PKWT ataupun Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu (“PKWTT”), di mana keduanya harus dibuat secara tertulis.

Selain itu dalam Pasal ini juga dijelaskan mengenai perlindungan pekerja/buruh, upah,
kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul nantinya, merupakan tanggung
jawab dari perusahaan alih daya sebagaimana yang diatur dalam Perjanjian Kerja,
Peraturan Perusahaan, ataupun Perjanjian Kerja Bersama.

Kemudian berdasarkan Pasal 19 PP No. 35/2021, apabila hubungan kerja antara


perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh didasarkan dengan PKWT, maka dalam
perjanjian kerja tersebut harus disyaratkan pengalihan perlindungan hak bagi pekerja/buruh
jika nantinya terjadi pergantian perusahaan alih daya ketika objek pekerjaannya masih tetap
ada.

Hal ini dijadikan sebagai jaminan atas kelangsungan bekerja bagi para pekerja/buruh dari
perusahaan alih daya yang hubungan kerjanya berdasarkan PKWT. Jika jaminan tersebut
tidak didapatkan oleh pekerja/buruh, maka perusahaan alih daya secara otomatis
bertanggung jawab atas pemenuhan hak dari perkerja/buruh tersebut.

8
Waktu Kerja

Waktu Kerja yang wajib diberlakukan berdasarkan ketentuan pada Pasal 21 PP No.
35/2021, meliputi:

• 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam
hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
• 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima)
hari kerja dalam 1 (satu)

Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu, dalam artian
sektor usaha atau pekerjaan tertentu tersebut dapat menerapkan waktu kerja yang kurang
atau lebih dari ketentuan waktu yang telah dijelaskan. Berdasarkan Pasal 23 PP No.
35/2021, terdapat ketentuan sektor usaha atau pekerjaan tertentu yang dapat menerapkan
waktu kerja kurang dari ketentuan pada Pasal 21 PP No. 35/2021, paling tidak memiliki
karakteristik:

• Penyelesaian pekerjaan kurang dari 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan kurang dari 35
(tiga puluh lima) jam 1 (satu) minggu;
• waktu kerja fleksibel; atau
• pekerjaan dapat dilakukan di luar lokasi

Teruntuk karakteristik sektor usaha atau pekerjaan yang dapat menerapkan waktu kerja lebih
dari ketentuan pada Pasal 21 PP No. 35/2021 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan waktu
kerja yang telah ditetapkan oleh Menteri melalui Peraturan Menteri. Pelaksanaan
keseluruhan waktu kerja bagi pekerja/atau buruh di perusahaan diatur dalam Perjanjian
Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

Waktu Kerja Lembur

Waktu lembur pada ketentuan Pasal 26 PP No. 35/2021, hanya dapat dilakukan paling lama
4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu,
dengan catatan tidak termasuk waktu kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat
mingguan dan/atau hari libur resmi. Perusahaan yang memperkerjakan pekerja/buruh
selama waktu kerja lembur berdasarkan ketentuan Pasal 29 PP No. 35/2021, memiliki
kewajiban untuk:

• Membayar Upah Kerja Lembur;


• memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya; dan
• memberikan makanan dan minuman paling sedikit 1.400 (seribu empat ratus) kilo
kalori, apabila kerja lembur dilakukan selama 4 (empat) jam atau

Kewajiban pembayaran upah kerja lembur berdasarkan ketentuan pada Pasal 27 PP No.
35/2021, dikecualikan bagi pekerja/buruh dalam golongan jabatan tertentu yang mempunyai
tanggung jawab sebagai pemikir, perencana, pelaksana, dan/atau pengendali jalannya
perusahaan dengan waktu kerja tidak dapat dibatasi dan mendapat upah lebih tinggi.
Ketentuan waktu kerja lembur berlaku untuk semua perusahaan, kecuali bagi perusahaan
pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana telah dijelaskan pada Pasal 23 dan
Pasal 24 PP No. 35/2021.

9
Waktu Istirahat

Berdasarkan ketentuan pada Pasal 22 PP No. 35/2021, pengusaha yang mempekerjakan


pekerja/buruh pada waktu kerja sebagaimana telah dijelaskan pada Pasal 21 PP No.
35/2021, wajib memberikan waktu istirahat mingguan meliputi:

• Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) mingu; atau
• istirahat mingguan 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu)

Ketentuan untuk waktu istirahat pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana
telah dijelaskan pada Pasal 23 PP No. 35/2021, dapat ditetapkan oleh Menteri dan diatur
dengan Peraturan Menteri.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Alasan-alasan PHK:

Berdasarkan Pasal 36 PP No. 35/2021, terdapat beberapa hal yang dapat menjadi alasan
terjadinya PHK, meliputi:

• Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau


pemisahan dan pekerja/burh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau
perusahaan tidak bersedia menerima pekerja/buruh;
• perusahaan melakukan efisisensi diikuti atau tidak diikuti dengan penutupan
perusahaan karena perusahaan mengalami kerugian;
• perusahaan tutup karena mengalami kerugian secara terus-menerus selama 2 (dua)
tahun;
• perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa;
• perusahaan dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”);
• perusahaan pailit;

Ada permohonan PHK yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan alasan pengusaha
melakukan perbuatan sebagai berikut:

• Menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam pekerja/buruh;


• membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan hukum;
• tidak membayar upah tepat waktu selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
• tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan pada pekerja/buruh;
• memerintahkan pekerja/buruh melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan;
atau
• memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan
kesusilaan sedangkan pekerjaan tersebut tidak terdapat dalam Perjanjian
• adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaiman dijelaskan pada
huruf g dan pengusaha memutuskan untuk melakukan PHK;
• pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan

10
• pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa
keterangan tertulis dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2
(dua) kali secara patut dan tertulis;
• pekerja/buruh melanggar ketentuan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan,
atau Perjanjian Kerja Bersama dengan sebelumnya telah diberi surat peringatan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku kecuali ditentukan lain;
• pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat
ditahan pihak berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;
• pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja
sehingga tidak dapat bekerja setelah melewati jangka waktu 12 (dua belas) tahun;
• pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau
• pekerja/buruh meninggal

Berdasarkan Pasal 37 PP No. 35/2021, apabila pengusaha hendak melakukan PHK dengan
maksud dan alasan sebagaimana telah dijelaskan pada Pasal 36 PP No. 35/2021, maka
pengusaha memberikan pemberitahuan kepada pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/buruh dalam perusahaan jika yang bersangkutan merupakan anggota perserikatan
tersebut.

Pemberitahuan PHK terebut dibuat secara tertulis dan disampaikan secara sah dan patut
paling lama 14 (empat belas) hari kerja sebelum PHK. Dalam hal PHK dilakukan pada masa
percobaan maka jangka waktu disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sebelum PHK.

Pada Pasal 39 PP No. 35/2021, menjelaskan bahwa jika pekerja/buruh menolak


pemberitahuan PHK, harus membuat surat penolakan disertai alasan paling lama 7 (tujuh)
hari kerja setelah diterimanya pemberitahuan.

Dalam hal terjadi perbedaan pendapat terkait PHK, penyelesaiannya harus dilakukan melalui
perundingan bipatrit antara pengusaha dan pekerja/buruh. Apabila perundingan bipatrit tidak
mencapai kesepakatan, maka akan dilakukan mekanisme penyelesaian perselisihan
hubungan industrial sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kompensasi PHK

Apabila terjadi PHK, pengusaha wajib memberikan hak kepada pekerja/buruh dengan
membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian
hak yang seharusnya diterima. Pasal 40 PP No.35/2021 telah mengubah ketentuan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima meliputi:

• Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;


• biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana
pekerja/buruh diterima bekerja; dan
• hal-hal lain yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau
Perjanjian Kerja Bersama.

Terdapat beberapa klasifikasi pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja,
dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima yang dijelaskan dalam PP No.35/2021
tepatnya pada ketentuan Pasal 41 sampai Pasal 57.

11
Uang Pesangon

Pekerja/Buruh berhak atas uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal
40 ayat (2), dalam hal PHK terjadi karenaalasan:

• Efisiensi akibat mengalami kerugian;


• perusahaan tutup akibat mengalami kerugian secara terus-menerus selama 2 (dua)
tahun;
• perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa;
• perusahaan dalam keadaan PKPU; dan
• perusahaan

Terhadap pelaksanaan PHK disebabkan karena alasan sebagaimana telah dijelaskan di


atas, uang pesangon tetap dibayarkan 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2) PP No.
35/2021.

Uang Penghargaan Masa Kerja

Pekerja/Buruh berhak atas uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 40 ayat (2), dalam hal segala alasan dilakukannya PHK sebagaimana diatur dalam PP
No.35/2021.

Uang Penggantian Hak

Ketentuan pemberian uang penggantian hak yang seharusnya kepada pekerja/buruh


terhadap seluruh alasan dilakukannya PHK, diberikan sesuai dengan ketentuan Pasal 40
ayat (4) PP No.35/2021.

Pasal 59 PP No. 35/2021 menjelaskan bahwa pengusaha pada Usaha Mikro dan Kecil
(“UMK”) wajib membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian
hak, dan/atau uang pisah bagi pekerja/buruh yang mengalami PHK dengan besaran yang
ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh.

Salam,

RedaksiDuniaHR.com

12
Resiko Hukum Perusahaan
Melakukan Penahanan
Ijazah Karyawan
Penahanan ijasah secara spesifik memang tidak diatur dalam UU No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Tetapi bukan berarti perusahaan bebas se-enaknya melakukan
penahanan ijasah karyawan. Mari kita cek bersama, resiko hukum apa saja yang berpotensi
atas tindakan perusahaan melakukan penahanan ijasah karyawan.

Ketentuan tentang Penitipan Barang dalam KUHPerdata:

1. Penitipan barang terjadi bila orang menerima barang milik orang lain dengan janji
untuk menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam keadaan yang sama
(keadaan yang baik).
2. Penerima titipan wajib memelihar barang titipan itu dengan sebaik-baiknya seperti
memelihara barang-barang kepunyaan sendiri.
3. Penerima titipan sekali-kali tidak harus bertanggungjawab atas kejadian-kejadian
yang tidak terelakkan datangnya, kecuali kalau ia telah lalai mengembalikan barang
titipan itu.

Referensi: Perjanjian penitipan diatur dalam Bab XI tentang Penitipan Barang yaitu: Pasal
1694-1793 Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Ketentuan tentang Pertanggungjawaban dalam KUHPerdata:

Resiko hukum apabila penahanan ijasah karyawan oleh perusahaan dengan menggunakan
perjanjian :

1. Perikatan (perjanjian) ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu,


atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Kerugian yang bias dimintakan penggantikan apabila terjadi Wanprestasi, tidak hanya
biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten),atau kerugian yang
sungguh-sungguh menimpa benda (schaden),tetapi juga berupa kehilangan
keuntungan (interessen),yaitu keuntungan yang didapat seandainya tidak lalai
(winstderving).

Referensi : pasal 1234, pasal 1243 KUHPerdata.

Resiko hukum apabila penahanan ijasah karyawan oleh perusahaan tanpa perjanjian (lisan):

Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
menggantikan kerugian tersebut.

13
Dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum pasal 1365
KUHPerdata, diperlukan 4 syarat:

1. Bertentangan dengan kewajiban hukumsi pelaku;


2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain;
3. Bertentangan dengan kesusilaan;
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.

Setiap orang bertanggungjawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan


perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau
kesembronoannya.

Referensi: Pasal 1365, 1366 KUHPerdata

Ketentuan tentang pertanggungjawaban secara pidana apabila ijasah yang didatahan rusak,
hilang:

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan,


membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Referensi : pasal 406 KUHP (BAB XXVII Menghancurkan atau Merusak Barang)

Tinjauan Hak Asasi Manusia:

Penahanan Ijazah juga dapat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dari Pekerja, berikut
adalah letak pelanggaranya:

• Melanggar Hak untuk meningkatkan taraf hidup, berupa hak memilih pekerjaan lain
dengan upah yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja itu sendiri.
Dengan ijazah yang ditahan oleh pengusaha,maka akibatnya menghilangkan
kesempatan bagi pekerja untuk mengajukan lamaran bekerja pada perusahaan lain
yang menurutnya lebih baik;
• Melanggar Hak untuk memperoleh pendidikan, dengan ijazah yang ditahan oleh
pengusaha, maka akibatnya menghilangkan kesempatan bagi pekerja yang
berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya;
• Melanggar Hak untuk bebas memilih pekerjaan yang disukainya, dengan ijazah yang
ditahan oleh pengusaha, maka akibatnya menghilangkan kesempatan bagi pekerja
untuk berpindah pekerjaan sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Oleh
karena itu Perjanjian Penahanan Ijazah dapat dibatal demi hukum, Jika sudah
melanggar Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

Referensi: Pasal 9 ayat (1), Pasal 12 danPasal 38 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM.

Peraturan Daerah tentang Larangan Penahanan Ijasah :

1. Perda Propinsi Jawa Timur No 8/2016 tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan:


Pasal 42: “Pengusaha dilarang menahan atau menyimpan dokumen asli yang
sifatnya melekat pada pekerj sebagai jaminan”. Dalam Penjelasannya dijelaskan
bahwa “Dokumen asli yang dimaksud adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat

14
Izin Mengemudi (SIM), akte kelahiran, kartu keluarga, paspor, ijazah dan sertifikat”.
Dalam Perda tersebut juga mengatur Sanksi terhadap Pengusaha yang melakukan
Penahanan Ijazah, yakni pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda
paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Note : Ketentuan Perda ini
hanya berlaku untuk Propinsi JawaTimur.
2. SE Gubernur Jawa Tengah No. 560/00/9350 tanggal 23-11-2016 tentang Penahanan
Ijazah Pekerja oleh Perusahaan “Bahwa pada prinsipnya penahanan ijasah pekerja
oleh pengusaha tidak diperbolehkan karena tidak memiliki alasan yuridis”.

Pengecualian ketentuan diatas :

Bagi pekerja yang disekolahkan/didiklatkan /dikursuskan dengan biaya perusahaan Minimal


3x Upah Minimum Kab/Kota;

Adanya kesepakatan para pihak dan kesepakatan tsb tidak menghilangkan hak pekerja
untuk menggunakan ijasah untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan pekerja;

Penahanan ijasah maksimal 2 (dua)tahun dan adanya jaminan keamanan dari pengusaha
(diasuransikan) Note: Ketentuan SE Gubernur ini hanya berlaku untuk Propinsi Jawa
Tengah.

Referensi Kasus

Perkara Nomor :15/Pdt.G/2015/PN.Smn

Gugatan:

Tergugat Melakukan Perbuatan Hukum; MenghukumTergugat untuk membayar ganti


kerugian materil yang diderita penggugat, kepada Penggugat sebesar
Rp.119.140.000,(seratus Sembilan belas juta seratus empat puluh ribu rupiah).Menghukum
Terguga tuntuk membayar ganti kerugian imateril yang diderita penggugat kepada
Penggugat sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluhj uta rupiah).

Putusan:

• Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk Sebagian;


• Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
• Menghukum Tergugat untuk membayar ganti kerugian materil yang diderita
Penggugat, kepada Penggugat sebesar Rp. 20.980.000,- (Dua puluh juta sembilan
ratus delapan puluh ribu rupiah).

KESIMPULAN :

Resiko hukum atas penahanan Ijazah Karyawan oleh Perusahaan adalah sebagai berikut :

• Ketentuan Pidana, pada Perda Propinsi JawaTimur No. 8 Tahun 2016 Tentang
Ketenagakerjaan yaitu: Ada ancaman pidana kurungan paling lama 6 bulan atau
pidana denda paling banyak 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Ketentuan ini
berlaku di Propinsi JawaTimur.
• Ketentuan Perdata, pada Pasal 1365 (Perbuatan Melawan Hukum), Pasal 1243
(Wanprestasi) apabila Ijazah karyawan yang dititipkan hilang/rusak.

15
• Ketentuan Hak Asasi Manusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 9,12,38 UU No.39
tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia.
• Yurisprudensi Kasus, Putusan Perkara Nomor : 15/Pdt.G/2015/PN.Smn tentang
ganti kerugian atas hilangnya Ijazah Karyawan.

Semoga penjelasan kami menjawab pertanyaan dari rekan-rekan sekalian.

Salam,

Redaksi DuniaHR.com

16
Resiko Hukum Perusahaan
Melakukan "Blacklist Karyawan"
Blacklist employee secara spesifik memang tidak diatur dalam UU No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Tetapi bukan berarti perusahaan bebas se-enaknya melakukan blacklist
terhadap mantan karyawan dengan alasan karyawan tersebut telah merugikan perusahaan
selama dia bekerja. Mari kita cek bersama, resiko hukum apa saja yang berpotensi atas
tindakan perusahaan melakukan blacklist terhadap mantan karyawan.

Apabila perbuatan yang pernah dilakukan mantan Karyawan tersebut tidak pernah diproses
secara hukum dan belum diputuskan oleh Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap.

Resiko hukum melakukan “blacklist employee” mantan karyawan melalui media elektronik :

Perusahaan berpontensi dikenakan pasal dalam UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana berikut :

• Pasal 27 ayat (3)UU ITE : Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik.
• Pasal 36 UU ITE : Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34
yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
• Pasal 45 ayat (1) UU ITE : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik dapat di dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,000 (satu miliar
rupiah).
• Pasal 51 ayat (2) UU ITE : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua
belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000.000,00 (dua belas miliar
rupiah).

Resiko hukum melakukan “blacklist employee” mantan karyawan melalui media


Konvensional Perusahaan berpotensi dikenakan Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) sebagaimana berikut :
Pasal 310 ayat (1)KUHP : Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama
baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan
maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista,
denganhukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp 4.500.000.

17
• Pasal 311 ayat (1)KUHP : Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista
dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak
dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak
benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukum penjara selama- lamanya
empat tahun.

Kesimpulan :

1. Pada dasarnya setiap tenaga kerja/karyawan memiliki kesempatan yang sama tanpa
diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak;
2. Perusahan dilarang melakukan blacklist employee apabila perbuatan yang pernah
dilakukan mantan Karyawan tersebut tidak pernah diproses secara hukum dan belum
diputuskan oleh pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap,kerena
berlaku asas hukum pidana praduga tidak bersalah (Presumption of Innocent);
3. Perusahaan dapat melakukan blacklist employee terhadap mantan karyawan dengan
syarat informasi tersebut hanya untuk dikonsumsi untuk kepentingan internal
perusahaan dan Grup bisnis perusahaan saja, tidak untuk diinformasikan ke public
melalui media sosial atau media konvensional lainya.

Demikian jawaban yang dapat kami berikan atas pertanyaan dari rekan-rekan.

Salam,

Redaksi DuniaHR.com

18
Pahami Penerapan Tanda Tangan
Elektronik (Digital Signature) Pada
Perjanjian Kerja
Dengan adanya Revolusi Industri 4.0 saat ini banyak Perusahaan mulai beralih
menggunakan Tanda Tangan Elektronik (TTE) pada Perjanjian Kerja, perubahan tersebut
pastinya akan memberikan banyak kemudahan, seperti kemudahan dalam mengakses
dokumen, menghemat waktu, keamanan terjamin, sehingga dapat mengurangi kehilangan
data (dokumen). Namun dalam penerapan Tanda Tangan Elektronik tersebut harus tetap
memperhatikan aspek hukum tentang sahnya Perjanjian Kerja dan kekuatan pembuktian
apabila perjanjian kerja tersebut digunakan sebagai Alat Bukti oleh perusahaan dalam
Perselisihan Hubungan Industrial di Pengadilan.

Sebelum kita melakukan analisis hukum Penerapan Digital Signature pada Perjanjian Kerja
terkait diatas mari kita baca dan pahami terlebih dahulu perihal Digital Signiture (tanda
tangan elektronik/digital) berikut ini:

Tanda tangan digital (e-signature) adalah sebuah skema matematis yang memiliki keunikan
dalam mengidentifikasikan seorang pengirim (subjek hukum). Tanda tangan digital bukanlah
tandatangan basah yang di-scan. Umumnya kita masih memandang tanda tangan digital
hanyalah berupa dokumen manual yang dipindahkan menjadi digital dan tanda tangan bisa
dapat langsung ditempel ke perjanjian kerja yang hendak dibuat.

Berikut analisis peraturan perundang-undangan terkait penerapan Digital Signature pada


perjanjian kerja:

Dilihat dari Syarat Sah Perjanjian di Pasal 1320 KUHPerdata:

• Sepakat Mengikatkan Diri;


• Kecakapan Membuat Perjanjian;
• Hal Tertentu, dan
• Klausula yang Halal (Tidak melanggar UU, Kesusilaan dan Ketertiban Umum)

Secara umum, keempat syarat tersebut menjelaskan, bahwa perjanjian harus berdasarkan
kehendak semua pihak. Kemudian, syarat yang kedua berarti pihak yang menjalin kontrak
mesti memiliki kewenangan subjektif terhadap hukum. Sementara itu, syarat ketiga dan
keempat bersifat objektif.

Dilihat dari Syarat Sah Perjanjian Kerja di Pasal 52 UU Ketenagakerjaan:

• Kesepakatan kedua belah pihak;


• Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
• Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan

19
• Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada point 1 dan 2 dapat dibatalkan; dan Perjanjian kerja yang
dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
huruf 3 dan 4 batal demi hukum.

Dilihat dari Isi Perjanjian Kerja yang wajib ada di Pasal 54 UU Ketenagakerjaan:

• Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;


• Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
• Jabatan atau jenis pekerjaan;
• Tempat pekerjaan;
• Besarnya upah dan cara pembayarannya;
• Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/ buruh;
• Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
• Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
• Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Dilihat dari ketentuan Hukum Acara PPHI di Pasal 57 UU PPHI:

Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara
Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang
diatur secara khusus dalam undang-undang PPHI. Berikut adalah sumber hukum acara
Pengadilan Hubungan Industrial yaitu:

• HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement);


• RBG (Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java
En Madur);
• RV (Reglement op de Rechvordering);
• UU No.2 tahun 2004 tentang PPHI.

Maka dapat disimpulkan bahwa UU PPHI merupakan lex specialis dari HIR, RBG dan RV
dengan kata lain hukum acara perdata diberlakukan dalam proses peradilanya.

Dilihat dari ketentuan Alat Bukti Hukum Acara Perdata (PHI):

Berdasarkan ketentuan pasal 164 HIR, pasal 284 Rbg serta pasal 1886 KUHPerdata ada 5
(lima) alat bukti dalam perkara perdata di Indonesia :

• Alat bukti tertulis;


• Alat bukti saksi;
• Alat bukti persangkaaan;
• Alat bukti pengakuan;
• Alat bukti sumpah.

20
Dilihat dari ketentuan Alat Bukti dalam UU ITE di Pasal 5 ayat (1) UU ITE:

Pasal 5ayat (2) UU ITE mengatur bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan
hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik;

Hasil cetak dari Informasi Elektronik dan/atau hasil cetak dari Dokumen Elektronik.

Ketentuan alat bukti dalam pasal 5 ayat (1) UU ITE merupakan perluasan alat bukti dari
ketentuan pasal 164 HIR, pasal 284 Rbg serta pasal 1886KUHPerdata.

Dilihat dari Syarat-syarat Sah Tanda Tangan Elektronik di Pasal 11 UU ITE:

• Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;
• Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan
elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan;
• Segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu
penandatanganan dapat diketahui;
• Segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan
Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
• Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa
Penandatangannya; dan
• Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah
memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.

Dilihat dari Jenis Tanda Tangan Elektronik di PP No. 71 tahun 2019:

• Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi;


• Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi.
• Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi harus memenuhi persyaratan, dibuat dengan
menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik; dan dibuktikan dengan
Sertifikat Elektronik.

Dilihat dari Kekuatan Pembuktian Sertifikasi Tanda Tangan Elektronik di PP No. 71


tahun 2019:

• Akibat hukum dari penggunaan Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi atau yang
tidak tersertifikasi berpengaruh terhadap kekuatan nilai pembuktian.
• Tanda Tangan Elektronik yang tidak tersertifikasi tetap mempunyai kekuatan nilai
pembuktian meskipun relatif lemah karena masih dapat ditampik oleh yang
bersangkutan atau relatif dapat dengan mudah diubah oleh pihak lain dalam
Persidangan.

21
Dalam praktiknya perlu diperhatikan rentang kekuatan nilai pembuktian dari Tanda Tangan
Elektronik yang bernilai pembuktian lemah, seperti tanda tangan manual yang dipindai
(scanned) menjadi Tanda Tangan Elektronik sampai dengan Tanda Tangan Elektronik yang

Kesimpulan:

• Perjanjian Kerja (PKWT/PKWTT) dengan Tanda Tangan Elektronik berlaku Sah dan
Mengikat bagi Para Pihak selayaknya Perjanjian Kerja (PKWT/PKWTT) yang
ditandatangani secara Manual;
• Kekuatan Pembuktian Perjanjian Kerja (PKWT/PKWTT) dengan Tanda Tangan
Elektronik memiliki nilai pembuktian “SEMPURNA” layaknya alat bukti surat pada
umumnya, tetapi dengan catatan Tanda Tangan Elektronik pada Perjanjian kerja
(PKWT/PKWTT) tsb sudah dilakukan Sertifikasi oleh Jasa Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik dan dibuktikan dengan Sertifikat Elektronik;

Penerapan tandatangan digital harus memenuhi syarat materiil dan formil sebagaimana
sudah dijelaskan di atas. Demikian uraian pemahaman dari kami, semoga bermanfaat

Salam

Redaksi DuniaHR.Com

22
Kewajiban Pembayaran Upah Proses
Pasca UU No.11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja
Definisi Perselisihan hubungan industrial berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004 adalah
perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh.

Berdasarkan ketentuan Pasal 155 ayat (3) UU Ketenagakerjaan;

“Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja yang sedang dalam proses
pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya
yang biasa diterima pekerja”.

Upah Proses adalah Upah (selama) Skoorsing. Ketika Pengusaha tidak melarang Pekerja
untuk masuk kerja seperti biasa selama perkara / sengketa PHK masih diperiksa dan belum
diputuskan oleh Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan belum diputuskan oleh
Mahkamah Agung apabila ditingkat Kasasi.

Berikut adalah analisis Redaksi DuniaHR.com terkait ketentuan peraturan perundang-


undangan tentang Pembayaran Upah Proses dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial:

Ketentuan terkait upah proses pada Kepmenaker No.150 Tahun 2000 menyatakan :

kewajiban pengusaha, salah satu diantaranya membayar upah proses dalam masa skorsing
PHK paling lama 6 (enam) bulan. Ketentuan terkait upah proses diatur pada Pasal 155 ayat
(2) UU No 13 Tahun 2003 sebagai berikut:

“Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan,


baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.”

Ketentuan terkait upah proses berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No 37/PUU-


IX/2011 tanggal 19 September 2011 pada intinya menyatakan sebagai berikut:

Pasal 155 ayat (2) UU No 13 tahun 2003 sebagai ketentuan yang mengharuskan
pengusaha membayar upah proses dalam masa skorsing sampai dengan berkekuatan
hukum tetap.

Ketentuan terkait upah proses berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung(“SEMA”)


Nomor 3 tahun 2015, telah ditentukan sebagaimana berikut:

“Pasca Putusan MK Nomor 37/PUU-XI/2011, tertanggal 19 September 2011 terkait dengan


upah proses maka isi amar putusan adalah Menghukum Pengusaha Membayar Upah

23
Proses Selama 6 Bulan. Kelebihan waktu dalam proses PHI sebagaimana dimaksud dalam
UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bukan lagi
menjadi tanggung jawab para pihak.

Berdasarkan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 158 K/Pdt.Sus/2007,


memutuskan terkait dengan Upah Proses:

“Upah proses dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah selama-lamanya


6 bulan, sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2015”

Selama ini dalam tataran praktek terdapat tiga macam putusan Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI) terkait upah proses:

Pertama, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah proses selama enam
bulan.

Kedua, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah proses lebih dari enam
bulan.

Ketiga, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah proses sampai perkara
berkekuatan hukum tetap.

Ketentuan terkait upah proses berdasarkan Omnibuslaw UU No. 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaa:

Pasal 157A

Selama proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha dan


pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya.

Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam
proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap membayar upah beserta hak lainnya yang
biasa diterima pekerja/buruh.

Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan
selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya.

Kesimpulan:

Dengan demikian setelah berlakunya Omnibuslaw UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja Klaster Ketenagakerjaan di Pasal 157A, maka Hakim dapat menghukum pengusaha
untuk membayar upah proses selama dalam masa skorsing sampai dengan putusan
pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sesuai tingkatannya
(PHI/Kasasi).

Demikian analisis Redaksi DuniaHR.com terkait Kewajiban Pembayaran Upah Proses


dalam Perselisihan Hubungan Industrial pasca UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Salam,

Redaksi DuniaHR.com

24
Hak-Hak
Hak-Hak Normatif
Normatif Pekerja
Pekerja Wanita Wanita di
di Indonesia

Indonesia
Banyak pekerja wanita di Indonesia yang masih belum mengetahui tentang hak-hak yang
mereka miliki, karena perusahaan tempat mereka bekerja tidak mengkomunikasikan
mengenai hak-hak yang mereka miliki berdasarkan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.

Berikut kami jabarkan secara sederhana poin-poin penting terkait hak-hak yang dimiliki oleh
pekerja wanita di Indonesia, yaitu :

HAK MENDAPATKAN FASILITAS KHUSUS PADA JAM KERJA TERTENTU

Hak pekerja wanita berdasarkan Pasal 76 UU No 13 tahun 2003 adalah mendapat


perlindungan terhadap keamanan dan kesehatan. Oleh sebab itu, pekerja wanita yang
bekerja pada Pukul 23.00 s/d 07.00 berhak mendapatkan makanan dan minuman bergizi,
serta terjaga keamanannya selama di tempat kerja. Selain itu pekerja wanita perusahaan
juga berhak atas angkutan antar jemput yang wajib disediakan oleh perusahaan.

HAK MENGAMBIL ISTIRAHAT HAID

Hak pekerja wanita selanjutnya berdasarkan Pasal 81 UU No. 13 Tahun 2003 yaitu pekerja
wanita yang merasakan sakit saat haid tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua.
Cuti haid sebagaimana dimaksud dapat kamu ambil dengan cara memberitahu kondisimu ke
perusahaan atau atasan. Tetapi perusahaan diberi kebebasan menetapkan teknis
pelaksanaannya dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau Peraturan Kerja Bersama (PKB).
Contoh: perusahaan mewajibkan pekerja wanita menyertakan surat dokter saat mengambil
cuti haid apabila cuti haid dilakukan lebih dari dua hari kerja. Cuti haid tidak mengurangi hak
cuti tahunan dan perusahaan tidak bisa memaksa pekerja wanita yang sedang cuti haid di
hari pertama dan kedua untuk masuk bekerja.

HAK PERLINDUNGAN SELAMA MASA KEHAMILAN

Hak pekerja wanita selanjutnya berdasarkan Pasal 76 ayat 2 UU No. 13 tahun 2003 yaitu
pengusaha dilarang mempekerjakan perempuan hamil yang bisa berbahaya bagi
kandungannya dan dirinya sendiri. Oleh karena itu, perusahaan wajib menjamin
perlindungan bagi pekerja wanita yang sedang hamil, karena pekerja wanita yang sedang
hamil berada dalam kondisi yang sangat rentan, sehingga harus dihindarkan dari beban
pekerjaan yang terlalu berat.

HAK ATAS BANTUAN BIAYA MELAHIRKAN

Hak pekerja wanita selanjutnya berdasarkan UU No 24 tahun 2011 tentang Badan


Peyelenggara Jaminan Sosial yaitu perusahaan yang memiliki lebih dari 10 tenaga kerja
wajib mendaftarkan pekerjanya pada BPJS Kesehatan.

25
Melalui program BPJS Kesehatan pekerja wanita dapat menerima layanan kesehatan,
termasuk pemeriksaan kehamilan dan persalinan. tetapi, jika pekerja wanita belum terdaftar
BPJS Kesehatan, perusahaan tetap wajib memberikan bantuan dana pelayanan kesehatan
sesuai dengan fasilitas pada BPJS Kesehatan seperti pemeriksaan kehamilan dan rawat
inap.

HAK ISTIRAHAT MELAHIRKAN

Hak pekerja wanita selanjutnya berdasarkan Pasal 82 UU No.13 tahun 2013 mengatur hak
cuti hamil dan melahirkan bagi perempuan. Pekerja perempuan berhak atas istirahat selama
1,5 bulan sebelummelahirkan dan 1,5 bulan setelahmelahirkan.

Pasal 93 ayat 2 huruf c UU No 13 tahun 2003 memberikan perlindungan yaitu selama tiga
bulan masa cuti, perusahaan tetap wajib membayarkan hak pekerja wanita secara penuh.

HAK ISTIRAHAT KEGUGURAN

Hak pekerja wanita selanjutnya berdasarkan Pasal 82 ayat 2 UU No 13 tahun 2003Pekerja


wanita yang mengalami keguguran juga memiliki hak cuti melahirkan selama 1,5 bulan
dengan disertai surat keterangan dokter kandungan.

Pasal 93 ayat 2 huruf c UU No 13 tahun 2003 memberikan perlindungan yaitu Perusahaan


wajib membayar upah pekerja wanita yang mengambil cuti karena keguguran.

HAK UNTUK MENYUSUI DAN MEMERAH ASI

Hak pekerja wanita selanjutnya berdasarkan Pasal 10 Konvensi ILO No. 183 Tahun 2000
tentang Perlindungan Maternitas, Jam kerja yang digunakan buat memerah ASI tetap
dihitung sebagai waktu kerja dan dibayar sesuai dengan upahnya.

Ketentuan Konvensi ILO 183 kemudian diadopsi dalam Pasal 83 UU No 13 tahun 2003
menyatakan bahwa pekerja wanita yang menyusui minimal diberi waktu untuk menyusui atau
memompa ASI pada waktu jam kerja.

PERLINDUNGAN DI PHK KARENA MENIKAH, HAMIL DAN MELAHIRKAN

Hak pekerja wanita selanjutnya berdasarkan Pasal 8 Konvensi ILO No. 183 Tahun 2000
bahwa sekembalinya ke tempat kerja, perusahaan dilarang melakukan diskriminasi terhadap
pekerja wanita yang baru saja kembali setelah cuti melahirkan. Mereka berhak menduduki
kembali posisinya serta mendapatkan gaji yang sama dengan gaji yang diterima sebelum
cuti melahirkan.

Kemudian diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Permen 03/Men/1989, mengatur
tentang larangan PHK terhadap pekerja wanita dengan alasan menikah, hamil, atau
melahirkan.

Ketentuan Konvensi ILO 183 kemudian diadopsi dalam Pasal 153 UU No 13 tahun 2003
Perusahaan dilarang memutus hubungan kerja pekerja wanita dengan alasan menikah,
hamil, menyusui, atau keguguran. Perusahaan bahkan wajib mempekerjakan kembali
pekerja bersangkutan jika pemecatan telah dilakukan.

26
SANKSI PIDANA BAGI PELANGGARAN HAK PEKERJA WANITA OLEH PERUSAHAAN

Pasal 186 UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja : Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 93 ayat (2) dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

Demikian Artikel ini kami sampaikan semoga bermanfaat bagirekan-rekan.

Salam,

Redaksi DuniaHR.Com

27
Hak-Hak Pekerja
Penyandang Disabilitas
Sama seperti kita yang diberikan anugerah fisik yang sempurna saudara-saudara kita
penyandang bdisabilitas juga memiliki keahlian dan memerlukan pekerjaan untuk terus
menggapai mimpinya dengan mencari nafkah, saudara-saudara penyandang disabilitas kerap
kali mengalami hal yang tidak mengenakan karena hal keterbatasan fisik mereka walau dalam
beberapa hal juga tidak dipungkiri mereka mengungguli kita yang berfisik normal.
Ketidakyakinan atas kemampuan serta keraguan untuk dapat memajukan perusahaaan
membuat penyandang disabilitas seolah terpinggirkan.

Pekerja penyandang disabilitas memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak, sebagaimana yang telah diatur dan dapat kita temui
berdasarkan UU No.8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.

Berdasarkan regulasi selain berdasarkan UU No.8 Tahun 2016 tentang penyandang


disabilitas kita dapat menemui regulasi yang mengatur topik yang sama yaitu :

• Pasal 27 UU Dasar Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunyi “Tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
• UU No 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat.
• UU No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas jika dibandingkan dengan UU
No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, memiliki perbedaan mendasar terkait
dengan pengaturan di bidang ketenagakerjaan.

Pengaturan bidang ketenagakerjaan dalam UU No 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang


Cacat, adalah:

• Didasarkan pada belas kasih (charity);


• Pemerintah dan swasta wajib mempekerjakan penyandang cacat minimal 1 % dari
total pegawai;
• Tidak ada insentif bagi perusahaan yang mempekerjakan penyandang cacat.

Sedang pengaturan bidang ketenagakerjaan dalam UU No 8 Tahun 2016 Tentang


Penyandang Disabilitas, adalah:

• Didasarkan pada hak (human right);


• Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN, dan BUMD wajib mempekerjakan
penyandang disabilitas 2 % dari total pegawai
• Swasta wajib mempekerjakan penyandang disabilitas 1 % dari total pegawai
• Terdapat insentif bagi perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas.

Dalam rangka memenuhi amanat UU No 8 Tahun 2016 yang terkait dengan bidang
ketenagakerjaan, maka perlu disadari bersama bahwa penempatan tenaga kerja
penyandang disabilitas adalah menjadi hak penyandang disabilitas, sekaligus menjadi

28
kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah, BUMN dan BUMD, serta perusahaan swasta.
Sehingga, perlu dilaksanakan sebaik baiknya dengan tetap memperhatikan kesehatan dan
keselamatan kerja.

Penegasan jumlah minimal penyandang disabilitas yang mendapatkan kuota kesempatan


dipekerjakan diatur dalam UU No. 8 tahun 2016 pasal 53:

1. Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik
Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas
dari jumlah pegawai atau pekerja.
2. Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen)
Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja dalam penempatan tenaga
kerja penyandang disabilitas

Permintaan tenaga kerja oleh perusahaan / institusi dapat melalui 5 (lima) langkah / tahapan
sebagai berikut :

1. Yang paling utama adalah membulatkan niat / tekad untuk penempatan tenaga kerja
disabilitas dimana pemangku kepentingan menyadari bahwa penyandang disabilitas
memiliki hak yang sama untuk bekerja;
2. Perencanaan tenaga kerja perusahaan (menyusun permintaan tenaga kerja
termasuk bagi penyandang disabilitas);
3. Perekrutan (melakukan pengumuman dan proses seleksi yang memberikan
kesempatan yang sama seperti pekerja yang bukan disabilitas)
4. Pelatihan / Pemagangan (melakukan pelatihan atau pemagangan di perusahaan lain
atau perusahaan yang bersangkutan)
5. Penempatan untuk bekerja layak (bekerja sesuai dengan minat, bakat dan
kemampuan tanpa diskriminasi).

Hal lainnya untuk mempermudah dan menghubungkan akses pencari kerja penyandang
disabilitas dengan perusahaan / institusi yang akan mempekerjakannya, maka para
penyandang disabilitas dapat mendaftar secara daring (online) melalui situs info kerja
sebagai berikut yang didukung langsung oleh pemerintah melalui kementerian
ketenagakerjaan :

• www.infokerja.kemnaker.go.id
• www.kerjabiliHYPERLINK "http://www.kerjabilitas.com/"tas.com
• www.dnetwork.net atau
• melalui organisasi sosial disabilitas.

Sejauh ini beberapa upaya pemerintah guna mengayomi saudara – saudara kita yang
memiliki keterbatasan untuk mendukung pelaksanaan berbagai kebijakan dan undang-
undang adalah sebagai berikut :

• Pembuatan MOU antara Kemensos, Kementrans dan APINDO pada tanggal 3


Desember 2013 tentang Pelatihan dan Penempatan Tenaga Kerja Penyandang
Disabilitas di Perusahaan;
• Penyampaian surat Menaker kepada Menteri BUMN, perihal penempatan tenaga
kerja penyandang disabilitas pada perusahaan BUMN;

29
• Melaksanakan job fair dan expo produk karya dari penyandang disabilitas binaan
kemnakertrans bekerja sama dengan Dinas yang menangani ketenagakerjaan di
provinsi, kabupaten / kota;
• Memberikan penghargaan kepada perusahaan yang mempekerjakan penyandang
disabilitas.
• Pelaksanaan pemberdayaan dengan pelatihan kewirausahaan bagi penyandang
disabilitas di dinas yang menangani ketenagakerjaan di provinsi, kabupaten / kota;
• Membantu fasilitasi bagi perusahaan yang ingin merekrut tenaga kerja penyandang
disabilitas.

Kesimpulan :

UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, sebagai landasan operasional bagi
penyandang disabilitas untuk memiliki hak yang sama atas pekerjaan, penghidupan yang
layak sesuai dengan kemampuan dan keistimewaan masing masing dan mewujudkan
penyandang disabilitas yang sejahtera dan mandiri, selain itu juga bertujuan untuk
meningkatkan peran serta penyandang disabilitas dalam segala aspek dan sektor
kemasyarakatan.

Salam,

Redaksi DuniaHR.Com

30
Cara Perhitungan Cuti Tahunan
Cuti adalah hak karyawan untuk tidak masuk kerja dan menggunakan hari kerja bagi
kepentingan karyawan, terutama untuk beristirahat dengan tujuan menjaga kesehatan
jasmani dan rohani karyawan atau jika terjadi hal khusus lainnya. Cuti terdiri dari beberapa
jenis cuti, dan salah satunya yang akan kita bahas pada artikel ini adalah Cuti Tahunan. Cuti
tahunan berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan No 13 tahun 2003 pasal 79 ayat 2
yang berbunyi “..cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus
menerus..“.

Kemudian persoalannya adalah bagaimana penentuan saldo cuti tahunnya mengingat tgl
bergabung karyawan yang berbeda – beda ? Belum lagi hal tekhnis seperti karyawan belum
memiliki hak cuti namun atasan mengijinkan cuti diambil didepan agar pada saat masa sibuk
departemen seluruh anggota team hadir bekerja.

Kali ini kita fokus dalam praktik perhitungan cuti yang umumnya dilakukan oleh HR pada
perusahaan – perusahaan yang ada di Indonesia, kami membagi 4 cara perhitungan cuti
tahunan, dimana menurut kami 4 cara perhitungan tadi merupakan cara yang umum guna
mengakomodir hal – hal tekhnis seputar pemanfaatan cuti oleh karyawan agar tetap sesuai
dengan jalannya operasional perusahaan

Berikut 4 cara perhitungan cuti tahunan yang umumnya digunakan :

1. Metode Annually

Dengan metode ini perusahaan akan menentukan satu bulan sebagai permulaan perhitunan
cuti, dimana mayoritas akan menghitung pada bulan Januari sebagai permulaaan cuti.
Apabila karyawan baru bergabung setelah bulan Januari maka cuti yang didapatkan akan
dihitung secara proporsional hingga bulan Desember. Bagi karyawan yang bukan karyawan
baru ditahun tersebut maka cuti otomatis muncul 12 hari di bulan Januari

2. Metode Anniversary

Metode ini merupakan metode yang menurut kami sama persis dengan yang tercantum
dalam undang undang ketenagakerjaan pasal 79 ayat 2, dimana karyawan akan
mendapatkan cuti setelah 1 tahun bekerja dan setiap karyawan memiliki jatah cuti yang
berbeda – beda karena disesuaikan dengan awal masuk bekerja.

3. Metode Anniversary Annually

Dari namanya jelas bahwa metode ini merupakan penggabungan antara metode anniversary
dan metode annually, dimana karyawan mendapatkan cuti setelah 1 tahun

31
bekerja namun setelah itu setiap Januari karyawan akan memiliki hak cuti yang sama yaitu
12 (tidak berbeda beda).

4. Metode Monthly

Metode ini membolehkan karyawan langsung mengambil hak cutinya setiap bulan tanpa
perlu menunggu selama 1 tahun, namun bagi karyawan yang baru bergabung setiap
pengambilan cuti tidak boleh lebih dari 1 hari per bulan dikarenakan masa kerjanya sedang
berjalan hitungan bulan belum genap 1 tahun. Untuk masa berlakunya ada yang 1 tahun
setelah muncul adapula yang habis pada akhir tahun periode berjalan.

Metode diatas untuk lebih mudah dipahami oleh karyawan dalam tekhnis pelaksanaanya
harus sudah diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian bersama, agar dalam tata
cara penggunaannya tidak menimbulkan salah persepsi yang dapat berakibat tidak
harmonisnya hubungan pekerja dan perusahaan.

Salam,

Redaksi DuniaHR.Com

32
Bolehkah Perusahaan Geser Hak Libur
Pekerja
Apakah perusahaan boleh melakukan konversi (penggantian) upah lembur pekerja menjadi
pemotongan jam kerja atau penggantian hari libur? Untuk menjawab pertanyaan tersebut
mari kita cek aturan perundang-undangannya terlebih dahulu:

KETENTUAN KERJA LEMBUR:

• Definisi waktu kerja lembur

Definisi lembur disebutkan pada pasal 1 ayat 7 PP No.35 Tahun 2021, yaitu :

“Waktu Kerja Lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat
puluh)jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan)
jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan/atau pada hari libur resmi yang
ditetapkan pemerintah.”

Jadi jika karyawan bekerja di hari istirahat mingguan dan atau hari libur resimi, maka disebut
Kerja Lembur.

Hal ini juga diperkuat dari aturan lainnya, di UU 13 Tahun 2003, dalam Pasal 85 UU No. 13
tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa:

1. Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi;


2. Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari libur resmi
apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara
terus-menerus, atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha;
3. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada
hari libur resmi sebagaimana dimaksud ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur;

Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud ayat (2) diatur
dengan Keputusan Menteri”.

JENIS PEKERJAAN YANG BOLEH BEKERJA DI HARI LIBUR NASIONAL:

Ada beberapa jenis pekerjaan yang memang harus masuk meski dihari libur nasional. Hal ini
diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-233/Men/2003 tentang Jenis Dan
Sifat Pekerjaan Yang Dijalankan Secara TerusMenerus

Dalam Pasal 2 Kepmen-233/Men/2003 Tentang disebutkan bahwa:

“Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi untuk pekerjaan yang
menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan dan dijalankan secara terus menerus”.

33
Kemudian Pasal 3 ayat (1) Kepmen-233/Men/2003, sudah ditetapkan mengenai jenis-jenis
pekerjaan yang dijalankan secara terus-menerus, yakni :

• Pekerjaan di bidang pelayanan jasa kesehatan;


• Pekerjaan di bidang pelayanan jasa transportasi;
• Pekerjaan di bidang jasa perbaikan alat transportasi;
• Pekerjaan di bidang usaha pariwisata;
• Pekerjaan di bidang jasa postel;
• Pekerjaan di bidang penyediaan tenaga listrik, jaringan pelayanan air bersih (PAM)
dan penyediaan bahan bakar minyak dan gas bumi;
• Pekerjaan di usaha swalayan, pusat perbelanjaan dan sejenisnya;
• Pekerjaan di bidang media massa;
• Pekerjaan di bidang pengamanan;
• Pekerjaan di lembaga konservasi;
• Pekerjaan-pekerjaan yang apabila dihentikan akan mengganggu proses produksi,
merusak bahan, dan termasuk pemeliharaan / perbaikan alat produksi;

Jadi, pekerjaan-pekerjaan di atas, merupakan jenis pekerjaan yang dijalankan terus menerus
sehingga boleh bekerja di hari libur nasional.

Bagaimana Persyaratan Pelaksanaan jenis-jenis pekerjaan selain sebagaimana diatur di


atas?

Di Pasal 4 Kepmen-233/Men/2003 terdapat persyaratan untuk melakukan hal tersebut :

“Dalam keadaan tertentu pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur
resmi berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha”.

Kemudian di Pasal 5 Kepmen-233/Men/2003 terdapat klausul mengenai kewajiban bagi


perusahaan sebagai berikut:

“Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,


Pasal 3 dan Pasal 4 wajib membayar upah kerja lembur kepada pekerja/buruh”.

SANKSI HUKUM

Kewajiban sebagaimana diatur pasal 85 ayat (3) UU Ketenagakerjaan (membayar upah kerja
lembur pada hari libur resmi), disertai sanksi pidana dan denda sebagaimana disebutkan di
Pasal 187 ayat (1) UU Cipta Kerja:

“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Pasal
67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), ayat (2), atau
ayat (3), Pasal 85 ayat (3), atau Pasal 144 dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1
(satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).

34
KESIMPULAN

• Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari libur resmi
apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara
terus-menerus;
• Dalam keadaan tertentu pelaksanaan lembur harus berdasarkan kesepakatan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha;
• Pengusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari libur
resmi wajib membayar upah kerja lembur;
• Perusahaan yang tidak membayar upah kerja lembur pekerja di hari libur diancam
dengan sanksi pidana kurungan dan denda.

Jadi sah-sah saja jika karyawan dipekerjakan di hari libur nasional. Yang terpenting tetap
membayarkan upah lemburnya. jadi bukan dipindahkan hari liburnya/geser hari libur.

Salam

Redaksi DuniaHR.com

35
Akibat Hukum Perusahaan Tidak
Mencatatkan PKWT
Perjanjian Kerja waktu tertentu (PKWT) merupakan salah satu bentuk hubungan kerja yang
wajib dicatatkan, hal ini sebagaimana diatur dalam UU No.13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan dan PP 35 Tahun 2021. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah
perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja
dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.

Pasal 59 UU Ketenagakerjaan memuat beberapa ketentuan dan persyaratan, seperti PKWT


hanya boleh diterapkan pada pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya akan selesai
dalam waktu tertentu. Sehingga PKWT ini tidak boleh diberlakukan pada pekerjaan yang
sifatnya tetap. Salah satu ketentuan dan persyaratan mengenai PKWT yang sering
terabaikan oleh perusahaan adalah mengenai kewajiban melakukan pencatatan PKWT ke
instansi ketenagakerjaan. Padahal dalam ketentuan, jelas menyebutkan kewajiban untuk
melakukan Pencatatan PKWT.

Berikut adalah ketentuan mengenai kewajiban perusahaan mealakukan pencatatan PKWT:

1. Penjelasan pasal 59 ayat (1) berbunyi : Perjanjian kerja dalam ayat ini dicatatkan ke
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di bidang
ketenagakerjaan.
2. Pasal 13 KEP.100/MEN/VI/2004 berbunyi : PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penandatanganan.
3. Pasal 14 PP No.35 Tahun 2021 berbunyi: PKWT harus dicatatkan oleh Pengusaha
pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
ketenagakerjaan secara daring paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak
penandatanganan PKWT.

Dalam hal pencatatan PKWT secara daring belum tersedia maka pencatatan PKWT
dilakukan oleh Pengusaha secara tertulis di dinas yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota, paling lama 7 (tujuh) hari kerja
sejak penandatanganan PKWT.

Jika merujuk ketentuan di atas, jelas bahwa pencatatan PKWT oleh perusahaan kepada
instansi ketenagakerjaan bersifat wajib, tetapi pada praktiknya, banyak perusahaan yang
tidak melaksanakan kewajiban tersebut entah karena disengaja, lalai atau bahkan karena
ketidaktahuan perusahaan.

Lalu apa akibat hukum yang mungkin akan timbul karena perusahaan tidak melakukan
kewajiban hukum tersebut?

36
Berikut Akibat Hukum dari tidak mencatatkan PKWT :

• PKWT (Kontrak) berubah menjadi PKWTT (Karyawan Tetap)?


• Apakah dengan tidak mencatatkan maka PKWT berubah menjadi PKWTT?

Jika membaca lengkap Kep.100/MEN/VI/2004, yang mengatur tentang PKWT, disana


sejatinya tidak mengatur mengenai sanksi tersebut. Namun jika memperhatikan dua putusan
pengadilan dibawah ini, sangat mungkin PKWT berubah menjadi PKWTT jika tidak
dicatatkan.

In Abstracto:

Putusan Mahkamah Konstitusi No.6/PUU-XVI/2018 :

“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu wajib dicatatkan oleh pengusaha ke instansi yang
bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan, yang terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
atas terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat pembuatan perjanjian kerja dimaksud oleh
pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”

Sesuai dengan pertimbangan di atas, kewajiban pencatatan tersebut telah ada pada
Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

Di mana penjelasan tersebut juga mengikat sebagai syarat dengan akibat hukum yang diatur
oleh Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan.

Mahkamah Konstitusi telah membuat penegasan yang cukup jelas, bahwa pengusaha wajib
mencatatkan perjanjian kontrak yang mereka buat dengan pekerja ke Dinas Tenaga Kerja.

Jika tidak dipenuhi maka perjanjian Kontrak (PKWT) berubah menjadi perjanjian kerja
dengan status pekerja tetap (PKWTT)”

In Concreto:

Putusan PHI Nomor 08/Pdt.Sus.PHI/PLW/2014/PN Bna:

Kasus perselisihan hubungan industrial di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan


Negeri Banda Aceh antara COFFEY INTERNATIONAL DEVELOPMENT PTY, LTD
(Pelawan) dan ARNADI GUNAWAN dkk (Para Terlawan).

Dalam perkara perselisihan hubungan industrial tersebut, Majelis Hakim dalam


pertimbangan hukumnya tidak mempertimbangkan dalil Pelawan (Perusahaan) yang
menyebut tidak adanya sanksi atau konsekuensi hukum saat PKWT tidak dicatatkan.

Dengan berubahnya status hubungan kerja dari PKWT menjadi PKWTT tentunya
berdampak pada pemberian kompensasi pada saat terjadinya pengakhiran hubungan kerja
antara Pekerja dan Pengusaha.

37
Sudah mengerti akibat hukumnya maka lebih bijaknya perusahaan untuk melakukan
mencatatkan PKWT setiap pekerjanya ke Disnaker setempat atau melalui online(apabila
sudah ada).

Putusan Pengadilan/Yurisprudensi memang sejatinya bukan otomatis menjadi hukum positif


(hukum yang berlaku) di Indonesia.Namun Yurisprudensi ini bisa menjadi acuan bagi hakim.

Pencatatan PKWT hanya diwajibkan untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang dibuat secara
tertulis.
Salam,

Redaksi DuniaHR.com

38
Pelaksanaan “Kewajiban
Perekrutan Tenaga Kerja Lokal Daerah
Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No.11 tahun 2020
tentang Cipta Kerja memang tidak spesifik mengatur terkait dengan kewajiban bagi
Perusahaan untuk merekrut tenaga kerja lokal disuatu daerah.

Bahwa berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UUD Tahun 1945 disebutkan bahwa :

“Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”.

Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap individu sebagai anggota warga Negara berhak
untuk mendapatkan pekerjaan serta kehidupan yang layak dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

Lapangan pekerjaan merupakan sarana yang dibutuhkan guna menghasilkan pendapatan


yang akan digunakan dalam pemenuhan kehidupan yang layak. Penghidupan yang layak
diartikan sebagai kemampuan dalam melakukan pemenuhan kebutuhan dasar, seperti
pangan, sandang, dan papan.

• Bahwa berdasarkan Pasal 5 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,


menyebutkan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa
diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
• Bahwa berdasarkan Pasal 6 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
menyebutkan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama
tanpa diskriminasi dari pengusaha.
• Bahwa berdasarkan Pasal 31 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
menyebutkan bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang
sama untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh
pengasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.

Beberapa daerah di Indonesia memiliki Peraturan Daerah (PERDA) yang mewajibkan bagi
perusahaan-perusahaan yang berdiri/beroprasional di daerah itu harus memprioritaskan
putra daerah untuk menjadi karyawannya dengan besaran persentase tertentu.

Peraturan Daerah Terkait Tenaga Kerja Lokal

Berikut adalah beberapa Peraturan Daerah terkait kewajiban penggunaan tenaga kerja lokal:

1. Peraturan Daerah Kabupaten Berau Nomor 8 Tahun 2018 tentang Perlindungan


Tenaga Kerja Lokal Pasal 20 ayat1:

39
Perusahaan wajib mengupayakan pengisian lowongan pekerjaan di perusahaannya diisi oleh
tenaga kerja atau pekerja/ buruh lokal paling sedikit 80% (delapan puluh persen), sesuai
dengan syarat kualifikasi jabatan yang dibutuhkan.

2. Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 4 Tahun 2002 tentang Penempatan


Tenaga Kerja Lokal Pasal 18:

Pengusaha sebagaimana dimaksud pada pasal 17 Peraturan daerah ini wajib


mengupayakan bertahap dalam waktu 5 tahun pertama pengisian lowongan
pekerjaan di perusahaannya diisi oleh tenaga kerja lokal minimal 50% dan pada 5
tahun berikutnya minimal menjadi 75% dari jumlah tenaga kerja yang bekerja di
perusahaannya.

3. Peraturan Daerah Kota Bontang Nomor 1 Tahun 2009 tentang rekrutmen dan
penempatan tenaga kerja:

perusahaan pemberi kerja wajib untuk mempekerjakan tenaga kerja local paling
sedikit 75% dari total jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan.

4. Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 5 tahun 2009 tentang penempatan


tenaga kerja:

Setiap perusahaan harus mempekerjakan 40% (empat puluh persen) tenaga kerja
lokal dan 60% (enam puluh persen) tenaga kerja non lokal, baik tenaga kerja yang
terampil maupun tidak terampil.

Kesimpulan:

Berdasarkan UUD 1945 dan UU Ketenagakerjaan: setiap individu sebagai anggota warga
Negara berhak untuk mendapatkan pekerjaan serta kehidupan yang layak dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dengan kata lain bahwa setiap tenaga kerja
memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.

Tujuan diterbitkannya Peraturan Daerah (Perda) tersebut oleh Pemerintah daerah tidak lain
adalah agar tenaga kerja lokal diprioritaskan sehingga menekan angka pengangguran yang
ada di daerah diamana perusahaan berdiri/beroperasional.

Tetapi ketentuan tentang penerimaan tenaga kerja di daerah harus pula memperhatikan
kebutuhan perusahaan tanpa mengesampingkan standar kompetensi tenaga kerja yang
dibutuhkan oleh perusahaan.

Faktor yang menjadi penghambat dalam melaksanakan perekrutan tenaga kerja local saat ini
adalah tenaga kerja lokal yang cenderung belum siap dengan standar yang dimiliki oleh
perusahaan (skill dan pendidikan) mengakibatkan banyak perusahaan belum dapat
terpenuhinya perjanjian penggunaan tenaga kerja lokal sesuai dengan persentase yang
diwajibkan olehPeraturan Daerah (PERDA).

Salam,

Redaksi DuniaHR.com

40
Mekanisme Pemotongan
Upah Karyawan Telat
Redaksi DuniaHR kali ini ingin berbagi pemahaman tentang mekanisme pemotongan upah
karyawan yang datang terlambat ke kantor.

Mari kita cek bersama aturan perundang-undangan terkait hal tersebut:

• Ketentuan dalam UU No. 13 tahun 2003 tentangKetenagakerjaan:

Setiap Pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari perusahaan.

• Referensi Pasal 6 UU Ketenagakerjaan

Berdasarkan ketentuan tersebut perusahaan harus memberikan hak dan kewajiban yang sama
kepada setiap pekerja/buruh yang mereka pekerjakan.

Dalam hal ini terkait dengan kedisiplinan hadir tepat waktu ketempat kerja.

Pelanggaran yang dilakukan oleh Pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaian dapat
dikenakan denda.

• Referensi Pasal 95 ayat (1) UU Ketenagakerjaan


• Ketentuan dalam PP No.36 tahun 2021 tentang Pengupahan:

Pekerja/Buruh yang melanggar ketentuan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau
Perjanjian Kerja Bersama karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.

Hal ini dapat dilakukan, apabila diatur secara tegas dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan,
atau Perjanjian Kerja Bersama.

Denda kepada Pekerja/Buruh dipergunakan hanya untuk kepentingan Pekerja/Buruh.

Jenis-jenis pelanggaran yang dapat dikenakan denda, besaran denda dan penggunaan uang denda
diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Referensi Pasal 63 PP Pengupahan

Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk:

denda;

ganti rugi; dan/atau

uang muka Upah,

41
Dilakukan sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Peraturan Kerja
Bersama.

Jumlah keseluruhan pemotongan Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 paling


banyak 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran Upah yang diterima Pekerja/Buruh.

#Pertanyaan selanjutnya Komponen upah yang mana yang dapat dipotong dalam
pengenaan denda tersebut:

Umumnya pemotongan dalam pengenaan denda akibat keterlambatan dilakukan terhadap


upah pokok dan tunjangan tetap.

Karena tunjangan tidak tetap pada umumnya selalu dikaitkan dengan pemotongan karena
ketidakhadiran (absent) dan tinggi-rendahnya tingkat produktivitas (kinerja) masing-masing
pekerja.

Tetapi terkait hal tsb diserahkan kembali kepada ketentuan dalam perjanjian tertulis, yakni
perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perusahaan.

Kesimpulan:

Berdasarkan ketentuan sebagaimana sudah kami jelaskan di atas, maka pemotongan upah
karyawan karena keterlambatan hadir di tempat kerja memang dapat dikenakan sebagai
denda.

Namun pengenaan denda sebagaimana dimaksud hanya dapat dilakukan terhadap


karyawan sepanjang telah diatur dalam perjanjian tertulis

Perjanjian tertulis yang dimaksud yakni perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perusahaan

Baik pengaturan mengenai jenisnya maupun mekanismenya, termasuk jumlah dendanya


serta penggunaan uang denda tersebut.

Tetapi jumlah keseluruhan pemotongan Upah terhadap karyawan paling banyak 50% (lima
puluh persen) dari setiap pembayaran Upah yang diterima Pekerja/Buruh.

Demikian Artikel ini kami sampaikan semoga bermanfaat bagi rekan-rekan DuniaHR

Salam,

Redaksi DuniaHR.com

42
Tips-Tips Melakukan Identifikasi
Mogok Kerja
Mogok kerja merupakan hak yang diberikan oleh UU ketenagakerjaan kepada Pekerja, tetapi
Mogok kerja seringkali menjadi momok yang menakutkan bagi Pengusaha karena Mogok
kerja baik secara langsung maupun tidak akan sangat berdampak bagi keberlangsungan
kegiatan operasional perusahaan. Redaksi DuniaHR.com memberikan tips-tips dalam
mencegah dan mengidentifikasi mogok kerja dimana perusahaan dapat melakukan hal-hal
sebagaimana berikut ini :

Mematuhi Ketentuan Peraturan Perundang-undangan dibidang Ketenagakerjaan

Perusahaan harus mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang


ketenagakerjaan. Karena Sering kali peristiwa mogok kerja terjadi merupakan sebagai
bentuk aksi protes kepada perusahaan karena para pekerja merasa haknya tidak terpenuhi,
dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perusahaan akan memenuhi
apa yang menjadi hak para pekerja sehingga akan meminimalisir terjadinya perselisihan
dengan para pekerja.

Pentingnya Komunikasi Dengan Para Pekerja/Serikat Pekerja

Mogok kerja sering terjadi dikarenakan tidak adanya komunikasi yang baik antara para
pekerja dan pihak perusahaan. Dimana pekerja tidak mengkomunikasikan apa yang menjadi
aspirasinya dengan baik dan perusahaanpun gagal memberikan pandangan yang patut
kepada pekerja tentang hal yang dilakukan oleh perusahaan sehingga terjadi
kesalahpahaman antara kedua pihak. Oleh karena itu komunikasi menjadi hal yang sangat
penting.

Meningkatkan Peran Pekerja/Serikat Pekerja dalam Kegiatan Perusahaan

Meningkatkan peran pekerja atau serikat pekerja dalam kegiatan-kegiatan perusahaan


dengan kegiatan olahraga, kegiatan keagamaan dan kegiatan lainnya yang dapat
menciptakan harmonisasi hubungan industrial. Dengan demikian pekerja diberikan wadah
dan penyaluran pada kegiatan-kegiatan yang positif sehingga Pekerja merasa menjadi
bagian dari perusahaan yang memperhatikan karyawannya dengan baik.

Melaksanakan Hak dan Kewajiban Secara Objektif

Perusahaan bertanggung jawab memastikan hak dan kewajiban karyawan telah


dilaksanakan dengan baik seperti melakukan penilaian terhadap kinerja karyawan secara
objektif. Penilaian yang objektif penting dilakukan karena bertujuan meningkatkan
kemampuan perusahaan dalam mengelola bidang sumber daya manusia demi terciptanya
suasana kerja yang kondusif dan pemenuhan target bisnis perusahaan.

43
Melakukan Pendekatan Personal Kepada Pekerja/Serikat Pekerja

Perusahaan sebaiknya melakukan pendekatan secara personal terhadap pekerja hal ini
penting dilakukan oleh perusahaan agar pekerja merasa lebih dekat dan memiliki hubungan
emosional yang kuat dengan perusahaan.

Sosialisasi Budaya Kerja Perusahaan Kepada Pekerja/Serikat Pekerja

Sosialisasi Budaya Kerja bisa dengan cara melakukan pelatihan-pelatihan, pembekalan,


briefing atau pertemuan rutin bulanan atau mingguan. Kegiatan tersebut bertujuan untuk
membentuk pemahaman yang sama terhadap perusahaan, sekaligus mencegah masuknya
pengaruh dari luar yang dapat mempengaruhi suasana kerja di perusahaan.

Melakukan Mapping dan Monitoring Potensi Perselisihan Hubungan Industrial


(Mogok)

Perusahaan dapat melakukan mapping dan monitoring terhadap para pekerja atau serikat
pekerja dan situasi kerja di lapangan atau pabrik maupun kantor. Mapping dan monitoring
tersebut untuk mendeteksi sejak awal apabila ada kemungkinan terjadi mogok kerja.

Membangun Hubungan/Komunikasi Dengan Pihak Eksternal

Perusahaan harus membangun Hubungan/Komunikasi yang kuat dengan pihak- pihak yang
terkait seperti instansi pemerintah dibidang ketenagakerjaan, aparat keamanan, pakar
dibidang hubungan industrial dan ketenagakerjaan, serikat pekerja nasional, masyarakat
sekitar, dan juga tokoh masyarakat. Dengan membangun hubungan yang baik dengan
pihak-pihak eksternal tersebut perusahaan dapat meminimalisir kemungkinan yang akan
terjadi apabila terjadi Mogok Kerja.

Mengelola Manajemen Resiko Apabila terjadi Mogok Kerja

Perusahaan harus dapat mengelola manajemen resiko apabila terjadi Mogok Kerja.
Perusahaan harus memiliki SOP atau strategi dalam menghadapi apabila terjadi mogok
kerja, perusahaan harus menghitung jumlah minimal pekerja yang diperlukan, perusahaan
juga harus mempersiapkan pekerja yang tidak mengikuti mogok sebagai tenaga kerja
pengganti pekerja sementara, agar pelayanan ke customer tidak terganggu.

Meningkatkan Peranan Industrial Relation di Perusahaan

Perusahaan harus memberdayakan peranan Industrial Relation sebagai agen yang dapat
menciptakan harmonisasi hubungan industrial di perusahaan melalui strategi dan aksi nyata
yang bersentuhan langsung dengan Pekerja/Serikat Pekerja di Perusahaan.

Demikian tips-tips dalam mencegah dan indentifikasi mogok kerja, silahkan ditambahkan
sesuai dengan pendapat serta pengalaman para pembaca.

Salam,

Redaksi DuniaHR.com

44
Tips Penting Hadapi Pengawas Disnaker
Pengawasan Ketenagakerjaan sering kali menjadi “momok” yang membuat jantung para HR
berdebar – debar setiap kali mendengar bahwa para pengawas akan melakukan kunjungan
ke perusahaaan, walau sejatinya apa yang dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan
sangat membantu dalam hal kepatuhan terhadap norma Ketenagakerjaan yang sudah
dijalankan oleh perusahaan.

Tetapi konotasi tersebut acapkali sulit dihilangkan apalagi jika ini merupakan pertama kalinya
bertemu dengan Pengawas Ketenagakerjaan. Oleh karena hal tersebut kami coba bagikan
tips & trik sependek pengalaman kami menghadapi proses pengawasan ketenagakerjaan
tersebut, tentunya dengan cara-cara yang patut dan tidak melanggar hukum (legal).

Mari kita sedikit singgung mulai dari hulunya terlebih dahulu yaitu Indonesia adalah Negara
Hukum, sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 dimana ciri-ciri Negara Hukum
menurut Aristoteles adalah :

“Negara hukum ialah negara yang berdiri atas hukum yang menjamin keadilan bagi seluruh
warga negaranya”.”

Oleh sebab itu proses pengawasan ketenagakerjaan perusahaan tentunya harus


berdasarkan ketentuan peraturan undang – undang ketenagakerjaan yang berlaku di
Indonesia.

Dasar hukum dari Pengawas Ketenagakerjaan itu sendiri adalah Pasal 176 s/d 181 Undang-
undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan tujuan untuk memastikan
dilaksanakannya norma ketenagakerjaan di perusahaan, sehingga dalam pelaksanaannya
tidak boleh ada kesewenang-wenangan.

Selain kewenangan yang telah dijelaskan pada Undang-Undang No. 13 tahun 2003,
kewenangan pegawai Pengawas Ketenagakerjaan juga diatur pada Pasal 3 Permenaker 33
tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan, yaitu :

• Menjamin penegakan hukum ketenagakerjaan;


• Memberikan penerangan dan penasihat teknis kepada pengusaha dan pekerja
mengenai hal-hal yang dapat menjamin efektifitas pelaksanaan peraturan perundang-
undangan ketenagakerjaan;
• Mengumpulkan bahan keterangan mengenai hubungan kerja dan keadaan
ketenagakerjaan dalam arti yang seluas-luasnya sebagai bahan penyusunan dan
penyempurnaan perundang-undangan ketenagakerjaan.

45
Lantas bagaimana Tipsnya dalam menghadapi Pengawas Disnaker?

Berikut Tips Penting Hadapi Pengawas Disnaker:

Pastikan yang datang adalah Petugas Pengawas Ketenagakerjaan yang berwenang. Tips
pertama pastikan ini Petugas Pengawas asli, bukan petugas palsu atau mengaku-aku
petugas pengawas Ketenagakerjaan.

Bagaimana mengeceknya? berikut control check point yang perlu diperhatikan :

• Surat tugas dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi/ Dinas Tenaga Kerja/ Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja (nomenklaturnya berbeda);
• Pastikan yang datang adalah Petugas Pengawas Ketenagakerjaan bukan Mediator
atau Pegawai Ketenagakerjaan yang tidak memiliki kewenangan melakukan
pengawasan;
• Pastikan Dinasnya adalah Dinas Propinsi/ Bukan Dinas Kabupaten atau Kota
(Daerah Tingkat II), karena Pengawas Ketenagakerjaan saat ini berkedudukan di
Disnaker Provinsi.
• Pastikan surat tugas pengawas masih berlaku, selanjutnya cek dan lihat tanggal
surat tugas, pastikan tidak kadaluarsa. Kalau dia melewati tanggal tugas maka tidak
perlu dilayani sampai dengan yang bersangkutan memperbarui Surat Tugas yang
masih berlaku.
• Pastikan apa yang diperiksa adalah kewenangannya

Hal ini perlu dipastikan, agar tidak memeriksa yang bukan menjadi kewenangan. Bagaimana
mengeceknya? Berikut control check point yang perlu diperhatikan :

• Pastikan ada norma ketenagakerjaan yang harus dipenuhi atau tidak boleh dilanggar
oleh Perusahaan;
• Mintakan dasar hukum, dari setiap item-item yang ingin diperiksa oleh Pengawas
ketenagakerjaan;
• Mintakan dasar pemberian retribusi apabila pegawai pengawas tersebut
membebankan biaya administrasi untuk pembuatan dokumen seperti: Wajib lapor
tenaga kerja, Wajib lapor fasilitas kerja dan dokumen ketenagakerjaan lainnya)

Demikian Tips Mehadapi Pengawas Disnaker yang dapat kami berikan kepada para
pembaca setia DuniaHR.com. Tips dan Trik yang kami berikan bukan bermaksud
mengajarkan pembaca untuk melanggar aturan hukum yang berlaku. Tetapi Tips dan Trik
yang kami berikan tersebut bertujuan agar para HR lebih siap apabila sewaktu waktu
dilakukan pengawasan dan juga untuk menghindari perusahaan dari kesewenang-
wenangan para oknum yang tidak bertanggungjawab.

Salam,

Redaksi DuniaHR.com

46
Tips dan Trik Menghadapi
Mediasi Ketenagakerjaan
Sering kali proses mediasi menjadi “momok” tersendiri bagi beberapa Perusahaan di
Indonesia. Mediasi Ketenagakerjaan merupakan proses penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang harus dilalui akibat gagalnya proses bipartit antara Pekerja dan
Pengusaha. Mediasi ini diatur dalam pasal 8 s/d pasal 16 UU No. 2 tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Dalam tingkat mediasi ini, bilamana Para Pihak sepakat maka akan dibuat perjanjian
bersama yang kemudian akan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial, namun
bilamana tidak ditemukan kata sepakat, maka mediator akan mengeluarkan anjuran secara
tertulis. Oleh sebab itu proses Mediasi Ketenagakerjaan tentunya harus berdasarkan pada
ketentuan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. Tujuannya adalah untuk
menciptakan harmonisasi hubungan industrial antara Pekerja dan Pengusaha.

Berikut ini tips & trik menghadapi proses Mediasi Ketenagakerjaan, yang tentunya dengan
tetap berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan tentang
ketenagakerjaan:

Pastikan yang memanggil adalah Mediator ketenagakerjaan bukan Pengawas atau


pegawai Disnaker yang tidak memiliki kewenangan untuk melakukan mediasi.

Caranya :

• Meminta copy SK pengangkatan pegawai tsb sebagai Mediator Ketenagakerjaan


dan ID Kepegawaianya
• Pastikan Kompetensi Relatif dari Disnaker yang melakukan pemanggilan Mediasi.

Caranya :

• Dengan Melakukan Identifikasi lokasi kerja pelapor dengan wilayah kerja dari
Disnaker yang melakukan pemanggilan Mediasi Ketenagakerjaan
• Pastikan apa yang akan di Mediasi adalah Perkara yang berhubungan dengan
perusahaan.

Caranya :

• Pastikan ada norma ketenagakerjaan yang harus dipenuhi atau tidak boleh dilanggar
sehingga perlu dilakukan Mediasi;
• Mintakan dasar hukum, dari perkara yang akan di Mediasikan ;
• Pastikan Pelapornya Pernah memiliki hubungan kerja dengan Perusahaan.Pastikan
Pelapor adalah karyawan/mantan Karyawan dari Perusahaan yang dilaporkan.

47
Caranya :

• Dengan melakukan identifikasi dari KTP atau ID Card (pastikan jangan salah orang)
• Jika Pelapor memakai kuasa hukum pastikan Kuasa Pelapor sudah sesuai dengan
prosedur.

Caranya :

• Kuasa Advokat (Mintakan Copy ID Advokat)


• Kuasa Serikat (Mintakan Copy ID Kepesertaan Sebagai Anggota Serikat sebagai
Bukti Afiliasi)

Mengenai subtansi laporan.

Caranya :

• Bukti harus dari yang bersangkutan karena berkaitan dengan asas hukum “siapa
yang mendalilkan dia berkewajiban untuk membuktikan”
• Wajib buktikan ada hubungan kerja;
• Cek unsur Pasal yang diklaim/ gugat/ dimasalahkan.

Demikian tips dan trik yang dapat kami berikan kepada para pembaca setia DuniaHR.Com.
Semoga tips dan trik yang kami jelaskan bermanfaat, namun bukan maksud kami
mengajarkan pembaca untuk melanggar aturan hukum yang berlaku, tetapi tips dan trik yang
kami berikan tersebut bertujuan untuk menghindari perusahaan dari kesewenang- wenangan
para oknum yang tidak bertanggungjawab.

Salam,

Redaksi DuniaHR.Com

48
Teknik Perundingan Bipartit Penyelesaian
Hubungan Industrial
Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), Perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat
terjadi karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai PHK yang dilakukan oleh salah
satu pihak. Jika terjadi perselisihan PHK para pihak sebaiknya tidak langsung membawa
perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Sebaiknya para pihak melakukan
perundingan terlebih dahulu yaitu dengan melakukan perundingan bipartit.

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU No.2 Tahun 2004 tentang PPHI adalah perundingan
antara pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.

Berdasarkan Pasal 3 UU No.2 Tahun 2004 tentang PPHI Perselisihan hubungan industrial
wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara
musyawarah untuk mencapai mufakat.

Penyelesaian perselisihan melalui bipartit, harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.

Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding
atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan
bipartit dianggap gagal. (maka dapat dilanjutkan ke upaya hukum tripartit)

Pada prinsipnya berdasarkan ketentuan yang sudah saya jelaskan di atas, perundingan
bipartit harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak, yaitu, pekerja/buruh atau serikat
pekerja/buruh dengan pengusaha.

Pada Permenakertrans 31/2008, diatur bahwa apabila pihak yang merasa dirugikan adalah
pekerja/buruh perseorangan yang bukan menjadi anggota serikat pekerja/serikat, buruh
pekerja/buruh dapat didampingi oleh pengurus dari serikat pekerja/buruh dari perusahaan
tersebut. Sedangkan pihak dari perusahaan atau manajemen perusahaan dan/atau yang
diberi mandat harus menangani penyelesaian perselisihan secara langsung (pandangan dari
pihak pengusaha) tidak terdapat larangan dalam UU 2/2004 dan Permenakertrans 31/2008
mengenai pekerja/buruh melibatkan kuasa hukum untuk mewakilinya dalam perundingan
bipartite (pandangan pekerja yang diwakili oleh Kuasa Hukum)

Dalam melakukan perundingan bipartit, para pihak wajib :

1. Memiliki itikad baik;


2. Bersikap santun dan tidak anarkis; dan
3. Menaati tata tertib perundingan yang disepakati.

49
Dalam hal salah satu pihak telah meminta dilakukan perundingan secara tertulis 2 (dua) kali
berturut-turut dan pihak lainnya menolak atau tidak menanggapi melakukan perundingan,
maka perselisihan dapat dicatatkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti-bukti permintaan perundingan.

Pada umumnya pihak pengusaha cenderung pasif dan pihak pekerja cenderung lebih aktif
dalam meminta dialkukan perundingan bipartite.

Tahapan Melakukan perundingan Bipartit:

I. Tahapan Persiapan:
• pihak yang merasa dirugikan berinisiatif mengkomunikasikan masalahnya secara
tertulis kepada pihak lainnya;
• apabila pihak yang merasa dirugikan adalah pekerja/buruh perseorangan yang
bukan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, dapat memberikan kuasa
kepada pengurus serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan tersebut untuk
mendampingi pekerja/buruh dalam perundingan;
• pihak pengusaha atau manajemen perusahaan dan/atau yang diberi mandat harus
menangani penyelesaian perselisihan secara langsung;
• dalam perundingan bipartit, serikat pekerja/serikat buruh atau pengusaha dapat
meminta pendampingan kepada perangkat organisasinya masing-masing;
• dalam hal pihak pekerja/buruh yang merasa dirugikan bukan anggota serikat
pekerja/serikat buruh dan jumlahnya lebih dari 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh,
maka harus menunjuk wakilnya secara tertulis yang disepakati paling banyak 5 (lima)
orang dari pekerja/buruh yang merasa dirugikan;
• dalam hal perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan,
maka masing-masing serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya paling banyak
10 (sepuluh) orang.

II. Tahapan Perundingan:


• Kedua belah pihak menginventarisasi dan mengidentifikasi permasalahan;
• Kedua belah pihak dapat menyusun dan menyetujui tata tertib secara tertulis dan
jadwal perundingan yang disepakati;
• dalam tata tertib para pihak dapat menyepakati bahwa selama perundingan
dilakukan, kedua belah pihak tetap melakukan kewajibannya sebagaimana mestinya;
• para pihak melakukan perundingan sesuai tata tertib dan jadwal yang disepakati;
• dalam hal salah satu pihak tidak bersedia melanjutkan perundingan, maka para pihak
atau salah satu pihak dapat mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja/buruh
bekerja walaupun belum mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja;
• setelah mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja, perundingan bipartit tetap dapat
dilanjutkan sepanjang disepakati oleh para pihak;
• setiap tahapan perundingan harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para
pihak, dan apabila salah satu pihak tidak bersedia menandatangani, maka hal
ketidaksediaan itu dicatat dalam risalah dimaksud;

50
• hasil akhir perundingan dibuat dalam bentuk risalah akhir yang sekurang-kurangnya
memuat :
1. nama lengkap dan alamat para pihak;
2. tanggal dan tempat perundingan;
3. pokok masalah atau objek yang diperselisihkan;
4. pendapat para pihak;
5. kesimpulan atau hasil perundingan;
6. tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
• rancangan risalah akhir dibuat oleh pengusaha dan ditandatangani oleh kedua belah
pihak atau salah satu pihak bilamana pihak lainnya tidak bersedia
menandatanganinya;
III. Tahapan Setelah Selesai Perundingan:
• Dalam hal para pihak mencapai kesepakatan, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
ditandatangani oleh para perunding dan didaftarkan pada Pengadilan Hubungan
Industrial di Pengadilan Negeri wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama;
• Apabila perundingan mengalami kegagalan maka salah satu atau kedua belah pihak
mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja/buruh bekerja dengan melampirkan
bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
• Setiap perundingan bipartit harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak.
• Risalah perundingan bipartite sekurang-kurangnya memuat :
• nama lengkap dan alamat para pihak;
• tanggal dan tempat perundingan;
• pokok masalah atau alasan perselisihan;
• pendapat para pihak;
• kesimpulan atau hasil perundingan; dan
• tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.

Dalam hal musyawarah (perundingan bipartit) dapat mencapai kesepakatan penyelesaian,


maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak.

• Perjanjian Bersama mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para
pihak;
• Perjanjian Bersama wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian
pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak
mengadakan Perjanjian Bersama;
• Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian
Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.

Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan
bipartit telah dilakukan.

Apabila bukti-bukti tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7
(tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.

51
Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk
menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.

Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.

Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian kepentingan, perselisihan


perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan pekerja/ serikat antar serikat
buruh.

Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian kepentingan perselisihan


atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.

Dasar hukum:

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial;

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.31/Men/XII/2008 Tahun 2008
Tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan
Bipartit.

Salam,

Redaksi DuniaHR.com

52
Syarat Karyawan Non Advokat Mewakili
Perusahaan Berperkara di Pengadilan
Hubungan Industrial
Selama ini mungkin kita atau khususnya rekan-rekan karyawan yang bekerja sebagai HR
takut dan khawatir, jika mendapat surat panggilan atau relasi dari Suku Dinas Tenaga Kerja
atau Pengadilan Hubungan Industrial dikarenakan adanya perselisihan dengan pekerja. Kali
ini Redaksi Dunia HR akan membahas bolehkah karyawan non advokat mewakili
perusahaan dalam berperkara di pengadilan hubungan industrial? Kemudian apa saja
persyaratan yang perlu dilengkapi?

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat (“UU
Advokat”) bahwa Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam
maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-
undang ini.

Dimana persyaratan yang dimaksud adalah sebagaimana diatur pada Pasal 2 UU Advokat,
yaitu :

• Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang
pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat
yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
• Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
• Salinan surat keputusan pengangkatan Advokat disampaikan kepada Mahkamah
Agung dan Menteri.

Sementara di peraturan perundangan lain mengatur berbeda, dimana Serikat pekerja/serikat


buruh dan organisasi pengusaha yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan dapat
bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk
mewakili anggotanya dalam menyelesaikan perselisihan industrial. (Vide Pasal 87 UU No. 2
tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial jo Pasal 25 ayat 1 huruf
b UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh)

Dengan adanya 2 (dua) pengaturan yang bertentangan diatas, pada tanggal 1 Maret 2004
terdapat permohonan pengujian UU Advokat terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh rector
Universitas Muhammadiyah Malang yang pada intinya terdapat pasal pidana dan denda
sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU Advokat yang bertentangan dengan Pasal UUD
1945.

Adapun dalil Pemohon yang menyatakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 bukan
undang-undang yang baik karena tidak ada aturan pengecualiannya, tidak tepat, karena
tidak selalu harus suatu undang-undang mempunyai pasal atau ketentuan pengecualian
(escape clausule). Singkatnya terdapat salah satu pertimbangan dimana menurut Pasal 28F
UUD 1945 setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk

53
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Seseorang yang memerlukan jasa hukum di luar pengadilan pada hakikatnya adalah ingin
memperoleh informasi hukum dan dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945. Adalah menjadi hak
seseorang untuk memilih sumber informasi yang dipandangnya tepat dan terpercaya.
Sehingga dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-II/2004 tahun 2004
menyatakan Pasal 31 UU Advokat bertentangan (tegengesteld) dengan UUD 1945 dan lebih
lanjut Pasal 31 UU Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dengan kata lain, Putusan MK tersebut telah membatalkan sanksi pidana maupun denda
kepada siapapun yang bertindak seperti Advokat padahal bukan Advokat baik di dalam
pengadilan maupun di luar pengadilan.

Jadi, Apa persyaratan yang perlu disiapkan bagi Karyawan yang akan mewakili Perusahaan
dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial di tingkat suku dinas tenaga kerja
maupun di tingkat Pengadilan Hubungan Industrial?

Persyaratan atau dokumen yang perlu disiapkan guna mewakili perusahaan dalam proses
mediasi ataupun persidangan di pengadilan, menurut pengalaman redaksi DuniaHR.com
adalah sebagai berikut :

1. Surat Kuasa Asli beserta Copy yang telah didaftarkan di Pengadilan;


2. Copy Akta Pendirian Perusahaan dan Akta Susunan PengurusTerbaru;
3. Surat Pengangkatan Karyawan;
4. Surat Tugas dari Perusahaan kepada Karyawan;
5. ID Card Asli beserta copy ID Card
Semoga bermanfaat,

Salam,

Redaksi DuniaHR.com

54
Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
Hubungan Kerja yang Harmonis, Dinamis dan Berkeadilan merupakan dambaan semua
pihak baik Pengusaha maupun Pekerja tetapi ketika terjadi Perselisihan Hubungan Industrial
antara Pengusaha dan Pekerja maka hal tersebut tidak dapat dihindari dan harus segera
diselesaikan agar operasional dari suatu perusahaan tidak terganggu, Redaksi
DuniaHR.com kali ini akan membahas terkait penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam


pasal 1 angka 16 mengartikan “Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang
terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari
unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang berdasarkan nilai nilai Pancasila dan
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Definisi Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industial, berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU


No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industial adalah “Suatu
perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.”

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan


Hubungan Industial terdapat beberapa jenis perselisihan mengenai hubungan industrial
antara lain :

• Perselisihan Hak

Perselisihan hak muncul akibat tidak terpenuhinya hak, serta adanya perbedaan
pelaksanaan maupun penafsiran dari aturan undang-undang, kejanggalan perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja sama.

Contoh perselisihan Hak:

Pekerja menolak gaji yang diberikan oleh perusahaan karena tiap pihak memiliki definisi atas
gaji yang berbeda dari perjanjian kerja yang sudah dibuat.

• Perselisihan Kepentingan

Perselisihan kepentingan ini terjadi dalam hubungan kerja yang tidak memiliki kesesuaian
pendapat. Terutama perihal pembuatan, perubahan syarat-syarat tertentu yang tercantum
dalam perjanjian kerja atau PKB (perjanjian kerja bersama) maupun PP (peraturan
perusahaan). Misalnya, kenaikan gaji, uang makan, transportasi, dan premi dana lainnya.

Contoh Peselisihan Kepentingan:

Perusahaan mengubah isi dari perjanjian kerja tapi tanpa ada kesepakatan dari karyawan
yang seharusnya ikut dilibatkan.

55
• Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Adanya perselisihan karena perusahaan atau pengusaha melakukan pemutusan hubungan


kerja (PHK). Biasanya terjadi akibat pendapat yang tidak sesuai dalam pengakhiran
hubungan kerja dari satu pihak saja. Misalnya, perbedaan hitungan pesangon yang diterima
pekerja atau buruh berdasarkan Undang-undang Ketenagakerjaan dengan peraturan
perusahaan.

Contoh Perselisihan PHK:

ketika perusahaan memutuskan hubungan kerja secara sepihak dengan pekerjanya, tapi
sayangnya pekerja tersebut tidak setuju dengan keputusan dari perusahaan yang
bersangkutan, perselisihan PHK adalah perselisihan yang paling banyak terjadi.

• Perselisihan antar Serikat Pekerja atau Buruh Dalam Satu Perusahaan

Perselisihan antar serikat pekerja maupun buruh umumnya terjadi dalam satu perusahaan
yang sama. Dalam banyak kasus disebabkan oleh ketidaksepahaman tentang keanggotaan,
kewajiban anggota serikat pekerja, dan pelaksanaan hak.

Contoh Perselisihan Antar Serikat Pekerja:

bisa disebabkan karena tidak adanya persamaan paham mengenai keanggotaan,


pelaksanaan hak, serta kewajiban keserikatan pekerjaan.

Berikut adalah tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial:

Penyelesaian melalui Perundingan Bipartit:

Perundingan yang dilakukan antara pengusaha maupun gabungan pengusaha dengan


serikat buruh. Jika tidak menemukan kata sepakat, para pihak berselisih akan melanjutkan
perundingan tripartit. Sedangkan, jika kedua belah pihak menyepakatinya maka dibuat
perjanjian bersama dan didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial dimana
perusahaan berada.

Perundingan Tripartit

Perundingan dilakukan oleh pekerja dengan pengusaha dimana melibatkan fasilitator yakni
pihak ketiga. Jenis-jenis perundingan tripartit sebagai berikut ini.

1. Mediasi
Penyelesaian dilakukan dengan cara musyawarah yang dipimpin satu orang ataupun
lebih. Biasanya melibatkan mediator dari pihak Departemen Ketenagakerjaan.
Apabila dalam tahapan ini para pihak memperoleh kata sepakat maka dituangkan
dalam perjanjian bersama dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial
setempat.
2. Konsiliasi
Penyelesaian dilakukan secara musyawarah dengan penengahnya seorang
konsiliator. Konsiliator akan berusaha mendamaikan para pihak untuk mencapai
kesepakatan bersama. Jika dari salah satu pihak tidak sepakat maka konsiliator akan
membuat anjuran untuk didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial setempat.

56
3. Arbitrase
Merupakan penyelesaian perselisihan yang dilakukan di luar Pengadilan Hubungan
Industrial. Jalan yang ditempuh yakni dengan membuat kesepakatan tertulis berisi
pernyataan para pihak untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial kepada
para arbiter. Dalam putusan arbitrase ini bersifat final dan mengikat pihak yang
berselisih.
4. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)
Para pihak yang tidak menyetujui dan menolak anjuran dari mediator maupun
konsiliator akan melanjutkan perselisihan dengan pengajuan gugatan ke PHI.
Berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan di Indonesia, PHI memiliki kompetensi absolut dalam memeriksa dan
memutus perkara, antara lain:
• Pada tingkat pertama tentang perselisihan hak
• Pada tingkat pertama dan terakhir terkait perselisihan kepentingan
• Pada tingkat pertama terkait perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK)
• Pada tingkat pertama dan terakhir terkait perselisihan serikat pekerja atau buruh yang
terjadi dalam suatu perusahaan.

Berdasarkan putusan MK No. 46/PUU-XVII/2019 Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji


materi Pasal 57 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (UU PPHI) dan Pasal 28 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung (UU MA) terkait permintaan upaya hukum peninjauan kembali (PK) dalam
perkara perselisihan hubungan industrial (PHI). Dengan demikian sejak putusan MK No.
46/PUU-XVII/2019 perkara perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan perselisihan
hak sudah tidak dapat lagi diajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK) ke
Mahkamah Agung.

Salam,

Redaksi DuniaHR.com

57
LKS Bipartit : Forum Komunikasi
Hubungan Industrial yang Harmonis,
Dinasmis, dan Berkeadilan
Harmonisasi hubungan industrial merupakan salah satu faktor penting dalam operasional suatu
perusahaan, sehingga terwujud kelancaran proses produksi dan distribusi barang atau jasa
secara efisien.

Konvensi ILO No. 98 tahun 1949 tentang hak berorganisasi dan berunding bersama, dan
Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak
berorganisasi, merupakan Konvensi ILO yang berkaitan dengan LKS Bipartit. Setiap negara
yang meratifikasi suatu konvensi harus menyelaraskan hukum nasionalnya dengan ketentuan-
ketentuan konvensi. Indonesia telah meratifikasi kedua Konvensi ILO tersebut melalui Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1956. dan Keputusan Presiden RI No. 83 tahun 1988.

Pasal 1 angka 18 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan


bahwa Lembaga Kerjasama Bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hak-hak
yang berkaitan dengan hubungan industrial di suatu perusahaan. Anggotanya terdiri dari
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat di instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.

Pasal 106 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan


bahwa Lembaga Kerjasama Bipartit (LKS Bipartit) wajib dibentuk oleh perusahaan yang
mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja atau lebih dan Lembaga Kerjasama Bipartit (LKS
Bipartit) dapat dibentuk di setiap cabang perusahaan.

Lembaga Kerjasama Bipartit bukanlah untuk menyelesaikan suatu masalah akan tetapi sebagai
forum komunikasi dan konsultasi antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang berkaitan
dengan hubungan industrial di suatu perusahaan.

Berikut point-point penting yang wajib diketahui dalam pembentukan LKS Bipartit :

Tujuan Pembentukan LKS Bipartit

Menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis danberkeadilan di Perusahaan.

(Vide: Pasal 2 Permenaker 32/MEN/XII/2008)

Fungsi LKS Bipartit dibentuk di Perusahaan:

Sebagai Forum Komunikasi dan Konsultasi antara pengusaha dan wakil pekerja/serikat pekerja
dalam rangka pengembangan hubungan industrial untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan
perkembangan perusahaan, termasuk kesejahteraan pekerja.

58
(Vide: Pasal 3 Permenaker 32/MEN/XII/2008)

Tugas LKS Bipartit di Perusahaan :

1. Sebagai wadah pertemuan antara wakil pengusaha dengan wakil pekerja/serikat


pekerja;
2. Sebagai wadah sosialisasi kebijakan perusahaan dan aspirasi pekerja dalam rangka
mencegah perselisihan hubungan industrial;
3. Sebagai wadah untuk menyampaikan saran, pertimbangan dan pendapat kepada
pengusaha, pekerja dan/atau serikat pekerja dalam rangka penetapan dan
pelaksanaan kebijakan perusahaan.
• (Vide: Pasal 4 Permenaker 32/MEN/XII/2008)

Susunan Kepengurusan LKS Bipartit

KepengurusanLKS Bipartit ditetapkan dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh, serikat
pekerja/serikat buruh dengan komposisi 1:1 yang jumlahnya sesuai kebutuhan dengan
ketentuan sekurang-kurangnya 6 (enam) orang.

1. Susunan pengurus LKS Bipartit sekurang-kurangnya terdiri dari ketua, wakil ketua,
sekretaris, dan anggota;
2. Jabatan ketua LKS Bipartit dapat dijabat secara bergantian antara unsur pengusaha
dan unsur pekerja/buruh;
• (Vide: Pasal 10 – 11 Permenaker 32/MEN/XII/2008)

Tata Cara Pembentukan LKS Bipartit:

Pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh


mengadakan musyawarah untuk membentuk, menunjuk, dan menetapkan anggota LKS
Bipartit di perusahaan;

1. Anggota LKS Bipartit menyepakati dan menetapkan susunan pengurus LKS Bipartit;
2. Pembentukan dan susunan pengurus LKS Bipartit dituangkan dalam berita acara
yang ditandatangani oleh pengusaha dan wakil serikat pekerja/serikat buruh atau
wakil pekerja/buruh di perusahaan.
• (Vide: Pasal 8 Permenaker 32/MEN/XII/2008)

Masa Kerja Keanggotaan LKS Bipartit:

1. Masa kerja kepengurusan LKS Bipartit adalah 3 (tiga) tahun;


2. Pergantian keanggotaan sebelum berakhirnya masa jabatan dapat dilakukan atas
usul dari unsur yang diwakilinya.
• (Vide: Pasal 12 Permenaker 32/MEN/XII/2008)
Masa Jabatan Kepengurusan LKS

Bipartit: Masa Jabatan berakhir apabila

1. Meninggal dunia;
2. Mutasi;
3. Mengundurkan diri sebagai anggota lembaga;

59
4. Diganti atas usul dari unsur yang diwakilinya;
5. Sebab-sebab lain yang menghalangi tugas-tugas dalam kepengurusan lembaga.

(Vide: Pasal 13 Permenaker 32/MEN/XII/2008)

Mekanisme Kerja LKS Bipartit:

1. Mengadakan pertemuan sekurang-kurangnya 1 kali setiap bulan atau sesuai


kebutuhan perusahaan atau pekerja;
2. Permasalahan yang akan dibahas dipertemuan dapat berasal dari pengusaha,
pekerja atau dari pengurus LKS Bipartit;
3. LKS Bipartit menetapkan agenda pertemuan secara periodik;
4. Hubungan kerja antara LKS Bipartit dengan lembaga lainya di perusahaan adalah
bersifat kordinatif, konsultatif dan komunikatif.
• (Vide: Pasal 14 Permenaker 32/MEN/XII/2008)

Cara Pencatatan LKS Bipartit ke Dinas Ketenagakerjaan:

1. LKS Bipartit yang sudah terbentuk wajib dicatatakan ke Disnaker setempat selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari setelah pembentukan;
2. Pengurus LKS Bipartit wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis baik
langsung maupun tidak langsung dengan melampirkan berita acara pembentukan,
susunan kepengurusan dan alamat perusahaan;
3. Setelah 7 (tujuh) hari setelah pemberitahuan secara tertulis Disnaker akan
memberikan bukti penerimaan pemberitahuan.
4. Pembentukan LKS Bipartit tidak dikenakan biaya
• (Vide: Pasal 9 Permenaker 32/MEN/XII/2008)
Demikian artikel ini kami sampaikan semoga bermanfaat bagi rekan-rekan.

Salam

Redaksi DuniaHR.com

60
Kompetensi Relatif
(Kewenangan Mengadili)
Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI)
Selama ini banyak yang belum memahami terkait dengan Pengadilan Hubungan Industrial
yang berada di daerah yang mana yang berwenang mengadili gugatan perselisihan
hubungan industrial yang diajukan oleh Penggugat.

Berdasarkan Pasal 1 angka 17 UU No.2 Tahun 2004 definisi Pengadilan Hubungan


Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang
berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan
industrial.

Berdasarkan Pasal 56 UU No.2 Tahun 2004 Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutus :

• tingkat pertama mengenai perselisihan hak;


• tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
• tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
• tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh dalam satu perusahaan.

Berdasarkan Pasal 59 ayat 1 dan 2 UU No.2 Tahun 2004 Untuk pertama kali dengan
undang-undang ini dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri
Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Propinsi yang daerah hukumnya meliputi
propinsi yang bersangkutan. Di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan
Keputusan Presiden harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat .

Kompetensi Relatif

Kompetensi Relatif diartikan sebagai kewenangan pengadilan untuk menangani/mengadili


suatu sengketa/perkara didasarkan pada tempat/lokasi/domisili para pihak yang bersengketa
atau didasarkan pada dimana objek yang disengketakan berada. Atau dengan kata lain,
kompetenasi relatif adalah kewenangan pengadilan untuk menangani perkara sesuai
dengan wilayah hukum (yurisdiksi) yang dimilikinya. Oleh karena itu, para pihak dalam
mengajukan gugatan untuk memperhatikan dimana tempat/lokasi/domisili para pihak serta
objek yang disengketakan, dengan tujuan kompentesi relatif dari gugatan yang diajukan
dapat diterima, diperiksa serta diadili oleh Hakim.

Berikut adalah 4 (empat) asas hukum perdata yang selama ini digunakan untuk menentukan
kompetensi relatif suatu Pengadilan:

1. Gugatan diajukan di Pengadilan dimana Tergugat berdomisili (Actor sequitur forum


rei).
2. Gugatan diajukan di mana benda tetap yang menjadi objek sengketa itu berada
(Forum rei sitae).

61
3. Gugatan diajukan di salah satu pengadilan tempat tinggal Tergugat jika Tergugat
lebih dari satu orang.
4. Gugatan diajukan di salah satu pengadilan yang dipilih/disepakati.

Pengaturan mengenai kewenangan relatif dalam HIR diatur pada Pasal 118, Kewenangan
relatif ini menggunakan asas actor sequitor forum rei yang berarti yang berwenang adalah
Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat.

Sementara berdasarkan ketentuan Pasal 81 Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang


Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (”UU No. 2/2004”), menyatakan sebagai
berikut:

”Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial


pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja”.

Berdasarkan Pasal 57 UU No. 2 Tahun 2004 mengatur sebagai berikut:

”Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum
Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.

Dengan demikian, berdasarkan Pasal 81 UU No. 2 Tahun 2004 secara hukum telah
meniadakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 118 ayat (1) HIR/ Hukum Acara Perdata
karena Pasal 81 UU No. 2 Tahun 2004 telah mengatur secara khusus mengenai
kewenangan relatif dari Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Pasal 81 UU No.2 Tahun 2004 bersifat limitatif dan khusus. Dengan demikian Kompetensi
Relatif dari Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang berwenang memeriksa dan
mengadili suatu gugatan perselisihan hubungan industrial saat ini terbatas pada wilayah
tempat dimana pekerja/buruh bekerja, bukan lagi berdasarkan pada wilayah dimana
Tergugat bertempat tinggal/ berdomisili sebagaimana sebelumnya diatur dalam ketentuan
pasal 118 HIR.

Konsekuensi hukum apabila Penggugat salah dalam menentukan kompetensi relatif dalam
gugatan perselisihan hubungan industrial adalah gugatan Penggugat akan diputus Niet
Onvantkelijk Verklaard/NO atau dengan kata lain gugatan penggugat dinyatakan tidak
diterima oleh Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut.

Demikian penjelasan yang dapat Redaksi DuniaHR.com berikan.

Salam,

Redaksi DuniaHR.com

62
Kekuatan Nota Pemeriksaan Pelanggaran
PKWT dan Outsourcing Oleh Pengawas
Dinas Tenaga Kerja
Definisi Nota Pemeriksaan adalah peringatan dan/atau perintah tertulis Pengawas
Ketenagakerjaan yang ditujukan kepada Pengusaha atau Pengurus untuk memperbaiki
ketidakpatuhan terhadap Norma Ketenagakerjaan berdasarkan hasil pemeriksaan
Pengawas Ketenagakerjaan.

• Setiap Pengawas Ketenagakerjaan wajib membuat Nota Pemeriksaan setelah


melakukan Pemeriksaan.
• Pengawasan Ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
• Pengawas Ketenagakerjaan dapat membuat Nota Pemeriksaan Khusus yang hanya
memuat perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada Perusahaan lain. Nota Pemeriksaan Khusus dibuat berdasarkan
pemeriksaan khusus terhadap norma kerja perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lain.

Berikut analisis Redaksi DuniaHR.com terkait Kekuatan Hukum Nota Pemeriksaan Khusus
Pegawai Pengawas Disnaker terkait Pelanggaran Ketentuan PKWT dan Outsorcing
berdasarkan ketentuan hukum berikut ini:

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 363 K/TUN/2012:

Dalam pertimbangan hukumnya, MA menilai Nota Pemeriksaan Nomor : 560/02/NP/VI/2011


tanggal 20 Juni 2011 dan Nota Pemeriksaan II, Nomor : 560/03/NP/VI/2011 tanggal 24
Juni 2011, yang diterbitkan oleh Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Bau
Bau, merupakan Keputusan Tata Usaha Negara.

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, dinyatakan : Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang- undangan yang
berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.7/PUU-XII/2014:

Terkait Frasa “Demi Hukum” Pasal 59 ayat 7, Pasal 65 ayat (8), Pasal 66 ayat (4) UU No.13
tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai
“Pekerja/Buruh dapat meminta pengesahan Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan pada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:

63
• Telah dilaksanakan perundingan bipartite namun perundingan bipartit tersebut tidak
mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berundingdan,
• Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 59 ayat (7) terkait perubahan PKWT menjadi PKWTT, Pasal 65 ayat (8) Beralihnya
Hubungan Kerja Pekerja Pemborongan ke Perusahaan Pemberi Kerja, Pasal 66 ayat (4)
Beralihnya Hubungan Kerja Pekerja Penyedia jasa ke Perusahaan Pemberi Kerja.

Berdasarkan Permenaker 33 tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan


Ketenagakerjaan:

• Pasal 35 ayat (1)

Dalam hal Nota Pemeriksaan Khusus yang memuat pelaksanaan penerapan perjanjian kerja
waktu tertentu dan/atau penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan
lain telah mendapatkan pengesahan dari pengadilan negeri setempat, Pengawas
Ketenagakerjaan wajib untuk memastikan pelaksanaannya.

• Pasal 37 ayat (2)

Pengujian norma kerja meliputi waktu kerja, waktu istirahat, sistem pengupahan, cuti kerja,
Pekerja/Buruh perempuan, Pekerja/Buruh anak, pelatihan kerja, penempatan Tenaga Kerja,
jaminan sosial Tenaga Kerja, kesejahteraan, kesusilaan, diskriminasi, hubungan kerja,
kebebasan berserikat, kesempatan melaksanakan ibadah menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing

• Pasal 38 ayat (5)

Berdasarkan hasil Pengujian, Pengawas Ketenagakerjaan dapat menerbitkan rekomendasi,


penetapan dan/atau perintah pemenuhan hak-hak Pekerja/Buruh

Kesimpulan:

• Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 363 K/TUN/2012 Nota Pemeriksaan


Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan adalah Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN);
• Berdasarkan Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi No.7/PUU-XII/2014 Frasa
“Demi Hukum” Pasal 59 ayat 7, Pasal 65 ayat (8), Pasal 66 ayat (4) mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/Buruh dapat
meminta pengesahan Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada
Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1.Telah dilaksanakan perundingan bipartite namun perundingan bipartit tersebut tidak
mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berundingdan,
2.Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.

64
• Berdasarkan Pasal 35 Permenaker 33 tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan
Ketenagakerjaan Dalam hal Nota Pemeriksaan Khusus yang memuat pelaksanaan
penerapan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lain telah mendapatkan pengesahan
dari pengadilan negeri setempat, Pengawas Ketenagakerjaan
wajib untuk memastikan pelaksanaannya.

Dasar Hukum:

• Putusan Mahkamah Agung No. 363 K/TUN/2012


• Putusan Mahkamah Konstitusi No.7/PUU-XII/2014
• Permenaker 33 tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan

Salam,

Redaksi DuniaHR.com

65
Eksepsi dan Jenisnya Dalam Hukum
Acara Perselisihan Hubungan Industrial
Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial setelah Penggugat mengajukan
gugatanya maka Tergugat akan membuat Jawaban atas gugatan Penggugat tersebut, Isi
dari jawaban tersebut tidak hanya berisi bantahan terhadap pokok perkara, namun Tergugat
juga boleh dan dibenarkan memberi jawaban yang berisi pengakuan (confession), terhadap
sebagian atau seluruh dalil gugatan Penggugat. Selain itu, jawaban yang disampaikan oleh
Tergugat dapat sekaligus memuat eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara. Jika
jawaban sudah memuat eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara, Tergugat harus
menjawab secara sistematis agar lebih mudah dibaca dan dipahami oleh Majelis Hakim yang
memeriksa perkara tersebut.

Eksepsi di dalam konteks hukum acara perdata memiliki makna yaitu sebuah tangkisan atau
bantahan (objection). Eksepsi ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau
formalitas gugatan, yaitu jika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran
formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah yang karenanya gugatan tidak dapat diterima
(inadmissible).

Berikut adalah jenis-jenis eksepsi dalam Hukum Acara Pengadilan Hubungan Industrial:

1. Eksepsi Prosesuil;
2. Eksepsi Materil.
3. Eksepsi Prosesuil

Eksepsi prosesuil ini diartikan bantahan yang diajukan oleh Tergugat agar
permohonan/gugatan yang diajukan oleh Penggugat tidak diterima (in limine litis) dengan
alasan-alasan diluar pokok perkara.

Dalam praktek, eksepsi prosesuil ini diajukan karena gugatan yang diajukan oleh Penggugat
tidak sesuai dengan “hukum acara yang berlaku”, seperti :

Eksepsi Berkaitan Dengan Kompetensi Pengadilan Eksepsi kompetensi pengadilan


berkaitan dengan kewenangan pengadilan mengadili. Bisa jadi Tergugat ingin menyatakan
gugatan Penggugat harus tidak dapat diterima karena gugatan yang diajukan bukanlah
kompentensinya (kewenagannya).

Eksepsi kompentensi ini terbagi 2, yaitu:

1. Kompentensi Relatif, artinya Pengadilan Negeri tertuntulah yang wajib mengadili


gugatan Penggugat;
2. Eksepsi Kompentensi Absolut, artinya terdapat jenis Pengadilan yang bukan
Pengadilan Negeri yang wajib memutus perkara Penggugat. Contoh : Tergugat
mendalilkan bukan Pengadilan Negeri yang wajib memutus perkara Penggugat,
Namun Pengadilan Tata Usaha Negara karena objek gugatannya adalah “Keputusan
Tata Usaha Negara”.

66
Eksepsi Inkracht Van Gewijsde adalah eksepsi yang diajukam Tergugat karena gugatan
yang diajukan Penggugat telah diputus oleh Pengadilan terdahulu. Artinya, gugatan
Penggguat Ne Bis In Idem.

Eksepsi Litis Pendentis merupakan eksepsi yang diajukan Tergugat karena gugatan yang
diajukan Penggugat sama dengan perkara yang sedang diadili oleh Pengadilan. Contoh,
gugatan yang diajukan oleh Penggguat sedang diperiksa pada tingkat banding atau kasasi.

Ekspesi Diskualifikator adalah eksepsi yang diajukan oleh tergugat dikarenakan yang
mengajukan gugatan (penggugat atau kuasanya) tidak memiliki kualitas/kedudukan hukum
mengajukan gugatan.

Eksepsi plurium litis consortium Eksepsi yang diajukan oleh Tergugat karena gugatan yang
diajukan oleh Pihak Penggugat kurang pihak.

Eksepsi koneksitas Eksepsi yang diajukan Tergugat dikarenakan adanya hubungan/


koneksitas dengan perkara yang masih ditangani oleh pengadilan/instansi lain serta belum
ada putusan.

Eksepsi Van Beraad adalah eksepsi yang diajukan Tergugat karena gugatan yang diajukan
Penggugat terlalu cepat atau belum waktunya mengajukan gugatan.

Eksepsi Surat Kuasa Khusus Tidak Sah adalah tidak dipenuhinya syarat syarat kuasa yang
diberikan oleh Penggguat terhadap kuasa hukumnya.

Eksepsi Eror in Persona adalah eksepsi yang diajukan oleh Tergugat dengan alasan pihak
yang ditarik sebagai Tergugat keliru dan tidak tepat.

Ekspesi Obscuur Libel adalah eksepsi yang diajukan oleh Tergugat karena posita serta
petitum dalam gugatan Penggugat tidak sesuai, sehingga kabur/tidak jelas.

EKSEPSI MATERIIL

Eksepsi materiil ini diartikan bantahan yang diajukan oleh Tergugat berkaitan dengan
ketentuan hukum materiil.

Eksepsi dilatoir

Eksepsi dilatoir merupakan eksepsi yang menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat
diterma dikarenakan masih prematur yang artinya gugatan yang diajukan terlalu cepat (dini).

Eksepsi peremptoir

Eksepsi peremptoir merupakan eksepsi yang menghalangi dikabulkannya gugatan, misalnya


karena gugatan telah diajukan lampau waktu, dengan perkataan lain telah kadaluwarsa, atau
bahwa utang yang telah menjadi dasar gugatan telah dihapuskan. Adapun jenis-jenis
eksepsi ini, seperti :

67
1. Exceptio temporis (eksepsi daluwarsa),
2. Exceptio metus,
3. Exceptio non adimpleti contractus,
4. Exceptio dominii, dan
5. Exceptio circumstance

Demikian penjelasan mengenai materi yang dapat dimasukkan dalam eksepsi, semoga
bermanfaat.

Salam,

Redaksi DuniaHR.com

68
Asas Hakim Bersifat Pasif/Aktif
Dalam Persidangan Perkara
Perselisihan Hubungan Industrial
Berdasarkan Pasal 57 UU 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial menyatakan “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial
adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI).

Secara normatif Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial
(PHI) dalam H.l.R., R.Bg., maupun R.v tidak menyebut secara eksplisit istilah asas hakim
aktif dan hakim pasif. Dalam berbagai literatur hukum, asas ini juga tidak didefinisikan
secara pasti dan sistematis. Beberapa sarjana hukum mengartikan asas hakim pasif adalah
hakim bersikap menunggu datangnya perkara yang diajukan oleh para pihak.Sebagian
sarjana hukum lain mengartikan asas hakim pasif sebagai hakim memegang peranan tidak
berbuat apa-apa ruang lingkup atau luas pokok sengketa telah ditentukan para pihak. Hakim
hanya mengawasi supaya peraturan-peraturan yang ditetapkan undang-undang dijalankan
oleh para pihak.

Oleh karena tidak ada aturan normatif dalam Hukum Acara Perdata yang menyebut secara
eksplisit terkait asas hakim aktif dan hakim pasif, maka Doktrin dari para sarjana hukum yang
dapat dijadikan rujukan terkait asas hakim aktif dan hakim pasif dalam perkara perdata/
hubungan industrial.

Menurut Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa hakim bersifat pasif artinya hanya
peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim terikat dengan pada
peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak. Para pihaklah yang
diwajibkan untuk membuktikan dan bukan hakim (Verhandlungs-maxim).

Menurut Abdul Manan pasifnya hakim hanya dari segi luasnya tuntutan dan luasnya pokok
perkara yang diajukan kepada hakim. Hakim bersifat pasif itu maksudnya tidak boleh
menambah atau mengurangi luasnya pokok sengketa. Dalam hukum acara perdata
kedudukan hakim dalam persidangan bersifat pasif hanya dianut oleh Reglement op de
Burgerlijk Rechtvordering (Rv) yang berlaku untuk golongan di Eropa di depan Raad van
Justitie yang sekarang sudah tidak berlaku lagi namun masih banyak dipakai oleh hakim di
Indonesia. Dalam sistem ini hakim hanya mengawasi jalannya persidangan agar para pihak
bertindak sesuai dengan hukum acara.

Menurut Ahmad Kamil berpendapat bahwa pengertian pasif bukan berarti hakim tidak aktif
sama sekali tetapi hakim harus aktif memimpin pemeriksaan perkara, oleh karena itu hakim
berhak memberikan nasehat kepada para pihak (Pasal 119 HIR/143 RBg) dan hakim berhak
menunjukkan upaya hukum dan memberikan keterangan secukupnya kepada para pihak
(Pasal 132 HIR/156 RBg).

69
Menurut Abdul Manan dengan menjabarkan maksud memimpin persidangan adalah
mengatur, mengarahkan dan menentukan hukumnya. Hakim berperan aktif memimpin dari
awal hingga akhir pemeriksaan Hakim berwenang juga memberi petunjuk kepada para pihak
yang berperkara agar perkara yang diajukan itu menjadi jelas duduk perkaranya sehingga
memudahkan hakim dalam memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara. Memberikan
nasehat dan keterangan secukupnya kepada para pihak tidaklah melanggar asas hakim
yang harus bersifat pasif, karena ruang lingkup atau luas pokok sengketa telah ditentukan
para pihak. Hakim hanya mengawasi supaya peraturan-peraturan yang ditetapkan undang-
undang dijalankan oleh para pihak. Hakim memberi nasehat dan keterangan hukum dalam
rangka agar hukum dijalankan dengan semestinya sehingga tercapailah asas keadilan,
kepastian hukum dan manfaat.

Memberikan bantuan atau nasehat hukum kepada para pihak adalah perintah undang-
undang sebagaimana diatur dalam Pasal 119 HIR/143 RBg dan Pasal 132 HIR/156 RBg. jo.
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Menurut M. Yahya Harahap, membantu para pihak dari sudut pengkajian teoretis dapat
dikategorikan “wajib”, jadi bersifat “imperatif” dasarnya adalah Pasal 58 ayat (2) UU Nomor 7
Tahun 1989 maupun yang tercantum dalam Pasal 119 HIR/143 RBg. Sedangkan dilihat dari
sudut pandang tujuan member bantuan, diarahkan untuk terwujud praktek peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan. Ditambah lagi dari sudut pandang system hukum acara
perdata itu sendiri, langsung dengan lisan dan tidak wajib berproses dengan bantuan
penasehat hukum, dihubungkan dengan tingkat kecerdasan hukum masyarakat Indonesia
pada umumnya, semakin kuat alasan yang menyatakan “membantu” para pencari keadilan
dalam proses pemeriksaan perkara perdata bersifat imperatif.

Dalam Perselisihan Hubungan Industrial pengadilan membantu para pencari keadilan untuk
dapat mewujudkan tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pemberian bantuan tersebut harus dalam hal-hal yang dianjurkan dan atau diizinkan oleh
hukum acara perdata, yaitu dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Membuat gugatan bagi yang buta huruf.


2. Memberi pengarahan tata cara prodeo.
3. Menyarankan penyempurnaan surat kuasa.
4. Menganjurkan perbaikan surat gugatan/permohonan.
5. Memberi penjelasan tentang alat bukti yang sah.
6. Memberi penjelasan tentang cara mengajukan bantahan dan jawaban.
7. Bantuan memanggil saksi secara resmi.
8. Memberi penjelasan tentang acara verzet dan rekonpensi.
9. Memberi penjelasan tentang upaya hukum.
10. Mengarahkan dan membantu memformulasikan perdamaian.
Perselisihan Hubungan Industrial yang notabene adalah hukum perdata bersifat privat yang
mengatur kepentingan antar individu mempunyai batasan yang sifatnya perseorangan
(individual).Persoalan baru muncul ketika pihak yang merasa dirugikan ingin kepentingan
dan hak hukumnya terjamin. Oleh karena itu, sangat logis jika hakim mencerminkan sikap
pasif, baik pada saat menunggu datangnya perkara yang diajukan padanya maupun
bersikap pasif dalam hal menentukan batasan tentang perkaranya (ruang lingkup perkara).
Hanya pihak pencari keadilan (penggugat dalam gugatannya dan tergugat dalam
jawabannya) yang mengetahui tujuan yang ingin mereka capai dalam penyelesaian perkara
mereka.

70
Dengan demikian Asas Hakim pasif atau aktif merupakan dua hal yang tidak bisa dihindari
oleh hakim dalam Pengadilan Hubungan Industrial, karenanya yang terpenting sebagai
batasannya adalah menerapkan asas yang disebutkan dalam peraturan perundanga-
undangan, yaitu:

• Memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak dalam membela dan
memperjuangkan hak-haknya (equal acces rule) atau mengadili dengan tidak
membeda-bedakan orang/ impartiality. (Pasal 4 ayat 1 UU. No. 48 tahun 2009
tentang kekuasaan kehakiman).
• Membantu para pihak untuk mengatasi segala hambatan untuk tercapainya peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya ringan.( Pasal 4 ayat 2 UU. No. 48 tahun 2009
tentang kekuasaan kehakiman).
• Dengan demikian dapat disimpulkan Asas Hakim Perkara Hubungan Industrial
bersifat pasif dalam artian ruang lingkup atau luas pokok sengketa ditentukan para
pihak yang berperkara di Pengadilan Hubungan Industrial bukan oleh Hakim dan
Asas Hakim bersifat aktif dalam artian Hakim menjalankan tugasnya mengawasi
supaya peraturan peraturan yang ditetapkan undang-undang dijalankan oleh para
pihak yang berperkara di Pengadilan Hubungan Industrial, tetapi tetap Hakim tidak
boleh memperluas sengketa para pihak atau membuat amar putusan yang melebihi
petitum yang diminta oleh Penggugat.

Salam,

Redaksi DuniaHR.com

71
Terima kasih telah membaca E-book “Bunga Rampai Hukum
Ketenagakerjaan”, Semoga E-Book ini dapat berguna dan bermanfaat
bagi rekan akademisi, rekan praktisi maupun rekan pembelajar
lainnya.
Kita diingatkan oleh sosok Pramoedya Ananta Toer yang sangat
menginspirasi dengan kutipan kata – katanya yang memotivasi kami
untuk menulis yaitu “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama
ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari
sejarah….Menulis adalah bekerja untuk keabadian"
Artikel – artikel yang kami tulis dan kumpulkan dalam sebuah ebook
ini masih jauh dari kata sempurna, kami coba menuangkan ide yang
ada dalam pikiran, memaksa jari – jari kita mencoret –coret dan
menekan keyboard menjadi sebuah rangkaian kata dan kalimat yang
mungkin masih kurang tepat padanannya agar nyaman dibaca.
Namun percayalah dengan cara itulah kami mengasah tulisan – tulisan
kami untuk memerangi dan melawan kemalasan untuk dapat berbagi
informasi, pengetahuan serta pengalaman selama berkecimpung di
Dunia HR.
Akhir kata semoga aktivitas menulis kami dan Inspirasi dari sosok
Pramoedya Ananta Toer sehingga membuat teman – teman praktisi
tertarik juga menuliskan pengalaman yang kelak berguna bagi para
pembelajar Sumber Daya Manusia di Indonesia.
Semangat baca tulis!
Salam,
Redaksi DuniaHR.com
GALERY
Webinar Dunia HR:

Kolaborasi:

Kontributor:

Anda mungkin juga menyukai