Anda di halaman 1dari 8

Apakah Pekerja yang Mengundurkan Diri Akan Dapat Pesangon?

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut


UUK) tidak diatur mengenai “hak pesangon” bagi pekerja/buruh (istilah Saudara karyawan) yang
mengundurkan diri secara sukarela. Yang saya maksud dengan “hak pesangon” dan yang lazim
dipahami oleh masyarakat -awam- “buruh”, adalah Uang Pesangon (“UP”) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 156 ayat (2) UUK, demikian juga Uang Penghargaan Masa Kerja (“UPMK”)
sebagaimana tersebut dalam Pasal 156 ayat (3) UUK.

Namun, bagi karyawan yang mengundurkan diri -atas kemauan sendiri- (resign), sebagaimana
diatur dalam Pasal 162 ayat (1) UUK, hanyalah berhak atas Uang Penggantian Hak (“UPH”)
sebagaimana terinci dalam Pasal 156 ayat (4) UUK. Disamping itu -khusus- bagi karyawan yang
tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, -maksudnya- non-
management committee, berdasarkan Pasal 162 ayat (2) UUK juga berhak -diberikan- Uang Pisah
yang nilainya dan pelaksanaan pemberiannya, merupakan kewenangan (domain) para pihak untuk
memperjanjikannya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan/perjanjian kerja bersama.

Berdasarkan ketentuan Pasal 156 ayat (4) UUK, UPH meliputi:


Hak cuti tahunan yang belum diambil (belum gugur) saat timbulnya di masa tahun berjalan,
perhitungannya: 1/25 x (upah pokok + tunjangan tetap) x sisa masa cuti yang belum diambil.
Biaya ongkos pulang ke tempat (kota) di mana diterima pada awal kerja (beserta keluarga).
Uang penggantian perumahan/pengobatan 15%* dari UP dan UPMK (berdasarkan Surat Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi kepada para Kepala Dinas yang bertanggung jawab di bidang
Ketenagakerjaan No. 600/MEN/SJ-HK/VIII/2005 tanggal 31 Agustus 2005).
*Catatan: Uang ini tidak didapatkan bagi yang resign (mengundurkan diri secara sukarela), karena
faktor perkaliannya (yakni UP dan UPMK) nihil. Sehingga: 15% x nihil = nol.
Hal-hal lain yang timbul dari perjanjian (baik dalam perjanjian kerja, dan/atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama), seperti bonus, insentif dan lain-lain yang memenuhi
syarat.

Berapa besaran dan nilai Uang Pisah dimaksud, sangat bergantung dari nilai yang ditentukan dalam
perjanjian kerja dan/atau peraturan perusahaan/perjanjian kerja bersama. Walaupun dalam
praktik ada yang mengatur sesuai dengan nilai yang tertera dalam tabel UPMK, bahkan ada yang
lebih besar dari nilai tersebut. Akan tetapi, ada juga yang nilainya lebih rendah. Semua itu
diserahkan kepada (domain) para pihak untuk menyepakati dan memperjanjikan atau
mengaturnya.

Pada dasarnya, hak-hak tersebut di atas hanya dapat diperoleh jika syarat dan ketentuan
mengenai pengunduran diri (resign) dalam undang-undang (Pasal 162 ayat [3] UUK), dipatuhi
dan/atau dipenuhi, yakni:
Permohonan disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum off(tidak lagi aktif
bekerja). Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pengusaha untuk mencari
pengganti yang baru dan/atau melakukan transfer of knowledge bagi karyawan baru (pengganti);
Tidak ada sangkutan “ikatan dinas”;
Harus tetap bekerja sampai hari yang ditentukan (maksimal 30 hari).

Maksudnya hak atas UPH dan Uang Pisah hanya dapat diberikan jika syarat dan ketentuan
mengenai resign sudah dijalankan sesuai ketentuan. Walaupun pengusaha dapat melepaskan
haknya jika pekerja menyimpang dari ketentuan dimaksud, khususnya mengenai jangka waktu 30
(tigapuluh) hari sebelum benar-benar off (tidak lagi aktif bekerja) atau melepaskan haknya atas
ikatan dinas.

Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas, sekali lagi saya tegaskan, bahwa berdasarkan
Pasal 162 UUK, tidak ada ketentuan yang menyebutkan adanya hak “pesangon” berupa UP dan
UPMK bagi karyawan yang mengundurkan diri (resign) sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat
(2) dan ayat (3) UUK. Maksudnya, undang-undang menyebut dan memberikan hak bagi karyawan
yang resign, hanyalah UPH dan Uang Pisah -khususnya bagi karyawan yang tugas dan fungsinya
tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, non-management commitee.

Walaupun demikian, jika di antara para pihak menyepakati dan mengatur lain yang -nilainya- lebih
baik atau lebih besar jumlahnya bagi -sisi- karyawan, maka tentu undang-undang tidak
melarangnya. Demikian juga, apabila tidak diatur (ketentuan “pesangon” dimaksud), akan tetapi
pihak pengusaha berkenan -ikhlas- untuk memberikannya, atau yang nilanya lebih besar, tentu
sah-sah saja.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
Surat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi kepada para Kepala Dinas yang bertanggung jawab
di bidang Ketenagakerjaan No. 600/MEN/SJ-HK/VIII/2005 tanggal 31 Agustus 2005.

Uang Jasa Atas Pengunduran DIri


Ulasan Lengkap
Pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena kemauan saudara sendiri (untuk melakukan
pengunduran diri dari perusahaan tempat saudara bekerja) diatur dalam Undang-undang No.13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) Pasal 162.

Bagi saudara yang melakukan pengunduran diri atas kemauan sendiri maka, saudara akan
memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) yang meliputi:
a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. Biaya pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh
diterima bekerja;
c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang
pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; dan
d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.

Berdasarkan Pasal 162, jenis kompensasi PHK yang dapat saudara terima/tuntut dari pengusaha,
bukanlah berupa uang pesangon maupun uang penghargaan masa kerja, melainkan hanya berupa
uang penggantian hak yang besarannya disesuaikan dengan masa kerja saudara yang kurang dari
5 (lima) tahun.

Bila yang saudara maksud dengan uang jasa disini adalah uang penghargaan masa kerja, maka
berdasarkan UU Ketenagakerjaan anda tidak mendapatkannya. Anda hanya mendapatkan uang
penggantian hak (Pasal 162 UU Ketenagakerjaan).

Selain itu, juga perlu Anda pahami maksud atas kemauan sendiri, sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 162 (4) UUK, dimana dinyatakan bahwa pengunduran diri adalah pemutusan
hubungan kerja (PHK) tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Sebaliknya, PHK selain itu (dalam hal ini atas kemauan pengusaha) harus dengan penetapan
lembaga tersebut. Dengan demikian uang penggantian hak berlaku hanya pada pengunduran diri
dimaksud.

Dapat kami tambahkan pula bahwa pihak perusahaan mempunyai hak untuk mempertimbangkan
pemberian kompensasi PHK, apabila pengunduran diri yang saudara lakukan telah sesuai dengan
ketentuan normatif pada Pasal 162 ayat (3) yaitu: mengajukan permohonan pengunduran diri
secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
tidak terikat dalam ikatan dinas dan tetap melaksanakan kewajiban sampai tanggal mulai
pengunduran diri.

Hal-hal lain yang seringkali juga dimasukan sebagai bentuk kompensasi dari pengusaha kepada
pekerja dimana pelaksanannya cukup diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama. Oleh karena itu ada baiknya bila saudara juga melihat kembali ketentuan
perjanjian kerja saudara dengan pengusaha.

Bila tidak ada kesepakatan antara saudara dan perusahaan tentang hal ini (setelah melakukan
perundingan bipartit untuk musyawarah mufakat), saudara dapat saja hal ini ke mengajukan
persoalan ke kadisnaker setempat (perselisihan yang terjadi dicatat) untuk diperantarai atau
memilih penyelesaian melalui konsiliator atau arbiter yang terdaftar. Bila tidak dicapai
kesepakatan penyelesaian, salah satu pihak (saudara atau perusahaan anda) dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Kami menyarankan agar anda menghubungi konsultan hukum anda untuk membahas hal ini lebih
lanjut. Demikian, semoga bermanfaat.

Aturan Pengunduran Diri


Secara umum, pengaturan ketenagakerjaan di Indonesia saat ini didasarkan pada UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”). Dalam Pasal 162 ayat (3) UUK diatur mengenai syarat bagi
pekerja/buruh yang mengundurkan diri adalah:

a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga


puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;

b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan

c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

Syarat pengunduran diri pekerja/buruh ini dapat kita temui juga dalam Pasal 26 ayat (2) Kepmen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 78/2001 tentang Perubahan Kepmenaker No. 150/2000
tentang PHK, Pesangon, dan lainnya yang berbunyi:

a. pekerja/buruh mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis dengan disertai


alasannya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;

b. pekerja/buruh tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;

c. pekerja/buruh tidak terikat dalam Ikatan dinas.

Dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri (tanggal
terakhir bekerja), pengusaha harus memberikan jawaban atas permohonan pengunduran diri
tersebut. Dan dalam hal pengusaha tidak memberi jawaban dalam batas waktu 14 (empat belas)
hari, maka pengusaha dianggap telah menyetujui pengunduran diri secara baik tersebut (lihat
Pasal 26 ayat [3] dan [4] Kepmenakertrans 78/2001).

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat kita lihat bahwa hukum ketenagakerjaan
Indonesia menetapkan permohonan pengunduran diri paling lambat/setidaknya harus sudah
diajukan 30 (tiga puluh) hari atau sering dikenal dengan “1 (one) month notice” sebelum tanggal
pengunduran diri/tanggal terakhir bekerja. Sehingga, UUK maupun Kepmenakertrans tidak
menetapkan batas maksimal permohonan pengunduran diri diajukan tapi justru menetapkan
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal pengunduran diri.
Ditegaskan pula oleh Guru Besar Hukum Perburuhan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof.
Aloysius Uwiyono bahwa bisa saja perusahaan menetapkan pengajuan permohonan pengunduran
diri lebih dari 30 (tiga puluh) hari, tapi kurang tidak boleh. Karena sebenarnya hal ini sebagai
persiapan untuk perusahaan mencari pengganti dari orang yang mengundurkan diri itu. Yogo
Pamungkas, salah seorang pengajar Hukum Perburuhan Fakultas Hukum Universitas Trisakti
mengamini pendapat Uwiyono bahwa dari redaksional “selambat-lambatnya” berarti paling
cepat/paling tidak dalam waktu 30 (tiga puluh) hari permohonan pengunduran diri harus sudah
diajukan, lebih dari waktu itu boleh. Tujuan pengaturan ini, menurut Yogo, adalah supaya tidak
mendadak bagi perusahaan dalam mencari pengganti. Namun, ketentuan itu hendaknya tidak
dilakukan sepihak maupun lisan, tapi harus dicantumkan setidaknya dalam PP, PK atau PKB.

Jadi, dari penjelasan di atas, jika perusahaan Anda kemudian menetapkan dalam peraturan
perusahaan (PP), perjanjian kerja (PK) atau dalam perjanjian kerja bersama (PKB) bahwa bagi
setiap pekerja/buruh yang ingin mengundurkan diri harus mengajukan permohonan pengunduran
diri 2 (dua) bulan sebelum tanggal pengunduran diri (two months notice), hal ini sah-sah saja
dilakukan. Apalagi dalam praktiknya, bagi pekerja dengan posisi-posisi strategis (misal: manager),
umumnya perusahaan mensyaratkan waktu yang cukup lama untuk karyawannya mengajukan
permohonan pengunduran diri sebelum benar-benar mengundurkan diri.

Jadi, tidak benar jika UUK menetapkan pengajuan permohonan pengunduran diri maksimal 1
month notice atau 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal pengunduran diri. Perusahaan dapat saja
menetapkan dalam PK, PP, atau PKB jangka waktu yang lebih lama dari ketentuan UUK dan
Kepmenakertrans untuk permohonan pengunduran diri diajukan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Catatan editor: Klinik Hukum meminta pendapat Aloysius Uwiyono dan Yogo Pamungkas melalui
sambungan telepon pada 5 Desember 2011.

Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

2. Kepmen Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 78/2001 tentang Perubahan Kepmenaker No.
150/2000 tentang PHK, Pesangon, dan lainnya

Ulasan Lengkap
Pengaturan mengenai pengunduran diri oleh pekerja diatur dalam Pasal 162 UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”):

Pasal 162
(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya
tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memenuhi syarat:

a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)


hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;

b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan

c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan
tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Untuk informasi selengkapnya soal pengunduran diri, Saudara dapat membaca artikel Aturan
Jangka Waktu Pengunduran Diri (One Month Notice).

Kami menyarankan agar Saudara melihat kembali pada Perjanjian Kerja, Peraturan perusahaan,
atau Peraturan Kerja Bersama apakah ada aturan yang membolehkan pengunduran diri kurang
dari 30 hari. Apabila tidak ada, maka yang berlaku adalah ketentuan Pasal 162 UUK.
Saudara menyebutkan mengenai uang pesangon yang notabene sebenarnya uang pesangon
ditujukan apabila pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh perusahaan dan bukan karena
pekerja mengundurkan diri (lihat Pasal 156 ayat [1] UUK).

Bagi pekerja yang mengundurkan diri, berlaku ketentuan dalam Pasal 162 UUK yang menjelaskan
bahwa pekerja yang mengundurkan diri dapat memperoleh uang penggantian hak dan uang pisah
jika diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Uang
penggantian hak ini meliputi (Pasal 156 ayat (4) UUK):

a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana
pekerja/buruh diterima bekerja;

c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas
perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi
syarat;

d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.

Lebih jauh simak artikel Uang Jasa atas Pengunduran Diri, Adakah Batas Waktu Pembayaran Uang
Penggantiaan Hak? dan Tentang Uang Pisah.

Yang dapat kami sarankan adalah, Saudara sebaiknya melakukan upaya kekeluargaan dengan
melakukan negosiasi dengan pihak Perusahaan mengenai hak Saudara atas uang penggantian hak
tersebut, mengingat pengunduran diri Saudara tidak memenuhi ketentuan yang seharusnya
berlaku.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Anda mungkin juga menyukai